1. I
DISCLAIMERDISCLAIMER
Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap
bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal).
Penerbitan Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan ruang
bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan hasil
penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam
masyarakat adat.
Substansi isi tulisan dalam jurnal ini sepenuhnya merupakan pandangan independen
dari masing-masing penulis dan tidak mempersentasikan pandangan dan pendapat dari
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu.
Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
dengan format penulisan disesuaikan dengan pedoman penulisan yang dilampirkan dalam
bagian akhir jurnal ini.
Alamat Redaksi:
Alinasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu
Jl. Merapi No. 01 RT/RW 04/02 Kelurahan Panorama Kecamatan Singaran Pati Bengkulu
Telp. 0736-341942 / +628-1215-496-418
Email: jurnal.aman.bengkulu@gmail.com
2. II
TIM REDAKSI
TIM REDAKSI
Penanggung Jawab : Deftri Hardianto
Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Bengkulu
Pemimpin Redaksi : Fahmi Arisandi
Sekretaris Redaksi : Fitriansyah
Penyunting / Editor : Andang Nusa Putra
Riki Aprizal
Eti Efrina
Firmansyah
3. III
PENGANTAR REDAKSIPENGANTAR REDAKSI
Salam Keadilan.
Indigenous Peoples Law Review adalah jurnal ilmiah berkala tahunan yang diterbitkan
oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu. Jurnal ini diterbitkan setiap
bulan mulai Maret setiap tahunnya dalam bentuk jurnal elektronik (E-Journal).
Penerbitan Jurnal Indigenous Peoples Law Review ini dimaksudkan untuk memberikan
ruang bagi peneliti/komunitas hukum di Indonesia untuk mempublikasi tulisan, artikel dan
hasil penelitian dalam menyampaikan gagasan-gagasan pemikiran seputar isu hukum dalam
masyarakat adat.
Edisi kali ini (Maret 2015) Indigenous Peoples Law Review, hadir dengan 4 (empat)
penulis yang memiliki reputasi baik dalam dunia intelektual. Mereka memiliki pengalaman
sebagai praktisi hukum dan juga merupakan pengajar dan peneliti dari berbagai perguruan
tinggi. 4 (empat) tulisan tersebut setidaknya menjabarkan sejumlah persoalan hukum sebagai
berikut:
Pertama, Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaharuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tulisan ini dari saudari Warih Anjari, yang
menguraikan bahwa pembaharuan hukum pidana harus berorientasi pada nilai. Nilai yang
dimaksud adalah nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Delik adat tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat sehingga bersifat orisinil. Delik adat memiliki perbedaan
prinsip dengan delik yang diatur dalam KUHP, delik adat mengandung prinsip yang
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, sedangkan delik yang diatur dalam KUHP
mengandung nilai-nilai budaya barat yang kontradiktif dengan budaya masyarakat Indonesia.
Kedua, Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia (Perdebatan Ius
Constitutum dan Ius Constituendum). Tulisan dari saudara Rocky Marbun ini menguraikan
bahwa berdasarkan kajian ilmu hukum, secara aspek filosofi terlihat jelas jejak pengakuan
adanya kearifan lokal dalam konstitusi maupun di beberapa peraturan perundang-undangan,
walaupun belum meresap dengan baik ke dalam sistem peradilan pidana. Asas musyawarah
mufakat sebagai turunan dari asas kerukunan merupakan ciri khas dari keagungan kearifan
lokal yang masih dimiliki oleh bangsa Indonesia, hingga saat ini tidak mampu dan/atau tidak
dapat dilakukan proses konkretisasi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
4. IV
Ketiga, Perlindungan dan Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
Tulisan dari sauadara M. Doni Ramdani ini Menguraikan bahwa dalam negara hukum, aturan
perundang-undangan yang tercipta harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Hak
kesatuan masyarakat adat yang dihormati dan diakui tanpa syarat oleh pemerintah kolonial
belanda justru dikebiri oleh pemerintah nasional Negara Keastuan Republik Indonesia
melalui berbagai kondisionalitas. Masyarakat adat merupakan suatu segmen riil di dalam
masyarakat Indonesia. Secara formal pegakuan, penerimaan, atau pembenaran adanya
masyarakat adat di dalam struktur ketatanegaraan baru diatur di dalam Pasal 18 Undang-
undang Dasar 1945.
Keempat, Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melalui Gugatan Citizen
Lawsuit. Tulisan dari sauadara Ariezha Pratama ini Menguraikan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum, yang berdiri atas norma dasar berupa konstitusi yang mengamanatkan
pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan
adanya amanat konstitusi disertai undang-undang yang menjamin keberlangsungan hidup
kesatuan masyarakat hukum adat, maka sudah seharusnya kerugian yang timbul nantinya
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat harus diajukan upaya hukum yang menjadi tujuan
untuk mencari keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. Walaupun sistem hukum
Indonesia belum memberikan ruang secara khusus terhadap gugatan Citizen Lawsuit melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara Lex Specialis tentang
prosedur dan tata cara pengajuan gugatan Citizen Lawsuit, namun sudah ada payung hukum
Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Tahun 2013.
Kemudian untuk penambahan, dalam setiap edisi terbitan Jurnal Indigenous Peoples
Law Review akan melampirkan informasi tentang profile masyarakat adat, untuk edisi maret
2015 ini profile masyarakat adat yang akan disampaikan adalah masyarakat adat Semende
Banding Agung.
Sebagai akhir kata, ucapan terimkasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
membantu penerbitan jurnal ini. Harapan kami semoga jurnal ini dapat memberikan manfaat
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
5. V
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT (DELIK ADAT)
DALAM PEMBAHARUAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA (KUHP) …………………………………………………………… 1
Warih Anjari
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
DI INDONESIA (PERDEBATAN IUS CONSTITUTUM DAN IUS
CONSTITUENDUM) ……………………………………………………………………. 17
Rocky Marbun
Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta
PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN EKSISTENSI
MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA ……………………………………………. 38
M. Doni Ramdani
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta
PENGAKUAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
MELALUI GUGATAN CITIZEN LAWSUIT ………………………………………… 53
Ariezha Pratama
Kantor Advokat & Konsultan Hukum MACOIR
MASYARAKAT ADAT SEMENDE BANDING AGUNG ……………………………. 68
Profile Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu
6. 1 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT (DELIK ADAT) DALAM
PEMBARUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
Warih Anjari, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Jl. Sunter Permai Raya Sunter Podomoro Jakarta Utara 14350
Email: a.warih@yahoo.com
ABSTRAK
Hukum pidana adat atau delik adat merupakan hukum orisinil yang berkembang pada
masyarakat adat di Indonesia, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pembaruan KUHP.
Delik adat diakui dalam hukum positif di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Darurat Tahun 1951. Namun pengaturannya belum memadai, padahal dalam beberapa
putusan pengadilan digunakan sebagai dasar pemidanaan khususnya dalam kasus korupsi.
Masalah dalam penulisan ini yaitu: (1). Mengapa delik adat harus eksis dalam pembaharuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)? (2). Bagaimanakah perbedaan hukum pidana
adat (delik adat) dengan delik yang diatur dalam KUHP? Delik adat mengandung jiwa rakyat
yang perkembang dan melekat dalam kehidupan masyarakat adatnya. Delik adat memiliki
efektifitas untuk diimplementasikan di masyarakat. Simpulannya yaitu pembaharuan hukum
pidana harus berorientasi pada nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat yang ada dalam
delik adat. Delik adat memiliki perbedaan prinsip dengan delik yang diatur dalam KUHP
dimana Delik adat mengandung nilai-nilai Pancasila. Sedangkan delik yang diatur dalam
KUHP mengandung nilai-nilai budaya barat, yang kontradiktif dengan budaya masyarakat
Indonesia
Kata Kunci: Eksistensi, Pidana Adat, Pembaharuan, KUHP
ABSTRACT
Customary criminal law or custom delict is the original law that developed in indigenous
communities in Indonesia, so it needs to be considered in the reform of the Criminal Code.
Custom delict recognized in positive law in Indonesia based on Law No. 1 of 1951. However
emergency inadequate regulation, whereas in some court decisions are used as the basis of
punishment, especially in cases of corruption. The problem in this paper are: (1). Why
customs offense must exist in the renewal of the Code of Penal (Criminal Code)? (2). How
are be different the custom delict with the offense be regulated in the Criminal Code?
Custom delict contains the soul of the growing interest and inherent in customary public life.
Custom delict effectiveness is to be implemented in the community. The conclusion that the
criminal law reform should be oriented to the values that developed in the community that
exists in traditional offense. Custom delict have differences with the principles be regulated
in the Criminal Code offense where customs offense contains the values of Pancasila. While
the offense be regulated in the Criminal Code have western cultural values, which
contradicts the Indonesian culture.
Keyword: Existence, Customary Criminal, Renewal, KUHP
7. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 2
A. PENDAHULUAN
Hukum merupakan hasil olah pikir atau
budaya manusia. Hukum selalu mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan
manusia itu sendiri. Persoalan-persoalan yang
dihadapai oleh hukum juga mengalami
perkembangan seiring dengan perkembangan
masyarakat dimana hukum itu berjalan. Pada
faktanya hukum yang ideal adalah hukum
yang tumbuh dan perkembang dari masyarakat
itu sendiri. Hukum tunduk pada kekuatan-
kekuatan sosial tertentu, sehingga
ketertibannya didasarkan pada pengakuan
sosial terhadap hukum. Oleh karena itu
pengembangan sistem hukum harus
mempunyai hubungan erat dengan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat bersangkutan.1
Hukum adat merupakan bagian dari
keseluruhan hukum di Indonesia. Hukum adat
tumbuh dan berkembang dari kebiasaan
masyarakat adat setempat. Menurut Von
Savigny, hukum adat ada ditengah-tengah
rakyat itu sendiri, dirasakan oleh rakyat itu
sendiri setiap hari (adatrecht ist und wird mit
dem volk).2
Perilaku dan kebiasaan yang turun
temurun diakomodasikan dalam suatu lembaga
masyarakat adat. Dalam hukum adat,
subyektivitas kesediaan warga untuk tidak
dipaksa-paksa menaati hukum merupakan
prasyarat terealisasinya hukum secara penuh
1
Eugen Erlich dalam Sukarno Aburaera, et.al,
Filsafat Hukum Teori dan Praktek, Jakarta,
Kencana, 2014, hlm. 125.
2
Von Savigny dalam Bushar Muhammad, Asas-
Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta,
Pradnya Pramita, 2003, hlm. 51.
makna dalam kehidupan sehari-hari.3
Oleh
karena itu tingkat eksistesinya dapat diterima
oleh masyarakat tanpa melalui sosialisasi yang
tinggi. Hal ini akan mempengaruhi tingkat
efektifitas suatu hukum atau perundang-
undangan.
Setiap hukum atau peraturan perundangan
mempunyai fungsi dan tujuan. Fungsi hukum
sangat berkaitan erat dengan tujuan hukum itu
sendiri.4
Menurut Mochtar Kusumaatmadja
salah satu fungsi terpenting hukum adalah
tercapainya keteraturan dalam masyarakat.
Keteraturan intinya kepastian hukum jika
dihubungkan dengan dengan kepentingan
penjagaan keamanan diri dan harta milik
disebut ketertiban.5
Hukum Pidana merupakan salah satu
bagian dari keseluruhan sistem hukum
Indonesia. Dalam hukum pidana dikenal pula
hukum pidana adat (delik adat), yang
merupakan bagian dari hukum adat secara
keseluruhan. Hukum pidana substantif atau
dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP)
positif, merupakan peninggalan Belanda yang
mengalami beberapa perubahan. Konten yang
diatur dalam KUHP ada yang tidak selaras
bahkan bertentangan dengan kebiasaan
3
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam
Masyarakat, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2013,
hlm. 101.
4
Zaenuddin Ali & Supriadi, Pengantar Ilmu
Hukum, Jakarta, Yayasan Masyarakat Indonesia
Baru, 2014, hlm. 91.
5
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu
Hukum Buku I, Bandung, Alumni, 2013, hlm.
50.
8. 3 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
masyarakat adat di Indonesia. Misalnya
pengaturan perzinahan dalam Pasal 281
KUHP, tidak sesuai dengan konsep perzinahan
yang ada di masyarakat. Oleh karena itu
diadakan perubahan yang mendasar terhadap
KUHP oleh badan legislatif. Menurut Muladi
perubahan KUHP hendaknya tidak boleh
mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan
dengan kondisi manusia, alam, dan tradisi
Indonesia.6
Disamping itu perumusan
ketentuan dalam KUHP Baru seyogyanya
merupakan produk kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sendiri atau paling tidak
merupakan mendekati kesadaran masyarakat
hukum Indonesia, bukan semata-mata produk
kesadaran hukum barat sebagaimana KUHP
warisan Belanda.7
Pembaharuan hukum pidana
(penal reform) merupakan bagian dari
politik/kebijakan hukum pidana (penal
policy).8
Indonesia adalah salah satu negara yang
mengakui keberadaan hukum adat. Hal ini
dipertegas dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD RI 1945), menyatakan: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
6
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil
Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan
Guru Besar FH UNDIP, Semarang, Sabtu 28
Februari 1990, hlm. 15.
