SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 6
Downloaden Sie, um offline zu lesen
33
MANIPULASI HORMON DAN SUHU UNTUK PRODUKSI JANTAN
HOMOGAMETIK (XX) DALAM RANGKA PENGEMBANGAN BUDIDAYA
MONOSEKS BETINA IKAN PATIN Pangasionodon hypopthalmus
Hormonal and Temperature Manipulation to Produce Male Homogametic (XX) in
Developing Female Monosex Culture of Thai Catfish
Pangasionodon hypopthalmus
H. Arfah dan O. Carman
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680
ABSTRACT
The female of Thai catfish Pangasionodon hypopthalmus had higher growth rate, about 25-30% than
male fish, especially on growth phase-2 when the fish get sexually mature. Monosex female fish culture
system can increase production efficiency in term of time and cost. Experiment was performed to get male
homogametic (XX) that will be used as functional male to produce female monosex (XX) population Result of
hormonal and temperature manipulation on larvae shown that the highest percentage of male (67.7%) was
obtained by 5 mg/liter 17-α-metiltestosteron treatment with temperature 33o
C. Good temperature for larva
rearing was 30o
C. The result of fertility test on male fish was fertile, but progeny test was not performed
homogametic (XX) character yet.
Keywords: hormonal manipulation, male homogametic XX, monosex, Pangasionodon hypopthalmus
ABSTRAK
Ikan patin Pangasionodon hypopthalmus betina memiliki laju pertumbuhan lebih cepat sekitar 25-
30% daripada yang jantan, terutama pada fase pertumbuhan II saat ikan mulai matang kelamin. Budidaya ikan
dengan sistem kultur monoseks ikan betina diduga akan meningkatkan efisiensi produksi dari segi waktu dan
biaya. Penelitian ini bertujuan mendapatkan jantan homogametik (XX) yang akan dimanfaatkan sebagai jantan
fungsional untuk menghasilkan populasi monoseks betina (XX). Hasil manipulasi hormon dan suhu terhadap
larva ikan patin menunjukkan bahwa presentase kelamin jantan tertinggi (67,7%) terjadi dengan dosis
perendaman dalam hormone 17-α metiltestosteron 5 mg/liter dengan suhu inkubasi 33o
C. Suhu yang baik
untuk pemeliharaan larva ialah 30o
C. Hasil uji fertilitas terhadap induk jantan bersifat fertile, namun uji
progeny belum dapat menunjukkan sifat homogametik (XX).
Kata kunci : manipulasi hormonal, jantan homogametik (XX), monoseks betina, ikan patin, Pangasionodon
hypopthalmus
PENDAHULUAN
Dewasa ini permintaan kebutuhan ikan
konsumsi cenderung meningkat. Ikan patin
digemari masyarakat pulau Kalimantan,
Sumatera dan Jawa. Kebutuhan untuk
konsumsi cenderung semakin meningkat
sebagai sumber protein hewani. Seiring
dengan meningkatnya biaya produksi seperti
pakan maka diperlukan solusi terhadap
keadaan seperti ini, yaitu dengan
mengefisiensikan factor-faktor produksi.
Salah satu cara yang bias dilakukan adalah
dengan pemanfaatan keunggulan dari sifat-
sifat biologis spesies ikan yang
dibudidayakan. Ikan patin betina memiliki
laju pertumbuhan yang relative cepat
daripada jantan (25-30%) terutama pada fase
“growing II”, yaitu fase awal matang
kelamin. Ikan patin umumnya dikonsumsi
pada ukuran besar (1,5-2 kg) karena
persentase dagingnya relatif lebih banyak dan
Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(1): 33–38 (2008) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai
http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
34
juga ada kecenderungan untuk pengolahan
pasca panen dalam bentuk fillet yang
memerlukan ikan yang berukuran cukup
besar. Pada ukuran tesebut di atas
berdasarkan pengamatan di lapangan, telah
tampak perbedaan laju pertumbuhan antara
jantan dan betina.
Budidaya ikan dengan sistem „monosex
culture” dengan hanya memproduksi ikan
berkelamin betina untuk tujuan konsumsi
tentunya akan mampu untuk meningkatkan
efisiensi produksi baik dari segi waktu dan
biaya. Disisi lain penelitian ini juga
diharapkan dapat diketahui efek temperatur
terhadap kelangsungan hidup, laju
pertumbuhan ikan dan rasio kelamin, karena
pada hatchery, umumnya untuk
meningkatkan derajat penetasan dan
kelangsungan hidup larva digunakan suhu
yang relatif tinggi (29-34o
C). Hal seperti ini
pada ikan ”channel catfish” ternyata juga
memberikan efek pada rasio keturunannya
(Patino et al., 1996).
Tujuan jangka panjang dari penelitian
ini adalah untuk mendapatkan jantan
homogametic (XX) dimana akan
dimanfaatkan sebagai jantan fungsional
untuk menghasilkan populasi monoseks
betina (XX) yang memiliki laju pertumbuhan
lebih cepat.
BAHAN DAN METODE
Penelitian Tahun I
Penelitian yang dilakukan pada tahun I
meliputi aspek pengembangan teknik
manipulasi hormonal dan temperatur untuk
merubah rasio kelamin pada ikan patin.
Pada penelitian ini hormon yang
digunakan adalah 17-α-metiltestoteron dalam
bentuk ”powder”. Metode yang digunakan
adalah dengan perendaman. Rancangan
percobaan dilakukan secara faktorial antara
dosis hormon dengan temperatur air
pemeliharaan. Perlakuan temperatur yang
dicoba adalah 28, 30, dan 33°C. pada
masing-masing temperatur uji coba
perlakuan hormon dilakukan pada dosis 0, 1,
3, dan 5 ppm.
Larva ikan dipelihara dalam akuarium
berukuran 100x40x40 cm³. Saat larva
berumur 3-14 hari larva diberi pakan nauplii
Artemia. Setelah itu burayak diberi makan
campuran antara cacing sutera dan Moina sp.
Setelah berukuran ¾ inchi burayak mulai
diberi makan pelet. Selama pemeliharaan
larva diberi makan secara ad libitum.
Evaluasi yang dilakukan adalah laju
pertumbuhan dan rasio kelamin. Pengamatan
mengenai rasio kelamin dilakukan saat larva
berumur 3 bulan. Sebagian larva dihistologi
gonadnya. Sebagian ikan dari perlakuan yang
menghasilkan rasio kelamin tertinggi
dipisahkan sebagai bahan untuk uji fertilitas
dan uji progeni.
Penelitian Tahun II
Penelitian tahun kedua meliputi
penelitian mengenai kualitas dan kuantitas
jantan hasil perlakuan hormon dan suhu.
Selain itu juga dilakukan uji progeni untuk
menentukan fertilitas dari jantan hasil
perlakuan tersebut.
Ikan yang berasal dari perlakuan yang
memiliki rasio kelamin jantan paling tinggi
yaitu dosis 5 mg/liter dan suhu 33°C dengan
Tabel 1 . Perlakuan uji
Dosis ( ppm ), Temperatur ( °C )
D0, T27 D1, T27 D3,T27 D5,T27
D0, T30 D1, T30 D3,T30 D5,T30
D0, T33 D1, T33 D3,T33 D5,T33
Keterangan :
D : Dosis (0, 1, 3, dan 5 ppm)
T : Temperatur (27, 30, dan 33°C)
35
rasio kelamin jantan 67,7%. Ikan hasil
perlakuan tersebut dipelihara dalam hapa 4 x
5 x 1 m³ yang dipasang pada kolam
berukuran 20 x 10 m². Hapa pemeliharaan
ikan hasil perlakuan yang digunakan
sebanyak 3 buah dengan jumlah ikan tiap
hapa sebanyak 50 ekor. Pakan yang
