SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 106
PERLINDUNGAN ATAS KESETARAAN HAK SUARA PEMILIH
DALAM
SISTEM PENGHITUNGAN SUARA PADA PEMILU 2009
Oleh:
Ahsanul Minan
1006827524
Tugas Kuliah Hak Asasi Manusia
Magister Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia
Angkatan 2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemilu diakui secara internasional sebagai instrumen demokratis dalam
mewujudkan hak politik rakyat untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
DUHAM menyatakan: Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa
pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang
tidak layak, untuk:
a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih
yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia
untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih 1.
Pemberian suara rakyat pemilih dalam suatu pemilihan umum merupakan
manifestasi hak memilih dari warga negara (the right to vote) dalam kerangka
implementasi asas demokrasi konstitusional2 dan prinsip negara hukum3.
Guna menjamin manifestasi dari hak memilih tersebut, maka dalam berbagai
teori tentang sistem pemilu, prinsip One Person, One Vote, One Value atau lebih dikenal
dengan prinsip opovov menjadi salah satu kata kunci yang sangat penting untuk
1 Universal Declaration on Human Rights Deklarasi pasal 25
2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat(2)
3 Op.citPasal 1 ayat(3)
3
direalisasikan. Instrument mekanik dalam sistem pemilu yang berhubungan erat dengan
upaya ini adalah sistem penghitungan dan konversi suara.
Dalam pemilu eksekutif yakni pemilihan umum untuk memilih Kepala
Pemerintahan, sistem penghitungan suara tidaklah rumit, karena kursi yang diperebutkan
hanya satu pasang, sehingga calon yang mendapatkan suara terbanyak (terkadang disertai
syarat persebaran suara) dipastikan sebagai pemenang. Namun, dalam pemilu legislatif,
persoalan sistem penghitungan suara menjadi faktor yang selalu diperdebatkan. Besarnya
jumlah kursi yang diperebutkan dan jumlah daerah pemilihan yang terbagi ke dalam
banyak daerah pemilihan menghasilkan kerumitan dalam penentuan partai politik yang
berhak mendapatkan kursi parlemen.
Sistem penghitungan suara dan konversi suara berkaitan erat dengan sistem
pemilu yang dipilih, apakah proporsional atau distrik. Sistem distrik lebih sederhana karena
menganut prinsip "the winner takes all" dan setiap daerah pemilihan hanya diwakili
dengan satu kursi parlemen, meskipun sistem ini dianggap kurang sesuai bagi negara yang
memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Tidak demikian halnya dengan sistem proporsional
yang dianggap lebih pas untuk negara yang pluralistik. Dalam sistem proporsional, pilihan
atas metode penghitungan suara apakah menggunakan kuota atau divisor, akan
menimbulkan implikasi masalah yang berbeda. Sistem divisor akan menghasilkan
kepastian bahwa seluruh kursi akan terbagi habis di dapil, sedangkan sistem kuota
cenderung menghasilkan sisa kursi.
4
Adanya sisa kursi (yang cenderung muncul dalam sistem kuota) ini selalu
menyisakan permasalahan dan kontroversi dalam penentuan mekanisme pembagian sisa
kursi tersebut, antara lain:
1. Apakah sisa kursi sebaiknya dibagi habis secara berurutan berdasarkan kadar
besarnya perolehan sisa suara partai di daerah pemilihan (metode yang umumnya
dipergunakan adalah largest reminders atau metode Kuota varian
Hare/Niemeyer/Hamilton- LR) ? Dengan demikian kursi dibagi habis di daerah
pemilihan, atau
2. Apakah sisa kursi ditarik ke level penghitungan setingkat di atasnya misalnya di
tingkat provinsi, (atau sisa kursi ditarik ke tingkat nasional), untuk digabungkan
dengan sisa kursi di daerah pemilihan lain yang sama-sama masih memiliki sisa
kursi ?
Berbagai pilihan tersebut memiliki banyak dampak, tidak hanya pada
perolehan kursi partai politik saja, melainkan juga dampak terhadap proporsionalitas antara
perolehan suara partai dengan perolehan kursinya, tingkat fragmentasi kursi parlemen,
tingkat efektifitas partai politik di parlemen (effective number of parliamentary parties)
dan bahkan juga berdampak pada tingkat kesetaraan nilai suara pemilih.
Dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak pemilu pertama tahun 1955,
hingga pemilu terakhir pada tahun 2009, sistem pemilu yang dianut pada dasarnya sangat
konsisten yaitu sistem proporsional, dengan metode penghitungan suara adalah metode
kuota (atau yang dikenal dengan sebutan Bilangan Pembagi Pemilih). Namun demikian,
pola perlakuan terhadap sisa kursi beberapa kali mengalami perubahan. Misalnya dalam
5
pemilu 1999, kursi dibagi habis di tingkat daerah pemilihan dengan cara Sisa Suara
Terbanyak dan Terbesar, pada pemilu 2004 sisa kursi dibagi habis di tingkat daerah
pemilihan dengan menggunakan metode Largest Remainders, dan pada tahun 2009 sisa
kursi ditarik ke tingkat provinsi dengan sebelumnya dilakukan penghitungan berdasarkan
50% BPP, selanjutnya (jika masih terdapat sisa kursi) maka ditarik ke provinsi untuk
ditetapkan BPP baru, dan selanjutnya (jika masih terdapat sisa kursi) digunakan metode
Largest Remainders.
Secara sederhana, metode penghitungan suara dan penetuan perolehan kursi
yang dipergunakan dalam pemilu 1999, 2004 dan 2009 dapat digambarkan dalam tabel
berikut:
Tabel 1
Perbandingan sistem penentuan perolehan kursi dalam Pemilu 1999-2004-2009 di
Indonesia
1999 2004 2009
Tahap 1: kursi dibagi
dengan cara membagi
perolehan suara partai
dengan angka BPP. Bagi
yang memenuhinya, maka
berhak mendapatkan kursi.
Tahap 2: apabila masih
terdapat sisa kursi, maka
dibagi secara berurutan
berdasarkan sisa suara
terbanyak.
Tahap 1: kursi dibagi
dengan cara membagi
perolehan suara partai
dengan angka BPP. Bagi
yang memenuhinya, maka
berhak mendapatkan kursi.
Tahap 2: apabila masih
terdapat sisa kursi, maka
dibagi secara berurutan
berdasarkan sisa suara
terbanyak.
1. Tahap I: perolehan kursi
parpol ditentukan
berdasarkan atas
keterpenuhan angka
BPP di tingkat daerah
pemilihan.
2. Tahap II: dalam hal
masih terdapat sisa kursi
dari proses penentuan
perolehan kursi pada
tahap I, maka dilakukan
penghitungan suara
untuk penentuan
perolehan kursi dengan
cara membagikan sisa
kursi kepada partai
6
politik yang memiliki
suara sama dengan atau
melebihi jumlah 50%
BPP.
3. Tahap III: dalam hal
masih terdapat sisa kursi
yang belum terbagi
habis pada tahap II,
maka sisa kursi dan sisa
suara partai politik
ditarik ke tingkat
provinsi, untuk
kemudian dijumlahkan
untuk menentukan BPP
baru di tingkat provinsi.
partai politik yang
memiliki sisa suara
sama dengan atau
melebihi BPP baru di
tingkat provinsi berhak
mendapatkan kursi. Jika
tidak ada partai yang
sisa suaranya sama
dengan atau melebihi
BPP Provinsi, atau
masih terdapat sisa kursi
yang belum terbagi,
maka dilakukan
penentuan perolehan
kursi dengan cara
membagi sisa kursi
secara berurutan kepada
partai politik yang
memiliki sisa suara
terbanyak sampai sisa
kursi terbagi habis.
Kursi habis di dapil Kursi habis di dapil Kursi tidak habis di dapil
Model penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi dalam Pemilu 2009
sebagaimana diatur oleh UU nomor 10 tahun 2008 tersebut memunculkan beberapa
permasalahan, antara lain:
7
1. Pengertian suara atau sisa suara yang akan diikutkan dalam penghitungan tahap 2 dan
tahap 3. Permasalahan ini menimbulkan kontorversi terutama dengan keluarnya
putusan Mahkamah Agung, meskipun akhirnya kontroversi ini berhenti dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penafsiran konstitusional bahwa
suara yang dihitung dalam penghitungan tahap 2 dan 3 adalah sisa suara dari suara
partai yang telah tekonversi ke dalam kursi pada penghitungan tahap 1, dan juga suara
parpol yang belum terkonversi menjadi kursi pada penghitungan tahap 1. Pengertian
pertama merujuk pada pengertian sisa suara, sedangkan penafsiran kedua merujuk
pada pengertian suara.
2. Apakah sisa suara dari seluruh partai, dari seluruh dapil diikutsertakan dalam proses
perebutan sisa kursi, ataukah hanya sisa suara dari seluruh partai yang berasal dari
daerah pemilihan yang memiliki sisa kursi saja yang dapat diikutsertakan dalam proses
perebutan sisa kursi. Terhadap permasalahan kedua ini, berdasarkan permohonan
pengujian atas UU nomor 10 tahun 2008, MK telah membuat putusan yang
menyatakan bahwa penentuan perolehan kursi tahap 3 dilakukan dengan cara
memperhitungan seluruh sisa suara dari seluruh partai politik dari seluruh daerah
pemilihan, untuk ditentukan BPP baru di tingkat provinsi.
Meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, namun kiranya putusan ini
sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama dalam keterkaitannya dengan
upaya untuk mewujudkan prinsip kesetaraan suara pemilih. Putusan MK ini berimplikasi
kepada penyamaan perlakuan terhadap suara pemilih dari dapil yang masih memiliki sisa
kursi dengan suara pemilih dari dapil yang sudah tidak memiliki sisa kursi. Kesemuanya
ditarik ke tingkat provinsi untuk diperhitungkan dalam proses penetuan perolehan kursi
8
tahap III. Akibatnya, suara pemilih dari dapil yang telah habis kursinya masih dihitung
kembali pada penghitungan tahap III, sehingga dapat dikatakan bahwa suara pemilih
tersebut dihitung dua kali.
II. RUMUSAN MASALAH
Guna mengkaji persoalan tersebut di atas, maka penelitian ini disusun dengan
berdasarkan atas pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur cakupan hak sipil dan politik
dalam pemilu ?
2) Bagaimana perlindungan atas kesetaraan nilai suara pemilih dalam sistem
penghitungan suara dalam pemilu 2009 ?
3) Bagaimana implikasi sistem penghitungan sisa suara versi MK terhadap kesetaraan
nilai suara pemilih dalam pemilu 2009 ?
III. METODOLOGI
1. Legal Analysis, metode ini dipergunakan untuk filosofi, konstitusionalitas, konsistensi,
kepastian hukum dari norma-norma pengaturan yang terdapat dalam UU Pemilu.
2. Empirical analysis, metode ini dipergunakan untuk mengkaji cara pandang hakim MK
dalam melakukan pengujian atas UU Pemilu, serta melihat dampak dari putusan MK
terhadap cara dan hasil penghitungan suara dan perolehan kursi.
9
BAB II
HAM DALAM PEMILU
I. Tentang Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat
atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai
manusia4. Hak asasi melekat pada manusia semenjak lahir5 atau semenjak dia ada sebagai
manusia dan tidak terpengaruh oleh berbagai perbedaan latar belakang warna kulit, suku,
agama maupun pandangan politiknya. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut.
Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Hak
ini tidak dapat dicabut meskipun manusia tersebut telah melakukan atau berperilaku yang
sangat kejam. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
Dalam konteks historis, doktrin tentang asal usul HAM muncul dengan disertai
perdebatan antara kelompok filosif yang menganut aliran natural rights theory (dalam
wilayah filsafat hukum mengacu kepada teori hukum kodrati/natural law theory) dengan
kelompok positivism, dan utilitarianism. Teori natural right memiliki akar sejarah yang
sangat panjang bahkan sudah muncul pada era Yunani kuno dengan filsafat Stoika hingga
ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas 6. Pada era
ini, hak asasi manusia dianggap berasal dari kodrat alam sehingga bersifat irasional.
Dalam perkembangan sejarah, Hugo de Groot mengembangkan lebih lanjut teori
hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya
4 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice,Cornell University Press,Ithaca and London,
2003,hlm. 7-21.
5 All human born free, preambul DUHAM.
6
10
menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. John Locke, semakin mengembangkan
konsepsi ini dengan mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan
Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam
revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-
18. Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh
alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik
mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh Negara 7. Melalui suatu ‘kontrak
sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan
kepada negara. Sehingga, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang
penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-
hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra-
positif mendapat pengakuan kuat.
Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu
mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, mengatakan bahwa Deklarasi
yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar
dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup
yang tidak jelas dengan susah payah.” 8
Di samping itu, terdapat pula Jeremy Bentham yang melontarkan kritik
mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa
dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana
7 John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration,disuntingoleh J.W.
Gough, Blackwell,Oxford,1964
8 Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor CruiseO’Brien,London, 1968
11
asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya? 9. Bentham menulis, “Bagi
saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain.
Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam
jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah” 10.
Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh
mazhab positivism11, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John
Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan
dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat 12.
Ia tidak datang dari “alam” atau “moral”.
Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan
positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan
Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa
akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang
mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional 13.
Pengakuan atas HAM ini semakin besar seiring dengan terbentukanya
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 dan mimpi buruk Perang Dunia II 14. Dari
sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat
internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur
9 H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press,London, 1982, hlm. 82
10 Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation,dikutip dari Hart, Essays on Bentham, Oxford
University Press,London, 1982
11 Mazhab positivismeadalah anak kandungdari “Abad Pencerahan” yangkental dengan metodemetode
empiris.Adalah David Hume yangpertama mengembangkannya. Lihat bukunya, A Treatiseof Human Nature,
Fontana Collins,London,1970
12 John Austin, The Provinceof Jurisprudence Determined, W. Rumble (ed.), Cambridge University Press,
Cambridge,1995, firstpublished,1832.
13 David Weissbrodt,“Hak-hak Asasi Manusia:Tinjauan dari Perspektif Sejarah,”dalamPeter Davies,Hak Asasi
Manusia:Sebuah Bunga Rampai,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta,1994,hlm.1-30
14 Dikutip dari PreamblePiagamPBB
12
pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of
achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh
masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang
disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of
Human Rights”.
Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di
setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai
hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh
melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang
diajukan John Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan
hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-
hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”15. Dalam konteks keseluruhan inilah
seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.
Karel Vasak membuat klasifikasi HAM dengan menggunakan istilah “generasi”
untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu
kurun waktu tertentu. Dia membuat kategori tersebut ke dalam 3 generasi berdasarkan
slogan Revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan” 16.
1. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili
hak-hak sipil dan politik, yang muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari
16 Karel Vasak,“A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the Universal Declaration of
Human Rights”, Unesco Courier, November, 1977,hlm. 29-32.
13
kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya, dan
dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak
melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas
dirinya sendiri (kedaulatan individu). Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut
sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan
merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual.
Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh
pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap
kedaulatan individu. Negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena
akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah
yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru
menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke
dalam konstitusi mereka.
Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani,
hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik,
kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan
menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang,
hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak
mendapatkan proses peradilan yang adil.
2. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara
menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan
14
sampai pada kesehatan. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”.
Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat
terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam
bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari”
(“freedom from”). Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan
paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” --yang karena itu
dianggap bukan hak yang “riil”.
Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang
layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas
pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak
atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian. Sejumlah negara
(seperti Jerman, Meksiko dan Indonesia) telah memasukkan hak-hak ini dalam
konstitusi mereka
3. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas
“hak solidaritas” atau “hak bersama”17. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-
negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui
tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya
suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-
hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber
17 Lihat pula tulisan Karel Vasak khusus tentang isu ini, For the Third Generation of Human Rights: The Rights of
Solidarity, Inaugural Lecture, Tenth Study Session of the International Institute of Human Rights, 2 July 1979
15
daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu 18.
Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali
tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara
berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara Barat agak
kontroversial 19.
Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas
hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan
memuaskan pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu
atau negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok
atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di
kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu 20.
Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu --jika
memang bisa disebut sebagai “hak”—akan bergantung pada kerjasama internasional,
dan bukan sekedar tanggungjawab suatu negara.
II. Prinsip keberlakuan hak asasi manusia
18 Philip Alston, “A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or Obfuscation of
International Human Rights Law”, Netherlands International Law Review, Vol 29, No. 3 (1982), hlm. 307 -322
19 Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998,
halaman 9.
20 Pembahasan tentang hak-hak generasi ketiga, baik yang bernada meragukan maupun yang bernada optimis,
tumbuh dengan subur. Beberapa diantaranya, Subrata Roy, Erik M.G. Denters & Paul J/.I.M. de Waart (eds),
The Rights to Development in International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1992. Philip Alston,
“Making Space for New Human Rights: The Case of the Rights to Development”, Harvard Human Rights
Yearbook, Vol. 1, 1988. James Crawford (ed), The Rights of Peoples, Cl arendon Oxford: Press, 1988. Dan Jan
Bertin et.al. (eds), Human Rights in a Plural World: Individuals and Colletivities, Meckler, Westport and
London, 1990.
16
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pembentukan PBB dan pengesahan DUHAM
telah mengawali proses internasionalisasi HAM. Meskipun demikian, masih terdapat
kontroversi terkait dengan keberlakuan HAM. Salah satu wacana yang paling hangat dalam
masa dua dekade terakhir adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam
penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan
relativisme budaya (cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa
akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian
memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di
sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat
diubah21.
KOVENAN internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International
Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan produk Perang Dingin, ia
merupakan hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara blok Sosialis
melawan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi
perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak
Asasi Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan
hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian
21 Teori Universalisme Hak Asasi Manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan
keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral
meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat
diidentifikasi secara rasional. Teori ini berakar dari teori hak kodrati. Dalam universalisme, individu adalah
sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan
kepentingan pribadi. Sedangkan Cultural relativism (relativisme budaya) mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu, menurut penganut teori ini,
hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua
kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini,
para pembela gagasan relativismebudaya menolak universalisasi hak asasi manusia,apalagi bilaia didominasi
oleh satu budaya tertentu.
17
internasional – yang tadinya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja.
Tapi realitas politik menghendaki lain. Kovenan yang satunya lagi itu adalah Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenan on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini merupakan anak
kembar yang dilahirkan di bawah situasi yang tidak begitu kondusif itu, yang telah
membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakan kedua kategori hak tersebut 22.
Saat ini Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik itu (selanjutnya
disingkat ICCPR) telah diratifikasi oleh 141 Negara. Itu artinya tidak kurang dari 95%
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjumlah 159 negara itu
telah menjadi Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat
ratifikasi, maka dapat dikatakan kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat
tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional hak asasi manusia lainnya.
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan
kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi
Negara-Negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering
disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang
dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat
minus.
Hak-hak negatif apa saja yang termuat dalam ICCPR ? Dengan resiko terjatuh
pada penyederhanaan, kita dapat membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan
dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis
22 Kasim,Ifdhal,Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik,Bahan Bacaan dalamKursus HAMuntuk Pengacara X,
ELSAM, 2005,halaman 1
18
non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.
Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii)
hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan
(rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi
perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai
subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-
negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali
akan mendapat kecaman sebagai Negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak
asasi manusia (gross violation of human rights).
Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang
boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak dan
kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah : (i) hak atas kebebasan berkumpul secara
damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota
serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk
kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).
Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan
penyimpanan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu
hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat
diskriminatif, yaitu demi : (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof.
Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan
19
suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini
ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang
ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan
mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak ICCPR.
Hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable. Inilah yang
membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang
terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara
bertahap (progressive realization), dan karena itu bersifat non-justiciable. Kewajiban
negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan
pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan
ini secara efektif. Sistem hukum suatu Negara diharuskan mempunyai perangkat yang
efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang
pada Pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut : a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak
atau kebebasan sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapat
pemulihan yang efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak
dalam kapasitas resmi. b. Menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan
demikian, haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan,
administrasi, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga lain yang berwenang, yang
ditentukan oleh system hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan
pemulihan yang bersifat hukum. c. Menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan
melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan.
Mengenai implementasi antara kedua kategori hak, baik yang non‐derogable
maupun yang derogable. juga mnemiliki batas‐batasnya, yaitu pada batas mana negara tak
20
melakukan intervensi dan pada batas mana pula intervensi harus dilakukan. Negara tak
boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak‐hak setiap orang, terutama
hak‐hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan
terjadinya pelanggaran atas hak‐hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat
dilakukan atas dua hal; pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau
mengekang hak‐hak atau kebebasan berdasarkan UU; kedua, dalam rangka untuk
menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana.
Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak‐hak sipil dan politik, ada
dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya
menghormati hak‐hak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau
bertentangan ICCPR melalui campur‐tangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan
(violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hak‐hak –
melalui tindakannya – negara justru tak melakukan apa‐apa baik karena lalai dan lupa
maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis
pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan
dengan ICCPR yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judicial).
III. HAM dalam Pemilu
Berbicara tentang hak asasi manusia dalam konteks pemilu tidak dapat
dilepaskan dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dokumen
yang menjaid manifesto Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menjadi landasan bagi
keluarnya beberapa konvensi internasional sebagai terjemahan lebih detail dari konsepsi
hak asasi manusia pada bidang-bidang yang lebih spesifik, misalnya dalam bidang hak-hak
21
sispil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Deklarasi tersebut
secara jelas mengakui hak setiap orang untuk terlibat dalam pemerintahan baik secara
langsung atau melalui pemilu yang demokratis 23.
Selanjutnya Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Konvenan
tersebut menyebutkan 2 ketentuan yang sangat penting dan memiliki keterkaitan dengan
perlindungan hak asasi manusia dalam pemilu:
A. Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak,
untuk:
1. Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun
melalui wakilwakil yang dipilih secara bebas;
2. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak
pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara
rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih 24;
B. Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang
diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua
orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin,
23 Pasal 21 menyebutkan bahwa: everyone has the rightto take part in the government of his country,directly
or through freely chosen representatives.
24
International Convenanton Civil and Political Rights, Pasal 25 menyebutkan Every citizen shall have the right
and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable
restrictions:(a) To take part in the conduct of public affairs,directly or through freely chosen representatives;
(b) To vote and to be elected atgenuine periodic elections which shall beby universal and equal suffrage and
shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;
22
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lain 25.
Centre for Human Right26 menyebutkan parameter pemilu yang demokratis
yang mencakup:
1. Equal, universal and non-discriminatory suffrage
2. Non discrimination and positive measure
3. One person-one vote
4. Legal and technical assurance
Salah satu instrument penting untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam
pemilihan umum, maka secara internasional diakui prinsip One Person One Vote One
Valeu (Opovov). Kelahiran prinsip ini memiliki sejarah panjang dan menjadi antithesa dari
praktek perbudakan dan ketidakadilan struktural (misalnya di Inggris dan Amerika). Dari
proses ini, prinsip opovov dimaksudkan untuk memberikan hak dan ruang yang sama bagi
seluruh manusia di suatu wilayah negara untuk terlibat dalam proses Pemilu, dengan
menyandang hak memilih dan dipilih yang sama dan setara.
Dalam proses selanjutnya, prinsip opovov ini semakin memiliki posisi yang
signifikan dalam pemilu dalam hal penentuan alokasi kursi di daerah pemilihan. Amerika
Serikat memiliki sejarah panjang yang tak jarang diwarnai dengan konflik politik yang
tinggi dalam upaya merumuskan formula yang tepat dalam menentukan alokasi kursi, dan
juga kontroversi tentang kesetaraan nilai suara. Dua pertanyaan mendasar dalam sejarah
25 International Convenanton Civil and Political Rights, Pasal 26 menyebutkan: All persons are equal before the
law and are entitled without any discrimination to the equal protection of the law. In this respect, the law
shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection against
discrimination on any ground such as race,colour,sex, language,religion, political or other opinion, national
or social origin, property, birth or other status.
26 Centre for Human Rights,Human Rights and Election, United Nation, New York and Geneva, 1994,halama n
10-11.
23
pemilu di Amerika terkait dengan hal ini adalah tentang kesetaraan nilai suara pemilih dan
tingkat representativeness suara pemilih. Dua kasus besar yang mencuat di pengadilan
adalah kasus Baker v. Carr (1962) dan kasus Reynolds v. Sims (1964).
Putusan Mahkamah Agung Amerika terhadap kasus tersebut dibuat dalam
rangka menanggapi ketimpangan represantasi dalam pemerintahan dan ketidaksetaraan
kekuatan suara antar wilayah/daerah pemilihan. Seharusnya anggota senat mewakili
jumlah pemilih yang sama di setiap wilayah agar dapat disebut bahwa kesetaraan nilai
suara pemilih adalah sama. Namun, pada paruh pertama abad 20, terjadi perubahan
populasi yang cukup besar di Amerika. Pada tahun 1920-an terjadi migrasi besar-besaran
warga ke wilayah perkotaan, namun hal ini tidak diikuti dengan perubahan formula daerah
pemilihan, sehingga pada gilirannya menimbulkan ketimpangan kekuatan suara pemilih
antara wilayah perkotaan dan pedesaan 27.
Fenomena inilah yang memicul Charles Baker, kepala daerah di Millington,
Tennessee untuk mengajukan gugatan ke MA pada tahun 1962. Dalam gugatannya, dia
meminta dilakukan perubahan/perumusan ulang daerah pemilihan agar tercipta kesetaraan
nilai suara pemilih dan mencegah terjadinya ketimpangan kekuatan suara pemilih antar
daerah pemilihan. Kasus Baker v. Carr merupakan kasus pertama dari beberapa rangkaian
kasus yang mendorong dilakukannya penyusunan ulang daerah pemilihan dalam pemilu
legislatif di seluruh wilayah Amerika. Namun, prinsip “one person, one vote”—meskipun
diasosiasikan kepada kasus Baker, sebenarnya secara nyata diputuskan dalam kasus Gray
v. Sanders (1963) oleh Hakim Douglas. Dalam kasus tersebut, pengadilan memutuskan
bahwa penentuan daerah pemilihan harus mengacu kepada jumlah penduduk. Douglas
27 Sebagai contog, pada tahun 1960-an di Alabama,daerah pemilihan palingkecil memiliki polpulasi sebesar
6,700 oraang,sementara daerah pemilihan terbesar memiliki populasi lebih dari 104,000 orang,padahal
semua daerah pemilihan hanya diwakili 1 kursi.
24
menulis “The conception of political equality from the Declaration of Independence, to
Lincoln’s Gettysburg Address, to the Fifteenth, Seventeenth, and Nineteenth Amendments
can mean only one thing—one person, one vote.”
Puncak dari kasus tentang kesetaraan hak memilih dan representasi adalah pada
kasus Reynolds v. Sims (1964), di Alabama. MA memutuskan dalam kasus ini bahwa
amandemen konstitusi ke 14 mengharuskan untuk dibangunnya kesetaraan antar daerah
pemilihan berbasis jumlah penduduk. Pengadilan menplak gagasan pembedaan sistem
pembentukan daerah pemilihan yang berbeda antara DPR dan Senat. Daerah pemilihan
bagi keduanya harus disusun berdasarkan populasi. Bahkan Hakim Ketua Warren menulis
bahwa DPR mewakili manusia, bukan pohon atau tanah. Dengan demikian, putusan ini
mengukuhkan keberlakuan prinsip one person one vote 28.
Gavin More menyatakan bahwa bagi kelompok liberalisme klasik, prinsip one
person, one vote merupakan prinsip dasar dalam demokrasi prosedural, dimana semua
pemilih dapat memberikan suara dan memastikan bahwa suara mereka dihitung secara
setara 29. Hal ini memungkinkan terciptanya pemilu yang bebas dan adil sebagai pra-syarat
demokrasi. Sedangkan Synder dan Samuel menegaskan bahwa penyimpangan terhadap
prinsip one person, one vote ini akan menyebabkan goyahnya kebebasan dan keadilan
dalam demokrasi 30.
28 Diskusi lebih mendalamtentang masalah ini dapatdibaca di “EstbalishingEquality in Vote and
Representation” dalamThe Persuitof Justice,halaman 120-124,dan “The Complicated Impactof One Person,
One Vote on Political Competition and Representation, , yang ditulis oleh Nathaniel Persily,Thad Kousser dan
Patrick Egan, dalamNorth Carolina LawReview, Volume 80, halaman 1300-1352.
29 Gavin Moore, Federalism and One Person-One Vote Principles; Political Accommodation in Cyprus and the
Annan Plan, Federal Governance Journal, Volume 6, Nomor 2, halaman 32.
30 SNYDER, R. and D. SAMUELS. 2001. Devaluing the Vote in Latin America. Journal of Democracy. 12 (1),
halaman 146-159.
25
Dengan demikian menjadi jelas bahwa prinsip one person-one vote merupakan
sebuah prinsip penting untuk melindungi hak asasi manusia dalam pemilu melalui upaya
penciptaan sistem pemilu yang mampu mengakomodasi kesetaraan nilai suara pemilih.
Prinsip kesetaraan nilai suara pemilih ini tidak hanya diperlukan dalam proses penentuan
daerah pemilihan, tetapi juga dalam proses penghitungan suara dan penentuan perolehan
kursi parlemen.
Prinsip ini menghendaki terciptanya keadilan politik yang ditunjukkan ke
dalam beberapa parameter berikut ini:
a. Semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memberikan suara dalam pemilu,
sepanjang memenuhi syarat adminsistratif (misalnya umur, domisili, dll) tidak boleh
ada restriksi lain yang menghambat pemberian hak ini, misalnya status sosial, agama,
dan lain-lain.
b. Tidak ada perbedaan nilai suara pemilih, baik antara pemilih kaya dengan miskin,
anatra pemilih ningrat atau rakyat jelata.
c. Perolehan suara partai harus tercermin secara proporsional dalam konfigurasi kursi
parlemen.
III. Cakupan HAM dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Pemilu
Pemerintah Indonesia meratifikasi ICCPR melalui pengesahan UU No.
12/2005 pada 28 Oktober 2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem
hukum nasional maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok
yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW (penghapusan diskriminasi perempuan),
26
CRC (anak), CAT (penyiksaan), dan CERD (penghapusan diskriminasi rasial). Merujuk
kepada UU tersebut, dapat digambarkan hak-hak sipil dan politik yang dilindungi, yakni:
Tabel 2
Hak-Hak Sipil dan Politik yang diatur dalam UU nomor 12 tahun 2005
No Pasal Hak‐Hak Sipil dan Politik
1 Pasal 6 Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18
tahun)
2 Pasal 7 Hak untuk tidak disiksa,diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa,
diperkosa)
3 Pasal 8 Hak untuk tidak diperbudak (larangan segela bentuk perbudakan, perdagangan
orang, dan kerja paksa,)
4 Pasal 9 Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau di‐tahan dengan
sewenang‐wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana)
5 Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi,anak dipisahkan dari
orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi)
6 Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kon‐traktual (utang
atau perjanjian lainnya)
7 Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali
ke negerinya sendiri)
8 Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang
meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional)
9 Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalah‐annya oleh
pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau
kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama)
10 Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar
ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus menda‐patkan
keringanannya)
11 Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarga‐negaraan)
12 Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kera‐hasiaan,
keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat‐menyurat atau komunikasi pribadi)
13 Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau
orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)
14 Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan
informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya)
15 Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar
kebangsaan, ras, agama atau golongan)
16 Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak‐arakan atau
keramaian)
17 Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau
serikat buruh)
18 Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung
jawab atas anak)
19 Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kela‐hiran anak
didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa dis‐kriminasi)
20 Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalampolitik (termasuk memilih,dipilih dan tidak memilih)
27
21 Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin‐dungi hukum
tanpa diskriminasi)
22 Pasal 27 Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus)
Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak‐hak
manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain
pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi
ini ke dalam perundang‐undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan
sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil
berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak‐hak manusia. Kewajiban ini
juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yangh lain, yaitu untuk membuat laporan yang
bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan.
Dalam konteks Pemilu di Indonesia, penjabaran atas hak sipil dan politik dalam
pemilu diterjemahkan secara lebih mendetail ke dalam prinsip Langsung, Umum, Bebas
dan Rahasia (LUBER). Prinsip ini diintrodusir dalam UU Pemilu sejak pemilu pertama
tahun 1955 hingga Pemilu tahun 1997. Dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 1999, UU
Pemilu menambahkan 2 prinsip lagi yakni Jujur dan Adil, sehingga saat ini, prinsip Pemilu
di Indonesia dikenal dengan Luber dan Jurdil.
Penjelasan UU nomor 10 tahun 2008 mendefinisikan prinsip Luber dan Jurdil
sebagai berikut:
1. Prinsip umum, artinya bahwa seluruh warga negara yang telah memenuhi syarat
(terutama umur dan status kependudukan) memiliki hak untuk memberikan suara
dalam pemilu.
28
2. Prinsip bebas, yakni seluruh warga negara yang telah memiliki hak suara, bebas dalam
menentukan pilihan politiknya, termasuk bebas untuk memutuskan untuk tidak
menggunakan hak pilihnya (meskipun di beberapa negara tertentu seperti Australia,
pemberian suara dalam pemilu dimasukkan ke dalam ranah kewajiban warga negara
(mandatory)
3. Prinsip langsung, yakni bahwa seluruh warga negara yang memiliki hak suara harus
dijamin dapat memberikan suaranya secara langsung, tidak diwakili atau tidak
diwakilkan kepada orang lain.
4. Prinsip rahasia, yakni bahwa pilihan seorang warga negara dalam pemilu harus
dijamin kerahasiaannya. Dia tidak boleh dipaksa untuk memberitahukan pilihan
politiknya kepada orang lain, dan pihak lain tfodak boleh memaksa kepadanya untuk
memberitahukan pilihan politiknya.
5. Prinsip jujur dan adil, yakni bahwa sistem pemilu harus mampu menjamin terciptanya
keadilan politik.
Prinsip keadilan dalam pemilu ini bahkan secara tegas dimaknai oleh
Mahkamah Konstitusi dalam konteks kesetaraan nilai suara pemilih, dimana suara pemilih
harus diperlakukan sama, dengan nilai yang sama, dan dihitung hanya satu kali. Penegasan
ini tampak dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan permohonan pengujian UU
nomor 10 tahun 2008 menyangkut definisi suara yang diperhitungkan dalam penghitungan
suara tahap 2.
Dalam putusan terseut, Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon yang
meminta agar penafsiran atas suara yang diperhitungkan dalam penghitungan suara tahap 2
adalah mencakup suara partai politik yang telah terkonversi menjadi kursi dalam
29
penghitungan tahap 1 (yang kemudian disebut sebagai sisa suara), dan suara partai politik
yang belum terkonversi dalam penghitungan tahap 1 (atau disebut suara). Mahkamah
menyatakan bahwa ... Mahkamah berpendapat apabila Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 yang
berkaitan dengan frasa “suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP
DPR” ditafsirkan untuk memperhitungkan kembali perolehan suara secara utuh partai
politik yang telah mendapatkan kursi berdasarkan tahap pertama dengan dasar BPP akan
menyebabkan terjadinya penghitungan lebih dari satu kali. Cara yang demikian akan
menimbulkan ketidakkonsistenan dengan sistem yang dipilih yaitu sistem proporsional
karena menyebabkan terjadinya deviasi yang terlalu besar antara perolehan suara dengan
perolehan kursi bagi partai politik peserta Pemilu. Selain itu, apabila dipergunakan
penafsiran seperti di atas maka perolehan suara partai politik yang telah dikonversi
perolehan suaranya menjadi kursi akan diperhitungkan lebih dari satu kali, sementara
perolehan suara partai politik yang tidak mencapai 100% BPP tetapi lebih dari 50% BPP
hanya diperhitungkan satu kali, itu pun kalau masih ada sisa kursi. Oleh karena itu,
Mahkamah berpendapat penafsiran terhadap perolehan “suara sekurang-kurangnya 50%
(lima puluh perseratus) dari BPP DPR” yang di dalamnya memperhitungkan secara utuh
perolehan suara partai politik yang telah mendapatkan kursi berdasarkan BPP tidak sesuai
dengan sistem proporsional yang menjadi sistem yang dipilih oleh UU 10/2008 31.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengaturan dalam UU Pemilu nomor
10 tahun 2008 dan putusan MK mengakui adanya kesetaraan atas nilai suara pemilih, dan
secara tegas mengatur bahwa suara pemilih hanya dihitung satu kali dalam berbagai
tingkatan penghitungan suara (baik tahap 1, tahap 2, maupun tahap 3). Hal ini
31 Putusan MK, paragraf 3.31
30
membuktikan bahwa ketentuan perundang-undangan pemilu di Indonesia sesuai dan
menganut prinsip universal tentang one person-one vote.
31
BAB III
SISTEM PEMILU DI INDONESIA DAN PERLINDUNGAN HAM
Pemilu merupakan instrument demokratik untuk melibatkan masyarakat/warga negara
dalam proses penentuan jabatan politik. Guna menjamin terpenuhinya prinsip demokrasi dan
ditegakkannya hak asasi politik warga negara, maka terdapat beberapa tujuan yang harus diacu
dalam penentuan sistem pemilu32, yakni:
1. Proportionality of seats to votes
2. Accountability to constituents
3. Durable governments
4. Victories of the Condorcet winners
5. Interethnic and interreligious conciliation
6. Minority officeholding
Namun demikian, sangat jarang dijumpai penerapan sistem pemilu yang benar-benar
mampu memenuhi persyaratan tersebut di atas. Kesemuanya didasari atas pertimbangan situasi
dan kondisi negara yang bersangkutan.
I. Sistem Pemilu
Sistem pemilu menurut Pippa Norris adalah formula untuk menentukan
bagaimana suara dihitung untuk menentukan perolehan kursi 33. Definisi yang sama
32 Donald L. Horowitz, James B. Duke, Eectoral System and Their Goals:A Primer for Decision Makers,Duke
University,2003,halaman 3
33 Pippa Norris,ChoosingElectoral System: Proportional,Majoritarian,and Mixed System, International Political
Science Review, volume 18 (3), 1997, halaman 297-312
32
disampaikan oleh IDEA yang menyebutkan bahwa sistem pemilu adalah cara untuk
menerjemahkan suara ke dalam kursi (baik partai politik maupun calon)34.
Allan Wall35 menyebutkan 7 kriteria yang dapat dipergunakan untuk menilai
sistem pemilu yang meliputi:
1) Keadilan (fairness). Sistim pemilu dapat memperoleh kepercayaan tinggi dari para
peserta pemilu dan pemilih bahwa proses pemilihan secara sistematis dalam
pelaksanaannya tidak akan diskriminatif terhadap mereka. Hal ini akan meningkatkan
dukungan terhadap hasil pemilhan umum.
2) Persamaan hak-hak untuk semua pemilih. Suatu sistim pemilu dapat memberi bobot
suara yang sama bagi setiap pemilih.
3) Keterwakilan yang proporsional. Sistim pemilu dapat menghasilkan pemerintah yang
secara luas mewakili kepentingan pemilih.
4) Akuntabilitas. Suatu sistim pemilu dapat menghasilkan akuntabilitas yang dapat
diukur melalui tingkat ketanggapan pemerintah terhadap tuntutan publik dan
kemampuan publik untuk mengakhiri suatu pemerintah yang tidak akuntabel melalui
pemilu.
5) Pemerintahan yang efektif dan akomodatif. Sistim pemilu dapat menghasilkan
stabilitas dalam pemerintahan yang memungkinkan manajemen negara yang efektif.
Sistim pemilihan juga diharapkan dapat mendukung konsultasi dan kompromi yang
memadai antara kekuatan-kekuatan politik.
34 Andrew Reynolds,dkk, Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, IDEA, Sweden, 2003,
halaman 5
35 Allan Wall,Election Systems BriefingPaper, halaman 1.
33
6) Perkembangan partai politik yang kuat secara relative. Sistim pemilihan dapat
menghasilkan keseimbangan antara partai-partai politik dan besarnya kontrol yang
dimiliki pemilih terhadap tindakan-tindakan mereka.
7) Sistem yang menyediakan kemudahan akses melalui kesederhanaan dan refleksi
pilihan warga negara yang relatif tepat. Sistim pemilu dapat memungkinkan pemilih
untuk mengekspresikan pilihan mereka secara akurat denan cara yang cukup
sederhana untuk dipahami oleh semua pemilih.
Pippa Norris menyebut 4 tipe utama dalam sistem pemilu yang banyak
dipergunakan oleh berbagai negara:
a. Majoritarian formulas (including plurality, second ballot, and alternative voting
systems);
b. Semi-proportional systems (such as the single transferable vote, the cumulative vote,
and the limited vote);
c. Proportional representation (including open and closed party lists using largest
remainders and highest averages formula); and,
d. Mixed systems (like the Additional Member System combining majoritarian and
proportional elements).
Klasifikasi lain dibuat oleh The ACE Project, suatu kerjasama antara PBB, IFES
dan IDEA Internasional, mengenai sistem-sistem dan manajemen pemilu.
A. Sistem Mayoritas/Pluralitas (Majoritarian/Plurality)
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas
kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena
kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
34
Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil
rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang
dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara
yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak
diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Jadi, tidak ada sistem
menghitung suara lebih seperti yang dikenal dalam Sistem Perwakilan Berimbang.
Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B.
Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000 suara. Maka calon A memperoleh
kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem
pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serika dan India.
Sistem “Single Member Constituency” mempunyai beberapa kelemahan :
1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan
minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu
distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa
ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada
beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat
mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-
golongan yang merasa dirugikan.
Di samping kelemahan-kelemahan tersebut di atas ada banyak segi
positifnya, yang oleh negara-negara yang menganut sistem ini dianggap lebih
menguntungkan daripada sistem pemilihan lain:
35
1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk
distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan
demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik.
Lagipula, kedudukannya terhadap partainya. akan lebih bebas, oleh karena dalam
pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan
.faktor yang penting. {mospagebreak}
2. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi
yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan
mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan
mengadakan kerjasama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru
dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai
tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam negara
seperti Inggris dan Amerika. sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem
dwipartai.
3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai
mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas
nasional.
4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
Untuk dapat terpilih dalam suatu daerah pemilihan (distrik), seorang kandidat
atau beberapa orang kandidat harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara yang
sah, atau dalam beberapa varian, mayoritas dari suara yang sah dalam distrik tersebut.
Sistem ini meliputi:
· First Past The Post (FPTP)
36
· Block Vote dan Party Block Vote
· Alternative Vote (AV)
· Dua Putaran (Two Round)
B. Sistem Representasi Proporsional (RP)
Dengan menggunakan distrik-distrik wakil majemuk, jumlah wakil yang
terpilih untuk suatu distrik ditentukan oleh prosentase suara sah yang diraih oleh partai
atau kandidat peserta pemilu dalam distrik tersebut.
Sistem ini meliputi:
· Representasi Proporsional Daftar (List Proportional Representation)
· Mixed Member Proportional (MMP)
· Single Transferable Vote (STV)
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem
distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi Yang diperoleh oleh sesuatu
golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk
keperluan ini ditentukan sesuatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000, yang berarti
bahwa sejumlah pemilih tertentu (dalam hal ini 400.000 pemilih) mempunyai satu
wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah total anggota dewan perwakilan rakyat
ditentukan atas dasar perimbangan (1 : 400.000) itu. Negara dianggap sebagai satu
daerah pemilihan yang besar, akan tetapi untuk keperluan teknis-administratif dibagi
dalam beberapa daerah pemilihan yang besar (yang lebih besar dari pada distrik dalam
Sistem Distrik), di mana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai
dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Jumlah wakil dalam setiap
37
daerah pemilihan ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemilihan itu, dibagi
dengan 400.000.
Dalam sisitim ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang
diperoleh oleh sesuatu partai atau golongan dalam sesuatu daerah pemilihan dapat
ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam
daerah pemilihan lain. untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna mem-
peroleh kursi tambahan.
Sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa
prosedur lain antara lain dengan Sistem Daftar (List System). Dalam Sistem Daftar
setiap partai atau golongan mengajuktin satu daftar calon dan si pemilih memilih salah
satu daftar darinya dan dengan demikian memilih satu partai dengan semua calon yang
diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang direbutkan. Sistem
Perwakilan Berimbang dipakai di Negeri Belanda, Swedia, Belgia, Indonesia tahun
1955 dan 1971 dan 1976.
Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan:
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru.
Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam
masyarakat; mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan
yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan--
persamaan. Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai.
38
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang
merasakan loyalitas kepada daerah yang telah mernilihnya. Hal ini disebabkan
oleh karena dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol
peranannya daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan
pimpinan partai.
3. Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena
umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih.
Di samping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan yang
besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut
diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan
bagaimana kecil pun, dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat.
Masyarakat yang heterogeen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh
karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing golongan.{mospagebreak}
C. Sistem Semi-Proporsional
Sistem ini pada dasarnya berada di antara sistem Pluralitas-Mayoritas dan
sistem proporsional representatif. Sistem ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan
sistem pluralitas-mayoritas terutama terkait dengan misrepresentasi dan kurangnya
represntasi partai dan kelompok minoritas.
Dalam sistem ini, partai politik yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak
masih dapat memperoleh perwakilan. Namun sistem ini tidak dirancang untuk
memberikan alokasi perwakilan sesuai dengan prosentase suara yang diperoleh partai
politik seperti sistem RP.
39
Sistem ini meliputi:
Paralel
Single Non Transferable Vote (SNTV)
Limited Vote (LV)
Ada negara di mana badan legislatif terbagi dalam dua majelis (bi-
kameralisme), sedangkan di beberapa negara lain hanya terdiri dari satu majelis (uni-
kameralisme). Boleh dikatakan bahwa semua negara federal memakai sistem dua
majelis oleh karena satu di antaranya mewakili kepentingan negara bagian khususnya (
India, Amerika Serikat. Uni Soviet, Republik Indonesia Serikat).
Negara kesatuan yang memakai sistem dua majelis biasanya terdorong oleh
pertimbangan bahwa satu majelis dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan dari
majelis lain. Dikuatirkan bahwa sistem satu majelis memberi peluang untuk
menyalahgunakan kekuasaan oleh karena mudah dipengaruhi oleh situasi politik.
Bagaimanapun juga, majelis tambahan biasanya disusun sedemikian rupa sehingga
wewenangnya kurang daripada badan yang mewakili rakyat. Badan yang mewakili
rakyat umumnya disebut Majelis Rendah (Lower House) sedangkan majelis lainnya
disebutkan Majelis Tinggi (Upper House atau Senat).
Ilustrasi tentang skema system pemilu (yang oleh IDEA disebut sebagai keluarga
sistem pemilu) dapat dilihat sebagai berikut 36:
36 Andrew Reynold, op.cit, halaman 28
40
Berdasarkan atas pengelompokan tersebut, IDEA merilis sistem pemilu yang
dipergunakan oleh berbagai negara di dunia sebagai berikut:
Tabel 3
System Pemilu di Dunia 37
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Afghanistan SNTV Other 1 249, 249
Albania List PR PR 2 140, 140
Algeria List PR PR 1 , 389
Andorra Parallel Mixed 2 28, 28
Angola List PR PR 2 220, 220
Anguilla FPTP Plurality/Majority 1 7, 11
Antigua and Barbuda FPTP Plurality/Majority 1 17, 17
Argentina List PR PR 1 257, 257
Armenia Parallel Mixed 2 131, 131
Aruba List PR PR 1 21, 21
Australia AV Plurality/Majority 1 150, 150
Austria List PR PR 3 183, 183
Azerbaijan FPTP Plurality/Majority 1 125, 125
Bahamas FPTP Plurality/Majority 1 40, 40
37 IDEA, http://www.idea.int/esd/world.cfm
41
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Bahrain TRS Plurality/Majority 1 40, 40
Bangladesh FPTP Plurality/Majority 1 345, 345
Barbados FPTP Plurality/Majority 1 30, 30
Belarus TRS Plurality/Majority 1 110, 110
Belgium List PR PR 1 150, 150
Belize FPTP Plurality/Majority 1 29, 29
Benin List PR PR 1 83, 83
Bermuda FPTP Plurality/Majority 1 36, 36
Bolivia MMP Mixed 2 130, 130
Bosnia and Herzegovina List PR PR 1 42, 42
Botswana FPTP Plurality/Majority 1 57, 62
Brazil List PR PR 1 513, 513
Bulgaria Parallel PR 1 240, 240
Burkina Faso List PR PR 2 111, 111
Burundi List PR PR 1 81, 179
Cambodia List PR PR 1 , 123
Cameroon Parallel Mixed 180, 180
Canada FPTP Plurality/Majority 1 308, 308
Cape Verde List PR PR 1 72, 72
Cayman Islands BV Plurality/Majority 1 15, 18
Central African Republic TRS Plurality/Majority 1 105, 105
Chad PBV Plurality/Majority , 155
Chile List PR PR 1 120, 120
Colombia List PR PR 1 , 166
Comoros TRS Plurality/Majority 1 18, 33
Cook Islands FPTP Plurality/Majority 1 24, 24
Costa Rica List PR PR 1 57, 57
Côte d'Ivoire FPTP Plurality/Majority 225, 225
Croatia List PR PR 1 151, 151
Cuba TRS Plurality/Majority 1 609, 609
Cyprus List PR PR 1 56, 56
42
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Czech Republic List PR PR 1 200, 200
Denmark List PR PR 2 179, 179
Djibouti PBV Plurality/Majority 1 65, 65
Dominica FPTP Plurality/Majority 1 21, 30
Dominican Republic List PR PR 2 , 150
East Timor List PR PR 2 88, 88
Ecuador List PR PR 1 , 100
Egypt TRS Plurality/Majority 1 444, 454
El Salvador List PR PR 2 84, 84
Equatorial Guinea List PR PR 1 100, 100
Estonia List PR PR 2 101, 101
Ethiopia FPTP Plurality/Majority 1 , 547
Falkland Islands
(Malvinas)
BV Plurality/Majority 1 8, 8
Fiji AV Plurality/Majority 2 71, 71
Finland List PR PR 1 200, 200
France TRS Plurality/Majority 1 577, 577
Gabon TRS Plurality/Majority 1 120, 120
Gambia FPTP Plurality/Majority 1 48, 53
Georgia Parallel Mixed 2 235, 235
Germany MMP Mixed 2 , 598
Ghana FPTP Plurality/Majority 1 200, 200
Gibraltar LV Other 1 15, 17
Greece List PR PR 2 300, 300
Grenada FPTP Plurality/Majority 1 15, 15
Guatemala List PR PR 2 , 158
Guernsey BV Plurality/Majority 1 45, 47
Guinea Parallel Mixed 2 114, 114
Guinea-Bissau List PR PR 1 102, 102
Guyana List PR PR 1 53, 65
Haiti TRS Plurality/Majority 1 83, 83
43
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Honduras List PR PR 1 128, 128
Hungary MMP Mixed 3 386, 386
Iceland List PR PR 2 63, 63
India FPTP Plurality/Majority 1 543, 545
Indonesia List PR PR 1 550, 550
Iran, Islamic Republic of TRS Plurality/Majority 1 290, 290
Iraq List PR PR 1 275, 275
Ireland STV PR 1 166, 166
Isle of Man BV Plurality/Majority 24, 24
Israel List PR PR 1 120, 120
Italy List PR PR 2 630, 630
Jamaica FPTP Plurality/Majority 1 60, 60
Japan Parallel Mixed 2 480, 480
Jersey BV Plurality/Majority 3 53, 53
Jordan SNTV Other 1 104, 110
Kazakhstan List PR PR 2 77, 77
Kenya FPTP Plurality/Majority 1 210, 222
Kiribati TRS Plurality/Majority 1 40, 42
Korea, Dem. People's
Republic of
TRS Plurality/Majority 1 687, 687
Korea, Republic of Parallel Mixed 2 299, 299
Kosovo List PR PR 1 120, 120
Kuwait BV Plurality/Majority 1 50, 65
Kyrgyzstan List PR PR 1 75, 75
Lao People's Dem.
Republic
BV Plurality/Majority 1 109, 109
Latvia List PR PR 1 100, 100
Lebanon BV Plurality/Majority 1 128, 128
Lesotho MMP Mixed 2 120, 120
Liberia FPTP Plurality/Majority 1 64, 64
Liechtenstein List PR PR 1 25, 25
Lithuania Parallel Mixed 2 141, 141
44
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Luxembourg List PR PR 1 60, 60
Macedonia, former
Yugoslav Republic (1993-)
List PR PR 1 120, 120
Madagascar FPTP Plurality/Majority , 160
Malawi FPTP Plurality/Majority 1 193, 193
Malaysia FPTP Plurality/Majority 1 219, 219
Maldives FPTP Plurality/Majority 1 77, 77
Mali TRS Plurality/Majority 1 , 147
Malta STV PR 1 65, 65
Marshall Islands FPTP Plurality/Majority 33, 33
Mauritania TRS Plurality/Majority 1 , 81
Mauritius BV Plurality/Majority 1 70, 70
Mexico Parallel Mixed 2 500, 500
Micronesia, Federated
States of
FPTP Plurality/Majority 2 14, 14
Moldova, Republic of List PR PR 1 101, 101
Monaco Parallel Mixed 2 24, 24
Mongolia BV Plurality/Majority 1 76, 76
Montserrat TRS Plurality/Majority 1 9, 11
Morocco List PR PR 2 325, 325
Mozambique List PR PR 1 250, 250
Myanmar FPTP Plurality/Majority 1 485, 485
Namibia List PR PR 1 72, 78
Nauru BC Other 1 18, 18
Nepal Parallel Mixed 1 205, 205
Netherlands List PR PR 1 150, 150
Netherlands Antilles List PR PR 1 22, 22
New Zealand MMP Mixed 2 , 120
Nicaragua List PR PR 2 90, 92
Niger List PR PR 83, 83
Nigeria FPTP Plurality/Majority 1 360, 360
Niue FPTP Plurality/Majority 2 20, 20
45
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Norway List PR PR 2 169, 169
Oman FPTP Plurality/Majority 1 83, 83
Pakistan Parallel Mixed 2 342, 342
Palau FPTP Plurality/Majority 1 16, 16
Palestinian Territory,
Occupied
Parallel Plurality/Majority 2 89, 89
Panama List PR PR , 78
Papua New Guinea AV Plurality/Majority 2 109, 109
Paraguay List PR PR 1 80, 80
Peru List PR PR 1 120, 120
Philippines Parallel Mixed 2 260, 260
Pitcairn Islands BV Other 1 6, 8
Poland List PR PR 1 460, 460
Portugal List PR PR 1 230, 230
Republic of The Congo
(Brazzaville)
TRS Plurality/Majority 1 137, 137
Romania MMP PR 1 , 345
Russian Federation Parallel Mixed 2 450, 450
Rwanda List PR PR 1 53, 80
Saint Helena BV Plurality/Majority 12, 14
Saint Kitts and Nevis FPTP Plurality/Majority 1 10, 15
Saint Lucia FPTP Plurality/Majority 1 17, 17
Saint Vincent and The
Grenadines
FPTP Plurality/Majority 1 15, 21
Samoa FPTP Plurality/Majority 49, 49
San Marino List PR PR 1 60, 60
Sao Tome and Principe List PR PR 1 55, 55
Senegal Parallel Mixed 2 120, 120
Serbia List PR - 126, 126
Seychelles Parallel Mixed 2 34, 34
Sierra Leone FPTP PR 1 112, 124
Singapore PBV Plurality/Majority 84, 94
46
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Slovakia List PR PR 1 150, 150
Slovenia List PR PR 2 90, 90
Solomon Islands FPTP Plurality/Majority 1 50, 50
South Africa List PR PR 2 400, 400
Spain List PR PR 1 350, 350
Sri Lanka List PR PR 2 225, 225
Sudan Parallel Mixed 1 270, 360
Suriname List PR PR 1 51, 51
Swaziland FPTP Plurality/Majority 1 55, 65
Sweden List PR PR 2 349, 349
Switzerland List PR PR 1 200, 200
Syrian Arab Republic BV Plurality/Majority 1 250, 250
Taiwan Parallel Mixed 2 113, 113
Tajikistan Parallel Mixed 1 63, 63
Tanzania, United Republic
of
FPTP Plurality/Majority 1 231, 295
Thailand Parallel Mixed 2 500, 500
Togo TRS Plurality/Majority 1 81, 81
Tonga BV Plurality/Majority 1 9, 30
Trinidad and Tobago FPTP Plurality/Majority 1 36, 36
Tunisia Parallel Mixed 2 , 189
Turkey List PR PR 1 550, 550
Turkmenistan TRS Plurality/Majority 1 50, 50
Turks and Caicos Islands FPTP Plurality/Majority 1 13, 18
Tuvalu BV Plurality/Majority 1 15, 15
Uganda FPTP Plurality/Majority 1 214, 295
Ukraine List PR PR 1 450, 450
United Kingdom FPTP Plurality/Majority 1 659, 659
United States FPTP Plurality/Majority 1 435, 435
Uruguay List PR PR 1 99, 99
Uzbekistan TRS Plurality/Majority 1 250, 250
47
Country Electoral
System
Electoral type Tiers Legislature Size
(directly elected, voting
members)
Vanuatu SNTV Other 1 52, 52
Venezuela MMP Mixed 3 , 165
Viet Nam TRS Plurality/Majority 1 498, 498
Virgin Islands, British FPTP Plurality/Majority 2 13, 13
Yemen FPTP Plurality/Majority 1 301, 301
Zambia FPTP Plurality/Majority 1 150, 158
Zimbabwe FPTP Plurality/Majority 1 120, 150
II. Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Dalam Memilih Sistem Pemilu
Dalam memilih sistem pemilu yang akan diterapkan, Pippa Noris menyampaikan
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan38:
a. Government Effectiveness
Dalam sistem myoritarian, kriteria yang paling penting adalah efektifitas
pemerintahan. Sistem first-past-the-post menghasilkan 'Westminster model' klasik
dengan dua kekuatan partai pemerintah yang kuat namun responsif. ‘Kuat’ dalam
termionologi ini berarti partai tunggal, bukan koalisi. Partai mayoritas yang
menguasasi kursi parlemen dapat secara efektif mewujudkan janji dan program politik
nya tanpa harus terganggu oleh negosiasi dengan patner koalisi. Hasil pemilu sangat
kuat dan legitimate. Pemerintah dapat meloloskan undang-undang (dengan didukung
partai mayoritas) sepanjang pemerintah dapat memiliki kesamaan visi dengan partai
mayoritas yang menjadi pendukungnya. Pemerintah yang kuat bergantung kepada bias
dalam sistem pemilu, yang memberikan bonus kusi kepada pemenang pemilu. “Partai
mayoritas” diciptakan dengan mengupayakan sistem konversi kursi yang
38 Pippa Norris,op.cit, halaman 5-7
48
memungkinkan mereka untuk mendapatkan kursi yang besar meskipun dengan
perolehan suara yang kecil. Dalam periode paska perang dunia, Pemerintah Inggris
misalnya, mendapatkan 54 % kursi parlemen dengan perolehan suara hanya 45 %.
Bahkan dalam pemilu dengan sistem tertutup, partai mayoritas biasanya mampu
membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi daengan partai lain.
b. Responsive and Accountable Government
Saat ini, pemerintah juga dituntut untuk responsif. Apabila partai yang menguasai
pemerintahan dapat memepratahankan responsifitas dan akuntabilitas hingga
menjelang pemilu berikutnya, maka akan sulit bagi siapapun untuk merebut
otoritasnya dari kursi pemerintahan. Dalam sistem dwi partai, terbuka peluang yang
besar bagi partai oposisi untuk merebut kursi pemerintahan jika partai penguasa gagal
menunjukkan responsifitas dan akutabilitasnya. Namun dalam banyak kejadian, partai
penguasa terkadang mengeluarkan kebijakan yang tidak populis dalam masa
pemerintahannya, namun di akhir masa pemerintahan menjelang pemilu berikutnya,
partai penguasa melakukan upaya-upaya untuk melakukan justifikasi dan menjelaskan
alasan kebijakan mereka sembari kembali mendekat kepada konstituen.
Sebagai tambahan, pada tingkat lokal, hubungan antara konstituen dengan anggota
parlemen dianggap memiliki kekuatan untuk membantu konstituen dalam
menyuarakan aspirasinya, danb menjadikan anggota palemen lebih responsif dan
akuntable terhadap mereka. Dalam sistem district dengan satu wakil, dianggap akan
lebih mampu menghasilkan insentif bagi konstituten dibandingkan dengan sistem
distrik berwakil banyak. Responsifitas pemerintah dan anggota parlemen sangat
bergantung kepada tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu, dan keseimbangan dari
49
sistem dwi partai. Jika jarak perolehan suara antara partai penguasa dengan oposisi
kecil (sebagai contoh di bawah 10 %) maka akan sangat dimungkinkan bagi pemilih
untuk mengubah komposisi partai pemenang dengan membawa partai oposisi sebagai
pemenang pemilu. Dalam konteks demikian, meskipun partai penguasa masih dapat
membuat keputusan dan menjalankan pemerintahan secara efektif, namun mereka
tetap dibayangi oleh kemungkinan kekalahan dalam pemilu berikutnya (karena
tipisnya jarak kemenangan mereka dari partai oposisi.
Sebaliknya dalam sistem pemerintahan koalisi, meskipun rakyat kecewa dengan
kinerja pemerintah, maka akan tetap sulit untuk mewujudkan kehendaknya dalam
mengganti partai penguasa.
c. Fairness to minor parties
Bagi para pembela sistem majoritarian, partai penguasa yang responsible sangat
mempengaruhi peluang untuk mengakomodasi seluruh kekuatan partai politik dalam
pembagian kekuasaan. Dalam pandangan ini, tujuan utama dari pemilu adalah
mendorong parlemen untuk memfungsikan diri dalam mewujudkan pemerintahan
yang efektif dan stabil. Pada saat yang sama, jika pemilu menghasilkan 4 atau lebih
partai yang duduk di parlemen, maka partai kecil akan menjadi sulit untuk berperan.
Pendukung sistem proporsional, keberadaan partai kecil harus dipertimbangkan,
karena hal ini dianggap sebagai bagian dari keadilan dalam sistem pemilu. Kebutuhan
untuk melakukan kontrol terhadap partai penguasa, perlindungan terhadap kelompok
minoritas menjadi sangat penting.
d. Social Representation
50
Tuntutan perubahan dalam beberapa dekade terakhir ini juga menyangkut upaya untuk
menambah komposisi sosial dalam parlemen. Sistem politik dianggap kurang mampu
memberikan proporsi dan merepresentasikan keragaman kelompok sosial baik dalam
kontek kelas sosial, gender, dan ras. Pada tahun 1995 anggota parlemen perempuan di
seluruh dunia hanya berkisar 9.4 % dan semakin menurun. Merespon isu ini, banyak
partai melakukan upaya untuk menanggulanginya dengan cara membuat kebijakan
akselerasi dan affirmatif antara lain penrapan kuota bagi anggota parlemen perempuan,
(digunakan dalam Senat di Argentina), dan paling banyak adalah affirmative action
dalam kepengurusan partai politik. Model ini juga dapat diterapkan dalam konteks
perlindungan terhadap kelompok minoritas lainnya, misalnya suku, bahasan, etnis,
maupun agama, meskipun dampaknya sangat ergantung kepada konsentrasi domisili
dari kelompok tersebut.
III. Sistem Pemilu dan Pengaruhnya terhadap Sistem Penghitungan Suara
Pilihan atas sistem pemilu yang diterapkan di sebuah negara akan memiliki
dampak terhadap bagaimana cara melakukan penghitungan suara. Hal ini dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel 4
Cara Penghitungan Suara
NO SISTEM PEMILU SUARA YANG DIHITUNG CATATAN
First-past-the-post (FPTP) in single-
member districts
count the votes for each
candidate.
FPTP in multi-member districts (the
Party Block Vote)
count the votes for each
party list
Limited vote the votes for each
candidate
Single Non-Transferable Vote
(SNTV)
the votes for each
candidate
Proportional representation (PR)
with closed list
no panachage between
list - count the votes for
51
each list
PR list with panachage allowed count the votes for each
candidate
If voters are allowed
to cast a single list
vote
instead of voting for
individual candidates,
also count the
number of votes cast
for each list
Two-Round System in single-
member districts
count the votes for each
candidate
If a second ballot is
necessary,
count the votes again
for each candidate
standing at the
second ballot.
Two-Round System in multi-
member districts, with closed lists
count the votes for each
party list
If a second
ballot is necessary,
count the votes again
for each party list
standing at the
second ballot.
FPTP in multi-member districts (the
Block Vote), with panachage allowed
there are two possible
ballot
arrangements: a. Each
seat in the district is
numbered in a
distinctive way (Seat
"A", Seat "B", etc.), with
one distinct
competition for each
seat, and each elector
has a vote for each seat.
IV. Sistem Pemilu di Indonesia
a. Sistem pemilu tahun 2009
Sebelum mengupas sistem pemilu tahun 2009 di Indonesia, ada baiknya kita
mengetahui sekilas tentang informasi umum terkait dengan Pemilu ketiga di era
reformasi tersebut.
1. Sekilas Informasi tentang Pemilu 2009
Pemilu tahun 2009 merupkaan Pemilu ketiga setelah dimulainya era
reformasi. Sebagaimana diketahui, sejak dibukanya kran demokratisasi dan
52
liberalisme politik, terjadi sebuah perubahan fundamental dalam pemilu di
Indonesia, antara lain:
a. Penerapan sistem multi-partai sejak Pemilu 1999;
b. Diadopsinya sistem bikameral melalui pembentukan Dewan Perwakilan
Daerah sejak pemilu tahun 2004;
c. Diakomodasinya partai lokal khusus untuk Provinsi Nangroe Aceh
Darussalaam pada pemilu tahun 2009;
d. Dimulainya pergeseran sistem penentuan calon terpilih yang lebih cederung
merefleksikan sistem distrik, melalui model open list atau sistem proporsional
dengan daftar calon terbuka pada pemilu 2004;
e. Diterapkannya sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak,
yang berarti menggeser sistem penentuan calon terpilih dari model
proporsional yang berbasis kepada kewenangan partai politik ke arah sistem
distrik yang berbasis kepada kewenangan pemilih/calon;
f. Diintrodusirnya sistem penyederhanaan partai sejak pemilu 2004 dengan
penerapan electoral threshold pada pemilu 2004, dan penerapan electoral
threshold ditambah parliamentary threshold pada pemilu 2009;
g. Dilakukannya upaya eksperimentasi sistem penghitungan suara dan
penentuan perolehan kursi secara terus menerus, salah satunya melalui
modifikasi sistem penghitungan suara dalam 3 tahap pada pemilu tahun 2009;
h. Dilakukannya upaya peningkatan kadar representasi politik dan penguatan
relasi dan akuntabilitas partai dan anggota DPR dengan konstituennya melalui
pemekaran jumlah daerah pemilihan.
53
Berbagai perubahan tersebut, memang tidak dapat dilepaskan dari
dorongan besar untuk menciptakan sistem Pemilu yang sesuai dengan karakter
politik Indonesia, namun pada saat yang sama warna pertarungan kepentingan
politik antar partai politik juga mendominasi konsensus atas pilihan sistem yang
akan dipergunakan. Hal ini terutama terlihat dalam perubahan desain sistem
kepartaian dan sistem penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi partai
politik.
Pada pemilu 2009, jumlah daerah pemekaran untuk Pemilu anggota
DPR RI mengalami pemekaran menjadi 77 daerah pemilihan, diikuti oleh 38 parti
di tingkat nasional. Adapun statisktik Pemilu 2009 dapat dilihat dalam tabel
berikut ini:
Tabel 5
Jumlah Dapil dan Jumlah Pemilih dalam Pemilu 2009 39
39 Pemilu dalamAngka
54
Dari 171 juta pemilih dalam pemilu 2009, hampir 50 juta pemilih
tidak menggunakan hak pilihnya. Angka voters turnout dalam pemilu 2009 ini
sangat tinggi dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Demikian juga angka
kesalahan dalam memberikan suara (suara tidak sah) yang mencapai jumlah 17,4
juta. Faktor yang dituding menjadi penyebab tingginya angka voter turnout dan
suara tidak sah adalah lemahnya sosialisasi dan kerumitan sistem pemberian
suara.
Tabel 6
Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 40
40 Pemilu dalamAngka
55
Adapun hasil perolehan suara Pemilu 2009, baik sebelum maupun
setelah putusan MK terkait perselisihan hasil pemilu sebagai berikut:
Tabel 7
56
HASIL PEROLEHAN SUARA PEMILU 2009 41
Sebelum dan sesudah Putusan MK
41 Pemilu dalamAngka
57
Dari konfigurasi hasil perolehan suara tersebut di atas, KPU
menetapkan perolehan kursi partai politik dalam Pemilu tahun 2009 sebagai
berikut:
Tabel 8
JUMLAH PEROLEHAN KURSI DPR PARPOL PESERTA PEMILU 2009 42
Catatan: Partai Politik (parpol) Peserta Pemilu 2009 yang diikutsertakan dalam penentuan
perolehan kursi DPR-RI adalah parpol yang memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional (lolos Parliamentary
Threshold)
2. Sistem Pemilu 2009
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) menyatakan
bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
42 Sumber
http://mediacenter.kpu.go.id/images/mediacenter/data_terbaru/MAYDAY/oK/JUMLAH_PEROLEHAN_KURSI_
DPR_PARPOL_PESERTA_PEMILU_2009.pdf
58
undang Dasar”, yang oleh Pasal 22E ayat (6) ditegaskan bahwa perwujudan
kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui lembaga perwakilan rakyat, baik di
tingkat nasional maupun daerah, dan lembaga perwakilan daerah, yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimaksudkan
untuk terpilihnya anggota, dan terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat
menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah
sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia diwarnai dengan
dinamika yang sangat tinggi. Pada masing-masing periode pemilu, terdapat
beberapa pergantian tujuan, system dan teknis penyelenggaraan pemilu. Hal ini
tidak terlepas dari pengaruh dinamika relasi kekuasaan antar kekuatan politik
yang terjadi pada masa itu, serta keinginan untuk melakukan eksperimentasi dan
perekayasaan system pemilu untuk mencapai perbaikan kualitas pemilu sebagai
instrument demokrasi.
59
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang bersifat nasional
di Indonesia. Sebelum pemilu yang bersifat nasional tersebut, Indonesia pernah
melaksanakan pemilu yang bersifat lokal. Pemilu yang bersifat lokal tersebut
pernah dilaksanakan di dua daerah di Indonesia, yaitu daerah Minahasa dan
Yogyakarta pada tahun 1951. Pemilu di Minahasa memilih secara langsung 25
anggota DPRD, sedangkan pemilu di Yogyakarta memilih secara tidak langsung
anggota DPRD. Pemilih memilih 7.268 elektor yang bertemu lima pecan
kemudian untuk memilih 40 anggota DPRD.
Jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, pemilu dalam skala terbatas
juga pernah dilakukan. Pemilu dilakukan untuk memilih anggota Volksraad,
dimana sebagian anggotanya dipilih secara tidak langsungdan sebagaian yang lain
diangkat oleh Gubernur Jenderal. Anggota Volksraad terdiri dari orang Eropa,
Indo-Arab, Indo-Cina dan Pribumi.
Sistem pemilu adalah hubungan saling terkait antara instrumen-
instrumen teknis pemilu yang terdiri dari: [1] besaran daerah pemilihan, [2]
metode pencalonan, [3] metode pemberian suaran, dan [4] metode penghitungan
suara.
Hubungan antara keempat instrument teknis tersebut, secara umum
menghasilkan tiga sistem pemilu, yaitu: [1] sistem pluralitas-mayoritas, [2] sistem
semi-proporsional, dan [3] sistem proporsional.43
43 Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majotarian and Counsensus Government in Twety-One Caountries,
(New Haven and London: Yale University Press,1984),Dieter Nohlen, Elections and Electoral System, (New
Delhi: Macmilan,1996).
60
Tabel 9
HUBUNGAN ANTARA INSTRUMEN TEKNIS PEMILU DAN PEMBENTUKAN
SISTEM PEMILU
No. Instrumen
Teknis
Pluraitas-
Mayoritas
Proporsional Semi-
Proporsional
1. Besaran
daerah
pemilihan
Satu kursi Banyak kursi Sedikit kursi
2. Metode
Pencalonan
Calon
individual
Dicalonkan partai,
dg daftar tertutup
Dicalonkan partai,
dg daftar terbuka
3. Metode
Pemberian
Suara
Memilih satu
calon
Memilih satu partai Memilih satu partai
dan/atau satu calon
4. Metode
Penghitungan
Suara
Mayoritas Proporsional dan
nomor urut
Proporsional dan
suara terbanyak
Sistem pemilu mana yang dipilih oleh suatu negara tergantung pada
prioritas tujuan yang hendak dicapai lewat pemilu. Sebab tidak ada satu pun
sistem pemilu yang bisa digunakan untuk mencapai ketiga tujuan (keterwakilan
politik, integrasi nasional, dan pemerintahan efektif) sekaligus, pada tingkat dan
waktu yang sama. Misalnya, bila keterwakilan politik hendak dikedepankan,
sistem proporsional lebih tepat; namun bila pemerintahan efektif yang hendak
dicapai, sistem mayoritas-pluralitas lebih pas.
Perkembangan system penyelenggaraan pemilu di Indonesia dapat
disajikan secara sederhana dalam bentuk table berikut ini:
61
Tabel 10
Perbandingan System Pemilu di Indonesia (1955-2004)
SISTEM 1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004
Dasar Hukum UU No. 7 tahun 1953
Pemilu
UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilu
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1975 (perubahan
pertama atas UU nomor 15
tahun 1969), dan PP nomor 1
tahun 1976.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1980 (perubahan kedua atas UU
nomor 15 tahun 1969), dan PP nomor
41 tahun 1980
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1985 (perubahan ketiga
atas UU nomor 15 tahun 1969), PP nomor 43 tahun 1985,
PP nomor 37 tahun 1990.
PP nomor 10 thun
1995, PP nomor 74
tahun 1996. Kedua PP
ini hanya merubah
mekanisme
pendaftaran pemilih
dan kampanye
UU nomor 3 tahun 1999, PP
nomor 33 tahun 1999
UU nomor 12 tahun 2003
Kepartaian Multi partai Multi partai Multi partai sederhana (fusi 10 partai menjadi 3 organisasi kekuatan social politikpartai, yakni PPP, PDI, Golkar) Multi Partai Multi Partai
Jenis Pemilu  Pemilu anggota
Parlemen
 Pemilu anggota
Konstituante 44
 Pemilu anggota DPR
 Pemilu anggota DPRD I (Provinsi)
 Pemilu anggota DPRD II (Kabupaten)

