Dokumen tersebut membahas tentang tubuh sebagai titik berangkat diskusi sosial dan transformasi. Tubuh sering dijadikan arena perebutan kekuasaan oleh berbagai pihak seperti agama, budaya, dan politik, sehingga mengkonstruksi diri seseorang. Untuk membebaskan diri, perlu mengklaim kembali otoritas atas tubuh dan diri sendiri serta berada dalam kesadaran kritis terhadap berbagai pengaruh luar.
Socio political, cultural and religious implications
Tubuh - the power battle field-- by anna marsiana
1. Pengalaman Ketubuhan & Tubuh Sebagai Media
Transformasi
Oleh Anna Marsiana
Young Queer Faith & Sexuality Camp
2. Tubuh, titik berangkat diskursus
sosial
Berbicara mengenai seksualitas, tidak mungkin tidak
berbicara mengenai tubuh, karena seks dan
seksualitas tidak ada tanpa tubuh.
Isu tubuh melampaui isu gender dan seksualitas...
Tubuh & pengalaman ketubuhan adalah sumber
material yang sahih untuk menjadi titik berangkat
diskursus sosial
3. Pertanyaan awal...
Seberapa sering Anda mendengarkan tubuh Anda?
Seberapa jauh Anda memaksimalkan potensi tubuh
penyampai komunikasi yang paling jujur?
4. Tubuh, pengantar komunikasi yang
paling jujur
a. Pesan untuk dunia luar:
Bahasa pertama yang kita kenal dalam berkomunikasi dengan
dunia luar.
Contoh: ketika kita belum belajar bahasa verbal (bayi), maka kita
hanya berkomunikasi dengan tubuh kita.
Contoh: waktu kita sedang periksa gigi, dimana kita tidak bisa
berkomunikasi secara verbal, ternyata dokter gigi tahu kapan
kita kesakitan, dst, karena tubuh kita (ekspresi wajah, gerakan
mata, gerakan tangan, dst) mengirim sinyal.
Cenderung universal, lintas bangsa, budaya, dan agama.
Seiring dengan bertambahnya usia, bahasa verbal menggantikan
bahasa tubuh dilupakan/ tidak diberdayakana secara
maksimal
5. Tubuh, pengantar komunikasi yang
paling jujur
b. Pesan untuk diri kita sendiri:
Cenderung spesifik, berbeda untuk setiap individu,
sehingga harus dikenali dengan baik oleh individu itu
sendiri.
Cenderung kita abaikan, dan ketika kita
mendengarkannya, biasanya sudah terlambat (kita
sudah sakit parah, atau sudah burn-out)
6. Tubuh, bahasa universal yang
dilupakan...
AI G. Manning, salah seorang penulis buku terkemuka
yang juga pendiri ESP Lab di Texas
(www.esplabs.com), dalam salah satu bukunya
menuliskan hasil penelitiannya. tabel penyakit mental
dan gejala umumnya
7. Tubuh Vs pikiran/mental (buku E.S.P (Extra Sensory
Perception) Indera Keenam, Mengasah Kecerdasan Spiritual oleh AI G. Manning, D. D)
Kondisi/Persoalan Mental
Gejala fisik yang sering
muncul
1. Kemarahan, kepahitan,
kebencian
2. Kebingungan, frustasi dan
kemarahan
3. Kecemasan, ketidaksabaran,
dan ketamakan
4. Perubahan perasaan yang
mendadak, ketakutan,
perasaan bersalah
5. Antagonis, perasaan rendah
diri, tertutup
1. Ruam pada kulit, bisul, alergi,
masalah jantung, kaku pada tulang
sendi, gangguan pada darah.
2. Flu, pneunomia, TBC, gangguan
pernafasan, mata, hidung,
kerongkongan, dan asma
3. Tekanan darah tinggi, migren, bisul,
rabun ayam, kurang pendengaran,
serangan jantung
4. Kecelakaan, kanker, kegagalan,
kemiskinan, seks yang buruk, “darah
kotor”
5. Alergi, sakit kepala, kurang teman,
kecelakaan, deg-degan
8. 8 Reaksi tubuh atas stress &
depresi
1. Sakit kepala
Sakit kepala menjadi gejala paling umum dari depresi. Jika sebelumnya
telah menderita migren, kondisi ini akan semakin menjadi saat
mengalami depresi.
2. Nyeri otot
Depresi dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Daya tahan tubuh
yang menurun dapat menyebabkan berbagai reaksi termasuk nyeri
otot.
