1. KAFALAH ,
RAHN,
WAKALAH
1. Ahmad Said
2. M. Ansory Ajid
3. Evi Sunani
4. Muhtadina Annisa
5. Nurul Dewi Andriani
6. Wilda Rifa Ardiana
2. A. KAFALAH
– Kafalah secara bahasa artinya adh-dhamanu (menggabungkan), atau a-dhaman
(jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut
istilah, kafalah merupakan jaminan yang di berikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang di
tanggung. Dalam pengertian lain , kafalah juga berarti mengalihkan tanggung
jawab seseorang yang di jamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang
lain sebagai penjamin.
3. 1. LANDASAN HUKUM
– 1) Al-Qur’an
– Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat di pelajari dalam Al-
Qur’an pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf. “Penyeru-penyeru itu
berseru, ‘kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat (seberat) beban unta
dan aku menjamin terhadapnya.’” (Yusuf: 72) Kata za’im yang berarti penjamin
dalam surah Yusuf tersebut adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas
pembayaran.
4. – 2) Al-Hadits
– Landasan syariah dari pemberian fasilitas dalam bentuk jaminan kafalah pada
ayat di atas di pertegas dalam hadits Rasulullah sebagai berikut: Artinya: “Telah
di hadapkan kepada Rasulullah SAW. (mayat seorang laki-laki untuk di
shalatkan) ….Raulullah SAW bertanya “apakah dia mempunyai warisan?” Para
saahabat menjawab “tidak” Rasulullah bertanya lagi, apakah dia mempunyai
utang?’ Sahabat menjawab “Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh
para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Abu Qatadah
lalu berkata, “saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun
menshalatkan mayat tersebut. (HR Bukhari no. 2172, kitab al-Hawalah)
– Para Ulama sepakat terkait di bolehkannya kafalah , dan kaum muslimin pun
masih tetap melakukan kafalah di antara mereka sejak zaman kenabian sampai
saat sekarang ini tanpa ada seorang ulama pun yang memungkiri.
5. 2. MACAM-MACAM KAFALAH
– a. Kafalah bin-Nafs: Merupakan akad yang memberikan jaminan atas diri.
Kafalah jenis ini adalah suatu bentuk komitmen penanggung untuk
menghadirkan sosok pihak tertanggung kepada orang yang di tanggung haknya.
– b. Kafalah bil-Maal :Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan
utang.
– c. Kafalah Bit-Taslim: Jenis Kafalah ini biasa di lakukan untuk menjamin
pengembalian atas barang yang di sewa, pada waktu masa sewa berakhir.
– d. Kafalah al-Munjazah: Kafalah al-Munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak
di batasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu.
6. 3. MANFAAT KAFALAH
– a. Pihak yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank,
nasabah bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena biasanya
pemilik proyek menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang
mereka miliki.
– b. Pihak yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh
bank, pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek yang akan dikerjakan oleh
nasabah tadi akan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, karena
kafalah merupakan pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cidera janji
melaksanakan kewajibannya.
– c. Pihak yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang diterbitkan oleh bank,
maka pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan dari nilai dan risiko
yang ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.
7. 4.KETENTUAN HUKUM
TERKAIT KAFALAH
– Begitu yang di tanggung tidak ada atau hilang, maka penanggung harus
menjamin dan tidak boleh keluar dari kafalah kecuali dengan pelunasan hutang
darinya atau dari pihak tertanggung utama (tertanggung), atau dengan adanya
pembebasan oleh pemberi hutang sendiri dari hutang, atau mengundurkan diri
dari kafalah, dan dia berhak untuk mengundurkan diri, karena itu adalah
haknya. Pihak yang di tanggung haknya, maksudnya pemberi hutang, berhak
untuk membatalkan kesepakatan kafalah secara sepihak meskipun orang yang
di tanggung hutangnya atau penanggung tidak ridha. Namun sebaliknya, pihak
tertanggung dan penanggung tidak berhak untuk membatalkan kesepakatan
kafalah secara sepihak.
8. 5. Berakhirnya Kafalah
– a. Ketika utang telah diselesaikan, baik oleh orang yang berutang atau oleh
penjamin. Atau jika kreditor menghadiahkan atau membebaskan utangnya kepada
orang yang berutang.
– b. Kreditor melepaskan utangnya kepada orang yang berutang, tidak pada
penjamin. Maka penjamin juga bebas untuk tidak menjamin utang tersebut. Namun,
jika kreditor melepaskan jaminan dari penjamin, bukan berarti orang yang berutang
telah terlepas dari utang tersebut.
