1. Suara Merdeka
Minggu, 13 Januari 2008
Duel Dua Bajingan
Cerpen: Fahrudin Nasrulloh
Di tebing jurang Wuluh di Bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana.
Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang
hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh mayat-mayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian.
Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca
yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga,
kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata yang durja.
Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Mulutnya
memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh
gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan
angker. Omongannya ngawur. Mbelgedhes! Mbelgedhes! Semprotan itu selalu ia
semburkan ketika amarahnya muntap.
Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat
perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka menumpahkan
berahi di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan
kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus
pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan
kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara.
Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.
Di Bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit
dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang
lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas
Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan Bukit Kumbang
baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas
Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah
terbakar. Sebagian dilenyapkan ke Jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di
bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata buta.
Lelaki itu berkelebat di udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari
memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang
berbaju hitam yang menggembol bungkusan besar.
2. "Mau lari ke mana kau, Landa bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh
bayaran Kompeni laknat itu!"
Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap tingkah pongah
Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di
sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka
kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya
"Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian, Kau! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah
tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah
malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan
peluru-peluru berajah babiku ini. Memang mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol
dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura.
Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan
antek-antek Surapati."
"Bangsat kalian semua! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan
boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku
yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di
tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan
itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Anjing najis kalian
semua!!! Cuih! Bedebah! Cuih!"
"He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi Kitab Bajra
Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan
gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan
sekalipun. Hidupmu cuma kau buang untuk berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam.
Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu
kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini
sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan
kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!"
Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter,
si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai
memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun
yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang
setara dengan Sawungpati yang telah menguasai Kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor
pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan
Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.
"Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?"
"Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya.
Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga
dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku."
"Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?"
"Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy
wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali
aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini
yang tiada tandingnya."
"Sontoloyo, celeng demit begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!"
3. "Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat
dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni,
bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia.
Sudahlah! Jangan banyak cincong kau! Hayo kita bertarung!!!" Ciaaatttttt!!!
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara
bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keer telah bersiap-sigap menyerang dari sisi
kanan dan kiri.
"Hoi, Kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!"
"Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!" pekik Bajul van Keer.
"Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!" sambung
Gajul van Deer.
"Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah
perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?"
Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri kotoran anjing. Mereka mundur
barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir
mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.
Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan
itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter dicocor mripat
kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga buta dan kemiren kaki
kanannya tertetak pedangnya hingga pincang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup
memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya
penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.
Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik.
Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi
hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga
berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.
Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang yang
lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke Jurang Wuluh. Tapi mereka
bukan pendekar urakan biasa yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter yang keberanian
dan ketangguhannya terbilang kacangan.
4. Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang
memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana.
Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tersodok berkejap sebab kilaunya memerihkan
tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika
berani coba-coba membuka kedipan mata.
Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari
Kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya
terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya
komat-kamit merapalkan mantra:
aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga
berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari Kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal
Maut:
aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullahu
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan sodokan sama-saama mereka
lancarkan.
Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan
Sawungpati. Sawungpati terus mendesak. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu
hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desahan
napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil
memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.
"Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol
dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!"
Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati
tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia
tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih,
5. nyengar-nyengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Pelor rajah babi
memang dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin
garang dan lepas kendali bagai celeng alas mengamuk menyerang musuhnya.
Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari
memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih tetap
menodongkan pistol yang kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi
mengisi peluru, lantas membuang pistol.
Pieter segera mencabut Keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur
tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni itu.
Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati
pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus
pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan
hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.
Crasss.... Jlepp....
Akhkhkh.... Eighghrrhghrrr...
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap.
Menatap dengan nanar ke purnama yang hendak tenggelam dijemput fajar. Pieter
limbung. Gontai, dan tersungkur tepat di kaki Sawungpati.
Adapun Sawungpati lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga
tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap
berdiri tegap dengan mata mendelik. Nyalang mripatnya seolah mau menghirup cahaya
fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya hendak memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu
ia terjatuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti
suara sapi kejang yang disembelih.? Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya
yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.
Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati yang tewas
bersimpuh itu. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan
Sawungpati itu juga sangat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta
barang jarahan lain keduanya cepat-cepat meninggalkan Bukit Kumbang itu.***
Lembah Pring, Jombang, 2006-2007