Sistem reproduksi teripang pasir dan cacing laut meliputi proses gametogenesis, pemijahan, dan embriogenesis. Teripang pasir bersifat gonochoristik dengan gonad tunggal terletak di bagian anterior. Siklus reproduksinya dimulai dengan pemijahan bersamaan antara jantan dan betina, diikuti pembelahan sel dan perkembangan embrio. Cacing laut juga gonochoristik dengan gonad terletak di beberapa segmen tubuh. Siklusnya meliputi gametogenesis, pemij
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
UAS FISREP AVERTEBRATA AIR.pdf
1. UJIAN AKHIR SEMESTER FISIOLOGI REPRODUKSI AVERTEBRATA AKUATIK
PROGRAM STUDI ILMU AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAMIS, 18 DESEMBER 2022, PK 08.00-10.00
A. ESSAY
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan uraian singkat dan jelas! (100)
Nama : Wiwin Kusuma Atmaja Putra
NIM : C1601222016
MK : Fisiologi Reproduksi Avertebrata Air
Ujian : UAS semester Ganjil tahun 2022
1. Uraikan bagaimana sistem reproduksi pada timun laut, tripang!
Jawaban:
Teripang atau timun laut termasuk ke dalam Kelas Holothuroidea dari Filum
Echinodermata yang merupakan hewan tidak bertulang belakang yang bertubuh lunak atau
berduri. Tubuh teripang pasir berupa bulat panjang dengan garis oral dan aboral sebagai sumbu
yang menghubungkan bagian anterior dan posterior. Bagian perutnya berwarna putih kekuning-
kuningan dan punggungnya berwarna abu-abu hingga kehitaman. Duri pada teripang pasir berupa
butir-butir kapur mikropis yang tersebar dalam lapisan kulit (spikula). Di bawah lapisan kulit
tersebut terdapat otot melingkar dan memanjang. Pada permukaan tubuh teripang terdapat lima
baris kaki tabung (tube feet) yang tersusun radier dari mulut ke arah anus. Kaki-kaki tabung pada
sisi ventral berjumlah tiga baris atau disebut trivium yang berfungsi sebagai organ penggerak
(locomotory organ), sedangkan dua baris di dorsal disebut bivium yang berfungsi sebagai alat
respirasi dan sebagai saraf penerima. Mulut dan anus teripang pasir terletak pada poros yang
berlawanan, yaitu mulut di bagian anterior dan anus pada bagian posterior. Mulut teripang
dikelilingi oleh tentakel yang berbentuk perisai sebanyak 10-30 buah yang berfungsi untuk
mengambil dan mengisap makanan (Junus et al. 2018).
Teripang pasir bersifat diaceos atau gonochoristic, ada individu jantan dan betina namun
tidak terlihat adanya dimorfisma kelamin. Perbedaan hanya terlihat dengan melakukan
pengamatan terhadap gonadnya melalui biopsy atau dengan mengamati saat proses pemijahan
terjadi. Teripang pasir jantan akan mengeluarkan semen (milt) dengan sperma sementara betina
mengeluarkan telur. Secara umum, teripang dapat bereproduksi baik secara seksual dan aseksual
(pembelahan/fission) namun teripang pasir tidak bisa bereproduksi secara aseksual (Hartati et al.
2020).
Siklus reproduksi teripang Selama reproduksi, dimulai saat jantan dan betina teripang
mengeluarkan sperma dan telur secara bersamaan ke dalam kolom air dimana pembuahan
eksternal terjadi. Pada habitatnya, teripang pasir yang telah matang gonad akan berkumpul secara
alami (lebih dari 10 ekor pada jarak 5 meter) sebelum terjadinya pemijahan secara serempak yang
bertujuan untuk memastikan tingkat pembuahan yang tinggi (Bell et al. 2008). Telur yang telah
dibuahi akan berkembang menjadi larva auricularia yang bersifat plantonik dan memakan
mikroalga. Setelah kurang lebih dua minggu, larva tersebut akan bermetamorfosis menjadi larva
doliolaria dan akhirnya menjadi pentactula yang menempel pada lamun. Fase larva doliolaria
merupakan fase yang krusial pada kegiatan pembenihan skala hatcheri karena sering terjadi
kematian yang tinggi akibat subtratnya tidak sesuai (Junus et al. 2018). Pada tahap pentactula,
2. larva memakan biofilm pada permukaan daun lamun. Selanjutnya, sekitar satu atau dua minggu,
teripang muda akan bermigrasi ke sedimen dan tumbuh menjadi induk teripang pasir.
Jenis kelamin teripang pasir dapat dilihat dari warna gonadnya. Gonad betina ditunjukkan
dengan warna merah muda kekuningan, sedangkan warna putih sampai krem menunjukkan gonad
jantan. Tingkat kematangan gonad (TKG) pada teripang pasir tersaji pada Tabel 2. Secara umum
gonad betina memiliki tubula yang lebih panjang daripada jantan. Sakula (perbesaran tubula pada
bagian-bagian tertentu sehingga membentuk kantung-kantung kecil) hanya ditemui pada gonad
jantan dan jumlahnya meningkat seiring dengan peningkatan kematangan gonadnya.
Perkembangan dan pematangan tubulus gonad ditentukan protein dan lemak yang tersimpan di
usus (Junus et al. 2018).
Teripang pasir mempunyai gonad tunggal yang terletak pada bagian anterior tubuhnya.
Gonad ini terdiri atas dua untaian tubula-tubula yang panjang dan mempunyai percabangan.
Tubulus gonad teripang terbagi menjadi dua bagian, yaitu symmetrical dichotomy (terdiri dari dua
3. cabang berdiameter sama) dan asymmetrical dichotomy (terdiri dari dua cabang dengan diameter
yang berbeda) (Demeuldre dan Eeckhaut 2012). Perbedaan jenis tubulus gonad ini bertujuan untuk
meningkatkan volume gonad tanpa meningkatkan ukuran secara berlebihan pada tubulus gonad.
Tahapan Oogenesis pada teripang betina. (a) Perkembangan ovary, dengan adanya oosit
pada tahapan pre-vitelogenesis dan mid-vitelogenesis. (b) Ovary yang telah matang dengan oosit
telah berada di dalam folikel (f) dan vesikula germinal (gv). (c) Ovarium yang memijah sebagian,
dengan terdapatnya oosit yang matang belum mengeluarkan telurnya serta adanya relik oosit. (d)
Penyusutan tubulus secara intensif dan beberapa sisa oosit masih ada; skala bar 100μm (Santos et
al. 2016).
Spermatogenesis pada teripang jantan. (a) Perkembangan testis, dengan berkembangnya
spermatosit (sc) dan spermatozoa (sz) dan mulai mengisi lumen seiring dengan perkembangan
testis. (b) Testis yang telah matang dengan spermatosit (sc) berada di sepanjang dinding gonad dan
terjadinya akumulasi spermatozoa (sz). (c) Testis memijah sebagian, dengan spermatozoa (sz) di
dalam lumen. (d) Testis berisi residu spermatozoa atau lumen kosong; skala bar 100μm (Santos et
al. 2016).
