SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 13
Nama : Andi Rafika Rezky Aulia
NIM : K062222003
Tugas : Cara Penularan Schistosomiasis
Schistosomiosis di Indonesia disebabkan oleh cacing termatoda jenis Schistosoma
Joponicum (S. joponicum). Oncomelania hupensis adalah satu-satunya hospes perantara S.
japonicum, tersebar di Republik Rakyat Cina, Jepang, Filipina Dan Indonesia. Penularan
schistosomiasis terjadi melalui kulit yaitu serkaria cacing S.japonicum menginfeksi hospes
mamalia melalui kulit (Nurwidayati et al., 2022). Schistosomiosis adalah penyakit infeksi paraasit
kronis yang disebabkan oleh cacing darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. Schistosoma
berbeda dari trematoda jenis lainnya karena mereka hidup di dalam sistem pembuluh darah dan
memiliki jenis kelamin jantan dan betina yang terpisah. Ada lima spesies schistosoma yang
ditemukan pada manusia, tetapi > 90% dari semua infeksi ini hanya disebabkan oleh 3 spesies
penting yaitu: Schistosoma mansoni, Scihstosoma japonicum, dan Schistosoma haematobium. Dua
spesies lainnya yang jarang terjadi adalah Schitosoma intercalatum dan Schitosoma mekongi.
Scistosomiosis lazim terjadi pada daerah tropis dan sub-tropis, khususnya pada masyarakat miskin
tanpa akses air minum yang aman, sanitasi, serta infrastruktur kesehatan publik yang tidak
memadai (Vrisca et al., 2014).
Dalam penelitian (Ningsi et al., 2022) penularan terjadi jika melintasi areal focus keong
yang merupakan tempat habitat keong dan orang akan tertular. Schistosomiasis merupakan
penyakit menular. Penularan schistosomiasis terjadi melalui air yang mengandung serkaria cacing
Schistosoma (Delaprilyant et al., 2018). Schistosomiasis, juga dikenal sebagai biliharziasis, adalah
infeksi parasite yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus Schistosoma. Inang perantara
parasite adalah siput air atau amfibi air tawar, yang menumpahkan bentuk infektif, serkaria, di
dalam air. Schistosomiasis ditularkan ketika larva serkaria menemukan inang definitif di dalam
air, yaitu Penularan schistosomiasis ke manusia terjadi ketika manusia berada di lingkungan
perairan yang sudah mengandung larva Schistosoma cercariae. Schistosomiasis adalah penyakit
yang ditularkan melalui air (waterborne disease) yang biasanya didapat dengan berenang di air
yang memiliki inang, termasuk siput. Berbagai siput, masing-masing disesuaikan dengan populasi
parasit lokal, berfungsi sebagai hospes perantara. Siput Bulinus sp. merupakan hospes perantara
bagi S. haematobium, siput air yang tumbuh subur di badan air yang tidak membawa terlalu banyak
air, seperti kolam atau saluran irigasi (Fragkoua et al., 2021).
Schistosomes jantan dan betina hidup sebagai pasangan berpelukan permanen di pleksus
vena perivesical (di S. haematobium) atau di pleksus vena mesentrik (di spesies S. mansoni dan S.
japonicum ). Schistosom mendapatkan makanan dari darah inang dan globulin melalui kolisis
glikolisis anaerobik dan mengeluarkan limbah kembali ke tubuh inang. Ovum individu adalah
rumah bagi larva miracidium dengan silia yang menghasilkan enzim proteolitik yang membantu
telur bergerak menuju lumen kandung kemih atau menuju usus inang. Selanjutnya, telur parasit
dilepaskan ke dalam feses atau urin di mana mereka tetap hidup selama sekitar tujuh hari. Ketika
mereka masuk ke air tawar, miracidium dilepaskan dari telur. Dengan bantuan rangsangan kimiawi
dan cahaya, miracidium mencari siput air tawar yang menjadi perantaranya Schistosomiasis
manusia atau disebut bilharzia, adalah penyakit yang melemahkan intravaskular yang ditularkan
oleh siput air tawar akibat infeksi oleh cacing trematoda Schistosoma dimorfik parasit , yang hidup
di aliran darah manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap penyakit ini sebagai
penyakit penyakit tropis terabaikan, dengan perkiraan 732 juta orang rentan terhadap infeksi di
seluruh dunia di daerah penularan terkenal (Adenowo et al., 2015).
Saat menemukan siput, miracidium menembusnya dan mengalami reproduksi aseksual
untuk menghasilkan sporosit multiseluler yang berkembang menjadi larva cercarial yang memiliki
pengisap embrio serta ekor bercabang dua. Setelah 4-6 minggu menginfeksi siput, cercariae
meninggalkan siput dan berputar-putar selama sekitar 72 jam mencari kulit calon inang. Setelah
dilepaskan dari siput, serkaria dipicu oleh cahaya terutama pada siang hari. Saat menemukan kulit
inang manusia, serkaria menggali ke dalamnya, bermigrasi ke dalam darah melalui hati dan paru-
paru dan mengalami transformasi menjadi schistosomula yang juga disebut cacing muda.
Schistosomula matang dalam waktu 4-6 minggu di dalam vena portal, pasangan, dan bermigrasi
ke tujuannya, yaitu pleksus vena perivesicular atau mesenterika, untuk memulai siklus lagi.
Seekor siput yang terinfeksi berpotensi melepaskan ribuan serkaria setiap hari selama berbulan-
bulan. Schistosom dewasa memiliki umur rata-rata antara tiga sampai lima tahun, tetapi juga bisa
hidup selama 30 tahun. Sepasang schistosome memiliki potensi reproduksi teoretis hingga 600
miliar schistosomes. Siput air tawar perantara menghuni danau, sungai, kolam, atau sungai air
tawar yang tenang atau bergerak lambat. Tingkat infeksi pada manusia meningkat dengan durasi
waktu yang dihabiskan di air yang terkontaminasi. Pemeriksaan mikroskopis tinja dan urin adalah
standar emas untuk deteksi (diagnosis) infeksi schistosomal. Telur schistosom mudah dilihat dan
diidentifikasi pada mikroskop karena ukuran dan bentuknya yang khas, dan memiliki tulang
belakang lateral atau terminal (Adenowo et al., 2015) .
Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis, sehingga sumber penularannya
bukan hanya manusia, tetapi beberapa mamalia terbukti rentan terhadap penyakit ini. Kehadiran
siput rentan penting untuk perkembangan infeksi parasit trematoda. Penularan keong trematoda ke
manusia juga bergantung pada beberapa faktor lain, seperti: faktor lingkungan, iklim, ketersediaan
pakan, kebersihan dan populasi. Secara epidemiologis, penyebaran schistosomiasis tidak lepas dari
perilaku manusia. Umumnya, penderita schistosomiasis adalah orang yang cenderung tidak
terpisahkan dari air. Kontak berulang atau jatuh ke dalam air yang terinfeksi parasit
schistosomiasis menyebabkan peningkatan schistosomiasis di masyarakat. Manusia dan inang
definitif lainnya memperoleh parasite dalam air yang terkontaminasi melalui penetrasi langsung
kekulit. Parasite dapat menyebabkan sindrom akut, yang dikenal sebagai sindrom katamaya, atau
infeksi parasite kronis pada saluran pencernaan atau saluran genitourinary dengan menyerang
pembuluh darah organ target. Organisme telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari
pengawasan imun inang dengan menganggu dan memodulasi respon imun bawaan dan didapat
(Fragkoua et al., 2021).
Penularan juga dapat melibatkan spesies siput inang perantara dari genus Bulinus dan
Biomphalaria dan terjadi pada titik kontak air manusia di mana terdapat siput yang terinfeksi dan
melepaskan serkaria. Telur dikeluarkan oleh individu yang terinfeksi, dan setelah mencapai badan
air tawar, telur menetas untuk melepaskan miracidia yang harus menginfeksi siput inang perantara
untuk reproduksi. Cercariae kemudian ditumpahkan oleh siput ke dalam air dan menembus kulit
utuh manusia yang bersentuhan dengan air yang terkontaminasi untuk menyelesaikan siklus
