Dokumen tersebut membahas pentingnya pelaksanaan CSR yang berkeadilan dan berkelanjutan untuk menyelesaikan konflik lahan antara Suku Anak Dalam dengan perusahaan sawit di Sumatera Selatan. Dokumen tersebut menyarankan praktisi CSR untuk melakukan pemetaan sosial masyarakat, menyusun strategi program berdasarkan partisipasi masyarakat, melaksanakan program, dan mengevaluasi dampak program untuk perbaikan berkelan
1. MERAJUT TALI KESEIMBANGAN MODERNITAS
MELALUI CSR YANG BERKEADILAN DAN BERKELANJUTAN
RISET : Suku Anak Dalam – Sumatera Selatan
SIDI RANA MENGGALA
Pentingnya bagi seorang pelaksana program pertanggung jawaban sosial (CSR) perusahaan adalah
sebagai deklarator tercipta harmoni antara masyarakat dan perusahaan dengan prinsip-prinsip 3P (People,
Planet & Profit). Kedala yang sering ditemui bagi seorang praktisi CSR adalah ketidak-pahaman dalam
menangani kepentingan masyarakat sehingga berbuntut terciptanya konflik kepentingan.
Dilihat daripada kasus Suku Anak Dalam (SAD) di wilayah Sum-Sel dimana mereka adalah penduduk
tradisional yang nomaden serta bermukim di lintang Taman Nasional Bukit 12,seluas 60.500 Ha.
Berdasarkan pendataan dari LSM Warsi tercatat sebanyak 11242 jiwa yang terdiri dari 59 kelompok yang
terbagi dalam 4 area besar berdomilisi di wilayah antara Jambi – Lampung.
Sejak tahun 2010, rutinitas keseharian SAD ini mulai berubah, yang semestinya berburu dan meramu
menjadi bercocok-tanam karena tuntutan kesediaan lahan yang menipis serta berkurangnya flora-fauna
sebagai pemenuhan kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Sengketa antar SAD dengan perusahaan-
perusahaan raksasa yang bergerak di bidang perkebunan sawit berdampak kepada pendudukan lahan
hingga permasalahan kepemilikan ulayat (adat). Notabenenya kesepakatan antar industri dan pemerintah
daerah terjadi untuk pembelian lahan berupa Hutan Tanam Industri / Hutan Produksi di daerah Kabupaten
Batanghari pada tahun 1996 sebelum dikeluarkan ketetapan oleh Kementerian Kehutanan di tahun 2000.
2. Konflik yang serta-merta terjadi dikarenakan adanya unsur kepentingan di lahan plasma menyebabkan
para SAD ini berboyong-boyong mengungsi ke Balai Adat Melayu dan adapun yang semakin masuk ke
dalam hutan konservasi dengan resiko kelaparan.
Penulis disini akan formulasikan beberapa konsep yang dapat dilaksanakan oleh praktisi CSR yang
hakikatnya menjadi landasan nilai kerja di ke-10 perusahaan raksasa Sawit di kawasan SAD ini. Berikut
ini langkah-langkahnya ;
1. Plan (Rencanakan)
1.1 Pemetaan Sosial
Alangkah pentingnya praktisi CSR mengetahui secara akurat data-data sosial terkait daerah operasional
perusahaan, hal ini bertujuan untuk melakukan identifikasi permasalahan dan pembuatan perencanaan
serta program kedepannya
Misalkan contoh dibawah ini ;
Harus diketahui secara detail :
- Jumlah penduduk
- Pemetaan desa sementara (nomaden)
- Pemimpin adat dan struktur
- Pola kehidupan dan pencaharian
- etc
3. Praktisi CSR disini dapat identifikasi langsung stake-holder mana yang memiliki tingkat represi paling
tinggi dengan perusahaan dan mana yang paling rendah. Disamping itu, komunitas mana yang harus
didahulukan terlebih dahulu daripada kepentingan ekososbud. Berdasarkan daripada pemahaman
Atkitson, bahwa seorang praktisi CSR harus dapat memahami kategori kelompok/komunitas/masyarakat
yakni ;
I. Transformer
II. Main streamers
III. Spiritual recluses
IV. iconoclasts
V. reactionaries
VI. etc (lihat konsep Atkitson terkait teori Amoeba)
Praktisi CSR disini adalah sebagai seorang “change agent” yang dapat memberikan inovasi-inovasi terkait
temuan di lapangan yang dapat di-formulasikan menjadi sebuah program yang berkesinambungan serta
berkelanjutan. Contoh dibawah adalah temuan penulis secara singkat program yang dapat dilakukan
untuk peningkatan sumber daya dan kapasitas SDA.