7
Jimmly Asshidiqie, Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, Bandung, Angkasa, 1997,
hlm. 3.
8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2014, hlm.
28.
prinsip Negara kesatuan republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang ini”.9
Demikian pula dalam pembentukan
hukum nasional, disebutkan dalam Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun
2005-2025 pada Lampiran huruf G
menegaskan bahwa: “Dalam era reformasi
upaya perwujudan sistem hukum nasional
terus dilanjutkan mencakup beberapa hal:
Pertama, pembangunan substansi hukum baik
hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis
telah mempunyai substansi untuk membentuk
hukum nasional.....; Ketiga, pelibatan seluruh
komponen masyarakat yang mempunyai
kesadaran hukum tinggi untuk mendukung
pembentukan sistem hukum nasional yang
dicita-citakan”.10
Dalam hukum adat dikenal pula
perbuatan yang bertentangan dengan hukum
adat yang merupakan tindakan illegal, dan
upaya-upaya pemulihan hukum adat jika
dilanggar.11
Tindakan illegal memiliki sifat
dan sistemnya berbeda antara delik adat
dengan tindakan illegal berdasarkan KUHP
(hukum barat). KUHP juga tidak dapat
mengakomodir keberadaan delik adat yang
masih berlaku di tempat tertentu. Bahkan
terjadi
9
Republik Indonesia, Pasal 18 B ayat (2) UUD
1945.
10
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Tahun 2005-2025.
11
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas,
Yogyakarta, Liberty, 1981, hlm. 175.
9. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 4
ketidaksinkronan perbuatan illegal menurut
hukum adat dan menurut KUHP. Keberadaan
Pasal 5 ayat 3 Sub b Undang-undang Nomor 1
Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan Pengadilan Sipil, tidak sepenuhnya
digunakan dalam praktek pengadilan. Tujuan
dan sanksi yang diatur dalam peraturan
tersebut belum dapat mewakili tujuan dan
sanksi berdasarkan hukum pidana adat.
Sehingga fungsi dan tujuan hukum khususnya
hukum pidana dikhawatirkan tidak dapat
terwujud di masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa delik adat harus eksis dalam
pembaharuan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP)?
2. Bagaimanakah perbedaan hukum pidana
adat (delik adat) dengan delik yang diatur
dalam KUHP?
C. PEMBAHASAN
Eksistensi Delik Adat Dalam Pembaharuan
KUHP
Pembaharuan hukum pidana tidak terlepas dari
kebijakan hukum pidana. Pembaharuan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan
hukum pidana (penal/criminal policy), bagian
dari politik penegakan hukum (law
enforcement policy), dan bagian dari politik
sosial (social policy).12
Pelaksanaan
12
G.P. Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief,
op.cit., hlm. 4.
pembaharuan hukum pidana ditempuh melalui
2 pendekatan yaitu pendekatan berorientasi
kebijakan (policy oriented approach) dan
pendekatan yang berorientasi pada nilai (value
oriented approach).13
Dalam rangka
pembaharuan hukum pidana materiil, maka
karakteristik operasional hukum pidana
materiil di masa mendatang sebagai berikut:
Pertama, Hukum Pidana Nasional mendatang
dibentuk tidak hanya sekedar alasan
sosiologis, politis, dan praktis semata-mata,
namun secara sadar harus disusun dalam
kerangka Ideologi Nasional Pancasila; Kedua,
Hukum Pidana Nasional mendatang tidak
boleh mengabaikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan kondisi manusia, alam, dan
tradisi Indonesia; Ketiga, Hukum Pidana
Nasional mendatang harus menyesuaikan diri
dengan kecenderungan-kecenderungan
universal yang tumbuh di dalam pergaulan
masyarakat beradab; Kempat, sistem peradilan
pidana, politik kriminal, politik penegakan
hukum adalah merupakan bagian dari politik
soaial; Kelima, Hukum pidana dan sistem
peradilan pidana pada dasarnya merupakan
bagian dari super sistem yang lebih besar
yakni sistem politik, ekonomi, sosial budaya,
hankam dan sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi.14
Pada karakteristik operasional
yang kedua, menunjukkan bahwa
13
Ibid., hlm. 29.
14
Muladi, op.cit., hlm. 8-35.
10. 5 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
pembaharuan hukum pidana mengkalkulasi
kebiasaan yang ada dimasyarakat atau yang
dikenal dengan hukum pidana adat (delik
adat).
Pembaharuan hukum dilakukan agar
tujuan dan fungsi hukum dapat terwujudkan
dalam masyarakat dengan maksimum. Hukum
selalu mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan kehidupan manusia. Hukum
diciptakan untuk manusia, dan selalu
berproses. Hukum merupakan lembaga yang
secara terus-menerus membangun dan
mengubah dirinya menuju pada
kesempurnaan, dimana kualitas kesempurnaan
dapat diverifikasi ke dalam faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat , dan
lain-lain. Hal inilah yang merupakan hakekat
hukum yang selalu dalam proses menjadi (law
as process, law in the making).15
Pembaharuan
hukum pidana dilakukan alam rangka
mencapai ketertiban dan kepastian. Kedua hal
ini merupakan hal yang penting dalam melihat
pelaksanaan hukum di masyarakat.16
Achmad Ali mengemukakan ada 5 fungsi
hukum, yaitu fungsi hukum sebagai: (1). A
tool of social control; (2). A tool of social
enginiering; (3). Simbol; (4). A political
instrument; (5). Integrator.17
Adapun tujuan
hukum menurut Gustav Radbrugh adalah
15
Satjipto Rahardjo, dalam Dey Ravena, Wajah
Hukum Pidana Indonesia Asas dan
Perkembangan, Jakarta, Gramata Publishing,
2012, hlm. 23.
16
Zainuddun Ali & Supriadi, op.cit., hlm. 92-102.
17
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu
Kajian Filosofis dan Sisiologis), Jakarta,
Chandra Pratama, 1996, hlm. 98-112.
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.18
Ketiganya merupakan tujuan hukum secara
bersama-sama, jika ketiganya tidak dapat
tercapai secara bersamaan, maka digunakan
asas proritas yaitu prioritas pertama selalu
keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir
kepastian19
.
Untuk mencapai tujuan dan fungsi hukum
tersebut, diperlukan suatu hukum atau
peraturan yang secara efektif dengan mudah
berlaku dimasyarakat. Hukum yang dimaksud
adalah hukum adat. Hukum adat sebagai
hukum yang hidup dimasyarakat (living law),
dalam implementasinya terdapat hukum
pidana adat (delik adat). Keberadaannya tidak
dapat dipisahkan dari perwujudan kebudayaan
yang mencerminkan nilai-nilai kepribadian
bangsa Indonesia.20
Hukum adat merupakan
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Hal ini senada dengan pandangan
Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum
itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat (das recht wird nicht
gemacht, ast ist und wird mit dem volke).21
Hukum lahir karena adanya semangat atau roh
rakyat (volkgeist) yang hidup dalam tiap
individu yang menghendaki hukum tersebut
muncul. Terdapat dua bukti yang
18
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, Jakarta,
Kencana, 2008, hlm.3.
19
Achmad Ali, op.cit., hlm. 96.
20
Bambang Satriya, Problematika Pembaruan
Hukum Pidana Nasional, Politik Pembaruan
Hukum Pidana Berbasis “Living Law”, Jakarta,
KHN, 2013, hlm. 271.
21
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2002,
hlm. 63.
11. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 6
menunjukkan hukum tertentu ada dalam
masyarakat tertentu, yaitu: (1). Adanya
pengakuan dari masyarakat secara faktual; (2).
Adanya sikap tindak atau perilaku yang telah
terjadi lama dan menjadi fakta historis.22
Jika hukum yang berlaku sesuai dengan
jiwa masyarakat dimana hukum itu berlaku
maka tingkat efektifitasnya maksimum.
Sehingga tidak dibutuhkan cost yang tinggi
untuk mencapai tujuan dan fungsinnya.
Efektifitas hukum berkaitan dengan kesadaran
hukum dan ketaatan hukum suatu masyarakat,
sehingga mereka telah memiliki persepsi
tersendiri tentang apa yang dimaksud sebagai
hukum.23
Menurut Robert B. Seidman, bahwa
hukum tidak dapat ditranfer begitu saja dari
suatu masyarakat ke masyarakat lain yang
memiliki perbedaan kultur (the law of non
transferribility of law).24
Kebenaran konsep ini
terwujud di Kepulauan Fiji. Kepulauan Fiji
adalah bekas jajahan Inggris, hukum yang
berlaku adalah hukum Inggris. Masyarakat Fiji
beragama Sikh yang memiliki hukum adat
tersendiri, sedangkan sarjana hukumnya
lulusan dari Inggris. Ada seorang Satpam
sebagai penjaga pintu gerbang Pengadilan
Negeri di ibu kota Fiji yang merupakan
penduduk asli Fiji. Saat penduduk asli
22
Antonius Cahyadi & E.Fernando M. Manullang,
Pengantar ke Filsafat Hukum, Jakarta,
Kencana, 2007, hlm. 136-137.
23
Achmad Ali & Wiwie Heryani. Menjelajahi
Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta,
Kencana, 2012, hlm. 132-133.
24
Ibid., hlm. 227.
mengajukan sengketa untuk mendapatkan
keadilan yang ditemui pertama kali adalah
Satpam tersebut. Para pencari keadilan
menceritakan kasusnya pada Satpam tersebut,
dan Satpam menyampaikan pendapatnya
tentang kasus yang diceritakan penduduk.
Pendapat Satpam sesuai dengan cara berpikir
tradisionil yang dimilikinya. Ternyata saran
tersebut diterima oleh pihak yang bersengketa
dan mereka kembali ke desa dengan perasaan
yang puas. Suatu ketika datang kembali
penduduk untuk mencari keadilan ke
pengadilan tersebut. Satpam yang biasa
menjaga pintu gerbang pengadilan tidak
berada ditempat. Sehingga penduduk
menyelesaikan perkaranya melalui prosedur
formal. Setelah hakim menjatuhkan putusan
para pihak merasa tidak puas, dan pulang ke
desa dengan mengerutu.25
Fakta tersebut
menunjukkan bahwa hukum yang efektif di
Inggris ternyata tidak dapat efektif di
kepulauan Fiji yang memiliki kebiasaaan yang
berbeda. Sehingga suatu hukum tidak dapat
begitu saja diterapkan disuatu tempat yang
memilki adat dan budaya berbeda.
Belajar dari Kasus di Fiji tersebut, KUHP
positif merupakan warisan dari Belanda. Asal
KUHP adalah Wet Boek van Strafrecht (WvS)
Belanda dengan asas Konkordansi
diberlakukan oleh Raja Belanda untuk jajahan
Belanda di Hindia termasuk di Indonesia.
Kemudian melalui Undang-undang Nomor 1
25
Ibid., hlm. 228-229.
12. 7 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
dan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958
tentang Berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1946 untuk seluruh Wilayah Indonesia
atau Unifikasi KUHP, diberlakukan di
Indonesia hingga sekarang. Dalam praktek
pengadilan di Indonesia keberadaan delik adat
diakui, misalnya pada kasus yang diputus oleh
pengadilan dengan putusan Nomor
1901K/Pid/2010 atas nama terpidana Samuel
Patintingan.
Delik adat di Indonesia diakui
berdasarkan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-
undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dalam
Pasal tersebut menyatakan: “Hukum materiil
sipil dan untuk sementara waktupun hukum
materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku
untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-
orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan
Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan
orang itu dengan pengertian: bahwa suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi
tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana
Sipil, maka dianggap diancam dengan
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan
penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu
sebagai hukuman pengganti bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti
oleh pihak yang terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim
dengan dasar kesalahan terhukum; bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut
pikiran hakim melampaui hukuman kurungan
atau denda yang dimaksud di atas, maka atas
kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman
pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang
menurut faham Hakim tidak selaras lagi
dengan jaman senantiasa diganti seperti
tersebut di atas; bahwa suatu perbuatan yang
menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya
dalam Kitab Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama dengan
hukuman bandingnya yang paling mirip
kepada perbuatan pidana itu”. Berdasarkan
pasal tersebut, delik adat diakui dalam hukum
pidana nasional. Keberlakuan delik adat
sepanjang tidak ada padanannya dalam KUHP,
jika ada padananya maka yang diterapkan
adalah KUHP. Dalam hal ini penerapan asas
legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP,
diperluas perumusannya dengan mengakui
eksistensi hukum pidana adat sebagai dasar
patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang
perbuatan tersebut tidak ada padanannya
dengan KUHP atau peraturan pidana yang
lain.
