1. KEARIFAN COWONGAN MELIHAT KEKERINGAN
Secara tradisional negeri ini memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.
Biasaya musim hujan antara bulan September-Maret dan musim kemarau antara bulan Mei-
Agustus, artinya 6 bulan musim hujan dan 6 bulan musim kemarau. Meskipun musim kemarau
lebih kering dari musim hujan tetapi tidak mesti mengakibatkan kekeringan. Belum termasuk
dampak dari el nino.
Menurut BMKG musim kemarau tahun 2012 akan berakhir pada bulan Oktober ditandai
datangnya musim hujan. Informasi perkiraan pergantian musim, saat ini mudah diakses dengan
tingkat akurasi baik. Meskipun begitu, bagi daerah yang mengalami kekeringan tentunya satu
bulan dalam hitungan hari adalah waktu yang panjang.
Telah banyak kabar, tentang peternak sapi yang menjual salah satu sapinya untuk membeli
pakan. Peternak kambing yang harus merumput ke daerah lain dengan jarak puluhan kilometer.
Kisah keluarga yang harus menempuh jalan puluhan kilometer untuk mendapatkan air bersih.
Antrian orang mengambil air dari belik (sumur kecil) di dasar sungai. Petani yang berkelahi di
pematang sawah karena berebut air untuk mengairi sawahnya. Petani yang menjual lapisan tanah
sawahnya untuk memenuhi kebutuhan dapurnya dan juga petani yang lama mengaggur pada
musim kemarau.
Cerita tersebut merupakan cerita klasik, jauh sebelum informasi perkembangan klimatologi
begitu mudah diakses seperti sekarang ini. Sehingga kita dengar di lembah sungai serayu ada
upacara pemanggilan hujan berupa cowongan. Seperti suku-suku lain di belahan dunia,
masyarakat lembah sungai serayu juga memiliki ritual pemanggilan hujan. Pesan ritual ini dapat
lihat dari tembang berikut ini.
Kebul-kebul perjaka nguntut bekatul
Umahe nang pesisir kidul
Tabage jaro pulutan
Kenene ora ana suwarga akeh wit-witan
Kondisi yang memprihatinkan yakni kisah pinggiran dari rumah berdinding bilah bambu.
Seorang perjaka yang memakan bekatul. Sebuah ketiadaan dengan pembanding suarga yang
2. berlimpah pepohonan. Tembang tersebut adalah tembang untuk mengiringi ritual cowongan.
Gambaran hubungan manusia dengan Tuhan, alam dan sesama.
Menurut Dasiyah, saat masih belia ia sebagai pelaku ritual cowongan di ujung timur Banyumas.
Bahwa cowongan adalah usaha tetua desa atau tokoh masyarakat kala itu melihat kegelisahan
atas realitas dilingkunganya. Ketika kemarau panjang menyapa yang berimbas pada kelangkaan
air dan sumber makanan. Sebuah keadaan paceklik, lumbung padi mulai kosong, air sungai
mengering hinga cadangan makanan habis. Gadung, gembili, suweg, ganyong, ubi-ubian lain
dibongkar habis dari pekarangan. Harapan terakhir ada pada singkong yang dikeringkan dipara-
para untuk membuat tiwul.
Pada saat itu dengan ukuran yang sangat lembut sebuah usaha melihat kegelisahan masyarakat,
tetua desa atau tokoh masyarakat dengan kesadaran melihat alam, sesama dan keyakinan
ketuhanan. Orang yang dianggap mampu atau dituakan ini segera melakukan ritual cowongan
untuk pemanggilan hujan. Harapannya kegelisahan masyarakat pada kondisi paceklik segera
disudahi dengan datangnya hujan untuk menggeliatkan biji-bijian dari tidur panjangnya.
Sehingga tumbuh menjadi tanaman sebagai sumber makanan. Sebuah inisiasi dari tetua desa atau
tokoh masyarakat kala itu untuk melakukan pemanggilan hujan. Nilai cowongan ini menjadi
nilai sebuah solidaritas.
Nilai tersebut pada kondisi kekinian dengan ukuran yang jelas perlunya kepedulian terhadap
alam karena pada konteks yang lebih luas perlunya penjagaan sumber resapan di daerah hulu
serta penanaman pohon untuk penanggulanan efek global warming. Pada tingkat pengambil
kebijakan perlunya sentuhan terhadap petani atau masyarakat yang mengalami kekeringan. Pada
musim kemarau banyak petani yang mengaggur, pemerintah perlu menyediakan work for food
seperti halnya pembangunan irigasi, jalan desa.
.