hidupnya (Mbereko et al., 2020).
Cara infeksi pada manusia adalah dengan jalan serkaria menembus kulit pada waktu
manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk
menginfeksi adalah 5- 10 menit. Setelah serkaria menembus kulit terjadi perubahan menjadi
bentuk schistosomula yang kemudian masuk ke dalam kapiler darah, beredar mengikuti aliran
darah masuk ke jantung kanan, lalu ke paru dan kembali ke jantung kiri; yang kemudian akan
masuk ke sistem peredaran darah besar, cabang vena porta dan menjadi dewasa di hati (3-6
minggu). Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus atau vena vesica urinaria
dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dengan cangkang (kulit) yang keras
dikeluarkan oleh cacing betina di dalam pembuluh darah. Telur tersebut kemudian menembus
endotel, membran basemen vena, masuk ke jaringan seperti usus (S.mansoni dan S.japonicum)
dan vesica urinaria (S.haematobium) dan akhirnya keluar bersama tinja / urin. Beberapa penelitian
imunologis menemukan bahwa jumlah telur yang keluar bersama feses berhubungan dengan status
imunologis hospes. Penderita schistosomiasis yang mempunyai sel CD4+ yang sedikit akan terjadi
ekskresi telur yang sedikit pula. Hal ini menunjukkan bahwa schistosoma memanfaatkan respon
imun hospes untuk memfasilitasi perkembangan dan transmisinya di dalam tubuh hospes.
Peristiwa migrasi dan keluarnya telur dari lumen usus dan vesica urinaria akan sangat berkurang
pada penderita imunodefisiensi (Rusjdi, 2011).
Kondisi Patologi Akibat Schistosomiasis Keadaan patologis yang ditimbulkan oleh
schistosomiasis sering berupa pembentukan granuloma dan gangguan terhadap organ tertentu. Hal
ini sangat berhubungan erat dengan respon imun hospes. Respon imun hospes ini sendiri
dipengaruhi oleh faktor genetik, intensitas infeksi, sensitisasi in utero terhadap antigen
schistosoma dan status co-infeksi (Rusjdi, 2011).
Schistosomiasis akut Penyakit schistosomiasis akut dapat ditandai dengan gejala demam
(nokturna), malaise, mialgia, nyeri kepala, nyeri abdomen, batuk non produktif yang dapat terjadi
sebelum ditemukannya telur di alam feses dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-8
setelah infeksi. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan eosinofilia dan infiltrat paru pada
rontgen foto torak. Kumpulan gejala ini dikenal sebagai sindroma Katayama dan sering terjadi
pada orang yang terinfeksi pertama kali atau pada keadaan reinfeksi berat serkaria. Gejala yang
tidak khas sering menyebabkan klinisi mengalami kesalahan diagnosis terutama pada daerah non
endemis. Klinis yang terjadi berhubungan dengan reaksi alergi terhadap migrasi larva dan antigen
telur. Serkaria mampu menembus kulit karena adanya bantuan enzim proteolitik. Reaksi kulit
terhadap serkaria ini dapat berupa urtikaria dengan ruam makulopapula yang dikenal dengan
istilah “swimmer itch” (Rusjdi, 2011).
Pada saat serkaria menembus kulit, prostaglandin D2 (PGD2) yang disekresikan oleh
permukaan tubuh serkaria akan menghambat migrasi sel Langerhans menuju limfonodus.
Penghambatan ini akan menyebabkan keterlambatan respon imun spesifik hospes terhadap
schistosoma. Keberadaan serkaria berada di dalam tubuh hospes kemudian berubah menjadi
schistosomula dan akhirnya menjadi dewasa di hepar, tidak memicu respon imun. Respon imun
yang kuat akan terjadi pada cacing dewasa betina mulai berkopulasi dan menghasilkan telur. Pada
saat ini telur yang terdapat dalam aliran darah akan menyebabkan perlukaan pada vaskuler dan
jaringan sekitarnya. Telur yang terjerat di dalam jaringan menyebabkan terjadinya pseudo abses
yang berlanjut dengan pembentukan pseudo tuberkel dan jaringan ikat. Secara seluler, sel
mononuclear di perifer (Peripheral – blood mononuclear cells = PBMCs) akan memproduksi
Tumor Necrosis Factor (TNF), interleukin-1 (IL1), dan interleukin-6 (IL-6). Ekspresi sitokin
tersebut menunjukkan respon imun yang terpolarisasi ke arah Thelper1 (Th1). Seiring dengan
perjalanan alamiah penyakit, antigen yang berasal dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina
dewasa akan menimbulkan respon imun yang terpolarisasi ke arah Thelper2 (Th2). Polarisasi
respon ke arah Th2 ini akan menghasilkan IL-10 dan menekan produksi sitokin proinflamasi.
Secara molekuler, aktivasi sistem imun akibat antigen telur ini dapat terjadi akibat urutan proses
sebagai berikut: komponen “glycosylated” pada permukaan telur mengaktivasi makrofag untuk
menstimulasi respon Th2 yang sangat kuat terhadap unrelated antigen, komponen
“phosphatydylserine” pada permukaan telur cacing mengaktivasi Toll Like Receptor2 (TLR2) sel
dendrit untuk memicu proliferasi dan diferensiasi sel Tho mnjadi Treg, dan komponen glikoprotein
pada telur cacing merangsang basofil untuk mengekspresikan IL-4 dan IL-13. Glikoprotein ini
nantinya juga akan berikatan dengan reseptor mannosa dari makrofag sehingga akan menginduksi
pembentukan Alternatively Activated Macrophage untuk mencegah inflamasi yang berlebihan.
Peredaman proses inflamasi ini dapat mencegah terjadinya kerusakan organ (Rusjdi, 2011).
Schistosomiasis kronis Polarisasi respon Th2 (Th2 Polarized) yang terjadi pada tahap awal
schistosomiasis sangat berpotensi untuk menimbulkan gejala klinis yang berat dan dapat
menimbulkan kematian. Apabila respon Th2 polarized ini berkelanjutan akan terjadi fibrosis hati
akibat IL-13 yang dihasilkan oleh Th2. Kemampuan fibrogenesis IL-13 ini merupakan dasar terapi
untuk penyakit fibrotik hepar akibat schistosomiasis. Imunoterapi dengan cara menghambat IL-13
dan pemberian terapi sitokin berupa IFN-γ, IL-12, TNF) dan Nitric Oxide (NO) dapat mencegah
terjadinya fibrosis (Rusjdi, 2011).
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap penderita schistosmiasis didapatkan
kesimpulan bahwa penderita dengan derajat infeksi yang sama (berdasarkan jumlah telur yang
ditemukan dari pemeriksaan feses) bisa mempunyai klinis yang berbeda. Penderita yang
mengalami respon Th2 polarized cenderung memperlihatkan klinis yang berat dan sering
menimbulkan kematian sedangkan penderita respon Th1 polarized cenderung menimbulkan gejala
yang lebih ringan. Penemuan ini kontradiktif dengan hasil penelitian lain yang mendapatkan
bahwa pasien yang mengalami hepatomegali akibat schistosomiasis mengalami respon Th1
polarized dan peningkatan konsentrasi TNF reseptor1 (TNFRI) dan TNFRII dalam plasma
sedangkan penderita dengan respon Th2 mengalami gejala yang ringan dengan konsentrasi TNFR
yang rendah dalam plasma. Individu yang mempunyai gen SM2 mempunyai tendensi untuk
mengalami fibrosis hepar dan hipertensi portal. Gen SM2 ini mengakibatkan terjadinya mutasi
pada IFN- γ reseptor1 (IFN- γR1) sehingga kehilangan kemampuan untuk menghambat
fibrogenesis (Rusjdi, 2011).
Perkembangan Respon Imun pada Schistosmiasis Perkembangan respon imun pada
schistosomiasis akut dapat dibagi atas 3 fase, yaitu: fase pertama (3-5 minggu setelah infeksi) yang
menginduksi respon Th1, fase kedua (5-6 minggu setelah infeksi) yang menginduksi respon Th2
seiring dengan penurunan respon Th1 dan fase ketiga (kronis) yang menginduksi respon Th2 yang
kuat. Fase kronis ini terjadi ketika infeksi masih berlangsung dan cacing terus menerus bertelur
serta granuloma yang terbentuk pada tempat perletakan telur cenderung lebih kecil daripada fase
akut (Rusjdi, 2011).
Pembentukan Granuloma pada Schistosomiasis Kondisi patologis yang ditimbulkan akibat