Dalam konsep KUHP penerapan
berlakunya hukum yang hidup dimasyarakat
mengalami perubahan. Konsep KUHP
mengakui dengan tegas eksistensi delik adat
(hukum yang hidup dimasyarakat), sepanjang
selaras dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi
manusia, dan prinsip hukum umum yang
diakui oleh bangsa-bangsa di dunia (Pasal 2
RUU KUHP). Selain itu dalam Pasal 756 ayat
13. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 8
(1) RUU KUHP mengakui delik adat sebagai
tindak pidana. Dalam jenis-jenis pidana diakui
pula pidana tambahan berupa pemenuhan
kewajiban adat yang diatur dalam Pasal 76
yang berbunyi: ”Pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat”.
Dalam konsep perubahan KUHP tersebut
eksistensi delik adat mengalami penguatan
dibandingkan eksisitensi dalam KUHP positif.
Selain itu ada beberapa perbuatan yang
dianggap delik, dimana delik baru ini
mengutamakan nilai-nikai kebudayaan bangsa
Indonesia sekarang ini. Delik-delik dimaksud
adalah:26
1. Delik yang berhubungan dengan masalah
santet: delik ini diatur dalam Pasal 293
RUU KUHP. Pasal 293 RUU KUHP,
berbunyi: “Setiap orang yang menyatakan
dirinya mempunyai kekuatan ghaib,
memberitahukan, menimbulkan harapan,
menawarkan atau memberikan bantuan jasa
kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, penderitaan mental atau fisik
seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling
banyak Kategori IV”.27
Pidana denda diatur
dalam Pasal 80 RUU KUHP, dengan 6
kategori. Kategori IV dengan dengan
sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh
lima juta rupiah.
26
Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 290-320.
27
RUU KUHP 2012.
2. Delik kumpul kebo: diatur dalam Pasal 487
Konsep KUHP, yang berbunyi:”Setiap
orang yang melakukan hidup bersama
sebagai suami istri di luar perkawinan yang
sah, dipidana penjara paling lama lima
tahun dan atau denda paling banyak
Kartegori IV”.28
Delik santet atau delik mengaku bisa
menyantet, pernah dirumuskan dalam Pasal 13
perundang-undangan Majapahit, yang disebut
dengan “delik tenung” dan “delik menenung”.
Kedua jenis delik ini tergolong sebagai
“tatayi” atau kejahatan berat yang dapat
dipidana mati. Disamping itu di wilayah
hukum adat Dayak Kanayatn dikenal istilah
“nyampokng nyawa” (membunuh orang lain
dengan guna-guna/mistik), “nyampokng padi”
( perbuatan mistik untuk merusak hasil panen),
dan “saropo” (perbuatan meletakan barang di
rumah korban secara tidak wajar seolah-olah
perbuatan nyampokng).
Pertimbangan delik santet diatur sebagai
delik yang dalam RUU KUHP adalah:29
1. Santet merupakan fenomena dan problem
sosial yang ada di masyarakat. Praktek ini
sangat meresahkan, merugikan dan dicela
oleh masyarakat.
2. RUU KUHP merespon dengan
mengakomodasikannya fenomena santet
yang merupakan problem sosial menjadi
suatu perbuatan yang dapat dipidana.
28
Ibid.
29
Ibid., hlm. 315-317.
14. 9 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
Apalagi dalam KUHP telah diatur
perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal
ghaib/mistik dijadikan delik (Pasal 545
KUHP, Pasal 546 KUHP, Pasal 547
KUHP, dan Pasal 162 KUHP).
Kumpul kebo (samen leven) merupakan
istilah yang terbentuk di masyarakat untuk
menunjukkan perbuatan sepasang kekasih
(laki-laki dan wanita) yang hidup bersama
tanpa atau diluar ikatan perkawinan yang sah.
Alasan perbuatan kumpul kebo dimasukkan
sebagai delik dalam RUU KUHP, karena
pembaharuan dan penegakkan hukum pidana
hendaknya dilakukan dengan menggali dan
mengkaji sumber hukum tidak tertulis dan
nilai-nilai hukum yang hidup di dalam
masyarakat, antara lain hukum agama dan
hukum adat.30
Hal ini merupakan pendekatan
pembaharuan KUHP yang berorientasi pada
nilai (value oriented approach).31
Dalam praktek pngadilan hukum yang
hidup/kebiasaan/kepatutan diakui pula dalam
putusan pengadilan yang dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana korupsi. Hukum
kebiasaan atau hukum yang hidup
dimasyarakat digunakan sebagai dasar untuk
menjatuhkan pidana terhadap pelaku korupsi.
Hal ini tercantum dalam putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MA-RI), yaitu:
1. Putusan MA-RI Nomor 275K/ Pid/1983
tanggal 28 Desember 1983.
30
Ibid., hlm. 303.
31
Ibid., hlm. 302.
2. Putusan MA-RI Nomor 2477K/ Pid/1988
tanggal 23 Juli 1993
3. Putusan MA-RI Nomor 1571K/ Pid/1993
tanggal 18 Januari 1995
4. Putusan MA-RI Nomor 2608K/ Pid/2006
tanggal 26 Juli 2006
5. Putusan MA-RI Nomor 103K/ Pid/2007
tanggal 28 Februari 2007
Pengaturan delik adat (hukum pidana
adat) semakin dikukuhkan dalam
pembaharuan KUHP yang tercantum dalam
konsep terakhir yaitu RUU KUHP 2012.
Bahkan di dalam praktek pengadilan
penerapan delik adat telah dilaksanakan baik
untuk delik adat itu sendiri maupun terhadap
delik yang lain khususnya delik korupsi. Hal
ini mengindikasikan eksisitensi delik adat
yang bersumber dari hukum yang hidup
dimasyarakat semakin kokoh dan
diperhitungkan dalam pembaharuan hukum
pidana yang suatu saat akan bersifat positif.
Delik Adat dan Delik menurut KUHP
Hukum pidana adat atau delik adat
sebagai bagian dari hukum adat, memiliki
perbedaan yang signifikan dengan delik yang
diatur menurut hukum pidana umum (KUHP).
Delik adat atau “adat delicten recht” atau
hukum pelanggaran adat menurut Van Vollen
Hoven menyebutkan delik adat sebagai
perbuatan yang tidak boleh dilakukan
walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau
perbuatan itu hanya merupakan kesalahan
15. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 10
yang kecil saja.32
Sedangkan menurut
Soepomo, delik adat adalah: “Segala perbuatan
atau kejadian yang sangat menggangu
kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan
atau kejadian yang mencemarkan suasana
batin, yang menentang kesucian masyarakat,
merupakan delik terhadap masyarakat
seluruhnya”. Selanjutnya dinyatakan pula:
“Delik yang paling berat ialah segala
pelanggaran yang memperkosa perimbangan
antara dunia lahir dan dunia gaib, serta
pelanggaran yang memperkosa dasar susunan
masyarakat”33
Teer Haar memberikan
pernyataan bahwa: “Setiap perbuatan dalam
sistem adat dinilai dan dipertimbangkan
berdasarkan tata susunan persekutuan yang
berlaku pada saat perbuatan tersebut
dilakukan. Pelanggaran yang terjadi di dalam
hukum adat atau juga disebut Delik Adat
adalah setiap gangguan terhadap
keseimbangan dan setiap gangguan terhadap
barang-barang materiil dan imateriil milik
seseorang atau sekelompok orang yang
menimbulkan reaksi adat”.34
Nyoman Serikat
Putra Jaya menyebutkan bahwa untuk dapat
disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus
mengakibatkan kegoncangan dalam neraca
keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu
tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum
dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga
32
Van Volenhoven, dalam Misbahul Mujib.
Eksistensi Delik Adat Dalam Konstestasi
Hukum Pidana Indonesia, www.alfis.digilip.org
, diakses tanggal 25 Januari 2015.
33
Ibid.
34
Ter Haar. Beginselen En Stelsel Van Het
Adatrecht, alih bahasa oleh Soebakti
Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum
Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1981, hlm.
125.
apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan,
dan sopan santun dalam masyarakat
dilanggar.35
Kelahiran delik adat memiliki perbedaan
dengan delik yang diatur dalam KUHP. Delik
dalam KUHP dianggap ada berdasarkan asas
legalitas, dimana telah diatur dalam suatu
perundang-undangan dan diundangkan sebagai
tindak pidana dan dipidana. Sedangkan delik
adat lahir sama dengan lahirnya tiap peraturan
yang tidak tertulis yang berupa perilaku yang
mempola (empirical regulities) dari
masyarakat. Perilaku tersebut memperoleh
sifat hukum pada saat petugas yang
berwenang, menindak si pelanggar.
Pelanggaran hukum adat dapat berubah
menjadi bukan pelanggaran karena perubahan
rasa keadilan masyarakat. Sedangkan rasa
keadilan berubah sesuai dengan pertumbuhan
hidup masyarakat yang selalu dipengaruhi
oleh faktor lahir dan batin.36
Untuk
kriminalisasi dan dekriminalisasi delik dalam
KUHP didasarkan pada dicabut atau tidaknya
suatu peraturan yang menetapkan suatu
perbuatan dipidana.
Delik adat memiliki sifat yang spesifik.
Kekhususan ini karena delik adat tumbuh dan
35
Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum
Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2005, hlm. 33.
36
Iman Sudiyat. op.cit., hlm 176.
16. 11 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
berkembang original dari masyarakat. Sifat
delik adat dimaksud yaitu:37
1. Terdapat upaya-upaya untuk memulihkan
hukum jika hukum adat dilanggar;
2. Tidak mengadakan pemisahan antara
pelanggaran pidana dan pelanggaran
perdata termasuk hukum acaranya. Apabila
terjadi pelanggaran maka pemuka, tetua.
kepala adat menerapkan tindakan konkrit
(reaksi adat) guna memulihkan hukum
yang dilanggar;
3. Tindakan untuk memulihkan situasi akibat
dari pelanggaran adat disesuaikan sifat
pelanggaran yang dilakukan, misalnya
mengganti kerugian kepada korban dan
membayar uang adat kepada korban atau
persekutuan hukum bersangkutan;
4. Pada pelanggaran tertentu petugas hanya
bertindak jika diminta oleh korban, namun
pada perbuatan lainnya petugas dapat
bertindak atas inisiatif sendiri.
Tindakan konkrit atau reaksi adat dalam
delik adat ada berbagai macam, misalnya:38
1. Pengganti kerugian immateriil dalam
berbagai macam, seperti: paksaan menikah
dengan gadis yang telah dicemarkan;
2. Pembayaran uang adat kepada korban yang
terkena, berupa benda sakti selaku
pengganti kerugian rohani;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan
masyarakat dari segala kotoran ghaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Berbagai pidana badan, sampai pada pidana
mati;
37
Ibid., hlm. 175.
38
Ibid., hlm. 180
6. Pengasingan dari masyarakat serta
meletakkan orang di luar tata hukum.
Sedangkan jenis delik adat menurut
Hilman Hadikusuma adalah sebagai berikut:39
1. Delik yang paling berat adalah segala
pelanggaran yang memperkosa
perimbangan antara dunia lahir dan dunia
gaib serta segala pelanggaran yang
memperkosa susunan masyarakat;
2. Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga
masyarakat seluruhnya, karena kepala adat
merupakan penjelmaan masyarakat;
3. Delik yang menyangkut perbuatan sihir
atau tenung;
4. Segala perbutan dan kekuatan yang
menggangu batin masyarakat, dan
mencemarkan suasana batin masyarakat;
5. Delik yang merusak dasar susunan
masyarakat, misalnya incest;
6. Delik yang menentang kepentingan umum
masyarakat dan menentang kepentingan
hukum suatu golongan keluarga;
7. Delik yang melanggar kehormatan famili
serta melanggar kepentingan hukum
seorang sebagai suami;
8. Delik mengenai badan seseorang misalnya
melukai.
39
Hilman Hadikusuma. Pengantar Ilmu Hukum
Adat di Indonesia, Bandung, Mandar Maju,
2003, hlm. 238.
17. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 12
Jenis delik adat menurut Imam Sudiyat,
yaitu:40
1. Penghianatan: merupakan golongan delik
yang paling berat karena memperkosa
keselamatan masyarakat seluruhnya, dan
menentang dasar hidup bersama.
2. Pembakaran kampung: pembakaran yang
memusnahkan seluruh kampung berarti
menentang keselamatan seluruh
masyarakat. Pelaku dianggap
mengeluarkan diri dari persekutuan dan
dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup
dari persekutuan.
3. Delik terhadap diri pribadi kepala adat:
kepala adat merupakan penjelmaan atau
personifikasi masyarakat, sehingga delik
ini mengenai masyarakat seluruhnya.
4. Sihir dan tenung: delik ini tergolong
menentang keselamatan masyarakat
seluruhnya, sehingga pelaku dapat
dibunuh.
5. Pengganggu kekuatan batin masyarakat:
delik ini merupakan delik terhadap
masyarakat seluruhnya. Sanksinya
diadakan upacara pembersihan
masyarakat sehingga suasana kesucian
dalam batin masyarakat dapat pulih
kembali.
