Penelitian ini mengkaji implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) di Indonesia. Temuan pentingnya adalah: (1) SAKIP masih bersifat formalitas administratif sehingga kualitas dokumennya rendah, (2) banyaknya peraturan menimbulkan kebingungan, dan (3) pembagian peran penyelenggara tidak berdasar pada regulasi. Untuk mengoptimalkan SAKIP direkomendasikan: (1) menerbitkan pay
1. MASALAH PENELITIAN
Setelah perjalanan 14 tahun akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah (AKIP), sebagian
besar
instansi
pemerintah
belum
menyelenggarakan Sistem AKIP secara benar.
Kondisi ini terlihat dari hasil evaluasi meliputi
kementerian, lembaga, provinsi, 2012
menujukan 3 instansi tanpa perbaikan, 32
instansi perbaikan ringan dan
79 instansi
perlu perbaikan mendasar, evaluasi ini belum
termasuk pemerintah daerah kabupaten/
kota. Hal senada terlihat dari hasil survai LSI
2007 – 2011 yang menyatakan Kepercayaan
masyarakat menurun dan penilaian kinerja
pemerintah menurun. Kondisi tersebut telah
disadari pemerintah, sehingga salah satu
Aspek prioritas dalam Road Map Reformasi
Birokrasi 2010-2014 adalah “meningkatkan
kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi”.
Dengan “belum optimalnya” Sistem AKIP saat
ini, maka study ini dilakukan untuk pertama
me-review penyelenggaraan SAKIP yang
meliputi aspek regulasi dan implementasi.
Kedua redesain model SAKIP. Untuk
mencapai kedua hal tersebut dilakukan
dengan Frame work seperti pada gambar.
Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam
Negeri dan Pemerintah Daerah antara lain
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, Banten, Sumatera Barat dan Nusa
Tenggara Timur, Kabupaten Sleman, Kota
Surabaya, Kota Solok, Kabupaten Gresik.
Pemilihan
Sampel
didasarkan
oleh
keterwakilan nilai evaluasi LAKIP yakni kriteria
A, B, CC, C dan D. Tehnik pengumpulan data
dilakukan
dengan
wawancara,
diskusi
terbatas, masukan tertulis dan review
literatur.
Untuk
mendapatkan
deskripsi
penyelenggaraan SAKIP, ada tiga pertanyaan
penelitian yang menjadi fokus diskusi
meliputi pertama Apakah SAKIP telah
berfungsi sebagai review kinerja dan alat
kendali manajemen ? Pertanyaan pertama
ini berdasarkan asusmsi adanya formalitas
administratif. Kedua Bagaimana efektifitas
SAKIP dalam meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas
penyelenggaraan
pemerintahan
?
Pertanyaan
kedua
didasarkan atas asumsi disharmonisasi
regulasi dan aktor penyelenggara SAKIP.
Ketiga Bagaimana model SAKIP yang dapat
meningkatnya kinerja dan akuntabilitas
instansi pemerintah ? Sedangkan yang ketiga
merupakan rekomendasi model regulasi dan
penyelenggara SAKIP.
TEMUAN PENTING
DESAIN DAN METODE
Key Informan dalam penggalian data
penyelenggaraan SAKIP melibatkan para
pakar dan praktisi yang dinilai mampu dan
layak memberikan data dan informasi antara
lain Kementerian PAN dan RB, Kementerian
Keuangan,
Badan
Perencanaan
dan
Para pakar dan praktisi yang menjadi key
informan studi ini berpandangan bahwa
SAKIP memiliki peran yang sangat penting
dalam mewujudkan good governance.
Bahkan untuk aspek pelaporannya (LAKIP),
Key Informan pemerintah daerah seperti
Kabupaten Kupang, Kota Surabaya
dan
Provinsi Sumatera Barat menyatakan lebih
baik dibandingkan dengan LKPJ dan LPPD
karena pengukuran indikator kinerja LAKIP
sudah pada tingkatan minimal outcome.
SAKIP masih belum berfungsi sebagai tool
review kinerja dan alat kendali manajemen.
