Dokumen ini membahas perkembangan infrastruktur pendidikan SMA di Jawa Tengah antara tahun 2006-2016. Analisis dilakukan untuk mengetahui apakah perkembangan tersebut berkelanjutan dengan melihat hubungan antara jumlah sekolah dengan jumlah siswa menggunakan analisis regresi. Tujuannya adalah untuk menilai apakah prinsip akses pendidikan untuk semua anak dapat terpenuhi.
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
1. TUGAS MATA KULIAH
MANAJEMEN PRASARANA BERKELANJUTAN
(MPP603)
Dosen Pengampu:
Dr. Maryono, M.Eng.
PERKEMBANGAN INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH
(2006-2016)
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036
ROSAN CAHYA UTAMI 21040116410017
SUTARNI 21040116410019
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
2. 1
I. Pendahuluan
I.1 Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan
1.1.1 Pembangunan Berkelanjutan
Dewasa ini masalah keberlanjutan (sustainability issues) merambah di semua bidang
kehidupan manusia, isu sustainable development diawali dari pernyataan pentingnya kesadaran
segenap pihak tentang berbagai isu lingkungan global, Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini
tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebagai
suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan
dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat
potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia
(Brundtland dalam Budihardjo & Sujarto, 1999).
Publikasi ini kemudian memicu lahirnya agenda baru mengenai konsep pembangunan
ekonomi dan keterkaitannya dengan lingkungan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam aktivitasnya memanfaatkan seluruh
sumberdaya, guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan
pembangunan pada dasarnya juga merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan
alami (sumberdaya alam hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan
buatan), sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap dalam keserasian
yang seimbang.
Gambar 1. Pola Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Fadel, 2008
Secara umum pembangunan berkelanjutan (sustainable development) langsung berintegrasi
dengan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Diagram diatas menunjukkan bagaimana integrasi dari nilai
lingkungan, nilai ekonomi, dan nilai sosial yang diharapkan menghasilkan kehidupan yang sejahtera
bagi manusia. PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, menyebutkan bahwa perwujudan dan
peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budidaya; dan pengendalian
3. 2
perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan, minimal ada 3 (tiga) matra untuk Pembangunan Berkelanjutan, meliputi:
• Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi: mengelola lingkungan hidup dan sumberdaya alam
secara efektif dan efisien dengan yang berkeadilan perimbangan modal masyarakat,
pemerintah dan dunia usaha.
• Keberlanjutan sosial budaya: pembentukan nilai-nilai sosial budaya baru serta peranan
pembangunan yang berkelanjutan terhadap iklim politik dan stabilitasnya.
• Keberlanjutan kehidupan lingkungan (ekologi) manusia dan segala eksistensinya:
keselarasan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
1.1.2 Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan
Pembangunan infrastruktur merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan
roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur juga mempunyai peran yang penting dalam
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta diyakini sebagai pemicu pembangunan suatu
kawasan. Menurut Basri (2001), infrastruktur merupakan instrumen untuk memperlancar
berputarnya roda perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan, semakin
tersedianya infrastruktur akan merangsang pembangunan di suatu daerah sebaliknya pembangunan
yang berjalan cepat akan menuntut tersedianya infrastruktur agar pembangunan tidak tersendat.
Infrastruktur merujuk pada sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase,
bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi (Kodoatie, 2005). Kategori infrastruktur adalah jalan
raya, rel kereta api, pelabuhan laut, bandar udara, alat pengangkutan dan telekomunikasi selain itu
infrastruktur lainnya adalah listrik dan air bersih. Infrastruktur dalam arti luas juga meliputi
infrastruktur lunak seperti normma, nilai, keamanan dan perangkat hukum (Faisal basri, 2002).
The Routledge Dictionary of Economics memberi pengertian yang lebih luas yaitu bahwa
infrastruktur juga merupakan pelayan utama dari suatu negara yang membantu kegiatan ekonomi
dan kegiatan masyarakat sehingga dapat berlangsung yaitu dengan menyediakan transportasi dan
fasilitas yang lainnya. Menurut World Bank Report (2004), infrastruktur dibagi kedalam tiga
golongan yaitu:
• Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang menyediakan jasa dan digunakan dalam
produksi dan konsumsi final meliputi public utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi
dan gas), public works (bendungan, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi
(jalan, kereta api, angkutan pelabuhan dan lapangan terbang)
• Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat
meliputi pendidikan (sekolah da perpustakaan), kesehatan (rumah sakit, pusat kesehatan)
serta untuk rekreasi (taman, museum dan lainnya)
• Infrastruktur administrasi atau institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi
dan koordinasi serta kebudayaan.