6. Incest/sumbang: jenis delik ini tergolong
berat karena merusak dasar susunan
masyarakat. Sanksinya berupa pidana
mati atau pembuangan, dan diadakan
upacara pembersihan masyarakat.
7. Hamil tanpa nikah: delik ini merupakan
delik yang menentang kepentingan
40
Imam Sudiyat. op.cit., hlm. 179-181.
hukum masyarakat atau segolongan
kerabat. Sanksinya bagi yang menghamili
harus menikahi wanita yang dihamili agar
anak yang lahir memiliki bapak, jika tidak
bertemu dengan pemuda yang
menghamili maka wanita yang hamil
harus dinikahkan dengan pemuda siapa
saja, agar anak tidak lahir di luar
perkawinan.apabila nsi npemuda tidak
sanggup menikahi, maka harus mempayar
uang penyingsingan kepada wanita yang
dihamili.
8. Melarikan gadis: delik ini tergolong delik
yang berat karena mencemarkan kesucian
si gadis dan melanggar kehormatan
kerabat si gadis. Sanksi pada umumnya
berupa pembayaran denda kepada kerabat
si gadis dan memberikan uang antaran
untuk dinikahkan dengan si gadis.
9. Zina: delik ini melanggar kehormatan
kerabat dan melanggar kepentingan
hukum suami, sehingga kesucian
masyarakat tergangu. Reaksi adat dapat
berupa upacara pembersihan masyarakat,
denda baik uang maupun binatang,
dibunuh bagi yang bersalah atas
permintaan keluarga yang terhina, atau
suami boleh membunuh keduanya yang
berzina.
Pembunuhan: merupakan delik yang
memperkosa nyawa orang. Arti tiap-tiap
18. 13 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
1. orang bergantung pada kedudukannya di
dalam masyarakat.
2. Perbuatan melukai: delik ini menyasar
badan orang, sehingga hanya
mengganggu kepentingan orang dan
kerabat yang dilukai.atas permintaan
pihak yang menderita dilakukan
pemulihan keseimbangan hukum dengan
pemayaran denda kepada orang yang
dilukai atau kerabatnya.
3. Pencurian: delik ini mengenai harta
benda, dan hanya berkaitan dengan
kepentingan orang yang memili barang
yang dicuri. Berat ringannya delik ini
tergantung dari sifat barang yang dicuri.
Pada umumnya pencuri dihukum
membayar kemabli barang yang dicuri
serta membayar denda kepada korban
pencurian. Bahkan perampok yang
berkali-kali melakukan perampokan dapat
diasingkan dan dibunuh.
Apabila disandingkan antara delik adat
dengan delik yang diatur dalam KUHP, maka
dapat diperoleh perbandingan seperti di bawah
ini:
No Delik Dalam KUHP Delik Adat
1. Penjatuhan pidana
terhadap subyek hukum
bersifat
pribadi/persoon yang
berupa manusia/orang.
Penjatuhan pidana
tidak terhadap
subyek hukum
pribadi maupun
persekutuan
2. Pertangungjawaban
pidana pada pelaku
langsung
Pertanggungjawaban
pidana kepada pelaku
dan keluarga/kerabat
pelaku atau
kampung/
persekutuan pelaku
3. Pemidanaan
berdasarkan kesalahan
pelaku yang berupa
kesengajaan dan
kealpaan
Pemidanaan tidak
selalu mendasarkan
pada kesalahan
pelaku
4. Adanya keharusan
pembuktian kesalahan
pelaku.
Tidak diperlukan
pembuktian adanya
kesalahan pelaku.
5. Tiap delik adalah
melanggar kepentingan
negara.
Tidak semua delik
melanggar
kepentingan negara.
Ada delik yang
melanggar
kepentingan pribadi,
juga menjadi
persoalan kerabatnya
atau mengenai
kepentingan desanya.
6. Pertanggungjawaban
pidana hanya terhadap
orang yang mampu
bertanggungjawab.
Upaya peralawanan
tetap dilakukan tanpa
melihat ada tidaknya
kemampuan
bertanggungjawab
pelaku baik terhadap
pelaku yang sakit
jiwa maupun
dibawah umur.
7 Perlakuan terhadap
orang dianggap sama
tanpa diskriminasi
Perlakuan terhadap
pelaku tergantung
pada kedudukan atau
fungsinya di
masyarakat. Semakin
tinggi kedudukan
seseorang di
masyarakat, makin
berat penilaian sifat
deliknya, maka main
berat pidana yang
dijatuhkan.
19. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 14
8. Orang dilarang
bertindak sendiri untuk
menegakkan hukum
yang dilanggar, karena
delik adalah persoalan
negara bukan persoalan
pribadi.
Ada kondisi yang
mengizinkan orang
sebagai korban untuk
menegakkan hukum
sendiri.
9. Tidak ada pembedaan
tentang nilai suatu
benda/ barang.
Ada pembedaaan
menganai nilai
barang. Misalnya
merusak barang
nenek moyang lebih
berat dari pada
barang biasa.
10. Terdapat bentuk-
bentuk penyertaan
delik yang memiliki
pertanggungjawaban
berbeda.
Semua orang yang
turut menentang
peraturan hukum,
diwajibkan untuk
memulihkan
keseimbangan,
sehingga ikut
menanggung resiko.
11. Percobaan delik dapat
dipidana.
Tidak menghukum
seseorang karena
mencoba melakukan
delik. Reaksi adat
akan diterapkan jika
keseimbangan
hukum terganggu.
12. Pelaku dipidana
berdasarkan perbuatan
yang terakhir, kecuali
ada penggabungan
delik dan melakukan
pengulangan.
Dalam menjatuhkan
pidana, hakim adat
memperhatikan
kondisi pribadi
pelaku, misalnya
apakah pelaku benar-
benar menyesal atau
pelaku merupakan
orang yang terkenal
sebagai penjahat.
Karena penyesalan
dapat meringankan
pidana, sedangkan
orang yang terkenal
sebagai penjahat
merupakan
pemberatan
hukuman.
13. Terdapat alasan yang
memberatkan dan
meringankan, serta
hapusnya kewenangan
menuntut dan
menjalankan pidana.
Hakim dilarang
menerapkan alasan lain
kecuali yang telah
disebutkan dalam
undang-undang.
Dalam kehidupan
masyarakat adat ada
delik-delik menurut
kepercayaan
masyarakat perlu
dilakukan sebagai
obat atau untuk
kepentingan lain
yang mendesak.
Alasan ini dapat
digunakan oleh
hakim adat agar
pelaku tidak dikenai
sanksi adat.
14. Bersifat tertutup, yaitu
terikat pada ketentuan
yang ada dalam
perundangan (Pasal 1
KUHP tentang asas
legalitas), dimana delik
ditetapkan terlebih
dahulu.
Bersifat terbuka
dimana pelanggaran
tidak ditetapkan
terlebih dahulu.
Pertimbangan utama
delik adat adalah
pada akibat yang
ditimbulkan atas
suatu pelanggaran,
jika mengganggu
keseimbangan
masyarakat maka
harus ada tindakan
koreksi/reaksi agar
keseimbangan
kembali pulih,.
20. 15 Eksistensi Hukum Pidana Adat (Delik Adat) Dalam Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)-(Warih Anjari)
15. Berlaku di seluruh
wilayah Indonesia,
bahkan dapat
diberlakukan di luar
wilayah Indonesia
sepanjang
memungkinkan, dan
kekuatan berlakunya
berdasarkan ketentuan
undang-undang yang
telah diatur oleh
negara.
Berlakunya terbatas
pada lingkungan
masyarakat adat
tertentu, dan
kekuatan berlakunya
tergantung pada
tempat, waktu dan
keadaan dimana
delik itu terjadi.
Sistem yang dianut oleh hukum pidana
adat atau delik adat dijiwai oleh Pancasila
yang mengandung keseimbangan nilai, yaitu
(a) moral (religius); (b) kemanusiaan
(humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi;
(e) keadilan sosial. Sifatnya magis-religius,
dan tujuannya untuk mencapai rasa keadilan
secara kekeluargaan bukan perorangan. Dalam
menyelesaikan masalah mengutamakan
penyelesaian yang berdampak pada
kerukunan, keselarasan, dan kekeluargaan, dan
berusaha memulihkan kondisi masyarakat
seperti semula (restorative justice).
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah
disampaikan dalam pembahasan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembaharuan hukum pidana harus
berorientasi pada nilai. Nilai dimaksud
adalah nilai-yang berkembang
dimasyarakat. Delik adat atau hukum
pidana adat tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sehingga bersifat orisinal .
Konten hukum tersebut dapat berlaku
secara efektif di masyarakat. Hal ini selaras
dengan konsep hukum “the living law”,
“the law is volkgeist”, “the law is non
tranferribility of law”, dan” proggresive of
law”.
2. Delik adat memiliki perbedaan prinsip
dengan delik yang diatur dalam KUHP.
Delik adat mengandung prinsip yang
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila.
Sedangkan delik yang diatur dalam KUHP
mengadung nilai-nilai budaya barat, yang
kontradiktif dengan budaya masyarakat
Indonesia.
21. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 1-16 16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aburaera, Soekarno et,al. Filsafat Hukum Teori
dan Praktek, (Jakarta: Kencana, 2014.)
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu
Tinjauan Fifsafat dan Sosiologis, (Jakarta:
Chandra Pratama, 1996)
------------------. Menguak Realita Hukum, (Jakarta,
Kencana: 2008).
Ali, Achmad & Wiwie Heryani. Menjelajahi
Kajian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2012).
Ali, Zainuddin & Supriadi. Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Yayasan Masyarakat
Indonesia, 2014).
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014).
Assidiqie, Jimly. Pembaruan Hukum Pidana
Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1997).
Cahyadi, Antonio & E. Fernando M. Manulang.
Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2007).
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum
Adat di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2003).
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 2000).
Muhammad, Bushar. Asas Hukum Adat Suatu
Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003).
Poeponoto, Soebakti. Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1981.
Rasjidi, Lili & Ira Thania R. Pengantar Filsafat
Hukum, (Bandung: Mandar Maju. 2002).
Ravena, Dey. Wajah Hukum Pidana Indonesia
Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2012).
Satriyo, Bambang. Problematika Pembaruan
Hukum Pidana Nasional: Politik Pembaruan
Hukum Pidana Berbasis Living Law, (Jakarta:
KHN, 2013).
Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas,
(Yogyakarta: Liberty, 1981).
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum Dalam
Masyarakat, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).
Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil Penelitian
Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil
Indonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Guru besar Hukum Pidana FH
UNDIP, (Semarang, FH UNDIP, Sabtu 28
Februari 1990).
Internet
Van Volenhoven, dalam Misbahul Mujib,
Eksistensi Delik Adat Dalam Konstestasi
Hukum Pidana Indonesia,
www.alfis.digilip.org, diakses tanggal 25
Januari 2015.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951
tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
22. 17 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
KEARIFAN LOKAL DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANA DI INDONESIA
(Perdebatan ius constitutum dan ius constituendum)
Rocky Marbun, Fakultas Hukum Universitas Bung Karno Jakarta
Jl. Kimia No. 20 Menteng, Jakarta Pusat 10320
Email: rocky.marbun08@gmail.com
ABSTRAK
Tingkat frustasi masyarakat, baik secara regional maupun internasional, terhadap berjalannya
proses suatu peradilan pidana telah mulai dirasakan dengan kemunculan konsep restorative
justice. Bahkan konsep tersebut diyakini mampu memberikan solusi terhadap tingginya
tingkat kejahatan di dalam masyarakat. Indonesia secara parsial, telah menanamkan jejak
restorative justice ke dalam berbagai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tentunya
bertentangan dengan amanat konstitusi yang secara tegas mengakomodir kepentingan Hukum
Adat. Jika mengacu kepada falsafah bangsa, semenjak kemerdekaan, memunculkan
konsekuensi adanya ketertundukan kepada Pancasila sebagai landasan filsafati bagi
rechtbeoefening (pengembanan praktis Ilmu Hukum) di Indonesia. Asas Musyawarah
Mufakat sebagai turunan dari Asas Kerukunan merupakan ciri khas dari keagungan “kearifan
lokal” yang masih dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hingga saat ini tidak mampu dan/atau
tidak dapat dilakukan proses konkretisasi ke dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Kata Kunci: Pancasila, Kearifan Lokal, Ilmu Hukum, Sistem Peradilan Pidana.
ABSTRACT
Public frustration level, both regionally and internationally, to the passage of a criminal
justice process has begun to be felt with the emergence of the concept of restorative justice.
In fact, the concept is believed to be able to provide a solution to the high levels of crime in
the community. Indonesia partially, has instilled a trail of restorative justice to the various
laws and regulations. This is certainly contrary to the constitutional mandate that explicitly
accommodate the interests of Customary Law. If referring to the philosophy of the nation,
since independence, led to the consequence of submission to Pancasila as the philosophical
foundation for rechtbeoefening (practical developing of Legal Studies) in Indonesia.