digunakan untuk pemeliharaan ikan hasil
perlakuan adalah pelet dengan frekuensi
pemberian pakan 5-7% bobot tubuh perhari.
Setelah ikan berukuran 700 gram
dilakukan seleksi pada ikan hasil perlakuan.
Jantan yang sudah mengeluarkan sperma
digunakan untuk uji progeni. Uji progeni
dilakukan dengan cara memijahkan induk
betina normal (XX) dengan metode kawin
suntik. Telur diperoleh dari ”induced
breeding” induk patin betina (XX) yang
dipelihara di Laboratorium Lapang Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor. Induk betina (XX) disuntik
dengan menggunakan ekstrak hipofisa ikan
mas dan dikombinasikan dengan HCG. Dosis
yang digunakan adalah 3 dosis donor ikan
mas ditambah HCG 800 IU/KG bobot tubuh
ikan mas. Penyuntikan dilakukan 2 kali yaitu
30% untuk suntik I dan 70% untuk suntik II
dengan selang waktu penyuntikan 8 jam.
Proses pengurutan telur dan sperma
dilakukan 8-10 jam setelah suntik kedua.
Sebanyak 2 sendok kecil telur untuk dibuahi
dengan satu ekor jantan hasil perlakuan
tersebut. Jantan yang telah digunakan diberi
tagging sampai didapat data rasio kelamin
keturunannya.
Penetasan telur dan pemeliharaan larva
dilakukan pada akuarium berukuran 100 x 40
x 40 cm³ dengan suhu penetasan dan
perawatan larva 29°C. Sat larva berumur 3-
14 hari larva diberi pakan berupa nauplii
Artemia. Setelah itu burayak diberi makan
campuran antara cacing sutera dan Artemia.
Setelah berukuran ¾ inchi burayak mulai
diberi pakan buatan halus. Selama
pemeliharaan larva diberi makan secara ad
libitum. Penggantian air dilakukan dua hari
sebanyak 50% dan penyimponan sisa kotoran
dilakukan setiap hari. Setelah larva
berukuran 1,5 inchi pemeliharan di
pindahkan kekolam.
Evaluasi yang dilakukan adalah uji
fertilitas, rasio jenis kelamin dan laju
pertumbuhan. Pengamatan dari uji fertilitas
dapat diperoleh pada awal perlakuan yaitu
saat telur menetas, sedangkan pengamatan
mengenai rasio kelamin dilakukan saat larva
berumur 6 bulan dianalisa jenis kelaminnya
dengan metode asetokarmin. Laju
pertumbuhan dapat diketahui dengan
melakukan sampling bobot tubuh dan
panjang total ikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari penelitian tahun pertama diperoleh
hasil bahwa pemijahan patin hanya dapat
dilakukan dengan bantuan rangsangan
homonal, baik secara single maupun
kombinasi. Pada Laboratorium pembenihan
FPIK, IPB dan petani pembenih ikan patin di
Bogor menggunakan sistem kombinasi antara
hipofisa ikan mas dan HCG. Untuk induk
berukuran 3-5 kg dihasilkan rata-rata 40.000-
80.000 ekor benih (ukuran 1-1,5 Inchi).
Dari penelitian tahun pertama efek
hormon 17-α-metiltestoteron dan suhu
terhadap rasio jenis kelamin ikan patin
diperoleh 67,7% jantan pada perlakuan dosis
5 mg/liter dengan suhu media pemeliharaan
33°C.
Pada tahun kedua dilakukan uji progeni
untuk menentukan fertilitas dari jantan hasil
perlakuan selain itu dilakukan kualitas dan
kuantitas jantan hasil perlakuan hormon dan
suhu.
Uji Progeni
Uji progeni dilakukan dengan
menggunakan jantan hasil perlakuan
sebanyak 29 ekor dengan 4 kali uji progeni
(4 ekor betina normal). Uji progeni dilakukan
dengan memijahkan induk betina dengan
beberapa perbandingan induk jantan. Data uji
progeni secara lengkap dapat dilihat pada
tabel 2.
Derajat penetasan, kelangsungan hidup,
dan ukuran larva
Dari lima jantan yang digunakan untuk
uji progeni dan telur menetas diperoleh data
derajat penetasan, kelangsungan hidup dan
36
ukuran larva sebagai mana dijelaskan pada
Tabel 3.
Pembahasan
Salah satu sifat biologi dari ikan patin
bisa dimanfaatkan dalam proses budidaya
adalah dimana ikan betina memiliki laju
pertumbuhan yang lebih cepat dari pada
jantan (25-30%) terutama pada fase
”growing II”, saat itu ikan mulai matang
kelamin. Sehubungan dengan ukuran
konsumsi ikan ini yang cukup besar (≥ 1,5
kg), maka kelebihan ini cukup berarti dalam
proses pembesaran. Pada waktu panen jaring
apung maupun di kolam air tenang sering
ditemukan rasio kelamin ikan jantan lebih
besar dari pada betina. Hal ini cukup
merugikan untuk efisiensi produksi, sebab
pada umumnya jantan memiliki ukuran yang
lebih kecil daripada betina pada umur yang
sama.
Studi mengenai seks diferensiasi pada
ikan menunjukan bahwa jenis kelamin belum
bersifat permanen pada fase perkembangan
awal saat embrio atau larva. Menurut
Takasima et al. (1995), fase awal pada proses
diferensiasi kelamin dapat diamati dengan
mendeteksi perkembangan Primordial Germ
Cell (PGC) yang merupakan sel bakal gonad.
Dari sel tersebut secara normal arahan dari
gen-gen penentu jenis kelamin akan dibentuk
gonad untuk individu yang mengandung
gonosom (XX) dan individu yang
mengandung gonosom (XY). Pada ikan
channel catfish fase diferensiasi terjadi pada
hari ke-22 setelah menetas dimana pada saat
itu PGC dapat dideteksi dengan metode
histologis (Patino et al., 1996).
Jenis kelamin pada ikan sangat
ditentukan oleh faktor genetis dan
lingkungan. Kromosom merupakan faktor
genetis yang menentukan jenis kelamin suatu
individu (Yatim, 1983). Selanjutnya
diterangkan juga bahwa kromosom yang
menentukan jenis kelamin disebut kromosom
seks atau gonosom.
Tabel 2. Uji ikan patin hasil seks reversal
Tanggal
∑ikan patin ♂
(ekor)
Jumlah telur ♀
(butir)
Hasil Keterangan
03-10-2000 5 1200 Gagal
Kualitas telur kurang
bagus
08-10-2000 10 1200 Gagal
Kualitas telur kurang
bagus
20-10-2000 9 1200 Berhasil
Larva sudah berukuran
±2cm
11-10-2000 5 1200 Berhasil
Larva sudah berukuran
±2cm
Tabel 3.Derajat penetasan, kelangsungan hidup dan ukuran larva
No. Jantan
Hasil Pemijahan Ukuran Larva Ikan Umur 21 Hari
HR (%) SR (%) Panjang (mm) Berat (gr)
♂ 1 83,0 16,06 22,21 0,07976
♂ 2 84,5 21,59 20,21 0,05756
♂ 3 74,25 22,22 18,34 0,04497
♂ 4 62,42 14,69 20,38 0,06588
♂ 5 67,67 17,73 21,48 0,07644
37
Jenis kelamin ditentukan oleh banyak
gen (poligenetik) yang tersebar sepanjang
gonosom (Yamamoto, 1969). Pada awal
perkembangan embrio, faktor genetis lebih
banyak berperan dalam menentukan arah
perkembangan organ primer yaitu testis atau
ovari. Selanjutnya sel-sel gonad yang telah
diarahkan tersebut akan menghasilkan
hormon-hormon kelamin dengan gamet
sesuai dengan kelamin yang ditentukan.
Hormon-hormon kelamin tersebut akan
mengatur kelanjutan dari proses diferensiasi
(Yatim, 1983). Semua vertebrata memiliki
sel-sel yang akan terdiferensiasi menjadi
testis atau ovari yaitu germ cell (PGC). Pada
kebanyakan hewan, sel ini akan
terdiferensiasi menjadi dua bagian yaitu
medulla sebagai bakal testes dan bagian
korteks luar sebagai bakal ovari. Menurut
Matty (1985), sel-sel bakal gonad tersebut
