Menalar ulang jaminan kesehatan nasional (jkn) jkn berbau liberalisasi pelayanan kesehatan
1. 14/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/14/menalar-ulang-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-jkn-berbau-liberalisasi-pelayanan-kesehatan/ 1/5
Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN
Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan
March 14th, 2014 by kafi
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang
dikelola oleh BPJS Kesehatan telah berjalan satu
bulan. Itu bisa dikatakan usia yang sangat muda,
ibarat manusia baru bayi. Meski jika mengingat
bahwa BPJS Kesehatan adalah transformasi
dari PT Askes dengan melebur semua asuransi
kesehatan yang tergabung di Askes, Jamsostek,
ASABRI, dan Veteran, di tambah dengan
Jamkesnas serta Jamkesda, maka tidak bisa
dikatakan baru lahir. Namun, karena perbedaan
sistem maka bisa dikatakan bahwa pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan harus dimulai dari
baru. Meski dengan pengalaman pelaksanaan asuransi kesehatan dan Jamkesnas/Jamkesda
selama ini pelaksanaan JKN seharusnya tidak sama sekali seperti orang yang tidak punya
pengalaman sama sekali.
Perkembangan pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan ini kemajuannya bisa dilihat dari
sejauh mana perkembangan jumlah peserta dan jumlah faskes (fasilitas kesehatan) yang ikut
program. Data per 6 Februari 2014 telah terdaftar sebanyak 116 juta peserta dengan sekitar
18 ribu faskes. Data terakhir menunjukkan jumlah peserta mandiri adalah 162.201 orang per 15
Januari 2014, dan per 6 Februari 2014 telah meningkat menjadi 474.117 orang.
Sementara faskes yang bekerja sama dengan BPJS per 31 Januari 2014, sekitar 18.764.
Purnawarman Basundoro, Direktur Hukum Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga, dalam
konferensi pers yang diadakan di Media Center BPJS Kesehatan, Jl Letjen Suprapto
Cempaka Putih, Jakarta, Jumat (7/2/2014) merinci, jumlah faskes yang bekerja sama dengan
BPJS itu terdiri dari 17.014 faskes tingkat pertama yaitu puskesmas, dokter umum, klinik
pratama, dan faskes tingkat pertama milik TNI/Polri. Sementara sisanya yaitu 1.750 adalah
faskes tingkat kedua, di antaranya RS pemerintah, RS swasta, dan RS milik TNI/Polri.
(detikHealth, 7/2). Secara lebih rinci per 1 Februari Sebanyak 9.133 puskesmas, 3.715 dokter
umum, 620 praktek dokter gigi, 1.724 klinik swasta, 799 klinik TNI, 558 klinik Polri, dan 19 RS
Pratama telah bergabung.
Sementara jumlah kapitasi yang dibayarkan BPJS kepada faskes selama Januari mencapai
lebih dari Rp 629 miliar. Jumlah ini sudah sesuai dengan jumlah peserta yang sudah dipetakan
dan sesuai domisili faskes yang sebelumnya sudah peserta isi di formulir pendaftaran. Menurut
2. 14/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/14/menalar-ulang-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-jkn-berbau-liberalisasi-pelayanan-kesehatan/ 2/5
Purnawarman, kapitasi yang dibayarkan kepada faskes tingkat pertama, di antaranya
puskesmas, dokter praktek, dan klinik sudah termasuk pembayaran biaya pelayanan yang
dilakukan oleh jejaring faskes. Dengan begitu, masyarakat tidak akan dimintakan biaya untuk
bisa mendapatkan pelayanan di faskes tingkat pertama seperti dalam hal administrasi
pelayanan; pelayanan promotif dan preventif; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
tindakan medis non spesialistik; pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; dan
pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama.
