Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Pendidikan anti korupsi
1. KRISTALISASI PENDIDIKAN ANTIKORUPSI SEJAK DINI
Oleh Bahrur Rosyidi Duraisy
Usaha struktural pemberantasan korupsi memang sudah dicanangkan oleh
pemerintah. Sejak era reformasi, mahasiswa berteriak lantang hapuskan
korupsi dari tiap relung sistem tata negara Indonesia. Pemerintah, dengan
mental reaktifnya, turut pula mengiyakan. Namun, dalam implementasinya,
tindakan pemerintah masih jauh dari harapan.
“Kristalisasi” Pendidikan Antikorupsi
Maraknya kasus korupsi di Indonesia, kesadaran optimalisasi menanamkan nilai-nilai anti
korupsi sejak usia dini, merosotnya nilai moral warga negara, optimalisasi penanggulangan
korupsi melalui pendidikan, masalah korupsi hanya ditangani secara represif dengan
menjerat koruptor ke penjara, sementara upaya-upaya preventif melalui pendidikan belum
maksimal. adalah beberapa hal yang melatarbelakangi pentingnya “optimalisasi” dalam
menerapkan pendidikan anti korupsi sejak usia dini.
Tujuan dari pendidikan anti korupsi antara lain: pertama, untuk memberikan pemahaman
yang komprehensif tentang korupsi baik kepada siswa, kepala sekolah, guru, dan staf
administrasi, kedua, agar siswa kelak di kemudian hari tidak melakukan korupsi karena
dapat merugikan orang lain dan korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit mental, ketiga,
Sebagai upaya pencegahan atau preventif secara dini akan bahaya-bahaya korupsi dan
menciptakan budaya antikorupsi yang dimulai dari sekolah, keempat, sebagai upaya untuk
memperkuat dan pengamalan pendidikan agama dan PKn dalam kehidupan di sekolah dan
masyarakat, keenam, mendidik generasi penerus yang memiliki sifat jujur, ketujuh, mendidik
siswa untuk mempunyai pola hidup yang penuh tanggung jawab dan hati-hati baik dalam
ucapan maupun tindakan, kedelapan, Sebagai upaya pendidikan ahklaq yang nyata dalam
kehidupan siswa di sekolah.
Dari analisis terhadap perkembangan pendidikan anti korupsi di Indonesia sampai dengan
saat ini, dapat dikatakan bahwa baik dalam tataran konseptual maupun dalam tataran
praktis terhadap kelemahan paradigmatik yang sangat mendasar. Dan yang paling menonjol
adalah kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan anti korupsi, penekanan yang sangat
berlebihan terhadap proses pendidikan moral yang behavioristik, ketakkonsistenan
penjabaran dimensi tujuan pendidikan nasional ke dalam kurikulum pendidikan anti korupsi,
dan keterisolasian proses pembelajaran nilai pancasila dengan konteks disiplin keilmuan
dan sosial-budaya. Keadaan ini tampaknya disadari oleh para pakar dan pengambil
keputusan pendidikan sebagai suatu tantangan yang perlu segera dijawab. Lebih-lebih lagi
karena pada saat ini berbagai perubahan dalam koridor pendemokratisasian pendidikan,
termasuk gagasan untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan demokrasi mulai
mengkristal dalam upaya pengembangan paradigma baru Pendidikan Anti Korupsi.
Perubahan sistem konstitusi dari demokrasi ke era reformasi membawa dampak yang luar
biasa terhadap perkembangan moral suatu bangsa. Oleh karena itu tugas dan tanggung
jawab guru bukan hanya membentuk anak agar menjadi pandai, akan tetapi guru juga
berkewajiban membentuk jati diri anak bangsa agar mampu menanamkan watak dan prilaku
yang mencerminkan nilai-nilai moral yang baik dan bertanggung jawab.
Berkenaan dengan moral bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis moral, peseta didik
mendambakan sesosok figur yang mampu dijadikan tauladan baik dalam sikap maupun
perbuatan, oleh karena itu guru berkewajiban memberikan contoh yang baik kepada peserta
didiknya agar tidak terjadi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
2. Dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pemerintah berharap agar
guru benar-benar menjadi figur yang dijadikan panutan oleh anak-anaknya dalam kehidupan
yang nyata, di samping itu guru sebagai sosok terdepan dalam mengelola pendidikan
ditingkat mikro diberikan wewenang penuh untuk berinovasi dalam upaya memberikan
format terbaik kepada siswa agar pembelajaran berjalan dengan baik dan efisien sesuai
dengan tujuan yang diharapkan.
Pendidikan anti korupsi ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta didik.
Setidaknya, ada dua tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini. Pertama,
Untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Melalui pendidikan ini,
diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan
tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga pekerjaan membangun bangsa yang
terseok-seok karena adanya korupsi di masa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah
diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. Kedua,
Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak
hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan tanggung jawab setiap
anak bangsa. Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat peserta didik
mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan
diterima kalau melakukan korupsi. Orang-orang yang terlibat kasus korupsi juga bisa
dikonsumsi dalam pembelajaran di sekolah sebagai “penjahat negara”, yang namanya bisa
ditemukan di buku-buku pelajaran di sekolah. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang
sadar dan memahami bahaya korupsi, bentuk-bentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang
akan diterima jika melakukan korupsi.
Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik di semua tingkat
institusi pendidikan, diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa ini tentang korupsi.
Bukankah selama ini sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai
sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi, dan termasuk hal-hal kecil?. Sering terlambat
dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, kantor dan sebagainya. Contoh
lain, kebiasaan tidak mau repot. Ketika ditilang oleh polisi lalu lintas, tanpa pikir panjang dan
tidak mau repot untuk sidang di pengadilan kemudian mengajukan tawar-menawar.
Perbuatan ini banyak sekali ditemukan di jalan raya, dan menjadi lazim. Sehingga memang
diperlukan edukasi bahwa perbuatan suap tersebut, termasuk korupsi yang merugikan
negara. Di sinilah optimalisasi pendidikan anti korupsi yang diselenggarakan secara terpadu
di semua tingkatan institusi pendidikan.
Namun kita juga harus melihat secara bijak dan hati hati. Perlu dicari metode yang baik
sehingga mata ajaran ini bisa diterima oleh para siswa. Sebab bila mata ajaran ini terlalu
dipaksakan maka dikhawatirkan itu malah akan membebani anak didik setelah saat ini
peserta didik sudah demikian sesak dengan mata pelajaran yang harus dipelajari dan
diujikan. Karena itu, pengajaran pendidikan antikorupsi ini pendekatannya bersifat terbuka,
dialogis, dan diskursif sehingga mampu merangsang kemampuan intelektual siswa dalam
bentuk keingintahuan, sikap kritis dan berani berpendapat.
Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini, tatacara pengajaran tradisional mestinya
dihilangkan. Siswa bukan obyek di mana mereka diisi dengan segala macam informasi dan
nasihat dan setelah itu dituntut mengeluarkannya kembali. Penanaman karekter dan
pemberian pendidikan antikorupsi harus dilakukan sebagai upaya pencegahan sedini
mungkin, khususnya kepada kalangan generasi muda.
Penulis:Mahasiswa Pascasarjana TEP Universitas Negeri Malang, Selain aktif sebagai pendidik, penulis juga
aktif di bidang Pengembangan Potensi ICT Pada Masyarakat Pinggiran.