dapat dirangsang untuk membentuk testes
atau ovari yang definitif melalui manipulasi
hormonal. Sedangkan menurut Strussman
dan Patino (1995), sel-sel tersebut dapat
dirangsang juga dengan manipulasi
temperatur.
Secara fisiologis, jenis kelamin ikan
dapat diubah dengan hormon steroid.
Hormon tersebut pertama kali akan
merangsang fenomena reproduksi yaitu
merangsang diferensiasi gonad,
gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis,
pemijahan dan tingkah laku kawin
(Yamazaki, 1983). Proses ini hanya akan
berpengaruh terhadap fenotipik jenis kelamin
dan tidak pada genotipnya, dimana jenis
gonosomnya tetap. Perubahan jenis kelamin
secara buatan dimungkinkan karena pada
awal pertumbuhan gonad belum
terdiferensiasi manjadi testes atau ovari
dengan menggunakan hormon steroid sintesi
(Hunter dan Donaldson, 1983).
Dari penelitian tahun pertama efek
pemberian hormon 17-α-metiltestoteron pada
stadia larva dapat merangsang maskulinisasi
dilihat dari berkembangnya gonad ikan
berfenotipe jantan. Persentase ikan jantan
tertinggi yaitu 67,7% diperoleh pada
perendaman larva dalam 17-α-metiltestoteron
dengan dosis 5 mg/liter dengan suhu media
pemeliharaan 33°C. Tingginya persentase
jantan pada ikan patin yang diberi 17-α-
metiltestoteron dengan dosis 5 mg/liter
diduga karena semakin banyak dosis hormon
yang diberikan akan semakin besar pula
pengaruhnya terhadap perkembangan alat
kelaminnya. Hal ini sesuai dengan
Yamamoto (1969), Nagy et al.(1981) serta
Hunter 7 Donaldson (1983) yang menyatakan
bahwa keberhasilan mengubah kelamin
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu jenis dan
dosis hormon yang digunakan, lama
perlakuan, spesies ikan, umur ikan saat
perlakuan dan suhu air pada saat perlakuan.
Pemberian hormon pada proses
pengarahan kelamin dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu penyuntikan berkala,
melalui pakan dan perendaman (Hepher dan
Prugnin, 1981). Namun demikian cara yang
paling baik adalah melalui perendaman,
karena disamping waktu perlakuannya
singkat, hormon yang diperlukan relatif
sedikit (Arfah, 1997).
Kemampuan hormon-hormon seks
steroid pada proses pengarahan kelamin akan
menghasilkan kemampuan fertilitas yang
berbeda-beda. Pada beberapa penelitian,
secara histologis terlihat bahwa ikan-ikan
hasil perngarahan kelamin sebagian akan
mengalami perubahan secara sempurna baik
morfologi sekunder maupun penampakan
gonadnya. Namun demikian sebagian
lainnya, walaupun secara morfologi
mengalami perubahan, tetapi struktur
gonadnya adalah intersex. Salah satu target
utama penelitian dengan aplikasi manipulasi
seks adalah bagaimana mengupayakan
terjadinya perubahan kelamin secara
permanen melalui rekayasa ditingkat
hormonal tanpa mengubah struktur genetik
dari ikan-ikan tersebut (Stanfield, 1981).
Menurut Simone (1990), dosis 17-α-
metiltestoteron yang tinggi akan
menyebabkan terjadinya abnormalitas
(malformasi) pada sistem saluran sperma.
Bahkan dikatakan juga kadang dapat
menyebabkan terjadinya perubahan genetik.
Pada channel catfish diketahui bahwa efek
dari metiltestosteron dapat mengakibatkan
saluran yang terdapat pada tunica albuginea
(testes) tertutup mesolium dan tidak terlihat
adanya sel sperma.
Uji progeni jantan patin hasil perlakuan
sex reversal dengan betina normal (XX)
38
dilakukan pada bulan Oktober 2000 dengan
umur jantan 16 buan dengan bobot rata-rata
700 gram. Pada uji didapatkan hasil 3 kali
gagal karena kualitas telur dari induk betina
yang kurang bagus. Pada uji keempat
diperoleh hasil baik dengan telur berhasil
menetas.
Derajat penetasan pada saat uji progeni
dari pemijahaan keempat berkisar antara
62,42-84,5%. Hal ini membuktikan bahwa
ikan jantan hasil perlakuan sex reversal
mampu membuahi telur dan telur berhasil
menetas. Kemampuan membuahi ikan hasil
sex reversal ini sesuai penelitian yang
dilakukan oleh Yamamoto (1969) pada ikan
medaka, perlakuan pemberian
metiltestosteron secara oral menyebabkan
dua dari delapan ikan mampu menghasilkan
keturunan. Pada ikan salmon Oncorhynchus
kisutch perlakuan perendaman embrio
dengan menggunakan metiltestoteron
sebanyak 5-10 kali dengan dosis 1 mg/liter
dan 10 mg/liter menghasilkan keturunan
yang 92,3% steril. Namun pada ikan guppy,
perlakuan perendaman pada fase embrio
dengan satu kali perendaman selama 24 jam
dengan dosis 2 mg/liter dari 15 ekor yang uji
12 ekor mampu menghasilkan keturunan
yang normal, dari 12 ekor tersebut 6 ekor
teridentifikasi sebagai jantan homogenetik
(XX), dimana hasil keturunan setelah
dikawinkan dengan betina normal adalah
100% betina (Arfah, 1997).
Pengamatan rasio kelamin belum dapat
dilakukan karena sampai saat penelitian
berakhir larva ikan baru mencapai ±0,058
gram dan masih dibutuhkan waktu sekitar 6
bulan hingga rasio kelamin dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Arfah, H. 1997. Efektifitas hormon 17-α-
metiltestoteron dengan metode
perndaman induk terhadap nisbah
kelamin dan fertilitas keturunan pada
ikan guppy (Poecilia reticulata). Tesis
master. Fakultas pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. 43p
Hepher, B. & Y. Prugnin. 1981. Commersial
Fish Farming. With Special Reference
to Fish Culture in Israel. John Willey
and Sons. New York. 261p
Hunter, G.A. & E.M. Donaldson. 1983.
Hormonal sex control and its
application to fish culture, p:223-203.
In W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M.
Donaldson (Eds). Fish Physiology.Vol.
IXB. Academic Press. New York.
Matty, A.J. 1995. Fish endrocrinology.
Croom Helm. London and Sydney.
259p.
Nagy, A.M., M. Bercsenyl & V. Csan. 1981.
Investigation on carp Cyprinus carpio
by oral administration of
methyltestosteron. Canadian Journal of
Fisheries and Aquatic science, 38:725-
728.
Patino,R., K.B. Davis, J.E. Schoore, C. Uguz,
C.A. Strussman, N.C. Parker, B.A
Simco and C.A. Goudie. 1996. Sex
differentiation of channel catfish
Ictalurus punctatus. Aquaculture. 8:81-
93.
Stansfield, W.D. 1983. Schum‟s outline of
theory and problems of genetics. Me
Graw-Hill Book Company, New York .
281p.
Strussman, C.A, & R. Patino. 1995
Temperature manipulation of sex
differentation in fish. In: Proceeding of
Fifth International Symposium on The
Reproductive Physiology of Fish
(F.W.Goetz & P. Thomas, eds), Fish
symp, Austin, Texas.
Yamamoto, T. 1969. Sex differentiation,
p:117-158 In W.S.Hoar & D.J. Randal
(Eds). Fish Physiology. Vol. III.
Academic Press, New York.
Yamazaki, F. 1983. Sex control and
manipulation in fish. Aquaculture,
33:329-354.
Yatim, W. 1983. Genetika. Edisi 11. Penerbit
Tarsito, Bandung, 397 hal.

