Dokumen tersebut merangkum sumber daya alam dan lingkungan hidup di Provinsi Banten. Provinsi Banten kaya akan sumber daya alam seperti hutan, lahan pertanian, mineral, dan sumber daya perairan. Namun demikian, terjadi kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan aktivitas manusia seperti degradasi hutan, pencemaran udara dan air, serta potensi bencana longsor dan banjir. Untuk itu, diperlukan pengelolaan sum
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
P16 sumber daya alam dan lingkungan hidup (1)
1. SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
A. Sumber Daya Alam
Provinsi Banten dengan luas daratan 8.800,83 km2 menyimpan kekayaan dan keanekaragaman
sumber daya alam, antara lain keberadaan hutan produksi mengalami peningkatan dari 53.533,60
ha pada tahun 2003 menjadi 72.295,47 ha hingga tahun 2004, yang terdiri dari 42.537,55 ha
hutan produksi tetap dan 29.757,92 ha hutan produksi terbatas. Disamping itu, sumber daya
lahan untuk pengembangan pertanian yang telah dikembangkan terdiri dari 84.315,40 ha lahan
persawahan teririgasi, 90.423,50 ha sawah tadah hujan, serta 181.247,60 ha area perkebunan, dan
belum termasuk lahan-lahan pertanian yang diusahakan untuk budidaya palawija, hortikultura,
sayuran dan buah-buahan.
Dari sisi pertambangan dan energi, sumberdaya mineral sebagian besar telah diusahakan baik
oleh swasta maupun masyarakat, seperti zeolit, bentonit, sirtu, pasir kuarsa, batu gamping,
felspar, bondclay, lempung, fosfat, toseki, kalsedon, opal, kayu terkersikan, marmer, pasir laut,
emas, batubara. Beberapa potensi sumberdaya mineral lainnya di Provinsi Banten hingga saat ini
belum dimanfaatkan secara optimal seperti tras, batu apung, besi dan andesit.
Disamping itu, belum dimanfaatkannya sumberdaya energi alternatif yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai sumber energi pembangkit listrik seperti: sumberdaya energi fosil
(batubara) sebanyak 10,3 juta dalam bentuk sumberdaya tereka yang tersebar di Banten Selatan,
energi panas bumi sebesar 230 Mwe, tenaga air skala kecil, biomassa, tenaga surya sebesar 3,5
KWH/meter2/hari, tenaga angin di wilayah pantai selatan kecepatan angin rata-rata 2-6 m/detik,
dan energi gelombang laut.
Sementara itu, wilayah pesisir dan laut Provinsi Banten dengan luas perairan 11.134,22 km2
(belum termasuk perairan nusantara/teritorial dan ZEEI yang dapat dimanfaatkan), dengan
panjang garis pantai 509 km, serta 55 pulau-pulau kecil dan pulau terluar menyimpan kekayaan
dan keragaman sumberdaya pesisir dan laut. Potensi sumberdaya perikanan tangkap laut dengan
produksi tahun 2004 yang sebesar 76.324,50 Ton baru memanfaatkan 82,09% dari potensi lestari
di wilayah perairan Kab. Pandeglang (92.971 Ton) sehingga belum memperhitungkan potensi
lestari wilayah perairan lainnya. Potensi sumber daya perikanan budidaya, seperti budidaya laut
(KJA dan rumput laut) di pantai utara dan pantai barat, serta lahan tambak hingga tahun 2005
baru dimanfaatkan sekitar 58,2 % (8.010,55 Ha) dari potensi 13.768,9 Ha.
Potensi geowisata belum dimanfaatkan secara oftimal yang menjadi andalan untuk meningkatkan
PAD Provinsi Banten antara lain; Ex. PT. Antam Cikotok, Batu Posil Sajira-Lebak, Sumber
Panas Bumi Cipanas, Gunung Karang, Cinagka dan Padarincang seperti Batu Kuwung.
2. B. Lingkungan Hidup
1. kerusakan Lingkungan
Beberapa indikasi kerusakan lingkungan antara lain menyangkut kerusakan tata air seperti
keberadaan dan fungsi DAS Ciujung sebagai bagian dari SWS Ciujung-Ciliman yang ditetapkan
sebagai salah satu DAS kritis dalam RTRWN (Draft Oktober 2004), dimana beberapa
permasalahan yang terjadi meliputi kondisi stilling basin kurang panjang sehingga
mengakibatkan pengendapan lumpur yang cukup besar di saluran induk, hutan dibagian hulu
sungai mulai gundul seperti Gunung Akar Sari yang menjadi sumber air baku DAS Cidanau,
masih tingginya tingkat pencemaran air yang disebabkan oleh limbah industri dan rumah tangga,
maupun penanganan sungai yang masih bersifat parsial baik melalui APBN maupun APBD.
