Dokumen ini membahas tentang epidemiologi dan patogenesis tuberkulosis pada anak. Tuberkulosis pada anak merupakan masalah kesehatan penting di negara berkembang karena jumlah populasi anak yang besar. Sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahunnya dan 200 anak meninggal akibat TB setiap harinya. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung pada tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan tubuh an
pengertian mengenai BAKTERI dan segala bentuk bakteri.ppt
PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK
1. TB Anak
Juknis
1Juknis Manajemen TB Anak
PETUNJUK TEKNIS
MANAJEMEN TB ANAK
614.542
Ind
P
DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2013
4. Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak.__
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
ISBN 978-602-235-3436-9
1. Judul
I. TUBERCULOSIS – PREVENTION AND CONTROL
II. CHILD HEALTH SERICES III. COMMUNICABLE DISEASE
614.542
Ind
P
5. TB Anak
Juknis
iJuknis Manajemen TB Anak
KATA PENGANTAR
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat
ini sangat pesat. Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB
setiap tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB
yang ternotifikasi dalam program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11
%, tetapi apabila dilihat pada tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan
kesehatan menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 – 15,9%.
Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan
tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting
dalam pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi,
salah satunya adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab
utama kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB.
Penatalaksanaan kasus TB pada anak merupakan upaya komprehensif,
yangmenggabungkanaspekklinis,programsertaupayakesehatanmasyarakat.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penyusunan buku Panduan
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak yang diharapkan dapat menjembatani
ketiga aspek tersebut.
Buku panduan ini dimaksudkan untuk menjadi pegangan seluruh Fasilitas
Pelayanan Kesehatan baik Puskesmas, Balai Kesehatan Paru Masyarakat,
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru
sampai Rumah Sakit untuk mempermudah petugas di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dalam melakukan tatalaksana TB pada anak.
6. TB Anak
Juknis
ii Juknis Manajemen TB Anak
Akhirnya kami sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim
penyusun dan narasumber serta berbagai pihak yang telah berkontribusi
dalam penyusunan petunjuk teknisg ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak terkait, khususnya dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Jakarta, Nopember 2013
Direktur Jenderal PP & PL
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama
NIP 195509031980121001
7. TB Anak
Juknis
iiiJuknis Manajemen TB Anak
KATA SAMBUTAN
Ketua Kelompok Kerja Nasional Tuberkulosis Anak
Assalamu’alaikum wr.wb
Tuberkulosisanakmempunyaipermasalahankhususyangberbedadengan
TB paru orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah masalah
diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering tidak
khas, sehingga perlu ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Populasi basil TB paru anak sangat sedikit (paucibacillary) sehingga
sulit mendapatkan basil TB untuk konfirmasi diagnosis TB. Mendiagnosis TB
pada anak membutuhkan anamnesis dan analisis yang teliti, adanya kontak
dengan TB dewasa aktif, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya seperti uji
kulit tuberkulin dan foto rontgen. Dengan menganalisis hasil pemeriksaan
yang teliti dapat dihindari overdiagnosis atau underdiagnosis TB anak. Dosis
obat anti Tuberkulosis pada anak relatif lebih tinggi daripada dewasa karena
perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat
maka akan meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak
yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya.
Buku petunjuk teknis ini diharapkan dapat dipakai di berbagai tingkat
fasilitas pelayanan kesehatan dan dapat membantu dalam diagnosis TB anak
dan pengobatannya. Buku ini dapat digunakan oleh mahasiswa kedokteran,
dokter umum dan dokter spesialis.
8. TB Anak
Juknis
iv Juknis Manajemen TB Anak
Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang
telah membantu terbitnya buku ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Jakarta, Nopember 2013
Ketua Kelompok Kerja Nasional
Tuberkulosis Anak (Pokja TB Anak)
Nastiti N. Rahajoe, Dr, SpA(K)
9. TB Anak
Juknis
vJuknis Manajemen TB Anak
DAFTAR KONTRIBUTOR
Pengarah
Prof .Dr. Tjandra Yoga Aditama
Dr . Slamet, MHP
Penanggung jawab
Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH
Editor
Dr. Triya Novita Dinihari
Dr. Retno Kusuma Dewi
Kontributor
Dr. Nastiti Noenoeng Rahajoe, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr .Darmawan B Setyanto , SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr Rina Triasih, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Wahyuni Indawati, SpA : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Landia Setiawati, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. M Syarofil Anam, SpA : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Dr. Ery Olivianto, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Fifi Sofiah, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Tjatur KS, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Ida Bagus Subanada, SpA(K) : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Khairiyadi, SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr Bob Wahyudin , SpA : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Dewi Kartika : UKK Respirologi, IDAI
Dr. Retno Kusuma Dewi : Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Dr. Triya Novita Dinihari : Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Dr. Vanda Siagian : Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Dr. Setya Budiono : Pengelola Program TB Prov Jatim
10. TB Anak
Juknis
vi Juknis Manajemen TB Anak
Dr. Anastasia Tri Yuli Susanti : Pengelola Program TB Prov Jateng
Dr. Fify Mulyani : Pengelola Program TB Prov DKI Jakarta
Anita Nur Fajri, SKM, MKes : Pengelola Program TB Prov Jabar
Eneng Nuraini, SKM : Pengelola Program TB Prov Banten
Dr. Hari Basuki : Master Trainer TB
Dr. HD Djamal : Master Trainer TB
Dr. Setiawan Jati Laksono : WHO
Dr Maria Regina Loprang : WHO
Drg. Endang Nuraini : KNCV
11. TB Anak
Juknis
viiJuknis Manajemen TB Anak
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
KATA SAMBUTAN............................................................................................................. iii
DAFTAR KONTRIBUTOR............................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Epidemiologi....................................................................................... 1
B. Patogenesis.......................................................................................... 2
BAB II DIAGNOSIS TB PADA ANAK.................................................................... 7
A. Penemuan Pasien TB Anak............................................................ 7
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak............ 8
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring................. 11
D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus.......................... 16
E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak.................................... 24
BAB III PENGOBATAN TB ANAK.......................................................................... 27
A. Paduan OAT Anak.............................................................................. 27
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak........................ 31
BAB IV MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL..................................... 34
BAB V MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK....................................................... 39
BAB VI MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK............................. 44
A. Definisi................................................................................................... 44
B. Diagnosis TB MDR pada anak...................................................... 44
C. Prinsip penatalaksanaan TB MDR pada anak....................... 45
D. Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV... 48
BAB VII PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK.................................. 49
A. Vaksinasi BCG pada Anak............................................................... 49
B. Skrining dan Manajemen Kontak.............................................. 50
C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid........................... 52
12. TB Anak
Juknis
viii Juknis Manajemen TB Anak
BAB VIII PENCATATAN, PELAPORAN DAN INDIKATOR TB ANAK.......... 54
BAB IX PERAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI FASILITAS PELAYANAN
KESEHATAN DALAM TATALAKSANA TB ANAK............................. 66
BAB X PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB...................... 71
BAB XI DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 74
Lampiran 1. Pelaksanaan Uji Tuberkulin............................................................. 75
Lampiran 2 Pengambilan Sampel pada Anak...................................................... 80
Lampiran 3 Perhitungan status gizi pada anak.................................................. 85
13. TB Anak
Juknis
1Juknis Manajemen TB Anak
BAB I
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi
yang menjelaskan beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan
lingkungan. Secara sistematis dan informatif menguraikan sejarah
penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis
dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak
adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Cara Penularan:
• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa
maupun anak.