schistosomiasis kronis terjadi akibat akumulasi telur yang terperangkap dalam jaringan. Pada
infeksi S.mansoni dan S.japonicum, hepar merupakan organ utama yang diserang. Telur yang
terbawa bersama aliran darah ini akan terperangkap di hepar. Hal ini disebabkan oleh ukuran
kapiler sinusoid yang sangat kecil. Pada infeksi S.haematobium terjadi kerusakan vesika urinaria
akibat perjalanan telur cacing pada dinding organ tersebut. Respon sel T CD4+ yang diinduksi
oleh antigen telur ini mengakibatkan terjadinya pembentukan granuloma. Granuloma terbentuk
dari serat kolagen dan kelompok sel (makrofag, eosinofil dan sel TCD4+) yang mengelilingi telur.
Apabila telur schistosoma ini mati, maka granuloma akan sembuh secara spontan dengan
meninggalkan lesi fibrotik. Keadaaan ini akan menimbulkan kongesti dan gangguan perfusi.
Apabila keadaan ini berkelanjutan dapat terjadi asites dan pembentukan neovaskularisasi di hepar
(portal – systemic venous shunts). Portal – systemic venous shunts yang terbentuk bersifat rapuh
sehingga mudah terjadi ruptur, perdarahan hebat dan menimbulkan kematian. Kelainan serius lain
yang dapat ditimbulkan oleh S.haematobium adalah keganasan vesica urinaria dan alat genital.
Keganasan pada alat genital terjadi apabila telur schistosoma bermigrasi hingga ke servik pada
wanita atau testis pada pria. Hasil penelitian ternyata juga menemukan bahwa pembentukan
granuloma mempunyai efek protektif terhadap kerusakan hepar. Mekanisme protektif ini terbentuk
karena adanya kerjasama antara granuloma dengan antibodi spesifik dalam mencegah kontak
hepatotoksin yang disekresikan oleh telur dengan hepatosit. Peranan IL-13, IL-4, IFN-γ dan IL-12
dalam aktivasi makrofag dan pembentukan jaringan fibrotik Pada kedaan schistisomiasis akut,
terjadi respon imun Th1 yang ditandai dengan ekspresi IL-12, IFN-γ dan TNF (Rusjdi, 2011).
Sitokin yang diekspresikan oleh respon Th1 ini akan mengaktivasi makrofag untuk
mengekspresikan inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang dapat mengubah L-arginine menjadi
Lhydroxy-arginine. Lhydroxy-arginine merupakan senyawa intermediet yang segera akan berubah
menjadi Nitric oxide dan citruline. Pada keadaan schistosomiasis kronis, terjadi respon imun Th2
yang ditandai dengan ekspresi IL-4 dan IL-13. Kedua sitokin ini bekerja sama dalam mengaktivasi
makrofag untuk mengekspresikan arginase. Arginase ini akan mengubah L-arginase menjadi
Lornithine dan selanjutnya akan berubah menjadi proline dengan bantuan ornithine
aminotransferase. Proline merupakan asam amino esensial yang berperan penting dalam
pembentukan jaringan kolagen dan proses fibrotik (Rusjdi, 2011).
Pengaruh schistosomiasis terhadap penyakit lain Sebagaimana diketahui, pada
schistosmiasis akut yang terus berlanjut (12 minggu), respon imun hospes membentuk sel efektor
berupa Tregulator (Treg). Sel Treg ini mengekspresikan IL10 dan TGF-β yang menimbulkan
cellular hyporensponsive secara umum. Fenomena ini mengindikasikan bahwa infeksi
schistosoma dapat meningkatkan kerentanan hospes terhadap penyakit infeksi virus dan bakteri.
Interaksi schistosoma dengan sistem imun hospes sebenarnya sudah terjadi mulai saat serkaria
menembus kulit. Prostaglandin D2 (PGD2) yang disekresikan oleh permukaan tubuh serkaria akan
menghambat migrasi sel Langerhans menuju limfonodus. Penghambatan ini akan menyebabkan
keterlambatan respon imun spesifik hospes terhadap schistosoma. Walaupun demikian sel efektor
dari sistem imun hospes juga mulai berperan. Peritiwa ini terlihat dari fluktuatif respon Th1/Th2
pada masa awal infeksi akibat stimulasi antigen serkaria, skistosomula dan somatik cacing dewasa.
Aktifitas perlawanan yang kuat dari imunitas hospes bekerja pada saat betina dewasa
menghasilkan telur. Antigen telur inilah yang bertindak sebagai imunogen yang kuat untuk
menstimulasi respon imun hospes. Dalam menghadapi serangan dari imunitas hospes, schistosoma
mempunyai beberapa mekanisme untuk menghindar. Mekanisme tersebut dapat berupa molecular
mimicry, kemampuan untuk menekan imunitas hospes, kemampuan untuk meliputi tubuhnya
dengan substansi yang mirip protein hospes dan kemampuan untuk merusak antibodi hospes
(Rusjdi, 2011).
Schistosomiasis di Indonesia makin mendekati target, yaitu kasus pada manusia adalah 0%.
Sistem pengendalian schistosomiasis di Cina berpedoman pada teori pengetahuan,sikap dan
perilaku, lebih menekankan pengetahuan, sikap yang benar dalam penanggulangan
schistosomiasis dan mengurangi perilaku berisiko untuk tertular schistosomiasis. Tingkat
kesadaran schistosomasis dan pengetahuan terkait perilaku protektif meningkat dari 60 menjadi
80%. Studi-studi sebelumnya mengungkapkan bahwa pengetahuan orang atau sikap yang benar
terhadap schistosomiasis meningkat setelah intervensi. Bentuk intervensi yang dilakukan dalam
upaya pemberantasan schistosomiasis di Indonesia adalah peluncuran roadmap eradikasi
schistosomiasi tahun 2018-2025 dilaksanakan untuk meningkatkan komitmen seluruh pemangku
kepentingan baik ditingkat pusat dan tingkat daerah (Ningsi et al., 2022).
Higine perorangan dan Sanitasi lingkungan yang buruk merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya schistosomiasis. Higine perorangan dan sanitasi lingkungan ini diantaranya
seperti penggunaan jamban keluarga yang bersih, menggunakan air bersih saat mandi dan mencuci
dan penggunaan alat pelindung diri saat berada di daerah perairan (Delaprilyant et al., 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Adenowo, A. F., Oyinloye, babantunji emmanuel, Ogunyinkaa, B. idiat, & Kappo, A. P. (2015).
Dampak schistosomiasis manusia di sub-Sahara Afrika. Elsevier, 19(2), 196–205.
Delaprilyant, F. G., Ratag, B. T., & Kaunang, W. P. J. (2018). Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan
Pencegahan Penyakit Schistosomiasis Masyarakat Di Desa Dodolo Kecamatan Lore Utara
…. Kesmas, 7. Gambaran P
Fragkoua, P. C., Karofylakisa, E., Oikonomopoulosb, N., Piperakic, E. T., Tsiodrasa, S., &
Kavvathaa, D. (2021). Kasus sklerosis peritoneal enkapsulasi pada pasien dengan
schistosomiasis kronis. Elsevier, 24.
Mbereko, A., Chimbria, M. J., Manyangadze, T., & Mukarartirwa, S. (2020). Pengetahuan dan
persepsi schistosomiasis , penyakit yang ditularkan melalui air , di dua daerah pedesaan semi-
kering di Afrika Selatan (Ndumo) dan Zimbabwe (Ntalale). Jurnal Elsevier, 21, 2.
Ningsi, Anastasia, H., Nurjana, M. A., Isnawati, R., Octaviani, O., Gunawan, & Erlan, A. (2022).
Pengetahuan dan Perspektif Masyarakat Lokal Terhadap Schistosomiasis di Indonesia. Jurnal
Vektor Penyakit, 16(2), 160. https://doi.org/10.22435/vektorp.v16i2.6194
Nurwidayati, A., Widjaja, J., Nursafingi, A., Kurniawan, A., Lobo, L. T., Faozan, M., & Rauf, A.
(2022). Persebaran Habitat Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu,
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penyakit, 16(1), 81–88.
https://doi.org/10.22435/vektorp.v16i1.5832
Rusjdi, S. R. (2011). SCHISTOSOMIASIS, Hubungan Respon Imun dan Perubahan Patologi.
Majalah Kedokteran Andalas, 35(2), 81. https://doi.org/10.22338/mka.v35.i2.p81-90.2011
Vrisca, V., Warouw, M. S., Wilar, R., & Rampengan, H. N. (2014). Gambaran Penyakit
Schistosomiasis Japonicum Ditinjau Dari Jarak Antara Rumah Anak Yang Terinfeksi Dengan
Danau Lindu. E-CliniC, 2(1), 1–4. https://doi.org/10.35790/ecl.2.1.2014.3719

