Tiga wanita Indonesia berusaha mempersiapkan generasi muda yang kompetitif dan kompeten melalui institusi pendidikan yang mereka dirikan. Mereka adalah Wulan Tilaar pendiri Puspita Martha International Beauty School, Prita Kemal Gani pendiri STIKOM London School of Public Relations, dan Tjut Nyak Deviana Daudsjah pendiri Institut Musik Daya Indonesia.
1. 58 pesona.co.id februari 2017
Di era globalisasi, Indonesia harus siap berkompetisi dengan negara mana
pun. Ketiga wanita ini ikut mempersiapkan generasi muda yang kompetitif dan
kompeten lewat institusi pendidikan yang mereka bangun dari kekuatan mimpi.
TEKS: TENNI PURWANTI Foto: Adelli Arifin
MEMILIH JADI PENDIDIK
Kini begitu mudah kita temukan tutorial makeup
di YouTube. Mungkin ada yang merasa cukup belajar
makeup secara autodidak melalui tayangan turorial itu,
lalu terjun menjadi makeup artist profesional. Lantas,
masih perlukah sekolah kecantikan?
“Di sekolah, siswa mempelajari hal-hal mendasar
seperti fisiologi dan anatomi yang tidak terdapat di
tayangan tutorial yang hanya beberapa menit. Misalnya,
bagaimana aliran darah manusia, bagaimana mengurusi
komedo dan jerawat yang tidak asal pencet. Hairdresser
profesional juga harus tahu arah pertumbuhan rambut,
bukan hanya menguasai teknik memotong rambut.
Makeup artist perlu memperhatikan kebersihan alat-alat
karena penularan penyakit bisa terjadi dari situ,” jelas
Wulan. Lewat sekolah kecantikannya, ia ikut melahirkan
para makeup artist dan hairdresser ternama di Tanah Air.
Puspita Martha International Beauty School
didirikan tahun 1973 oleh Martha Tilaar, dan Wulan
menggantikan posisi ibunya sejak tahun 2005. “Ibu saya
dulunya guru Sejarah. Karena kesejahteraan guru kurang
memadai, akhirnya ia berwiraswasta. Ibu membangun
salon tahun 1970. Untuk memenuhi kebutuhan SDM
salon, Ibu mendirikan sekolah kecantikan,” kisah Wulan.
Menurut Wulan, profil siswa di masa ibunya berbeda
dengan masa kini. “Dulu banyak ibu rumah tangga
atau perempuan yang tidak ingin kuliah memilih
bersekolah di sini. Mereka belajar makeup untuk mengisi
waktu luang. Sekarang, banyak anak muda yang ingin
mendalami atau terjun ke dunia kecantikan. Ada juga
orang-orang yang sudah jadi sarjana di bidang lain tapi
masih ingin mendalami soal kecantikan,” ungkap Wulan.
Perkembangan teknologi dan hadirnya media sosial
menjadi tantangan dalam meneruskan sekolah ini. Wulan
mewajibkan pengajarnya untuk mengetahui teknologi
kosmetika terbaru seperti airbrush, dan memberi mereka
kompetisi untuk meng-update cara pembelajaran di
kelas. Program Mix Learning diluncurkan pada 2016
untuk memfasilitasi Generasi Milenial yang ingin belajar
makeup secara online. “Ada saatnya mereka tatap muka
di sekolah, ada juga via online. Otomatis pengajar juga
harus beradaptasi dengan program ini,” kata Wulan.
Pesatnya perkembangan teknologi membuat update
dunia kecantikan juga begitu cepat. Para siswa pun harus
punya bekal tambahan. Contohnya, di program Beauty
Trend Center, siswa diajarkan agar bisa menerjemahkan
keinginan klien. “Misalnya, kami mendatangkan stylist
dan fotografer dari majalah, lalu siswa belajar dari
mereka—antara lain menerjemahkan job brief menjadi
aplikasi makeup di wajah model. Kami juga mengundang
desainer untuk memberi gambaran bagaimana
mencocokkan tema busana desiner untuk fashion show
dengan makeup model,” kata Wulan.