 Pemilu anggota DPR dan DPRD
 Pemilu anggota DPD
 Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden
Sistem yang
digunakan
System proporsional sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar  Proporsional dengan varian
Proporsional Daftar (terbuka)
untuk memilih anggota DPR
 Single Non Transverable Vote
(SNTV) untukmemilih anggota
DPD
 Mayoritas/Pluralitas dengan varian
Two Round System (Sistem Dua
Putaran) utnukmemilih Presiden
dan Wakil Presiden
Peserta dan
pencalonan
Partai politik dan calon
perseorangan untukPemilu
anggota DPR dan
anggota Konstituante
Peserta Pemilu yang dapat
mengajukan calon adalah:
 Organisasi yang bukan
termasukorganisasi
terlarang
 Partai politik
 Organisasi Golongan Karya
Peserta Pemilu yang dapat
mengajukan calon adalah:
 Partai politik
 Organisasi Golongan Karya
Partai politik untuk Pemilu anggota
DPR dan DPRD
Partai politik untuk Pemilu
anggota DPR dan DPRD,
dengan penambahan
ketentuan tentang
keharusan parpol dan
Golkar untuk
mencantumkan Pancasila
sebagai satu-satunya asas
Partai politik untuk Pemilu
anggota DPR dan DPRD
Partai politik untuk
Pemilu anggota DPR
dan DPRD
Terdapat pengetatan syarat partai
politik untuk menjadi peserta
pemilu yakni:
 diakui keberadaannya sesuai
dengan Undang-undang tentang
Partai Politik;
 memiliki pengurus di lebih dari
1/2 (setengah) jumlah propinsi
di Indonesia;
 memiliki pengurus di lebih dari
1/2 (setengah) jumlah
kabupaten/kotamadya di
propinsi
 Partai politik untuk Pemilu
anggota DPR dan DPRD
 Individu calon anggota DPD
 Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang dicalonkan
oleh Partai Politik
Terdapat pengetatan persyaratan
parpol untuk dapat menjadi peserta
pemilu sebagai berikut:
 memiliki pengurus lengkap
sekurang-kurangnya di 2/3 (dua
pertiga) dari seluruh jumlah
provinsi;
 memiliki pengurus lengkap
sekurang-kurangnya di 2/3 (dua
pertiga) dari jumlah kabupaten/kota
di provinsi
 memiliki anggota sekurang-
kurangnya 1.000 (seribu) orang
atau sekurang-kurangnya 1/1000
(seperseribu) dari jumlah penduduk
pada setiap kepengurusan partai
politik yang dibuktikan dengan
kartu tanda anggota partai politik;
 harus mempunyai kantor tetap;
Jumlah peserta
pemilu
29 Parpol 10 partai politik 3 partai politik 48 partai politik 24 Partai Politik
Besaran daerah
pemilihan
DPR
16 daerah pemilihan
berbasis provinsi, namun
sebagian merupakan
gabungan provinsi,
26 daerah pemilihan berbasis
provinsi untuk Pemilu anggota
DPR
26 daerah pemilihan berbasis
provinsi
27 daerah pemilihan berbasis
provinsi (penambahan provinsi
Timor Timur)
27 daerah pemilihan
berbasis provinsi
27 daerah pemilihan
berbasis provinsi
27 daerah pemilihan
berbasis provinsi
27 daerah pemilihan berbasis
provinsi
69 Daerah Pemilihan yang terdiri
atas provinsi atau bagian dari
provinsi
44 Konstituante adalahlembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang-UndangDasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950.
62
Kursi yanga
diperebutkan
257 kursi DPR
514 kursi konstituante
Jumlah anggota DPR adalah 460 dengan perincian:
 360 DPR dipilih melalui pemilu;
 100 kursi diangkat,
 500 kursi DPR  550 kursi DPR
 128 kursi DPD
 Memilih Prsiden dan wakil
presiden
Jumlah kursi di
Daerah
Pemilihan
Jumlah kursi di daerah
pemilihan paling sedikit 6
kursi, dan dapat bertambah
berdasarkan perhitungan
pembagian sisa kursi yang
tersedia dengan
memeprhatikan
perimbangan dengan
jumlah pendudukdi daerah
pemilihan.
Jumlah kursi Anggota DPR untuksetiap Daerah Pemilihan ditetapkan berdasarkan pada jumlah pendudukdi Daerah Tingkat I, dengan ketentuan setiap Daerah Tingkat II mendapat
sekurang-kurangnya I (satu) kursi
……………. Jumlah kursi pada setiap daerah
pemilihan dapat terdiri atas paling
rendah 3 kursi dan paling banyak12
kursi, yang penentuannya didasarkan
pada perimbangan jumlah penduduk
Syarat Pemilih  18 tahun atau sudah
menikah.
 tidak sedang dalam
keadaan dipecat dari hak-
pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang
tidak dapat diubah lagi;
 tidak sedang menjalani
hukuman penjara atau
kurungan, termasukdi
dalamnya kurungan
pengganti berdasarkan
putusan pengadilan, yang
tidak dapat diubah lagi,;
 nyata-nyata terganggu
ingatannya.
 Warganegara RepublikIndonesia, yang pada waktu pendaftaran pemilih untukpemilihan umum sudah genap berumur 17 tahun atau sudah kawin terlebih dulu mempunyai hakmemilih.
 Warganegara RepublikIndonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,termasukorganisasi massanya atau yang terlibat langsung ataupun taklangsung dalam, Gerakan Kontra
Revolusi G.330S/P.K.l." atau organisasi terlarang lainnya tidakdiberi hakuntukmemilih dan dipilih
 Nyata-nyata tidaksedang terganggu jiwa/ingatannya;
 tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidakdapat diubah lagi, karena tindakpidana yang dikenakan ancaman pidana sekurang-
kurangnya lima tahun.
 tidak sedang dicabut hakpilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidakdapat diubah lagi
 Anggota Angkatan Bersenjata RepublikIndonesia tidakmenggunakan hakmemilih.
 Warga negara
Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut warga
negara yang pada waktu
pemungutan suara untuk
Pemilihan Umum sudah
berumur 17 (tujuh belas) tahun
atau sudah/pernah kawin
mempunyai hakmemilih
 nyata-nyata tidak sedang
terganggu jiwa/ingatannya;
 tidak sedang menjalani pidana
penjara atau pidana kurungan
berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh
kekuatan hokum tetap, karma
tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
 tidak sedang dicabut hak
pilihnya berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hokum
tetap.
 Warga negara RepublikIndonesia
yang pada hari pemungutan suara
sudah berumur 17 (tujuh belas)
tahun atau sudah/pernah kawin
mempunyai hakmemilih.
 nyata-nyata tidaksedang terganggu
jiwa/ingatannya;
 tidak sedang dicabut hakpilihnya
berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
System
pendaftaran
pemilih
Pendaftaran pemilih
dilakukan oleh Panitia
Pendaftaran Pemilih
 Pendaftar mendatangi rumah-
rumah pendudukuntuk
mencatat dari penghuni
rumah-rumah itu nama-nama
pemilih
 Pemilih
Setiap pemilih berkewajiban
memberitahukan kepada
Kepala Desanya atau Kepala
Daerah yang
setingkat dengan Desa atau
bagi mereka yang bertempat
tinggal diluar negeri kepada
Kepala Perwakilan Republik
Indonesia yang bersangkutan,
tentang segala hal yang dapat
mengakibatkan perubahan
pada daftar pemilih bagi
dirinya sebagai pemilih.
System stelsel aktif, petugas mendatangi pemilih untukdidaftar. Pengaturan tentang mekansime pendaftaran pemilih lebih lengkap hingga mencakup pendaftaran
terhadpa pemilih yang tinggal di asrama, rumah sakit, penjara, yang tinggal di kediaman perwakialn asing, yang tidakmemiliki tempat tinggal tetap, dan pemilih di
luar negeri.
Pada pemilu 1997, ditambahkan pengaturan mekanisme pendafatran pemilih bagi masyarakat yang mengikuti program transmigrasi 45
.
 Pendaftaran pemilih di tempat
yang ditentukan, dilakukan
secara aktif oleh pemilih
dengan menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk(KTP) atau
bukti diri lainnya yang sah
 Untuk Desa/Kelurahan/UPT
yang secara geografis sulit
dijangkau oleh pemilih dan
atau kondisi masyarakatnya
masih sulit berprakarsa untuk
mendaftarkan diri. PPS
berkewajiban aktif melakukan
pendaftaran pemilih yang
bersangkutan
 Pendaftaran pemilih dilakukan
oleh petugas pendaftar pemilih
dengan mendatangi kediaman
pemilih dan/atau dapat dilakukan
secara aktif oleh pemilih.
 Pendaftaran pemilih bagi warga
negara RepublikIndonesia yang
berdomisili di luar negeri
dilakukan secara aktif oleh
pemilih dengan mendaftarkan diri
ke PPLN setempat dan/atau dapat
dilakukan oleh petugas pendaftar
pemilih.
Penyuaraan  Mencoblos satu partai
 Menulis nama calon
perseorangan
Pemilih memberikan suaranya kepada suatu organisasi dengan mencoblos salah satu di antara tanda
gambar yang tercantum dalam masing-masing surat suara
 Memilih satu partai  Pemberian suara untukPemilu
anggota DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota dilakukan
45 PP nomor 10 tahun 1995
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannyaBab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Lunandi Syaiful
 