Di sisi lain, satu bulan perjalanan BPJS Kesehatan ini juga telah memunculkan berbagai
masalah. Diantaranya, ada sejumlah faskes yang menarik diri dari kerjasama dengan BPJS,
padahal baru sebentar. Bahkan ada faskes, RS St. Antonius Pontianak, menarik diri setelah 4
hari kerjasama dengan BPJS. Sejumlah faskes yang menarik diri itu disebabkan berbagai
sebab dan alasan.
Masalah lainnya adalah tidak meratanya pemahaman tentang prosedur BPJS dan JKN pada
pegawai BPJS sendiri. Sehingga tak jarang dijumpai praktek yang berbeda. Pemahaman
tentang BPJS lebih minim lagi di berbagai faskes termasuk yang bekerjasama dengan BPJS.
Sehingga ada permintaan agar BPJS menempatkan pegawainya di puskesmas-puskesmas.
Masalah lain yang cukup santer adalah model pembayaran BPJS dalam JKN ini, baik pada
model kapitasi maupun model INA-CBGs. Rata-rata dikeluhkan bahwa tingkat pembayaran
per unit cost masih jauh dibawahreal cost yang dikeluarkan oleh faskes, terutama faskes
swasta. Akibatnya, di berbagai faskes harus menanggung “kerugian”. Menurut info dari
pegawai internal sebuah RS rujukan di Bandung, selama dua minggu ikut kerja sama dengan
program JKN, RS tersebut harus menanggung kerugian lebih dari 400 juta.
Sistem Pelayanan Kesehatan di Dunia
Sistem pelayanan kesehatan nasional yang dipraktekkan di dunia secara umum bisa
dikategorikan menjadi empat:
1. Beveridge-system: sistem yang didanai oleh negara dari pajak, contohnya Inggris dan
negara persemakmuran termasuk Australia; Denmark, Irlandia, Spanyol, Portugal, Finlandia,
Swedia, Norwegia, Italy. Malaysia termasuk mengadopsi sistem ini disertai penyesuaian.
2. Semashko-system: sistem terkontrol penuh oleh negara. Sistem ini awalnya dipakai di Uni
Soviet, lalu diadopsi oleh negara-negara komunis-sosialis seperti Polandia, Cuba dsb.
2. Bismarck-system: sistem jaminan kesehatan berbasis pada asuransi sosial. Sistem ini
pertama kali dikembangkan di Jerman. Dan Jerman butuh 100 tahun sejak 1883 sampai
sistem itu dianggap sempurna di Jerman. Sistem ini juga dipakai di Korsel dan Taiwan.
3. 14/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/14/menalar-ulang-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-jkn-berbau-liberalisasi-pelayanan-kesehatan/ 3/5
Indonesia juga mengadopsi model ini. Sebagian negara juga memberlakukan sistem ini
dengan sedikit perubahan dari sisi pembayaran, dimana semua rakyat membayar jumlah yang
sama tanpa memperhatikan tingkat penghasilan, artinya tidak ada pengkelasan, dan semua
orang mendapat pelayanan kesehatan yang sama. Ini seperti yang diadopsi di Swiss dan hal
mirip diterapkan di Belanda.
3. Market-oriented systems: sistem yang berorientasi pasar seperti yang digunakan di AS.
Meski di AS akhir-akhir ini juga mulai ditambal dengan mengadopsi pembiayaan oleh negara
melalui Obama care, yang sering disebut social health care. Yaitu premi untuk orang-orang
berpenghasilan rendah dibayar oleh negara. Tetapi sistem pelayanan tetap melalui fasilitas
kesehatan yang market oriented.
Keempat model itu menurut seorang ahli sosiologi Belanda, Abram de Swaan, merupakan
sistem untuk mengkompensasi resiko akibat dari kebangkitan kapitalisme industri. Ia
menyatakan, “sementara itu, welfare state (negara kesejahteraan) telah menjadi sistem raksasa
dari institusi kolektif berbasis hukum untuk mengkompensasi dampak eksternal resiko dan
defisit.”