Tak heran sambil menunggu ujian, siswa diwajibkan
menjalani praktik kerja lapangan di event-event besar,
agar lebih kenal bidang kerja mereka—seperti Jakarta
Fashion Week, Miss Indonesia, Festival Film Indonesia,
atau pergelaran teater. Bahkan selama 32 tahun Puspita
Martha rutin menjadi tim makeup artist untuk tim
Paskibraka Nasional.
Hingga saat ini, Puspita Martha International Beauty
School memiliki empat kampus (di Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Yogyakarta). Wulan mengaku tidak—
atau belum—berniat membuka franchise. “Berbeda
dengan spa, untuk pendidikan banyak hal tidak bisa
dikompromikan. Jadi, cukup di empat kota yang
potensial ini saja,” Wulan menegaskan.
Wulan Tilaar
Direktur Puspita Martha International Beauty School
LIFE FEATURE-ZN CEK-revisi-OK.indd 58 1/23/2017 6:57:32 PM
4. februari 2017 pesona.co.id 61
Sejak kecil Prita memang bercita-cita menjadi
guru. Itu sebabnya, setelah menyelesaikan pendidikan
di Filipina (Master of Business Administration di
International Academy of Management & Economics,
Manila), ia melamar pekerjaan sebagai dosen part-time
sambil bekerja di bagian Public Relations (PR) di sebuah
perusahaan swasta. “Saya melihat banyak banget anak-
anak PR yang ternyata masih tidak tahu apa-apa tentang
seluk-beluk dunia PR. Itulah alasan saya membuka
kursus atau traning school, namanya London School of
Public Relations (LSPR) di tahun 1992 sampai 1997,”
kenang Prita. Kursus yang menempati ruang 12 meter
persegi itu memiliki program tiga bulan, enam bulan,
hingga sembilan bulan.
Tahun 1998, ketika krisis moneter melanda negeri
ini, banyak orang tua yang menahan anaknya untuk
sekolah ke luar negeri, sehingga banyak yang mendaftar
ke LSPR. “Banyak yang bilang kepada saya, kenapa tidak
dibuat program dua tahun saja, seperti akademi atau
sekolah tinggi? Akhirnya di tahun 1999 LSPR diberi izin
menjadi Sekolah Tinggi oleh Menteri Pendidikan saat itu,
Abdul Malik Fadjar. Sejak jadi Sekolah Tinggi, jumlah
mahasiswa saya langsung luber, kayak buka keran saja,”
kisah Prita.
Saat itu STIKOM LSPR masih belum memiliki
gedung sendiri seperti sekarang. Akibatnya, lokasi LSPR
sering berpindah-pindah, dari Dharmala Intiland,
Gedung Dewan Pers, hingga Gedung Bimantara. Prita
merasakan sendiri repotnya memindahkan bangku, meja,
dan perlengkapan penunjang seperti proyektor setiap
kali pindah tempat. Hingga akhirnya, LSPR sanggup
membeli gedung sendiri berupa dua ruko di kawasan
Sudirman Park, Jakarta. Kini LSPR telah memiliki
22 ruko di kawasan yang sama.
Pengalaman bersekolah di London City College of
Management Studies di London, dan LCCIEB Third
Level Group Diploma in Public Relations, juga di
London, membuat Prita ingin membawa kurikulum
dari London ke Indonesia. Kurikulum yang dipakai di
STIKOM LSPR berdasarkan standar yang ditetapkan
London Chamber of Commerce and Industry
Examinations Board. “Penggunaan nama London School
juga disetujui oleh Brtisih Council Indonesia,” ungkap
Prita. Setelah menjadi STIKOM, ia menambahkan
kearifan lokal ke dalam kurikulum.