Weitere ähnliche Inhalte

Ähnlich wie ANDI RAFIKA-SCHISTOSOMIASIS (cara penularan).docx

Trematoda paru
Trematoda paruTrematoda paru
Trematoda paruApridinata
 
Entamoeba histolytica
Entamoeba histolyticaEntamoeba histolytica
Entamoeba histolyticaAYUANISA10
 
BIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA Nematoda
BIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA NematodaBIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA Nematoda
BIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA NematodaFauzan Ardana
 
Makalah Multiceps spp
Makalah Multiceps sppMakalah Multiceps spp
Makalah Multiceps sppFirdika Arini
 
Siklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malaria
Siklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malariaSiklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malaria
Siklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malariaIndah Bunga
 
Parasit kelompok 4 kelas A
Parasit kelompok 4 kelas AParasit kelompok 4 kelas A
Parasit kelompok 4 kelas Aangga oka
 
Balantidium coli
Balantidium coliBalantidium coli
Balantidium coliMita Yurike
 
Balantidium coli
Balantidium coliBalantidium coli
Balantidium coliMita Yurike
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondiininanovia11
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondiininanovia11
 
Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi pjj_kemenkes
 
Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi pjj_kemenkes
 

Ähnlich wie ANDI RAFIKA-SCHISTOSOMIASIS (cara penularan).docx (20)

Parasitologi. Nematoda
Parasitologi. NematodaParasitologi. Nematoda
Parasitologi. Nematoda
 
Usus converted
Usus convertedUsus converted
Usus converted
 
Bahan ajar2 nemathelminthes
Bahan ajar2 nemathelminthesBahan ajar2 nemathelminthes
Bahan ajar2 nemathelminthes
 
Trematoda paru
Trematoda paruTrematoda paru
Trematoda paru
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Entamoeba histolytica
Entamoeba histolyticaEntamoeba histolytica
Entamoeba histolytica
 
BIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA Nematoda
BIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA NematodaBIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA Nematoda
BIOLOGI SMA KELAS 10 ANIMALIA Nematoda
 
