Makalah ini membahas tentang teori studi Al-Quran dan model-model penafsiran Al-Quran. Pembahasan dimulai dengan pengertian tafsir dan takwil, kemudian dijelaskan perbedaan dan persamaannya. Selanjutnya dijelaskan teori-teori studi Al-Quran seperti pengertian tafsir, takwil, dan model-model penafsiran Al-Quran seperti tafsir literal, tematik, dan lain-lain.
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang masalah
Telah kita ketahui islam di zaman modern ini mendapatkan perhatian yang
lebih, baik dari umat islam itu sendiri maupun dari masyarakat dunia umumnya.
Perkembangan islam sekarang cukup menggembirakan , islam banyak dikaji dan
diteliti oleh banyak orang, hal ini muncul mungkin karena bertumpu pada
keyakinan bahwa dengan memahami islam secara kualitatif dan kuantitatif,
seseorang dapat menghadapi berbagai problema-problema kehidupan yang
semakin komplek. Karena kita ketahui juga islam adalah satu-satunya agama yang
memberikan jawaban atas berbagai macam problema-problema kehidupan
manusia.
Salah satu hal yang juga menyebabkan orang-orang mulai berpaling pada
islam adalah, mulai rontoknya paham atau ideologi komunis di eropa timur, dan
juga karena mulai terlihatnya tanda-tanda kegagalan sistim kehidupan kapitalisme
yang dulu sempat di agung-agungkan. Hal-hal di atas semakin menggiring
perhatian orang-orang terhadap islam, sebagai satu-satunya alternatif kehidupan
yang menawarkan penyelesaiaan bagi problema-problema yang tidak dapat
diselesaikan dengan paham atau ideologi-ideologi yang mereka yakini
sebelumnya. Islam juga satu-satunya alternatif yang menawarkan kedamaian,
keharmonisan, dan kesejahteraan secara total untuk umat manusia.
Penyelesaian dari problema diatas dapat diperoleh melalui pengkajian
terhadap islam secara benar, yaitu pengkajian secara sistematik dan
komperehensif. Pemahaman diatas hanya akan muncul jika kita memilki
pemahaman yang tepat terhadap dua pokok sumber kajian islam yaitu al-qur‟an
dan hadits. Pada penjelasan inilah kami akan memfokuskan tulisan kami, yaitu
pada alqur‟an sebagai studi keislaman.
1
2. Sekian latar belakang penulisan makalah ini, dengan segala kekurangan
yang mungkin akan dijumpai dalam makalah ini, kami masih berharap kiranya
makalah ini dapat member sedikit manfaat bagi kita semua.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diutarakan sebelumnya, kiranya dapat
diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa itu tafsir dan takwil ?
1.2.2 Model model penafsiran al qur‟an ?
1.3 Tujuan penulisan
Pertama-tama tentunya tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas matakuliah metodologi studi islam, namun selain itu kami
menulis makalah ini dikarenakan betapa pentingnya bagi kita untuk mengetahui
bagaimana teori-teori untuk mempelajari Al qur‟an, karena alqur‟an sebagai
sumber rujukan utama untuk berbagai macam permasalahan dalam kehidupan
1.4 Manfaat penulisan
Adapun manfaat yang sekiranya akan didapatkan dari karya ilmiah ini adalah
sebagai berikut :
1.4.1 Mengetahui teori studi al qur‟an
1.4.2 Mengetahui macam-macam model penafsiran al qur‟an
2
3. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori studi Al qur‟an
2.1.1 Pengertian Tafsir Dan Takwil
Pada mulanya tafsir dan takwil dipahami sebagai dua kata yang memiliki
makna sinonim, kemudian keduanya dibedakan seiring dengan perkembangan ilmu-
ilmu Al-Quran pada kurun waktu awal hijriah. Kedua istilah ini dipahami sebuah
kegiatan dalam rangka menggali dan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran.
Pada masa Rasulullah, tafsir dan takwil dianggap sama (mutaradif), karena memang
memiliki otoritas penuh dalam menjelaskan isi Al-Quran adalah Rasulullah.
2.1.2 Pengertian Tafsir
Tafsir secara etimologi adalah penjelasan terhadap satu kalimat ( eksplanasi
dan klarifikasi ) yang juga mengandung pengertian penyingkapan, penunjukan dan
keterangan dari maksud satu ucapan atau kalimat.1
Tafsir secara terminologi, banyak pendapat-pendapat para ulama mengenai
definisi tafsir antara lain :
1. Menjelaskan kalam allah, dengan kata lain berfungsi sebagai penjelas
bagi lafal-lafal al qur‟an dan maksud-maksudnya.
2. Mengungkapkan makna-makna al qur‟an dan menjelaskan
maksudnya.2
3. Imam az Zarkasyi berpendapat bahwa tafsir adalah :
1
Agama, Kementrian RI.2010.Al-Quran dan Tafsirnya., h. 17
2
Muhammad bin sulaiman al khafiji, At Taisir Fi Qawa‟id „Ilm Tafsir ( Beirut: Darul-Qalam, 1990),
Cet ke 1, h. 124
3
4. Pengetahuan untuk memeahami kitabullah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad saw, dengan menjelaskan makna
maknanya, mengeluarkan/menggali hukum-hukum dan hikmah-
hikmahnya.