Regulasi hormonal teripang untuk fungsi biologis memiliki karakteristik tersendiri dan
umum untuk semua filum hewan, termasuk avertebrata. Sejumlah avertebrata tidak mempunyai
organ khusus untuk sekresi hormon sehingga sekresinya dilakukan oleh sel neurosekretori yang
merupakan sumber hormon pada avertebrata. Beberapa kelompok avertebrata (enchinodermata)
menggunakan seluruh hormonnya bila dibandingkan dengan veterbrata sehingga veterbrata-type
sex steroids diproduksi dalam kelompok tersebut dan memainkan peran fungsional. Hormon yang
termasuk ke dalam veterbrata-type sex steroids adalah estrogen, androgen dan progesterone yang
berfungsi dalam mengatur proses reproduksi avertebrata (Janer dan Porte 2007; Lafont dan
Mathieu 2007). Beberapa hasil penelitian pada teripang pasir ditemukan terdapat hormon
neurotransmitter, antara lain serotonin (5-HT), dopamine (DA) (Chaiyamoon et al. 2018), atau
GABA dan beberapa neuropeptide, yakni TRH/GnRH-Like Peptide dan cubifrin yang terdapat di
jaringan gonad yang berfungsi dalam pengembangan gonad, gametogenesis, pemijahan dan
perkembangan larva teripang pasir (Chaiyamoon et al. 2018, 2020; Nontunha et al. 2021).
Selanjutnya, Nontunha et al. (2022) menambahkan hormon prostaglandin E2 (PGE2) dapat
menstimulasi perkembangan gonad dan proliferasi sel germinal pada teripang pasir.
Hasil penelitian Thongbuakaew et al. (2021) menunjukkan terdapatnya hormon steroid
berupa estrogen, androgen dan progesterone dalam proses pematangan gonad teripang pasir.
Steroidgenesis teripang pasir dipengaruhi oleh keberadaan steroidgenic-related enzyms dan
biosintensis sex steroid yang diekspesikan melalui gen HscStAR, HscCYP10, HscCYP17,
HscCYP3A, Hsc3β-HSD dan Hsc17β-HSD yang terdapat pada seluruh organ teripang pasir
(Gambar 15). StAR dan CYP10 merupakan enzim primer yang membantu mentransfer kolesterol
melintasi membran mitokondria untuk diubah menjadi pregnenolon. CYP17 adalah enzim
steroidogenik utama dalam pembentukan testosterone. Lalu, 3β-SD penting untuk sintesis
progesteron, 17beta-hidroksiprogesteron, androstenedion, dan testosteron serta 17β-HSD berperan
dalam konversi dehydroepiandrosterone (DHEA) menjadi androstenediol, androstenedion menjadi
testosteron, dan estron menjadi estradiol. Namun gen CYP19 yang berfungsi untuk akitivitas
aromatase tidak ditemukan dalam jaringan teripang pasir. Hormon steroid berupa estrogen dan
progesterone dapat mengontrol perkembangan oosit dan pematangan ovarium pada teripang pasir
melalui regulasi sintesis vitelogenesis. Kandungan estradiol lebih tinggi pada saat dimulai
vitelogenesis dan konsentrasi progesterone tinggi pada saat matang gonad. Namun perlu dilakukan
4. penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan sintesis endogen steroid seks dan perannya dalam
fisiologi teripang.
Pemijahan teripang dimulai dengan perkembangan gonad pada teripang pasir terjadi secara
asinkronus sehingga pemijahannya terjadi secara terus menerus sepanjang tahun. Bobot indukan
teripang pasir yang siap untuk dipijahkan sebaiknya >250 g dengan sex ratio yang digunakan
adalah 1:1. Perbandingan jantan dan betina teripang pasir akan menentukan keberhasilan dalam
pemijahan teripang pasir. Jika terlalu banyak jantan maka menyebabkan polyspermy, yaitu
keadaan dimana satu telur dibuahi
oleh banyak sperma. Hal ini dapat menyebabkan embryogenesis yang abnormal, telur tidak
menetas dan terganggunya perkembangan larva. Untuk menghindari hal tersebut, jantan yang telah
memijah sebaiknya dikeluarkan dalam wadah pemijahan.
Beberapa teknik rangsang pijah lainnya yang dapat dilakukan antara lain a) ekstraksi
gonad, membedah individu untuk diambil gonadnya; b) tekanan air, menyemprotkan air laut
dengan kencang selama beberapa menit; c) pengeringan, induk teripang diletakkan dalam bak
kering atau diisi air laut dengan ketinggian 20 cm, dibiarkan hingga 30-45 menit; d) pemberian
supplement pakan, menambahkan tepung spirulina (±30 g dalam 300-500 liter air laut) atau
Algamac 2000 dengan konsentrasi 0,1 g per liter (Altamirano dan Rodriguez 2022). Fase
pemijahan terjadi sekitar satu jam setelah dilakukan rangsang pijah. Tingkah laku teripang pada
saat memulai memijah ditandai dengan gerakan berputar, merayap di dinding, menegakkan dan
mengayunkan kepala (Battaglene et al. 2002). Kemudian, jantan akan terlebih dahulu
mengeluarkan sperma berwarna putih melalui gonopore dengan durasi waktu 0,5-3 jam sehingga
air menjadi keruh. Jantan akan mengeluarkan lebih dari 1 juta sperma dalam waktu 10 menit
(Altamirano dan Rodriguez 2022). Keluarnya sperma akan merangsang teripang betina untuk
5. mengeluarkan telur dari gonopore ke air, yaitu 0,5-1 jam setelah awal pemijahan teripang jantan
(Yang et al. 2015). Telur yang matang dan berkualitas baik dicirikan berwarna kuning hingga
oranye, namun jika telur berwarna putih atau pucat maka kemungkinan belum matang atau
berkualitas rendah. Bobot tubuh teripang berkolarasi dengan jumlah telur yang dihasilkan. Betina
dengan bobot rata-rata 250 g menghasilkan sekitar 2 juta telur dan bobot tubuh betina sekitar 450
g menghasilkan 3-4 juta telur (Altamirano dan Rodriguez 2022).
Embriogenesis pada teripang pasir terjadi setelah pembuahan berlangsung, yaitu ditandai
dengan pembelahan sel dan perkembangan embrio yang terjadi secara cepat. Secara fase
embryogenesis teripang pasir terjadi antara 36-48 jam dengan tahapannya yaitu telur yang dibuahi
mengalami pembelahan dari 1 sel menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel dan seterusnya berdiferensiasi
(blastula) yang kemudian membentuk organ (gastrula). Setelah 48 jam, telur menetas menjadi fase
larva yang terdiri dari preauricularia, auricularia awal, auricularia tengah, auricularia akhir,
dolioraria (awal, tengah, akhir) dan pentactula (Morgan 2000). Sel telur yang telah dibuahi akan
berkembang menjadi tahapan 2 sel dan 4 sel dalam waktu satu jam setelah pembuahan dan akan
berkembang menjadi tahapan pembelahan 32 sel dalam waktu 3 jam. Ciri telur yang telah dibuahi
dengan baik ditandai dengan telur berbentuk bulat sempurna dengan diameter telur berkisar 150-
180μ, sedangkan ciri-ciri telur yang tidak baik atau mati ditandai dengan kelainan bentuknya
seperti telur mengkerut, terdapatnya tonjolan atau perkembangan sel yang tidak teratur. Sel-sel
yang mengelompok pada tahapan pembelahan sel harus menunjukkan terdapatnya blastomer yang
ukuran sama dan tersusun secara radial.