Makalah Multiceps spp
Makalah Multiceps sppMakalah Multiceps spp
Makalah Multiceps spp
 
Siklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malaria
Siklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malariaSiklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malaria
Siklus hidup dan jenis plasmodium penyebab penyakit malaria
 
Parasit kelompok 4 kelas A
Parasit kelompok 4 kelas AParasit kelompok 4 kelas A
Parasit kelompok 4 kelas A
 
Parasitologi
ParasitologiParasitologi
Parasitologi
 
B.coli
B.coliB.coli
B.coli
 
Cacing Gelang
Cacing GelangCacing Gelang
Cacing Gelang
 
Ppt parasit iv
Ppt parasit ivPpt parasit iv
Ppt parasit iv
 
Balantidium coli
Balantidium coliBalantidium coli
Balantidium coli
 
Balantidium coli
Balantidium coliBalantidium coli
Balantidium coli
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondii
 
Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondiiToxoplasma gondii
Toxoplasma gondii
 
Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi
 
Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi Pengantar Parasitologi
Pengantar Parasitologi
 

Kürzlich hochgeladen

penjaminan mutu analisis kimia laboratorium
penjaminan mutu analisis kimia laboratoriumpenjaminan mutu analisis kimia laboratorium
penjaminan mutu analisis kimia laboratoriumsonnywidiarto3
 
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptxGEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptxAisyhaDewiII
 
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjmodul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjAdeIrawan190202
 
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)Izzana Fatima
 
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptxPPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptxmagangfim17
 
JSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisisJSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisisbarryYOno
 

Kürzlich hochgeladen (6)

penjaminan mutu analisis kimia laboratorium
penjaminan mutu analisis kimia laboratoriumpenjaminan mutu analisis kimia laboratorium
penjaminan mutu analisis kimia laboratorium
 
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptxGEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
GEJALA PEMANASAN GLOBAL DAN EFEK RUMAH KACA.pptx
 
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjmodul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
modul lingkaran kelas 8.docxmnkjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjj
 
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
Teori Analisis Risiko Lingkungan (PowerPoint Presentation)
 
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptxPPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
PPT Sistem Rekayasa Air Limbah dan Pembuangannya.pptx
 
JSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisisJSA jsa working at height , job safety analisis
JSA jsa working at height , job safety analisis
 