2.1.3 Pengertian takwil
Lafadz takwil timbul beriringan dengan lafadz tafsir dalam pembahasan
tentang al-qur‟an dikalangan para ahli tafsir, mereka menggangap takwil pada intinya
sama dengan tafsir dari segi makna masing-masing, kedua kata tersebut menjelaskan
tentang makna suatu lafadz tertentu dan berusaha mengungkap dibalik makna
tersebut.
Penulis kitab Al-Qomus mengatakan “Seseorang menakwilkan suatu ucapan
artinya ia merenungkannnya, mengira-ngira, dan menafsirkannya”. Apabila kiita
memperhatikan kata takwil dan juga pemakaiannya dalam Al-Qur‟an, maka kita akan
mendapatknya memiliki makna lain yang tidak sama dengan makna terminologis dari
kata „Tafsir‟.
Al-qur‟an tidak membedakan antara keduanya kecuali dalam batasan dan
perincian-perincian tertentu. Agar kita memahami makna kata „Takwil‟ maka kita
harus memahami makan Terminologisnya dallam Al-Qur‟an.
Kata takwil dalam Al-qur‟an sebanyak tujuh kali tapi tidak disebutkan dalam
makalah ini:
1. Pada surat An-nnisa Firman Allah Swt : “Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rosulnya dan ulil amri diantaa kamu”. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikannlah ia
kepada Allah dan Rosul, jika kam benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian dan itu lebih utama (Bagi mu) dan lebih baik akibatnya.
2. Pada Surat Yusuf Firman Allah Swt : “Dan demikianlah tuhan mu, memilih
kamu (untuk menjadi nabi) dan diajarkanya kepada mu sebagian dari tabir
mimpi-mimpi dan disempurnakannya nikmat-Nya kepadamu dan kepada
keluarga Yakub, sebagaimana dia telah menyempurnakan umat-Nya kepada
4
5. kedua orang bapak mu sebelum itu, yaitu Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya
Tuhan mu lebih mengetahui lagi maha bijaksana.
3. Pada Surat Al-isra‟ Allah Swt : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya (Ahsanu ta’wila).
4. Pada surat Al-kahfi Allah Swt : “Hidir berkata “ inilah perpisahan antara
aku dengan kamu, aku akan memberitahukan kepada mu tujuan (Takwil)
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Dengan mempelajari ayat-ayat diatas, maka kita kan mengetahui bahwa kata
„Takwil‟ bukan hanya bermakna „Tafsir‟ dan penjelasan tentang makna suatu lafadz
tetapi makan seperti itu hanya terdapat pada ayat yang pertama saja, hal itu karena
takwil pada ayat yang pertama berkaitan dengan ayat-ayat samar (Muttashabih). Oleh
karena itu para ahli tafsir dari ayat ini mengatakan bahwa takwil dari ayat
mutasyabihat berarti adalah tafsir dan penjelasan makna ayat tersebut. Ayat itu
sendiri menunjukan ketidakbolehan menafsirkan ayat-ayat samar.
Ada beberapa ayat dalam Al-qur‟an yang untuk memahaminya sangat sulit
sekali dan tidak ada yang mampu memahami dengan benar kecuali Allah dan orang-
orang yang diberikan kemampuan ilmu dan pemahaman yang tinggi apalagi untuk
menentukan dua kemungkinaan, apakah suatu ayat itu berhenti pada lafadz tertentu
atau berlanjut ke kalimat setelahnya, bagian al-qur‟an yang mudah untuk dipahami
untuk orang awam, maka ayat tersebut adalah ayat yang sedah jelas, makna yang
sesuai dengan ayat-ayat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan penakwilan
sesuatu adalah sesuatu yang dapat ditakwil dan akan berrakhit kepadanya secara
eksternal dan hakiki. Sebagaimana hal itu juga telah dapat kita ketahui dari lafadz itu
sendiri. Oleh karen itu, lafadz „takwil‟ terkadang dinisbatkan kepada Allah dan
Rosulnnya, kepada kitab suci yang lain, kepada mimpi, dan kepada timbangan dan
neraca yang seimbang.
Maka takwil dari ayat-ayat yang samar bukanlah bermakna penjelasann
mengenai maksud ayat tersebut dan bukan juga penafsiran maknanya secara
etimologis. Akan tetapi, makanaya adalah apa yang makna-makna tersebut
ditakwilkan kepadanya karena setiap makna tersebut masih umum kemudian akal
manusia memberikan batasan dan memberikan gambaran khusus. Maka gambaran
inilah yang disebut dengan takwil yang umum tersebut.