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Wilson Therik
 
Penanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaranPenanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaran
Ahmad Solihin
 
Problematika verifikasi parpol
Problematika verifikasi parpolProblematika verifikasi parpol
Problematika verifikasi parpol
Ahsanul Minan
 
Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...
Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...
Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...
Maiton Gurik Putra Papua
 

Was ist angesagt? (19)

Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannyaBab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
 
Muktiono materi presentasi
Muktiono materi presentasiMuktiono materi presentasi
Muktiono materi presentasi
 
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
 
Buku Panduan KPPS Satu Pasangan Calon
Buku Panduan KPPS Satu Pasangan CalonBuku Panduan KPPS Satu Pasangan Calon
Buku Panduan KPPS Satu Pasangan Calon
 
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluRefleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
 
Penegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukada
Penegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukadaPenegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukada
Penegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukada
 
Penanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaranPenanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaran
 
Materi UU Pemilu tahapan dan program pemilu 2019
Materi UU Pemilu tahapan dan program pemilu 2019Materi UU Pemilu tahapan dan program pemilu 2019
Materi UU Pemilu tahapan dan program pemilu 2019
 
Pendidikan pemilih untuk pemula
Pendidikan pemilih untuk pemulaPendidikan pemilih untuk pemula
Pendidikan pemilih untuk pemula
 
Problematika verifikasi parpol
Problematika verifikasi parpolProblematika verifikasi parpol
Problematika verifikasi parpol
 
Sekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemiluSekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemilu
 
Bab i
Bab   iBab   i
Bab i
 
Potensi kerawanan pemilu-updated
Potensi kerawanan pemilu-updatedPotensi kerawanan pemilu-updated
Potensi kerawanan pemilu-updated
 
Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...
Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...
Training penanganan pelanggaran pwmilu untuk staf sekretariat panwas pemilu p...
 