2. Uraikan bagaimana sistem reproduksi pada cacing laut!
Jawaban:
Secara visual, Nereis sp. memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut. Bagian dorsal
prostomium-nya terdiri atas 2 buah antena, 2 buah palp, 4 buah mata berukuran relatif besar, dan
4 pasang tentacular cirri yang terbagi di bagian lateral (kiri dan kanan) kepala cacing. Cacing laor
(Nereis) pada saat swarming, melakukan gerakan-gerakan putaran spiral secara aktif dan
cenderung mendekat ke arah cahaya. Pengamatan secara ex situ menunjukkan bahwa melalui
gerakangerakan ini, bagian epitoke dari cacing laor aktif mengeluarkan sel-sel sperma dan sel
telurnya. Sel sperma yang dilepaskan membuat air dalam botol sampel menjadi licin, sedangkan
ovum yang dilepaskan membuat air dipenuhi dengan bulatan-bulatan kehijauan. Setelah seluruh
sel kelamin dilepaskan, epitoke akan menjadi kosong, tidak bergerak, dan mati.
Pendapat Russell-Hunter (1979) bahwa epitoke merupakan bagian matang kelamin dari
cacing laut Polychaeta yang berperan penting dalam proses reproduksi. Dijelaskan selanjutnya,
epitoke bersifat fototrofik positif, yakni cenderung bergerak mendekat ke arah cahaya. Crawford
et al. (2007) memaparkan bahwa epitoke akan mengalami kematian setelah melepaskan sel-sel
kelaminnya. Dengan adanya informasi-informasi tersebut, dapat diketahui bahwa cacing laor yang
sepenuh tubuhnya muncul ke permukaan perairan sebagai epitoke melakukan strategi perkawinan
secara monotelik, yakni hanya memijah sekali dalam setahun dan kemudian mati. Epitoke
merupakan bagian seksual cacing, sedangkan atoke adalah bagian aseksualnya (Glasby et al.,
2000). Epitoke yang didapat ada yang berwarna merah muda dan ada yang berwarna hijau. Epitoke
yang berwarna merah muda diketahui membawa sel sperma, sedangkan pada epitoke yang
berwarna hijau diketahui membawa ovum. Crawford et al. (2007) menjelaskan bahwa reproduksi
pada cacing laut Polychaeta secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara
klonal (aseksual) dan secara epitoky (seksual).
6. Reproduksi secara klonal dilakukan baik dengan meregenerasi bagian tubuh yang
terpotong maupun dengan membentuk stolon. Sedangkan pada reproduksi secara epitoky, separuh
atau seluruh bagian tubuh cacing, pada masa-masa tertentu, akan menjadi matang kelamin. Melalui
keterangan-keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa cacing laor di perairan Desa Latuhalat
melakukan reproduksi secara epitoky, serta dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan
memunculkan seluruh tubuhnya yang telah matang kelamin ke permukaan air (epitoke sepenuh
badan); dan kedua, melalui pemisahan bagian epitoke dari atokenya. Epitoke muncul ke
permukaan air untuk melakukan pemijahan secara eksternal, sedangkan bagian atoke tertinggal di
dasar perairan. tanda-tanda terjadinya proses reproduksi juga ditunjukkan dengan adanya
modifikasi bentuk tubuh cacing laor. Modifikasi tersebut diperlihatkan pada cacing laor yang
sepenuh tubuhnya muncul ke permukaan perairan untuk melakukan pemijahan. Dari hasil
pengamatan di bawah mikroskop, tepat mulai dari segmen ke-20 dari tubuh cacing ini ke arah
posterior, diketahui mengalami modifikasi bentuk. Segmen tubuh cacing laor mulai dari segmen
ke-20 terlihat lebih rapat; parapodia (struktur serupa kaki) menjadi lebih lentur; dan setae (struktur
serupa rambut yang melekat pada parapodia) menjadi relatif lebih panjang. Di samping itu, organ
mata dari cacing laor juga diketahui relatif besar.
Menurut Russell-Hunter (1979), pada saat swarming, cacing laut Polychaeta akan berubah
sifat dari organisme bentik yang hidup di dasar perairan menjadi organisme planktonik yang
melayang pada kolom perairan. Dijelaskan selanjutnya, perubahan sifat hidup cacing laut
Polychaeta dari bentik menjadi planktonik menuntut modifikasi bentuk tubuh. Day (1967) dan
Barnes (1987) menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi, sebagian tubuh spesies dari famili
Nereidae akan mengalami perubahan bentuk menjadi kaki renang. Perubahan ini, menurutnya,
ditandai dengan adanya natatory setae, yakni bentuk setae yang memungkinkan bagi hewan
tersebut untuk berenang. Selain itu, diterangkan bahwa pada saat bereproduksi, ukuran organ mata
cacing laut Polychaeta dari famili Nereidae akan menjadi relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan ukuran matanya pada saat tidak sedang bereproduksi.
3. Uraikan bagaimana sistem reproduksi spons!
Jawaban:
Reproduksi sponge dilakukan 2 cara yaitu secara seksual dan aseksual (pembentukan
tunas). Tunas yang terbentuk memisahkan diri dari induknya kemudian terbentuk individu baru.
Reproduksi aseksual dilakukan dengan membentuk kuncup (tunas). Kuncup –kuncup muncul dari
tubuh Porifera bagian “kaki”, dan tetap tinggal bersama induknya. Jika dari satu tangkai terbentuk
beberapa Porifera baru yang mengumpul, maka akan terbentuk koloni. Selain itu, jika tubuh
Porifera terpotong, setiap potongan mampu tumbuh menghasilkan individu baru (tingkat
regenerasi Porifera tinggi).
Reproduksi seksual pada sponge memperlihatkan ragam yang sangat besar, tetapi
kebanyakan terungkap pada daerah subtropis, dan hanya sebagian kecil yang terungkap pada
daerah tropis. Sponge Aaptos aaptos adalah salah satu sponge yang bernilai ekonomis penting
(mengandung senyawa antitumor, Aaptamin), yang informasi reproduksi seksualnya masih relatif
sedikit yang terungkap. Informasi reproduksi seksual sponge ini hanya diungkapkan oleh Sara
(1992), yang menentukan seksualitasnya (gonokhorik) dan cara reproduksinya (ovipar) di Italia.
Informasi reproduksi seksualnya yang lain diungkapkan juga oleh Ayling (1980), yang
menentukan periode reproduksinya (pendek) dan menghasilkan sperma dan oosit secara
bersamaan di Selandia Baru.
7. Seperti pada karang dan hewan avertebrata laut lainnya, sponge juga tidak memiliki ciri
seksual sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan jenis seksualitasnya. Oleh karena itu,
satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk pengamatan tersebut adalah pengamatan histologik
pada jaringannya. Seksualitas pada sponge dapat dikelompokkan atas dua, yaitu:
1) Hermaprodit, yaitu jenis sponge yang menghasilkan baik gamet jantan atau betina
selama hidupnya, tetapi menghasilkan telur dan sperma dalam waktu yang berbeda;
(2) Gonokhorik, yaitu jenis sponge yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja
selama hidupnya (Reseck 1988; Kozloff 1990; Ruppert & Barnes 1991; Amir & Budiyanto 1996).