Sementara itu, kondisi situ di Provinsi Banten dihadapkan pada indikasi permasalahan luasannya
menyempit dan fungsi situ sebagai penyimpan air dimusim hujan dan cadangan air dimusim
kemarau tidak berfungsi, serta adanya situ seolah - oleh tak bertuan dan dibiarkan sehingga
menimbulkan banjir dimusim penghujan. Disisi lain, dalam beberapa tahun terakhir
kecenderungan penurunan muka air tanah di beberapa wilayah yang diakibatkan
ketidakseimbangan antara pengambilan dan imbuhan (recharge), sedangkan permasalahan utama
yang berkembang adalah pengambilan air yang berlebih yang tidak sesuai dengan kajian teknis
atau pembuatan sumur-sumur bor tanpa melalui prosedur yang berlaku (liar).
Luas hutan negara di Provinsi Banten mengalami peningkatan antara tahun 2003 (78.649,61 ha)
ke tahun 2005 (80.160,11 ha) dengan laju pertumbuhan sebesar 1,96%. Dengan demikian,
proporsi hutan negara terhadap luas semakin meningkat, yaitu dari 8,94% menjadi 9,11%.
Hingga tahun 2004, sebaran hutan secara dominan terdapat di Kabupaten Pandeglang 38.994,64
ha (48,64%) dan Kabupaten Lebak 35.366,73 ha (44,12%), sedangkan sisanya di Kabupaten
Serang 4.384,43 ha (5,46%). Bila ditinjau menurut jenisnya, terjadi pergeseran yang drastis
antara komposisi hutan lindung dengan hutan produksi dalam kurun waktu 2003-2004, dimana
hutan lindung dengan luasan 25.116,01 ha (31,93% terhadap luas hutan negara) pada tahun 2003
menjadi 7.894,11 ha (9,84%) pada tahun 2004 atau dengan laju penurunan sebesar 69,17%
(berkurang 17.221,90 ha). Pergeseran tersebut, khususnya disebabkan karena pengalihan fungsi
hutan lindung menjadi ’hutan produksi terbatas’ yang terjadi pada hutan lindung di seluruh
kabupaten tersebut di atas, khususnya di Kabupaten Pandeglang (yang juga merupakan wilayah
dengan keberadaan hutan lindung terluas) dengan laju penurunan mencapai 82,98% (12.689,59
ha). Dengan demikian, terdapat ancaman terhadap daya dukung hutan lindung dimasa
mendatang, khususnya dalam melindungi keberadaan dan fungsi hutan lindung sebagai wadah
yang menaungi dan melindungi bertumbuhkembangnya ekosistem dan habitat alami serta plasma
nutfah di Provinsi Banten.
Exsisting hutan sebagai buffer zone dan kawasan lindung telah terjadi degradasi lahan yang
dikarenakan banyaknya perambahan hutan dan illegal logging yang bisa menimbulkan potensi
bencana tanah longsor, bencana banjir bandang seperti yang terjadi di Kecamatan Sobang
Kabupaten Lebak. Kerusakan hutan mangrove dan konversi hutan mangrove di pantai utara,
selatan dan barat khususnya akibat pengembangan lahan tambak dan praktek produksi yang tidak
ramah lingkungan dapat mengakibatkan abrasi pantai seperti yang terjadi di Kabupaten Serang,
Tangerang dan Kecamatan Panimpang Kab. Pandeglang.
3. Daerah yang berpotensi terjadi longsor lahan, apabila di overlay - kan dengan peta bentuk lahan,
terlihat bahwa sebagian besar dijumpai pada unit bentuk lahan punggung bukit sangat curam,
daerah antar pegunungan yang tererosi sedang dan dataran tinggi pada batuan sedimen. Sebaran
dari daerah yang berpotensi longsor lahan yakni mencangkup hampir ¾ (tiga perempat) berada
diwilayah Kabupaten Lebak, terutama di bagian selatan dan timur yang berbatasan dengan
Kabupaten Bogor dan Sukabumi, bagian selatan dari Kabupaten Pandeglang dan sebagian lereng
utara Gunung Karang dan Gunung Botak di Kec. Bojonegara Kabupaten Serang.
Daerah-daerah yang berpotensi tergenang banjir meliputi daerah-daerah dataran pantai utara
yang membentang dari teluk Banten hingga Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan DKI
Jakarta, disampaing dataran di kiri-kanan sungai-sungai besar seperti Ciujung dan
Cisadane.Daerah rawan banjir tersebut dapat mencapai puluhan kilometer dari pantai kearah
pedalaman, terlebih lagi dengan banyaknya penggundulan hutan dibagian hulu sungai.