3. Nyeri dada
Nyeri dada umumnya identik dengan gejala penyakit jantung. Namun,
depresi juga bisa menyebabkan dada terasa nyeri atau sakit.
4. Nyeri punggung
Depresi bisa menyebabkan nyeri punggung. Jadi jika punggung terasa
nyeri, mungkin ini berhubungan dengan depresi.
9. Reaksi tubuh...(lanjutan)
5. Perubahan nafsu makan
Depresi bisa menghilangkan nafsu makan. Namun sebagian yang lain
hanya mau mengkonsums jenis makanan tertentu seperti karbohidrat.
Kelebihan karbohidrat ujungnya akan memicu kegemukan.
6. Kelelahan
Depresi menyebkan fisik terasa lelah. Meski sudah tidur dengan
cukup, seringkali tubuh masih merasa kelelahan.
7. Sulit tidur
Depresi bisa membuat orang suit tidur. Pun bisa tertidur, tidur tidak
nyenyak dan mudah terbangun di malam hari dan sulit kembali
tertidur.
8. Gangguan perut
Orang yang mengalami depresilebih rentan terkena gangguan perut.
Gangguan ini termasuk mual, lebih sering sembelit atau menderita
diare.
10. Pertanyaan Mendasar:
Apa makna tubuh bagi hidup Anda?
Dimana tempat tubuh dalam hidup Anda?
Seberapa dekat Anda dengan tubuh Anda?
Bagaimana pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat,
agama mengajari tentang apa dan dimana posisi tubuh
Anda bagi Anda?
Bagaimana pengalaman Anda dengan tubuh Anda
telah membentuk Anda yang sekarang?
11. Jawaban yang muncul:
Pendidikan keluarga, agama, adat-istidadat, budaya
melalui norma-norma dan peraturan yang ditetapkan
ternyata lebih banyak membentuk cara pandang kita atas
tubuh kita sendiri maupun tubuh orang lain.
Aspek-aspek di atas (pendidikan, keluarga, agama, budaya)
seringkali disadari atau tidak merampas hak dan otoritas
kita atas tubuh kita sendiri.
Kita menjadi tidak nyaman dengan tubuh dan diri sendiri,
kita dikonstruksikan dan “dipaksa” menjadi orang lain.
Kita dipaksa menyangkali pengalaman ketubuhan kita
Mendikusikan pengalaman ketubuhan adalah hal yang
membingungkan karena tidak terbiasakan
12. Agama,Filsafat Dualisme, Budaya Memandang
Tubuh
Filsafat dualisme:
Tubuh lebih rendah dari jiwa & roh.
Jiwa & roh dilihat sebagai sesuatu yang positif, tubuh
dilihat sebagai sesuatu yang negatif.
Agama - agama:
Tubuh adalah gerbang dosa,
Aktifitas ketubuhan adalah aktifitas “duniawi” artinya=
dosa
Nirwana antara lain adalah ketika kita mampu
meninggalkan kelekatan pada hal yang bersifat ketubuhan
Norma Sosial-Budaya: wilayah tabu
Bicara tubuh & seksualitas adalah tabu.
13. AKIBATNYA......
—muncul FENOMENA:
Seiring bertambahnya usia seseorang, semakin
dijauhkan dia dari tubuhnya sendiri
Semakin tinggi pendidikan formal seseorang, semakin
dijauhkan dia dari tubuhnya
Semakin religius/ taat agama seseorang semakin
dijauhkan dia dari tubuhnya
14. Masyarakat patriarkhis &
heterenormatif
Konsep gender yang biner hanya mengenal gender laki
& perempuan;
Tidak ada tempat bagi gender di luar laki &
perempuan
Perempuan menjadi warga kelas dua, namun mereka
yang tidak termasuk dalam 2 kategori ini menjadi
warga kelas 3 atau bahkan tidak diberi tempat sama
sekali.
Homofobia
Heteronormatif: hetero menjadi norma, ukuran, dan
rujuan tatanan
15. Arena perebutan kekuasan sekaligus
instrumen politik
Tubuh kita menjadi arena perang, dimana agama,
budaya, kapital, politik saling berebut pengaruh,
menancapkan tonggak2 kekuasannya.
Contoh:
- Politik & Hukum: UU anti pornografi, perda-perda yang
membatasi ruang dan waktu gerak perempuan dg alasan
untuk melindungi perempuan, dst.
