1. PERANAN ILMU PENGETAHUAN TERHADAP PENGEMBANGAN
KEBUDAYAAN NASIONAL
Nama : Tati Haryati
Kelas : 3B
No absen : 1
Pend.Matematika
2. Untuk memahami bagaimana peranan ilmu terhadap pengembangan kebudayaan
Nasional perlu diketahui dahulu tentang pengertian kebudayaan Nasional dan
manusia Indonesia, serta peranan ilmu terhadap kebudayaan Nasional.
1). Pengertian Kebudayaan Nasional
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kebudayaan
diartikan sebagai :
a. Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
b. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sisial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya
dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Sementara itu kebudayaan nasional diartikan sebagai budaya
yang dianut oleh seluruh warga dalam suatu Negara. Artinya,
keseluruhan cara hidup, cara berfikir dan pandangan hidup suatu
bangsa yang terekspresi dalam seluruh segi kehidupannya dalam
ruang dan waktu tertentu.
3. Menurut Prof. Nugroho Notosusanto, kebudayaan Nasional berakar dalam
pengalaman historis bangsa kita, yakni kesadaran akan persamaan nasib, kesatuan,
yang mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928 merupakan cerminan kesadaran Nasional yang pada
dasarnya bersumber pada kesadaran akan persamaan kebudayaan. (Rafael Raga
Maran, 2000, hlm. 60)
Dengan rumusan lain bisa dikatakan bahwa kebudayaan Nasional adalah
paduan seluruh lapisan kebudayaan bangsa Indonesia, yang mencerminkan semua
aspek perikehidupan bangsa. Kebudayaan . Kebudayaan Nasional adalah totalitas
berdasarkan aspek kerohanian bangsa dan segala sesuatu yang dihasilkan oleh
manusia Indonesia sekarang. Dengan kata lain, kebudayaan Nasional adalah
kepribadian manusia Indonsia dalam wujudnya berupa pandangan hidup, cara
berpikir, dan sikap terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa. Kepribadian inilah
yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
Dari pendapat di atas secara sederhana kebudayaan
Nasional sebagai puncak kebudayaan daerah. Oleh
karena itu, unsur – unsur kebudayaan seperti bahasa,
kesenian, agama, dan adat istiadat dari berbagai suku
bangsa di dalam wilayah nusantara hendaknya
dilestarikan dan diangkat menjadi unsur–unsur
kebudayaan Nasional.
4. 2). Kebudayaan Nasional dan Manusia Indonesia
•
Untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, maju, dan mandiri,
hanya mungkin terwujud bila upaya pembangunan Nasional berpijak pada
landasan budaya yang dinamis. Dinamis atau tidaknya kebudayaan Nasional akan
tampak dari mampu atau tidaknya kebudayaan tersebut merangsang
pertumbuhan serta perkembangan segala kekuatan aktif-kreatif yang dimiliki
manusia dan masyarakat Indonesia.
Namun, membangun Indonesia, tidak hanya dilakukan dengan
mengembangkan kebudayaan modern saja dengan mengabaikan unsur– unsure
budaya tradisional, warisan budaya bangsa yang begitu kaya. Proses pembentukan
kebudayaan Nasional modern harus berdasar-pijak pada unsur - unsur budaya
tradisional. Jika tidak tepat, cepat atau lambat, kita akan kehilangan jati diri
keindonesiaan kita.
Kebudayaan Nasional modern haruslah merupakan hasil sintesis kreatif
antara berbagai unsur kebudayaan modern seperti ilmu dan teknologi dengan
unsur – unsur kebudayaan tradisional seperti segi agama, bahasa, dan arsitektur
tradisional. Maka proses dialektis yang bersifat kreatif sangat diperlukan agar arah
perkembangan kebudayaan Nasional tidak melenceng dari tujuan sesungguhnya,
yakni memberikan identitas keindonesiaan pada diri setiap masyarakat Indonesia
sekaligus sebagai perekat persatuan, dan kesatuan masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk
5. 3). Peranan Ilmu terhadap Kebudayaan Nasional
Pengembangan kebudayaan Nasional pada hakikatnya adalah perubahan
dari kebudayaan yang sekarang ini bersifat konvensional ke arah situasi
kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi tujuan Nasional. Pengembangan
kebuyaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang
sekarang bersifat konnvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih
mencerminkan aspirasi tujuan nasional.
Talcot Parsons (Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa ilmu dan
kebudayaan saling mendukung satu sama lain. Dalam beberapa tipe masyarakat
ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat
tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang
sehat dari ilmu dan penerapan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang
saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu
dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak
lain, pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.
6. Sedangkan menurut Ardi (dalam Ihsan, 2010:251) langkah-langkah
yang sistematik dalam mengembangkan kebudayaan sebagai berikut:
1). Ilmu dan kegiatan ilmuwan disesuaikan dengan kebudayaan yang ada
dalam masyarakat kita, dengan pendekatan eddukatif dan persuasif dan
menghindari konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterpretasi nilai yang ada
dalam argumentasi keilmuwan.