Isu Krusial dalam Pilkada 2018
Isu Krusial dalam Pilkada 2018Isu Krusial dalam Pilkada 2018
Isu Krusial dalam Pilkada 2018
 
55555555555555
5555555555555555555555555555
55555555555555
 
PENANGANAN PELANGGARAN PADA PILKADA TAHUN 2020
PENANGANAN PELANGGARAN PADA PILKADA TAHUN 2020PENANGANAN PELANGGARAN PADA PILKADA TAHUN 2020
PENANGANAN PELANGGARAN PADA PILKADA TAHUN 2020
 
Pilkada sebagai sumber korupsi
Pilkada sebagai sumber korupsiPilkada sebagai sumber korupsi
Pilkada sebagai sumber korupsi
 
Pengawasan pemutakhiran daftar pemilih pilgub pilbup
Pengawasan pemutakhiran daftar pemilih pilgub pilbupPengawasan pemutakhiran daftar pemilih pilgub pilbup
Pengawasan pemutakhiran daftar pemilih pilgub pilbup
 

Ähnlich wie Perlindungan suara pemilih

Essay hukum tata negara
Essay hukum tata negaraEssay hukum tata negara
Essay hukum tata negara
Nasria Ika
 
Sistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
Sistem Pemilu dan Pemilukada.pptSistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
Sistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
hendra800194
 
Kajian teori e voting pemilu
Kajian teori e voting pemiluKajian teori e voting pemilu
Kajian teori e voting pemilu
Trinandha Yudha
 
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeTransparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Ahsanul Minan
 

Ähnlich wie Perlindungan suara pemilih (20)

Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu
Opovov & sistem penghitungan kursi pemiluOpovov & sistem penghitungan kursi pemilu
Opovov & sistem penghitungan kursi pemilu
 
FS-SISTEM-PEMILU-MARUN.pdf
FS-SISTEM-PEMILU-MARUN.pdfFS-SISTEM-PEMILU-MARUN.pdf
FS-SISTEM-PEMILU-MARUN.pdf
 
Tinjauan kritis
Tinjauan kritisTinjauan kritis
Tinjauan kritis
 
Essay hukum tata negara
Essay hukum tata negaraEssay hukum tata negara
Essay hukum tata negara
 
Sistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
Sistem Pemilu dan Pemilukada.pptSistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
Sistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
 
Sistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
Sistem Pemilu dan Pemilukada.pptSistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
Sistem Pemilu dan Pemilukada.ppt
 
Sistem pemilu
Sistem pemiluSistem pemilu
Sistem pemilu
 
Sistem Pemilu
Sistem PemiluSistem Pemilu
Sistem Pemilu
 
Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)
Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)
Cara penghitungan kursi legislatif pemilu 2014 (sumber: ijrsh.com)
 
Kajian teori e voting pemilu
Kajian teori e voting pemiluKajian teori e voting pemilu
Kajian teori e voting pemilu
 
BAHAN TENTIR UAS HTN.pdf
BAHAN TENTIR UAS HTN.pdfBAHAN TENTIR UAS HTN.pdf
BAHAN TENTIR UAS HTN.pdf
 
Hukum_Tata_Negara.ppt
Hukum_Tata_Negara.pptHukum_Tata_Negara.ppt
Hukum_Tata_Negara.ppt
 
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
 
Perbandingan sistem pemilu di indonesia
Perbandingan sistem pemilu di indonesiaPerbandingan sistem pemilu di indonesia
Perbandingan sistem pemilu di indonesia
 
pemilu masa sekarang.pptx
pemilu masa sekarang.pptxpemilu masa sekarang.pptx
pemilu masa sekarang.pptx
 
SISTEM PEMILU.pptx
SISTEM PEMILU.pptxSISTEM PEMILU.pptx
SISTEM PEMILU.pptx
 
Sistem pemilihan umum
Sistem pemilihan umumSistem pemilihan umum
Sistem pemilihan umum
 
Makalah pemilu di indonesia
Makalah pemilu di indonesiaMakalah pemilu di indonesia
Makalah pemilu di indonesia
 
Makalah pemilu di indonesia
Makalah pemilu di indonesiaMakalah pemilu di indonesia
Makalah pemilu di indonesia
 
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeTransparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
 

Mehr von Ahsanul Minan

Mehr von Ahsanul Minan (20)

Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptxAnalisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
 
Keterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi PemiluKeterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi Pemilu
 
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan PartisipatifDigitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
 
Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024
 
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di IndonesiaTantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
 
Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019
 
Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi PublikKeterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi Publik
 
Potret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfPotret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdf
 
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan PartisipatifSosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
 
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemiluTantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
 
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
 
Science and Research
Science and Research Science and Research
Science and Research
 
Hans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & MoralHans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & Moral
 
Penyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawasluPenyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawaslu
 
Menyoal revisi UU MD3
Menyoal revisi UU MD3Menyoal revisi UU MD3
Menyoal revisi UU MD3
 
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
 
Standard pengawasan pungut hitung Pemilu
Standard pengawasan pungut hitung PemiluStandard pengawasan pungut hitung Pemilu
Standard pengawasan pungut hitung Pemilu
 
Gender & hukum islam di indonesia
Gender & hukum islam di indonesiaGender & hukum islam di indonesia
Gender & hukum islam di indonesia
 
Evaluasi pengawasan netralitas asn dalam pilkada 2017
Evaluasi pengawasan netralitas asn dalam pilkada 2017Evaluasi pengawasan netralitas asn dalam pilkada 2017
Evaluasi pengawasan netralitas asn dalam pilkada 2017
 
Strategi penelusuran penyumbang dana kampanye dalam pemilukada
Strategi penelusuran penyumbang dana kampanye dalam pemilukadaStrategi penelusuran penyumbang dana kampanye dalam pemilukada
Strategi penelusuran penyumbang dana kampanye dalam pemilukada
 