• AnakyangterkenaTBtidakselalumenularkanpadaorangdisekitarnya,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
• FaktorrisikopenularanTBpadaanaktergantungdaritingkatpenularan,
lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada
pasien TB dengan BTA negatif.
• Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
Besaran masalah TB Anak
• Tuberkulosis anak merupakan faktor
penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia kurang dari
15 tahun adalah 40−50% dari jumlah
seluruh populasi (Gambar ).
Jumlah populasi berdasarkan usia
(IJTLD 2004; 8:627−9).
14. TB Anak
Juknis
2 Juknis Manajemen TB Anak
• Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun
• 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak
meninggal setiap tahun akibat TB
• Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem
pencatatan dan pelaporan kasus TB anak.
• Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan
strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak
negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
• Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak
di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian
menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila
dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari
1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB
anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak
dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun,
dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih
tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB
anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan
tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
B. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya
sangat kecil (<5 µm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus..
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang
biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
15. TB Anak
Juknis
3Juknis Manajemen TB Anak
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
WaktuyangdiperlukansejakmasuknyakumanTBhinggaterbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103
–104
, yaitu jumlah yang
cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi.Setelahterjadikompleksprimer,imunitasselulartubuhterhadapTB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
16. TB Anak
Juknis
4 Juknis Manajemen TB Anak
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi
total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
17. TB Anak
Juknis
5Juknis Manajemen TB Anak
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentukpenyebaranyangjarangterjadiadalahprotractedhematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di
dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah
besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,
sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread
18. TB Anak
Juknis
6 Juknis Manajemen TB Anak
*1)
*4)
*Catatan:
1. Penyebaranhematogenumumnyaterjadisecarasporadik(occulthematogenicspread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis
regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau
reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe
dewasa (adult type TB)
19. TB Anak
Juknis
7Juknis Manajemen TB Anak
BAB II
DIAGNOSIS TB PADA ANAK
A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah
atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular
adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA
positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan
kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan
pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
palingseringterkenaadalahparu.Gejalaklinispenyakitinidapatberupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan
bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk
telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
20. TB Anak
Juknis
8 Juknis Manajemen TB Anak
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan
kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut
tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian
yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya
penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab
TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum,
bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
21. TB Anak
Juknis
9Juknis Manajemen TB Anak
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakankumanTB.PadaanakdengangejalaTB,dianjurkanuntukmelakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan
tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana
diagnostikTBdanDirekturJenderalBUKKemenkestelahmenerbitkanSurat
Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode
serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit
dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen
dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung
selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan
penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi
(PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia
langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan
biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular
(LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya
Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara
karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak,
dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa
kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang
penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang
lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih
rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert
MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang
22. TB Anak
Juknis
10 Juknis Manajemen TB Anak
mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif
lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada
anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan
yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB
sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman
dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada
anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya
jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis
dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat
dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk
mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakahanaktelahtertularolehkumanTBdenganmelakukanujituberkulin.
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam
tubuhanakatauanaksudahtertular.Anakyangtertular(hasilujituberkulin
positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya
tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila
daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan
kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala
23. TB Anak
Juknis
11Juknis Manajemen TB Anak
klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak
spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit
lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis
pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan
foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena
juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan
foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang
TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik
dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik
yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal
sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji
coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes
dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas
24. TB Anak
Juknis
12 Juknis Manajemen TB Anak
pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan
penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil
pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon
klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien
segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
25. TB Anak
Juknis
13Juknis Manajemen TB Anak
Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang
TB di fasyankes
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak
jelas
- Laporankeluarga,
BTA(-)/BTAtidak
jelas/tidaktahu
BTA (+)
Uji tuberkulin
(Mantoux)
Negatif - - Positif (≥10 mm
atau ≥5 mm pada
imunokompromais)
Berat Badan/
Keadaan Gizi
- BB/TB<90% atau
BB/U<80%
Klinis gizi buruk
atau BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-
Demam yang
tidak diketahui
penyebabnya
- ≥2 minggu - -
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran kelenjar
limfe kolli, aksila,
inguinal
- ≥1 cm, lebih dari 1
KGB, tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
- Ada pembengkakan - -
Foto toraks Normal/
kelainan
tidak jelas
Gambaran sugestif
(mendukung) TB
- -
Skor Total
Gambar Alur diagnosis dan tatalaksana TB Anak di Puskesmas
26. TB Anak
Juknis
14 Juknis Manajemen TB Anak
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada
bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
Penentuan status gizi:
— Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
— Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status
gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000
(lihat lampiran).
— Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi
selama 1 bulan.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik
setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan
infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas
kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
27. TB Anak
Juknis
15Juknis Manajemen TB Anak
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA
positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur
anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada
TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka
dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan
dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis,
maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas
(uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi
dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB
dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
29. TB Anak
Juknis
17Juknis Manajemen TB Anak
D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi
minimal dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan
ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul
gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
Tingkatlayananprimerdenganfasilitasterbatas,mungkintidakmampu
melakukan diagnosis dan tatalaksana pasien TB dengan gejala klinis yang
berat. Dokter dan petugas layanan primer harus mampu mengenali gejala
awal TB dengan gejala klinis yang berat dan mengetahui waktu yang tepat
untuk merujuk. Sehubungan dengan itu, akan diuraikan secara ringkas,
hal- hal yang penting untuk pengenalan dan tatalaksana awal kasus TB
dengan gejala klinis yang berat pada anak. Pelayanan kesehatan sekunder
wajib mencatat kasus TB dengan gejala klinis yang berat ini sesuai dengan
Program Nasional Pengendalian TB
1. TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman
TB pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak.
TBdengankonfirmasibakteriologisterdiridarihasilpositifbaikdengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer, dapat
ditemukan hasil BTA positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan
pada dewasa. Hal ini biasa terjadi pada anak usia remaja awal. Anak
dengan BTA positif ini memiliki potensi untuk menularkan kuman M
tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu pada anak
terutama dengan gejala utama batuk dan dapat mengeluarkan dahak
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis.
Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung
atau induksi sputum,
Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun
2011, prosentase kasus TB BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah
6,3 % dari seluruh kasus TB anak, angka ini meningkat dari tahun 2010
yaitu sebesar 5,3%.
30. TB Anak
Juknis
18 Juknis Manajemen TB Anak
2. Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan
TB dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,
diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta
pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan
tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan
edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI,
untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus. Apabila
keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
3. TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis
berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara
kasat mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu
1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius,
serta sosioekonomi).
31. TB Anak
Juknis
19Juknis Manajemen TB Anak
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai
sesak nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi
hipoksia, pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum, sampai
gangguan fungsi organ, serta syok.
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2—3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat
khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di
seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang
hampir seragam (1—3 mm).
Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan
klinis diduga TB milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis
ditegakkan melalui rewayat kontak dengan pasien TB BTA positif, gejala
klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
pungsilumbalwalaupunbelumtimbulkejangataupenurunankesadaran.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan
lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya
demam setelah 2—3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan,
perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan.
Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang
dalam 5—10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan
sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat
melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.
4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan,
dan nyeri pada pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa
ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya
sepertiabsestetapitidakmenunjukkantanda-tandaperadangan.Warna
benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan
abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang
lanjut, membutuhkan operasi bedah sebagai tatalaksananya
32. TB Anak
Juknis
20 Juknis Manajemen TB Anak
Kelainanpadasendipangguldapatdicurigaijikapasienberjalanpincang
dan kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan
di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang
ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan
danMRI.PrognosisTBtulangatausendisangatbergantungpadaderajat
kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan minimal umumnya
dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
5. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering
terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus
timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa
kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran
kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,
supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal
penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete,
dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan
di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral,
tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah
dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya
menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat normal.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan
bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat dilakukan di
fasilitas rujukan.
6. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura.
Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi
pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2
bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai
; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal
mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk
33. TB Anak
Juknis
21Juknis Manajemen TB Anak
nonproduktif(94%),nyeridada(78%),biasanyaunilateral(95%).Pasien
juga sering datang dalam keadaan sesak nafas yang hebat. Pemeriksaan
foto toraks dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu
terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya. Untuk
diagnosis definitif dan terapi, pasien ini harus segera dirujuk.
Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah
analisis cairan pleura, jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura.
Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak.
Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
7. Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat
yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,
skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat
subkutan dalam yang keras (firm), berwarna merah kebiruan, dan
tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat kemudian meluas/
membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya
mengalami pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan
kulit), membentuk ulkus berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang
bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung (inverted),
berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang
sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks
berupa pita/benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan di
antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan,
didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus
yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.
Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/ fine
needle aspiration biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open
biopsy). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberculosis
dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan. Hasil PA
34. TB Anak
Juknis
22 Juknis Manajemen TB Anak
dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat
sel datia Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA.
Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana
lokal/topikal dengan kompres atau higiene yang baik.
8. Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosissampaikeorgantersebutsecarahematogenataupunpenjalaran
langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai,
yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa
dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang
dapat membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan
selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah epigastrium
dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang
terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta
dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis
umum TB anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa
intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena
papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa
yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi
usus dan asites.
Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen
melalui vena porta atau jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe
porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati
dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai
denganproliferasifokalselKupfferyangmembentuknodulkecilsebagai
reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag
dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel
datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan.
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos
abdomen, analisis cairan asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan
35. TB Anak
Juknis
23Juknis Manajemen TB Anak
obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.
9. Tuberkulosis Mata
Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea,
sehingga sering disebut sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis (KF).
Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah penyakit pada konjungtiva dan
kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi
yang disebut flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di sekitarnya.
Umumnya ditemukan pada anak usia 3—15 tahun dengan faktor risiko
berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan malnutrisi.
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia,
dan dapat mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB.
Untuk menyingkirkan penyebab stafilokokus, perlu dilakukan usap
konjungtiva.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari
penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan
pemeriksaan feses. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus
fasikuler,parutkornea,danperforasikornea.Penggunaankortikosteroid
topikal mempunyai efek yang baik tetapi dapat menyebabkan glaukoma
dan katarak.
10. Tuberkulosis Ginjal
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya
bertahun-tahun. TB ginjal merupakan hasil penyebaran hematogen.
Fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan
kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan terbentuk dekat
dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke
dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter,
prostat, atau epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal,
hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Disuria,
nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopis dapat
terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.
Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala
yang lebih akut, dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit
dasarnya. Hidronefrosis atau striktur ureter dapat memperberat
36. TB Anak
Juknis
24 Juknis Manajemen TB Anak
penyakitnya. BTA dalam urine dapat ditemukan. Pielografi intravena
(PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling
defect kecil yang multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur ureter.
Sebagian besar penyakit terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain
yang dapat digunakan adalah USG dan CT scan.
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga
dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila
diperlukan tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT
selama 4—6 minggu.
11. Tuberkulosis Jantung
Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis
TB, tetapi hanya 0,5—4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi
akibatinvasikumansecaralangsungataudrainaselimfatikdarikelenjar
limfe subkarinal.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun.
Nyeri dada jarang timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan
suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan
perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Basil
Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi kultur
dapat positif pada 30—70% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi
perikardium yang tinggi dan adanya granuloma sering menyokong
diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikard.
E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:
• TerdugapasienTBanak:setiapanakdengangejalaatautandamengarah
ke TB Anak
• Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis:
adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau
diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB
paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
37. TB Anak
Juknis
25Juknis Manajemen TB Anak
• Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak
yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat
pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi sesuai
gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien
TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan
Pasien TB Ekstra Paru.
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
• Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lainselainparu,misalnyapleura,selaput otak,selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala
hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan
sebagai TB paru
• Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28
dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di
atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat
diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati
kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
• Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
38. TB Anak
Juknis
26 Juknis Manajemen TB Anak
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan
berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang
dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA
positif, TB resisten obat, TB HIV.
• Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada
daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan
pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV
diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif.
Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada
anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah
usia > 18 bulan.
• Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT
lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT
lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai,
pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk
dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin
dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.
39. TB Anak
Juknis
27Juknis Manajemen TB Anak
BAB III
PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan)
dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
• Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
• Pemberian gizi yang adekuat.
• Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
A. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap
hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-
lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
40. TB Anak
Juknis
28 Juknis Manajemen TB Anak
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberiansteroidiniuntukmengurangiprosesinflamasidanmencegah
terjadi perlekatan jaringan.
• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Skema Panduan OAT Anak
Catatan : Mengacu kepada upaya Program Nasional Pengendalian TB,
setelah pemberian pengobatan selama 6 bulan, dapat dilaporkan sebagai
pasien dengan hasil akhir : Pengobatan Lengkap.
41. TB Anak
Juknis
29Juknis Manajemen TB Anak
Tabel . Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama Obat
Dosis harian
(mg/kgBB/
hari)
Dosis
maksimal
(mg /hari)
Efek samping
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal,
reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,
gangguan gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman
mata berkurang, buta warna
merah hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
42. TB Anak
Juknis
30 Juknis Manajemen TB Anak
• Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap
sesuai dengan tabel tabel berikut ini:
Jenis
Fase
intensif
Fase
lanjutan
Prednison Lama
TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan
Efusi pleura TB 2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan
tanda-tanda
kerusakan luas:
2HRZ+E
atau S
7-10HR 4 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
9-12
bulan
TB milier
TB + destroyed lung
Meningitis TB 10HR 4 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
12 bulan
Peritonitis TB 2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
Perikarditis TB 2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
Skeletal TB -
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
UntukmempermudahpemberianOATsehinggameningkatkanketeraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel . Dosis kombinasi pada TB anak
Berat badan
(kg)
2 bulan
RHZ (75/50/150)
4 bulan
(RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa
43. TB Anak
Juknis
31Juknis Manajemen TB Anak
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada
fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan,
respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan
baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan
meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6
bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis,
bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain
seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai
pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang
positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
44. TB Anak
Juknis
32 Juknis Manajemen TB Anak
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan
dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan
pengobatan pasien TB BTA pos.
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada
• bayi yang mendapat ASI eksklusif,
• pasien gizi buruk,
• anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku
Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
• Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal.
• Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan
risiko terjadinya TB kebal obat.
Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-
45. TB Anak
Juknis
33Juknis Manajemen TB Anak
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan
dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak
dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.
46. TB Anak
Juknis
34 Juknis Manajemen TB Anak
BAB IV
MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL
Pengelolaan neonatus dari ibu sakit TB
Kehamilan akan meningkatan risiko berkembangnya TB aktif pada
wanita yang sebelumnya terinfeksi, terutama pada trimester terakhir atau
pada periode awal pasca-natal. Kejadian TB pada ibu hamil meningkat secara
bermakna, sejak awal epidemi HIV. Sekitar 2% dari ibu hamil yang terinfeksi
HIV didiagnosis dengan TB, dan TB merupakan penyebab utama kematian ibu
di daerah endemik TB HIV. Peningkatan risiko untuk bayi yang baru lahir dari
ibu dengan TB dan TB/ HIV meliputi :
• infeksi dan penyakit TB
• transmisi HIV dari ibu-ke-bayi
• lahir prematur dan berat badan lahir rendah
• kematian peri-natal dan neonatus
• menjadi yatim piatu
Pengelolaan TB pada kehamilan
TB sering tidak terdiagnosis pada ibu sebelum neonatusnya dicurigai
atau terbukti TB. Manifestasi klinis TB pada kehamilan hampir sama bila
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil dengan bentuk paling umum
yaitu TB paru. TB diseminata terjadi pada 5-10% dari wanita hamil yang
menderita TB, dan ini adalah risiko utama untuk terjadinya perinatal TB.
Oleh karena itu, semua wanita hamil di daerah endemik TB/HIV harus
ditapis untuk gejala TB. Sama pentingnya untuk wanita hamil yang diduga
TB harus dites HIV. Jika TB didiagnosis, terapi harus dimulai segera untuk
mencegah penularan dan mencegah kematian. Ibu hamil yang terinfeksi HIV
dengan TB diobati dengan ART sesuai pedoman WHO. Ko-infeksi dengan TB
merupakan indikasi tambahan untuk dimulai ART. Waktu yang optimal untuk
memberikan ART tergantung pada jumlah CD4, toleransi terhadap pengobatan
TB dan faktor klinis lainnya. Intervensi untuk mencegah penularan HIV dari
ibu-ke-bayi disesuaikan dengan pedoman WHO.