Weitere ähnliche Inhalte

Ähnlich wie MONOSEKS

MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...lisa ruliaty 631971
 
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...Repository Ipb
 
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...Repository Ipb
 
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...Repository Ipb
 
RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...
RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...
RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...Repository Ipb
 
Triploidisasi
TriploidisasiTriploidisasi
TriploidisasiIgna nada
 
SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...
SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...
SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...Repository Ipb
 
Pengaruh lama pencahayaan
Pengaruh lama pencahayaanPengaruh lama pencahayaan
Pengaruh lama pencahayaanuppmstppbogor
 
KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...
KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA  UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA  UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...
KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...Hilmansyah16
 
Pembenihan ikan kerapu macan
Pembenihan ikan kerapu macanPembenihan ikan kerapu macan
Pembenihan ikan kerapu macanMuharman Taher
 
Makalah teknologi penaganan dan pengolahan pakan
Makalah teknologi penaganan dan pengolahan pakanMakalah teknologi penaganan dan pengolahan pakan
Makalah teknologi penaganan dan pengolahan pakanPTPN VI
 
Review Jurnal Ikan Hias Guppy.pptx
Review Jurnal Ikan Hias Guppy.pptxReview Jurnal Ikan Hias Guppy.pptx
Review Jurnal Ikan Hias Guppy.pptxAnnisaMurdiani
 
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...Abi Haura
 
HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...
HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...
HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...Repository Ipb
 
188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih
188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih
188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benihratnanovianty_
 

Ähnlich wie MONOSEKS (20)

MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...MASKULINISASI  BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN  HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
MASKULINISASI BENIH RAJUNGAN DENGAN PERENDAMAN HORMON 17 α- METILTESTOSTERO...
 
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
EFEKTIVITAS MADU TERHADAP PENGARAHAN KELAMIN IKAN GAPI (Poecilia reticulata P...
 
PENGAMATAN PERGERAKAN SIRIP-SIRIP IKAN MAS (Cyprinus carpio)
PENGAMATAN PERGERAKAN SIRIP-SIRIP  IKAN MAS (Cyprinus carpio) PENGAMATAN PERGERAKAN SIRIP-SIRIP  IKAN MAS (Cyprinus carpio)
PENGAMATAN PERGERAKAN SIRIP-SIRIP IKAN MAS (Cyprinus carpio)
 
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
PENGARUH BIOAKUMULASI ENDOSULFAN TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS (Cyprinus carp...
 