ANDI RAFIKA-SCHISTOSOMIASIS (cara penularan).docx

  • 1. Nama : Andi Rafika Rezky Aulia NIM : K062222003 Tugas : Cara Penularan Schistosomiasis Schistosomiosis di Indonesia disebabkan oleh cacing termatoda jenis Schistosoma Joponicum (S. joponicum). Oncomelania hupensis adalah satu-satunya hospes perantara S. japonicum, tersebar di Republik Rakyat Cina, Jepang, Filipina Dan Indonesia. Penularan schistosomiasis terjadi melalui kulit yaitu serkaria cacing S.japonicum menginfeksi hospes mamalia melalui kulit (Nurwidayati et al., 2022). Schistosomiosis adalah penyakit infeksi paraasit kronis yang disebabkan oleh cacing darah (Trematoda) dari genus Schistosoma. Schistosoma berbeda dari trematoda jenis lainnya karena mereka hidup di dalam sistem pembuluh darah dan memiliki jenis kelamin jantan dan betina yang terpisah. Ada lima spesies schistosoma yang ditemukan pada manusia, tetapi > 90% dari semua infeksi ini hanya disebabkan oleh 3 spesies penting yaitu: Schistosoma mansoni, Scihstosoma japonicum, dan Schistosoma haematobium. Dua spesies lainnya yang jarang terjadi adalah Schitosoma intercalatum dan Schitosoma mekongi. Scistosomiosis lazim terjadi pada daerah tropis dan sub-tropis, khususnya pada masyarakat miskin tanpa akses air minum yang aman, sanitasi, serta infrastruktur kesehatan publik yang tidak memadai (Vrisca et al., 2014). Dalam penelitian (Ningsi et al., 2022) penularan terjadi jika melintasi areal focus keong yang merupakan tempat habitat keong dan orang akan tertular. Schistosomiasis merupakan penyakit menular. Penularan schistosomiasis terjadi melalui air yang mengandung serkaria cacing Schistosoma (Delaprilyant et al., 2018). Schistosomiasis, juga dikenal sebagai biliharziasis, adalah infeksi parasite yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus Schistosoma. Inang perantara
  • 2. parasite adalah siput air atau amfibi air tawar, yang menumpahkan bentuk infektif, serkaria, di dalam air. Schistosomiasis ditularkan ketika larva serkaria menemukan inang definitif di dalam air, yaitu Penularan schistosomiasis ke manusia terjadi ketika manusia berada di lingkungan perairan yang sudah mengandung larva Schistosoma cercariae. Schistosomiasis adalah penyakit yang ditularkan melalui air (waterborne disease) yang biasanya didapat dengan berenang di air yang memiliki inang, termasuk siput. Berbagai siput, masing-masing disesuaikan dengan populasi parasit lokal, berfungsi sebagai hospes perantara. Siput Bulinus sp. merupakan hospes perantara bagi S. haematobium, siput air yang tumbuh subur di badan air yang tidak membawa terlalu banyak air, seperti kolam atau saluran irigasi (Fragkoua et al., 2021). Schistosomes jantan dan betina hidup sebagai pasangan berpelukan permanen di pleksus vena perivesical (di S. haematobium) atau di pleksus vena mesentrik (di spesies S. mansoni dan S. japonicum ). Schistosom mendapatkan makanan dari darah inang dan globulin melalui kolisis glikolisis anaerobik dan mengeluarkan limbah kembali ke tubuh inang. Ovum individu adalah rumah bagi larva miracidium dengan silia yang menghasilkan enzim proteolitik yang membantu telur bergerak menuju lumen kandung kemih atau menuju usus inang. Selanjutnya, telur parasit dilepaskan ke dalam feses atau urin di mana mereka tetap hidup selama sekitar tujuh hari. Ketika mereka masuk ke air tawar, miracidium dilepaskan dari telur. Dengan bantuan rangsangan kimiawi dan cahaya, miracidium mencari siput air tawar yang menjadi perantaranya Schistosomiasis manusia atau disebut bilharzia, adalah penyakit yang melemahkan intravaskular yang ditularkan oleh siput air tawar akibat infeksi oleh cacing trematoda Schistosoma dimorfik parasit , yang hidup di aliran darah manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap penyakit ini sebagai penyakit penyakit tropis terabaikan, dengan perkiraan 732 juta orang rentan terhadap infeksi di seluruh dunia di daerah penularan terkenal (Adenowo et al., 2015).
  • 3. Saat menemukan siput, miracidium menembusnya dan mengalami reproduksi aseksual untuk menghasilkan sporosit multiseluler yang berkembang menjadi larva cercarial yang memiliki pengisap embrio serta ekor bercabang dua. Setelah 4-6 minggu menginfeksi siput, cercariae meninggalkan siput dan berputar-putar selama sekitar 72 jam mencari kulit calon inang. Setelah dilepaskan dari siput, serkaria dipicu oleh cahaya terutama pada siang hari. Saat menemukan kulit inang manusia, serkaria menggali ke dalamnya, bermigrasi ke dalam darah melalui hati dan paru- paru dan mengalami transformasi menjadi schistosomula yang juga disebut cacing muda. Schistosomula matang dalam waktu 4-6 minggu di dalam vena portal, pasangan, dan bermigrasi ke tujuannya, yaitu pleksus vena perivesicular atau mesenterika, untuk memulai siklus lagi. Seekor siput yang terinfeksi berpotensi melepaskan ribuan serkaria setiap hari selama berbulan- bulan. Schistosom dewasa memiliki umur rata-rata antara tiga sampai lima tahun, tetapi juga bisa hidup selama 30 tahun. Sepasang schistosome memiliki potensi reproduksi teoretis hingga 600 miliar schistosomes. Siput air tawar perantara menghuni danau, sungai, kolam, atau sungai air tawar yang tenang atau bergerak lambat. Tingkat infeksi pada manusia meningkat dengan durasi waktu yang dihabiskan di air yang terkontaminasi. Pemeriksaan mikroskopis tinja dan urin adalah standar emas untuk deteksi (diagnosis) infeksi schistosomal. Telur schistosom mudah dilihat dan diidentifikasi pada mikroskop karena ukuran dan bentuknya yang khas, dan memiliki tulang belakang lateral atau terminal (Adenowo et al., 2015) . Schistosomiasis di Indonesia merupakan penyakit zoonosis, sehingga sumber penularannya bukan hanya manusia, tetapi beberapa mamalia terbukti rentan terhadap penyakit ini. Kehadiran siput rentan penting untuk perkembangan infeksi parasit trematoda. Penularan keong trematoda ke manusia juga bergantung pada beberapa faktor lain, seperti: faktor lingkungan, iklim, ketersediaan pakan, kebersihan dan populasi. Secara epidemiologis, penyebaran schistosomiasis tidak lepas dari
  • 4. perilaku manusia. Umumnya, penderita schistosomiasis adalah orang yang cenderung tidak terpisahkan dari air. Kontak berulang atau jatuh ke dalam air yang terinfeksi parasit schistosomiasis menyebabkan peningkatan schistosomiasis di masyarakat. Manusia dan inang definitif lainnya memperoleh parasite dalam air yang terkontaminasi melalui penetrasi langsung kekulit. Parasite dapat menyebabkan sindrom akut, yang dikenal sebagai sindrom katamaya, atau infeksi parasite kronis pada saluran pencernaan atau saluran genitourinary dengan menyerang pembuluh darah organ target. Organisme telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari pengawasan imun inang dengan menganggu dan memodulasi respon imun bawaan dan didapat (Fragkoua et al., 2021). Penularan juga dapat melibatkan spesies siput inang perantara dari genus Bulinus dan Biomphalaria dan terjadi pada titik kontak air manusia di mana terdapat siput yang terinfeksi dan melepaskan serkaria. Telur dikeluarkan oleh individu yang terinfeksi, dan setelah mencapai badan air tawar, telur menetas untuk melepaskan miracidia yang harus menginfeksi siput inang perantara untuk reproduksi. Cercariae kemudian ditumpahkan oleh siput ke dalam air dan menembus kulit utuh manusia yang bersentuhan dengan air yang terkontaminasi untuk menyelesaikan siklus hidupnya (Mbereko et al., 2020). Cara infeksi pada manusia adalah dengan jalan serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk menginfeksi adalah 5- 10 menit. Setelah serkaria menembus kulit terjadi perubahan menjadi bentuk schistosomula yang kemudian masuk ke dalam kapiler darah, beredar mengikuti aliran darah masuk ke jantung kanan, lalu ke paru dan kembali ke jantung kiri; yang kemudian akan masuk ke sistem peredaran darah besar, cabang vena porta dan menjadi dewasa di hati (3-6 minggu). Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus atau vena vesica urinaria