Tetapi pada umumnya seksualitasnya adalah hermaprodit, dan menghasilkan sperma dan oosit
pada waktu yang berbeda (Kozzlof 1992; Ruppert & Barnes 1991; Brusca & Brusca 1990). Semua
aspek-aspek yang mengatur reproduksi pada sponge kurang banyak diketahui (Bergquist 1978).
Suhu diasumsikan sebagai faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi sponge pada
daerah beriklim empat, di mana perubahan musiman besar terjadi. Peningkatan suhu umumnya
yang terima sebagai suatu faktor lingkungan utama yang mengatur awal aktivitas reproduksi pada
sponge di daerah yang perubahan musimnya besar (Sara 1992; Fromont 1994). Korelasi yang kuat
antara suhu air laut dan gametogenesis juga telah dilaporkan dalam berbagai penelitian,
peningkatan suhu dapat menginduksi produksi gamet dalam banyak kasus (Ereskovsky &
Gonobobleva 2000; Mercurio et al. 2007). Di British Honduras gametogenesis umumnya terjadi
antara Maret dan April, di Bahama antara April dan Juni, dan di Cedar Keys (Florida) antara Juni
dan Juli. Puncak reproduksi di tiga lokasi tersebut berhubungan dengan suhu air pada 29o
C. Di
British Honduras dan Bahama beberapa spesimen ditemukan reproduktif sepanjang tahun, di
Cedar Keys reproduksi terhenti pada musim dingin dengan suhu yang turun secara drastis,
reproduksi hanya terjadi antara April dan Oktober. Hubungan antara kisaran suhu dan reproduksi
ditemukan pada Haliclona loosanoffi di lokasi yang berbeda di Pantai Amerika Utara.
Reproduksi terjadi pada kisaran suhu antara 20 o
C dan 27 o
C, sedangkan yang diinisiasi
penurunan suhu jumlahnya terbatas, seperti sponge jenis Halisarca dujardini, Desmacidon
fructicosum, Tethya crypta, dan Aplysina gigantea (Fromont 1999). Di Laut Mediterrania, sponge
Axinella damicornis memiliki periode gametogenesis yang panjang, yaitu 7–8 bulan. Spermatosit
dan oosit keluar secara bersamaan pada bulan April-Mei 2005 pada saat suhu air laut meningkat
(Riesgoa & Maldonado 2008), sementara di White Sea gametogenesis Halichondria panacea
berlangsung pada bulan Juni dan Halichondria sitiens berlangsung dari pertengan Juni sampai
pertengahan (Gerasimova & Ereskovsky 2007). Beberapa penelitian juga memperlihatkan bahwa
gametogenesis tidak berhubungan sama sekali dengan suhu.
Faktor lain yang mungkin penting adalah cahaya, khususnya fotoperiode dan ketersediaan
makanan (Sara 1992). Di daerah tropik, walaupun studi reproduksi sponge masih relatif sedikit,
tetapi beberapa penelitian sudah dapat memberikan gambaran, seperti yang dilakukan oleh Ilan
dan Loya (1988) yang menemukan bahwa kelihatannya gametogenesis berhubungan juga dengan
peningkatan suhu perairan pada sponge Niphates sp, tetapi dijelaskan bahwa aktifitas reproduksi
di atas musim kemarau dapat juga berhubungan pada musim tidak kelihatannya alga bentik. Hoppe
dan Reichert (1987) menjelaskan juga bahwa pengeluaran gamet sponge jenis Neofibularia
nolitangere pada daerah tropik berhubungan erat dengan fase bulan. Untuk mengetahui karakter
reproduksi sponge di daerah tropis, khususnya jenis Aaptos aaptos perlu dilakukan penelitian,
terutama yang berkaitan dengan karakter perkembangan gametnya. Penelitian ini dilaksanakan di
perairan tropik Pulau Barrang Lompo, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Penelitian
diharapkan dapat dijadikan bahan informasi untuk pengembangan budidayanya di masa yang akan
datang, khususnya perbenihannya.
8. Perkembangan gamet jantan
Pada sponge Demospongiae perkembangan sel-sel sperma meliputi: 1) differensiasi sel-sel
batang, spermatogonia; 2) pembentukan kantong sperma (spermatic cyst); dan perkembangan
sperma matang. Sponge dewasa tidak mempunyai organ yang dapat diidentifikasi secara struktur
sebagai organ reproduksi, dan perkembangan gamet-gamet jantan adalah differensiasi cadangan
sel-sel sponge dewasa ke dalam bentuk spermatogonia, yang kemudian membentuk kantong
sperma (spermatic cyst). Selama masa reproduktif, kelompokkelompok sel-sel spermatogonia
terbentuk di dalam mesohyl. Spermatogonia pada sponge umumnya berasal dari sel-sel
choanocytes atau archaeocytes. Spermatogonia berkembang secara langsung dari choanocytes
secara in situ, tidak mengalami mitosis tetapi diproses secara langsung untuk membentuk sperma.
Perubahan choanocytes ke spermatogonia menyebabkan hilangnya collar, menekan sitoplasma
dan phagosomes di bagian dasar sel, dan sel bermigrasi ke lumen yang berada di dalam chamber
(Sara 1992), kemudian spermatogonia tersebut mengalami pembelahan meiosis. Kelompok
spermatogonia tersebut selanjutnya dikelilingi oleh sebuah dinding selluler membentuk sebuah
kantong sperma (Ruppert & Barnes 1991) yang berasal dari sel-sel mesohyl Sara (1992).
Menurut Harrison dan De Vos (1991) dan Harris (1988) spermatogenesis pada sponge
terjadi di dalam kantong sperma (spermatic cyste). Di dalam kantong sperma, spermatosit
mengalami differensiasi. Menurut Harrison dan De Vos (1991) differensiasi sperma terbagi atas
tiga bentuk, yaitu: 1) semua sel-sel pada semua kantong sperma (spermatic cyst) mungkin
berkembang secara bersama-sama; 2) sel berdiferensiasi di dalam sebuah kantong sperma
berkembang secara bersama-sama, tetapi tahap perkembangan bervariasi pada kantong sperma
yang berbeda; dan 3) perkembangan 208 Jurnal Natur Indonesia 14(3): 205-211 Haris, et al. sel di
dalam beberapa kantong sperma berbeda tahap perkembangannya. Bentuk diferensiasi sel pada
sponge Aaptos aaptos adalah perkembangan sel di dalam beberapa kantong sperma berbeda tahap
perkembangannya. Bentuk differensiasi sel di dalam kantong sperma pada sponge Aaptos aaptos
berbeda dengan sponge yang masih satu ordo dengannya, yaitu Suberitas massa yang bentuk
differensiasi selnya di dalam satu kantong sperma berbeda tahap perkembangannya (Harrison &
De Vos 1991).
Kantong sperma sponge Aaptos aaptos yang selnya (sel sperma) sudah tahap matang
umumnya berbentuk lonjong. Bentuk kantong sperma sponge Aaptos aaptos ini relatif sama
dengan bentuk kantong sperma sponge jenis Suberitas massa (Harrison & De Vos 1991), Mycale
sp (Fromont 1999), Ircinia strobilina (Hoppe 1988), tetapi berbeda dengan sponge jenis
Xestospongia testudinaria (Fromont 1988), Xestospongia exigua (Fromont & Bergquist 1994),
Niphates nitida (Fromont 1994), Petrosia sp (Asa et al. 2000) yang bentuknya tidak beraturan,
sedangkan jenis Halichondria panacea dan Halichondria sitiens bentuknya bulat (Gerasimova &
Ereskovsky 2007). Secara histologis, pada tahap spermatosit I, spermatosit di dalam kantong
sperma belum terlihat dengan jelas, jaringan ikat terlihat terlihat lebih dominan, warna kantong
sperma dan spermatositnya merah muda keputihputihan, dan ukuran kantong sperma masih relatif
kecil, diameternya berkisar 24–41 mm.