– c. Ketika utang tersebut telah dialihkan (transfer utang/hawalah). Dalam kasus ini
baik orang terutang ataupun penjamin terlepas dari tuntutan utang tersebut.
– d. Ketika penjamin menyelesaikan ke pihak lain melalui proses arbitrase dengan
kreditor.
– e. Kreditor dapat mengakhiri kontrak kafalah walaupun penjamin tidak
menyetujuinya. Contoh Kafalah
9.
10. CONTOH KAFALAH
– Dina akan membuat usaha ayam bakar, namun belim mempunyai modal
sedangkan Dona sudah ungin memesan ayam bakarnya, agar tidak kehilangan
konsumen pertamanya, maka dari itu Dina mencari dana untuk meminjamkan
uang untuk modal usahanya. Dalam rangka menjalankan usahanya, seorang
kontrakor sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui jaminan yang
diberikan oleh Bank Syariah (kafiil) kepada pihak ketiga (makful lahu) untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua (kontraktor) atau uang ditanggung (makfuul
‘anhu).
11. B. RAHN
– A. Pengertian Rahn
– Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan (
jaminan). Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang
menyerahkan jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan
disebut murtahin.
– Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti atsubutu wa dawamu artinya tetap kekal,
atau al-habsu wa lazumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa
berarti jaminan. Dalam Islam ar-rahn merupakan sarana tolong-menolong bagi
umat islam.
12. 1. Dasar Hukum Rahn
– A. Al-Qur’an
– Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
[180] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.(surah al-Baqarah, 2:283)
– Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan asal barang jaminan itu bisa
langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya, karena tidak
semua barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi piutang secara
langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa
barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan hutang). Misalnya, apabila barang
jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah
itu.
13. – B. al-hadis
– َْربِإ ْنَع ُشَم َْْع ْْْال َانَثَّدَح َةَيِواَعُم ُوبَأ َانَثَّدَح ىَسيِع ُْنب ُفُسُوي َانَثَّدَحِئا َع ْنَع ِد َو ْْ َس ْْْال ْنَع َيمِهاَلاَق اَهْنَع ُ َّاَّلل َي ِضَر َةَشْت
ةَئ يِسَنِب اًماَعَط ي ِدوُهَي ْنِم َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاَّلل ىَّلَص ِ َّاَّلل ُلوُسَىر َرَتْشاهَع ِْرد ُهَنَهَر َو
– Artinya :
– Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin 'Isa telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Ibrahim dari Al aswad dari 'Aisyah
radliallahu 'anha berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari
orang Yahudi secara angsuran dan menjaminnya dengan menggadaikan baju besi Beliau".
– Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul saw. me-rahn kan baju besinya itu, adalah
kasus ar-rahn pertama dalam islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan
ayat dan hadis diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar- rahn itu
dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka
hubungan antar sesama manusia.
14. – C. Ijma
– Para ulama telah menyepakati bahwa al-rahn boleh dilakukan. Kesepakatan
ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang
ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan
kebutuhan umatnya.
15. 2. Rukun dan Syarat Rahn
– 1. Shigat (lafal ijab dan qabul)
– yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis
maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian
gadai diantara para pihak.
– ar-Rahin (orang yang hutang) dan al-Murtahin (pemberi hutang).
– Syarat seorang ar Rahin dan al Murtahin yaitu:
– 1) Tidak gila, tidak mabuk
– 2) Dewasa, baligh
– 3) Berakal
– 4) Mumayyis
– 5) Cakap hukum
16. – b. Al-Marhun (harta yang dijadikan jaminan)
– Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang
dalam jual beli. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun sebagai berikut:
– 1) dapat diperjualbelikan
– 2) bermanfaat dapat diperjualbelikan
– 3) bermanfaat, jelas
– 4) milik rahin
– 5) dipegang (dikuasai) oleh rahin
– 6) bisa diserahkan
– 7) tidak bersatu dengan harta lain
– 8) harta yang tetap atau dapat dipindahkan
17. – c. Al-marhunbih (utang)
– Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya
ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik barang)
dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang
anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan
mengikatnya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang).
18. 3. Ketentuan Umum
Pelaksanaan Rahn dalam Islam
– a. Kedudukan Barang Gadai Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan
barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak
penggadai.