Atas dasar penjelasan diatas, pengertian kata „Takwil‟ dalam ayat tersebut
adalah sama dengan yang kami sebut sebagai „Tafsir semantik‟. Itu karena orang-
5
6. orang yang didalam hatinya terdapat kejelekan yang berusaha memberikan batasan
dan gambaran tertentu terhadapa makna-makna dari ayat samar itu. Itu sebagai usaha
untuk menghembusakan fitnah karena sebagian ayat mutasyabih berkaitan dengan
alam ghaib, usaha untuk memberikan batasan makna secara logis dan khusus baik
yang konkrit maupun yang bersandarkan atas hawa nafsu sangatlah rentan dengan
bahaya dan fitnah.
Kita dapat menyimpulkan penjelasan diatas sebagai berikut: Pertama,
bahwasanya lafadz takwil terdapat dalam Al-qur‟an dengan makna segala sesuatu
yang ditakwilkan kepadanya, dan bukan bermakna tafsir. Makna seperti ini
digunakan untuk menunjukan makna tafsir semantik dan bukan tafsir etimologis,
dengan kata lain makna itu dipergunakan dalam makna yang umum dalam gambaran
logis dan khas.
Kedua, bahwasanya kekhususan untuk menakwilkan ayat mutasyabih hanya
bagi Allah dan orang-orang yang diberikan pemahaman ilmu yang baik bukanlah
berarti bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak memiliki makna yang dapat dipahami dan
juga tidak berarti bahwa hanya Allah yang mengetahui maksud lafadz ayat tersebut
dan penafsiranya. Oleh karena itu selama dapat diikuti atau dipahami maka ayat
mutasyyabih tentulah mamilik makna yang dapat dipahami, bagaimana mungkin
bagian dari ayat Al-qur‟an tidak dapat dipahami sedangkan Al-quran adalah petunjuk
pada umat manusia yang memberikan keterangan atas segala sesuatu.
Jika membedakan anatar atafsir terminologis dann tafsir semantik maka kita
akan mengetahui bahwa yang khusus bagi Allah adalah menakwilkan ayat-ayat
mutasyabih dalam arti penafsiran semantik bukan penafsiran terminologis,
demikianlah dari penjelasan diatas bahwa takwil adalah penafsiran makna
terminologis dan pembahasan tentang apa-apa yang ditakwilkan kepadanya dari
pemahaman-pemahaman yang masih umum.
2.1.4 Persamaaan dan Perbedaan Antara Tafsir dan Takwil
Mengenai persamaaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil ini, ada
perbedaaan pendapat di sebagian kalangan ulama.:
Pendapat pertama menyatakan bahwa tafsir dan takwil itu memiliki satu arti,
karena keduanya merupanakan sinonim (muradif) sehingga jika yang satu dan yang
6
7. lainnya digunakan untuk pengertian yang sama. Jika disebut kata tafsir berarti juga
takwil dan jika disebut takwil maka berarti juga tafsir.
Pendapat kedua, menyatakan beberapa pandangan dari sebagian ahli tafsir yang
menentang pengindentikan, apalagi penyamaan antara tafsir dan takwil, seperti yang
dikemukakan abu ubaidah, mereka berpendapat bahwa tafsir itu tidak sama dengan
takwil, namun demikian mereka juga berbeda pendapat dalam mengedepankan sisi
perbedaaanya.
Ar-raghib misalnya berpendirianbahwa makana tafsir lebih umum daripada
takwil, atau sebaliknya, makna takwil lebih khusus daripada tafsir. Istilah tafsir
menurut ar-raghib lebih banyak digunakan dalam konteks lafal dan makna mufradat,
sedang takwil lebih banyak dihubungkan dengan persoalan makna isi dari rangkaian
pembicaraan secara keseluruhan (utuh).3
Abu thalib al-tsa‟labi berpendapat bahwa, tafsir itu menerangkan objek
lafal(redaksi teks) dari sisi pandang hakiki atau majazi. Sedangkan takwil itu
bermaksud menerangkan substansi teks (bathin al lafzh).
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir lebih banyak berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat pendengaran atau periwayatan, sedangkan takwil lebih
banyak dikorelasikan dengan hal-hal yang bersifat penalaran. Seperti pendapatt abu
nashr al-qusyairi yang menyatakan bahwa tafsir hanya terbatas pada ayat al-
qur‟anyang lebih mengandalkan sumber-sumber penglihatan dan pendengaran
berbeda dengan takwil yang pemahamannya lebih banyak bergantung pada hal-hal
yang bersifat ijtihad. Dengan kata lain, tafsir lebih banyak mengacu pada
riwayah(pendengaran), sedangkan takwil pada dirayah (analisis).
2.1.5 Sejarah Tafsir Al-qur‟an
Penafsiran al-qur‟an sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad Saw dan
masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan pada masa yang mendatang,
penafsiran al-qur‟an telah menghabiskan waktu yang sangat penjang dan melahirkan
3
H. Ahmad Izzan, M.Ag Metodologi Ilmu Tafsir
7
8. sejarah yang sangat panjang pula, namun disini kami hanya akan menjelaskna secara
singkat saja tentang sejarah tafsir al-qur‟an.
Sejarah tafsir qur‟an secara garis besar, terdapat 3 periode, periode pertama
adalah periode tafsir di masa Rasulullah Saw, kedua tafsir di masa sahabat, ketiga
tafsir di masa tabi‟in.
