3. • Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari
kata ( ةَّدِعال) yang bermakna perhitungan ( اءَصْحِاإل[)1. ]
Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci
atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa
iddah.
Menurut istilah, masa ‘iddah ialah sebutan/nama suatu masa
di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan
perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau
setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya,
atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa
bulan yang sudah ditentukan
4. Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :
َث ََلَث َّنِهِسُفْنَأِب َنْصَّبَرَتَي ُاتَقَّلَطُمَْالوٍ وُرُُ َة
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' [al-Baqarah/2:228]
5. ATURAN-ATURAN DALAM `IDDAH
Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah
dari suaminya dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai),
faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati,
dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan
suami istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan
kemampuan yang cukup untuk melakukannya. Berdasarkan
ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh
suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan
untuk itu, maka dia tidak memiliki masa iddah
6.
7. 1.WANITA YANG DITINGGAL MATI OLEH
SUAMINYA
A.Wanita yang ditinggal mati
suaminya ketika sedang hamil.
Wanita ini maka masa
menunggunya ('iddah) berakhir
setelah ia melahirkan bayinya
B.Wanita tersebut tidak hamil. Jika
tidak hamil, maka masa 'iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari
8. 2.Wanita Yang Diceraikan
ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang bisa
ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).
A. Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :
1. Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh.
2. Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah
manopause .
Bagi wanita yang seperti ini masa 'iddahnya adalah tiga bulan.
3. Wanita Hamil.
Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan
melahirkan.
4. Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan
wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur
maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan
suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.
9. B. Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu
sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak
sedang hamil.
1.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga
kali talak, masa iddahnya sekali haidh.
Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti
bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia
boleh menikah lagi dengan lelaki la
2.Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).
Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai,
masa ‘iddahnya sekali haidh
10. HIKMAH 'IDDAH
1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang
hamil atau tidak.
2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk
menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang
muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera
menikah.
3. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menunjukkan betapa
agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
4. Masa 'iddah disyari'atkan agar kaum pria dan wanita
berpikir ulang jika hendak memutuskan tali
kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
5. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menjaga hak janin
berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang
dicerai sedang hamil.
12. • Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata
hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau
memelihara anak.
• Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga
anak yang belum bisa mengatur dan merawat
dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya
dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya
13. HUKUM HADHANAH
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak
yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan
bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan,
sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah
dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
1. Hak wanita yang mengasuh
2. Hak anak yang diasuh
3. Hak ayah atau orang yang menempati posisinya
14. Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang
terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling
bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang lainnya.
Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang
memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang
dipandang pantas untuk menasuh anak.
2. Si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang
tidak mengharuskan demikian.
3. Seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih
berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu memberikannya kepada wanita
lain kecuali ada alsan syar’i yang memperbolehkannya.
4. Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia
harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga
tidak kehilangan haknya mengasuh anak.
15. URUTAN ORANG YANG BERHAK MENGASUH
ANAK
Kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hak anak
asuh dimulai dari:
1. Ibu kandung
2. Nenek dari pihak ibu
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara perempuan
5. Bibi dari pihak ibu
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki
7. Anak perempuan dari saudara perempuan
8. Bibi dari pihak ayah
9. Dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak
yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai
dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat
Madzhab Syafi’i sama dengan pendapat madzhab
Hanafi.
16. SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH ANAK (HADHA
Kalangan ahli fiqih menyebutkan sejumlah syarat untuk
mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi. Jika syarat ini tidak
terpenuhi, maka hak asuh anak hilang
Syarat pertama dan kedua, berakal dan telah baligh, sebab
kelompok ini masih memerlukan orang yang dapat menjadi wali atau
bahkan mengasuh mereka.
Syarat ketiga, Agama. yang mengasuh haruslah sama dengan
agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak
mengasuh anak Muslim
Syarat ke empat, mampu mendidik, sehingga orang yang buta,
sakit, terbelenggu dan hal-hal lain yang dapat membahayakan atau
anak disia-siakan maka tidak berhak mengasuh anak.
Syarat kelima, ibu kandung belum menikah lagi dengan lelaki
17. BERAKHIRNYA MASA PENGASUHAN DAN
KONSEKUENSINYA.Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang
lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah
mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi
kebutuhandasarnya seperti makan, minum memakai pakaian
dan lain-lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai. tetapi
jika kedua orangtua masih berselisih, maka ada duahal yang
harus diperhatikan:
Pertama, anak yang diasuh adalah laki-laki. Menurut
Madzhab Asy-syafi’i dan Ahmad, Anak diberi kesempatan
untuk memilih salah satu diantara keduanya,
Kedua, anak yang diasuh adalah anak perempuan.