Pada tahap spermatosit II, spermatosit di dalam kantong sperma sudah agak kelihatan
batas-batasnya, warna kantong sperma dan spermatositnya tetap warna merah mudah yang agak
tua keputih-putihan, ukuran kantong sperma lebih besar daripada di spermatosit II, diameternya
berkisar 42–54 mm. Pada tahap spermatosit III, spermatosit di dalam kantong sperma jelas
kelihatan batas-batasnya, di beberapa tempat inti spermatosit kelihatan berwarna biru
kehitamhitaman, ukuran kantong sperma lebih besar daripada di spermatosit II, diameternya
berkisar 55–66 mm. Jika dibandingkan dengan sponge jenis Axinella damicornis ukuran kantong
9. tersebut jauh lebih kecil. Hasil penelitian Riesgo dan Maldonado (2008) mendapatkan ukuran
kantong sperma (spermatosit matang) sponge jenis Axinella damicornis.
Perkembangan gamet betina
Perkembangan Gamet Betina. Seperti pada sponge jantan, oogonia pada sponge betina juga
berasal dari choanocytes atau archaeocytes (Harris 1988; Ruppert & Barnes 1991; Harrison & De
Vos 1992). Oosit umumnya mengakumulasi cadangan nutrisinya melalui penelanan sel-sel
perawat (nurse cells) yang berada didekatnya dan biasanya terdapat di dalam suatu kelompok sel-
sel yang mengelilinginya (Ruppert & Barnes 1991). Sel-sel khusus yang bertindak sebagai sel-sel
perawat (nurse cells) pada sponge sangat bervariasi, seperti: archaecyte, sel-sel spherulous, sel-sel
microgranular, sel-sel hijau, sel-sel eosinophilic, sel-sel seperti oocytes, follicular ephithelium, dan
chonocyte. Selain dari sel-sel perawat (nurse cells), mekanisme lain yang dipakai oleh sebagian
sponge untuk mendapatkan nutrisi oositnya adalah melalui diabsorbsi oleh pinasitosis, fagositosis
oleh pseudopodia yang bersentuhan dengan bermacam-macam tipe sel, tetapi pada umumnya
diabsorbsi secara pinasitosis (Harrison & De Vos 1992).
Secara histologis, pada tahap oosit I, oosit ukurannya masih sangat kecil, inti sel belum
nampak jelas, begitu pula anak inti. Ukuran oosit pada tahap ini adalah berkisar 20–45 mm. Pada
tahap ini oosit menyebar dalam kelompokkelompok kecil pada lapisan mesohyl, sedangkan hasil
penelitian Ramili (2007), karakter oosit I yang dia dapatkan adalah dinding oosit belum terlihat
jelas dan batas antara oosit belum jelas. Ukuran oosit sekitar 10 mm, inti dan anak inti belum
terlihat. Pada pengamatan melalui Scanning Electron Microscope (SEM) yang dilakukan oleh
Harrison dan De Vos (1992) terhadap sponge jenis Ephydatia fluviatilis, pada tahap ini oosit
sebenarnya sudah mempunyai sebuah nukleus ditengahnya yang dikelilingi oleh sitoplasma yang
permukaannya luas. Pada tahap oosit II, oosit semakin besar dan ukurannya lebih besar daripada
oosit I. Ukuran oosit pada tahap ini adalah berkisar 48–66 mm. Pada tahap ini inti sudah agak
kelihatan, butiran-butiran lemak pada sitolasma sudah mulai kelihatan. Penelitian Ramili (2007),
karakter oosit II yang dia dapatkan adalah dinding oosit sudah terbentuk dan cukup tebal, sehingga
batas antara oosit terlihat jelas. Ukuran oosit II sekitar 25 mm, dengan inti yang sudah kelihatan,
dan butiran lemak mengelilingi inti. Menurut Fromont (1988) pada jenis Xestospongia
testudinaria, pada tahap awal oosit berukuran kecil dengan inti yang kelihatan dan berukuran 7
mm diameternya. Oosit berisi butiran-butiran kuning telur dekat pinggiran bagian luarnya.
Pinggiran bagian luar oosit tidak selalu dibatasi oleh sebuah lapisan epitel, dan beberapa
pertukaran selluler kelihatan terjadi antara oosit dengan jaringan induknya. Sel-sel kecil yang
diamati dengan teliti berhubungan dengan perkembangan oosit tetapi tidak dapat dijadikan ciri-
ciri secara morfologi yang terjadi pada sel-sel sponge dewasa secara keseluruhan.
Pada tahap oosit III, oosit sudah semakin besar dan ukurannya lebih besar daripada oosit
II. Ukuran oosit pada tahap ini adalah berkisar 67–83 mm. Pada tahap ini butiranbutiran lemak
sudah semakin memadat, sedangkan karakter oosit III yang didapatkan olehRamili (2007) adalah
berbentuk agak berlekuk, ukuran oosit sekitar 50 mm, butiran-butiran lemak mulai memadat, dan
inti semakin besar dan berwarna agak gelap. Menurut Hoppe (1988) pada tahap ini, untuk jenis
Ircinia strobilina oositnya dikelilingi oleh sel-sel follikel, dan intinya sudah bergeser dari tengah
ke arah pinggir. Pada tahap oosit IV (matang), oosit sudah semakin besar dan mencapai ukuran
maksimum. Pada tahap ini oosit sudah berubah menjadi ootid atau telur yang siap dipijahkan.
Ukurannya pada tahap ini lebih besar daripada oosit III. Ukuran ootid atau telur pada tahap ini
adalah berkisar 84–134 mm. Pada tahap ini butiran-butiran lemak sudah semakin memadat, oosit
membentuk kelompok dalam sebuah untaian yang dilekatkan antara satu oosit dengan oosit
lainnya oleh semacam lendir.
10. Menurut Ramili (2007), karakter oosit IV adalah ukuran semakin membesar akibat
akumulasi kuning telur, bentuknya agak membulat, ukuran oosit sekitar 65 mm, butiran-butiran
lemak sudah semakin memadat, dan inti dan anak inti bergeser ke pinggir. Hasil penelitian Riesgo
dan Maldonado (2008) mendapatkan ukuran diameter oosit tahap matang sponge jenis Corticium
candelabrum 125–150 mm dan Raspaciona aculeate 160-180 mm Pada tahap matang, ootid
tumbuh secara terus menerus dan menjadi sebuah sel yang sangat besar. Pertumbuhan ini diikuti
oleh suatu akumulasi sejumlah besar cadangan kuning telur yang disediakan secara parsial oleh
sel-sel perawat (nurse cells) (Harrison & De Vos 1991). Pada jenis Xestospongia testudinaria, inti
telur sudah berada di bagian pinggir (Fromont 1988). Selama pematangan oosit, trophocytes dan
sel-sel follikel membentuk suatu pembungkus follikular. Ketebalan dan banyaknya pelapisan
dimulai pada pembungkus follikular, lapisan ini tumbuh lebih tebal secara progresif, mengelilingi
oosit. Sitoplasma oosit secara bertahap dipenuhi dengan partikel-partikel kuning telur. Pada akhir
pembentukan oosit, sitoplasma menyempurnakan pengambil cadangan kuning telurnya (Harrison
& De Vos 1992)
4. Uraikan dan gambarkan bagaimana perbedaan sistem control reproduksi pada udang
dan ikan!