Deliberation principle Consensus as a derivative of the principle of harmony is the hallmark
of the majesty of "local wisdom" which is still owned by the Indonesian nation, until now not
able to and / or can not be done in the process of concretization of the Criminal Justice
System in Indonesia.
Keyword: Pancasila, Local Wisdom, Legal Studies, Criminal Justice System.
23. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 18
A. PENDAHULUAN
Dunia hukum di Indonesia tengah
mendapat sorotan yang amat tajam dari
seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Dari sekian banyak
bidang hukum, dapat dikatakan bahwa bidang
hukum pidana, termasuk sistem dan proses
peradilan pidananya menempati peringkat
pertama yang bukan saja mendapat sorotan,
tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.1
Proses peradilan pidana yang terdiri dari
serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penangkapan, penahanan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan,
hingga pemidanaan, merupakan kegiatan yang
sangat kompleks dan dapat dikatakan tidak
mudah difahami serta kadang kala menakutkan
bagi masyarakat awam. Persepsi yang
demikian tidak dapat dihindari sebagai akibat
banyaknya pemberitaan di media massa yang
menggambarkan betapa masyarakat sebagai
pencari keadilan seringkali dihadapkan pada
kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan,
baik disebabkan oleh ketidaktahuan mereka
akan hukum maupun perlakuan tidak simpatik
dari aparat penegak hukum.2
Indonesia sebagai suatu masyarakat yang
sedang membangun dan harus mengatur serta
mengartikulasikan pelbagai kepentingan
1
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep
Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi
pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia di Balai Sidang Universitas
Indonesia, Depok, 8 Maret 2003, hlm, 2.
2
Laporan Akhir Komisi Hukum Nasioanl (KHM)
mengenai “Hak Memperoleh Akses Peradilan
Pidana”, www.komisihukum.go.id
masyarakat yang sangat plural ini, tentunya
tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh
regional dan internasional, sebagai akibat
kemajuan tehnologi komunikasi yang canggih.
Masyarakat pelbagai negara, termasuk
Indonesia dihadapkan pada persoalan baru,
yang menjadi issue internasional, berupa
demokratisasi hukum. Pemujaan hukum
sebagai alat rekayasa sosial berpasangan
dengan sarana ketertiban mulai banyak
dikritik, dan sebagai gantinya muncul konsep
baru, hukum sebagai sarana modifikasi sosial,
yaitu suatu pemikiran yang berusaha
memasukan pemahaman hukum sebagai
sarana perlindungan hak-hak warganegara
yang berintikan pengaturan dengan
mengedepankan kepentingan umum.3
Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal
justice system kini telah menjadi suatu istilah
yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan pendekatan sistem.4
Sebagaimana diungkapkan oleh Tolib Effendi,
bahwa berbicara mengenai hukum, maka tidak
terlepas pula berbicara mengenai sistem.5
3
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, hlm.
ix.
4
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana
Kontemporer, Jakarta, Kencana, 2011, hlm. 2.
5
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana.
Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara,
Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2013, hlm. 2.
24. 19 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Sehingga wacana perbincangan mengenai
suatu Sistem Peradilan Pidana sangat erat
kaitannya dengan konfigurasi berbagai macam
elemen dari sebuah negara.
Kerumitan proses peradilan pidana
tersebut diperparah dengan aksi lepas tangan
dari Pemerintah dalam melakukan sosialisasi
kepada masyarakat, sehingga seolah-olah
proses peradilan pidana menjadi eksklusif bagi
masyarakat. Kondisi tersebut tidak saja
berlangsung pada saat proses peradilan pidana
terjadi, namun pada fase pemidanaan atau
putusan pengadilan hingga eksekusi putusan,
keterlibatan masyarakat sangat diabaikan.
Masyarakat seolah-olah menjadi pihak yang
tidak berkepentingan atas proses peradilan
pidana, dari hulu hingga hilir, sehingga tujuan
idee des recht (Ajaran Cita Hukum)6
yaitu
memberikan kepastian hukum, keadilan dan
manfaat, sangat tidak dirasakan.
Masyarakat dipaksa untuk memahami
kerumitan proses peradilan pidana tanpa
adanya proses sosialisasi dan penyuluhan
mengenai bagaimana beracara di peradilan
pidana. Yang pada akhirnya, beracara
peradilan pidana menjadi suatu monopoli
sarjana-sarjana hukum dengan segala sifat ke-
eksklusifan-nya.
Maka muncullah wacana untuk
melakukan legal reform terhadap Hukum
Acara Pidana. Pembaharuan terhadap KUHAP
diawali dengan dikeluarkannya Draft R-
KUHAP 2004, kemudian dirubah menjadi R-
6
Ada ahli hukum yang menyebutnya sebagai Teori
Gabungan. Teori ini dicetuskan oleh Gusav
Radbruch, ahli hukum yang berasal dari
Jerman.
KUHAP Draft 3 April 2007, berubah lagi
menjadi R-KUHAP Draft Desember 2007,
kembali lagi diubah dalam R-KUHAP Draft
Maret 2008, berubah lagi R-KUHAP Draft
Januari 2009, kemudian R-KUHAP Draft
2010, dan terakhir melalui R-KUHAP Draft 11
Desember 2012.7
Saat ini, R-KUHAP draft 2012 dan R-
KUHP telah masuk ke dalam Prolegnas, dan
sudah mulai di bahas di Komisi III DPR.
Namun ironisnya, pihak legislatif tidak
memahami posisi R-KUHAP dan R-KUHP.
Sehingga saat ini, perdebatan pro kontra
terkonsentrasi pada pembahasan R-KUHAP,
sedangkan R-KUHP sepertinya diabaikan.
Bahwa dalam memahami Sistem Peradilan
Pidana, tidak saja bergantung kepada Hukum
Pidana Materill semata, namun merupakan
elaborasi dengan Hukum Pidana Formill pula.
Oleh karena itu, sejak awal keberadaannya,
hukum pidana dan hukum acara pidana
diperuntukkan melindungi masyarakat dari
kesewenang-wenangan penguasa. Dalam hal
ini J.E. Sahetapy, meminjam konsep Jerome
H. Skolnick yang mengatakan bahwa
”criminal procedure is intended to control
authorities, not criminals”. Hal senada juga
diungkapkan Mardjono Reksodiputro yang
mengatakan bahwa fungsi dari suatu hukum
7
“Perjalanan Rancangan KUHAP”, Sumber:
http://kuhap.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/,
diakses tanggal 21 Januari 2015.
25. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 20
acara pidana adalah untuk membatasi
kekuasaan negara dalam bertindak terhadap
setiap warga masyarakat yang terlibat dalam
proses peradilan. Dalam kerangka tersebut,
kebutuhan pada pembaruan hukum acara
pidana di Indonesia telah direspon oleh
pemerintah dengan membuat suatu RUU
tentang Hukum Acara Pidana8
dan RUU
tentang KUHP.
Di dalam RUU KUHP Draft 2010,
ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) sebagai
berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan.”
Dan ditegaskan kembali pada Pasal 1 ayat
(4) RUU KUHP Draft 2010 sebagai berikut:
“Berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh masyarakat
bangsa-bangsa.”
Uraian-uraian tersebut diatas, menunjukan
adanya keinginan yang kuat untuk mengadopsi
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat,
sebagai bentuk kebuntuan dari sistem yang
ada. Yang hingga saat ini justru memunculkan
8
JE. Sahetapy, et.al., Problematika Pembaruan
Hukum Pidana Nasional, Jakarta, Komisi
Hukum Nasional RI, 2013, hlm. x.
banyak permasalahan, bukan saja
permasalahan hukum namun juga
permasalahan sosial.
A. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah “kearifan lokal” merupakan bagian
dari Sistem Peradilan Pidana saat ini?
B. PEMBAHASAN
Bahwa semenjak diproklamirkannya
kemerdekaan Negara Republik Indonesia
melalui Proklamasi Kemerdekaan, maka
sebenarnya secara implisit sudah terjadi
perubahan dalam isi cita hukum sebagai asas
dasar yang mempedomani (basic guiding
principles) dalam penyelenggaraan hukum di
Indonesia.9
Namun, semenjak memasuki era reformasi,
ranah hukum bagaikan dilanda banjir Undang-
undang. Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS) periode 1999-2004 misalnya
menetapkan 300 RUU untuk menjadi UU,
namun yang berhasil disahkan hanya 175 UU
(58 persen). PROLEGNAS periode 2004-2009
menetapkan 284 RUU dengan total UU yang
disahkan berjumlah 193 RUU (68 persen).
Pada 2009-2014 PROLEGNAS
9
Bernard Arief Sidharta (1). Ilmu Hukum
Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik Yang Responsif Terhadap
Perubahan Masyarakat, Bandung, Genta
Publishing, 2013, hlm. 95.
26. 21 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
menetapkan 247 RUU yang disahkan
sebanyak 97 RUU (39 persen).
Ironisnya, tidak semua Undang-undang
yang disahkan merupakan ekstraksi dari nilai-
nilai (values) dari Pancasila, sebagai sumber
segala sumber hukum. Sehingga terkadang
terdapat beberapa Undang-undang yang turut
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang
diambil oleh dunia internasional melalui
ratifikasi terhadap beberapa konvensi dan
perjanjian multilateral/bilateral. Memang tidak
bisa dipungkiri, bahwa fenomena tersebut
menimbulkan sisi positif dan sisi negatif nya.
Menurut Solly Lubis,10
bahwa realitas
kehidupan kenegaraan selama tiga dasawarsa
yang lalu membuktikan terjadinya
inkonsistensi dan deviasi dari konsep dasar
sistem manajemen yang seharusnya, yakni
UUD 1945. Sistem pemerintahan itu bergeser
dari pola demokrasi kepada oligarki, berlarut-
larut, sehingga akhirnya terjadi diskrepansi
atau kesenjangan-kesenjangan, baik dibidang
sosial politik, maupun sosial ekonomi, sosial
budaya, dan Hankamtibmas. Maka pada
prinsipnya, tuntutan reformasi sistem
manajemen kehidupan bangsa secara
menyeluruh itulah yang memerlukan adanya
reformasi kebijakan politik dan reformasi
sistem hukum, supaya manajemen nasional itu
10
Solly Lubis. Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah disampaikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan
tema: Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm.
1.
dapat dikembalikan kepada sistem menurut
konsep dasarnya sendiri secara konstitusional.
Munculnya fenomena-fenomena benturan
antara bidang hukum dengan bidang-bidang
yang lain telah lama menjadi sorotan para ahli
hukum di Indonesia. Sehingga permasalahan
tersebut telah seringkali diangkat menjadi
suatu topik dalam berbagai bentuk seminar,
diskusi maupun lokakarya. Khususnya pada
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII
yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional (BPHN) telah secara tegas
mengisyaratkan bahwa perlunya suatu grand
design reformasi hukum yang sinergistik dan
sistemik, yang berkorelasi dengan bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama.11
Amanah dari Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII tersebut sejalan dengan
pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa
hukum bukanlah tujuan, namun hukum
merupakan sarana atau alat untuk mencapai
tujuan yang sifatnya non-yuridis dan
berkembang berdasarkan rasangan dari luar
hukum, sehingga hukum itu sendiri menjadi
bersifat dinamis.12
Oleh karea itu, bergeraknya
hukum sebagai sarana, diperlukan pengaturan-
pengaturan yang harmonis dan sinkron antara
satu dengan yang lain. Sehingga pembentukan
11
Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, Kuta, Bali, 14 – 18 Juli 2003, hlm.
5.
12
Sudikno Mertokusumo (1). Mengenal Hukum.
Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2002,
hlm. 40.
27. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 22
grand design sistem hukum memiliki fungsi
sebagai wujud dari pembentukan sistem
hukum dalam mencapai tujuan-tujuan hukum
yang telah disepakati secara bersama.
Dalam membentuk suatu sistem hukum,
otoritas yang berwenang hendaknya pula wajib
memperhatikan input hukum yang masuk ke
dalam ekstraksi norma-norma hukum ke dalam
regulasi yang dibentuk. Hampir sebahagian
besar dari kita jarang sekali memperhatikan
input hukum tersebut.13
Menurut Lawrence M.
Friedmann, bahwa Input hukum merupakan
“gelombang kejut” berupa tuntutan yang
memancar bersumber dari masyarakat, dimana
input hukum tersebut yang pada akhirnya
menggerakan proses hukum.14
Masih menurut
Friedmann, bahwa mayoritas dari Ahli Hukum
terkonsentrasi kepada output hukum, sehingga
menurut Penulis, pemahaman pembentukan
suatu produk perundang-undangan tidaklah
komprehensif.