Meski tidak memiliki modal besar—ia membangun
LSPR hanya berdua dengan suaminya, Kemal Effendi
Gani—Prita bertekad melanjutkan operasional sekolah
ini dengan tangannya sendiri. “Orang kalau mau sekolah,
kan, harus bayar dulu. Nah, uang itu yang saya gunakan
untuk bayar sewa gedung, menggaji dosen, juga bayar
ujian ke London. Pada awalnya sulit sekali memutarkan
uang seperti itu,” kata Prita.
Keteguhan Prita terus menjalankan operasional LSPR
meski menghadapi beragam kendala membuahkan hasil.
Hampir seperempat abad LSPR berdiri, ia kini berhasil
menjadi sekolah yang diunggulkan oleh praktisi PR.
Mahasiswanya bukan hanya lulusan SMA, tapi juga para
profesional yang ingin meningkatkan jenjang karier.
Kelebihan di LSPR adalah adanya program
pertukaran pelajar sehingga mereka bisa memiliki
pengalaman dalam pergaulan internasional. “Sebaliknya,
kami juga memiliki international student. Ada mahasiswa
dari Belanda, Inggris, Amerika, dan Jerman, yang khusus
datang ke Indonesia untuk belajar di LSPR,” kata Prita.
Ia juga membangun LSPR Innovation Network
untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa di
negara lain untuk belajar di LSPR secara online dan
mendapatkan gelar sarjana strata 1. Saat ini LSPR baru
saja memulai kerja sama dengan Learning Center Dubai
untuk program sekolah online. Negara selanjutnya
adalah Hong Kong, Myanmar, dan Taiwan. “Kami juga
dipercaya membantu kurikulum PR untuk Vietnam,”
kata Prita, bangga.
Bahkan Prita-lah yang menjadi inisiator terbentuknya
ASEAN Public Relations Network tahun 2014. “Dulu
saya belajar PR dari Barat, sekarang orang Barat juga mau
belajar PR dari kita. Untuk itu, kami melakukan ASEAN
PR Studies untuk mempelajari banyak hal yang terjadi di
negara-negara ASEAN,” Prita menutup perbincangan.
Prita Kemal Gani
Pendiri & Direktur STIKOM London School of Public Relations
LIFE FEATURE-ZN CEK-revisi-OK.indd 61 1/23/2017 6:57:37 PM
5. 62 pesona.co.id februari 2017
Guru besar di bidang musik ini dulunya tak pernah
bercita-cita menjadi guru. Cita-citanya adalah menjadi
musisi yang menggodok orkestra dan meluncurkan
album komposisi musik setiap tahun. “Pokoknya bisa
memiliki satu-dua album, tidak punya bos, dan tidak
menjadi bos siapa pun,” ujar Deviana. Namun selama
bertahun-tahun menjadi musisi di Eropa, Deviana kerap
diminta menjadi band leader. “Padahal saya tidak suka
memimpin,” ceritanya, tertawa.
Suatu hari di tahun 1987, ia diminta mengajar privat
untuk sebuah band. Sejak itu ia mulai suka mengajar,
apalagi saat melihat kemajuan muridnya. Pada awal
1990, ia ditawari mengajar di sebuah yayasan di Jerman.
Saat itu ia sedang menjadi freelance music director di
sebuah teater di Jerman. Setelah menjadi dosen vokal
selama enam bulan, ia malah ditawari menjadi Artistic
Director—di Indonesia setara dengan Rektor—di yayasan
yang kini menjadi International Music College di
Freiburg, Jerman. Ia menyusun kurikulum musik yang
kemudian diakui oleh Pemerintah Jerman.
Deviana meraih Bachelor Degree in Classical Piano
Performance & Composition, serta Master Degree in
Jazz Vocal dan Doctorate Degree in Music Education
dari Musikhochschule Freiburg Jerman. Setelah 26 tahun
hidup di Eropa, ia memutuskan pulang ke Tanah Air
membawa kurikulum yang disusunnya itu.