Pendidikan Ekonomi Kesehatan Sosial Fasos/Fasum
Mobil pintar Pertanian organik Posyandu keliling Balai rakyat Akses jalan
Perpustakaan
keliling
Kebun Herbal &
rempah-rempah
Air bersih
Kandang komunal Toilet Komunal
Aksi sosial ini dapat berupa wujud filantropik ataupun berkelanjutan, tentunya tanpa menggagu nilai-nilai
kearifan lokal setempat.
4. 1.2 Penyusunan strategi pelaksanaan
Perencanaan program tentunya tidak mudah, dikarenakan penerimaan satu komunitas dengan komunitas
lain akan sebuah program belum tentu sama. Sehingga perencanaan harus penuh dengan perhitungan dan
tentunya melibatkan SDA sejak awal. Metode ini dikenal dengan istilah Bottom UP process (dari bawah
ke atas) asalkan dapat menjembatani kepentingan perusahaan maka secara legalitas dapat dijalankan.
(Presentasi Penulis : CSR Objective and strategy)
2. Do (Lakukan)
Pada tahap kedua ini, seorang praktisi CSR sudah memahami kondisi lapangan serta kebutuhan-
kebutuhannya. Hal ini dengan catatan bahwa program yang dijalankan sudah teruji secara teoritis dan
dapat dijalankan dengan 90% keberhasilan. Tentunya hal ini tidak mudah dilaksanakan, oleh sebab itu
berdasarkan koridor daripada ISO 26000 maka akan lebih mudah tercapai bilamana praktisi dapat
memahami secara esensi teknik-teknik pelaksanaan program tanpa menganggu kepentingan siapapun.
Seroang praktisi disini harus memiliki modal pengalaman serta pengetahuan “hasil” akhir yang ingin
dicapai.
5. Tentunya tidak mudah untuk tahap awal proses, hal ini dengan penerimaan daripada SAD sendiri
terhadap program-program yang kita tawarkan. Tetapi bilamana telah dikonfirmasi sebelumnya bahwa si
praktisi disini hanyalah “mendukung keberlangsungan” daripada budaya serta kehidupan daripada SAD
maka tentu akan diterima dengan pertimbangan positif.
Contohnya disini, bilamana mereka hidup dari Rimba, tentunya tidak sesuai apabila seorang praktisi CSR
membangun bangunan sekolah dari beton. Tentunya harus sinergi dengan alam, seperti contohnya sekolah
alam. Bangunan ini masuk di wilayah plasma daripada ke-10 perusahaan yang saya sebutkan diatas.
Contoh kampanye positif :
Program edukasi CSR perusahaan X mengakomodir kemajuan minat baca-tulis SDA dengan
menghadirkan sekolah alam yang dinikmati untuk ratusan anak.
(Foto anak-anak SDA sedang belajar - http://programpeduli.org/)
3. Check (Diperiksa)
Tentunya tidak mudah untuk mengukur satu tahun program kerja, karena ada dua model, baik itu
filantropik dan berkelanjutan. Tetapi manfaat utama dari pemeriksaan ini adalah seberapa
besaran dibutuhkan untuk melakukan investasi di tahap selanjutnya dan perihal apa saja yang
harus dapat diperbaiki dari sistem tata cara dan pelaksanaannya.
Contoh dibawah:
Program Check
Q1 Q2 Q3 Q4
Pertanian
Organik
Sosialisasi awal Pendampingan
awal 10 orang
Turut aktif 50
orang
Turut aktif
100 orang
Berdasarkan daripada table diatas terlihat bahwa program pertanian organik di SDA memiliki
dampak yang baik untuk mendukung keberlangsungan daripada metode cocok tanam di wilayah
Sulawesi Selatan, disamping daripada kesesuaian unsur hara tanah dengan bibit-bibit yang
6. dijadikan sayuran. Sehingga terlihat ada proses kontinuetas / keberlanjutan daripada konsep yang
dijalankan
Seorang praktisi CSR di ke-10 perusahaan yang telah disebutkan diatas harus memiliki konsep
dan pemahaman kuat mengenai target stake-holdernya sehingga dapat di “peta” kan kedepan dari
sisi program aktivasi pertanggung jawaban sosial / CSR perusahaan
-||-