Hal ini disampaikan hampir seluruh key
2. informan sampel dari pemerintah daerah
yang menyatakan pemenuhan dokumendokumen SAKIP hanya sebagai pemenuhan
kewajiban administratif, hal ini tidak terlepas
dari pemahaman pelaksana (penyusun
rencana, pembuat laporan dan evaluator)
yang masih “rendah”. Kondisi tersebut
terlihat antara lain dari dokumen perencaan
yang tidak selaras dan sinergis secara vertical
(antara lembaga dan unit kerja/SKPD) dan
horisontal (antara rencana unit kerja/SKPD
dan teknis penjabaran dari visi sampai ke
indikator). Penyusunan LAKIP yang masih
menggunakan KepLAN 239/2003. Faktor
utama yang menjadi penyebab rendahnya
pemahaman SAKIP
adalah Kurangnya
sosialisasi / pembinaan dari Kementerian
PANRB dan LAN serta seringnya mutasi
pegawai.
Efektifitas SAKIP dalam meningkatkan kinerja
dan
akuntabilitas
penyelenggaraan
pemerintahan diuraikan dari sisi regulasi dan
implementasi. Dari sisi regulasi SAKIP
munculnya disharmonisasi peraturan yang
mengatur aspek-aspek SAKIP mulai dari
perencanaan sampai evaluasi. Peraturan
tersebut antara lain PP 40 Tahun 2006, PP 9
tahun 2006, PP 6 Tahun 2008, PP 8 Tahun
2008, Inpres. 7 / 1999, KepLAN 239/2003,
PermenPAN
20/M.PAN/11/2008,
PermenPAN
09/M.PAN/05/2007,
PermenPAN 29/M.PAN/2010, Permendagri
73 Tahun 2009, PermenPAN 13 tahun 2010,
Permendagri 54 tahun 2010, Peraturan
Bersama KDN, Bapenas, KemKeu th 2010 :
Penyelarasan RPJMD. Sebagai contoh
pengaturan teknis pengisian tabel Renstra,
Renja, maupun Pengukuran Kinerja dalam
KepLAN 239/2003 sederhana, PermenPAN
29/M.PAN/2010
sangat
sederhana
(menghilangkan benefit dan impact), dan
Permendagri 54 tahun 2010 sangat rinci.
Selanjutnya, dari review sisi implementasi
meliputi aktor penyelenggara dan aspekaspek SAKIP. Pembagian peran dalam
penyelenggaraan SAKIP berdasarkan Inpres 7
/ 1999 meliputi Kementerian PANRB sebagai
koordinator, Lembaga Administasi Negara
membuat
pedoman,
mengembangkan
sistem dan pembinaan sedangan BPKP
melaksanakan evaluasi SAKIP. Hasil temuan
lapangan menunjukan Kementerian PANRB
saat ini melaksanakan peran mulai dari
pengembangan sistem, pembinaan dan
evaluasi SAKIP. Pengembangan sistem
terlihat dengan pedoman teknis tentang
SAKIP, pembinaan dilakukan dengan berbagi
advokasi dan bimtek, sedang untuk evaluasi
juga sudah sangat jelas. Sehingga dengan
demikian, Inpres 7 / 1999 sudah tidak
dijalankan dalam penyelenggaraan SAKIP.
Dengan “sentralisasi” aktor penyelenggara
SAKIP saat ini yang terjadi pengembangan
sistem yang tidak komprehensip, pembinaan
SAKIP yang parsial (tidak menyeluruh dan
masif), evaluasi SAKIP yang dilakukan hanya
secara sampel. Hal ini disebabkan karena
keterbatasan sumber daya auditor.
Hal yang cukup menggembirakan dalam
implementasi SAKIP antara lain pertama
pengembangan e-Monev dan e-Planning
yang dilakukan Provinsi Jogjakarta, Provinsi
Jawa Timur, kedua pembentukan forum
SAKIP (Bappeda, Organisasi dan Inspektorat)
sebagai
upaya
menjembatani
/
mensinergiskan dokumen SAKIP
yang
dilaksanakan antara lain Provinsi Jambi,
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Banten,
Kota Surabaya. Ketiga Peraturan Pimpinan
Instansi tentang SAKIP seperti Provinsi
Sumatera Barat, mestipun masih berupa
kompilasi dari berbagai peraturan yang
terkait.