A. Periode tafsir di masa Rasulullah
Tugas utama nubuwwah nabi Muhammad adalah menyampaikan muatan al-
qur‟an. Berbarengan dengan hal itu pula yang juga didasarkan pada al-qur‟an, nabi
Muhammad diberi otoritas untuk menerangkan atau menafsirkan al-qur‟ankarena
tidak seluruh ayat yang diturunkan kepada rasulullah dapat dipahami dengan mudah
oleh para sahabat. Maka dari itu rasul yang menerangkanya berdasarkan pada
keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah yang kemudian dijelaskan kembali
dengan bahasa beliau sendiri
Atas dasar itu pula para ahli tafsir dan ilmu al‟qur‟an seperti, qari‟, hafizh dan
para muffassir pertama dalam sejarah ilmu tafsir al‟qur‟an, menobatkan nabi
Muhammad Saw sebagai mufassir pertama.
Pembahasan diatas membawa kita pada penjelasan yang tegas yaitu bahwa,
pertama, setiap penafsiran al-qur‟an hendaknya lebih dahulu memperhatikan
keterangan yang beliau berikan, kemudian baru diterangkann dengan logika dan
rasio. Kedua, Nabi Saw merupakan pemegang otoritas tunggal sebagai penafsir dan
penjelas al qur‟an pada masa kersulan.
B. Periode tafsir di masa Sahabat
Sepeninggal nabi Muhammad Saw selaku mufassir pertama dan tunggal
dizamanya, penafsiran al-qur‟an dilakukan oleh para sahabat. Banyak sahabat yang
dibekali rasulullah dengan ilmu al-qur‟an dan ada pula yang memang akrab bergaul
dengan rasulullah, sehingga banyak dari mereka menjadi mufassir di kalangan
sahabat, beberapa sahabat yang paling banyak memberikan kontribusinya pada
penafsiran tentang ayat-ayat al-qur‟an, ada sepuluh yang paling utama, yaitu :
1. Abu bakar as-Siddiq
2. Umar bin al-Khattab
8
9. 3. Usman bin Affan
4. Ali bin abi Thalib
5. Abdullah bin Mas‟ud
6. Abdullah bin Abbas
7. Ubay bin Ka‟ab
8. Zaid bin Sabit
9. Abu Musa al-Asyari
10. Abdullah Bin Zubair
Dari beberapa orang yang disebutkan diatas empat diantaranya adalah
Khulafa‟ur Rasyidin, dan dari keempat orang tersebut ali bin abi thalib lah yang
dikenal paling banyak menafsirkan al-qur‟an. Namun bila diantara kesepuluh
sahabat diatas, ibnu abba adalah sahabat yang paling banyak dan paling dalam
pengetahuanya mengenai tafsir al-qur‟an dan pernah disebutkan bahwa
Abdullah bin abbas pernah mendapatkan doa khusus dari Rasulullah Saw agar
dia memahami al-qur‟an dan ternyata hal itu terbukti.
Pada masa ini tafsir memiliki empat sumber sebagai rujukan utama, yaitu:
1. Al qur‟an al karim, atau biasa disebut tafsir al qur‟an bil qur‟an.
2. Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-qur‟an bis
sunnah.
3. Tafsir alqur‟an dengan pendapat sahabat.
4. Ahli kitab dari umat yahudi dan nasrani, hal ini karena al-qur‟an
sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya.
C. Periode Tafsir di masa tabi‟in
Pada masa ini ekspansi yang dilakukan secara agresif dan mobilitas
yang sangat tinggi ke berbagai daerah jazirah arab dan luar jan memperluas
dan mengembangkan wilayah islam. Hal tersebut turut mempengaruhi
kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh umat islam.
Seiring dengan semakin meluasnya daerah yang dipengaruhi oleh
islam, peradaban dan kebudayaan islam pun mengalami kemajuan, termasuk
ilmu tafsir. Para mufassir tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip
atau menghafal seperti yang dilakukan selama ini, tetapi mereka mulai
berorientasi pada penafsiran al-qur‟an berdasarkan pendekatan ilmu bahasa
9
10. dan penalaran ilmiah. Dengan kata lain tidak lagi mengandalkan kekuatan
tafsir bil al ma’tsur tetapi juga berupaya mengembangkan tafsir bil al dirayah
dengan segala macam implikasinya.
Pada masa ini tafsir al-qur‟an mengalami perkembangan sedemikiam
rupa dengan penitikberatan pada pembahasan aspek tertentu sesuai dengan
tendensi dan kecenderungan mufassir itu sendiri.
Pada masa ini tafsir memiliki lima sumber rujukan utama, yaitu :
1. Al qur‟an al karim, atau biasa disebut tafsir al qur‟an bil qur‟an.
2. Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-qur‟an bis
sunnah.
3. Tafsir alqur‟an dengan pendapat sahabat.
4. Ahli kitab dari umat yahudi dan nasrani, hal ini karena al-qur‟an
sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya.