- Agama: yang mencoba mengatur bagaimana kita,
khususnya perempuan, harus berpakaian ataupun
berdandan & mengatur rambut (ada di semua agama);
membatasi orientasi seksual hanya pada hetero, mengatur
bagaimana perempuan harus bersikap di dalam rumah
ibadah, dst.
16. Arena perebutan kekuasan sekaligus
instrumen politik (lanjutan)
- Norma sosial: membuat kotak gender yang
binerjudgemental, stigma negatif perempuan dan atau
transgender, dari cara berpakaian dan dandanan, atau pun
laki-laki dari cara dia membawakan tubuhnya (misal:
“melambai”)
- Media masa-berkolaborasi dengan pasar: hanya melihat
tubuh sebagai pasar yang harus diperebutkan, dengan
menciptakan image ttn: ttg gambaran perempuan & laki-
laki ideal menggiring perempuan dan laki-laki fitting ke
dalam gambaran tsb, dan memaksa mereka yang ada di
luar kategori untuk merasa bersalah dengan tubuh dan
kedirian mereka.
17. Arena perebutan kekuasan sekaligus
instrumen politik (lanjutan)
Menjadi instrumen politik:
Contoh:
- alat teror dalam perang & konflik, misal para perempuan diperkosa untuk
menteror komunitas pihak lawan.
- alat penyemangat dalam perang, misal para prajurit disuply dengan gambar
dan video porno dan wanita penyedia seks (baik secara paksa maupun secara
bayaran)
- Komoditas & assesories bagi kampanye-kampanye politik
- Instrumen utk mencapai tujuan pembangunan, misal kebijakan KB membuat
negara berhak ngobok2 reproduksi perempuan
Sebaliknya, kita juga bisa mengambil balik otoritas atas tubuh kita, dan
menjadikannya sebagai instrumen politik untuk perjuangan hak dan
transformasi sosial.
Risiko: dihakimi sebagai “bukan orang baik-baik” (terutama jika dia perempuan
dan atau transgender), padahal kita menggunakan dengan otoritas kita sendiri.
(KONTRADIKSI MASYARAKAT)
18. Constructed Body—Constructed
Self
Pengalaman ketubuhan kita mendefinisikan SELF
atau KEDIRIAN kita
Seiring dengan perjalan waktu, tubuh kita makin
terkonstruksikan, begitu pula dengan SELF/ kedirian
kita.
Kita menjadi the constructed SELF, self yang tidak
bebas, yang dalam bertindak lebih memakai
pertimbangan yang ada di luar kita daripada
pertimbangan merdeka kita.
19. Pengalaman ketubuhan
mengkonstruksikan tubuh & SELF...
Broken body == broken Self: kedirian hancur
Labeled body == labeled Self: tubuh dari diri kita dilabli macam-
macam
Coded body == coded Self: kita membiarkan tubuh kita bergerak
semata-mata berdasar aturan-aturan yang ada, kita membatasi
wilayah gerak kita sendiri berdasarkan aturan-aturan yang kita
dengar, lihat, dan terima.
Imprisoned body == imprisoned Self: tubuh kita ditawan oleh
berbagai aturan agama, normal sosial, sehingga menimbulkan
rasa takut untuk melangkah dan mengambil keputusan terhadap
tubuh dan diri sendiri.
Split body == Split Self: kita mengalami keterbelahan, antara
keinginan hakiki menjadi diri sendiri, atau harus memenuhi
ekspetasi keluarga/masyarakat/agama.
20. Pengalaman
ketubuhan -- SELF
yang
terkonstruksikan
Otoritas atas tubuh kita
berhadap-hadapan dengan
tekanan-tekanan dari norma-
norma agama, sosiakl, budaya,
politik, hukum, pendidikan,
gender, dst---mengkonstruksikan
kedirian kita.
Untuk membebaskan diri
kembali, maka kita dituntut selalu
berada dalam kesadaran kritis dan
negosiasi2 dalam relasi kekuasaan
yang hieraskhis.
21. Dari Constructed Self ke LIBERATED
SELF
Dengan mengklain kembali/ mendapatkan kembali
otoritas kita atas tubuh dan kedirian kita, diharapkan
kita membebaskan tubuh kita dari konstruksi-
konstruksi yang sudah terakumulasi dalam diri kita.
Dengan pembebasan yang kita lakukan terhadap
tubuh kita, diharapkan kita juga berjalan menjadi
menuju pembebasan diri.
Menjadi Diri (SELF) yang merdeka, yang memutuskan
batas-batas ruang mana yang dia ijinkan untuk
dimasuki oleh otoritas-otoritas yang ada di luar
dirinya.