Review aspek SAKIP meliputi perencanaan,
pengukuran,
capaian,
pelaporan
dan
evaluasi. Aspek perencanaan yang meliputi
RPJMD, Renstra, Rencana Kinerja Tahunan,
Penetapan Kinerja masih belum selaras dan
sinergis serta sifat perencanaan yang
parsial/tahun. Aspek pengukuran dan
capaian dilihat dari Indikator Kinerja Utama
(IKU), sebagian sampel menyatakan belum
menetapkan IKU dan yang telah menetapkan
IKU belum memiliki kriteria Specific,
Measurable, Achieavble, Relevan, Time
Bound (SMART). Tingkat Capaian IKU sebagian
besar sample adalah pada tingkatan output
bahkan output kegiatan serta serapan
anggaran, dan sebagian kecil menyajikan
outcome seperti jogjakarta. Aspek pelaporan
menemukan sebagian sample masih merujuk
pada KepLAN 239/2003 seperti Kota
Surabaya.
Terakhir,
Aspek
Evaluasi
menunjukan bahwa hanya sebagian kecil saja
yang telah dilakukan evaluasi SAKIP (88 K/L,
33 Prov) sedangkan 450 kabupaten kota
masih belum terevaluasi dan setiap SKPD
pemerintah daerah rata-rata hanya 5 SKPD
Inti (Bappeda, Inspektrat, Pendidikan,
Kesehatan dan Sekretariat).
3. Mendasarkan pada temuan-temuan penting,
Desain Model SAKIP yang ditawarkan meliputi
aktor penyelenggara dan Subtansi SAKIP-nya.
Desain Model aktor penyelenggara SAKIP
terbagi dalam empat peran yakni pertama
Koordinator
penyelenggaraan
SAKIP
berfungsi
mengkoordinasikan
dalam
pelaskanaan
SAKIP
dilaksanakan
oleh
Menpan,
Kedua
Pembuat
dan
Pengembangan Sistem menyelenggarakan
pembuatan dan pengembangan berbagai
pedoman,
aplikasi
SAKIP
meliputi
perencanaan, pengukuran dan evaluasi oleh
LAN, BPKP, Bappenas, Ketiga Pembinaan dan
Internalisasi
SAKIP
menyelenggarakan
Sosialisasi, Bimbingan Teknis, Diklat, Asistensi
SAKIP (Pimpinan dan Teknis Fungsional) oleh
LAN,
Keempat
Evaluasi
melakukan
pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan SAKIP
oleh BPKP untuk Kementerian, Lembaga dan
Provinsi,
Inspektoran
Provinsi
untuk
Pemeirintah Daerah Kabupaten / Kota
dengan dikoorsinasikan oleh BPKP. Model
Desain Pembagian peran seperti pada
Gambar.
Penyelenggaraan SAKIP masih bersifat
formalitas adminsitratif yang berakibat
pada rendahnya kualitas (keselarasan dan
sinergitas)
dokumen
SAKIP
mulai
perencanaan sampai evaluasi.
Banyaknya regulasi yang mengatur
aspek-aspek
SAKIP
sehingga
menimbulkan
kebingungan
pada
pelaksanaanya. (terutama pemerintah
daerah)
Pembagian peran aktor penyelenggara
tidak lagi berdasarkan Inpres 7 / 1999
atau sentralisasi peran oleh Kementerian
PANRB.
Untuk itu, sebagai upaya mengoptimalkan
efektifitas
penyelenggaraan
SAKIP
direkomendasikan
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan dengan hasil temuan dan analisa
maka dapat disimpulkan bahwa :
menerbitkan sebuah payung hukum
(satu peraturan pemerintah) yang khusus
mengatur SAKIP secara komprehensip
antara lain pengaturan yang jelas peran
dari penyelenggara SAKIP, Pengaturan
Teknis
perencanaan,
pengukuran,
pelaporan dan evaluasi.
Sedangkan, sebagai upaya menselaraskan
dan mensinergiskan Subtansi SAKIP perlu
dibagun strukturisasi data-data baik secara
vertical maupun horisontal seperti pada
model Gambar di bawah ini
Membangun aplikasi SAKIP secara
komprehensip
sebagai
upaya
mempermudah
penyelarasan
dan
sinergitas subtansi dalam SAKIP.