5. Ijtihad para tabi‟in
2.2 Model-model penafsiran
2.2.1 Model Quraish Shihab
H.M Quraish Shihab (lahir tahun 1944) pakar di bidang Tafsir dan Hadis se-
Asia Tenggara,telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama
terdahulu di bidang tafsir. Ia telah meneliti tafsir karangan Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha, dengan judul Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha yang telah di terbitkan dalam bentuk buku oleh Pustaka Hidayah
pada tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M Quraish
Shihab lebih banyak bersifat eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Yaitu
model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang
dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang
bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan, maupun
ulama lainnya. Data-data yang dihasilkan dari berbagai literatur trsebut kemudian di
deskripsikan secara lengkap serta dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kategoris dan perbandingan.
Hasil penelitian H.M Quraish Shihab terhadap Tafsir al-Manar Muhammad
Abduh, misalnya menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1909) adalah
salah seorang ahli tafsir yang banyak mengandalkan akal, menganut prinsip tidak
10
11. menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia,
tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci dalam al-Qur‟an. Ketika
menafsirkan firman Allah dalam al-Qur‟an surat 101 ayat 6-7 tentang “timbangan
amal perbuatan di hari kemudian” , Abduh menulis “Cara Tuhan dalam menimbang
amal perbuatan, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui olehNya, bukan atas
dasar apa yang kita ketahui, maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya
hanya kepada Allah SWT. Atas dasar keimanan.4 Bahkan, Abduh terkadang tidak
menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas dan menganjurkan untuk tidak perlu
membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh sahabat Umar bin Khathab ketika
membaca abba dalam surat Abasa (Q.S 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam
nikmat Tuhan kepada makhluk-makhlukNya.5
Selanjutnya,dengan tidak memfokuskan pada tokoh tertentu, Quraish Shihab
telah meneliti hampir seluruh karya tafsir yang dilakukan para ulama terdahulu. Dari
penelitian tersebut telah dihasilkan beberapa kesimpulan yang berkenaan dengan
tafsir. Antara lain: (1) periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir (2) corak-
corak penafsiran (3) macam-macam metode penafsiran alqur‟an (4) syarat-syarat
dalam menafsirkan alquran, dan (5) hubungan tafsir modernisasi.
a. Periodesasi Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir
Menurut hasil penelitian Quraish, jika tafsir dilihat dari segi
penulisannya (kodifikasi), perkembangan tafsir dapat dibagi ke dalam
tiga periode.
Periode 1, yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi‟in,
dimana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu
tersebar secara lisan.
Periode 2, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi masa
pemerintahan Umar bin Abdul Azis (99-101H) dimana tafsir ketika
itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan di himpun dalam
satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang
ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al-Ma‟tsur.
Periode 3, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab, tafsir secara
khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh
Al-Farra (W.207 H) dengan kitabnya berjudul ma‟ani alqur‟an.6
4
Syekh Muhammad Abduh,Tafsir Juz Amma,(Mesir:Dar al-Hilal,1967),hlm.189
5
Ibid hlm.26
6
H.M.Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an,op.cit.,hlm.73.
11
12. Periodesasi tersebut masih bisa ditambahkan lagi dengan peiode
keempat, yaitu periode munculnya para peneliti tafsir yang
membukukan hasil penelitiannya itu, sehingga dapat membantu
masyarakat mengenal karya-karya tafsir yang ditulis oleh para ulama
sebelumnya dengan mudah.
b. Corak Penafsiran
Berdasarkan hasil penelitiannya, Quraish Shihab mengatakan bahwa
corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
Corak Sastra Bahasa, timbul akibat kelemahan-kelemahan orang
arab sendiri di bidang sastra
Corak Filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat
yang mempengaruhi sementara pihak serta akibat masuknya
penganut agama-agama lain ke dalam islam yang dengan sadar atau
tidak, masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama
mereka.
Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat alqur‟an sejalan dengan
perkembangan ilmu.
Corak Fiqih atau Hukum, akibat perkembangan ilmu fiqih dan
terbentuknya madzhab-madzhab fiqih
Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi.
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan, yakni suatu corak tafsir
yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat alqur‟an yang berkaitan
langsung dengan kehidupan masyarakat. Corak ini bermula pada
masa Syaikh Muhammad Abduh sehingga mengurangi perhatian
pada corak-corak sebelumnya dan lebih banyak tertuju pada corak
ini.7
c. Macam-macam Metode Penafsiran Alquran
Metode Ma’tsur (periwayatan), metode ini memiliki banyak keistimewaan,
antara lain: (a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran. (b)
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya. (c)
mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasinya
terjerumus dalam subyektifitas berlebihan. Sedangkan kelemahannya antara
lain: (a) terjerumusnya mufassir kedalam kebahasaan dan kesusastraan yang
7
Ibid,hlm.73.