Perlindungan suara pemilih

  • 1. PERLINDUNGAN ATAS KESETARAAN HAK SUARA PEMILIH DALAM SISTEM PENGHITUNGAN SUARA PADA PEMILU 2009 Oleh: Ahsanul Minan 1006827524 Tugas Kuliah Hak Asasi Manusia Magister Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Angkatan 2010
  • 2. 2 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Pemilu diakui secara internasional sebagai instrumen demokratis dalam mewujudkan hak politik rakyat untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. DUHAM menyatakan: Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih 1. Pemberian suara rakyat pemilih dalam suatu pemilihan umum merupakan manifestasi hak memilih dari warga negara (the right to vote) dalam kerangka implementasi asas demokrasi konstitusional2 dan prinsip negara hukum3. Guna menjamin manifestasi dari hak memilih tersebut, maka dalam berbagai teori tentang sistem pemilu, prinsip One Person, One Vote, One Value atau lebih dikenal dengan prinsip opovov menjadi salah satu kata kunci yang sangat penting untuk 1 Universal Declaration on Human Rights Deklarasi pasal 25 2 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat(2) 3 Op.citPasal 1 ayat(3)
  • 3. 3 direalisasikan. Instrument mekanik dalam sistem pemilu yang berhubungan erat dengan upaya ini adalah sistem penghitungan dan konversi suara. Dalam pemilu eksekutif yakni pemilihan umum untuk memilih Kepala Pemerintahan, sistem penghitungan suara tidaklah rumit, karena kursi yang diperebutkan hanya satu pasang, sehingga calon yang mendapatkan suara terbanyak (terkadang disertai syarat persebaran suara) dipastikan sebagai pemenang. Namun, dalam pemilu legislatif, persoalan sistem penghitungan suara menjadi faktor yang selalu diperdebatkan. Besarnya jumlah kursi yang diperebutkan dan jumlah daerah pemilihan yang terbagi ke dalam banyak daerah pemilihan menghasilkan kerumitan dalam penentuan partai politik yang berhak mendapatkan kursi parlemen. Sistem penghitungan suara dan konversi suara berkaitan erat dengan sistem pemilu yang dipilih, apakah proporsional atau distrik. Sistem distrik lebih sederhana karena menganut prinsip "the winner takes all" dan setiap daerah pemilihan hanya diwakili dengan satu kursi parlemen, meskipun sistem ini dianggap kurang sesuai bagi negara yang memiliki tingkat pluralitas yang tinggi. Tidak demikian halnya dengan sistem proporsional yang dianggap lebih pas untuk negara yang pluralistik. Dalam sistem proporsional, pilihan atas metode penghitungan suara apakah menggunakan kuota atau divisor, akan menimbulkan implikasi masalah yang berbeda. Sistem divisor akan menghasilkan kepastian bahwa seluruh kursi akan terbagi habis di dapil, sedangkan sistem kuota cenderung menghasilkan sisa kursi.
  • 4. 4 Adanya sisa kursi (yang cenderung muncul dalam sistem kuota) ini selalu menyisakan permasalahan dan kontroversi dalam penentuan mekanisme pembagian sisa kursi tersebut, antara lain: 1. Apakah sisa kursi sebaiknya dibagi habis secara berurutan berdasarkan kadar besarnya perolehan sisa suara partai di daerah pemilihan (metode yang umumnya dipergunakan adalah largest reminders atau metode Kuota varian Hare/Niemeyer/Hamilton- LR) ? Dengan demikian kursi dibagi habis di daerah pemilihan, atau 2. Apakah sisa kursi ditarik ke level penghitungan setingkat di atasnya misalnya di tingkat provinsi, (atau sisa kursi ditarik ke tingkat nasional), untuk digabungkan dengan sisa kursi di daerah pemilihan lain yang sama-sama masih memiliki sisa kursi ? Berbagai pilihan tersebut memiliki banyak dampak, tidak hanya pada perolehan kursi partai politik saja, melainkan juga dampak terhadap proporsionalitas antara perolehan suara partai dengan perolehan kursinya, tingkat fragmentasi kursi parlemen, tingkat efektifitas partai politik di parlemen (effective number of parliamentary parties) dan bahkan juga berdampak pada tingkat kesetaraan nilai suara pemilih. Dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak pemilu pertama tahun 1955, hingga pemilu terakhir pada tahun 2009, sistem pemilu yang dianut pada dasarnya sangat konsisten yaitu sistem proporsional, dengan metode penghitungan suara adalah metode kuota (atau yang dikenal dengan sebutan Bilangan Pembagi Pemilih). Namun demikian, pola perlakuan terhadap sisa kursi beberapa kali mengalami perubahan. Misalnya dalam
  • 5. 5 pemilu 1999, kursi dibagi habis di tingkat daerah pemilihan dengan cara Sisa Suara Terbanyak dan Terbesar, pada pemilu 2004 sisa kursi dibagi habis di tingkat daerah pemilihan dengan menggunakan metode Largest Remainders, dan pada tahun 2009 sisa kursi ditarik ke tingkat provinsi dengan sebelumnya dilakukan penghitungan berdasarkan 50% BPP, selanjutnya (jika masih terdapat sisa kursi) maka ditarik ke provinsi untuk ditetapkan BPP baru, dan selanjutnya (jika masih terdapat sisa kursi) digunakan metode Largest Remainders. Secara sederhana, metode penghitungan suara dan penetuan perolehan kursi yang dipergunakan dalam pemilu 1999, 2004 dan 2009 dapat digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 1 Perbandingan sistem penentuan perolehan kursi dalam Pemilu 1999-2004-2009 di Indonesia 1999 2004 2009 Tahap 1: kursi dibagi dengan cara membagi perolehan suara partai dengan angka BPP. Bagi yang memenuhinya, maka berhak mendapatkan kursi. Tahap 2: apabila masih terdapat sisa kursi, maka dibagi secara berurutan berdasarkan sisa suara terbanyak. Tahap 1: kursi dibagi dengan cara membagi perolehan suara partai dengan angka BPP. Bagi yang memenuhinya, maka berhak mendapatkan kursi. Tahap 2: apabila masih terdapat sisa kursi, maka dibagi secara berurutan berdasarkan sisa suara terbanyak. 1. Tahap I: perolehan kursi parpol ditentukan berdasarkan atas keterpenuhan angka BPP di tingkat daerah pemilihan. 2. Tahap II: dalam hal masih terdapat sisa kursi dari proses penentuan perolehan kursi pada tahap I, maka dilakukan penghitungan suara untuk penentuan perolehan kursi dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai
  • 6. 6 politik yang memiliki suara sama dengan atau melebihi jumlah 50% BPP. 3. Tahap III: dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi habis pada tahap II, maka sisa kursi dan sisa suara partai politik ditarik ke tingkat provinsi, untuk kemudian dijumlahkan untuk menentukan BPP baru di tingkat provinsi. partai politik yang memiliki sisa suara sama dengan atau melebihi BPP baru di tingkat provinsi berhak mendapatkan kursi. Jika tidak ada partai yang sisa suaranya sama dengan atau melebihi BPP Provinsi, atau masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi, maka dilakukan penentuan perolehan kursi dengan cara membagi sisa kursi secara berurutan kepada partai politik yang memiliki sisa suara terbanyak sampai sisa kursi terbagi habis. Kursi habis di dapil Kursi habis di dapil Kursi tidak habis di dapil Model penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi dalam Pemilu 2009 sebagaimana diatur oleh UU nomor 10 tahun 2008 tersebut memunculkan beberapa permasalahan, antara lain:
  • 7. 7 1. Pengertian suara atau sisa suara yang akan diikutkan dalam penghitungan tahap 2 dan tahap 3. Permasalahan ini menimbulkan kontorversi terutama dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung, meskipun akhirnya kontroversi ini berhenti dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penafsiran konstitusional bahwa suara yang dihitung dalam penghitungan tahap 2 dan 3 adalah sisa suara dari suara partai yang telah tekonversi ke dalam kursi pada penghitungan tahap 1, dan juga suara parpol yang belum terkonversi menjadi kursi pada penghitungan tahap 1. Pengertian pertama merujuk pada pengertian sisa suara, sedangkan penafsiran kedua merujuk pada pengertian suara. 2. Apakah sisa suara dari seluruh partai, dari seluruh dapil diikutsertakan dalam proses perebutan sisa kursi, ataukah hanya sisa suara dari seluruh partai yang berasal dari daerah pemilihan yang memiliki sisa kursi saja yang dapat diikutsertakan dalam proses perebutan sisa kursi. Terhadap permasalahan kedua ini, berdasarkan permohonan pengujian atas UU nomor 10 tahun 2008, MK telah membuat putusan yang menyatakan bahwa penentuan perolehan kursi tahap 3 dilakukan dengan cara memperhitungan seluruh sisa suara dari seluruh partai politik dari seluruh daerah pemilihan, untuk ditentukan BPP baru di tingkat provinsi. Meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, namun kiranya putusan ini sangat menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama dalam keterkaitannya dengan upaya untuk mewujudkan prinsip kesetaraan suara pemilih. Putusan MK ini berimplikasi kepada penyamaan perlakuan terhadap suara pemilih dari dapil yang masih memiliki sisa kursi dengan suara pemilih dari dapil yang sudah tidak memiliki sisa kursi. Kesemuanya ditarik ke tingkat provinsi untuk diperhitungkan dalam proses penetuan perolehan kursi
  • 8. 8 tahap III. Akibatnya, suara pemilih dari dapil yang telah habis kursinya masih dihitung kembali pada penghitungan tahap III, sehingga dapat dikatakan bahwa suara pemilih tersebut dihitung dua kali. II. RUMUSAN MASALAH Guna mengkaji persoalan tersebut di atas, maka penelitian ini disusun dengan berdasarkan atas pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur cakupan hak sipil dan politik dalam pemilu ? 2) Bagaimana perlindungan atas kesetaraan nilai suara pemilih dalam sistem penghitungan suara dalam pemilu 2009 ? 3) Bagaimana implikasi sistem penghitungan sisa suara versi MK terhadap kesetaraan nilai suara pemilih dalam pemilu 2009 ? III. METODOLOGI 1. Legal Analysis, metode ini dipergunakan untuk filosofi, konstitusionalitas, konsistensi, kepastian hukum dari norma-norma pengaturan yang terdapat dalam UU Pemilu. 2. Empirical analysis, metode ini dipergunakan untuk mengkaji cara pandang hakim MK dalam melakukan pengujian atas UU Pemilu, serta melihat dampak dari putusan MK terhadap cara dan hasil penghitungan suara dan perolehan kursi.
  • 9. 9 BAB II HAM DALAM PEMILU I. Tentang Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia4. Hak asasi melekat pada manusia semenjak lahir5 atau semenjak dia ada sebagai manusia dan tidak terpengaruh oleh berbagai perbedaan latar belakang warna kulit, suku, agama maupun pandangan politiknya. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Hak ini tidak dapat dicabut meskipun manusia tersebut telah melakukan atau berperilaku yang sangat kejam. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Dalam konteks historis, doktrin tentang asal usul HAM muncul dengan disertai perdebatan antara kelompok filosif yang menganut aliran natural rights theory (dalam wilayah filsafat hukum mengacu kepada teori hukum kodrati/natural law theory) dengan kelompok positivism, dan utilitarianism. Teori natural right memiliki akar sejarah yang sangat panjang bahkan sudah muncul pada era Yunani kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas 6. Pada era ini, hak asasi manusia dianggap berasal dari kodrat alam sehingga bersifat irasional. Dalam perkembangan sejarah, Hugo de Groot mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya 4 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice,Cornell University Press,Ithaca and London, 2003,hlm. 7-21. 5 All human born free, preambul DUHAM. 6
  • 10. 10 menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. John Locke, semakin mengembangkan konsepsi ini dengan mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke- 18. Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh Negara 7. Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Sehingga, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak- hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra- positif mendapat pengakuan kuat. Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, mengatakan bahwa Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.” 8 Di samping itu, terdapat pula Jeremy Bentham yang melontarkan kritik mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana 7 John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration,disuntingoleh J.W. Gough, Blackwell,Oxford,1964 8 Edmund Burke, Reflection on the Revolution in France, ed. Conor CruiseO’Brien,London, 1968
  • 11. 11 asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya? 9. Bentham menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah” 10. Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivism11, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat 12. Ia tidak datang dari “alam” atau “moral”. Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung internasional 13. Pengakuan atas HAM ini semakin besar seiring dengan terbentukanya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945 dan mimpi buruk Perang Dunia II 14. Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur 9 H.L.A. Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press,London, 1982, hlm. 82 10 Bentham, Supply Without Burden or Escheat Vice Taxation,dikutip dari Hart, Essays on Bentham, Oxford University Press,London, 1982 11 Mazhab positivismeadalah anak kandungdari “Abad Pencerahan” yangkental dengan metodemetode empiris.Adalah David Hume yangpertama mengembangkannya. Lihat bukunya, A Treatiseof Human Nature, Fontana Collins,London,1970 12 John Austin, The Provinceof Jurisprudence Determined, W. Rumble (ed.), Cambridge University Press, Cambridge,1995, firstpublished,1832. 13 David Weissbrodt,“Hak-hak Asasi Manusia:Tinjauan dari Perspektif Sejarah,”dalamPeter Davies,Hak Asasi Manusia:Sebuah Bunga Rampai,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta,1994,hlm.1-30 14 Dikutip dari PreamblePiagamPBB
  • 12. 12 pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”. Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak- hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”15. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini. Karel Vasak membuat klasifikasi HAM dengan menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Dia membuat kategori tersebut ke dalam 3 generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan” 16. 1. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia “Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yang muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari 16 Karel Vasak,“A 30-Year Struggle: The Sustained Efforts to Give Force of Law to the Universal Declaration of Human Rights”, Unesco Courier, November, 1977,hlm. 29-32.
  • 13. 13 kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya, dan dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka. Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. 2. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia “Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan
  • 14. 14 sampai pada kesehatan. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” --yang karena itu dianggap bukan hak yang “riil”. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian. Sejumlah negara (seperti Jerman, Meksiko dan Indonesia) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka 3. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia “Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”17. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara- negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak- hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber 17 Lihat pula tulisan Karel Vasak khusus tentang isu ini, For the Third Generation of Human Rights: The Rights of Solidarity, Inaugural Lecture, Tenth Study Session of the International Institute of Human Rights, 2 July 1979
  • 15. 15 daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu 18. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu. Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara Barat agak kontroversial 19. Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan memuaskan pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu 20. Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu --jika memang bisa disebut sebagai “hak”—akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu negara. II. Prinsip keberlakuan hak asasi manusia 18 Philip Alston, “A Third Generation of Solidarity Rights: Progressive Development or Obfuscation of International Human Rights Law”, Netherlands International Law Review, Vol 29, No. 3 (1982), hlm. 307 -322 19 Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, halaman 9. 20 Pembahasan tentang hak-hak generasi ketiga, baik yang bernada meragukan maupun yang bernada optimis, tumbuh dengan subur. Beberapa diantaranya, Subrata Roy, Erik M.G. Denters & Paul J/.I.M. de Waart (eds), The Rights to Development in International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1992. Philip Alston, “Making Space for New Human Rights: The Case of the Rights to Development”, Harvard Human Rights Yearbook, Vol. 1, 1988. James Crawford (ed), The Rights of Peoples, Cl arendon Oxford: Press, 1988. Dan Jan Bertin et.al. (eds), Human Rights in a Plural World: Individuals and Colletivities, Meckler, Westport and London, 1990.
  • 16. 16 Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pembentukan PBB dan pengesahan DUHAM telah mengawali proses internasionalisasi HAM. Meskipun demikian, masih terdapat kontroversi terkait dengan keberlakuan HAM. Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah21. KOVENAN internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan produk Perang Dingin, ia merupakan hasil dari kompromi politik yang keras antara kekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis. Saat itu situasi ini mempengaruhi proses legislasi perjanjian internasional hak asasi manusia yang ketika itu sedang digarap Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Hasilnya adalah pemisahan kategori hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak dalam kategori ekonomi, sosial, dan budaya ke dalam dua kovenan atau perjanjian 21 Teori Universalisme Hak Asasi Manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Teori ini berakar dari teori hak kodrati. Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Sedangkan Cultural relativism (relativisme budaya) mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu, menurut penganut teori ini, hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativismebudaya menolak universalisasi hak asasi manusia,apalagi bilaia didominasi oleh satu budaya tertentu.
  • 17. 17 internasional – yang tadinya diusahakan dapat diintegrasikan ke dalam satu kovenan saja. Tapi realitas politik menghendaki lain. Kovenan yang satunya lagi itu adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini merupakan anak kembar yang dilahirkan di bawah situasi yang tidak begitu kondusif itu, yang telah membawa implikasi-implikasi tertentu dalam penegakan kedua kategori hak tersebut 22. Saat ini Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik itu (selanjutnya disingkat ICCPR) telah diratifikasi oleh 141 Negara. Itu artinya tidak kurang dari 95% Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjumlah 159 negara itu telah menjadi Negara Pihak (State Parties) dari kovenan tersebut. Ditinjau dari segi tingkat ratifikasi, maka dapat dikatakan kovenan ini memiliki tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding dengan perjanjian internasional hak asasi manusia lainnya. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi Negara-Negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Hak-hak negatif apa saja yang termuat dalam ICCPR ? Dengan resiko terjatuh pada penyederhanaan, kita dapat membuat dua klasifikasi terhadap hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis 22 Kasim,Ifdhal,Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik,Bahan Bacaan dalamKursus HAMuntuk Pengacara X, ELSAM, 2005,halaman 1
  • 18. 18 non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara Pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara- negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai Negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights). Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah : (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan). Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpanan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi : (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan
  • 19. 19 suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua Negara Pihak ICCPR. Hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap (progressive realization), dan karena itu bersifat non-justiciable. Kewajiban negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu Negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang pada Pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut : a. Menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan mendapat pemulihan yang efektif, meskipun pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. b. Menjamin bahwa bagi setiap orang yang menuntut pemulihan demikian, haknya atas pemulihan tersebut akan ditetapkan oleh lembaga peradilan, administrasi, atau legislatif yang berwenang, atau lembaga lain yang berwenang, yang ditentukan oleh system hukum negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum. c. Menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. Mengenai implementasi antara kedua kategori hak, baik yang non‐derogable maupun yang derogable. juga mnemiliki batas‐batasnya, yaitu pada batas mana negara tak
  • 20. 20 melakukan intervensi dan pada batas mana pula intervensi harus dilakukan. Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak‐hak setiap orang, terutama hak‐hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak‐hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan atas dua hal; pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau mengekang hak‐hak atau kebebasan berdasarkan UU; kedua, dalam rangka untuk menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak‐hak sipil dan politik, ada dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya menghormati hak‐hak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur‐tangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hak‐hak – melalui tindakannya – negara justru tak melakukan apa‐apa baik karena lalai dan lupa maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judicial). III. HAM dalam Pemilu Berbicara tentang hak asasi manusia dalam konteks pemilu tidak dapat dilepaskan dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dokumen yang menjaid manifesto Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menjadi landasan bagi keluarnya beberapa konvensi internasional sebagai terjemahan lebih detail dari konsepsi hak asasi manusia pada bidang-bidang yang lebih spesifik, misalnya dalam bidang hak-hak
  • 21. 21 sispil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Deklarasi tersebut secara jelas mengakui hak setiap orang untuk terlibat dalam pemerintahan baik secara langsung atau melalui pemilu yang demokratis 23. Selanjutnya Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Konvenan tersebut menyebutkan 2 ketentuan yang sangat penting dan memiliki keterkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia dalam pemilu: A. Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk: 1. Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakilwakil yang dipilih secara bebas; 2. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih 24; B. Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, 23 Pasal 21 menyebutkan bahwa: everyone has the rightto take part in the government of his country,directly or through freely chosen representatives. 24 International Convenanton Civil and Political Rights, Pasal 25 menyebutkan Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:(a) To take part in the conduct of public affairs,directly or through freely chosen representatives; (b) To vote and to be elected atgenuine periodic elections which shall beby universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;
  • 22. 22 bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain 25. Centre for Human Right26 menyebutkan parameter pemilu yang demokratis yang mencakup: 1. Equal, universal and non-discriminatory suffrage 2. Non discrimination and positive measure 3. One person-one vote 4. Legal and technical assurance Salah satu instrument penting untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pemilihan umum, maka secara internasional diakui prinsip One Person One Vote One Valeu (Opovov). Kelahiran prinsip ini memiliki sejarah panjang dan menjadi antithesa dari praktek perbudakan dan ketidakadilan struktural (misalnya di Inggris dan Amerika). Dari proses ini, prinsip opovov dimaksudkan untuk memberikan hak dan ruang yang sama bagi seluruh manusia di suatu wilayah negara untuk terlibat dalam proses Pemilu, dengan menyandang hak memilih dan dipilih yang sama dan setara. Dalam proses selanjutnya, prinsip opovov ini semakin memiliki posisi yang signifikan dalam pemilu dalam hal penentuan alokasi kursi di daerah pemilihan. Amerika Serikat memiliki sejarah panjang yang tak jarang diwarnai dengan konflik politik yang tinggi dalam upaya merumuskan formula yang tepat dalam menentukan alokasi kursi, dan juga kontroversi tentang kesetaraan nilai suara. Dua pertanyaan mendasar dalam sejarah 25 International Convenanton Civil and Political Rights, Pasal 26 menyebutkan: All persons are equal before the law and are entitled without any discrimination to the equal protection of the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race,colour,sex, language,religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. 26 Centre for Human Rights,Human Rights and Election, United Nation, New York and Geneva, 1994,halama n 10-11.
  • 23. 23 pemilu di Amerika terkait dengan hal ini adalah tentang kesetaraan nilai suara pemilih dan tingkat representativeness suara pemilih. Dua kasus besar yang mencuat di pengadilan adalah kasus Baker v. Carr (1962) dan kasus Reynolds v. Sims (1964). Putusan Mahkamah Agung Amerika terhadap kasus tersebut dibuat dalam rangka menanggapi ketimpangan represantasi dalam pemerintahan dan ketidaksetaraan kekuatan suara antar wilayah/daerah pemilihan. Seharusnya anggota senat mewakili jumlah pemilih yang sama di setiap wilayah agar dapat disebut bahwa kesetaraan nilai suara pemilih adalah sama. Namun, pada paruh pertama abad 20, terjadi perubahan populasi yang cukup besar di Amerika. Pada tahun 1920-an terjadi migrasi besar-besaran warga ke wilayah perkotaan, namun hal ini tidak diikuti dengan perubahan formula daerah pemilihan, sehingga pada gilirannya menimbulkan ketimpangan kekuatan suara pemilih antara wilayah perkotaan dan pedesaan 27. Fenomena inilah yang memicul Charles Baker, kepala daerah di Millington, Tennessee untuk mengajukan gugatan ke MA pada tahun 1962. Dalam gugatannya, dia meminta dilakukan perubahan/perumusan ulang daerah pemilihan agar tercipta kesetaraan nilai suara pemilih dan mencegah terjadinya ketimpangan kekuatan suara pemilih antar daerah pemilihan. Kasus Baker v. Carr merupakan kasus pertama dari beberapa rangkaian kasus yang mendorong dilakukannya penyusunan ulang daerah pemilihan dalam pemilu legislatif di seluruh wilayah Amerika. Namun, prinsip “one person, one vote”—meskipun diasosiasikan kepada kasus Baker, sebenarnya secara nyata diputuskan dalam kasus Gray v. Sanders (1963) oleh Hakim Douglas. Dalam kasus tersebut, pengadilan memutuskan bahwa penentuan daerah pemilihan harus mengacu kepada jumlah penduduk. Douglas 27 Sebagai contog, pada tahun 1960-an di Alabama,daerah pemilihan palingkecil memiliki polpulasi sebesar 6,700 oraang,sementara daerah pemilihan terbesar memiliki populasi lebih dari 104,000 orang,padahal semua daerah pemilihan hanya diwakili 1 kursi.