1.1.3 Pembangunan Infrastruktur Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan merupakan hal penting dalam sebuah negara. Pendidikan menjadi kunci dasar
dari pembangunan sebuah negara itu sendiri. Sebuah negara tanpa adanya pendidikan sama halnya
4. 3
dengan tumbuhan tak berpupuk, dimana masyarakatnya tidak bisa berkembang dan hanya akan
dibodohi oleh negara lainnya. Oleh karena itu kita harus selalu memperhatikan dan mementingkan
pendididkan di negara kita. Tidak hanya menyelengarakan pendidikan saja, akan tetapi kita harus
memperhatikan kualitas pendidikan dan aspek lainya seperti infrastruktur pendidikan, kurikulum
pendidikan, kualitas tenaga pendidik dan lainya yang mendukung keberhasilan sebuah pendidikan.
Karena dalam melaksanakan sebuah pendidikan dibutuhkan kesiapan baik secara fisik maupun non
fisik, persiapan fisik yang dimaksudkan adalah kesiapan infrastruktur pendidikan seperti gedung
sekolah dan lainya. Sedangkan persiapan non fisik adalah kemampuan guru, kurikulumyang
digunakan, psikologi anak dan lainya. Kedua aspek ini harus terprnuhi guna menujang pelaksanaan
pendidikan yang maksimal dan berkualitas
Kualitas infrastruktur pendidikan merupakan aspek utama dalam mendukung pelaksanaan
pendidikan yang baik dan berkualitas. Kualitas infrastruktur yang baik akan menunjang pelaksanaan
pendidikan yang maksimal, infrastruktur pendidikan inilah yang nantinya akan berperan untuk
memfasilitasi pelaksanaan pendidikan. Fasilitas ini nantinya akan dimanfaatkan dalam
melaksanakan pembelajaran siswa sehingga tujuan yang dicapai akan terlaksana dengan baik, selain
didukung dengan kurikulum yang ada. Namun sebaliknya jika kualitas infrastuktur pendidikan yang
buruk inilah menjadi kendala utamanya, tak terkecuali pendidikan di Indonesia selama ini
Infrastruktur berkelanjutan merupakan sebuah konsep dari pembangunan infrastruktur
dengan memperhatikan keseimbangan antara memenuhi kebutuhan infrastruktur pada masa
sekarang dan masa yang akan datang (Iwan et al, 2008). Dengan demikian dalam pembangunan
infrastruktur berkelanjutan perlu memperhatikan dan mengintegrasikan tiga aspek keberlanjutan
meliputi keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sumber daya. Melalui keberlanjutan ekonomi
diharapkan kegiatan ekonomi dapat terus berjalan dan berkembang untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia,meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, mengurangi jumlah
pengangguran serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik dari aspek pendidikan
maupun kesehatan.
Guna mendukung tujuan pendidikan berkelanjutan, maka pembangunan infrastruktur
pendidikan seyogyanya juga menerapkan prinsip berkelanjutan agar capaian-capaian dalam
pendidikan dapat berlanjut dan bermanfaat dalam jangka waktu yang lama. Dalam sektor
pendidikan, Millenium Development Goals (MDGs) mempunyai sebuah target pembangunan
berkelanjutan di bidang pendidikan, dimana diharapkan pada tahun 2015, seluruh anak – anak di
seluruh dunia, tanpa memandang laki-laki atau perempuan, harus dapat memperoleh akses
pendidikan dasar dan mampu menyelesaikan pendidikan dasar tersebut (Ngwaru dan Oluga, 2016).
Akses pendidikan dasar global tanpa memandang status sosial dan kemampuan ekonomi menjadi
salah satu indikator untuk mengukur adanya prinsip keberlanjutan di sektor pendidikan.