Selanjutnya, sistem itu mengalami perubahan baik menjadi lebih kental atau menjadi kurang
kental sifatnya yang market oriented dan pendanaan layanan kesehatan oleh individu. Hal itu
didasari oleh dua alasan utama (Thadeus Pato, Health systems in Europe – changes and
resistance):Pertama, kurangnya dana pemerintah akibat krisis yang berkepanjangan. Masalah
itu diatasi dengan melakukan privatisasi dan mengurangi sistem layanan publik langsung oleh
negara termasuk mengurangi subsidi. Kedua, menurun drastisnya keuntungan dan terjadinya
krisis modal jangka panjang, akhirnya kapital berusaha menginvasi ruang publik, yang selama
ini tertutup. Diantaranya dengan mengubah layanan kesehatan dari public service menjadi
komoditas sederhana.
Liberalisasi Health Care
Secara global pelayanan kesehatan diarahkan untuk dilepaskan dari tanggung jawab negara
secara langsung. Pelayanan kesehatan diarahkan untuk diliberalisasai dan diprivatisasi.
Hal itu bermula dengan dimasukkannya pelayanan kesehatan sebagai salah satu layanan
dasar yang termaktub dalam kesepakatan perdaganganGeneral Agreements Trade and
Services (GATS), tahun 1994. Artinya, layanan kesehatan dipandang sebagai bagian dari
komoditas, dan dikeluarkan dari posisi sebagai public services.
Berikutnya, secara global dunia diarahkan untuk mengadopsi salah satu dari dua sistem
pelayanan kesehatan di atas, yaitu model beveridge system atau bismarck system. Upaya itu
dilakukan melalui tangan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pada WHA (World Health
4. 14/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/14/menalar-ulang-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-jkn-berbau-liberalisasi-pelayanan-kesehatan/ 4/5
Assembly) ke 58, tahun 2005, Negara-Negara anggota WHO sepakat mengadopsi konsep
UHC -Universal Health Coverage- (Anonim. World Health Assembly concludes: adopts key
resolutions affecting global public health. 25 Mei
2005. http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2005/pr_wha06/en/). Yang dianggap
sebagai model pembiayaan kesehatan terbaik yaitu pembiayaan model State funded
system (pembiayaan dari pajak)/beveridge system, seperti Inggris, dan Negara Anggota
persemakmuran; dan Social Health Insurance, dari premi asuransi sosial/model bismarck,
seperti Jerman, Taiwan, dan Korea Selatan (Riyarto,S. Tren Pembiayaan di Indonesia: Model
Bismarckian atau Beveridge? Hand out.). Mayoritas anggota WHO memiliki komitmen yang
kuat untuk mewujudkan UHC itu. Hal itu terus dipropagandakan dan didorong. Pada WHA ke-
65 di Jenewa, 21-26 Mei 2012, dalam press release yang tertanggal 26 Mei 2012, dinyatakan,
“Multiple Member States supported the concept of universal health coverage. ‘Universal
health coverage is the single most powerful concept that public health has to offer.” (Anonim.
65th World Health Assembly closes with new global health measures. Release 26 MAY2012.
GENEVA. http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2012).
Dalam konteks ini maka negara hanya diperankan sebagai regulator dan fasilitator.
Sementara pelayanan kesehatan diserahkan kepada swasta atau semi-swasta (kuasi
korporasi) dalam bentuk badan publik. Sementara pengorganisasian sistem jaminan
kesehatan dan pengelolaan dananya diserahkan kepada lembaga baru yang bersifat setengah
swasta (kuasi korporasi). Semua itu dibingkai dengan kerangka pikiran berkaitanglobal good
governance (tata kelola yang baik) dimana ide dasarnya adalah tata kelola yang baik akan
bisa dijalankan ketika pelayanan tidak dikelola dan ditangani langsung oleh lembaga negara
melainkan diserahkan kepada swasta atau badan lain selain negara. Hal itu diantaranya
diungkapkan oleh tulisan Asih dan Miroslaw, dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM
yang berperan aktif membidani kelahiran JKN, bahwa : “Ide dasar jaminan kesehatan
sosial (Indonesia, JKN – pen.) adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi
untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial” (Asih Eka Putri
dan Miroslow Manicki.Pembangunan Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana
Jaminan Kesehatan Sosial Dapat Membuat Perubahan?. German Technical Cooporation,
Social Health Insurance Project Indonesia). Jakarta. (Makalah). www.sjsn.menkokesra.go.id.)