Jawaban:
Secara umum perbedaan antara control reproduksi ikan dan udang adalah terdapat pada
Organ Pusat (Hypothalamus, Hipofisa (Otak) dan organ X (tangkai mata); reproduksi
udang didahului/berbarengan dengan proses moulting jika ikan reproduksi terjadi pada saat
induk telah matang gonad; udang memiliki organ/tabung penyimpan sperma; ikan pembuahan
terjadi di air sedangkan udang telur menempel pada perut barulah dibuahi oleh sperma. Mekanisme
control hormone reproduksi pada ikan dan udang akan dijelaskan dibawah ini:
Sistem control reproduksi ikan (teleostei)
Proses reproduksi pada ikan secara umum di bagi 3 tahap yaitu maturasi (vitellogensis)
ovulasi, spawning. Ketiga proses tersebut diatur secara sistem endokrin yang akan dijelaskan
mekanismenya seperti dibawah ini:
11. Mekanisme control hormone reproduksi pada ikan dimulai dengan proses pematangan
gonad pada ikan berlangsung sebagai berikut: sinyal lingkungan seperti perubahan suhu, hujan,
petrikor (aroma alami yang dihasilkan saat hujan turun di tanah kering), dan substrat diterima oleh
sistem saraf pusat (SSP) dan diteruskan ke hipotalamus di brain/otak. Hipotalamus merespon
sinyal lingkungan dengan mensekresikan hormon gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang
selanjutnya bekerja pada pituitary/hipofisis. Hipofisis merespon kerja hormon GnRH dengan
mensekresikan hormon gonadotropin-I yang bekerja pada lapisan teka pada oosit sehingga lapisan
teka mensintesis hormon testosteron, selanjutnya di lapisan granulosa testosteron tersebut diubah
menjadi hormon 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Hormon 17β-estradiol kemudian akan
merangsang hati untuk untuk mensintesis vitelogenin (bakal kuning telur). Vitelogenin yang
diproduksi di hati selanjutnya dibawa oleh aliran darah ke gonad dan secara selektif akan diserap
oleh lapisan folikel. Akibat menyerap vitelogenin maka oosit akan tumbuh membesar sampai
mencapai ukuran maksimum dan akhirnya menghentikan penyerapan. Kondisi ketika oosit sudah
maksimum dan berhenti menyerap vitelogenin dari hati dikatakan bahwa kuning telur (egg yolk)
telah berada pada fase dorman dan menunggu sinyal lingkungan untuk pemijahan.
Proses ovulasi dan pemijahan pada ikan dapat diuraikan sebagai berikut: sinyal lingkungan
seperti perubahan suhu, hujan, petrikor (aroma alami yang dihasilkan saat hujan turun di tanah
kering) dan substrat diterima oleh sistem saraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus
memberi respon terhadap sinyal tersebut dengan mensekresikan hormon gonadotropin releasing
hormone (GnRH) yang selanjutnya bekerja pada hipofisis. Hipofisis kemudian meresponnya
dengan mensekresikan hormon gonadotropin-II yang selanjutnya bekerja pada lapisan teka oosit.
Aktivitas gonadotropin-II mengakibatkan lapisan teka mensintesis hormon 17α-
hidrosiprogesteron yang selanjutnya di lapisan granulosa hormon ini akan 25 diubah menjadi
hormon 17α,20β-dihidrosiprogesteron (maturation inducing steroid, MIS) dengan bantuan enzim
20 β -hidroksi steroid dehidrogenase. Hormon maturation inducing steroid (MIS, steroid pemicu
pematangan) akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan (maturation promotor
factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur
yang disebut germinal vesicle break down (GVBD). Setelah proses peleburan ini (GVBD), lapisan
folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari dalam proses yang disebut dengan
proses ovulasi. Setelah proses ovulasi, telur dikatakan telah mencapai kematangan secara fisiologis
dan siap dibuahi oleh sperma.
Sistem Control Reproduksi udang (Crustacea)
Infromasi terkait efek hormon steroid terhadap efisiensi reproduksi lobster dapat dikatakan
masih terbatas. Studi terbatas pada penggunaan hormon steroid untuk feminisasi atau
maskulinisasi. Studi lanjut diperlukan untuk menyelidiki kemungkinan efek 17b-estradiol pada
pematangan lobster, perkembangan ovarium dan produksi telur. Telah diketahui bahwa hormon
endogenous seperti Metil Farnesoate (MF), juvenil hormon (JH III), 17a-hidroksiprogesteron,
12. 17bestradiol dan serotonin (5-hydroxytryptamine atau 5-HT) dapat mempengaruhi pematangan
ovarium dan efisiensi reproduksi pada krustasea. Hormon-hormon yang mengatur diferensiasi sifat
seksual udang jantan dan betina muncul dari ovari dan kelenjar androgen. Neurosekresi kompleks
ganglionik X-organ dan kelenjar sinus dapat menghambat pematangan ovari dan aktivitas sekretori
kelenjar androgen. Diferensiasi normal dari ovari dan testis juga dipengaruhi oleh Y-organ dan
hormon molting.
(Sumber: Montoya, 2001; Swetha, et al., 2011)
Ada 6 pusat endokrin yang diyakini terlibat langsung dalam reproduksi Krustasea
dekapoda. Yang pertama adalah kompleks kelenjar organ - sinus medula terminalis - x ganglionik
dari ganglia optik. Pusat lainnya adalah otak, ganglia toraks, kelenjar androgenik (jantan), organ
mandibula, dan ovarium (Gbr.4). Tidak ada aktivitas endokrin yang diidentifikasi pada testis.
Krustasea dengan mata bertangkai memiliki sekelompok sel neurosekresi di kelopak mata, organ
X.
Sel-sel ini mengirim sebagian besar akson mereka ke organ neurohemal, kelenjar sinus
(Quackenbush, 1986). Organ medula terminalis - x mensintesis polipeptida, yang dikemas dalam
vesikel neurosekresi dan diangkut secara intra-aksonal ke kelenjar sinus, dimana mereka disimpan
dan dilepaskan sebagai peptida kecil (Andrew, 1983). Seluruh kompleks terlibat dalam pengaturan
13. proses fisiologis seperti metabolisme kalsium dan gula, detak jantung, reproduksi, molting,
osmoregulasi, aklimatisasi musiman termal, migrasi pigmen retina, dan perubahan warna
(Quackenbush, 1986). Mekanisme yang diusulkan untuk kontrol pematangan gonad adalah model
antagonis (gambar diatas), yang melibatkan sintesis hormon penghambat gonad (GIH) dari organ
X. Peptida ini baru-baru ini diisolasi dan diurutkan dari lobster dan udang karang (Huberman,
2000). Hormon menghambat atau bersaing dengan Hormon perangsang gonad hipotetis (GSH),
diproduksi di otak dan ganglia toraks. GSH mengaktifkan vitellogenesis sekunder pada wanita,
dan spermatogenesis, hipertrofi vas deferens dan hipersekresi kelenjar androgenik pada pria
(Adiyodi dan Subramoniam, 1983). GSH adalah entitas abstrak, tetapi pelepasannya dirangsang
oleh 5-hydroxytryptamine dan hormon pemekatkan pigmen merah; dopamin dan metionin
enkephalin menghambat pelepasan GSH, dan merangsang pelepasan GIH (Fingerman, 1997).