– b. Pemanfaatan Barang Gadai Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil
manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan
status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi
penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan,
maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian
gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk
memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
– c. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan
barang gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan
Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko
sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya
barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
19. – d. Pemeliharaan Barang Gadai Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan
bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya.
Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk
menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima
gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
– e. Kategori Barang Gadai Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah
semua barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
– 1) Benda bernilai menurut hukum syara’
– 2) Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
– 3) Benda diserahkan seketika kepada murtahin
– f. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai. Apabila sampai pada waktu yang sudah di
tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa
oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya. g. Prosedur Pelelangan Gadai Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang
yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan
bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh
tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.
20. 4. Manfaat Rahn
– a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan.
– b. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja. Jika nasabah peminjam ingkar
janji, ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
– c. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat
membantu saudara kita yang kesulitan dana terutama didaerah-daerah.
21.
22. C. WAKALAH
– Pengertian Wakalah Perwakilan adalah al-wakalah atau al-wikalah. Menurut bahasa artinya al-hifdz, al-
kifayah, al-dhaman dan at-tawfidh atau penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat.
– pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Islam
mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Al-wakalah atau al-wikalah, menurut istilah
para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut:
– a. Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah, “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang
lain dalam hak(kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”
– b. Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah, “Seseorang menempati diri orang lain dalam
tasharruf (pengelolaan)”
– c. Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah, “Suatu ibrah seorang menyerahkan sesuatu
kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”
– d. Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunah 13 mendefinisikan al-wakalah sebagai pelimpahan kekuasaan
oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat didiwakilkan.
– Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakalah
ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dalam hal-hal yang
dapat diwakilkan.
23. 1. Landasan Hukum
– A. Al-Qur’an
– اَهْيَلَع َينِلِامَعْال َو
– Artinya : “…pengurus-pengurus zakat…” (QS. At-Taubah [9]: 60)
– ْزَأ اَهُّيَأ ْرُظْنَيْلَف ِةَنِيدَمْال ىَلِإ ِهِذَه ْمُكِق ِر َوِب ْمُكَدَحَأ واُثَعْبااًماَعَط ىَك
– Artinya : “…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah
makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu…” (QS. Al-Kahfi [18]: 19)
24. – B. As-Sunnah
– Rasullulah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya dan
banyak hadist yang menunjukan dibolehkannya praktek wakalah. Hadist tersebut
diantaranya:
– ارَسَي َْنب َانَمْيَلُس ْنَع َو,َب َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّاَّلل ىَّلَص َّيِبَّنال َّنَاِارَص َْْنْال َن ِم ًالُج َر َو ُهَل ْوَم عِفا َارَبَا َثَع,َّو َزَفَةَن ْوُمْيَم ُهاَج
ِث ِارَحْال َتْنِب,
– َجُرْخَي ْنَا َلْبَق ِةَنْيِدَمْالِب َوُه َو
– Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi saw, mengutus Abu Rafi’, hamba yang
pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua orang itu
menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (nabi saw) di
Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah). (HR Maliki dalam Muwaththa’)
– َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص ي ِبَّنال ِنَع:َه ِةَأ َرْام ىَلِإ ُْسيَنُأ اَي ُدْغا َوَاه ْمُج ْارَف ْتَفَرَتْعا ِنَِِف اَذ
– Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda kepada Unais, “Pergilah hai Unais,
kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui perbuatannya, rajamlah dia.” (HR Bukhari)
25. – c. Ijma Ulama telah sepakat (ijma’) untuk memperbolehkan muslim melakukan
akad/perjanjian wakalah, karena termasuk jenis ta’awun (tolong-menolong)
atas dasar kebaikan dan taqwa, yang sangat dianjurkan Al-Qur’an dan Rasullah
SAW.
– “(Jika) muwakkil mengizinkan wakil untuk mewakilkan (kepada orang lain),
maka hal itu boleh; karena hal tersebut merupakan akad yang telah diizinkan
kepada wakil; oleh karena itu, ia boleh melakukannya (mewakilkan kepada
orang lain).”
26. 2. Landasan Hukum Posit
– Dalam tataran teknis wakalah diatur dalam ketentuan Pasal 36 huruf c poin
pertama PBI No.6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang intinya menyatakan bahwa
bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam
kegiatan usahanya yang meliputi melakukan pemberian jasa pelayanan
perbankan berdasarkan akad wakalah
27. 3. Rukun dan Syarat
– Al wakalah termasuk akad, seperti umumnya akad lainnya wakalah akan sah dan mempunyai
akibat hukum jika memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun dan Syarat Wakalah:
– a. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syarat-syarat muwakkil:
– 1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. Jika yang mewakilkan
bukan pemilik atau pengampu, maka al-wakalah tersebut batal.