47. TB Anak
Juknis
35Juknis Manajemen TB Anak
TB neonatal
Ada 2 istilah pada TB neonatal yang harus dibedakan yaitu :
• TB kongenital : terjadi ketika neonatus tertular M tuberculosis saat
dalam rahim melalui penyebaran hematogen lewat vena umbilikal,
atau saat persalinan melalui aspirasi atau meminum cairan amnion
atau sekresi cervicovaginal yang terkontaminasi M tuberculosis. Gejala
TB kongenital biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan dan
mortalitas TB kongenital tinggi.
• TB neonatal/TB perinatal : adalah ketika neonatus terinfeksi setelah
lahir dengan terpapar pada kasus TB BTA (+), yaitu biasanya ibu atau
kontak dekat lain. Penularan pascanatal terjadi secara droplet dengan
patogenesis yang sama seperti TB pada anak.
SeringkalisulitmembedakanantaraTBkongenitaldanTBneonatal/perinatal.
Neonatus yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada
neonatus mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda
tidak spesifik, diagnosis sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis.
Gejala awal seperti letargi, sulit minum, berat badan lahir rendah dan kesulitan
pertambahan berat badan. Tanda klinis lain meliputi distres pernapasan,
pneumonia yang sulit sembuh, hepatosplenomegali, limfadenopati, distensi
abdomen dengan asites, atau gambaran sepsis neonatal dengan TB diseminata.
Diagnosis TB harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada infeksi
kronis neonatal yang berespon buruk terhadap terapi antimikroba, infeksi
kongenital,danpneumoniatipikal.Petunjukyangpalingutamadalamdiagnosis
TB pada neonatus yaitu riwayat ibu terinfeksi TB atau HIV. Poin utama pada
riwayat ibu meliputi pneumonia yang sulit membaik, kontak dengan kasus
indeks TB , dan riwayat pengobatan TB dalam 1 tahun terakhir.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah
pemeriksaan M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada
plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan
adanyagranulomakaseosadanBTA,bilaperludilakukankuretaseendometrium
untuk mencari endometritis TB.
Manajemen neonatus asimptomatik yang terpapar terhadap ibu dengan TB
Setelahkelahiran,neonatusyanglahirdariibudengansuspekatauterbukti
TB, harus dipastikan apakah sakit TB atau tidak. Penting untuk menentukan
48. TB Anak
Juknis
36 Juknis Manajemen TB Anak
tingkat infeksi ibu dan susceptibility terhadap obat TB melalui pemeriksaan
BTA dan biakan/ uji kepekaan. Tidak perlu memisahkan neonatus dari ibu jika
ibu tidak memiliki MDR TB dan pemberian ASI dapat dilanjutkan. Imunisasi
BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu, sampai status TB neonatus tersebut
diketahui. Imunisasi BCG juga sebaiknya tidak diberikan pada neonatus atau
bayi yang sudah dikonfirmasi terinfeksi HIV.
Jika neonatus tersebut tidak memiliki gejala (asimtomatik), dan ibunya
terbukti TB yang sensitif dengan OAT, maka neonatus diberikan terapi
pencegahan dengan isoniazid (10mg/kg) selama 6 bulan. Neonatus harus
dipantau secara rutin setiap bulan, dan dievaluasi kemungkinan adanya gejala
TB untuk memastikan TB aktif tidak berkembang.
Pada akhir bulan ke 6, bila bayi tetap asimptomatik, pengobatan dengan
INH distop dan dilakukan uji tuberkulin. Jika uji tuberkulin negatif dan tidak
terinfeksi HIV, maka dapat diberikan BCG 2 minggu setelahnya, Akan tetapi
jika uji tuberkulin positif, harus dievaluasi untuk kemungkinan sakit TB.
Jika ibu terbukti tidak terinfeksi dan sakit TB, bayi harus diskrining TB.
Jika tidak ada bukti infeksi TB, maka bayi harus dipantau secara teratur untuk
memastikan penyakit TB aktif tidak berkembang.
Jika diagnosis sakit TB sudah dikonfirmasi atau bayi menunjukkan tanda
klinis sugestif TB, pengobatan harus dimulai oleh dokter spesialis anak.
Imunisasi BCG diberikan 2 minggu setelah terapi jika bayi tidak terinfeksi HIV.
Jika terinfeksi HIV, BCG tidak diberikan.
Neonatus yang lahir dari ibu yang MDR atau XDR-TB harus dirujuk ke ahli
untuk menangani masalah ini. Kontrol infeksi diperlukan untuk mengurangi
kemungkinan transmisi dari ibu ke anak yaitu dengan menggunakan masker.
Tatalaksana neonatus dengan sakit TB
Neonatus sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU di
fasilitas rujukan. Pengobatan TB kongenital dan TB neonatal sama, dan harus
dilaksanakan oleh dokter yang berpengalaman dalam manajemen TB anak.
Harus dilakukan investigasi lengkap dari ibu dan neonatus. Foto toraks dan
pengambilan spesimen dari lokasi yang memungkinkan harus diambil, untuk
membuktikan diagnosis TB pada neonatus. Pemberian OAT harus dimulai pada
bayi yang kita curigai TB sambil menunggu konfirmasi bakteriologis karena
TB berkembang dengan cepat pada neonatus.
49. TB Anak
Juknis
37Juknis Manajemen TB Anak
Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari nafsu makan yang
meningkat, pertambahan berat badan dan perbaikan radiologis. Menyusui bayi
tetap dilakukan oleh karena risiko penularan M tuberculosis melalui ASI dapat
diabaikan.DemikianjugatentangOATyangdikonsumsiibu,hanyadieksresikan
dalam jumlah kecil, dan tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat.