I.2 Perkembangan Pelayanan Sekolah Menengah Atas di Jawa Tengah
1.2.1 Perkembangan Jumlah SMA Jawa Tengah
Perkembangan jumlah SMA di Jawa Tengah dalam 10 tahun sejak tahun 2006 hingga 2015
menunjukkan adanya perkembangan kurang lebih 2 % tiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlah SMA
di Jawa Tengah sebesar 1.702 sekolah, sementara pada tahun 2015 jumlah sekolah telah mencapai
2.261 sekolah. Adanya pertumbuhan jumlah sekolah merupakan indikasi positif pelayanan yang
meningkat. Namun untuk mengatakan dan menjustifikasi pertumbuhan sekolah sebagai bentuk
5. 4
pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan masih harus dibuktikan dan dibandingkan dengan
jumlah dan pertumbuhan siswa.
Gambar 2.
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka 2006-2016
1.2.2 Perkembangan Jumlah Siswa SMA Jawa Tengah
Perkembangan jumlah siswa SMA di Jawa Tengah dalam 10 tahun sejak tahun 2006 hingga
2015 juga menunjukkan adanya perkembangan kurang lebih 2 % tiap tahunnya. Pada tahun 2006
jumlah siswa SMA di Jawa Tengah sebesar 825.857 siswa, sementara pada tahun 2015 jumlah siswa
mencapai 1.014.073 siswa. Trend pertumbuhan siswa ini sejalan dengan pertumbuhan jumlah
sekolah, namun untuk mengetahui status keberlanjutan pelayanan pendidikan sekolah menengah
atas, data ini harus dianalisis lebih lanjut dengan data jumlah sekolah melalui analisis varians.
Gambar 3.
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka 2006-2016
0
500
1000
1500
2000
2500
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Perkembangan Jumlah SMA di Jawa Tengah
2006-2015
0
200000
400000
600000
800000
1000000
1200000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Perkembangan Jumlah Siswa SMA di Jawa
Tengah
2006-2015
6. 5
I.3 Tujuan Kajian
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui status keberlanjutan (sustainability) dari
penyediaan infrastruktur pendidikan sekolah menengah atas di Jawa Tengah menggunakan analisis
regresi sederhana per kabupaten.
I.4 Data dan Metode
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data jumlah SMA per kabupaten/kota dan data
jumlah siswa SMA per kabupaten/kota per tahun selama 10 tahun di Provinsi Jawa Tengah. Sumber
data yang digunakan berasal dari publikasi Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka mulai publikasi tahun
2007 sampai tahun 2016, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah.
Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis regresi linier untuk melihat
kecenderungan perkembangan pelayanan pendidikan menengah ke atas dibandingkan dengan
jumlah siswa yang ada. Selain analisis regresi, dilakukan juga uji hipotesis menggunakan uji F
berdasarkan hasil pengamatan nilai F pada tabel ANOVA yang dihasilkan dari analisis regresi. Hasil
uji F akan memberikan informasi signifikansi dan kesimpulan dari hubungan antar dua variabel di
atas. Kesimpulan uji hipotesis akan digunakan untuk menentukan pelayanan pendidikan menengah
ke atas di Provinsi Jawa Tengah sudah mempertahankan prinsip keberlanjutan atau tidak.
II. Analisis Pelayanan Pendidikan Sekolah Mengengah Atas di
Jawa Tengah untuk Mengetahui Aspek Keberlanjutan
Pelayanan Pendidikan.
II.1 Asumsi, Pemilihan Variabel dan Hipotesis
Salah satu target dalam pembangunan pendidikan berkelanjutan menurut Millenium
Development Goals adalah setiap anak dapat mengakses pendidikan dasar dan mampu
menyelesaikan pendidikan tersebut. Prinsip ini dapat diterapkan untuk setiap jenjang pendidikan
apabila diperlukan. Dalam hal ini, prinsip ini dapat diterapkan untuk mengukur kinerja pelayanan
pendidikan tingkat menengah atas di Provinsi Jawa Tengah yang menjadi lokasi kajian.
Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data jumlah siswa dan jumlah sekolah dalam
kurun waktu 10 tahun (2006-2015). Dari kedua data tersebut akan dilihat apakah setiap siswa dapat
mengakses pendidikan dengan baik, melalui indikator kesesuaian antara peningkatan jumlah
sekolah dan peningkatan jumlah siswa. Dalam hal ini, kami mengasumsikan bahwa jika jumlah siswa
meningkat, maka jumlah sekolah juga harus meningkat agar prinsip keberlanjutan tetap tercapai.
Dengan demikian, maka variabel bebas dalam kajian ini adalah jumlah siswa. Sedangkan variabel
terikat adalah jumlah sekolah.