Sebagai akibat dari pengaruh hubungan-
hubungan hukum yang telah terjadi secara
meluas, bahkan melewati batas-batas negara,
atau lebih dikenal dengan istilah globalisasi,
pengaruh filsafat hukum dalam membentuk
politik hukum dan sistem hukum suatu negara,
dapat pula dikatakan sebagai salah satu unsur
yang mempengaruhi pola pikir dalam
pembentukan hukum. Sebagaimana dijelaskan
oleh CFG. Sunaryati Hartono, bahwa terdapat
filsafah-filsafah hukum yang mempengaruhi
13
Lawrence M. Friedmann. The Legal System. A
Social Science Perspective, [Pent. M. Khozim],
Bandung, Nusamedia, 2011, hlm. 3.
14
Ibid., hlm. 13.
pembangunan hukum nasional baik masa lalu
maupun masa saat ini.15
Pengaruh yang paling nyata dari
keterlibatan filsafat hukum adalah selalu
berkaitan dengan pembentukan hukum itu
sendiri. Salah satu pemikiran yang sering
menjadi pembahasan cukup menarik adalah,
apakah dalam pembentukan hukum
menggunakan sistem terbuka, dimana
masyarakat memiliki andil untuk terlibat
ataukah tidak?
Pemikiran tentang hukum dan
keterlibatan masyarakat dalam pembentukan
hukum terbagi menjadi dua kelompok mazhab,
yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
Kelompok pertama mencoba memisahkan
hukum dari anasir moral, etik, sosial, dan
politik dengan kekuasaan pembentuknya, yaitu
lembaga pembentuk undang-undang
(legislatif). Pemikiran ini berada di bawah
naungan Mazhab Positivisme Hukum.
Sedangkan, Kelompok kedua mendefinisikan
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang berkembang dalam
masyarakat, dan kekuasaan membentuknya
berada di tangan rakyat. Pemikiran ini diwakili
oleh Mazhab Sejarah Hukum dan Sociological
Jurisprudence.16
15
CFG. Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju
Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung,
Alumni, 1991, hlm. 52.
16
Veri Junaidi, Khoirunnisa Agustyati & Ibnu
Setyo Hastomo, Politik Hukum Sistem Pemilu:
Potret Keterbukaan dan Partisipasi Publik
Dalam Penyusunan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPRD dan DPD, Jakarta, Yayasan
Perludem, 2013, hlm. 24.
28. 23 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Sedangkan yang terjadi di Indonesia
termasuk cukup unik jika dicermati secara
mendalam. Bahwa pembentukkan konstitusi
Republik Indonesia sangat dipengaruhi atau
sangat kental nuansa Sociological
Jurisprudence, sebagaimana diwakili dengan
keberadaan Pasal 33 UUD NRI 1945.
Namun, peraturan perundang-undangan
turunannya, lebih banyak dipengaruhi oleh
Mahzab Positivisme Hukum dan ajaran
Legisme, seiringan dengan pentransferan ilmu
hukum dari Belanda ke ahli-ahli hukum di
Indonesia. Walaupun terdapat dibeberapa
peraturan perundang-undangan yang masih
mengakui adanya nuansa hukum adat, sebagai
bentuk pengakuan dari Negara kepada
masyarakat adat di Indonesia, misalnya di
dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang di dalam Penjelasan Pasal II
angka 3 ditemukan istilah recognitie.17
Namun
penerapannya tetap mengejawantahkan
pemikiran secara positivistik.
Perkembangan pemikiran hukum di
Indonesia, banyak dipengaruhi oleh tradisi
hukum Eropa Kontinental atau civil law – yang
masuk melalui kolonial Belanda, berkembang
17
Yance Arzona. Antara Teks dan Konteks,
Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak
Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di
Indonesia, Jakarta: HuMA, 2010, hlm. 5.
Dalam UUPA, recognitie digunakan untuk
menjelaskan hak yang akan diberikan kepada
masyarakat adat yang tanahnya akan digunakan
untuk keperluan pembangunan. Istilah
recognitie yang dipakai dalam UUPA
sebenarnya merupakan istilah yang diadopsi
dari hukum adat. Dalam hukum adat, istilah ini
dipakai apabila ada orang yang bukan anggota
persekutuan adat tertentu hendak menggunakan
tanah ulayat, maka orang tersebut
diperbolehkan untuk menggunakan tanah
tersebut sampai tujuannya tercapai, hanya
apabila ia memberikan sesuatu.
dibawah bayang-bayang paradigma
positivisme yang menjadi paradigma
mainstream di tanah asalnya Eropa
Kontinental. Paradigma ini pada dasarnya
berasal dari filsafat positivisme yang
dikembangkan August Comte, yang kemudian
dikembangkan di bidang hukum. Paradigma
positivisme memandang hukum sebagai hasil
positivisasi dari norma-norma yang telah
dirundingkan diantara warga masyarakat,
sebagai sistem aturan yang bersifat otonom
dan netral.18
Hal tersebut lah yang kemudian,
Indonesia tidak memiliki jati diri yang jelas,
terkait hukum, sehingga banyak sekali terdapat
berbagai peraturan perundang-undangan yang,
selain tumpang tindih, justru memunculkan
rasa ketidakadilan bagi masyarakat. Dimana
bahwa hukum hanya dipahami sebagai sarana
atau alat untuk mengatur masyarakat,
sedangkan bermakna terbalik ketika
bersinggungan dengan institusi pemerintahan.
18
Khudzaifah Dimyati. Dominasi Pemikiran
Hukum Positivistik: Otokritik dan Otensitas dan
Kemiskinan Ke-Indonesia-an, Makalah
dipresentasikan pada Konferensi Nasional ke-3
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI),
dengan tema: Melampaui Perdebatan
Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat,
yang diselenggarakan oleh AFHI dan Epistema
Institute bekerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 27-28 Agustus 2013,
hlm. 1.
29. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 24
Dilihat dari aspek pengembangan ilmu
hukum pidana, ada sesuatu yang dirasakan
kurang memuaskan, memprihatinkan atau
setidak-tidaknya ada sesuatu yang selayaknya
patut diwaspadai dari penyajian Ilmu Hukum
Pidana (IHP) positif selama ini. Menurut Barda
Nawawi Arief, Ilmu Hukum Pidana positif
yang berlaku saat ini masih berorientasi pada
KUHP. Walaupun diajarkan juga hukum
pidana khusus di luar KUHP, namun prinsip-
prinsip umumnya terkait juga dengan
aturan/ajaran umum yang terdapat di dalam
KUHP sebagai induk dari hukum pidana
positif di Indonesia.19
Sehingga, nilai-nilai (values) yang
termuat di dalam KUHP yang saat ini berlaku
di Indonesia, mengacu kepada nilai-nilai
(values) yang bersifat individualistik yang
terkandung di dalam KUHP. Hal tersebut
merupakan suatu kewajaran, dikarenakan
KUHP yang diterapkan berdasarkan asas
konkordansi tersebut, mengacu kepada suatu
sistem hukum yang mengagungkan paham
individualisme. Yang pada dasarnya
merupakan pertentangan nilai (value) yang
dikandung di dalam Pancasila, yaitu nilai-nilai
kenyataan (socio politik, socio ekonomi dan
socio budaya) yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia.
Dalam kerangka berfikir hukum, maka
pada prinsipnya tidak akan terlepas dari
19
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek
Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana
Indonesia), Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada
Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar
Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juni
1994, hlm. 6
kerangka berfikir berdasarkan tujuan dari
bernegara. Demikian pula dalam pembentukan
kebijakan legislatif (legal policy/politik
hukum) hukum pidana, hendaknya sejalan
dengan tujuan bernegara. Oleh karena itu,
Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik
hukum adalah arah pembangunan hukum yang
berpijak pada sistem hukum nasional untuk
mencapai tujuan dan cita-cita negara atau
masyarakat bangsa.20
Hukum berfungsi sebagai pelayanan
kebutuhahan masyarakat, maka hukum harus
selalu diperbaharui agar aktual atau sesuai
dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat
yang dilayani dan dalam pembaharuan hukum
yang terus menerus tersebut Pancasila harus
tetap sebagai kerangka berpikir, sumber
norma, dan sumber nilai. Pancasila merupakan
pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran)
dari tertib hukum di Indonesia termaktub
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Hal tersebut merupakan konsekuensi logis
yang wajib diperjuangkan dalam melakukan
pembentukan hukum di Indonesia. Sebagai
akibat dari konsensus nasional, Pancasila
merupakan tolak ukur pelepasan diri dari
segala pengaruh yang tidak berasal dari bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, tujuan bernegara
20
Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Jakarta, LP3ES, 2006,
hlm. 16.
30. 25 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
pun didasari kepada kesepakatan-kesepakatan
yang termuat di dalam Pancasila sebagai
filasafat Negara Hukum Indonesia.
Walaupun dalam beberapa literatur
menjelaskan bahwa tujuan hukum pidana
bukan semata-mata untuk menjatuh sanksi
pidana secara ketat, namun lebih kepada
menciptakan ketertiban dan mengubah pola
perilaku manusia. Namun menurut B. Arief
Sidharta menjelaskan bahwa ketertiban dan
ketenteraman itu bukanlah tujuan akhir dari
hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di
dalam masyarakat dapat saja, dengan
menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ke-
tertiban yang bersifat tiranik, yang menindas
nilai-nilai manusiawi. Tujuan lebih jauh dari
hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati
di dalam masyarakat.21
Oleh karena itu, pembentukan kebijakan
legislatif pada prinsipnya harus memuat nilai-
nilai yang dapat dituangkan ke dalam norma-
norma, dimana norma-norma tersebut secara
tersistematis memberikan arah kepada
pembentukan sistem hukum pidana yang
bersinergis dengan tujuan hukum yang telah
dikonsepkan.
Makna hukum, yang memuat secara
tersirat mengenai tujuan hukum, seringkali
diperdebatkan di dalam kalangan ahli hukum.
Kapan tepatnya hukum mulai ada tidak dapat
diketahui. Apabila ungkapan klasik “ubi
societas ibi ius” diikuti, berarti hukum ada
sejak masyarakat ada. Dengan demikian
21
Bernard Arief Sidharta. Filsafat Hukum
Pancasila, Makalah Bahan Ajar Program
Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII),
tidak dipublish, Tahun 2012, hlm. 6.
pertanyaannya dapat digeser menjadi sejak
kapan adanya masyarakat. Terhadap
pertanyaan ini pun juga tidak akan ada
jawaban yang pasti. Namun, dilihat dari segi
historis tidak pernah dijumpai adanya
kehidupan manusia secara soliter di luar
bentuk hidup masyarakat.22
Dahulu biasanya orang menjawab
pertanyaan tersebut dengan memberikan
definisi yang agak indah. Hampir semua ahli
hukum memberikan definisi mengenai hukum,
memberikannya berlainan. Ini, setidak-
tidaknya untuk sebahagian, dapat diterangkan
oleh banyaknya segi dan bentuk, serta
kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan
demikian luasnya, sehingga tidak mungkin
orang menyatukannya dalam rumusan secara
memuaskan.23
Pertanyaan mengenai “apa itu hukum”
tampaknya adalah suatu pertanyaan yang
sangat mendasar dan sangat tergantung pada
konsep pemikiran dari hukum itu sendiri,
sehingga jawabannya pun mungkin akan terus
berkembang sesuai dengan mazhab dan aliran-
aliran yang dikemukakan dalam melakukan
pendekatan secara kualitatif tentang makna
hukum. Yang jelas perlu dipahami bahwa
tujuan hukum adalah terciptanya suatu
kedamaian yang didasarkan pada keserasian
22
Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta, Kencana, 2013, hlm. 61.
23
LJ. van Apeldorn. Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, hlm. 13.
31. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 26
antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan
hukum ini tentunya akan tercapai apabila
didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian
antara kepastian hukum dengan kesebandingan
hukum, sehingga akan menghasilan suatu
keadilan. 24
Selain memiliki perbedaan definisi,
penggunaan istilah ‘hukum’ pun memiliki
beberapa ragam. Kata ‘hukum’ diambil dari
serapan bahasa Arab yaitu ‘ahkam’ dalam
bentuk jamak,25
kemudian terdapat istilah ‘lex’
yang diambil dari bahasa Latin, yang diambil
dari serapan kata ‘lesere’ yaitu mengumpulkan
yaitu mengumpulkan orang-orang untuk
diperintah. Istilah lain adalah ‘recht’ yang
diambil dari bahasa Latin yaitu ‘rechtum’ yaitu
bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan.
Terdapat pula istilah ‘ius’ yang diambil dari
kata ‘iusitia’ dalam bahasa Latin yang artinya
mengatur atau memerintah.26
Terkait dengan pendefisinian istilah
‘hukum’ oleh CF. Strong, misalnya memulai
pendefinisian hukum berangkat dari unsur
kekuatan yang dapat memerintah dan
memaksa, yaitu Negara. Dimana, menurut CF.
Strong bahwa hakikat suatu negara yang
membuat berbeda dengan semua bentuk
perkumpulan adalah kepatuhan anggota-
anggotanya terhadap hukum. Negara sebagai
suatu masyarakat teritorial dibagi menjadi
24
Teguh Prasetyo. Kriminalisasi Dalam Hukum
Pidana, Bandung, Nusa Media, 2013, hlm. 6.