– 2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang
bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan
sebagainya. Jika tindakan tersebut termasuk tindakan dharar mahdhah (berbahaya), seperti
thalak, memberikan sedekah, menghibahkan atau mewasiatkan, maka tindakan tersebut
batal.
– b. Wakil atau yang mewakili, syarat-syarat wakil:
– 1) Cakap hukum, berakal
– 2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
– 3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.
28. – c. Muwakkal fih (sesuatu yang diwakilkan), syarat-syarat sesuatu yang diwakilkan:
– 1) Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, maka batal mewakilkan sesuatu
yang masih samar, seperti “ Aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mewakilkan
salah seorang anakku”
– 2) Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam
– 3) Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam. Manfaat barang atau jasa harus bisa
dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. Sedangkan hal-hal yang tidak bisa
diwakilkan seperti shalat, puasa maka itu tidak sah.
– 4) Sighat, yaitu lafadz mewakilkan, shighat diucapkan dari yang berwakil sebagai
simbol keridhaannya untuk mewakilkan, dan wakil menerimanya. Jika salah satu
pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
29. 3. Hukum Wakalah
– a. Wajib, wakalah menjadi wajib jika menyangkut hal-hal yang darurat menurut
Islam.
– b. Mubah, wakalah hukum asalnya adalah mubah, semua akad yang boleh
diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain
– c. Makruh, wakalah menjadi makruh jika yang diwakilkan adalah hal-hal yang
makruh menurut Islam.
– d. Haram, wakalah menjadi haram jika menyangkut hal-hal yang dilarang oleh
syariah. e. Sunah, wakalah menjadi sunah jika menyangkut hal-hal bersifat
tolong menolong (ta awun).
30. 4. Berakhirnya Wakalah
– a. seorang dari yang berakad, karena salah satu syarat sah nya akad adalah orang
yang berakad masih hidup.
– b. Salah seorang yang berakad gila, karena syarat sah nya berakal.
– c. Diberhentikannya pekerjaan yang dimaksud, karena jika telah berhenti, dalam
keadaan ini al-wakalah tidak berfungsi lagi.
– d. Pemutusan oleh orang yang mewakilkan terhadap wakil meskipun wakil belum
mengetahui (pendapat Syafi’I dan Hambali). Menurut Mahzab Hanafi wakil wajib
mengetahui putusan yang mewakilkan. Sebelum ia mengetahui hal itu,
tindakannya tak ubah sebelum diputuskan, untuk segala konsekuensi hukumnya.
– e. Wakil memutuskan sendiri, menurut Mahzab Hanafi tidak perlu orang yang
mewakilkan mengetahui pemutusan dirinya atau tidak perlu kehadirannya, agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
31. 5. Tujuan Adanya Wakalah
– Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat.
Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang
mewakili) yang telah bekerja sama/ kontrak, wajib bagi keduanya untuk
menjalankan hak dan kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat
curiga dan beburuk sangka. Dan sisi lainnya wakalah terdapat pembagian tugas,
karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan
pekerjaannya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain,
maka muncullah sikap saling tolong menolong dan memberikan pekerjaan bagi
orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan terbantu
dalam pekerjaanya, dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya.
32.
33. 6. Contoh Wakalah
– a. Transfer uang
– Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah,
dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil
terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank
untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank
mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses
yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada
rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam transfer uang ini
– b. Wesel Pos
– Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-Muwakkil
kepada Al-Wakil, dan Al-Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada
nasabah yang dituju. Berikut adalah proses pentransferan uang dalam Wesel Pos.
34. – c. Transfer uang melalui cabang suatu bank
– Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang
merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya secara langsung kepada
nasabah yang dikirim. Tetapi bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang
dituju tersebut. Berikut adalah proses pentrasferan uang melalui cabang sebuah bank.
– d. Transfer melalui ATM
– Kemudian ada juga proses transfer uang dimanapendelegasian untuk mengirimkan
uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank sebagai
Al-Wakil. Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta bank untuk mendebet
rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening
nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat
sering terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan
transfer sendiri melalui mesin ATM.