Hipotesis yang digunakan dalam kajian ini adalah hipotesis mengenai hubungan antara
variabel jumlah siswa dan jumlah sekolah yang dinyatakan sebagai berikut:
h0 : Tidak ada pengaruh jumlah siswa terhadap jumlah sekolah
h1 : Jumlah siswa berpengaruh terhadap pertumbuhan jumlah sekolah
7. 6
II.2 Hasil Analisis
Dari analisis yang telah dilakukan, tidak semua kabupaten/kota di Jawa Tengah
menunjukkan adanya prinsip keberlanjutan dalam pelayanan pendidikan menengah ke atas.
Rekapitulasi hasil analisis terhadap data 10 tahun disajikan dalam Tabel 1 dan Gambar 4 di bawah
ini.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis 10 tahun
Kabupaten Koefisien
Korelasi
F Hitung F
tabel
Signifikansi Hasil Uji
Hipotesis
Interpretasi
Cilacap 0,57 10,625 12,25 0,12 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Banyumas 0,759 25,262 12,25 0,001 H1 diterima Berkelanjutan
Purbalingga 0,854 46,906 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Banjarnegara 0,962 200,045 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Kebumen 0,678 16,857 12,25 0,003 H1 diterima Berkelanjutan
Purworejo 0,26 0,213 12,25 0,657 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Wonosobo 0,893 66,954 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Magelang 0,905 76,081 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Boyolali 0,213 2,162 12,25 0,18 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Klaten 0,159 1,517 12,25 0,253 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Sukoharjo 0,487 7,609 12,25 0,025 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Wonogiri 0,846 43,854 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Karanganyar 0,277 3,059 12,25 0,118 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Sragen 0,303 3,484 12,25 0,099 H1 ditolak Tidak Berkelanjutan
Grobogan 0,944 133,674 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Blora 0,934 113,047 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Rembang 0,967 234,581 12,25 0,000 H1 diterima Berkelanjutan
Pati 0,883 60,393 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Kudus 0,661 15,577 12,25 0,004 H1 diterima berkelanjutan
Jepara 0,993 1,173,776 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Demak 0,705 19,074 12,25 0,002 H1 diterima berkelanjutan
Semarang 0,575 10,815 12,25 0,011 H1 ditolak tidak berkelanjutan
Temanggung 0,919 90,269 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Kendal 0,952 157,663 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Batang 0,921 93,595 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Pekalongan 0,981 413,727 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Pemalang 0,746 23,438 12,25 0,001 H1 diterima berkelanjutan
Tegal 0,98 383,325 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Brebes 0,799 31,827 12,25 0,000 H1 diterima berkelanjutan
Kota Magelang 0,463 6,904 12,25 0,03 H1 ditolak tidak berkelanjutan
Kota Surakarta 0,106 0,947 12,25 0,359 H1 ditolak tidak berkelanjutan
Salatiga 0,114 1,025 12,25 0,341 H1 ditolak tidak berkelanjutan
Kota Semarang 0,775 27,57 12,25 0,001 H1 diterima berkelanjutan
Kota Pekalongan 0,814 34,906 12,25 0 H1 diterima berkelanjutan
Kota Tegal 0,658 15,412 12,25 0,004 H1 diterima berkelanjutan
8. 7
Gambar 4. Sebaran Lokasi Kabupaten/Kota dan Status Berkelanjutan
II.3 Pembahasan Hasil Analisis
Hasil analisis regresi dan signifikansi menggunakan Tabel ANOVA dan Uji F menunjukkan
bahwa dalam 10 tahun, tidak semua kabupaten di Jawa Tengah telah mempunyai tingkat pelayanan
pendidikan yang berkelanjutan. Beberapa kabupaten kota yang belum menerapkan prinsip
keberlanjutan dalam pelayanan pendidikan antara lain Kabupaten Cilacap, Purworejo, Boyolali,
Semarang, Klaten, Sukoharjo, Surakarta, Karanganyar, Sragen, Kota Salatiga dan Kota Magelang.
Sementara kabupaten kota lainnya telah menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, dimana
secara umum peningkatan jumlah siswa juga diimbangi dengan peningkatan jumlah sekolah.
Penyebab umum dari ketidakberlanjutan beberapa kabupaten di Jawa Tengah disebabkan
oleh dua faktor. Pertama, jumlah sekolah mengalami fluktuasi jumlah (naik-turun), sementara
jumlah siswa cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kedua, ketidakberlanjutan juga disebabkan
adanya peningkatan jumlah sekolah, tetapi jumlah siswa terus menurun dari tahun ke tahun.