25
Di dalam buku R. Soeroso tentang Pengantar
Ilmu Hukum, menjelaskan bahwa dalam bahasa
Arab kata Hukum diambil dari kata Alkas,
dalam bentuk jamak, berdasarkan penelusuran
literature Penulis, kata ‘hukum’ dalam bentuk
jamak adalah ‘ahkam’.
26
R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011, hlm. 24-26.
pemerintah dan yang diperintah (rakyat).27
Sehingga, baik pemerintah dan yang
diperintah, hendaknya memiliki pemahaman
yang sama terkait dengan makna hukum.
Dimana CF. Strong menjelaskan dalam
mendefinisikan hukum dapat dinyatakan
sebagai “Sekumpulan aturan-aturan umum
yang ditetapkan oleh penguasa masyarakat
politik (negara) terhadap anggota-anggota
masyarakat tersebut yang secara umum
mematuhinya.” Atau juga, definisi hukum
adalah “suatu perintah yang dikeluarkan orang
yang ditunjuk untuk itu atau oleh sekelompok
orang yang bertindak sebagai suatu badan,
untuk melakukan itu atau tidak melakukan
tindakan-tindakan tertentu, yang disertai
maklumat, secara langsung atau tak langsung,
tentang hukuman yang akan diberikan kepada
siapa saja yang tidak mematuhi.”28
Berbeda dengan pandangan dari Sudikno
Mertokusumo dalam memberikan definisi atas
istilah hukum, yaitu: “Keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah
dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.”
27
CF. Strong. Konstitusi-Konstitus Politik Modern.
Studi Perbandingan tentang Sejarah dan
Bentuk, Bandung: Nusamedia, 2014, hlm. 7.
28
Ibid
32. 27 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
Nampak sekali perbedaan yang
ditunjukkan oleh kedua ahli hukum tersebut.
Dimana Lawrence M. Friedman lebih
menonjolkan sisi penguasa sebagai regulator
sedangkan Sudikno Mertokusumo
menampilkan kaidah sosial dalam kehidupan
bersama yang dilengkapi dengan kekuatan
memaksa.
Bagi ahli hukum di Indonesia, istilah
‘hukum’, dalam menedefinisikannya selalu
dikaitkan dengan adanya kaidah-kaidah sosial
yang hidup di dalam masyarakat. Mochtar
Kusuma-Atmadja, misalnya, dalam
memberikan definisi tentang hukum, turut pula
memulai pembahasannya dari pameo Romawi
“ubi sociates ibi ius”, dimana ada masyarakat,
disitu ada hukum. Beliau menjelaskan bahwa
hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti
bahwa pergaulan antar manusia dalam
masyarakat hanya diatur oleh hukum semata,
namun terdapat pula kaidah-kaidah yang lain.
Akan tetapi, dalam satu hal, hukum berbeda
dari kaidah sosial lainnya, yakni bahwa
penataan ketentuan-ketentuannya dapat
dipaksakan dengan suatu cara yang teratur.
Artinya pemaksaan guna menjamin penataan
ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tunduk
pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai
bentuk, cara, maupun alat pelaksanaannya.29
Dalam pandangan B. Arief Sidharta,
bahwa Para sosiolog hukum (Kees Schuit,
L.M. Friedman, Soerjono Soekanto)
memandang aspek hukum kehidupan
masyarakat sebagai sistem hukum atau tatanan
29
Mochtar Kusuma-Atmadja. Konsep-Konsep
Hukum Dalam Pembangunan, Bandung,
Alumni, 2006, hlm. 4.
hukum yang tersusun atas tiga subsistem
(komponen) sebagai berikut ini:30
Pertama, unsur idiil yang meliputi
keseluruhan aturan-aturan, kaidah-kaidah dan
asas-asas hukum yang disebut sistem makna
yuridik yang bagi para yuris disebut tata-
hukum. Bagi para sosiolog hukum, sistem
makna yuridik itu menunjuk pada sistem
lambang atau sistem referensi (rujukan).
Sistem makna yuridik itu menyatakan gagasan
tentang bagaimana orang seyogianya
berperilaku atau harus berperilaku. Sistem
makna yuridik sebagai sebuah sistem lambang
memberikan kesatuan dan makna pada
kenyataan majemuk dari perilaku manusia.
Dengan lambang-lambang itu manusia akan
dapat mengerti dan memahami kemajemukan
perilaku manusia itu dan akan dapat
memberikan arti pada perilaku manusia
sehingga memungkinkan terjadinya interaksi
antarmanusia yang bermakna (komunikasi).
Kedua, unsur operasional yang mencakup
keseluruhan organisasi-organisasi, lembaga-
lembaga dan pejabat-pejabatnya; unsur ini
meliputi badan-badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif dengan aparat-aparatnya seperti
birokrasi pemerintahan, pengadilan, kejaksaan,
30
Bernard Arief Sidharta. Asas, Kaidah, dan Sistem
Hukum, makalah tidak dipublikasikan,
Bandung, 20 Juli 2004, hlm. 2-3.
33. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 28
kepolisian, dan dunia profesi seperti advokatur
dan kenotariatan.
Ketiga, unsur aktual yang menunjuk pada
keseluruhan putusan-putusan dan tindakan-
tindakan (perilaku), baik para pejabat maupun
para warga masyarakat, sejauh putusan-
putusan dan tindakan-tindakan itu berkaitan
atau dapat ditempatkan dalam kerangka sistem
makna yuridik yang dimaksud dalam unsur
pertama tadi; unsur ketiga ini menunjuk pada
budaya hukum.
Dalam keseluruhan elemen, komponen,
hierarkhi dan aspek-aspek yang bersifat
sistematik dan saling berkaitan satu sama lain
itulah tercakup pengertian sistem hukum yang
harus dikembangkan dalam kerangka Negara
Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Oleh karena itu, pembangunan sistem hukum
nasional diarahkan pada pembangunan produk
hukum, aparatur hukum, sarana prasarana,
serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat.31
Cita-cita nasional untuk menyatukan
Indonesia untuk menyatukan Indonesia sebagai
satu kesatuan politik dan pemerintahan, telah
cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat
yang plural untuk digantikan dengan hukum
nasional yang diunifikasikan dan
dikodifikasikan. Maka tak heran jika Sunaryati
Hartono, dalam konteks Hukum Ekonomi
menyatakan bahwa Indonesia sangat
mengabaikan pembentukan dan pembinaan
hukum nasional dan masih belum tanggap
terhadap praktik-praktik bisnis yang semakin
kompleks. Tidak hanya karena bentuk-bentuk
31
Muntoha. Negara Hukum Indonesia Pasca
Perubahan UUD 1945, Yogyakarta, Penerbit
Kaukaba 2013, hlm. 61.
bisnis itu merupakan perbuatan yang baru yang
didukung oleh sarana dan prasarana
bertehnologi tinggi, tetapi juga karena
jangkauan usahanya telah bersifat
transnasional atau melampaui batas-batas
wilayah negara.32
Oleh karena itu, dengan jumlah Sarjana
Hukum yang masih sangat sedikit, semenjak
awal kemerdekaan hingga dibentuknya
konstitusi Indonesia. Telah terjadi tarik
menarik pemahaman yang berkaitan dengan
konteks pemikiran teoretisasi hukum
berdasarkan kajian kefilsafatan. Pertentangan
kuat adalah adanya pendukung Hukum Adat
dengan pendukung paradigma positivisme
hukum.
Pendukung Hukum Adat mengalami kesulitan
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi
terhadap nilai-nilai yang termuat di dalam
Hukum Adat, dikarenakan begitu
pluralistiknya masyarakat Indonesia. Yang
patut dimaklumi adalah model dari nilai-nilai
hukum adat selalu dinuansai oleh berbagai
kata-kata kiasan, sehingga sulit rasanya untuk
seorang Sarjana Hukum pada masa setelah
kemerdekaan, untuk men-translate-nya ke
dalam bahasa hukum. Maka kondisi tersebut
menjadi berbeda ketika Mochtar Kusuma-
Atmadja melakukan manuver sociological
32
Khudzaifah Dimyati, op.cit., hlm. 6-7.
34. 29 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
jurisprudence hingga masuk kepada penjelasan
yang paling rasional, pada saat itu, menjadikan
‘jawara’ dalam menggiring perancangan dan
pembentukan politik hukum dan sistem
hukumnya.
Kesulitan-kesulitan tersebut pada
prinsipnya menurut B. Arief Sidharta adalah
disebabkan karena beberapa faktor, selain
pendapat Penulis diatas, yaitu sebagai
berikut:33
1. Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha
Belanda untuk mengembalikan kekuasaan
kolonial di Indonesia;
2. Secara Etnis, bangsa Indonesia sangat
heterogen dengan berbagai adat istiadat dan
sub-kulturnya, dan tersebar padasuatu
wilayah kepulauan yang sangat luas.
Intensitas proses interaksi antar suku pada
masa kolonial sangat lemah yang
menyebabkan proses unifikasi hukum
secara alamiah praktis tidak terjadi;
3. Tata hukum kolonial yang harus diganti
dengan tata hukum nasional sudah cukup
lama menguasai kehidupan (hukum) di
Indonesia;
4. Politik hukum kolonial, yang berakar
dalam politik kolonial pada umumnya yang
memfungsikan wilayah jajahan dengan
potensinya hanya sebagai penopang
kepentingan ekonomi negara induk, telah
menyebabkan Bangsa Indonesia dan
Hukum Adanya pada masa kolonial itu
relatif terasing dari pergaulan dan
perkembangan pada tingkat mondial
33
Bernard Arief Sidharta (2). Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju,
2009, hlm. 4-5.
(global). Hal ini menyebabkan Bangsa
Indonesia dan Hukum Adatnya secara
langsung dihadapkan pada berbagai
masalah modern yang sudah amat jauh
perkembangannya dan sangat kompleks;
5. Pada saat kemerdekaan diproklamasikan,
jumlah sarjana hukum yang kompeten,
yang memiliki kemampuan legislative
drafting, masih terlalu sedikit untuk
mampu dalam waktu singkat menghasilkan
berbagai perangkat kaidah hukum positif
nasional yang diperkirakan jumlahnya,
pada saat setelah proklamasi, hanya
berkisar 200 orang sarjana hukum;
6. Perkembangan ilmu dan tehnologi yang
terjalin dengan pertambahan penduduk,
perkembangan ekonomi dan perdagangan
adalah merupakan faktor yang paling
mendasar dan memiliki jangkauan yang
luas dalam memberikan pengaruh secara
langsung terhadap perkembangan hukum,
kehidupan hukum dan kebutuhan hukum.
Sehingga, ketika kita mempermasalahkan
tersingkirnya Pancasila sebagai sumber hukum
yang menginspirasi sistem hukum Indonesia,
khususnya hukum pidana, maka permasalahan
lain pun muncul, yaitu dimanakah letaknya
hukum pidana adat dan hukum Islam? Yang
notabene kedua sistem hukum tersebut pernah
berlaku dan masih berlaku pada sebahagian
35. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 30
masyarakat di Indonesia. Sebagaiamana hal
tersebut turut dipertanyakan oleh Valerine J.L.
Kriekhoff, apakah hukum adat masih diakui
eksistensinya?34
Proses modernisasi telah
melenyapkan dasar kemasyarakatan dari
hukum kebiasaan tradisional hukum adat
(hampir) sebahagian besar tanah air.35
Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai
yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha
pembaharuan hukum pidana Indonesia harus
dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa
depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-
filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural
masyarakat Indonesia.36
Pengalaman “mendamaikan” isi
kandungan hukum antara hukum yang diberi
sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut
saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi
dan diyakini oleh warga masyarakat-
masyarakat lokal) sebagaimana diperoleh pada
jaman kolonial dan sedikit banyak boleh
dibilang sukses, itu ternyata justru sulit
dilaksanakan pada zaman kemerdekaan.
Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku
sebagai living law berdasarkan paham
partikularisme pada zaman kolonial tidaklah
34
Valerine J.L. Kriekhoff. Arah Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional-Penggunaan Hukum
Adat, Makalah dipresentasikan pada Seminar
Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013
(SPHN 2013) dengan tema “Arah
Pembangunan Hukum Pidana Nasional” yang
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional
(KHN) di Jakarta, 26-27 November 2013.
35
Mochtar Kusuma-Atmadja & Bernard Arief
Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum. Buku I,
Bandung, Alumni, 2013, hlm. 131.
36
Marcus Priyo Gunarto. Asas Keseimbangan
Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal
Mimbar Hukum, Vol. 24, Nomor 1, Februari
2012, hlm. 86.
mudah diteruskan pada zaman kemerdekaan.