Kelenjar androgenik adalah organ endokrin, yang menentukan primer dan karakteristik seksual
jantan sekunder (Charniaux-Cotton, 1960; Fingerman, 1987; Charniaux-Cotton dan Payen, 1988).
Dua hormon kelenjar androgenik, AGH 1 dan AGH 2, diisolasi dari isopoda oleh Hasegawa et al.
(1987). Ekstrak kelenjar androgenik lainnya seperti farnesylacetone dan steroid telah diidentifikasi
dalam dekapoda, dan mereka mungkin memainkan peran pelengkap untuk AGH (Sagi, 1988).
Terdapat dua faktor yang mengatur pematangan ovari pada induk krustacea, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup neuro endokrin hormone dan analog
terhadap pituitary – hypothalamus vertebrae yang diproduksi di eyestalk, organ-Y, organ
mandibular dan gonad stimulating hormone. Produk yang disekresikan di eyestalk seperti
VIH/GIH (Vitellogenesis/gonad inhibiting hormone), MOIH (mandibular–organ inhibiting
hormone), CHH (crustacean hyperglicemic hormone), MIH (molt-inhibiting hormone), biogenic
amines dan opioid memerankankan peran penting dalam pematangan ovari. Organ Y dan organ
mandibular mensekresikan produk seperti ecdysteroids dan methyl farnesoate (MF). Sedangkan
factor eksternal mencakup suhu, salinitas, pH, ketersediaan pakan, keberadaan logam berat di
perairan.
5. Uraikan bagaimana pengaruh perubahan iklim terhadap reproduksi avertebrata laut!
Jawaban:
Studi kasus crustacea (invertebrate)
Kajian dampak pemanasan global terhadap ekosistem perairan telah banyak dilakukan baik
terhadap fisika kimia perairan maupun proses biologis organisme perairan. Sabine et al. (2004)
menyatakan bahwa 30% dari kelebihan karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer telah
diserap oleh laut dan menyebabkan perubahan kualitas fisika kimia air laut. Peningkatan jumlah
CO2 dalam lautan menurunkan pH laut dan mengurangi ketersediaan ion karbonat yang digunakan
oleh organisme untuk membentuk cangkang dan kerangka (Kleypas et al., 1999, 2006; Hoegh-
Guldberg et al., 2007). Derajat keasaman (pH) laut global diperkirakan telah turun 0,1 dan
diperkirakan akan turun 0,3-0,4 unit pada akhir abad ini (Royal Society, 2005). Perubahan fisika
kimia perairan akan berdampak pada proses biologis organisme akuatik termasuk pertumbuhan
dan reproduksi. Lawrence dan Soame (2004) menyatakan bahwa pemanasan global menyebabkan
pergeseran fase antara suhu dan lama penyinaran sehingga berdampak pada aspek reproduksi
termasuk perubahan dalam rasio jenis kelamin, periode gametogenesis, pemijahan, fekunditas
yang akhirnya berdampak pada kelangsungan hidup larva invertebrata yang ada di perairan.
Crustacea yang merupakan salah satu filum dari invertebrata laut, diduga terkena dampak dari
pemanasan global yang terjadi, baik langsung maupun tidak langsung.
14. Reproduksi crustacea secara umum dipengaruhi oleh suhu perairan. Oleh karena itu paper
ini membahas bagaimana pengaruh pemanasan global terhadap reproduksi crustacea secara umum.
Dampak Pemanasan Global terhadap Fisika Kimia Lingkungan Perairan Beberapa pengamatan
menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekosistem perairan yang disebabkan oleh pemanasan
global (IPCC, 2007). Brohan et al. (2006) menyatakan bahwa perubahan iklim dunia merupakan
fenomena yang dapat meningkatkan suhu bumi dan hal ini berdampak pada ekosistem yang ada di
dunia, termasuk ekosistim perairan. Selama tahun 1871-2007, suhu laut dunia rata-rata meningkat
0,70 °C dengan ratarata peningkatan 0,05°C/dekade. Penelitian lain mengatakan bahwa suhu
perairan telah meningkat sebesar 0,6°C selama 100 tahun terakhir ini. Selain mempengaruhi suhu
perairan, beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim menjadi salah satu
faktor yang dapat meningkatkan pengaruh antropogenik dan penurunan nilai pH perairan (Walther
et al., 2002; Parmesan, 2006), hal ini disebabkan karena adanya penyerapan CO2 di perairan yang
memberikan dampak pada penurunan pH perairan. Hal ini diperkuat oleh Hoegh-Guldberg et al.
(2007), bahwa penyerapan CO2 di perairan telah menurunkan nilai pH perairan sebanyak 0,02 unit
per dekade. Penurunan nilai pH perairan secara tidak langsung memberikan dampak terhadap
proses fisiologi organisme perairan. Selain berdampak pada penurunan nilai pH perairan,
penipisan lapisan ozon karena peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) juga akan
meningkatkan radiasi sinar ultraviolet pada permukaan bumi yang akan berdampak negatif pada
larva invertebrata dan alga (Hoffman et al., 2003; Peachey, 2005). Adapun gambaran dari
mekanisme dan pengaruh global warming terhadap kualitas perairan adalah seperti yang disajikan
pada Gambar 1.
Peningkatan Suhu Perairan akibat pemanasan global terhadap Reproduksi Crustasea.
Pemanasan global dapat menyebabkan peningkatan suhu perairan dan pasang surut dari air
laut. Fernandez et al. (2011) menyatakan bahwa peningkatan suhu yang disebabkan oleh
pemanasan global juga akan berpengaruh terhadap proses kematangan gonad hewan akuatik
(Lawrence dan Soame, 2004; Kurihara, 2008; Alexander dan Golubova, 2000)., termasuk pada
komunitas zooplankton dan secara tidak langsung berdampak pada tingkat tropik di perairan.
Zooplankton yang termasuk dalam golongan crustacea merupakan organisme yang sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan termasuk perubahan suhu perairan (Hall dan Burn, 2001). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hall dan Burn (2001) menunjukkan bahwa organisme betina
Tigriopus brevicornis memiliki waktu yang panjang dalam bertahan hidup pada peningkatan suhu
dibandingkan dengan organisme jantan.
Inatsuchi et al. (2009) menambahkan bahwa pada zooplankton yang bersifat hermaprodit
protandri, peningkatan suhu akan mempercepat kematangan gonad terutama pada jaringan
ovarium sehingga organisme akan lebih cepat menjadi betina, namun jika suhu dari perubahan
15. iklim mengakibatkan perubahan suhu yang sangat ekstrim, diduga akan menghambat kematangan
gonad pada crustacea sehingga proses pergantian jenis kelamin dari jantan menjadi betina akan
terhambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan suhu dari pemanasan global dapat
mempengaruhi rasio jenis kelamin zooplankton yang ada di suatu perairan. Berkurangnya jumlah
organisme jantan dan berubahnya rasio jantan betina secara tidak langsung akan mempengaruhi
keberhasilan pembuahan pada organisme yang akhirnya akan berdampak pada penurunan jumlah
populasi zooplankton tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi
perikanan secara umum.