Menurunnya jumlah siswa ini besar kemungkinan disebabkan berbagai faktor di luar sektor
pendidikan, seperti dinamika demografi (pertumbuhan penduduk alami dan migrasi), persepsi
layanan pendidikan yang kurang baik di masyarakat (sehingga masyarakat lebih memilih mengambil
pendidikan di wilayah lain).
Dilihat dari pola spasial yang terbentuk dari peta di Gambar 4. Kabupaten-kabupaten yang
tidak berkelanjutan terkumpul dalam dua konsentrasi wilayah, yaitu poros Cilacap -Purworejo yang
memanjang di Kawasan Pantai Selatan Jawa Tengah, dan klaster Solo Raya yang terdiri dari
9. 8
Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Sragen, Semarang, Boyolali dan Kota Surakarta. Kota Magelang
menjadi satu-satunya wilayah tidak berkeberlanjutan yang tidak mengumpul di dua kelompok
konsentrasi tersebut.
Jika dilihat dari dinamika jumlah sekolah dan jumlah siswa di poros Cilacap -Purworejo,
setiap kabupaten memiliki dinamika yang berlainan. Di Cilacap jumlah sekolah cenderung naik dari
tahun ke tahun, sementara jumlah siswanya fluktuatif.. Di Purworejo jumlah siswa cenderung naik
dari tahun ke tahun, tetapi jumlah sekolah cenderung menurun. Purworejo jelas merupakan
kabupaten yang paling tidak sustainable karena peningkatan jumlah siswa tidak diimbangi dengan
peningkatan jumlah sekolah. Di antara dua kabupaten tersebut terdapat Kabupaten Kebumen yang
menunjukkan adanya keberlanjutan. Namun demikian, nilai F nya cukup rendah sehingga kinerja
keberlanjutannya mungkin bisa dikatakan lemah. Di Kebumen jumlah sekolah cenderung fluktuatif
dengan jumlah siswa juga fluktuatif, walaupun kecenderungan umum dua variabel tersebut sama –
sama mengalami peningkatan dalam 10 tahun. Perbedaan dinamika di tiga kabupaten tersebut
memerlukan intervensi kebijakan yang berlainan sesuai dengan dinamika yang ada.
Kabupaten – kabupaten yang tidak berkeberlanjutan di kawasan klaster Solo Raya hingga
Salatiga memiliki dinamika jumlah sekolah dan jumlah siswa yang fluktuatif dalam 10 tahun,
sehingga hubungan antar kedua variabel di kabupaten-kabupaten tersebut lemah dan kurang
signifikan. Trend awal dan akhir periode observasi (tahun 2006 dan tahun 2015) memang
menunjukkan adanya peningkatan drastis jumlah sekolah dan jumlah siswa, namun dalam
perjalanannya 10 tahun mengalami naik – turun sehingga hubungannya tidak dapat diketahui
dengan jelas. Namun demikian, fakta bahwa kabupaten-kabupaten yang tidak berkelanjutan di
sektor pendidikan yang mengumpul di satu kawasan ini menunjukkan ada faktor kewilayahan yang
berpengaruh, hanya untuk mengetahui penyebabnya perlu dilakukan kajian lebih rinci dan lebih
mendalam.
II.4. Permasalahan Kualitas dan Kuantitas Pendidikan di Jawa Tengah
dan Solusinya.
Permasalahan pendidikan, sebagaimana nampak dari hasil analisis sektor pendidikan
selama 10 tahun di Jawa Tengah, merupakan suatu kendala yang menghalangi tercapainya tujuan
pendidikan. Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa
yang terjadi, jika apa yang terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan
maka masalah pendidikan telah terjadi. Masalah – masalah pendidikan di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi kuantitas, kualitas, efisiensi, efektifitas dan relevansi pendidikan.
1. Masalah kuantitas pendidikan
Jumlah calon murid yang masuk ke satuan pendidikan dan hubungannya dengan daya
tampung yang ada.
Pemerataan dan perluasan belajar bagi anak – anak cacat, kurang mampu,
gelandangan/pengemis dan di daerah terpencil.