Menurut imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan diberi
kesempatan menentukan pilihan seperti anak laki-laki dan dia
berhak untuk hidup bersama orang yang menjadi pilihannya
(ayahnya atau ibunya).
19. • Rujuk adalah bersatunya kembali seorang suami
kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa
menunggunya (iddah).Rujuk hanya boleh dilakukan di
dalam masa ketika suami boleh rujuk kembali kepada
isterinya (talaq raj’i), yakni di antara talak satu atau
dua. Jika seorang suami rujuk dengan istrinya, tidak
diperlukan adanya akad nikah yang baru karena akad
yang lama belum seutuhnya terputus.
20. ADA BEBERAPA SYARAT YANG MENJADIKAN
RUJUK SAH:
• 1. Istri yang ditalak telah disetubuhi sebelumnya. Jika suami
menceraikan (talak)) istrinya yang belum pernah disetubuhi,
maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuknya. Ini
adalah persetujuan (ijma) para ulama‟.
• 2. Talak yang dijatuhkan bukan merupakan talak tiga (talak
raj‟i).
• 3. Talak yang terjadi tanpa tebusan. Jika dengan tebusan,
maka istri menjadi talak bain atau tidak dapat merujuk lagi
istrinya.
• 4. Rujuk dilakukan pada masa menunggu atau masa iddah
dari sebuah pernikahan yang sah. Jika masa menunggu
21. HUKUM
PADA DASARNYA HUKUM RUJUK ADALAH BOLEH ATAU JAIZ, KEMUDIAN
HUKUM RUJUK DAPAT BERKEMBANG MENJADI BERBEDA TERGANTUNG
DARI KONDISI SUAMI ISTRI YANG SEDANG DALAM PERCERAIAN. DAN
PERUBAHAN HUKUM RUJUK DAPAT MENJADI SEBAGAI BERIKUT
1. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri lebih
dari satu dan apabila pernyataan cerai (talak) itu
dijatuhkan sebelum gilirannya disempurnakan.
Maksudnya adalah, seorang suami harus
menyelesaikan hak-hak istri-istrinya sebelum ia
menceraikannya. Apabila belum terlaksana, maka ia
wajib merujuk kembali istrinya.
2. Sunnah, yaitu apabila rujuk itu lebih bermanfaat
dibanding meneruskan perceraian.
22. RUKUN RUJUK
1. Istri, keadaannya disyaratkan sebagai berikut : istri telah
dicampuri atau disetubuhi (ba’da dukhul), dan seorang istri
yang akan dirujuknya, ditalak dengan talak raj’i, yakni talak
dimana seorang suami dapat meminta istrinya kembali dan
syarat selanjutnya adalah istri tersebut masih dalam masa
menunggu (iddah).
2. Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena
dipaksa, Islam dan sehat akal.
3. Adanya saksi.
4. Adanya sighat atau lafadz atau ucapan rujuk yang dapat
dimengerti dan tidak amburegul.
23. KETENTUAN RUJUK
1.Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa
kemaslahatan atau kebaikan bagi istri dan anak-
anak. Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian
baru terjadi satu atau dua kali.
2.Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa
menunggu atau masa iddah habis.
24. TATA CARA
• Ucapan
Rujuk dengan ucapan adalah dengan ucapan-ucapan yang
menunjukkan makna rujuk.Seperti ucapan suami kepada
istrinya, ” Aku merujuk‟mu” atau “Aku kembali kepadamu” dan
yang semisalnya.
• Perbuatan
Rujuk dapat dilakukan dengan perbuatan seperti; suami
menyentuh atau mencium isterinya dengan nafsu atau suami
mensetubuhi istrinya. Dan perbuatan semacam ini memerlukan
niat untuk rujuk. Ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Ishaq, dan
pendapat yang dipilih adalah pendapat Ibnu Taimiyyah.
25. BATASAN
Apabila seorang suami telah menjatuhkan/menceraikan istrinya
sebanyak tiga kali (Talak Tiga), maka ia tedak boleh merujuk
kembali istrinya kecuali setelah adanya 5 syarat, yaitu :
1. Telah berakhir masa menunggu (iddah) sang perempuan dari
suami yang mentalaknya.
2. Istri tersebut telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan
perkawinan yang sah.
3. Suami yang lain (Suami kedua) telah mencampurinya.
4. Pernikahannya dengan suami kedua telah rusak atau suami
keduanya telah menjatuhkan talak Ba-in kepadanya.
5. Telah habisnya masa iddah atau masa menunggu bagi sang
istri dari suami yang kedua.