Cita-cita nasional untuk “menyatukan”
Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan
pemerintahan telah bercenderung untuk
mengabaikan hukum rakyat yang plural dan
lokal-lokal itu untuk diganti dengan hukum
nasional yang diunifikasikan dan tak pelak
juga dikodifikasikan. Kebijakan hukum
nasional ditantang untuk merealisasi cita-cita
menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan
pembaharu, mendorong terjadinya perubahan
dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang
berciri agraris dan berskala-skala lokal ke
kehidupan-kehidupan baru yang lebih berciri
urban dan industrial dalam format dan
skalanya yang nasional (dan bahkan kini juga
global).37
Sehingga dalam pembentukan Sistem
Peradilan Pidana ini seharusnya dikembalikan
kepada jiwa bangsa Indonesia yang termuat di
dalam Pancasila. Pandangan hidup bangsa
Indonesia telah dirumuskan secara padat
dalam Pancasila. Dan dengan termuatnya
Pancasila di dalam Pembukaan UUD NRI
1945 telah menunjukan bahwa dengan
Pancasila menjadi dasar kefilsafatan yang
menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam UUD NRI 1945.
Dengan demikian, Pancasila melandasi dan
seharusnya menjiwai kehidupan kenegaraan di
Indonesia, termasuk kegiatan
37
Soetadyo Wignjosoebroto. Hukum, Paradigma,
Metode dan Masalah, Jakarta, ELSAM dan
HUMA, 2002, hlm. 166-167.
36. 31 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
menentukan dan melaksanakan politik
hukumnya.
Di dalam konteks Negara Hukum, melalui
UUD NRI 1945, politik hukum nasional telah
menetapkan bahwa Indonesia adalah negara
berdasarkan hukum, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945. Dimana
sebelumnya, di dalam UUD 1945 (sebelum
amandemen), ditegaskan bahwa Negara
Indonesia berdasarkan hukum (rechsstaat).
Dalam hal tersebut, maka pembentuk
konstitusi, hendak menjelaskan bahwa politik
hukum Indonesia tidak lagi menyandarkan
kepada bentuk Negara Hukum rechtsstaat.
Sehingga, konsep Negara Hukum bangsa
Indonesia hendaknya mengacu kepada jiwa
bangsa sebagaimana termuat di dalam
Pancasila dan Proklamasi.
Namun demikian, perwujudan Pancasila
dan Proklamasi sebagai dasari Politik Hukum
Pidana dan Sistem Hukum Pidana, merupakan
suatu proses yang melalui tahapan-tahapan
yang hingga saat ini belum mampu
diwujudkan dengan baik. Turunan dari nilai-
nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan
Proklamasi telah terlihat dengan jelas dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 194538
, namun
layaknya konstitusi lainnya, ketentuan tersebut
masih bersifat abstrak. Dan hingga saat ini
pun, turunan dari Pasal 18B ayat (2) UUD NRI
1945 belum meresap ke dalam hukum pidana
materiil.
38
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Namun demikian, di beberapa peraturan
perundang-undangan telah mulai mengakui
eksistensi Hukum Adat walaupun masih terjadi
pergesekan antara sifat “tidak tertulis” dari
hukum adat harus melalui proses pemositifan
ke dalam skema sistem hukum di Indonesia.
Dominasi pengakuan tersebut masih berkisar
pengaturan pada Hukum Agraria semata.
Walaupun demikian, secara formil bibit
pengakuan dapat ditilik dalam Undang-
Undang Drt No. 1 Tahun 1951 yang
merupakan dasar hukum bagi penyelesaian
tindak pidana melalui pengadilan adat.
Berkaitan dengan pidana adat, maka kita dapat
merujuk pada Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt.
No. 1/1951, yang berbunyi:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara
waktupun hukum materiil pidana sipil yang
sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili
oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk
kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum
yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam kitab
hukum pidana sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga
bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
37. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 32
tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap
sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan
terhukum, bahwa bilamana hukuman adat
yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di
atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukuman pengganti setinggi 10
tahun penjara, dengan pengertian bahwa
hukuman adat yang menurut paham hakim
tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa
diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana yang ada
bandingnya dalam kitab undang-undang
hukum pidana sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman sama dengan
hukuman bandingnya yang paling mirip
kepada perbuatan pidana tersebut”.
Selain ketentuan tersebut, di ranah
kekuasaan kehakiman terdapat Yurisprudensi
Mahkamah Agung yaitu Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 1644 K/PID/1988 tanggal 15
mei 1991, yang menyatakan:
“bahwa terhadap terdakwa yang telah
melakukan perbuatan hubungan kelamin di
luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi
adat) oleh kepala adat, tidak dapat diajukan
lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan
peradilan negara (pengadilan negeri)
dengan dakwaan yang sama melanggar
hukum adat dan dijatuhkan hukuman
penjara menurut ketentuan hukum pidana.”
Keberadaan akan berlakunya suatu hukum
pidana adat selain diakomodir dalam instrumen
hukum nasional juga dikenal dalam dunia
Internasional melalui International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR).
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International
Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik
(Konvensi HAK SIPOL) yang diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 menyebutkan bahwa:
“Nothing in this article shall prejudice the
trial and punishment of any person for any
act or omission which, at the time when it
was committed, was criminal according to
the general principles of law recognized by
the community of nations”.
(Tidak ada dalam Pasal ini merugikan
peradilan dan hukuman pun atas tindakan atau
kelalaian yang pada saat itu masih merupakan
suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang
diakui oleh masyarakat suatu bangsa)
Rekomendasi lebih lanjut dalam konteks
Hukum Internasional melalui Konggres
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terdapat
dalam “The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa
sistem hukum pidana yang selama ini ada di
beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa
38. 33 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
zaman kolonial), pada umumnya bersifat
“obsolete and unjust” (telah usang dan tidak
adil) serta “outmoded and unreal” (sudah
ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan
kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di
beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai
budaya dan bahkan ada “diskrepansi” dengan
aspirasi masyarakat, serta tidak responsif
terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi
demikian oleh konggres PBB dinyatakan
sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya
kejahatan.
Titik jenuh, secara internasional,
menjadikan konsep restorative justice
bagaikan “permen manis” yang diperebutkan
hampir semua negara. Rasa frustasi terhadap
sistem pemidanaan konvensional mengalihkan
pandangan mereka terhadap konsep tersebut.
Belanda, misalnya, bahkan mengukuhkan
kewenangan melakukan mediasi dengan
memberikan kewenangan tersebut kepada
Kepolisian, karena memang terbukti sangat
efektif dalam menekan penumpukan perkara.
Munculnya konsep restorative justice
bukan saja mereduksi overcapacity dari
LAPAS, pula mengurangi penumpukan
perkara yang harus diperiksa dan diputus oleh
Hakim. Bahkan Indonesia telah pula
mengadopsi konsep tersebut di dalam Undang-
Undang Sistem Peradilan Anak.
Hal tersebut tentunya merupakan suatu
pengingkaran secara nyata terhadap konsep
musyawarah, sebagaimana telah diajukan oleh
Phillipus M. Hadjon. Pancasila yang terdiri
dari 5 (lima) sila dan 36 (tiga puluh enam)
butir, telah berpuluh-puluh tahun mengajarkan
budaya musyawarah.
Konsep bermusyawarah yang termuat di
dalam Pancasila merupakan gambaran tingkat
kompleksitas kehidupan bermasyarakat.
Sebagaimana Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa
manusia sebagai pribadi maupun dalam
kelompok pergaulan hidup mempunyai aneka
macam kepentingan. Pada suatu ketika
kepentingan itu mungkin berbeda bagi
pribadi/kelompok yang satu dengan yang
lainnya. Bahkan kepentingan itu dapat
bertentangan adanya. Dalam hubungan yang
sederajat dapat timbul masalah mayoritas dan
minoritas dengan perbedaan kepentingan,
tetapi manusia yang beradab akan mencegah
atau mengurangi kemungkinan perbedaan itu
menjadi meruncing sehingga pergaulan hidup
dapat terpelihara dan tidak berubah menjadi
pergumulan hidup.38
Sebagai falsafah bangsa, Pancasila memuat
nilai-nilai dalam menyelesaikan perselisihan
kepentingan-kepentingan tersebut. Oleh
karena itu, Indonesia dengan konsep Negara
Hukum Pancasila yang didasarkan kepada asas
kekeluargaan lebih mengutamakan kepada
kepentingan umum, namun harkat dan
martabat manusia sebagai individu tetap
dihargai, dan paradigma tentang negara hukum
38
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.
Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta,
Rajawali Press, 1985, hlm. 85.
39. Jurnal Indigenous Peoples Law Review (E-Journal) Vol. 1 Maret 2015: 17-37 34
yang berfungsi pengayoman yaitu menegakan
demokrasi termasuk mendemokrasikan hukum,
berkeadilan sosial dan berperi kemanusiaan.40
Bentuk dari Asas Kerukunan adalah
musyawarah mufakat yang dapat dijumpai
dalam sila keempat dalam Pancasila.41
Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
dimana dalam ruang lingkup kenegaraan, maka
sila keempat itulah yang merupakan konsensus
dalam Ilmu Hukum Internasional dikenal
sebagai konsultasi. Apabila pada suatu ketika
peruncingan perbedaan kepentingan terjadi
tetapi masih diinginkan penanggulangan
melalui upaya damai agar dapat dipertahankan
adanya Kebersamaan dalam Kebedaan, maka
disamping konsultasi masih ada upaya, sebagai
berikut:42
1. Good Offices/jasa baik yaitu dengan pihak
ketiga sebagai perantara para pihak yang
bersengketa tetapi penyelesaiannya berupa
konsensus antara ke dua pihak saja;
2. Mediation/penengahan dengan pihak ketiga
yang menengahi penyelesaian perkara
dengan konsensus antara ketiga pihak;
3. Peradilan yang dengan pihak ketiga secara
mandiri menyelesaikan sengketa antar
pihak dalam bentuk keputusan yang wajib
dipatuhi para pihak dalam sengketa.
40
Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi.
Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila,
Bandung: Nusa Media, 2014, hlm. 52.
41
Ibid
42
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
Op.cit., hlm. 86.
Ciri kerukunan yang terdapat dalam
konsep Negara Hukum Pancasila pula
diungkapkan oleh Phillipus M. Hadjon dalam
tulisannya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia, yang ciri-cirinya sudah Penulis
ungkapkan diatas sebelumnya. Phillipus M.
Hadjon menilai bahwa yang menjadi titik
sentral negara Indonesia adalah keserasian
hubungan pemerintah dan rakyat berdasarkan
asas kerukunan.43
Dengan demikian, asas musyawarah
mufakat yang termuat di dalam Pancasila
menjadi asas utama dalam penyelesaian
sengketa yang diterjadi di masyarakat. Namun
patut digarisbawahi, bahwa asas kerukunan
yang melahirkan asas musyawarah mufakat
tidaklah berdiri secara mandiri. Eksistensi asas
tersebut harus saling bersinergis dengan asas-
asas lainnya yang termuat di dalam sila-sila
yang lain.
Secara sadar, Penulis menyadari bahwa
tulisan ini masih menyisakan permasalahan
yang patut diteliti lebih mendalam, yaitu
berkaitan dengan konkretisasi dari asas
musyawarah mufakat ke dalam bentuk norma-
norma hukum sehingga menjadi mengikat
secara hukum bagi setiap masyarakat.
A. SIMPULAN
Bahwa di dalam membentuk Sistem Hukum,
maka dibutuhkan pengetahuan yang cukup
mengenai Politik Hukum, sedangkan
43
Teguh Prasetyo & Arie Purnomosidi, Op.cit.,
hlm. 57.
40. 35 Kearifan Lokal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Perdebatan lus Constitutum dan lus Constituendum)-(Rocky Marbun)
untuk menentukan suatu Politik Hukum maka
Filsafat Hukum menjadi peran yang sangat
penting dalam membentuk Ilmu Hukum yang
sesuai berdasarkan jiwa bangsa.
Memperbincangkan “kearifan lokal”,
secara umum selalu dibahas melalui sudut
pandang ilmu Antropologi Hukum, namun di
dalam penulisan ini, Penulis konsisten
membahas melalui kajian Ilmu Hukum
Normatif. Dimana berdasarkan kajian Ilmu
Hukum, secara aspek filosofi terlihat jejak
pengakuan adanya “kearifan lokal” tersebut
baik di dalam konstitusi maupun di beberapa
peraturan perundang-undangan. Walaupun
belum meresap dengan baik ke dalam Sistem
Peradilan Pidana.
Dimana penerapannya sangat tergantung
kepada Hakim dalam melakukan penemuan
hukum dan penciptaan hukum sebagaimana
diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat
(1), yang menegaskan sebagai berikut:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”
Sehingga, konsekuensinya adalah rasa
keadilan masyarakatlah yang hendaknya
dijadikan sebagai parameter dari suatu putusan
pengadilan, dan bukan pemenuhan unsur-unsur
dari suatu pasal yang memuat suatu tindak
pidana.
Asas Musyawarah Mufakat sebagai
turunan dari Asas Kerukunan merupakan ciri
khas dari keagungan “kearifan lokal” yang
masih dimiliki oleh Bangsa Indonesia, hingga
saat ini tidak mampu dan/atau tidak dapat
dilakukan proses konkretisasi ke dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia.