1. TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KARAKTER ISLAM SEBAGAI AGAMA RASIONAL
(PERAN AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM)
OLEH:
AMALIA HAJATARRAHMA (140710101361) FAKULTAS HUKUM
ANDRI ANANDI HAKIM (140710101327) FAKULTAS HUKUM
ARKAN RAFI ANIES (140710101376) FAKULTAS HUKUM
ISMAIL (140710101315) FAKULTAS HUKUM
MUHAMMAD AQILUL GHAZIR (140710101409) FAKULTAS HUKUM
2. KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah swt, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada kita semua, terutama kepada Saya sehingga dapat
menyusun makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi kita dalam
proses belajar terutama pada mata kuliah “PAI” terkhususnya yang berhubungan dengan
“Akal dan wahyu dalam pemikiran islam”
Adapun penulisan dalam makalah ini, disusun secara sistematis dan berdasarkan
metode-metode yang ada, agar mudah dipelajari dan dipahami sehingga dapat menambah
wawasan pemikiran para pembaca.
Dalam penulisan makalah ini, Saya menyadari sepenuhnya adanya kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun Saya harapkan dari para pembaca agar dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jember, 30 Agustus 2014
Penulis
i
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
D. Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal dan wahyu 3
B. Fungsi dan kedudukan akal dan wahyu 4
C. Akal dan wahyu dalam pemikiran islam 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 9
B. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
ii
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam
semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan
yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran
dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan
beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang kehilangan akal maka hukum-pun tidak
berlaku baginya. Saat itu dia dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang
diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan
akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui
jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua dengan jalan
akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran
untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini
sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal
diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus
menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986: 1).
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan,
pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya.
Karena itu, masalah hubungan akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur
dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua ribu
tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki
kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-
Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal
manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti
bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
1.
5. B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian akal dan wahyu?
2. Bagaimana fungsi dan kedudukan akal dan wahyu?
3. Bagaimanakah akal dan wahyu dalam pemikiran Islam?
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam
kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan maqasid as-syari’ah atau
maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup manusia, dua di antaranya adalah
mewujudkan terjaganya al-‘aql (intellect), dan keyakinan (ad-din) (Fahim Khan, 1992: 73-
74). Dalam hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada
keimanan kepada Allah SWT.
D. Manfaat
1. Agar kita dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu, fungsi dan
kedudukan Akal dan wahyu, serta akal dan wahyu dalam pemikiran islam.
2. Memperluas wawasan pemikiran kita mengenai akal dan wahyu dalam pemikiran islam.
2.
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal Dan Wahyu
1. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak
makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang
memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam,
dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima
(memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar
(akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas,
yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu
yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati
sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang
berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah,
memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang
mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke
dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam
pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql sama dengan nous yang mengandung arti daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb
di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang
terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato,
menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah)
yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat
di dada dan daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan dirinya
dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca
indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas moral, yakni di samping
untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara
kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang
membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka
mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan)
dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan
dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah
hati yang di dalam dada.”
3.
7. Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti
yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb
dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di
dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah
jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati
dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan
wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.
2. Wahyu
Kata al-wahy yang berarti suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab
adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Selanjutnya al-wahy
mengandung arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti yang paling
terkenal adalah “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Yakni sabda Tuhan yang
disampaikan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada manusia untuk dijadikan
pegangan hidup (Harun Nasution, 1992: 15)
Firman Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang memang diperlukan oleh
umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dalam Islam wahyu Allah
itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.
Wahyu dalam arrti firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya,
misalnya:
Artinya: “ sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami
telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah
memberikan wahyu (pula) kepada ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub, dan anak cucuny, isa,
ayyub,Yunus, Harun, dan sulaiman. Dan kami berikan zabur kepada Dawud”
Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabi-nabi melalui
tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; (2) Dari belakang tabir,
seperti yang terjadi pada Nabi Musa dan (3) Melalui utusan yang dikirimkan Tuhan dalam
bentuk malaikat.
B. Fungsi Dan Kedudukan Akal Dan Wahyu
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan
pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau
wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk
menangkap makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam
hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain
yaitu sebagai berikut:
4.
8. 1. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran
yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama
ajaran islam.
2. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk
mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat
al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan
umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4. Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah
dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan
memakmurkan bumi seisinya.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan
tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan teru-menerus.
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal
manusia. Itu dapat dilihat dari point-point berikut:
Alloh subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang
yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami
tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad [38]: 43).
2) Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk mendapat taklif
(beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi
mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah
orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosululloh sholallohu 'alaihi wa sallama bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلََثٍ وَمِنْهَا : الجُنُوْنُ حَت ى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang
gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
3) Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya
celaan Alloh subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS.
067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Alloh subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan
petunjuk Nabi-Nya.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS.
002. Al Baqarah [2]: 170).
5.
9. 4) Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-Qur'an, seperti
tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat "La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan
kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa
Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan
lainnya.
5) Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu
bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya".
(QS. An Nisaa' [04]: 82)
Artinya:"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu
Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Alloh yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang
mereka sifatkan". (QS. Al Anbiyaa' [21]: 22 )
Artinya:"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan
(diri mereka sendiri)?". (QS. Ath Thuur [52]: 35 )
6) Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fingsi akal.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al
Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti
kebenaran.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali
kepada Alloh, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-
Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Alloh petunjuk dan mereka Itulah orang-orang
yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]: 17-18)
7) Alloh subhanahu wa'ta'ala menggunakan ayat kauniyah untuk membuktikaan adanya
pencipta ayat kauniyah tersebut. Dan itu merupakan suatu proses berfikir (menggunakan
akal) yang dibutuhkan untuk mengetahui adanya hubungan antara alam dan pencipta alam.
Alloh subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah
berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?. Kemudian pandanglah
sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (QS. Al Mulk [67]: 3-4)
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu langsunng (al-Qur’an)
ataupun wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan
kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena disebabkan oleh proses
pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu
diturunkan dan dibukukan di masa awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah
wafat (masa Khalifah Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada
abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi dan
kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
6.
10. 1.Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan pengamalan
ajaran Islam harus dirujukan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa pemahaman dan penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada al-quran dan al-sunnah
adalah omong kosong.
2.Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan biala akal difungsikan
untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) harus dibimbinng
oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi
benar. Akal tidal boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera
penglihatan manusia.. Oleh karena itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk
membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia
menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan
struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai alat untuk memahami
wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus
melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusian diciptakan oleh
tuhan dengan tujuan ang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk
mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
C. Akal Dan Wahyu Dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi
juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya sebagai agama di
Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara, selanjutnya membesar di
Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang daerahnya luas dan akhirnya
berkembang di baghdad menjadi kebudayaan bahlkan peradapan yang tidak kecil
pengaruhnya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, pada peradaban barat modern.
Dalam perkembangan islam dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan
dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas
masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu,
tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam
pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula hanya dalam bidang filsafat,
tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun,
1986: 71)
1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau hukum Islam,
kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk mengerti dan memahami
sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman dan tafsiran
ayat-ayat al-Qur’an, yang berkenaan dengan hukum. Untuk pemahaman dan penafsiran itu
diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan
pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal
untuk mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
7.
11. 2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang dipermasalahkan,
dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu.
Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok
dealam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
3. Falsafat
Sesuai denagn pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya tentang
wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya dari yang dianggap
dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya pendapat-pendapat keagamaan
filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat keagamaan ulamatauhid atau teolog,
sehingga timbul sikap salah menyalahkan bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua
golongan itu. Filosof-filosof Islam berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara
falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan bahwa antara
agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya kebenaran yang dibawa
wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya satu, walaupun bentuknya berbeda.
Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara agama dan
falsafat.
4. Pemikir-Pemikir Pembaharuan Islam
Demikianlah kedudukan akal dan wahyu dalam pemikiran keagamaan Islam zaman
klasik, yang terdapat dalam bidang fikih, bidang tauhid, dan bidang falsafat. Sesudah zaman
klasik yang berakhir secara resmi pada pertengahan abad ketiga belas, pemikiran dalam Islam
tidak berkembang. Tetapi pada zaman modern sekarang mulai pada permulaan abad ke-sembilan
belas, pemikiran atas dorongan nasionalisme yang datang dari dunia barat mulai
timbul kembali. Pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam mulai menonjolkan
kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur’an, dalam Hadis dan dalam sejarah pemikiran
Islam.
Kedudukan tinggi dari akal di zaman modern ini dapat dilihat dalam pemikiran
Ahmad Khan. Bagi pemimpin pembaharuan dalam Islam di India ini hanya Al-Qur’an uang
bersifat absolut dan harus dipercayai. Lainnya bersifat relatif, boleh diterima, boleh ditolak.
Tetapi disamping itu ia punya kepercayaan yangkuat pada akal dan hukum alam. Islam dalam
pendapatnya adalah agama yang sesuai dengan akal dan hukum alam. Oleh sebab itu
pendapat-pendapat yang tidak sesuai dengan akal dan hukum alam timbul karena salah
pemahaman ataupeun salah interprestasi tentang ayat-ayat al-Qur’an. Islam adalah agama
yang sesuai denagan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Disamping itu akal dapat
membuat hukum mengenai hal-hal yang diatas untuk diamalkan oleh manusia.
8.
12. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
1. Akal merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi sebagai
alat untuk mencari kebenaran, akal mampu merumuskan yang bersifat kognitif dan
manajerial.
2. Wahyu merupakan firman Allah yang berfungsi sebagai pedoman hidup manusia.
Wahyu baik yang langsung (al-Qur’an) maupun tidak langsung (al-Sunnah) sebagi sumber
ajaran Islam
3. Akal dan wahyu dilihat secara fungsional bukan struktural, akal berfungsi untuk
memahami wahyu, dan wahyu berfungsi untuk meluruskan kerja akal.
4. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan
hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri.
5. Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera
penglihatan manusia
B. Saran
Kami mengharapkan para pembaca bisa mengambil pelajaran dari makalah
kami ini, dan member kritikan dari setiap kesalahan yang ada karena kami manusia
biasa yang dhaif, dan jika ada benarnya itu semata-mata dari Allah swt.
9.
13. DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta: LPID UMS
Asy’arie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta:
Lembaga studi Filsafat Islam.
10.