12
13. bertele-tele sehingga pesan pokok Alquran menjadi kabur. (b) seringkali
konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang
dipahami dari uraian nasih mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama
sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau
berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.8
Metode penalaran: pendekatan dan corak-coraknya,
Metode tahlily atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr
sebagai metode tajzi‟iy adalah satu metode tafsir yang
mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-
ayat Al-qur‟an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat alquran
sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Segala segi
yang dianggap perlu oleh seorang mufassir
tajzi‟iy/tahlily diuraikan. Yaitu bermula dari kosakata,
asbab al-nuzul, munasabat, dan lain-lain yang
berkaitan dengan teks atau kandungan ayat.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi
untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha
penafsiran terhadap kosakata arab, syair-syair kuno,
dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Kelemahan metode
ini, walaupun dinilai luas, namun tidak menyelesaikan
pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan
diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.9
Metode ijmali atau yang disebut juga dengan metode
global adalah cara menafsirkan ayat-ayat Alquran
dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat
pada suatu ayat secara global.
Metode muqarin adalah metode tafsir alquran yang
dilakukan dengan cara membandingkan ayat alqur‟an
yang satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang
mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih
kasus yang berbeda. Adapun prosedur penafsiran
dengan metode muqarin antara lain: (1)
menginventarisasi ayat-ayat yang mempunyai
8
Ibid,hlm.84.
9
Ibid.,hlm.86.
13
14. kesamaan dan kemiripan redaksi. (2) meneliti kasus
yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. (3)
mengadakan penafsiran.
Metode Maudhu‟iy. Salah satu pesan Ali bin Abi
Thalib adalah: “Ajaklah Alquran berbicara atau
biarkan ia menguraikan maksudnya.” Pesan ini antara
lain mengharuskan penafsir merujuk kepada Alqur‟an
dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini
lahirlah metode maudhu‟iy yang mana mufassirnya
berupaya menghimpun ayat-ayat alquran dari berbagai
surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang
ditetapkan sebelumnya. Kemudian mufassir
membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat
tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.10
Berdasarkan metode penafsiran alqur‟an tersebutbagi Quraish Shihab bukan
hanya sekedar teori atau pengetahuan belaka sebagaimana pada umumnya yang
dimiliki para pakar, tetapi telah dipraktekkannya dalam kegiatan menafsirkan alquran.
Ia misalnya menulis buku “Mahkota Tuntutan Ilahi (terbitan untagma tanpa tahun)”
yang isinya adalah tafsir Surat Al-Fathihah. Sementara bukunya yang lain seperti
“Membumikan Al-Qur‟an dan Wawasan Al-Qur‟an”, yang diterbitkan Mizan pada
tahun 90-an berisi pembahasan tentang berbagai masalah sosial kemasyarakatan
dengan menggunakan metode tematik.
2.2.2 Model Ahmad al-Syarbashi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir
dengan menggunakan metode deskriptif, eksploratif dan analisis sebagaimana halnya
yang dilakukan oleh Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah
bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yang ditulis para ulama tafsir, seperti Ibn Jarir
Al-Tabari, Al-Zamaksyari, Jalaludin Al-Shuyuti, Al-Raghib Al-Ishfahani. Hasil
penelitiannya mencakup tiga bidang.
1. Mengenai sejarah penafsiran al-Qur'an yang dibagi ke dalam tafsir pada masa
sahabat
10
Quraish Shihab,op.cit.,hlm.87.
14
15. 2. Mengenai corak tafsir, yaitu tafsir ilmiah, tafsir sufi dan tafsir politik.
3. Mengenai gerakan pembaharuan di bidang tafsir.
Menurutnya, tafsir pada zaman Rasulallah Saw, pada awal masa pertumbuhan
Islam disusun pendek dan tampak ringkas karena pengusaan bahasa Arab yang murni
pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kaliamat Al-Qur'an. Pada
masa-masa sesudah itu penguasaan bahasa Arab mengalami kerusakan akibat
percampuran masyarakat Arab dengan bangsa-bangsa lain, yaitu ketika pemeluk
Islam berkembang meluas ke berbagai negeri. Untuk memelihara keutuhan
bahasanya, orang arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab seperti Ilmu
Nahwa (gramatika) dan balaghah (retorika). Disamping itu pula, tujuan dimulainya
dilakukan penafsiran Al-Qur'an sebagai pedoman bagi kaum muslimin juga
memudahkan memahami banyak hal yang samar dan sulit dalam pemaknaannya.
Lebih lanjut, beliau mengatakan pastinya dilakukan melalui sabda Nabi Saw
sebagai tolak ukur langkah awal untuk dilakukan penafsiran sebagai hal yang paling
dekat relasinya dengan al-Qur'an. Karena, sebagaimana yang kita ketahui telah
banyak pula hadits-hadits yang maudhu barulah setelah itu kita merujuk tafsir dari
para sahabat.
Dalam poin ke-2 mengenai corak tafsir dalam contoh pertama (tafsir ilmiah),
sudah dapat dipastikan bahwa dalam al-Qur'an tidak terdapat satu teks induk yang
bertentangan dengan bermacam kenyataan ilmiah. Ini merupakan satu segi dari
kedudukannya sebagai mukjizat. Ahmad Al- Syarbashi mengatakan berdasarkan data
yang didapat dari kitab tafsir Ar-Razi yakni banyak bagiannya yang dapat dianggap
ilmiah. Sebagaimana pula dalam judul panjang dari kitab tasir Muhammad bin
Ahmad Al-Iskandrani yakni Kasyful Asrar Al-Nuraniyah al-Quraniyah fi Ma
Yata'allaqu bi Al-Arwah As-Samawiyah wa Al-Ardhiyah.