  • 5. dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dengan cangkang (kulit) yang keras dikeluarkan oleh cacing betina di dalam pembuluh darah. Telur tersebut kemudian menembus endotel, membran basemen vena, masuk ke jaringan seperti usus (S.mansoni dan S.japonicum) dan vesica urinaria (S.haematobium) dan akhirnya keluar bersama tinja / urin. Beberapa penelitian imunologis menemukan bahwa jumlah telur yang keluar bersama feses berhubungan dengan status imunologis hospes. Penderita schistosomiasis yang mempunyai sel CD4+ yang sedikit akan terjadi ekskresi telur yang sedikit pula. Hal ini menunjukkan bahwa schistosoma memanfaatkan respon imun hospes untuk memfasilitasi perkembangan dan transmisinya di dalam tubuh hospes. Peristiwa migrasi dan keluarnya telur dari lumen usus dan vesica urinaria akan sangat berkurang pada penderita imunodefisiensi (Rusjdi, 2011). Kondisi Patologi Akibat Schistosomiasis Keadaan patologis yang ditimbulkan oleh schistosomiasis sering berupa pembentukan granuloma dan gangguan terhadap organ tertentu. Hal ini sangat berhubungan erat dengan respon imun hospes. Respon imun hospes ini sendiri dipengaruhi oleh faktor genetik, intensitas infeksi, sensitisasi in utero terhadap antigen schistosoma dan status co-infeksi (Rusjdi, 2011). Schistosomiasis akut Penyakit schistosomiasis akut dapat ditandai dengan gejala demam (nokturna), malaise, mialgia, nyeri kepala, nyeri abdomen, batuk non produktif yang dapat terjadi sebelum ditemukannya telur di alam feses dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-8 setelah infeksi. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan eosinofilia dan infiltrat paru pada rontgen foto torak. Kumpulan gejala ini dikenal sebagai sindroma Katayama dan sering terjadi pada orang yang terinfeksi pertama kali atau pada keadaan reinfeksi berat serkaria. Gejala yang tidak khas sering menyebabkan klinisi mengalami kesalahan diagnosis terutama pada daerah non endemis. Klinis yang terjadi berhubungan dengan reaksi alergi terhadap migrasi larva dan antigen
  • 6. telur. Serkaria mampu menembus kulit karena adanya bantuan enzim proteolitik. Reaksi kulit terhadap serkaria ini dapat berupa urtikaria dengan ruam makulopapula yang dikenal dengan istilah “swimmer itch” (Rusjdi, 2011). Pada saat serkaria menembus kulit, prostaglandin D2 (PGD2) yang disekresikan oleh permukaan tubuh serkaria akan menghambat migrasi sel Langerhans menuju limfonodus. Penghambatan ini akan menyebabkan keterlambatan respon imun spesifik hospes terhadap schistosoma. Keberadaan serkaria berada di dalam tubuh hospes kemudian berubah menjadi schistosomula dan akhirnya menjadi dewasa di hepar, tidak memicu respon imun. Respon imun yang kuat akan terjadi pada cacing dewasa betina mulai berkopulasi dan menghasilkan telur. Pada saat ini telur yang terdapat dalam aliran darah akan menyebabkan perlukaan pada vaskuler dan jaringan sekitarnya. Telur yang terjerat di dalam jaringan menyebabkan terjadinya pseudo abses yang berlanjut dengan pembentukan pseudo tuberkel dan jaringan ikat. Secara seluler, sel mononuclear di perifer (Peripheral – blood mononuclear cells = PBMCs) akan memproduksi Tumor Necrosis Factor (TNF), interleukin-1 (IL1), dan interleukin-6 (IL-6). Ekspresi sitokin tersebut menunjukkan respon imun yang terpolarisasi ke arah Thelper1 (Th1). Seiring dengan perjalanan alamiah penyakit, antigen yang berasal dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa akan menimbulkan respon imun yang terpolarisasi ke arah Thelper2 (Th2). Polarisasi respon ke arah Th2 ini akan menghasilkan IL-10 dan menekan produksi sitokin proinflamasi. Secara molekuler, aktivasi sistem imun akibat antigen telur ini dapat terjadi akibat urutan proses sebagai berikut: komponen “glycosylated” pada permukaan telur mengaktivasi makrofag untuk menstimulasi respon Th2 yang sangat kuat terhadap unrelated antigen, komponen “phosphatydylserine” pada permukaan telur cacing mengaktivasi Toll Like Receptor2 (TLR2) sel dendrit untuk memicu proliferasi dan diferensiasi sel Tho mnjadi Treg, dan komponen glikoprotein
  • 7. pada telur cacing merangsang basofil untuk mengekspresikan IL-4 dan IL-13. Glikoprotein ini nantinya juga akan berikatan dengan reseptor mannosa dari makrofag sehingga akan menginduksi pembentukan Alternatively Activated Macrophage untuk mencegah inflamasi yang berlebihan. Peredaman proses inflamasi ini dapat mencegah terjadinya kerusakan organ (Rusjdi, 2011). Schistosomiasis kronis Polarisasi respon Th2 (Th2 Polarized) yang terjadi pada tahap awal schistosomiasis sangat berpotensi untuk menimbulkan gejala klinis yang berat dan dapat menimbulkan kematian. Apabila respon Th2 polarized ini berkelanjutan akan terjadi fibrosis hati akibat IL-13 yang dihasilkan oleh Th2. Kemampuan fibrogenesis IL-13 ini merupakan dasar terapi untuk penyakit fibrotik hepar akibat schistosomiasis. Imunoterapi dengan cara menghambat IL-13 dan pemberian terapi sitokin berupa IFN-γ, IL-12, TNF) dan Nitric Oxide (NO) dapat mencegah terjadinya fibrosis (Rusjdi, 2011). Dari beberapa penelitian yang dilakukan terhadap penderita schistosmiasis didapatkan kesimpulan bahwa penderita dengan derajat infeksi yang sama (berdasarkan jumlah telur yang ditemukan dari pemeriksaan feses) bisa mempunyai klinis yang berbeda. Penderita yang mengalami respon Th2 polarized cenderung memperlihatkan klinis yang berat dan sering menimbulkan kematian sedangkan penderita respon Th1 polarized cenderung menimbulkan gejala yang lebih ringan. Penemuan ini kontradiktif dengan hasil penelitian lain yang mendapatkan bahwa pasien yang mengalami hepatomegali akibat schistosomiasis mengalami respon Th1 polarized dan peningkatan konsentrasi TNF reseptor1 (TNFRI) dan TNFRII dalam plasma sedangkan penderita dengan respon Th2 mengalami gejala yang ringan dengan konsentrasi TNFR yang rendah dalam plasma. Individu yang mempunyai gen SM2 mempunyai tendensi untuk mengalami fibrosis hepar dan hipertensi portal. Gen SM2 ini mengakibatkan terjadinya mutasi