Masih mahalnya biaya pendidikan
Solusi yang dapat diberikan dari permasalahan masalah kualitas pendidikan ini adalah:
Kebijakan kependudukan yang sukses
Peranan masyarakat yang baik
Pendidikan di daerah terpencil
Penambahan dan rehabilitasi ruangan sekolah
10. 9
2. Masalah Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan juga menurun disebabkan karena kurang kompetennya para pengajar,
kecuali guru – guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang
mereka ajarkan, Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan
hancur mengingat banyak guru – guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan, terutama
bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang
terpenting adalah ilmu terapan yang benar – benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak
masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada
umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Solusi yang dapat diberikan dari permasalahan masalah kualitas pendidikan tersebut adalah:
Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap
masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka
partisipasi.
Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti
ketidakmerataan di desa dan kota, serta gender.
Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru
dan dosen, serta meningkatkan nilai rata – rata kelulusan dalam ujian nasional.
Langkah keempat, menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau
profesi sekolah kejuruan, untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
Langkah kelima, membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan
perpustakaan di sekolah – sekolah.
Langkah keenam, meningkatkan anggaran pendidikan.
Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas
pendidikan.
3. Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses pengubahan atau transformasi
masukan produk (raw input) menjadi produk (output). Salah satu cara menentukan mutu
transformasi pendidikan adalah mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikan (educational
wastage), dalam arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yang putus sekolah,
mengulang atau selesai tidak tepat waktu. Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang
memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus, berarti ada masalah dalam
efisiensi pendidikan. Solusi untuk peningkatan efisiensi pendidikan antara lain:
o Meningkatkan anggaran pendidikan.
o Menjaring siswa – siswa yang memang memiliki potensi kemudianmemberikan bantuan
pembiayaan pendidikan agar tetap dapat melanjutkan sekolahnya, dan tetap dapat
menikmati fasilitas pendidikan.
o Meningkatkan kualifikasi guru/ dosen.
o Penataran bagi para pengelola satuan pendidikan tentang administrasi dan segala
sesuatu tentang pendidikan.
11. 10
4. Masalah Efektivitas Pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio antara tujuan pendidikan dengan
dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh mana tingkat kesesuaian antara apa yang
diharapkan dengan apa yang dihasilkan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan
merupakan proses yang bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa
kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun belum menunjukkan
kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang diharapkan, berarti adalah masalah
dengan efektivitas pendidikan. Contoh solusi terhadap masalah efektivitas pendidikan antara lain:
Meningkatkan kualifikasi guru/ dosen agar mencetak siswa/ mahasiswa yang
lulusannya berkompeten, sehingga mampu menunjukkan kemampuan dirinya dan
berkualifikasi.
Meningkatkan kualifikasi institusi dengan melakukan penilaian secara lebih rutin
apakah program yang dijalankan institusi tersebut telah memenuhi kriteria sebagai
institusi yang siap mencetak siswa – siswa yang berkompeten.
Meningkatkan penggunaan teknologi informasi agar selalu cepat dan tanggap terhadap
perkembangan pendidikan.
5. Masalah Relevansi Pendidikan
Relevansi pendidikan ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan
pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan
tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah relevansi terlihat dari
banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan
teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui
dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan
tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja. Solusi untuk penyelesaian permasalahan
relevansi pendidikan antara lain:
Meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta
meningkatkan nilai rata – rata kelulusan agar siswa/ mahasiswa lebih semangat dalam
proses pembelajaran.
Menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan,
untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
Meningkatkan kualifikasi institusi dengan melakukan penilaian secara lebih rutin
apakah program yang dijalankan institusi tersebut telah memenuhi kriteria sebagai
institusi yang siap mencetak siswa – siswa yang berkompeten.
Kerjasama dengan masyarakat industri.
Penyesuaian kurikulum dengan kubutuhan lulusan.