  • 24. 24 menulis “The conception of political equality from the Declaration of Independence, to Lincoln’s Gettysburg Address, to the Fifteenth, Seventeenth, and Nineteenth Amendments can mean only one thing—one person, one vote.” Puncak dari kasus tentang kesetaraan hak memilih dan representasi adalah pada kasus Reynolds v. Sims (1964), di Alabama. MA memutuskan dalam kasus ini bahwa amandemen konstitusi ke 14 mengharuskan untuk dibangunnya kesetaraan antar daerah pemilihan berbasis jumlah penduduk. Pengadilan menplak gagasan pembedaan sistem pembentukan daerah pemilihan yang berbeda antara DPR dan Senat. Daerah pemilihan bagi keduanya harus disusun berdasarkan populasi. Bahkan Hakim Ketua Warren menulis bahwa DPR mewakili manusia, bukan pohon atau tanah. Dengan demikian, putusan ini mengukuhkan keberlakuan prinsip one person one vote 28. Gavin More menyatakan bahwa bagi kelompok liberalisme klasik, prinsip one person, one vote merupakan prinsip dasar dalam demokrasi prosedural, dimana semua pemilih dapat memberikan suara dan memastikan bahwa suara mereka dihitung secara setara 29. Hal ini memungkinkan terciptanya pemilu yang bebas dan adil sebagai pra-syarat demokrasi. Sedangkan Synder dan Samuel menegaskan bahwa penyimpangan terhadap prinsip one person, one vote ini akan menyebabkan goyahnya kebebasan dan keadilan dalam demokrasi 30. 28 Diskusi lebih mendalamtentang masalah ini dapatdibaca di “EstbalishingEquality in Vote and Representation” dalamThe Persuitof Justice,halaman 120-124,dan “The Complicated Impactof One Person, One Vote on Political Competition and Representation, , yang ditulis oleh Nathaniel Persily,Thad Kousser dan Patrick Egan, dalamNorth Carolina LawReview, Volume 80, halaman 1300-1352. 29 Gavin Moore, Federalism and One Person-One Vote Principles; Political Accommodation in Cyprus and the Annan Plan, Federal Governance Journal, Volume 6, Nomor 2, halaman 32. 30 SNYDER, R. and D. SAMUELS. 2001. Devaluing the Vote in Latin America. Journal of Democracy. 12 (1), halaman 146-159.
  • 25. 25 Dengan demikian menjadi jelas bahwa prinsip one person-one vote merupakan sebuah prinsip penting untuk melindungi hak asasi manusia dalam pemilu melalui upaya penciptaan sistem pemilu yang mampu mengakomodasi kesetaraan nilai suara pemilih. Prinsip kesetaraan nilai suara pemilih ini tidak hanya diperlukan dalam proses penentuan daerah pemilihan, tetapi juga dalam proses penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi parlemen. Prinsip ini menghendaki terciptanya keadilan politik yang ditunjukkan ke dalam beberapa parameter berikut ini: a. Semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memberikan suara dalam pemilu, sepanjang memenuhi syarat adminsistratif (misalnya umur, domisili, dll) tidak boleh ada restriksi lain yang menghambat pemberian hak ini, misalnya status sosial, agama, dan lain-lain. b. Tidak ada perbedaan nilai suara pemilih, baik antara pemilih kaya dengan miskin, anatra pemilih ningrat atau rakyat jelata. c. Perolehan suara partai harus tercermin secara proporsional dalam konfigurasi kursi parlemen. III. Cakupan HAM dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Pemilu Pemerintah Indonesia meratifikasi ICCPR melalui pengesahan UU No. 12/2005 pada 28 Oktober 2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW (penghapusan diskriminasi perempuan),
  • 26. 26 CRC (anak), CAT (penyiksaan), dan CERD (penghapusan diskriminasi rasial). Merujuk kepada UU tersebut, dapat digambarkan hak-hak sipil dan politik yang dilindungi, yakni: Tabel 2 Hak-Hak Sipil dan Politik yang diatur dalam UU nomor 12 tahun 2005 No Pasal Hak‐Hak Sipil dan Politik 1 Pasal 6 Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun) 2 Pasal 7 Hak untuk tidak disiksa,diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa) 3 Pasal 8 Hak untuk tidak diperbudak (larangan segela bentuk perbudakan, perdagangan orang, dan kerja paksa,) 4 Pasal 9 Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau di‐tahan dengan sewenang‐wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana) 5 Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi,anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi) 6 Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kon‐traktual (utang atau perjanjian lainnya) 7 Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri) 8 Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional) 9 Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalah‐annya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama) 10 Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus menda‐patkan keringanannya) 11 Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarga‐negaraan) 12 Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kera‐hasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat‐menyurat atau komunikasi pribadi) 13 Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan) 14 Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya) 15 Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan) 16 Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak‐arakan atau keramaian) 17 Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh) 18 Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak) 19 Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kela‐hiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa dis‐kriminasi) 20 Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalampolitik (termasuk memilih,dipilih dan tidak memilih)
  • 27. 27 21 Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin‐dungi hukum tanpa diskriminasi) 22 Pasal 27 Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus) Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak‐hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang‐undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak‐hak manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yangh lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Dalam konteks Pemilu di Indonesia, penjabaran atas hak sipil dan politik dalam pemilu diterjemahkan secara lebih mendetail ke dalam prinsip Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER). Prinsip ini diintrodusir dalam UU Pemilu sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga Pemilu tahun 1997. Dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 1999, UU Pemilu menambahkan 2 prinsip lagi yakni Jujur dan Adil, sehingga saat ini, prinsip Pemilu di Indonesia dikenal dengan Luber dan Jurdil. Penjelasan UU nomor 10 tahun 2008 mendefinisikan prinsip Luber dan Jurdil sebagai berikut: 1. Prinsip umum, artinya bahwa seluruh warga negara yang telah memenuhi syarat (terutama umur dan status kependudukan) memiliki hak untuk memberikan suara dalam pemilu.
  • 28. 28 2. Prinsip bebas, yakni seluruh warga negara yang telah memiliki hak suara, bebas dalam menentukan pilihan politiknya, termasuk bebas untuk memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya (meskipun di beberapa negara tertentu seperti Australia, pemberian suara dalam pemilu dimasukkan ke dalam ranah kewajiban warga negara (mandatory) 3. Prinsip langsung, yakni bahwa seluruh warga negara yang memiliki hak suara harus dijamin dapat memberikan suaranya secara langsung, tidak diwakili atau tidak diwakilkan kepada orang lain. 4. Prinsip rahasia, yakni bahwa pilihan seorang warga negara dalam pemilu harus dijamin kerahasiaannya. Dia tidak boleh dipaksa untuk memberitahukan pilihan politiknya kepada orang lain, dan pihak lain tfodak boleh memaksa kepadanya untuk memberitahukan pilihan politiknya. 5. Prinsip jujur dan adil, yakni bahwa sistem pemilu harus mampu menjamin terciptanya keadilan politik. Prinsip keadilan dalam pemilu ini bahkan secara tegas dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam konteks kesetaraan nilai suara pemilih, dimana suara pemilih harus diperlakukan sama, dengan nilai yang sama, dan dihitung hanya satu kali. Penegasan ini tampak dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan permohonan pengujian UU nomor 10 tahun 2008 menyangkut definisi suara yang diperhitungkan dalam penghitungan suara tahap 2. Dalam putusan terseut, Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon yang meminta agar penafsiran atas suara yang diperhitungkan dalam penghitungan suara tahap 2 adalah mencakup suara partai politik yang telah terkonversi menjadi kursi dalam
  • 29. 29 penghitungan tahap 1 (yang kemudian disebut sebagai sisa suara), dan suara partai politik yang belum terkonversi dalam penghitungan tahap 1 (atau disebut suara). Mahkamah menyatakan bahwa ... Mahkamah berpendapat apabila Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 yang berkaitan dengan frasa “suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR” ditafsirkan untuk memperhitungkan kembali perolehan suara secara utuh partai politik yang telah mendapatkan kursi berdasarkan tahap pertama dengan dasar BPP akan menyebabkan terjadinya penghitungan lebih dari satu kali. Cara yang demikian akan menimbulkan ketidakkonsistenan dengan sistem yang dipilih yaitu sistem proporsional karena menyebabkan terjadinya deviasi yang terlalu besar antara perolehan suara dengan perolehan kursi bagi partai politik peserta Pemilu. Selain itu, apabila dipergunakan penafsiran seperti di atas maka perolehan suara partai politik yang telah dikonversi perolehan suaranya menjadi kursi akan diperhitungkan lebih dari satu kali, sementara perolehan suara partai politik yang tidak mencapai 100% BPP tetapi lebih dari 50% BPP hanya diperhitungkan satu kali, itu pun kalau masih ada sisa kursi. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat penafsiran terhadap perolehan “suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR” yang di dalamnya memperhitungkan secara utuh perolehan suara partai politik yang telah mendapatkan kursi berdasarkan BPP tidak sesuai dengan sistem proporsional yang menjadi sistem yang dipilih oleh UU 10/2008 31. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengaturan dalam UU Pemilu nomor 10 tahun 2008 dan putusan MK mengakui adanya kesetaraan atas nilai suara pemilih, dan secara tegas mengatur bahwa suara pemilih hanya dihitung satu kali dalam berbagai tingkatan penghitungan suara (baik tahap 1, tahap 2, maupun tahap 3). Hal ini 31 Putusan MK, paragraf 3.31
  • 30. 30 membuktikan bahwa ketentuan perundang-undangan pemilu di Indonesia sesuai dan menganut prinsip universal tentang one person-one vote.
  • 31. 31 BAB III SISTEM PEMILU DI INDONESIA DAN PERLINDUNGAN HAM Pemilu merupakan instrument demokratik untuk melibatkan masyarakat/warga negara dalam proses penentuan jabatan politik. Guna menjamin terpenuhinya prinsip demokrasi dan ditegakkannya hak asasi politik warga negara, maka terdapat beberapa tujuan yang harus diacu dalam penentuan sistem pemilu32, yakni: 1. Proportionality of seats to votes 2. Accountability to constituents 3. Durable governments 4. Victories of the Condorcet winners 5. Interethnic and interreligious conciliation 6. Minority officeholding Namun demikian, sangat jarang dijumpai penerapan sistem pemilu yang benar-benar mampu memenuhi persyaratan tersebut di atas. Kesemuanya didasari atas pertimbangan situasi dan kondisi negara yang bersangkutan. I. Sistem Pemilu Sistem pemilu menurut Pippa Norris adalah formula untuk menentukan bagaimana suara dihitung untuk menentukan perolehan kursi 33. Definisi yang sama 32 Donald L. Horowitz, James B. Duke, Eectoral System and Their Goals:A Primer for Decision Makers,Duke University,2003,halaman 3 33 Pippa Norris,ChoosingElectoral System: Proportional,Majoritarian,and Mixed System, International Political Science Review, volume 18 (3), 1997, halaman 297-312
  • 32. 32 disampaikan oleh IDEA yang menyebutkan bahwa sistem pemilu adalah cara untuk menerjemahkan suara ke dalam kursi (baik partai politik maupun calon)34. Allan Wall35 menyebutkan 7 kriteria yang dapat dipergunakan untuk menilai sistem pemilu yang meliputi: 1) Keadilan (fairness). Sistim pemilu dapat memperoleh kepercayaan tinggi dari para peserta pemilu dan pemilih bahwa proses pemilihan secara sistematis dalam pelaksanaannya tidak akan diskriminatif terhadap mereka. Hal ini akan meningkatkan dukungan terhadap hasil pemilhan umum. 2) Persamaan hak-hak untuk semua pemilih. Suatu sistim pemilu dapat memberi bobot suara yang sama bagi setiap pemilih. 3) Keterwakilan yang proporsional. Sistim pemilu dapat menghasilkan pemerintah yang secara luas mewakili kepentingan pemilih. 4) Akuntabilitas. Suatu sistim pemilu dapat menghasilkan akuntabilitas yang dapat diukur melalui tingkat ketanggapan pemerintah terhadap tuntutan publik dan kemampuan publik untuk mengakhiri suatu pemerintah yang tidak akuntabel melalui pemilu. 5) Pemerintahan yang efektif dan akomodatif. Sistim pemilu dapat menghasilkan stabilitas dalam pemerintahan yang memungkinkan manajemen negara yang efektif. Sistim pemilihan juga diharapkan dapat mendukung konsultasi dan kompromi yang memadai antara kekuatan-kekuatan politik. 34 Andrew Reynolds,dkk, Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, IDEA, Sweden, 2003, halaman 5 35 Allan Wall,Election Systems BriefingPaper, halaman 1.
  • 33. 33 6) Perkembangan partai politik yang kuat secara relative. Sistim pemilihan dapat menghasilkan keseimbangan antara partai-partai politik dan besarnya kontrol yang dimiliki pemilih terhadap tindakan-tindakan mereka. 7) Sistem yang menyediakan kemudahan akses melalui kesederhanaan dan refleksi pilihan warga negara yang relatif tepat. Sistim pemilu dapat memungkinkan pemilih untuk mengekspresikan pilihan mereka secara akurat denan cara yang cukup sederhana untuk dipahami oleh semua pemilih. Pippa Norris menyebut 4 tipe utama dalam sistem pemilu yang banyak dipergunakan oleh berbagai negara: a. Majoritarian formulas (including plurality, second ballot, and alternative voting systems); b. Semi-proportional systems (such as the single transferable vote, the cumulative vote, and the limited vote); c. Proportional representation (including open and closed party lists using largest remainders and highest averages formula); and, d. Mixed systems (like the Additional Member System combining majoritarian and proportional elements). Klasifikasi lain dibuat oleh The ACE Project, suatu kerjasama antara PBB, IFES dan IDEA Internasional, mengenai sistem-sistem dan manajemen pemilu. A. Sistem Mayoritas/Pluralitas (Majoritarian/Plurality) Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
  • 34. 34 Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Jadi, tidak ada sistem menghitung suara lebih seperti yang dikenal dalam Sistem Perwakilan Berimbang. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B. Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000 suara. Maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serika dan India. Sistem “Single Member Constituency” mempunyai beberapa kelemahan : 1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. 2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan- golongan yang merasa dirugikan. Di samping kelemahan-kelemahan tersebut di atas ada banyak segi positifnya, yang oleh negara-negara yang menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan daripada sistem pemilihan lain:
  • 35. 35 1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya terhadap partainya. akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan .faktor yang penting. {mospagebreak} 2. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika. sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwipartai. 3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional. 4. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan. Untuk dapat terpilih dalam suatu daerah pemilihan (distrik), seorang kandidat atau beberapa orang kandidat harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara yang sah, atau dalam beberapa varian, mayoritas dari suara yang sah dalam distrik tersebut. Sistem ini meliputi: · First Past The Post (FPTP)
  • 36. 36 · Block Vote dan Party Block Vote · Alternative Vote (AV) · Dua Putaran (Two Round) B. Sistem Representasi Proporsional (RP) Dengan menggunakan distrik-distrik wakil majemuk, jumlah wakil yang terpilih untuk suatu distrik ditentukan oleh prosentase suara sah yang diraih oleh partai atau kandidat peserta pemilu dalam distrik tersebut. Sistem ini meliputi: · Representasi Proporsional Daftar (List Proportional Representation) · Mixed Member Proportional (MMP) · Single Transferable Vote (STV) Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi Yang diperoleh oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan sesuatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000, yang berarti bahwa sejumlah pemilih tertentu (dalam hal ini 400.000 pemilih) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah total anggota dewan perwakilan rakyat ditentukan atas dasar perimbangan (1 : 400.000) itu. Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan yang besar, akan tetapi untuk keperluan teknis-administratif dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar (yang lebih besar dari pada distrik dalam Sistem Distrik), di mana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Jumlah wakil dalam setiap
  • 37. 37 daerah pemilihan ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemilihan itu, dibagi dengan 400.000. Dalam sisitim ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh oleh sesuatu partai atau golongan dalam sesuatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain. untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna mem- peroleh kursi tambahan. Sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain antara lain dengan Sistem Daftar (List System). Dalam Sistem Daftar setiap partai atau golongan mengajuktin satu daftar calon dan si pemilih memilih salah satu daftar darinya dan dengan demikian memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang direbutkan. Sistem Perwakilan Berimbang dipakai di Negeri Belanda, Swedia, Belgia, Indonesia tahun 1955 dan 1971 dan 1976. Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan: 1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat; mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-- persamaan. Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai.
  • 38. 38 2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah mernilihnya. Hal ini disebabkan oleh karena dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai. 3. Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih. Di samping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan yang besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecil pun, dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang heterogeen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing golongan.{mospagebreak} C. Sistem Semi-Proporsional Sistem ini pada dasarnya berada di antara sistem Pluralitas-Mayoritas dan sistem proporsional representatif. Sistem ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan sistem pluralitas-mayoritas terutama terkait dengan misrepresentasi dan kurangnya represntasi partai dan kelompok minoritas. Dalam sistem ini, partai politik yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak masih dapat memperoleh perwakilan. Namun sistem ini tidak dirancang untuk memberikan alokasi perwakilan sesuai dengan prosentase suara yang diperoleh partai politik seperti sistem RP.
  • 39. 39 Sistem ini meliputi: Paralel Single Non Transferable Vote (SNTV) Limited Vote (LV) Ada negara di mana badan legislatif terbagi dalam dua majelis (bi- kameralisme), sedangkan di beberapa negara lain hanya terdiri dari satu majelis (uni- kameralisme). Boleh dikatakan bahwa semua negara federal memakai sistem dua majelis oleh karena satu di antaranya mewakili kepentingan negara bagian khususnya ( India, Amerika Serikat. Uni Soviet, Republik Indonesia Serikat). Negara kesatuan yang memakai sistem dua majelis biasanya terdorong oleh pertimbangan bahwa satu majelis dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan dari majelis lain. Dikuatirkan bahwa sistem satu majelis memberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan oleh karena mudah dipengaruhi oleh situasi politik. Bagaimanapun juga, majelis tambahan biasanya disusun sedemikian rupa sehingga wewenangnya kurang daripada badan yang mewakili rakyat. Badan yang mewakili rakyat umumnya disebut Majelis Rendah (Lower House) sedangkan majelis lainnya disebutkan Majelis Tinggi (Upper House atau Senat). Ilustrasi tentang skema system pemilu (yang oleh IDEA disebut sebagai keluarga sistem pemilu) dapat dilihat sebagai berikut 36: 36 Andrew Reynold, op.cit, halaman 28
  • 40. 40 Berdasarkan atas pengelompokan tersebut, IDEA merilis sistem pemilu yang dipergunakan oleh berbagai negara di dunia sebagai berikut: Tabel 3 System Pemilu di Dunia 37 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Afghanistan SNTV Other 1 249, 249 Albania List PR PR 2 140, 140 Algeria List PR PR 1 , 389 Andorra Parallel Mixed 2 28, 28 Angola List PR PR 2 220, 220 Anguilla FPTP Plurality/Majority 1 7, 11 Antigua and Barbuda FPTP Plurality/Majority 1 17, 17 Argentina List PR PR 1 257, 257 Armenia Parallel Mixed 2 131, 131 Aruba List PR PR 1 21, 21 Australia AV Plurality/Majority 1 150, 150 Austria List PR PR 3 183, 183 Azerbaijan FPTP Plurality/Majority 1 125, 125 Bahamas FPTP Plurality/Majority 1 40, 40 37 IDEA, http://www.idea.int/esd/world.cfm
  • 41. 41 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Bahrain TRS Plurality/Majority 1 40, 40 Bangladesh FPTP Plurality/Majority 1 345, 345 Barbados FPTP Plurality/Majority 1 30, 30 Belarus TRS Plurality/Majority 1 110, 110 Belgium List PR PR 1 150, 150 Belize FPTP Plurality/Majority 1 29, 29 Benin List PR PR 1 83, 83 Bermuda FPTP Plurality/Majority 1 36, 36 Bolivia MMP Mixed 2 130, 130 Bosnia and Herzegovina List PR PR 1 42, 42 Botswana FPTP Plurality/Majority 1 57, 62 Brazil List PR PR 1 513, 513 Bulgaria Parallel PR 1 240, 240 Burkina Faso List PR PR 2 111, 111 Burundi List PR PR 1 81, 179 Cambodia List PR PR 1 , 123 Cameroon Parallel Mixed 180, 180 Canada FPTP Plurality/Majority 1 308, 308 Cape Verde List PR PR 1 72, 72 Cayman Islands BV Plurality/Majority 1 15, 18 Central African Republic TRS Plurality/Majority 1 105, 105 Chad PBV Plurality/Majority , 155 Chile List PR PR 1 120, 120 Colombia List PR PR 1 , 166 Comoros TRS Plurality/Majority 1 18, 33 Cook Islands FPTP Plurality/Majority 1 24, 24 Costa Rica List PR PR 1 57, 57 Côte d'Ivoire FPTP Plurality/Majority 225, 225 Croatia List PR PR 1 151, 151 Cuba TRS Plurality/Majority 1 609, 609 Cyprus List PR PR 1 56, 56
  • 42. 42 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Czech Republic List PR PR 1 200, 200 Denmark List PR PR 2 179, 179 Djibouti PBV Plurality/Majority 1 65, 65 Dominica FPTP Plurality/Majority 1 21, 30 Dominican Republic List PR PR 2 , 150 East Timor List PR PR 2 88, 88 Ecuador List PR PR 1 , 100 Egypt TRS Plurality/Majority 1 444, 454 El Salvador List PR PR 2 84, 84 Equatorial Guinea List PR PR 1 100, 100 Estonia List PR PR 2 101, 101 Ethiopia FPTP Plurality/Majority 1 , 547 Falkland Islands (Malvinas) BV Plurality/Majority 1 8, 8 Fiji AV Plurality/Majority 2 71, 71 Finland List PR PR 1 200, 200 France TRS Plurality/Majority 1 577, 577 Gabon TRS Plurality/Majority 1 120, 120 Gambia FPTP Plurality/Majority 1 48, 53 Georgia Parallel Mixed 2 235, 235 Germany MMP Mixed 2 , 598 Ghana FPTP Plurality/Majority 1 200, 200 Gibraltar LV Other 1 15, 17 Greece List PR PR 2 300, 300 Grenada FPTP Plurality/Majority 1 15, 15 Guatemala List PR PR 2 , 158 Guernsey BV Plurality/Majority 1 45, 47 Guinea Parallel Mixed 2 114, 114 Guinea-Bissau List PR PR 1 102, 102 Guyana List PR PR 1 53, 65 Haiti TRS Plurality/Majority 1 83, 83
  • 43. 43 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Honduras List PR PR 1 128, 128 Hungary MMP Mixed 3 386, 386 Iceland List PR PR 2 63, 63 India FPTP Plurality/Majority 1 543, 545 Indonesia List PR PR 1 550, 550 Iran, Islamic Republic of TRS Plurality/Majority 1 290, 290 Iraq List PR PR 1 275, 275 Ireland STV PR 1 166, 166 Isle of Man BV Plurality/Majority 24, 24 Israel List PR PR 1 120, 120 Italy List PR PR 2 630, 630 Jamaica FPTP Plurality/Majority 1 60, 60 Japan Parallel Mixed 2 480, 480 Jersey BV Plurality/Majority 3 53, 53 Jordan SNTV Other 1 104, 110 Kazakhstan List PR PR 2 77, 77 Kenya FPTP Plurality/Majority 1 210, 222 Kiribati TRS Plurality/Majority 1 40, 42 Korea, Dem. People's Republic of TRS Plurality/Majority 1 687, 687 Korea, Republic of Parallel Mixed 2 299, 299 Kosovo List PR PR 1 120, 120 Kuwait BV Plurality/Majority 1 50, 65 Kyrgyzstan List PR PR 1 75, 75 Lao People's Dem. Republic BV Plurality/Majority 1 109, 109 Latvia List PR PR 1 100, 100 Lebanon BV Plurality/Majority 1 128, 128 Lesotho MMP Mixed 2 120, 120 Liberia FPTP Plurality/Majority 1 64, 64 Liechtenstein List PR PR 1 25, 25 Lithuania Parallel Mixed 2 141, 141
  • 44. 44 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Luxembourg List PR PR 1 60, 60 Macedonia, former Yugoslav Republic (1993-) List PR PR 1 120, 120 Madagascar FPTP Plurality/Majority , 160 Malawi FPTP Plurality/Majority 1 193, 193 Malaysia FPTP Plurality/Majority 1 219, 219 Maldives FPTP Plurality/Majority 1 77, 77 Mali TRS Plurality/Majority 1 , 147 Malta STV PR 1 65, 65 Marshall Islands FPTP Plurality/Majority 33, 33 Mauritania TRS Plurality/Majority 1 , 81 Mauritius BV Plurality/Majority 1 70, 70 Mexico Parallel Mixed 2 500, 500 Micronesia, Federated States of FPTP Plurality/Majority 2 14, 14 Moldova, Republic of List PR PR 1 101, 101 Monaco Parallel Mixed 2 24, 24 Mongolia BV Plurality/Majority 1 76, 76 Montserrat TRS Plurality/Majority 1 9, 11 Morocco List PR PR 2 325, 325 Mozambique List PR PR 1 250, 250 Myanmar FPTP Plurality/Majority 1 485, 485 Namibia List PR PR 1 72, 78 Nauru BC Other 1 18, 18 Nepal Parallel Mixed 1 205, 205 Netherlands List PR PR 1 150, 150 Netherlands Antilles List PR PR 1 22, 22 New Zealand MMP Mixed 2 , 120 Nicaragua List PR PR 2 90, 92 Niger List PR PR 83, 83 Nigeria FPTP Plurality/Majority 1 360, 360 Niue FPTP Plurality/Majority 2 20, 20