“Saya tinggalkan semua kemapanan saya dan
memulai lagi semuanya dari nol,” kenang Deviana. Saat
itu awal tahun 2000, dan ia telah bertekad membangun
perguruan tinggi musik. Ia memulainya dengan menyewa
tempat untuk kursus privat. Untuk memperkenalkan
diri sembari menambah modal, ia tampil reguler di
klub-klub dan hotel-hotel berbintang. Ia juga kos di
gang sempit di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, untuk
mengenal kembali negeri kelahirannya. Sepanjang tahun
ia mengadakan workshop dan jam session sebagai sosialisasi
bahwa ia akan mendirikan sekolah musik.
Di tahun 2002, seorang teman meminjamkan
rumahnya di kawasan Taman Kemang. Deviana hanya
perlu membayar biaya perawatan. “Saat itu mahasiswa
saya baru dua orang,” katanya. Ia terjun langsung
mendidik dua mahasiswa angkatan pertama Institut
Musik Daya Indonesia (IMDI). Saat mahasiswa
terus bertambah, ia mendirikan Daya Big Band dan
menyelenggarakan Indonesia Open Jazz Festival.
Mahasiswa-mahasiswa yang berhasil lulus di angkatan
pertama kemudian menjadi pengajar di IMDI, salah
satunya Titi Rajo Bintang. Kampus IMDI sempat pindah
ke Jalan Wijaya, sebelum kini menetap Jalan Ampera
Raya, semuanya di Jakarta Selatan.
Deviana rutin mengajak mahasiswanya berdiskusi
tentang isu-isu dunia. “Misalnya diskusi tentang Khmer
Merah di Kamboja. Sekilas tak ada hubungannya dengan
musik. Tetapi jika suatu hari diundang sebagai musisi ke
Kamboja, mereka memiliki kepekaan terhadap tragedi
yang pernah terjadi di negara itu.”
Menurut Deviana, pemain musik di Indonesia belum
memiliki kesadaran genre, sehingga banyak yang merasa
cukup dengan belajar autodidak, lalu tampil. “Akhirnya
mereka hanya meniru, memainkan musik orang lain,
bukan menciptakan sendiri,” katanya. Kalau belajar
musik secara akademis, mahasiswa tidak hanya belajar
memainkan alat musik dengan benar, tapi juga belajar
Sejarah, Budaya, Sosiologi, Sejarah Seni Pertunjukan, dan
Pedagogi Musik.
“Film-film Hollywood seperti Star Wars, Lion King,
itu musiknya dibuat oleh akademisi musik,” katanya.
“Akademisi musik juga memiliki lapangan pekerjaan yang
lebih luas. Tak hanya menjadi performer, mereka juga
bisa menjadi dosen, memproduksi musik untuk drama
musikal, film dan teater, serta memimpin orkestra.”
IMDI juga memiliki event organizer dan performing arts
management yang dikelola oleh dosen dan mahasiswa
sendiri. Mereka menggelar beragam event musik berskala
nasional atau internasional.
Mahasiswa IMDI juga diajak untuk mencintai
hewan. IMDI memiliki Daya Animal Rescue yang
menyelamatkan hewan-hewan telantar. Hewan yang
telah dirawat itu berkeliaran di kampus IMDI, dan bisa
diadopsi oleh siapa saja, salah satunya via Twitter.
Tjut Nyak Deviana Daudsjah
Pendiri Institut Musik Daya Indonesia
LIFE FEATURE-ZN CEK-revisi-OK.indd 62 1/23/2017 6:57:37 PM
6. februari 2017 pesona.co.id 63
PengarahGaya:NandaDjohan
RiasWajah&Rambut:TaniaLedezma
LIFE FEATURE-ZN CEK-revisi-OK.indd 63 1/23/2017 6:57:40 PM