2). Menghindari scientisme dan pendasaran terhadap akal sebagai satu-satunya
kebenaran.
3). Meningkatkan integritas ilmuwan dan lembaga keilmuwan dan
melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuwan.
4). Pendidikan keilmuwan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika
dalam kegiatan keilmuwan mempunyai kaidah imperatif.
5). Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu
hendaknya diberikan di pendidikan tinggi . Walaupun demikian kegiatan
ilmiah tidak lepas dari kontrol pemerintah dan kontrol masyarakat.
7. Namun ini bukan berarti kegiatan keilmuan harus bebas dari sistem kehidupan.
Seorang ilmuan tidak akan terlepas dari kehidupan sosial, ideology dan agama,
walaupun tidak mengikat namun seorang ilmuan harus memperhatikan norma-norma
yang berlaku pada masing daerah.
Ilmuan-Pengarang terkenal CP. Snow dalam bukunya yang sangat provokatif
The Two Culture mengingatkan Negara-negara barat akan adanya dua pola kebudayaan
dalam tubuh mereka yakni masyarakat ilmuan dan non ilmuan yang menghambat
kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Analogi ini dapat diterapkan pula di Negara kita,
akan lebih jauh lagi dimana dalam bidang keilmuan itu sendiri di Negara kita telah
mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan
kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam
dua golongan yakni ilum-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri, 1990:275).
Memang tidak dapat dielak bahwa terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu
sosial, namun perbedaan ini tidak mengarah kepada perbedaan yang fundamental.
Dasar epistimologi dan aksiologi kedua ilmu tersebut sama, metode yang
dipergunakan untuk mendapatkan ilmu tersebut juga menggunakan metode ilmiah
yang sama.
8. Dalam hal ini objek (ontology) dari masing-masing ilmu tersebut yang berbeda.
Objek Ilmu Pengetahuan alam adalah alam semesta seperti gejala fisika, reaksi kimia,
anatomi tubuh manusia, hewan dan tumbuhan dan lain sebagainya. Sementara yang
menjadi objek dari ilmu pengetahuan social adalah perilaku manusia baik dia sebagai
individu maupun sebagai manusia sosial, sistem kehidupan yang berlaku dan lain
sebagainya. Walaupun perbedaan ini terdapat pada perbedaan objek (ontologi) ilmu
atau objek yang diteliti, ini tidak seharusnya menjadi jurang pemisah antara ilmu-ilmu
itu sendiri.
Namun secara teknis dapat kita lihat bahwa ilmu-ilmu alam mempelajari dunia
fisik yang relatif tetap dan pasti dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial yang
menjadikan mansuia sebagai objek penelaahan. Manusia memiliki satu karakteristik
yang unik yang membedakan dia dengan wujud yang lain. Manusia mempunyai
kemampuan untuk belajar, dan dengan faktor inilah dia mampu mengembangkan
kebudayaan dari waktu ke waktu. Perbedaan variasi karakter ini tidak hanya
dari segi waktu saja namun perbedaan daerah juga
menyebabkan perbedaan kebudayaan. Dengan perbedaan
ini tidak menjadi jurang pemisah antara ilmu sosial dan ilmu
alam, karena tujuan dari ilmu adalah mencari penjelasan dari
gejala-gejala yang kita temukan yang memungkinkan kita
mengetahui sepenuhnya hakikat objek yang kita hadapi. Hal ini
berlaku bagi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri,1990:282).
9. Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial ini masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya
jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita, ini dapat
kita lihat pada penjurusan kelas siswa di Sekolah Menengah Atas dan di
perguruan tinggi. Jika kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang
mencakup baik ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam, maka dualisme kebudayaan
ini harus dibongkar. Adanya pembagian jurusan ini merupakan hambatan
psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa jurusan pasti (alam) dianggap lebih mempunyai
prestise dibandingkan dengan jurusan sosial. Hal ini akan menyebabkan mereka
mempunyai minat dan bakat di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih
jurusan ilmu-ilmu alam karena alasan sosial-psikologis.
Di pihak lain mereka yang terkotak dalam jurusan sosial-budaya dalam
proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup tentang
pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuan yang handal di bidangnya,
karena mereka menganggap bahwa matematikan bukan merupakan bagian
dari ilmu sosial.
Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalam menghadapi
masalah ini perlu diusahakan. Adanya dua pola kebudayaan dalam
bidang keilmuan kita, bukan saja merupakan sesuatu yang regresif
melainkan juga destruktif, bukan saja bagi keilmuan itu sendiri,
melainkan juga bagi pengembangan peradaban secara keseluruhan.