Lebih lanjut Alpuche et al. (2005) menambahkan bahwa pada udang, suhu merupakan
faktor yang berperan dalam perkembangan ovarium namun kurang mempengaruhi kualitas
sperma. Murugan (2006) menyatakan bahwa kematangan gonad organisme daerah tropis berjalan
lebih cepat dibandingkan daerah subtropis. Hal ini diduga karena suhu rata-rata tiap tahun perairan
di daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah subtropis. Penelitian Ismail et al. (2011)
menunjukkan bahwa peningkatan suhu dapat mempercepat kematangan gonad pada beberapa
zooplankton, namun perkembangan telur Cladocera menurun secara signifikan pada suhu 16°C
sampai suhu 25°C. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Carol (2002) yang
melakukan penelitian mengenai reproduksi Cladocera menunkjukkan bahwa kelulushidupan dan
perkembangan reproduksi Epischura. lacustris meningkat pada suhu 15°C dan menurun secara
nyata dengan meningkatnya suhu.
Hal ini juga terjadi pada Daphnia sp. yang perkembangan reproduksinya memerlukan
waktu yang singkat pada suhu 25 °C dan lambat dengan adanya peningkatan suhu menjadi 30°C.
Penelitian dari Taylor dan Gabriel (1992), menunjukkan bahwa ukuran tubuh Cladosera di daerah
tropis selalu lebih kecil dibandingkan yang berada di daerah subtropis, hal ini disebabkan karena
energi dialokasikan untuk reproduksi daripada pertumbuhan somatik. Selain mempercepat
kematangan gonad, peningkatan suhu juga mempercepat perkembangan telur dan mempersingkat
siklus reproduksi (Ismail et al., 2011). Akibatnya, spesies yang hidup pada suhu yang relatif tinggi
lebih cepat dewasa dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan yang memiliki suhu
rendah (Sarma et al., 2005). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradana et al. (2009)
menunjukkan bahwa suhu berpengaruh nyata terhadap penetasan telur Daphnia magna. Derajat
penetasan telur D. magna lebih tinggi pada suhu 25°C dibandingkan pada suhu 27°C-29°C. Pada
daerah subtropis, suhu pada awal musim panas yaitu 15°C akan menstimulasi perkembanagan
telur. Pada suhu yang hangat pada awal musim semi memberi dampak negatif terhadap E. lacustris,
karena produksi maksimum telurnya terjadi pada suhu yang dingin.
Efek lanjut dengan peningkatan suhu terhadap kerentanan crustacea dari paparan pestisida
Peningkatan suhu dapat meningkatkan kerentanan crustacea dalam kontaminan pestisida.
Hal ini dikarenakan dengan adanya peningkatan suhu, dapat meningkatkan metabolisme dan
konsumsi oksigen sehingga air yang telah terkontaminasi polutan termasuk dalam hal ini adalah
pestisida dapat mudah masuk ke dalam tubuh organisme melalui proses respirasi (Jacobson et al.,
2008). Peningkatan penggunaan pestisida yang berlebih dalam dekade terakhir ini memberikan
pengaruh terhadap efek toksikologi dan lingkungan. Pestisida dari lahan pertanian pada akhirnya
akan masuk ke perairan akibat pencucian oleh hujan. Salah satu senyawa yang terkandung dalam
pestisida adalah fenarimol. Fenarimol merupakan 2,4’- dicholoro-α-(pyrimidin-5-yl) fungisida
benzhydril alkohol dan merupakan penghalang steroid demethylation (Ari dan Dere, 2010).
Fenarimol biasanya dihasilkan dari kegiatan hortikultura dan kegiatan pertanian buah,
sayur dan gandum. Peningkatan pencemaran dari fenarimol (α-(2-chlorophenyl)-β-(4-
chlorophenil)-5- pyrimidinemethanol) yang masuk ke perairan memberikan dampak negatif
16. terhadap organisme perairan Jacobson et al. (2008) melaporkan bahwa fenarimol dapat merusak
sintesis ecdysteroid pada arthropoda. Kontaminasi fenarimol yang masuk ke dalam sistem
fisiologis organisme diketahui dapat menghalangi sitokrom enzim dan didudaga dapat
mengganggu sintesis ecdysone. Mu dan Gerald (2002) menunjukkan bahwa fenarimol bertindak
sebagai anti ecdysteroid. Ecydysteroid merupakan derivat kolestrol yang mengontrol proses
moulting dan reproduksi pada insekta dan krustacea (Jacobson et al., 2008). Fenorimol yang
berukuran 4 µm dapat merusak reproduksi dan embryogenesis pada cladocera Daphnia magna (Mu
dan Gerald, 2002) dan pada ukuran 2 µM menurunkan frekuensi fertilisasi dan kemampuan
organisme jantan untuk melakukan fertilisasi pada betina Monoporeia affinis (Jacobson dan
Sundelin, 2006).
Mekanisme dampak peningkatan suhu dan fenarimol terhadap gangguan reproduksi ialah
terjadi melalui beberapa tahapan yaitu fenarimol yang terkontaminasi dalam perairan akan diserap
lebih banyak oleh organisme perairan seiring dengan peningkatan suhu dan metabolisme.
Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan metabolisme sehingga proses respirasi meningkat.
Melalui proses respirasi, fenarimol akan diserap lebih efektif oleh organisme perairan (Jacobson
et al., 2008). Fenarimol diketahui memiliki dampak pada reproduksi, teratogenik dan oncegonik
pada binatang. Hal ini karena fenarimol menghambat aktivitas aromatase yang dapat menyebabkan
infertilisasi pada tikus jantan (Ari dan Dere, 2010). Adapun mekanisme pengaruh pemanasan
global terhadap aktivitas pestisada dan dampaknya terhadap reproduksi disajikan pada Gambar 2.
Ecdystreoid yang diduga bertindak sebagai feromon pada krustacea akan menurun dengan
peningkatan suhu (Tomaschko, 1999). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jacobson et al. (2008)
menunujukkan bahwa ecdysteroid menurun ketika adanya kontaminasi fenarimol pada M. affinis.
Dimana ketika ecdysteroid terdapat pada saat molting, mempengaruhi kematangan seksual dan
tingkah laku pemijahan (Subramoniam, 2000). Penurunan ecdysteroid berdampak pada
kesuksesan atau keberhasilan kematangan gonad. Ecdysteroid dianggap hormon utama dalam
proses molting, beberapa penelitian mengindikasikan bahwa ecydysteroid merupakan faktor utama
dalam pengaturan vitelogenesis, pematangan ovarium dan sintesis protein pada Dekapoda
(Wongsawang et al., 2005; Young et al., 1993; Subramoniam, 2000; Brown et al., 2009).
Peningkatan temperatur berdampak negatif pada pematangan seksual, frekuensi fertilisasi,
fekunditas dan embryogenesis. Peningkatan temperatur berpengaruh terhadap metabolisme lipid
dan oleh sebab itu memberikan dampak pada perkembangan gonad yang pada akhirnya
mempengaruhi frekuensi fertilisasi.