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
PRODUKSI IKAN NEON TETRA Paracheirodon innesi UKURAN L PADA PADAT TEBAR 20, 4...
 
RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...
RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...
RESISTENSI TERHADAP STRES DAN RESPONS IMUNITAS IKAN GURAMI (Osphronemus goura...
 
Triploidisasi
TriploidisasiTriploidisasi
Triploidisasi
 
SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...
SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...
SEKS REVERSAL IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) MELALUI PERENDAMAN LARVA MENG...
 
Pengaruh lama pencahayaan
Pengaruh lama pencahayaanPengaruh lama pencahayaan
Pengaruh lama pencahayaan
 
KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...
KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA  UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA  UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...
KAJIAN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA UDANG VANAME DENGAN SISTEM PERGILIRAN PAKA...
 
Pembenihan ikan kerapu macan
Pembenihan ikan kerapu macanPembenihan ikan kerapu macan
Pembenihan ikan kerapu macan
 
Jurnal pemijahan
Jurnal pemijahanJurnal pemijahan
Jurnal pemijahan
 
Makalah teknologi penaganan dan pengolahan pakan
Makalah teknologi penaganan dan pengolahan pakanMakalah teknologi penaganan dan pengolahan pakan
Makalah teknologi penaganan dan pengolahan pakan
 
Review Jurnal Ikan Hias Guppy.pptx
Review Jurnal Ikan Hias Guppy.pptxReview Jurnal Ikan Hias Guppy.pptx
Review Jurnal Ikan Hias Guppy.pptx
 
Pounder Terifik
Pounder TerifikPounder Terifik
Pounder Terifik
 
Terafik Restorn
Terafik RestornTerafik Restorn
Terafik Restorn
 
Intern Terifik
Intern TerifikIntern Terifik
Intern Terifik
 
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
Kinerja pertumbuhan-juvenil-ikan-lele-dumbo-clarias-sp.-yang-diberi-pakan-den...
 
HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...
HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...
HUBUNGAN KOMUNITAS FITOPLANKTON DENGAN PRODUKTIVITAS UDANG VANAME (Litopenaeu...
 
188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih
188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih
188527 id-pertumbuhan-dan-kelangsungan-hidup-benih
 

Mehr von Repository Ipb

Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Repository Ipb
 
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Repository Ipb
 
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...Repository Ipb
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...Repository Ipb
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...Repository Ipb
 
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...Repository Ipb
 
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...Repository Ipb
 
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUMTHERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUMRepository Ipb
 
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIKSTUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIKRepository Ipb
 
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIATHERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIARepository Ipb
 
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...Repository Ipb
 
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...Repository Ipb
 
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...Repository Ipb
 
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIFBRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIFRepository Ipb
 
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...Repository Ipb
 
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...Repository Ipb
 
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...Repository Ipb
 
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...Repository Ipb
 
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...Repository Ipb
 

Mehr von Repository Ipb (20)

Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
 
Peta ipb
Peta ipbPeta ipb
Peta ipb
 
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
Proceedings icaia 2015_yandra_367-373
 
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
SUPERABSORBEN HASIL PENCANGKOKAN DAN PENAUTAN SILANG FRAKSI ONGGOK DENGAN AKR...
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
 
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
TEKNOLOGI SEPARASI BAHAN AKTIF TEMULA W AK MENGGUNAKAN BIOPOLIMER TERMODIFIKA...
 
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
PEMBUATAN ARANG DARI SAMPAH ORGANIK DENGAN CARA KARBONISASI MENGGUNAKAN REAKT...
 
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
IDENTIFIKASI SENYAWABIOAKTIFANTIFEEDANT DARIASAPCAIRHASILPIROLISISSAMPAHORGAN...
 
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUMTHERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
THERMAL EFFECT ON APATITE CRYSTAL SYNTHESIZED FROM EGGSHELL’S CALCIUM
 
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIKSTUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
STUDI PRODUKSI PEKTIN ASETAT SEBAGAI BAHAN BAKU LEMBARAN BIOPLASTIK
 
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIATHERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
THERMOGAVIMETRIC-DIFFERENTIAL ANALYSIS PADA MINERAL TULANG MANUSIA
 
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
SINTESIS POLIOL SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBENTUK POLIURETAN BERBASIS MINY AK JAR...
 
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
EKSTRAK SAPOGENIN AKAR KUNING SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR PADA MENCIT YANG DIINDU...
 
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
PENGARUH EKSTRAK BANGLE (Zingiber cassumunar Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ...
 
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIFBRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
BRlKET AMPAS SAGU SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF
 
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
STUDI IN VIVO KHASIAT ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA SURUHAN (PEPEROMIA PELLUCID...
 
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
POTENSI MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum SEBAGAI INSEKTISIDA NAB A T...
 
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI GOLONGAN FLAVONOID DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus...
 
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
Metode Spektrofotometri UV-Vis Untuk Penentuan Barium dalam Tanah Liat dengan...
 
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PROFilE OF TEMPUYUNG Sonchus arvensis ...
 

Kürzlich hochgeladen

IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxErikaPuspita10
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaNadia Putri Ayu
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasAZakariaAmien1
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxrofikpriyanto2
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSyudi_alfian
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaSABDA
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptxwongcp2
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdfMMeizaFachri
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfmaulanayazid
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxHeruFebrianto3
 

Kürzlich hochgeladen (20)

IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptxIPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
IPA Kelas 9 BAB 10 - www.ilmuguru.org.pptx
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
 
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnasPembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
Pembahasan Soal UKOM gerontik persiapan ukomnas
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptxMATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPSKisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
Kisi-kisi UTS Kelas 9 Tahun Ajaran 2023/2024 Semester 2 IPS
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 TesalonikaMateri Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptxTeknik Menjawab Kertas P.Moral SPM  2024.pptx
Teknik Menjawab Kertas P.Moral SPM 2024.pptx
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdfPEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques  Rousseau.pdf
PEMIKIRAN POLITIK Jean Jacques Rousseau.pdf
 
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdfKelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
Kelompok 1 Bimbingan Konseling Islami (Asas-Asas).pdf
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
 