  • 8. pada IFN- γ reseptor1 (IFN- γR1) sehingga kehilangan kemampuan untuk menghambat fibrogenesis (Rusjdi, 2011). Perkembangan Respon Imun pada Schistosmiasis Perkembangan respon imun pada schistosomiasis akut dapat dibagi atas 3 fase, yaitu: fase pertama (3-5 minggu setelah infeksi) yang menginduksi respon Th1, fase kedua (5-6 minggu setelah infeksi) yang menginduksi respon Th2 seiring dengan penurunan respon Th1 dan fase ketiga (kronis) yang menginduksi respon Th2 yang kuat. Fase kronis ini terjadi ketika infeksi masih berlangsung dan cacing terus menerus bertelur serta granuloma yang terbentuk pada tempat perletakan telur cenderung lebih kecil daripada fase akut (Rusjdi, 2011). Pembentukan Granuloma pada Schistosomiasis Kondisi patologis yang ditimbulkan akibat schistosomiasis kronis terjadi akibat akumulasi telur yang terperangkap dalam jaringan. Pada infeksi S.mansoni dan S.japonicum, hepar merupakan organ utama yang diserang. Telur yang terbawa bersama aliran darah ini akan terperangkap di hepar. Hal ini disebabkan oleh ukuran kapiler sinusoid yang sangat kecil. Pada infeksi S.haematobium terjadi kerusakan vesika urinaria akibat perjalanan telur cacing pada dinding organ tersebut. Respon sel T CD4+ yang diinduksi oleh antigen telur ini mengakibatkan terjadinya pembentukan granuloma. Granuloma terbentuk dari serat kolagen dan kelompok sel (makrofag, eosinofil dan sel TCD4+) yang mengelilingi telur. Apabila telur schistosoma ini mati, maka granuloma akan sembuh secara spontan dengan meninggalkan lesi fibrotik. Keadaaan ini akan menimbulkan kongesti dan gangguan perfusi. Apabila keadaan ini berkelanjutan dapat terjadi asites dan pembentukan neovaskularisasi di hepar (portal – systemic venous shunts). Portal – systemic venous shunts yang terbentuk bersifat rapuh sehingga mudah terjadi ruptur, perdarahan hebat dan menimbulkan kematian. Kelainan serius lain yang dapat ditimbulkan oleh S.haematobium adalah keganasan vesica urinaria dan alat genital.
  • 9. Keganasan pada alat genital terjadi apabila telur schistosoma bermigrasi hingga ke servik pada wanita atau testis pada pria. Hasil penelitian ternyata juga menemukan bahwa pembentukan granuloma mempunyai efek protektif terhadap kerusakan hepar. Mekanisme protektif ini terbentuk karena adanya kerjasama antara granuloma dengan antibodi spesifik dalam mencegah kontak hepatotoksin yang disekresikan oleh telur dengan hepatosit. Peranan IL-13, IL-4, IFN-γ dan IL-12 dalam aktivasi makrofag dan pembentukan jaringan fibrotik Pada kedaan schistisomiasis akut, terjadi respon imun Th1 yang ditandai dengan ekspresi IL-12, IFN-γ dan TNF (Rusjdi, 2011). Sitokin yang diekspresikan oleh respon Th1 ini akan mengaktivasi makrofag untuk mengekspresikan inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang dapat mengubah L-arginine menjadi Lhydroxy-arginine. Lhydroxy-arginine merupakan senyawa intermediet yang segera akan berubah menjadi Nitric oxide dan citruline. Pada keadaan schistosomiasis kronis, terjadi respon imun Th2 yang ditandai dengan ekspresi IL-4 dan IL-13. Kedua sitokin ini bekerja sama dalam mengaktivasi makrofag untuk mengekspresikan arginase. Arginase ini akan mengubah L-arginase menjadi Lornithine dan selanjutnya akan berubah menjadi proline dengan bantuan ornithine aminotransferase. Proline merupakan asam amino esensial yang berperan penting dalam pembentukan jaringan kolagen dan proses fibrotik (Rusjdi, 2011). Pengaruh schistosomiasis terhadap penyakit lain Sebagaimana diketahui, pada schistosmiasis akut yang terus berlanjut (12 minggu), respon imun hospes membentuk sel efektor berupa Tregulator (Treg). Sel Treg ini mengekspresikan IL10 dan TGF-β yang menimbulkan cellular hyporensponsive secara umum. Fenomena ini mengindikasikan bahwa infeksi schistosoma dapat meningkatkan kerentanan hospes terhadap penyakit infeksi virus dan bakteri. Interaksi schistosoma dengan sistem imun hospes sebenarnya sudah terjadi mulai saat serkaria menembus kulit. Prostaglandin D2 (PGD2) yang disekresikan oleh permukaan tubuh serkaria akan
  • 10. menghambat migrasi sel Langerhans menuju limfonodus. Penghambatan ini akan menyebabkan keterlambatan respon imun spesifik hospes terhadap schistosoma. Walaupun demikian sel efektor dari sistem imun hospes juga mulai berperan. Peritiwa ini terlihat dari fluktuatif respon Th1/Th2 pada masa awal infeksi akibat stimulasi antigen serkaria, skistosomula dan somatik cacing dewasa. Aktifitas perlawanan yang kuat dari imunitas hospes bekerja pada saat betina dewasa menghasilkan telur. Antigen telur inilah yang bertindak sebagai imunogen yang kuat untuk menstimulasi respon imun hospes. Dalam menghadapi serangan dari imunitas hospes, schistosoma mempunyai beberapa mekanisme untuk menghindar. Mekanisme tersebut dapat berupa molecular mimicry, kemampuan untuk menekan imunitas hospes, kemampuan untuk meliputi tubuhnya dengan substansi yang mirip protein hospes dan kemampuan untuk merusak antibodi hospes (Rusjdi, 2011). Schistosomiasis di Indonesia makin mendekati target, yaitu kasus pada manusia adalah 0%. Sistem pengendalian schistosomiasis di Cina berpedoman pada teori pengetahuan,sikap dan perilaku, lebih menekankan pengetahuan, sikap yang benar dalam penanggulangan schistosomiasis dan mengurangi perilaku berisiko untuk tertular schistosomiasis. Tingkat kesadaran schistosomasis dan pengetahuan terkait perilaku protektif meningkat dari 60 menjadi 80%. Studi-studi sebelumnya mengungkapkan bahwa pengetahuan orang atau sikap yang benar terhadap schistosomiasis meningkat setelah intervensi. Bentuk intervensi yang dilakukan dalam upaya pemberantasan schistosomiasis di Indonesia adalah peluncuran roadmap eradikasi schistosomiasi tahun 2018-2025 dilaksanakan untuk meningkatkan komitmen seluruh pemangku kepentingan baik ditingkat pusat dan tingkat daerah (Ningsi et al., 2022). Higine perorangan dan Sanitasi lingkungan yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya schistosomiasis. Higine perorangan dan sanitasi lingkungan ini diantaranya
  • 11. seperti penggunaan jamban keluarga yang bersih, menggunakan air bersih saat mandi dan mencuci dan penggunaan alat pelindung diri saat berada di daerah perairan (Delaprilyant et al., 2018).
  • 12. DAFTAR PUSTAKA Adenowo, A. F., Oyinloye, babantunji emmanuel, Ogunyinkaa, B. idiat, & Kappo, A. P. (2015). Dampak schistosomiasis manusia di sub-Sahara Afrika. Elsevier, 19(2), 196–205. Delaprilyant, F. G., Ratag, B. T., & Kaunang, W. P. J. (2018). Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Pencegahan Penyakit Schistosomiasis Masyarakat Di Desa Dodolo Kecamatan Lore Utara …. Kesmas, 7. Gambaran P Fragkoua, P. C., Karofylakisa, E., Oikonomopoulosb, N., Piperakic, E. T., Tsiodrasa, S., & Kavvathaa, D. (2021). Kasus sklerosis peritoneal enkapsulasi pada pasien dengan schistosomiasis kronis. Elsevier, 24. Mbereko, A., Chimbria, M. J., Manyangadze, T., & Mukarartirwa, S. (2020). Pengetahuan dan persepsi schistosomiasis , penyakit yang ditularkan melalui air , di dua daerah pedesaan semi- kering di Afrika Selatan (Ndumo) dan Zimbabwe (Ntalale). Jurnal Elsevier, 21, 2. Ningsi, Anastasia, H., Nurjana, M. A., Isnawati, R., Octaviani, O., Gunawan, & Erlan, A. (2022). Pengetahuan dan Perspektif Masyarakat Lokal Terhadap Schistosomiasis di Indonesia. Jurnal Vektor Penyakit, 16(2), 160. https://doi.org/10.22435/vektorp.v16i2.6194 Nurwidayati, A., Widjaja, J., Nursafingi, A., Kurniawan, A., Lobo, L. T., Faozan, M., & Rauf, A. (2022). Persebaran Habitat Keong Perantara Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penyakit, 16(1), 81–88. https://doi.org/10.22435/vektorp.v16i1.5832 Rusjdi, S. R. (2011). SCHISTOSOMIASIS, Hubungan Respon Imun dan Perubahan Patologi.
  • 13. Majalah Kedokteran Andalas, 35(2), 81. https://doi.org/10.22338/mka.v35.i2.p81-90.2011 Vrisca, V., Warouw, M. S., Wilar, R., & Rampengan, H. N. (2014). Gambaran Penyakit Schistosomiasis Japonicum Ditinjau Dari Jarak Antara Rumah Anak Yang Terinfeksi Dengan Danau Lindu. E-CliniC, 2(1), 1–4. https://doi.org/10.35790/ecl.2.1.2014.3719