Pendekatan yang diadopsi di Indonesia adalah bismarck system atau sistem asuransi sosial.
Dengan sistem ini, negara masih bisa mengklaim memberikan jaminan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, meski senyatanya tidak.
Sistem ini pada dasarnya adalah pelepasan tanggung jawab memberikan pelayanan
kesehatan dari pundak negara. Dan berikutnya mengalihkan tanggungjawab itu ke pundak
rakyat. Negara cukup membentuk badan atau lembaga yang mengelola saling menanggung
pelayanan kesehatan oleh sesama rakyat itu, disamping mengelola (menginvestasikan) dana
yang terkumpul dari masyarakat melalui instrumen investasi. Maka pada dasarnya, asuransi
5. 14/3/2014 Hizbut Tahrir Indonesia » Blog Archive » Menalar Ulang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): JKN Berbau Liberalisasi Pelayanan Kesehatan
http://m.hizbut-tahrir.or.id/2014/03/14/menalar-ulang-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-jkn-berbau-liberalisasi-pelayanan-kesehatan/ 5/5
sosial kesehatan ini adalah bentuk privatisasi semu pelayanan kesehatan. Disebut privatisasi
sebab inti privatisasi adalah pelepasan tanggung jawab dari negara dan mengalihkannya ke
lembaga atau pihak selain negara. Dan ini yang terjadi, sebab pelayanan kesehatan melalui
skema asuransi sosial itu tidak lagi dikelola oleh negara secara langsung, tetapi diserahkan
kepada badan penyelenggara yang bukan badan negara dan keuangannya juga dipisahkan
dari keuangan negara. Disebut semu, sebab badan yang diserahi tanggung jawab itu bukan
badan swasta murni atau bukan lembaga bisnis swasta, melainkan badan publik. Tetapi meski
berbentuk badan publik, namun DNA dan pola pikirnya mengadopsi DNA dan pola pikir
lembaga bisnis.
Dengan demikian nafas dari JKN ini adalah privatisasi pelayanan kesehatan. Ini tidak lain
adalah melengkapi liberalisasi sektor kesehatan yang sudah digalakkan sejak tahun 90-an
melalui lembaga-lembaga dunia. Ironinya, negeri ini justru dengan sukarela bahkan bangga
ikut dalam arus liberalisasi sektor kesehatan itu. Padahal dengan itu, rakyat lah yang jadi
korban dan tertimpa beban. Karena itu, JKN ini harus dinalar ulang. Bahkan lebih dari itu harus
diganti total. Seharusnya, pelayanan kesehatan itu adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban
negara. Dan itu mesti diberikan kepada seluruh rakyat tanpa memandang tingkat ekonomi dan
kemampuan bayar, juga tanpa pungutan dalam bentuk dan sebutan apapun. Pelayanan
kesehatan itu harus dijamin oleh negara, diberikan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali sesuai
dengan kebutuhan medisnya. Jika seperti itu barulah bisa dikatakan benar itu sebagai jaminan
kesehatan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[Yahya A]
Baca juga :
1. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Wujud Kezaliman Kapitalisasi Kesehatan
2. Jaminan Kesehatan Nasional: Antara Fakta dan Harapan
3. HIP Purbalingga Edisi 4: Rakyat Tolak Jaminan Kesehatan Nasional BPJS
4. Menyoal Jaminan Kesehatan Nasional, MHTI Sleman Berkunjung ke Dinas Kesehatan
Kab. Sleman
5. Tragedi dr. Ayu – Pasien Fransiska, Liberalisasi Pelayanan Kesehatan dan Khilafah