MONOSEKS

  • 1. 33 MANIPULASI HORMON DAN SUHU UNTUK PRODUKSI JANTAN HOMOGAMETIK (XX) DALAM RANGKA PENGEMBANGAN BUDIDAYA MONOSEKS BETINA IKAN PATIN Pangasionodon hypopthalmus Hormonal and Temperature Manipulation to Produce Male Homogametic (XX) in Developing Female Monosex Culture of Thai Catfish Pangasionodon hypopthalmus H. Arfah dan O. Carman Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 ABSTRACT The female of Thai catfish Pangasionodon hypopthalmus had higher growth rate, about 25-30% than male fish, especially on growth phase-2 when the fish get sexually mature. Monosex female fish culture system can increase production efficiency in term of time and cost. Experiment was performed to get male homogametic (XX) that will be used as functional male to produce female monosex (XX) population Result of hormonal and temperature manipulation on larvae shown that the highest percentage of male (67.7%) was obtained by 5 mg/liter 17-α-metiltestosteron treatment with temperature 33o C. Good temperature for larva rearing was 30o C. The result of fertility test on male fish was fertile, but progeny test was not performed homogametic (XX) character yet. Keywords: hormonal manipulation, male homogametic XX, monosex, Pangasionodon hypopthalmus ABSTRAK Ikan patin Pangasionodon hypopthalmus betina memiliki laju pertumbuhan lebih cepat sekitar 25- 30% daripada yang jantan, terutama pada fase pertumbuhan II saat ikan mulai matang kelamin. Budidaya ikan dengan sistem kultur monoseks ikan betina diduga akan meningkatkan efisiensi produksi dari segi waktu dan biaya. Penelitian ini bertujuan mendapatkan jantan homogametik (XX) yang akan dimanfaatkan sebagai jantan fungsional untuk menghasilkan populasi monoseks betina (XX). Hasil manipulasi hormon dan suhu terhadap larva ikan patin menunjukkan bahwa presentase kelamin jantan tertinggi (67,7%) terjadi dengan dosis perendaman dalam hormone 17-α metiltestosteron 5 mg/liter dengan suhu inkubasi 33o C. Suhu yang baik untuk pemeliharaan larva ialah 30o C. Hasil uji fertilitas terhadap induk jantan bersifat fertile, namun uji progeny belum dapat menunjukkan sifat homogametik (XX). Kata kunci : manipulasi hormonal, jantan homogametik (XX), monoseks betina, ikan patin, Pangasionodon hypopthalmus PENDAHULUAN Dewasa ini permintaan kebutuhan ikan konsumsi cenderung meningkat. Ikan patin digemari masyarakat pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa. Kebutuhan untuk konsumsi cenderung semakin meningkat sebagai sumber protein hewani. Seiring dengan meningkatnya biaya produksi seperti pakan maka diperlukan solusi terhadap keadaan seperti ini, yaitu dengan mengefisiensikan factor-faktor produksi. Salah satu cara yang bias dilakukan adalah dengan pemanfaatan keunggulan dari sifat- sifat biologis spesies ikan yang dibudidayakan. Ikan patin betina memiliki laju pertumbuhan yang relative cepat daripada jantan (25-30%) terutama pada fase “growing II”, yaitu fase awal matang kelamin. Ikan patin umumnya dikonsumsi pada ukuran besar (1,5-2 kg) karena persentase dagingnya relatif lebih banyak dan Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(1): 33–38 (2008) Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
  • 2. 34 juga ada kecenderungan untuk pengolahan pasca panen dalam bentuk fillet yang memerlukan ikan yang berukuran cukup besar. Pada ukuran tesebut di atas berdasarkan pengamatan di lapangan, telah tampak perbedaan laju pertumbuhan antara jantan dan betina. Budidaya ikan dengan sistem „monosex culture” dengan hanya memproduksi ikan berkelamin betina untuk tujuan konsumsi tentunya akan mampu untuk meningkatkan efisiensi produksi baik dari segi waktu dan biaya. Disisi lain penelitian ini juga diharapkan dapat diketahui efek temperatur terhadap kelangsungan hidup, laju pertumbuhan ikan dan rasio kelamin, karena pada hatchery, umumnya untuk meningkatkan derajat penetasan dan kelangsungan hidup larva digunakan suhu yang relatif tinggi (29-34o C). Hal seperti ini pada ikan ”channel catfish” ternyata juga memberikan efek pada rasio keturunannya (Patino et al., 1996). Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jantan homogametic (XX) dimana akan dimanfaatkan sebagai jantan fungsional untuk menghasilkan populasi monoseks betina (XX) yang memiliki laju pertumbuhan lebih cepat. BAHAN DAN METODE Penelitian Tahun I Penelitian yang dilakukan pada tahun I meliputi aspek pengembangan teknik manipulasi hormonal dan temperatur untuk merubah rasio kelamin pada ikan patin. Pada penelitian ini hormon yang digunakan adalah 17-α-metiltestoteron dalam bentuk ”powder”. Metode yang digunakan adalah dengan perendaman. Rancangan percobaan dilakukan secara faktorial antara dosis hormon dengan temperatur air pemeliharaan. Perlakuan temperatur yang dicoba adalah 28, 30, dan 33°C. pada masing-masing temperatur uji coba perlakuan hormon dilakukan pada dosis 0, 1, 3, dan 5 ppm. Larva ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 100x40x40 cm³. Saat larva berumur 3-14 hari larva diberi pakan nauplii Artemia. Setelah itu burayak diberi makan campuran antara cacing sutera dan Moina sp. Setelah berukuran ¾ inchi burayak mulai diberi makan pelet. Selama pemeliharaan larva diberi makan secara ad libitum. Evaluasi yang dilakukan adalah laju pertumbuhan dan rasio kelamin. Pengamatan mengenai rasio kelamin dilakukan saat larva berumur 3 bulan. Sebagian larva dihistologi gonadnya. Sebagian ikan dari perlakuan yang menghasilkan rasio kelamin tertinggi dipisahkan sebagai bahan untuk uji fertilitas dan uji progeni. Penelitian Tahun II Penelitian tahun kedua meliputi penelitian mengenai kualitas dan kuantitas jantan hasil perlakuan hormon dan suhu. Selain itu juga dilakukan uji progeni untuk menentukan fertilitas dari jantan hasil perlakuan tersebut. Ikan yang berasal dari perlakuan yang memiliki rasio kelamin jantan paling tinggi yaitu dosis 5 mg/liter dan suhu 33°C dengan Tabel 1 . Perlakuan uji Dosis ( ppm ), Temperatur ( °C ) D0, T27 D1, T27 D3,T27 D5,T27 D0, T30 D1, T30 D3,T30 D5,T30 D0, T33 D1, T33 D3,T33 D5,T33 Keterangan : D : Dosis (0, 1, 3, dan 5 ppm) T : Temperatur (27, 30, dan 33°C)