Bayi tidak boleh dipisahkan dari ibu, oleh karena menyusui dapat diandalkan
menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup
neonatus dengan TB.
Gambar 4. Alur pengelolaan neonatus dan bayi dari ibu dengan TB aktif
50. TB Anak
Juknis
38 Juknis Manajemen TB Anak
*Catatan
1) Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis dan
mikrobiologis. Bila ibu terdiagnosis TB aktif maka diobati dengan
OAT. Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tetapi ibu
harus memakai masker untuk mencegah penularan TB pada bayinya.
Pada ibu yang sangat infeksius (BTA positif), bayi dipisahkan sampao
terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap
diberikan ASI yang dipompa. Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang
memberikan ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan. Dosis obat
TB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis
terapeutik bayi.
2) Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), dan
darah v.umbilikalis (Mikrobiologi=BTA & biakan TB).
3) Klinis:
• Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan, hepato-
splenomegali, demam, letargi, toleransi minum buruk, gagal
tumbuh, distensi abdomen.
• Bilaklinissesuaisepsisbakterialisdapatdiberikanterapikombinasi.
4) Pemeriksaan penunjang :
• Foto rontgen toraks dan bilas lambung
• Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear
discharge, lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA
• Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, lakukan
pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan
dengan biopsi hati
5) ImunisasiBCGsebaiknyatidakdiberikandahulu.Setelahibudinyatakan
tidak infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif,
isoniazid dihentikan dan diberikan BCG pada bayi.
51. TB Anak
Juknis
39Juknis Manajemen TB Anak
BAB V
MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK
Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko
paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata
(milier), TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada
daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi
TBcukuptinggi.DemikianpuladenganIndonesia,kecenderunganpeningkatan
pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba,
akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi
pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV
saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa
HIV.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering
ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka
kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian
TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat.
Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya
transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari
15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa
telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada
umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama
TB berat (milier dan meningitis)
InfeksiHIVmenyebabkanimunokompromaispadaanaksehinggadiagnosis
dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :
1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB,
banyak mempunyai kemiripan gejala.
2. Interpretasiujituberkulinkurangdapatdipercaya.Anakdengankondisi
imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun
sebenarnya telah terinfeksi TB.
3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum
positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini
terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan
keteraturan pengobatan.
52. TB Anak
Juknis
40 Juknis Manajemen TB Anak
Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan
4 hal, yaitu : 1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2)
uji tuberkulin positif (>5 mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif
TB secara klinis (misalnya Gibbus) dan 4 ) gambaran sugestif TB pada foto
toraks 5) Respons terhadap OAT.
Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 th
2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan
TIPK ( Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan)
World Health Organization merekomendasikan dilakukan pemeriksaan
HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada penderita,
terutama:
a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi
berulang (≥3 episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir),
bercak putih di mulut (thrush), parotitis kronik, limfadenopati
generalisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas, demam yang
menetap dan/atau berulang, disfungsi neurologis, herpes zoster
(shingles), dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic
suppurative lung disease).
b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga
lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitis
media kronik, diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.
c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV,
yaitu: PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esofagus, LIP
(lymphoid interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.
Skema permintaan HIV ini dinamakan Provider Initiated Testing and
Counseling /PITC atau Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan/
KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku.
Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin
pada pasien HIV diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm
saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan positif. Tuberkulosis paru pada
bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV
dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak memberikan
respons terhadap antibiotik standar. TB paru sulit dibedakan dengan LIP yang
sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia >2 tahun. Gejala khas LIP antara
53. TB Anak
Juknis
41Juknis Manajemen TB Anak
lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar parotis, dan
jari tabuh.
Pengobatan TB HIV pada Anak
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping
minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini,
paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO
(2011) adalah INH, Rifampisin, PZA dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan
pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan pemberian INH dan Rifampisin
selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH,
Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif selanjutnya
INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan.
Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB
termasuk cotrimoxazole preventive therapy (CPT), antiretroviral therapy (ART)
dan suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mg/hari serta pemberian nutrisi.
Kategori diagnostik TB pada penderita HIV Fase awal Fase lanjutan
TB ringan, TB paru BTA negatif, Limfadenitis TB 2RHZE RH (4-7 bulan)
TB tulang 2RHZE RH (10 bulan)
TB milier, TB meningitis 2RHZES RH (10 bulan)
Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps
yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini
maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan
sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan.
Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak
terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi
OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis,
kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat.
TatalaksanaTBpadaanakdenganHIVyangsedangatauakanmendapatkan
pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan
interaksi antara obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat
menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta
bertambahnya risiko toksisitas.
Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim
reverse transkriptase nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, NNRTI) dan pengambat enzim protease (protease inhibitors: PI).
54. TB Anak
Juknis
42 Juknis Manajemen TB Anak
Rifampisin menurunkan konsentrasi PI hingga 80% atau lebih, dan NNRTI
hingga 20—60%.
Rekomendasi ART dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin adalah
efavirenz (suatu NNRTI) ditambah 2 obat penghambat reverse transcriptase
nukleosida (nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI), atau ritonavir
(dosis yang dinaikkan) ditambah dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi
ini sering mengalami revisi sehingga harus disesuaikan dengan informasi
terbaru menurut CDC.
Reaksi simpang (adverse events) yang ditimbulkan oleh OAT hampir
serupa dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral, sehingga dokter
sulit membedakan ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi.
Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI
(didanosine, zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika
pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan.
Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh
ARV. Pemberian ARV dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama
minimal 2-8 minggu
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk
menentukan hal-hal berikut:
• apakahpemberianOATakandimulaibersamaandenganobatantiretroviral,
• apakah pemberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah
pemberian OAT dimulai, atau
• apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian
antiretroviral dimulai.
PadaanakyangakandiberikanpengobatanTBketikasedangmendapatkan
pengobatan antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap
antiretroviral yang digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan
OAT tanpa rifampisin.