Disampaing itu daerah rawan banjir dijumpai juga di dataran pantai Kabupaten Pandeglang, yang
membentang dari selatan Labuan sampai Kecamatan Panimbang (Tanjung Lesung), serta di
daerah Selatan (Kecamatan Cikeusik) yang berbatasan dengan Kabupaten Lebak. Sebagaimana
di Pantai Utara jawa, didaerah selatan ini juga dipengaruhi oleh sungai-sungai Ciliman dan
Cibaliung.
Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di
wilayah pantai utara dan barat. Berbagai jenis kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh
peristiwa alam abrasi dan akresi di Kabupaten Tangerang dan Serang. Sedangkan kerusakan
yang dipengaruhi oleh aktifitas manusia antara lain sedimentasi daerah pesisir (pantai) di
Kabupaten Tangerang dan Serang, kerusakan dan konversi hutan mangrove di pantai utara
khususnya akibat pengembangan lahan tambak dan praktek produksi yang tidak ramah
lingkungan. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari
kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak, sebagaimana pada tahun 2003
beberapa kasus yang ditanggulangi seperti tumpahan minyak kapal tangki di Binuangeun dan di
Cilegon. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing)
serta penambangan terumbu karang masih diperkirakan masih terjadi yang memperparah kondisi
habitat ekosistem pesisir dan laut.
Berdasarkan Profil Dinas Pertambangan dan Energi (2003) sejumlah kendala pengembangan
potensi pertambangan antara lain disebabkan banyaknya kawasan tambang yang berada di areal
hutan lindung, serta maraknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang berpotensi sangat besar
merusak lingkungan. Kondisi tersebut turut dipengaruhi pula oleh kurangnya dukungan regulasi
oleh Pemerintah Daerah dibidang pertambangan.
2. Pencemaran Lingkungan
Berbagai permasalahan yang terkait dengan pencemaran lingkungan masih ditemui dibeberapa
daerah, seperti rencana pembangunan pabrik pengolahan limbah B3 di Desa Bulakan,
Kecamatan Cibeber Kota Cilegon, yang mendapatkan reaksi terkait dengan kekhawatiran
masyarakat setempat maupun masyarakat sekitarnya serta Pemerintah Kabupaten Serang
dikarenakan lokasi yang terletak diwilayah perbatasan. Pemerintahan Kota Cilegon dipandang
4. kurang atau tidak melakukan inisiatif koordinasi di awal perencanaan dengan Pemerintah
Kabupaten Serang dan Pemerintah Provinsi Banten. Sementara, perijinan pengolahan limbah B3
adalah kewenangan pemerintah pusat yang dalam prosesnya juga melibatkan kebijakan Gubernur
Banten.
Berkembangnya kawasan industri di wilayah utara Provinsi Banten memberikan implikasi
langsung terhadap tingginya kerawanan pencemaran lingkungan. Pada tahun 2003 tercatat
penanggulangan sejumlah kasus pencemaran lingkungan yang terkait dengan keberadaan dan
aktifitas industri seperti: tumpahan HCL dari tangki terbalik di Merak, tumpahan xylene dari
tangki terbakar di Cilegon, fly ash di Cikokol Tangerang, terbakarnya B3 di Cilegon, serta
tumpahan kaustik soda I dari tangki terbalik di Cilegon. Disamping itu, indikasi tingkat
pencemaran tinggi pada sungai-sungai sebagai akibat aktifitas industri dan permukiman, seperti:
Sungai Cimoyan, Sungai Ciujung, Kaliangke, Cirarap, Cibanten juga perlu ditanggulangi.
Kerawanan kasus pencemaran udara pada kawasan-kawasan industri, seperti pencemaran debu
dan gas yang melebihi baku mutu (kategori berat) di Cilegon, serta tingkat kebisingan yang
melebihi baku mutu (kategori berat) di Tangerang, Serang, Cilegon. Sementara itu pencemaran
udara juga merebak pada kawasan permukiman sebagaimana kasus Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Desa Bagendung Kota Cilegon dikarenakan pengelolaan sampah masih tersentralisasi
pada level Kab/Kota yang menggunakan cara ditimbun dan dibakar (open dumping), walaupun
dibeberapa Kab/Kota sudah dirancang mengunakan teknologi sanitary landfill. tapi pada
kenyataan dilapangan masyarakat masing melakukan proses open dumping. Sebenarnya
pengelolaan sampah dapat dilakukan secara sederhana dan sangat mudah seperti membiasakan
memisahkan sampah organik dan non organik sehingga mudah untuk pengelolaannya, yang
organik bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos dan yang non organik bisa dijual untuk
dijadikan daur ulang bijih pelastik,besi dll.
(Sumber : Dokumen RPJM Prov. Banten 2007 -2012)