Selanjutnya, mengenai tafsir sufi beliau menuturkan ada kaum sufi sibuk
menafsirkan huruf-huruf al-Qur'an dan berusaha menjelaskan relasi dengan huruf
lainnya. Ahmad al-Syarbashi membuktikan adanya tafsir sufi lewat kutipannya dari
pendapat Al-Thusi yakni segala yang dapat dipahami dan segala sesuatu yang dapat
diungkapkan serta diketahui oleh manusia, semuanya itu berasal dari dua huruf yang
terdapat pada permulaan Kitabullah, yaitu Bismillah dan Alhamdulillah karena
keduanya bermakna Billah (karena Allah) dan lillah (bagi Allah). Jadi segala sesuatu
dapat dimengerti karena Allah dan bagi Allah.
15
16. Menurutnya, dalam penjelasan mengenai tafsir politik berdasarkan pendapat
kaum Khawarij yang terlibat dalam politik dan memahami ayat-ayat al-Qur'an.
Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 9 yang artinya : Jika ada dua golongan
orang-orang yang beriman berperang, damaikanlah antara keduanya. Dalam
pemahaman kaum ini (khawarij) Allah menurunkannya berkaitan dengan terjadinya
peperangan antara golongan Ali bin Abi Thalib dan golongan Mu'awiyah bin Abi
Sufyan.
Selain itu, juga terdapat gerakan pembaharu dalam bidang tafsir, beliau
mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad ke-20. Ia
menyebutkan Sayyid Rasyid Ridha –murid Syekh Muhammad Abduh yang telah
banyak menuangkan kuliah-kuliah gurunya dalam majalah Al-Manar lalu beliau buat
dalam sebuah kitab tafsir yang disebut sebagai kitab tafsir Al-Manar yakni
mengandung pembaharuan dan perkembangan zaman. Dalam kitab tersebut Syekh
Muhammad Abduh berusaha untuk menghubungkan ajaran-ajaran Al-Qur'an dengan
kehidupan masyarakat disamping membuktikan bahwa islam adalah Universal,
umum, abadi. Metode ini dinamakan menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an dan
tetap berpegang pada hadits-hadits shahih.
2.2.3 Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai pemikir islam abad modern
yang produktif, ia menempuh cara penelitian tafsir yang bercorak eksploratif,
deskriptif dan analitik dengan berdasar pada rujukan kitab-kitab tafsir yang ditulis
ulama terdahulu. Hasil penelitian Al-Ghazali salah satunya berjudul Berdialog
Dengan Qur’an yang di dalamnya terkandung macam-macam metode memahami
Al-Qur‟an, ayat-ayat kauniyah tentang Al-Qur‟an, bagaiman memahami Al-Qur‟an,
peran ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dalam Al-Qur‟an. Lebih spesifiknya lagi
tentang macam-macam metode memahami Al-Qur‟an , Al-Ghazali membaginya
menjadi dua yaitu metode klasik dan metode modern .
Berbagai macam metode yang disampaikan oleh Al-Ghazali tersebut oleh
ulama lainnya disebut sebagai pendekatan, dan bukan metode. Muhammad Al-
Ghazali mengemukakan metode modern timbul sebagai akibat dari adanya kelemahan
dalam berbagai metode yang telah ia kemukakan di atas. Salah satu contoh datang
dari pendekatan atsariyah atau tafsir bil ma‟tsur. Kritik dari metode ini adalah ayat-
16
17. ayat yang sering dikaitkan dengan hadits dhaif, sehingga apa yang diharapkan dari
sebuha tafsir Al-Qur‟an dengan pemikiran Qur‟ani tampaknya belum begitu terlihat.
Kasus lainnya yang Al-Ghazali temukan ada pada kitab Fi Dzilalil Qur’an karya
Sayyid Quthub yang ia nilai hanya mengutip nash-nash saja dari tafsir Ibnu Katsir,
sedangkan hadits-haditsnya tidak dikutip selengkap ia mengutip nash-nash yang ada.
Padahal Al-Ghazali menginginkan pikiran-pikiran baru yang orisinal yang dapat ia
temukan dari karya Sayyid Quthub tersebut. Contoh lainnya yang ia kemukakan dari
tafsir yang bercorak dialogis, seperti yang pernah dilakukan Al-Razi dalam tafsirnya
Al-Tafsir Al-Kabir. Menurutnya buku ini banyak menyuguhkan tema-tema menarik
tetapi sebagaian dari tema tersebut sudah keluar dari batasan itu sendiri, yang menjadi
acuan penafsir Qur‟an.