III. Kesimpulan
Beberapa problem solving/solusi dari permasalahan kualitas dan kuantitas pendidikan di
Indonesia atau di Jawa Tengah adalah dengan memeratakan dua aspek inti, yaitu equality
(persamaan) dan equity (keadilan). Dua aspek itu inti solusi dari problematika pendidikan dewasa
ini, karena bila kualitas dengan kuantitas kompatibel dengan pemerataan equality (persamaan) dan
equity (keadilan), maka akan menghasilkan sinergisasi yang memadai dan harmonis. Jika
harmonisasi, interelasi antara kualitas dan kuantitas dirancang, maka problematika pendidikan di
negara kita tidak akan menjadi wacana lagi. Tentu saja, karena bila infrastruktur (mengenai
12. 11
prasarana dan sarana), mutu (kualitas) pendidikan (mencakup guru/pengajar, kurikulum/sistem),
jumlah (kuantitas) siswa/pelajar, dana/anggaran (yang rendah tapi kompatibel mencangkup
seluruh aspek), rasio kesempatan pendidikan dengan jumlah penduduk (siswa/pelajar) tertampung,
dan daya saing siswa/pelajar yang kompeten diberdayakan secara kontinu dengan merata, koheren,
kompatibel, maka keajegan harmonisai pun tercipta, serta problematika yang ada akan
terminimalisir secara bertahap, yang pada akhirnya akan menjadikan harmonis dan kompatibelnya
interelasi antara kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan yang menjadi pusat dari segala lingkaran sistem peraturan yang ada, hendaknya
mengawali rekonstruksi pembangunan sistem pendidikan agar menjadi normal kembali. Pada tahap
kedua setelah pemerintah telah menciptakan harmonisasi, dan rekonstruksi untuk pendidikan,
maka masyarakat (siswa, pelajar, mahasiswa, masyarakat umum) mendukungnya dengan cara
menerapkan sistem, dan menyesuaikan kebijakan yang akan dicanangkan pemerintah.
13. 12
Daftar Pustaka
Bafadal, I. 2008. Manajemen Sarana Dan Prasarana Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara
Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Budihardjo, E. & Sujarto, D. 1999. Kota Berkelanjutan, Bandung: Alumni.
Field, A. 2005. Discovering Statistics Using SPSS 2nd Edition. London: Sage.
Minarti, S. 2011. Manajemen Sekolah: Mengolah Lembaga Pendidikan Secara Mandiri. Yogyakarta: Ar-
Razz Media.
Iwan, P. K. 2008. Essays in Sustainable Transportation. Bandung: ITB.
Kodoatie, R. J. 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ngwaru, J. M., & Oluga, M. (2016). Educational Infrastructure and Resources for Sustainable Access
to Schooling and Outcomes: The Case of Early Literacy Development in Southern Tanzania.
Africa Education Review, 12 (1), 88-108.
World Bank. 1994. Infrastructure for Development. World Bank Development Report 1994. New York:
Oxford University.
15. 14
LAMPIRAN II. Contoh Hasil Analisis
Tidak Berkelanjutan
(Kabupaten Cilacap)
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the
Estimate
1 .755a .570 .517 3.358
a. Predictors: (Constant), Cilacap_Jumlah_murid
b. Dependent Variable: Cilacap_jumlah_sekolah
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 119.798 1 119.798 10.625 .012b
Residual 90.202 8 11.275
Total 210.000 9
a. Dependent Variable: Cilacap_jumlah_sekolah
b. Predictors: (Constant), Cilacap_Jumlah_murid
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 72.230 8.281 8.722 .000
Cilacap_Jumlah_murid .001 .000 .755 3.260 .012
a. Dependent Variable: Cilacap_jumlah_sekolah
2006
2007
2008200920102011
20122013
20142015
90
92
94
96
98
100
102
104
106
108
0 10000 20000 30000 40000 50000 60000
JumlahSekolah
Jumlah Siswa
Plot Jumlah Siswa dan Jumlah Sekolah
Kabupaten Cilacap
16. 15
Berkelanjutan
(Kabupaten Banyumas)
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .871a .759 .729 3.552
a. Predictors: (Constant), Banyumas_Jumlah_murid
b. Dependent Variable: Banyumas_jumlah_sekolah
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1
Regression 318.681 1 318.681 25.262 .001b
Residual 100.919 8 12.615
Total 419.600 9
a. Dependent Variable: Banyumas_jumlah_sekolah
b. Predictors: (Constant), Banyumas_Jumlah_murid
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 17.747 15.173 1.170 .276
Banyumas_Jumlah_murid .002 .000 .871 5.026 .001
a. Dependent Variable: Banyumas_jumlah_sekolah
2006200720082009
2010
2011
2012
2013
20142015
60
65
70
75
80
85
90
95
100
105
110
40000 42000 44000 46000 48000 50000 52000 54000 56000
JumlahSekolah
Jumlah Siswa
Hubungan Jumlah Siswa dan Jumlah Sekolah
Kabupaten Banyumas