  • 45. 45 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Norway List PR PR 2 169, 169 Oman FPTP Plurality/Majority 1 83, 83 Pakistan Parallel Mixed 2 342, 342 Palau FPTP Plurality/Majority 1 16, 16 Palestinian Territory, Occupied Parallel Plurality/Majority 2 89, 89 Panama List PR PR , 78 Papua New Guinea AV Plurality/Majority 2 109, 109 Paraguay List PR PR 1 80, 80 Peru List PR PR 1 120, 120 Philippines Parallel Mixed 2 260, 260 Pitcairn Islands BV Other 1 6, 8 Poland List PR PR 1 460, 460 Portugal List PR PR 1 230, 230 Republic of The Congo (Brazzaville) TRS Plurality/Majority 1 137, 137 Romania MMP PR 1 , 345 Russian Federation Parallel Mixed 2 450, 450 Rwanda List PR PR 1 53, 80 Saint Helena BV Plurality/Majority 12, 14 Saint Kitts and Nevis FPTP Plurality/Majority 1 10, 15 Saint Lucia FPTP Plurality/Majority 1 17, 17 Saint Vincent and The Grenadines FPTP Plurality/Majority 1 15, 21 Samoa FPTP Plurality/Majority 49, 49 San Marino List PR PR 1 60, 60 Sao Tome and Principe List PR PR 1 55, 55 Senegal Parallel Mixed 2 120, 120 Serbia List PR - 126, 126 Seychelles Parallel Mixed 2 34, 34 Sierra Leone FPTP PR 1 112, 124 Singapore PBV Plurality/Majority 84, 94
  • 46. 46 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Slovakia List PR PR 1 150, 150 Slovenia List PR PR 2 90, 90 Solomon Islands FPTP Plurality/Majority 1 50, 50 South Africa List PR PR 2 400, 400 Spain List PR PR 1 350, 350 Sri Lanka List PR PR 2 225, 225 Sudan Parallel Mixed 1 270, 360 Suriname List PR PR 1 51, 51 Swaziland FPTP Plurality/Majority 1 55, 65 Sweden List PR PR 2 349, 349 Switzerland List PR PR 1 200, 200 Syrian Arab Republic BV Plurality/Majority 1 250, 250 Taiwan Parallel Mixed 2 113, 113 Tajikistan Parallel Mixed 1 63, 63 Tanzania, United Republic of FPTP Plurality/Majority 1 231, 295 Thailand Parallel Mixed 2 500, 500 Togo TRS Plurality/Majority 1 81, 81 Tonga BV Plurality/Majority 1 9, 30 Trinidad and Tobago FPTP Plurality/Majority 1 36, 36 Tunisia Parallel Mixed 2 , 189 Turkey List PR PR 1 550, 550 Turkmenistan TRS Plurality/Majority 1 50, 50 Turks and Caicos Islands FPTP Plurality/Majority 1 13, 18 Tuvalu BV Plurality/Majority 1 15, 15 Uganda FPTP Plurality/Majority 1 214, 295 Ukraine List PR PR 1 450, 450 United Kingdom FPTP Plurality/Majority 1 659, 659 United States FPTP Plurality/Majority 1 435, 435 Uruguay List PR PR 1 99, 99 Uzbekistan TRS Plurality/Majority 1 250, 250
  • 47. 47 Country Electoral System Electoral type Tiers Legislature Size (directly elected, voting members) Vanuatu SNTV Other 1 52, 52 Venezuela MMP Mixed 3 , 165 Viet Nam TRS Plurality/Majority 1 498, 498 Virgin Islands, British FPTP Plurality/Majority 2 13, 13 Yemen FPTP Plurality/Majority 1 301, 301 Zambia FPTP Plurality/Majority 1 150, 158 Zimbabwe FPTP Plurality/Majority 1 120, 150 II. Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Dalam Memilih Sistem Pemilu Dalam memilih sistem pemilu yang akan diterapkan, Pippa Noris menyampaikan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan38: a. Government Effectiveness Dalam sistem myoritarian, kriteria yang paling penting adalah efektifitas pemerintahan. Sistem first-past-the-post menghasilkan 'Westminster model' klasik dengan dua kekuatan partai pemerintah yang kuat namun responsif. ‘Kuat’ dalam termionologi ini berarti partai tunggal, bukan koalisi. Partai mayoritas yang menguasasi kursi parlemen dapat secara efektif mewujudkan janji dan program politik nya tanpa harus terganggu oleh negosiasi dengan patner koalisi. Hasil pemilu sangat kuat dan legitimate. Pemerintah dapat meloloskan undang-undang (dengan didukung partai mayoritas) sepanjang pemerintah dapat memiliki kesamaan visi dengan partai mayoritas yang menjadi pendukungnya. Pemerintah yang kuat bergantung kepada bias dalam sistem pemilu, yang memberikan bonus kusi kepada pemenang pemilu. “Partai mayoritas” diciptakan dengan mengupayakan sistem konversi kursi yang 38 Pippa Norris,op.cit, halaman 5-7
  • 48. 48 memungkinkan mereka untuk mendapatkan kursi yang besar meskipun dengan perolehan suara yang kecil. Dalam periode paska perang dunia, Pemerintah Inggris misalnya, mendapatkan 54 % kursi parlemen dengan perolehan suara hanya 45 %. Bahkan dalam pemilu dengan sistem tertutup, partai mayoritas biasanya mampu membentuk pemerintahan tanpa berkoalisi daengan partai lain. b. Responsive and Accountable Government Saat ini, pemerintah juga dituntut untuk responsif. Apabila partai yang menguasai pemerintahan dapat memepratahankan responsifitas dan akuntabilitas hingga menjelang pemilu berikutnya, maka akan sulit bagi siapapun untuk merebut otoritasnya dari kursi pemerintahan. Dalam sistem dwi partai, terbuka peluang yang besar bagi partai oposisi untuk merebut kursi pemerintahan jika partai penguasa gagal menunjukkan responsifitas dan akutabilitasnya. Namun dalam banyak kejadian, partai penguasa terkadang mengeluarkan kebijakan yang tidak populis dalam masa pemerintahannya, namun di akhir masa pemerintahan menjelang pemilu berikutnya, partai penguasa melakukan upaya-upaya untuk melakukan justifikasi dan menjelaskan alasan kebijakan mereka sembari kembali mendekat kepada konstituen. Sebagai tambahan, pada tingkat lokal, hubungan antara konstituen dengan anggota parlemen dianggap memiliki kekuatan untuk membantu konstituen dalam menyuarakan aspirasinya, danb menjadikan anggota palemen lebih responsif dan akuntable terhadap mereka. Dalam sistem district dengan satu wakil, dianggap akan lebih mampu menghasilkan insentif bagi konstituten dibandingkan dengan sistem distrik berwakil banyak. Responsifitas pemerintah dan anggota parlemen sangat bergantung kepada tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu, dan keseimbangan dari
  • 49. 49 sistem dwi partai. Jika jarak perolehan suara antara partai penguasa dengan oposisi kecil (sebagai contoh di bawah 10 %) maka akan sangat dimungkinkan bagi pemilih untuk mengubah komposisi partai pemenang dengan membawa partai oposisi sebagai pemenang pemilu. Dalam konteks demikian, meskipun partai penguasa masih dapat membuat keputusan dan menjalankan pemerintahan secara efektif, namun mereka tetap dibayangi oleh kemungkinan kekalahan dalam pemilu berikutnya (karena tipisnya jarak kemenangan mereka dari partai oposisi. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan koalisi, meskipun rakyat kecewa dengan kinerja pemerintah, maka akan tetap sulit untuk mewujudkan kehendaknya dalam mengganti partai penguasa. c. Fairness to minor parties Bagi para pembela sistem majoritarian, partai penguasa yang responsible sangat mempengaruhi peluang untuk mengakomodasi seluruh kekuatan partai politik dalam pembagian kekuasaan. Dalam pandangan ini, tujuan utama dari pemilu adalah mendorong parlemen untuk memfungsikan diri dalam mewujudkan pemerintahan yang efektif dan stabil. Pada saat yang sama, jika pemilu menghasilkan 4 atau lebih partai yang duduk di parlemen, maka partai kecil akan menjadi sulit untuk berperan. Pendukung sistem proporsional, keberadaan partai kecil harus dipertimbangkan, karena hal ini dianggap sebagai bagian dari keadilan dalam sistem pemilu. Kebutuhan untuk melakukan kontrol terhadap partai penguasa, perlindungan terhadap kelompok minoritas menjadi sangat penting. d. Social Representation
  • 50. 50 Tuntutan perubahan dalam beberapa dekade terakhir ini juga menyangkut upaya untuk menambah komposisi sosial dalam parlemen. Sistem politik dianggap kurang mampu memberikan proporsi dan merepresentasikan keragaman kelompok sosial baik dalam kontek kelas sosial, gender, dan ras. Pada tahun 1995 anggota parlemen perempuan di seluruh dunia hanya berkisar 9.4 % dan semakin menurun. Merespon isu ini, banyak partai melakukan upaya untuk menanggulanginya dengan cara membuat kebijakan akselerasi dan affirmatif antara lain penrapan kuota bagi anggota parlemen perempuan, (digunakan dalam Senat di Argentina), dan paling banyak adalah affirmative action dalam kepengurusan partai politik. Model ini juga dapat diterapkan dalam konteks perlindungan terhadap kelompok minoritas lainnya, misalnya suku, bahasan, etnis, maupun agama, meskipun dampaknya sangat ergantung kepada konsentrasi domisili dari kelompok tersebut. III. Sistem Pemilu dan Pengaruhnya terhadap Sistem Penghitungan Suara Pilihan atas sistem pemilu yang diterapkan di sebuah negara akan memiliki dampak terhadap bagaimana cara melakukan penghitungan suara. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4 Cara Penghitungan Suara NO SISTEM PEMILU SUARA YANG DIHITUNG CATATAN First-past-the-post (FPTP) in single- member districts count the votes for each candidate. FPTP in multi-member districts (the Party Block Vote) count the votes for each party list Limited vote the votes for each candidate Single Non-Transferable Vote (SNTV) the votes for each candidate Proportional representation (PR) with closed list no panachage between list - count the votes for
  • 51. 51 each list PR list with panachage allowed count the votes for each candidate If voters are allowed to cast a single list vote instead of voting for individual candidates, also count the number of votes cast for each list Two-Round System in single- member districts count the votes for each candidate If a second ballot is necessary, count the votes again for each candidate standing at the second ballot. Two-Round System in multi- member districts, with closed lists count the votes for each party list If a second ballot is necessary, count the votes again for each party list standing at the second ballot. FPTP in multi-member districts (the Block Vote), with panachage allowed there are two possible ballot arrangements: a. Each seat in the district is numbered in a distinctive way (Seat "A", Seat "B", etc.), with one distinct competition for each seat, and each elector has a vote for each seat. IV. Sistem Pemilu di Indonesia a. Sistem pemilu tahun 2009 Sebelum mengupas sistem pemilu tahun 2009 di Indonesia, ada baiknya kita mengetahui sekilas tentang informasi umum terkait dengan Pemilu ketiga di era reformasi tersebut. 1. Sekilas Informasi tentang Pemilu 2009 Pemilu tahun 2009 merupkaan Pemilu ketiga setelah dimulainya era reformasi. Sebagaimana diketahui, sejak dibukanya kran demokratisasi dan
  • 52. 52 liberalisme politik, terjadi sebuah perubahan fundamental dalam pemilu di Indonesia, antara lain: a. Penerapan sistem multi-partai sejak Pemilu 1999; b. Diadopsinya sistem bikameral melalui pembentukan Dewan Perwakilan Daerah sejak pemilu tahun 2004; c. Diakomodasinya partai lokal khusus untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalaam pada pemilu tahun 2009; d. Dimulainya pergeseran sistem penentuan calon terpilih yang lebih cederung merefleksikan sistem distrik, melalui model open list atau sistem proporsional dengan daftar calon terbuka pada pemilu 2004; e. Diterapkannya sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, yang berarti menggeser sistem penentuan calon terpilih dari model proporsional yang berbasis kepada kewenangan partai politik ke arah sistem distrik yang berbasis kepada kewenangan pemilih/calon; f. Diintrodusirnya sistem penyederhanaan partai sejak pemilu 2004 dengan penerapan electoral threshold pada pemilu 2004, dan penerapan electoral threshold ditambah parliamentary threshold pada pemilu 2009; g. Dilakukannya upaya eksperimentasi sistem penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi secara terus menerus, salah satunya melalui modifikasi sistem penghitungan suara dalam 3 tahap pada pemilu tahun 2009; h. Dilakukannya upaya peningkatan kadar representasi politik dan penguatan relasi dan akuntabilitas partai dan anggota DPR dengan konstituennya melalui pemekaran jumlah daerah pemilihan.
  • 53. 53 Berbagai perubahan tersebut, memang tidak dapat dilepaskan dari dorongan besar untuk menciptakan sistem Pemilu yang sesuai dengan karakter politik Indonesia, namun pada saat yang sama warna pertarungan kepentingan politik antar partai politik juga mendominasi konsensus atas pilihan sistem yang akan dipergunakan. Hal ini terutama terlihat dalam perubahan desain sistem kepartaian dan sistem penghitungan suara dan penentuan perolehan kursi partai politik. Pada pemilu 2009, jumlah daerah pemekaran untuk Pemilu anggota DPR RI mengalami pemekaran menjadi 77 daerah pemilihan, diikuti oleh 38 parti di tingkat nasional. Adapun statisktik Pemilu 2009 dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 5 Jumlah Dapil dan Jumlah Pemilih dalam Pemilu 2009 39 39 Pemilu dalamAngka
  • 54. 54 Dari 171 juta pemilih dalam pemilu 2009, hampir 50 juta pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Angka voters turnout dalam pemilu 2009 ini sangat tinggi dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Demikian juga angka kesalahan dalam memberikan suara (suara tidak sah) yang mencapai jumlah 17,4 juta. Faktor yang dituding menjadi penyebab tingginya angka voter turnout dan suara tidak sah adalah lemahnya sosialisasi dan kerumitan sistem pemberian suara. Tabel 6 Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah 40 40 Pemilu dalamAngka
  • 55. 55 Adapun hasil perolehan suara Pemilu 2009, baik sebelum maupun setelah putusan MK terkait perselisihan hasil pemilu sebagai berikut: Tabel 7
  • 56. 56 HASIL PEROLEHAN SUARA PEMILU 2009 41 Sebelum dan sesudah Putusan MK 41 Pemilu dalamAngka
  • 57. 57 Dari konfigurasi hasil perolehan suara tersebut di atas, KPU menetapkan perolehan kursi partai politik dalam Pemilu tahun 2009 sebagai berikut: Tabel 8 JUMLAH PEROLEHAN KURSI DPR PARPOL PESERTA PEMILU 2009 42 Catatan: Partai Politik (parpol) Peserta Pemilu 2009 yang diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi DPR-RI adalah parpol yang memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional (lolos Parliamentary Threshold) 2. Sistem Pemilu 2009 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- 42 Sumber http://mediacenter.kpu.go.id/images/mediacenter/data_terbaru/MAYDAY/oK/JUMLAH_PEROLEHAN_KURSI_ DPR_PARPOL_PESERTA_PEMILU_2009.pdf
  • 58. 58 undang Dasar”, yang oleh Pasal 22E ayat (6) ditegaskan bahwa perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan lembaga perwakilan daerah, yang anggota- anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimaksudkan untuk terpilihnya anggota, dan terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia diwarnai dengan dinamika yang sangat tinggi. Pada masing-masing periode pemilu, terdapat beberapa pergantian tujuan, system dan teknis penyelenggaraan pemilu. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh dinamika relasi kekuasaan antar kekuatan politik yang terjadi pada masa itu, serta keinginan untuk melakukan eksperimentasi dan perekayasaan system pemilu untuk mencapai perbaikan kualitas pemilu sebagai instrument demokrasi.
  • 59. 59 Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang bersifat nasional di Indonesia. Sebelum pemilu yang bersifat nasional tersebut, Indonesia pernah melaksanakan pemilu yang bersifat lokal. Pemilu yang bersifat lokal tersebut pernah dilaksanakan di dua daerah di Indonesia, yaitu daerah Minahasa dan Yogyakarta pada tahun 1951. Pemilu di Minahasa memilih secara langsung 25 anggota DPRD, sedangkan pemilu di Yogyakarta memilih secara tidak langsung anggota DPRD. Pemilih memilih 7.268 elektor yang bertemu lima pecan kemudian untuk memilih 40 anggota DPRD. Jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, pemilu dalam skala terbatas juga pernah dilakukan. Pemilu dilakukan untuk memilih anggota Volksraad, dimana sebagian anggotanya dipilih secara tidak langsungdan sebagaian yang lain diangkat oleh Gubernur Jenderal. Anggota Volksraad terdiri dari orang Eropa, Indo-Arab, Indo-Cina dan Pribumi. Sistem pemilu adalah hubungan saling terkait antara instrumen- instrumen teknis pemilu yang terdiri dari: [1] besaran daerah pemilihan, [2] metode pencalonan, [3] metode pemberian suaran, dan [4] metode penghitungan suara. Hubungan antara keempat instrument teknis tersebut, secara umum menghasilkan tiga sistem pemilu, yaitu: [1] sistem pluralitas-mayoritas, [2] sistem semi-proporsional, dan [3] sistem proporsional.43 43 Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majotarian and Counsensus Government in Twety-One Caountries, (New Haven and London: Yale University Press,1984),Dieter Nohlen, Elections and Electoral System, (New Delhi: Macmilan,1996).
  • 60. 60 Tabel 9 HUBUNGAN ANTARA INSTRUMEN TEKNIS PEMILU DAN PEMBENTUKAN SISTEM PEMILU No. Instrumen Teknis Pluraitas- Mayoritas Proporsional Semi- Proporsional 1. Besaran daerah pemilihan Satu kursi Banyak kursi Sedikit kursi 2. Metode Pencalonan Calon individual Dicalonkan partai, dg daftar tertutup Dicalonkan partai, dg daftar terbuka 3. Metode Pemberian Suara Memilih satu calon Memilih satu partai Memilih satu partai dan/atau satu calon 4. Metode Penghitungan Suara Mayoritas Proporsional dan nomor urut Proporsional dan suara terbanyak Sistem pemilu mana yang dipilih oleh suatu negara tergantung pada prioritas tujuan yang hendak dicapai lewat pemilu. Sebab tidak ada satu pun sistem pemilu yang bisa digunakan untuk mencapai ketiga tujuan (keterwakilan politik, integrasi nasional, dan pemerintahan efektif) sekaligus, pada tingkat dan waktu yang sama. Misalnya, bila keterwakilan politik hendak dikedepankan, sistem proporsional lebih tepat; namun bila pemerintahan efektif yang hendak dicapai, sistem mayoritas-pluralitas lebih pas. Perkembangan system penyelenggaraan pemilu di Indonesia dapat disajikan secara sederhana dalam bentuk table berikut ini:
  • 61. 61 Tabel 10 Perbandingan System Pemilu di Indonesia (1955-2004) SISTEM 1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004 Dasar Hukum UU No. 7 tahun 1953 Pemilu UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 (perubahan pertama atas UU nomor 15 tahun 1969), dan PP nomor 1 tahun 1976. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 (perubahan kedua atas UU nomor 15 tahun 1969), dan PP nomor 41 tahun 1980 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1985 (perubahan ketiga atas UU nomor 15 tahun 1969), PP nomor 43 tahun 1985, PP nomor 37 tahun 1990. PP nomor 10 thun 1995, PP nomor 74 tahun 1996. Kedua PP ini hanya merubah mekanisme pendaftaran pemilih dan kampanye UU nomor 3 tahun 1999, PP nomor 33 tahun 1999 UU nomor 12 tahun 2003 Kepartaian Multi partai Multi partai Multi partai sederhana (fusi 10 partai menjadi 3 organisasi kekuatan social politikpartai, yakni PPP, PDI, Golkar) Multi Partai Multi Partai Jenis Pemilu  Pemilu anggota Parlemen  Pemilu anggota Konstituante 44  Pemilu anggota DPR  Pemilu anggota DPRD I (Provinsi)  Pemilu anggota DPRD II (Kabupaten)   Pemilu anggota DPR dan DPRD  Pemilu anggota DPD  Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Sistem yang digunakan System proporsional sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar  Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka) untuk memilih anggota DPR  Single Non Transverable Vote (SNTV) untukmemilih anggota DPD  Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran) utnukmemilih Presiden dan Wakil Presiden Peserta dan pencalonan Partai politik dan calon perseorangan untukPemilu anggota DPR dan anggota Konstituante Peserta Pemilu yang dapat mengajukan calon adalah:  Organisasi yang bukan termasukorganisasi terlarang  Partai politik  Organisasi Golongan Karya Peserta Pemilu yang dapat mengajukan calon adalah:  Partai politik  Organisasi Golongan Karya Partai politik untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD Partai politik untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD, dengan penambahan ketentuan tentang keharusan parpol dan Golkar untuk mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas Partai politik untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD Partai politik untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD Terdapat pengetatan syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu yakni:  diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang tentang Partai Politik;  memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah propinsi di Indonesia;  memiliki pengurus di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kotamadya di propinsi  Partai politik untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD  Individu calon anggota DPD  Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik Terdapat pengetatan persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu sebagai berikut:  memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;  memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi  memiliki anggota sekurang- kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;  harus mempunyai kantor tetap; Jumlah peserta pemilu 29 Parpol 10 partai politik 3 partai politik 48 partai politik 24 Partai Politik Besaran daerah pemilihan DPR 16 daerah pemilihan berbasis provinsi, namun sebagian merupakan gabungan provinsi, 26 daerah pemilihan berbasis provinsi untuk Pemilu anggota DPR 26 daerah pemilihan berbasis provinsi 27 daerah pemilihan berbasis provinsi (penambahan provinsi Timor Timur) 27 daerah pemilihan berbasis provinsi 27 daerah pemilihan berbasis provinsi 27 daerah pemilihan berbasis provinsi 27 daerah pemilihan berbasis provinsi 69 Daerah Pemilihan yang terdiri atas provinsi atau bagian dari provinsi 44 Konstituante adalahlembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk Undang-UndangDasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950.
  • 62. 62 Kursi yanga diperebutkan 257 kursi DPR 514 kursi konstituante Jumlah anggota DPR adalah 460 dengan perincian:  360 DPR dipilih melalui pemilu;  100 kursi diangkat,  500 kursi DPR  550 kursi DPR  128 kursi DPD  Memilih Prsiden dan wakil presiden Jumlah kursi di Daerah Pemilihan Jumlah kursi di daerah pemilihan paling sedikit 6 kursi, dan dapat bertambah berdasarkan perhitungan pembagian sisa kursi yang tersedia dengan memeprhatikan perimbangan dengan jumlah pendudukdi daerah pemilihan. Jumlah kursi Anggota DPR untuksetiap Daerah Pemilihan ditetapkan berdasarkan pada jumlah pendudukdi Daerah Tingkat I, dengan ketentuan setiap Daerah Tingkat II mendapat sekurang-kurangnya I (satu) kursi ……………. Jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan dapat terdiri atas paling rendah 3 kursi dan paling banyak12 kursi, yang penentuannya didasarkan pada perimbangan jumlah penduduk Syarat Pemilih  18 tahun atau sudah menikah.  tidak sedang dalam keadaan dipecat dari hak- pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;  tidak sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan, termasukdi dalamnya kurungan pengganti berdasarkan putusan pengadilan, yang tidak dapat diubah lagi,;  nyata-nyata terganggu ingatannya.  Warganegara RepublikIndonesia, yang pada waktu pendaftaran pemilih untukpemilihan umum sudah genap berumur 17 tahun atau sudah kawin terlebih dulu mempunyai hakmemilih.  Warganegara RepublikIndonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,termasukorganisasi massanya atau yang terlibat langsung ataupun taklangsung dalam, Gerakan Kontra Revolusi G.330S/P.K.l." atau organisasi terlarang lainnya tidakdiberi hakuntukmemilih dan dipilih  Nyata-nyata tidaksedang terganggu jiwa/ingatannya;  tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidakdapat diubah lagi, karena tindakpidana yang dikenakan ancaman pidana sekurang- kurangnya lima tahun.  tidak sedang dicabut hakpilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidakdapat diubah lagi  Anggota Angkatan Bersenjata RepublikIndonesia tidakmenggunakan hakmemilih.  Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hakmemilih  nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;  tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap, karma tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;  tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.  Warga negara RepublikIndonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hakmemilih.  nyata-nyata tidaksedang terganggu jiwa/ingatannya;  tidak sedang dicabut hakpilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. System pendaftaran pemilih Pendaftaran pemilih dilakukan oleh Panitia Pendaftaran Pemilih  Pendaftar mendatangi rumah- rumah pendudukuntuk mencatat dari penghuni rumah-rumah itu nama-nama pemilih  Pemilih Setiap pemilih berkewajiban memberitahukan kepada Kepala Desanya atau Kepala Daerah yang setingkat dengan Desa atau bagi mereka yang bertempat tinggal diluar negeri kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan, tentang segala hal yang dapat mengakibatkan perubahan pada daftar pemilih bagi dirinya sebagai pemilih. System stelsel aktif, petugas mendatangi pemilih untukdidaftar. Pengaturan tentang mekansime pendaftaran pemilih lebih lengkap hingga mencakup pendaftaran terhadpa pemilih yang tinggal di asrama, rumah sakit, penjara, yang tinggal di kediaman perwakialn asing, yang tidakmemiliki tempat tinggal tetap, dan pemilih di luar negeri. Pada pemilu 1997, ditambahkan pengaturan mekanisme pendafatran pemilih bagi masyarakat yang mengikuti program transmigrasi 45 .  Pendaftaran pemilih di tempat yang ditentukan, dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk(KTP) atau bukti diri lainnya yang sah  Untuk Desa/Kelurahan/UPT yang secara geografis sulit dijangkau oleh pemilih dan atau kondisi masyarakatnya masih sulit berprakarsa untuk mendaftarkan diri. PPS berkewajiban aktif melakukan pendaftaran pemilih yang bersangkutan  Pendaftaran pemilih dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih dengan mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat dilakukan secara aktif oleh pemilih.  Pendaftaran pemilih bagi warga negara RepublikIndonesia yang berdomisili di luar negeri dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan mendaftarkan diri ke PPLN setempat dan/atau dapat dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih. Penyuaraan  Mencoblos satu partai  Menulis nama calon perseorangan Pemilih memberikan suaranya kepada suatu organisasi dengan mencoblos salah satu di antara tanda gambar yang tercantum dalam masing-masing surat suara  Memilih satu partai  Pemberian suara untukPemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan 45 PP nomor 10 tahun 1995