Berangkat dari kekurangan itulah Al-Ghazali berusaha memberikan jalan
keluar dimana kita dapat memberikan jawaban terhadap berbagai masalah
kontemporer dan modern, ia pun memberikan saran antara lain: “Kita inginkan saat
ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan
bertolak dari pandangan islam yang benar dan berdiri di atas argument yang memiliki
hubungan dengan Al-Qur‟an. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pikiran
adalah relative dan spekulatif, bisa benar juga bisa salah. Keduanya memiliki bobot
yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Di sisi lain, kita juga tidak menutup
mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sumbangan pemikiran keagamaan
lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat.”.
Metode Penelitian Lainnya
Metode-metode lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah metode
yang berdasarkan aspek-aspek tertentu dari Al-Qur‟an. Di antaranya ada yang
memfokuskan penelitiannya terhadap kemu‟jizatan Al-Qur‟an , metode-metode ,
kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur‟an, kunci-kunci untuk memahami Al-
Qur‟an serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-
Qur‟an yang khusus terjadi pada abad keempat.
Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Studi Agama juga telah melakukan
penelitian deskriptif secara sederhana terhadap perkembangan tafsir. Menurutnya
jika dilihat secara garis besar perjalanan sejarah abad pertengahan, agaknya tidak
terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi tafsir Al-Qur‟an secara leksiografis
(lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab Al-Din Al-Khaffaji (1659)
17
18. memusatkan perhatian pada analisis gramatika dan analisis sintaksis atas ayat-ayat
Al-Qur‟an. Juga karya Al-Baydawi (1286), yang hingga sekarang masih digunakan di
pesantren-pesantren, yang memusatkan penafsiran Al-Qur‟an secara lugahwi. Karya
leksiografis lainnya ada pada karya „Aisyah Abd Rahman binti Al-Syati‟ dalam Al-
Tafsir Al-Bayan Li Al-Qur‟an Al-Karim. Karya tafsir mutakhir ini kaya dengan
metode komparatif di dalam memahami dann menafsirkan arti suatu kosa kata Al-
Qur‟an.
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografis, corak
seperti itu dapat membuat kita memandang bahwa Al-Qur‟an kurang utuh karena
belum menampilkan suatu pemahaman yang utuh dari pemahaman Al-Qur‟an yang
fundamental. Karya tafsir yang menampilkan I’jaz akan membuat kita terpesona
dengan bahasa Al-Qur‟an yang sangat indah itu, tetapi kurang bisa menguak nilai-
nilai spiritual dan sosio moral Al-Qur‟an untuk kehidupan sehari-hari manusia.
Contoh lain pada penonjolan tafsir Al-Qur‟an lewat Asbabun Nuzul bila
terlepas dari nilai-nilai fundamental universal yang ingin ditonjolkan. Ia mengandung
minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran Al-Qur‟an yang bersifat universal
dan transcendental bagi kehidupan manusia di manapun mereka berada.
18
19. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai penutup makalah ini, kami ingin menyatakan bahwa al-qur‟an merupakan
sumber tunggal bagi umat islam, karena hanya dengan pengkajianya lah kita dapat
menghasilkan pemahaman yang sistematik. Dan kebahagian mereka bergantung pada
pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang
terkandung di dalamnya.
Namun telah kita ketahui juga sebelumnya bahwa tidak semua orang dapat
memahami al-qur‟an dengan mudah. Kemampuan setiap orang dalam memahami
lafal-lafal dalam al-qur‟an itu berbeda-beda. Maka dari itulah kita membutuhkan
mufassir untuk memberikan penafsiran yang lebih tepat dan tentunya mereka tidak
sembarangan dalam menafsirkanya.
Oleh karena itu dibutuhkan ilmu yang tepat untuk dapat memahaminya yang selama
ini kita kenal dengan ilmu tafsir qur‟an. Tafsir adalah ilmu syari‟at yang agung dan
paling tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek
pembahasannya adalah kallamullah yang merupakan segala hikmah dan “tambang”
segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan
mencapai kebahagian hakiki. Dan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena
segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara‟ sedang
kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah.11
3.2 Saran
Manusia berkembang dikala mereka mengadakan perubahan dan selalu
iteropeksi terhadap dirinya. Berangakat dari sebuah kenyataan yang menyelimuti
langit dandan bumii kini terbayang dalam setiap jiwa manusia. Kami pun
mengharapkan kesempurnaan itu. Maka dari itu kami butuh kritikan yang
membangun dan pastinya kami sangat mengapresiasi orang yang mau melakukannya
11
Al-Itqan, jilid 2, halaman 173
19
20. untuk kami karena kami tahu kalau makalah kami tentunya masih sangat jauh dari
kata baik.
Dengan pengenalan singkat tentang teori studi al-qur‟an dan model
penafsiranya, semoga menjadi gerakan awal dalam merevolusi diri kita masing-
masing agar menjadi lebih baik dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Agar bisa
sampai kepada cahaya Ilahi. Siapakah gerangan yang tidak ingin sampai di hadapan
yang Maha Kaya dan Maha Sempurna sembari mencicipi kenikmatan dari sang
pemberi nikmat, yaitu Allah SWT.
20