Pemberian steroid untuk TB berat pada anak dengan HIV disesuaikan
dengan keadaan imunosupresi penderita.
Pemberian ART
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung
diberikanARTtanpamempertimbangkankadarCD4. Padaanakyangterinfeksi
55. TB Anak
Juknis
43Juknis Manajemen TB Anak
HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama
2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS
(Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome) dan efek samping obat yang
saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV
dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan
Rifampisin.
Pemilihan ARV dan pemantauan pengobatannya mengacu pada buku
Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa IO (Infeksi Oportunistik) pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)
dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam
pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya
BerbagaipenelitiantelahmembuktikanefektifitasPPKdalammenurunkan
angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut
dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik.
Pemberian PPK mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis
Koinfeksi TB HIV
56. TB Anak
Juknis
44 Juknis Manajemen TB Anak
BAB VI
MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK
Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti
karena kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian
TB kebal obat di Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus
ini perlu ditingkatkan mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih
belum optimal dan angka kejadian TB kebal obat pada dewasa yang terus
meningkat. Diperkirakan banyak anak yang kontak dengan kasus TB dewasa
kebal obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada anak akan mencerminkan
pengendalian TB kebal obat pada dewasa.
A. Definisi
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR,
dan XDR. Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan
resisten terhadap isoniazid atau rifampisin.3
Seorang pasien TB anak
dikatakan mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil
M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan
extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan
hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents
B. Diagnosis TB MDR pada anak
Diperlukanpetunjukkecurigaanklinisyangcermatuntukmendiagnosis
MDR TB pada anak. Faktor-faktor risiko termasuk riwayat pengobatan
sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini pertama,
adanya kontak MDR TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien yang
meninggal saat pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal.
Anak tersangka TB MDR akan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan alur
pemeriksaan dewasa tersangka TB MDR.
Algoritme berikut menunjukkan strategi diagnostik untuk menentukan
faktor risiko TB MDR pada anak yang terdiagnosis maupun tersangka TB.
57. TB Anak
Juknis
45Juknis Manajemen TB Anak
C. Prinsip penatalaksanaan TB MDR pada anak
Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan
paduan terapi dewasa pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk
anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan
pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-friendly.
58. TB Anak
Juknis
46 Juknis Manajemen TB Anak
Prinsip Paduan pengobatan TB MDR pada anak:
Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip
pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:
• Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu
masih sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih
baik kalau generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus
dilanjutkan
• Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
• Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT.
• Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
• Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung.
• Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada
dewasa dengan TB MDR.
60. TB Anak
Juknis
48 Juknis Manajemen TB Anak
D. Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV
61. TB Anak
Juknis
49Juknis Manajemen TB Anak
BAB VII
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK
A. Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin
BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk
pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian
Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk
mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang
sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikankarenatidak terbukti memberiperlindungantambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada
trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan
amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu
pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya
melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya
dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak
dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan
untuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah
vaksinasiBCG.Komplikasipalingseringtermasukabseslokal,infeksibakteri
sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan
reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan
reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu
juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
62. TB Anak
Juknis
50 Juknis Manajemen TB Anak
B. Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang
dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak
yang mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan (2) orang dewasa
yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya Investigasi Kontak:
1. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
2. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat
berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4–
69.2%.
3. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk
berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah
infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa
minggu.
4. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi
kemungkinan berkembangnya sakit TB.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati
temuan kasus sakit TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB,
yang berisiko untuk berkembang jadi sakit TB
3. MemberikanterapipencegahanuntukanakyangterinfeksiTB, meliputi
anak usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB
dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining
kontak ini dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal.
Istilah yang digunakan pada skrining dan manajemen kontak
1. Kasus Indeks : Kasus yang diidentifikasi sebagai kasus TB baru
atau berulang;
dapat berupa sumber kasus dewasa, atau anak
sakit TB
2. Sumber Kasus : Kasus TB (biasanya BTA sputum positif) yang
menyebabkan infeksi atau sakit pada kontak.
63. TB Anak
Juknis
51Juknis Manajemen TB Anak
3. Investigasi kontak : Proses sistematis yang diitujukan untuk mengiden-
tifikasi kasus TB yang belum terdiagnosis pada
sekelompokorangyangkontakdengankasusindeks
4. Kontak erat : Hidup dan tinggal bersama dalam satu tempat
tinggal dengan sumber kasus (contoh ayah, ibu,
pengasuh, dll) atau mengalami kontak yang sering
dengan sumber kasus (contoh sopir, guru, dll).
5. Kontak serumah : Seseorangyangsaatinitinggalbersamaataupernah
tinggal bersama di satu tempat tinggal selama satu
malam atau lebih ATAU sering/beberapa hari,
bersama-samadengankasusindeksselama3bulan
sebelum diagnosis atau mulai terapi TB.
6. Terapi preventif : Pengobatan yang diberikan kepada kontak
yang diidentifikasi infeksi TB. Yang memiliki
risiko berkembangnya sakit TB setelah terpapar
dengan sumber kasus TB BTA positif, bertujuan
untuk mengurangi kejadian sakit TB.
Langkah Pelaksanaan Skrining Kontak
Jika Kasus Indeks adalah dewasa BTA positif
• Tentukan berapa jumlah anak yang kontak dengan kasus indeks,
sesuai dengan definisi di atas
• Setiap anak yang sudah diidentifikasi, harus dilakukan evaluasi
tentang ada atau tidaknya infeksi dan gejala TB (lihat bab diagnosis)
• Jikaterdapat gejalasugestifTB,harusdievaluasiuntukkemungkinan
sakit TB (lihat bab diagnosis)
• Catat semua anak yang teridentifikasi sebagai kontak TB pada
register TB 01
Gejala utama TB
a. BB turun atau sulit naik
b. Demam menetap > 2 minggu dan atau keringat malam
c. Batuk menetap ≥ 3 minggu, non remitting
d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh
e. Fatique, kurang bermain, kurang aktif
f. Diare menetap> 2 minggu
64. TB Anak
Juknis
52 Juknis Manajemen TB Anak
• Kontak dengan gejala sugestif TB harus dievaluasi menggunakan
sistem skoring.