  • 3. 35 rasio kelamin jantan 67,7%. Ikan hasil perlakuan tersebut dipelihara dalam hapa 4 x 5 x 1 m³ yang dipasang pada kolam berukuran 20 x 10 m². Hapa pemeliharaan ikan hasil perlakuan yang digunakan sebanyak 3 buah dengan jumlah ikan tiap hapa sebanyak 50 ekor. Pakan yang digunakan untuk pemeliharaan ikan hasil perlakuan adalah pelet dengan frekuensi pemberian pakan 5-7% bobot tubuh perhari. Setelah ikan berukuran 700 gram dilakukan seleksi pada ikan hasil perlakuan. Jantan yang sudah mengeluarkan sperma digunakan untuk uji progeni. Uji progeni dilakukan dengan cara memijahkan induk betina normal (XX) dengan metode kawin suntik. Telur diperoleh dari ”induced breeding” induk patin betina (XX) yang dipelihara di Laboratorium Lapang Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Induk betina (XX) disuntik dengan menggunakan ekstrak hipofisa ikan mas dan dikombinasikan dengan HCG. Dosis yang digunakan adalah 3 dosis donor ikan mas ditambah HCG 800 IU/KG bobot tubuh ikan mas. Penyuntikan dilakukan 2 kali yaitu 30% untuk suntik I dan 70% untuk suntik II dengan selang waktu penyuntikan 8 jam. Proses pengurutan telur dan sperma dilakukan 8-10 jam setelah suntik kedua. Sebanyak 2 sendok kecil telur untuk dibuahi dengan satu ekor jantan hasil perlakuan tersebut. Jantan yang telah digunakan diberi tagging sampai didapat data rasio kelamin keturunannya. Penetasan telur dan pemeliharaan larva dilakukan pada akuarium berukuran 100 x 40 x 40 cm³ dengan suhu penetasan dan perawatan larva 29°C. Sat larva berumur 3- 14 hari larva diberi pakan berupa nauplii Artemia. Setelah itu burayak diberi makan campuran antara cacing sutera dan Artemia. Setelah berukuran ¾ inchi burayak mulai diberi pakan buatan halus. Selama pemeliharaan larva diberi makan secara ad libitum. Penggantian air dilakukan dua hari sebanyak 50% dan penyimponan sisa kotoran dilakukan setiap hari. Setelah larva berukuran 1,5 inchi pemeliharan di pindahkan kekolam. Evaluasi yang dilakukan adalah uji fertilitas, rasio jenis kelamin dan laju pertumbuhan. Pengamatan dari uji fertilitas dapat diperoleh pada awal perlakuan yaitu saat telur menetas, sedangkan pengamatan mengenai rasio kelamin dilakukan saat larva berumur 6 bulan dianalisa jenis kelaminnya dengan metode asetokarmin. Laju pertumbuhan dapat diketahui dengan melakukan sampling bobot tubuh dan panjang total ikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari penelitian tahun pertama diperoleh hasil bahwa pemijahan patin hanya dapat dilakukan dengan bantuan rangsangan homonal, baik secara single maupun kombinasi. Pada Laboratorium pembenihan FPIK, IPB dan petani pembenih ikan patin di Bogor menggunakan sistem kombinasi antara hipofisa ikan mas dan HCG. Untuk induk berukuran 3-5 kg dihasilkan rata-rata 40.000- 80.000 ekor benih (ukuran 1-1,5 Inchi). Dari penelitian tahun pertama efek hormon 17-α-metiltestoteron dan suhu terhadap rasio jenis kelamin ikan patin diperoleh 67,7% jantan pada perlakuan dosis 5 mg/liter dengan suhu media pemeliharaan 33°C. Pada tahun kedua dilakukan uji progeni untuk menentukan fertilitas dari jantan hasil perlakuan selain itu dilakukan kualitas dan kuantitas jantan hasil perlakuan hormon dan suhu. Uji Progeni Uji progeni dilakukan dengan menggunakan jantan hasil perlakuan sebanyak 29 ekor dengan 4 kali uji progeni (4 ekor betina normal). Uji progeni dilakukan dengan memijahkan induk betina dengan beberapa perbandingan induk jantan. Data uji progeni secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2. Derajat penetasan, kelangsungan hidup, dan ukuran larva Dari lima jantan yang digunakan untuk uji progeni dan telur menetas diperoleh data derajat penetasan, kelangsungan hidup dan
  • 4. 36 ukuran larva sebagai mana dijelaskan pada Tabel 3. Pembahasan Salah satu sifat biologi dari ikan patin bisa dimanfaatkan dalam proses budidaya adalah dimana ikan betina memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dari pada jantan (25-30%) terutama pada fase ”growing II”, saat itu ikan mulai matang kelamin. Sehubungan dengan ukuran konsumsi ikan ini yang cukup besar (≥ 1,5 kg), maka kelebihan ini cukup berarti dalam proses pembesaran. Pada waktu panen jaring apung maupun di kolam air tenang sering ditemukan rasio kelamin ikan jantan lebih besar dari pada betina. Hal ini cukup merugikan untuk efisiensi produksi, sebab pada umumnya jantan memiliki ukuran yang lebih kecil daripada betina pada umur yang sama. Studi mengenai seks diferensiasi pada ikan menunjukan bahwa jenis kelamin belum bersifat permanen pada fase perkembangan awal saat embrio atau larva. Menurut Takasima et al. (1995), fase awal pada proses diferensiasi kelamin dapat diamati dengan mendeteksi perkembangan Primordial Germ Cell (PGC) yang merupakan sel bakal gonad. Dari sel tersebut secara normal arahan dari gen-gen penentu jenis kelamin akan dibentuk gonad untuk individu yang mengandung gonosom (XX) dan individu yang mengandung gonosom (XY). Pada ikan channel catfish fase diferensiasi terjadi pada hari ke-22 setelah menetas dimana pada saat itu PGC dapat dideteksi dengan metode histologis (Patino et al., 1996). Jenis kelamin pada ikan sangat ditentukan oleh faktor genetis dan lingkungan. Kromosom merupakan faktor genetis yang menentukan jenis kelamin suatu individu (Yatim, 1983). Selanjutnya diterangkan juga bahwa kromosom yang menentukan jenis kelamin disebut kromosom seks atau gonosom. Tabel 2. Uji ikan patin hasil seks reversal Tanggal ∑ikan patin ♂ (ekor) Jumlah telur ♀ (butir) Hasil Keterangan 03-10-2000 5 1200 Gagal Kualitas telur kurang bagus 08-10-2000 10 1200 Gagal Kualitas telur kurang bagus 20-10-2000 9 1200 Berhasil Larva sudah berukuran ±2cm 11-10-2000 5 1200 Berhasil Larva sudah berukuran ±2cm Tabel 3.Derajat penetasan, kelangsungan hidup dan ukuran larva No. Jantan Hasil Pemijahan Ukuran Larva Ikan Umur 21 Hari HR (%) SR (%) Panjang (mm) Berat (gr) ♂ 1 83,0 16,06 22,21 0,07976 ♂ 2 84,5 21,59 20,21 0,05756 ♂ 3 74,25 22,22 18,34 0,04497 ♂ 4 62,42 14,69 20,38 0,06588 ♂ 5 67,67 17,73 21,48 0,07644