• Jika tidak ada gejala sugestif TB, maka anak dapat dipertimbangkan
untuk mendapatkan pengobatan preventif dengan Isoniazid selama
6 bulan apabila anak berumur < 5 tahun.
Jika kasus indeks adalah anak dengan sakit TB
• Tentukan sumber kasus dengan melakukan identifikasi terhadap
orang dewasa yang pernah kontak erat dan atau kontak serumah
(sesuai definisi di atas) dalam 3 bulan terakhir.
• Jika dapat diidentifikasi, evaluasi apakah tersangka sumber kasus TB
dewasa tersebut sudah didiagnosis atau telah mendapat terapi TB.
• Jika belum, pastikan sumber kasus mendapat manajemen yang
layak sesuai pedoman kasus TB dewasa
• Identifikasi juga anak lain yang mungkin sudah terpapar dari
tersangka sumber kasus tersebut dan evaluasi sesuai langkah-
langkah di atas.
C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa
dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10%
dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak
kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB
milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah
terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel
berikut:
Umur HIV Hasil pemeriksaan Tata laksana
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Kontak (+), Uji tuberkulin (-) INH profilaksis
> 5 th (+) Infeksi laten TB INH profilaksis
> 5 th (+) Sehat INH profilaksis
> 5 th (-) Infeksi laten TB observasi
> 5 th (-) Sehat Observasi
65. TB Anak
Juknis
53Juknis Manajemen TB Anak
Keterangan
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/
kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke
3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB
dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen
terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu
diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
66. TB Anak
Juknis
54 Juknis Manajemen TB Anak
BAB VIII
PENCATATAN, PELAPORAN DAN INDIKATOR TB ANAK
TB anak mencerminkan efektifitas dari program pengendalian TB,
termasuk deteksi kasus dewasa, pelacakan kontak, transmisi dari TB baik yang
sensitifmaupun resistenobat,danvaksinasiBCG.Pencatatan danpelaporanTB
dan HIV pada anak secara akurat sangat penting dalam rangka meningkatkan
surveilans epidemiologi, mengukur luaran dari intervensi dan memungkinkan
perencanaan dan pengorganisasian pelayanan TB dan HIV anak. Pencatatan
dan pelaporan yang teratur juga dibutuhkan untuk dukungan teknis,
pemenuhan kebutuhan obat TB untuk anak dan menentukan jumlah petugas
yang diperlukan. Oleh karena itu, kasus TB anak harus selalu diikutserttakan
dalam pencatatan dan pelaporan Program TB Nasional. Pencatatan meliputi
pencatatan suspek, identifikasi kasus TB anak, pelacakan kontak, pengobatan,
follow up serta luaran pengobatan.
Pencatatan Kasus TB Anak
Semua anak yang diobati TB harus dicatat dalam formulir register TB.
Semua kolom dalam formulir register harus dilengkapi, termasuk umur
anak, jenis TBnya, status HIV dan pemberian PPK (Pengobatan Pencegahan
Kortimoksazol) dan ART jika terinfeksi HIV.
Pengelompokan umur untuk pencatatan dan pelaporan
• Anak 0-4 tahun (sampai 4 tahun 11 bulan)
• Anak 5-14 tahun
Formulir dan alur pencatatan kasus TB Anak
Formulir yang diperlukan untuk pencatatan kasus TB Anak adalah:
a. Daftar Tersangka (Suspek) TB (TB 06)
b. Kartu Pengobatan Pasien TB (TB 01)
c. Kartu Identitas Pasien TB (TB 02)
d. Register TB 03 UPK
e. Formulir Rujukan/ Pindah Pasien TB (TB 09)
f. Formulir Hasil akhir Pengobatan Pasien TB Pindah (TB 10)
67. TB Anak
Juknis
55Juknis Manajemen TB Anak
Catatan:
Pada kasus TB dengan gejala klinis yang berat, setelah menelan seluruh
dosis OAT pengobatan pada bulan 6, hasil akhir pengobatan dapat
dinyatakan sebagai PL (Pengobatan Lengkap). Anak tetap melanjutkan
pengobatan sampai dinyatakan selesai oleh dokter berdasarkan
perbaikan tanda-tanda klinis..
Pada TB 03, di kolom Paduan Obat diubah menjadi Kode Paduan Obat,
dengan pilihan: 1 (Kat 1), 2(Kat 2), 3(Kat Anak dg 3 obat), 4(kat Anak
dg 4 obat), 5 (IPT)
Pasien TB anak setelah evaluasi 2 bulan, kemudian dinyatakan bukan
TB, dalam pencatatan hasil akhir pengobatan dilaporkan sebagai
Default.
Di samping pencatatan di register pengobatan TB, rekam medis di
fasilitas pelayanan kesehatan perlu tetap dipertahankan. Penting pula untuk
mengintegrasikan informasi skrining TB, hasilnya dan pengobatannya (kuratif
ataupreventif)didalamKMSanak.Haliniakandapatmeningkatkankelanjutan
pelayanan dan komunikasi antar pelayanan kesehatan. Perlu diciptakan
dan dibina hubungan antara pelayanan TB dan HIV serta pencatatan dan
pelaporannya dalam rangka kolaborasi TB/HIV.
Hasil akhir pengobatan TB anak
Definisi hasil akhir pengobatan untuk TB anak sama dengan yang dipakai
pada penderita TB dewasa untuk menjaga kesesuaian pelaporan baik pada
kasus TB anak maupun dewasa. Respon terapi pada anak TB paru BTA negatif,
TB paru tanpa pemeriksaan dahak, dan TB ekstra paru dinilai dengan penilaian
secara berkala tiap bulan dengan pencatatan pencapaian berat badan dan
perbaikan gejala klinis. Pada anak dengan TB paru BTA positif, pemeriksaan
dahak harus diulang sesuai dengan jadwal pemeriksaan ulang pada pasien TB
dewasa.