  • 5. 37 Jenis kelamin ditentukan oleh banyak gen (poligenetik) yang tersebar sepanjang gonosom (Yamamoto, 1969). Pada awal perkembangan embrio, faktor genetis lebih banyak berperan dalam menentukan arah perkembangan organ primer yaitu testis atau ovari. Selanjutnya sel-sel gonad yang telah diarahkan tersebut akan menghasilkan hormon-hormon kelamin dengan gamet sesuai dengan kelamin yang ditentukan. Hormon-hormon kelamin tersebut akan mengatur kelanjutan dari proses diferensiasi (Yatim, 1983). Semua vertebrata memiliki sel-sel yang akan terdiferensiasi menjadi testis atau ovari yaitu germ cell (PGC). Pada kebanyakan hewan, sel ini akan terdiferensiasi menjadi dua bagian yaitu medulla sebagai bakal testes dan bagian korteks luar sebagai bakal ovari. Menurut Matty (1985), sel-sel bakal gonad tersebut dapat dirangsang untuk membentuk testes atau ovari yang definitif melalui manipulasi hormonal. Sedangkan menurut Strussman dan Patino (1995), sel-sel tersebut dapat dirangsang juga dengan manipulasi temperatur. Secara fisiologis, jenis kelamin ikan dapat diubah dengan hormon steroid. Hormon tersebut pertama kali akan merangsang fenomena reproduksi yaitu merangsang diferensiasi gonad, gametogenesis, ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan tingkah laku kawin (Yamazaki, 1983). Proses ini hanya akan berpengaruh terhadap fenotipik jenis kelamin dan tidak pada genotipnya, dimana jenis gonosomnya tetap. Perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada awal pertumbuhan gonad belum terdiferensiasi manjadi testes atau ovari dengan menggunakan hormon steroid sintesi (Hunter dan Donaldson, 1983). Dari penelitian tahun pertama efek pemberian hormon 17-α-metiltestoteron pada stadia larva dapat merangsang maskulinisasi dilihat dari berkembangnya gonad ikan berfenotipe jantan. Persentase ikan jantan tertinggi yaitu 67,7% diperoleh pada perendaman larva dalam 17-α-metiltestoteron dengan dosis 5 mg/liter dengan suhu media pemeliharaan 33°C. Tingginya persentase jantan pada ikan patin yang diberi 17-α- metiltestoteron dengan dosis 5 mg/liter diduga karena semakin banyak dosis hormon yang diberikan akan semakin besar pula pengaruhnya terhadap perkembangan alat kelaminnya. Hal ini sesuai dengan Yamamoto (1969), Nagy et al.(1981) serta Hunter 7 Donaldson (1983) yang menyatakan bahwa keberhasilan mengubah kelamin dipengaruhi beberapa faktor, yaitu jenis dan dosis hormon yang digunakan, lama perlakuan, spesies ikan, umur ikan saat perlakuan dan suhu air pada saat perlakuan. Pemberian hormon pada proses pengarahan kelamin dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu penyuntikan berkala, melalui pakan dan perendaman (Hepher dan Prugnin, 1981). Namun demikian cara yang paling baik adalah melalui perendaman, karena disamping waktu perlakuannya singkat, hormon yang diperlukan relatif sedikit (Arfah, 1997). Kemampuan hormon-hormon seks steroid pada proses pengarahan kelamin akan menghasilkan kemampuan fertilitas yang berbeda-beda. Pada beberapa penelitian, secara histologis terlihat bahwa ikan-ikan hasil perngarahan kelamin sebagian akan mengalami perubahan secara sempurna baik morfologi sekunder maupun penampakan gonadnya. Namun demikian sebagian lainnya, walaupun secara morfologi mengalami perubahan, tetapi struktur gonadnya adalah intersex. Salah satu target utama penelitian dengan aplikasi manipulasi seks adalah bagaimana mengupayakan terjadinya perubahan kelamin secara permanen melalui rekayasa ditingkat hormonal tanpa mengubah struktur genetik dari ikan-ikan tersebut (Stanfield, 1981). Menurut Simone (1990), dosis 17-α- metiltestoteron yang tinggi akan menyebabkan terjadinya abnormalitas (malformasi) pada sistem saluran sperma. Bahkan dikatakan juga kadang dapat menyebabkan terjadinya perubahan genetik. Pada channel catfish diketahui bahwa efek dari metiltestosteron dapat mengakibatkan saluran yang terdapat pada tunica albuginea (testes) tertutup mesolium dan tidak terlihat adanya sel sperma. Uji progeni jantan patin hasil perlakuan sex reversal dengan betina normal (XX)
  • 6. 38 dilakukan pada bulan Oktober 2000 dengan umur jantan 16 buan dengan bobot rata-rata 700 gram. Pada uji didapatkan hasil 3 kali gagal karena kualitas telur dari induk betina yang kurang bagus. Pada uji keempat diperoleh hasil baik dengan telur berhasil menetas. Derajat penetasan pada saat uji progeni dari pemijahaan keempat berkisar antara 62,42-84,5%. Hal ini membuktikan bahwa ikan jantan hasil perlakuan sex reversal mampu membuahi telur dan telur berhasil menetas. Kemampuan membuahi ikan hasil sex reversal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Yamamoto (1969) pada ikan medaka, perlakuan pemberian metiltestosteron secara oral menyebabkan dua dari delapan ikan mampu menghasilkan keturunan. Pada ikan salmon Oncorhynchus kisutch perlakuan perendaman embrio dengan menggunakan metiltestoteron sebanyak 5-10 kali dengan dosis 1 mg/liter dan 10 mg/liter menghasilkan keturunan yang 92,3% steril. Namun pada ikan guppy, perlakuan perendaman pada fase embrio dengan satu kali perendaman selama 24 jam dengan dosis 2 mg/liter dari 15 ekor yang uji 12 ekor mampu menghasilkan keturunan yang normal, dari 12 ekor tersebut 6 ekor teridentifikasi sebagai jantan homogenetik (XX), dimana hasil keturunan setelah dikawinkan dengan betina normal adalah 100% betina (Arfah, 1997). Pengamatan rasio kelamin belum dapat dilakukan karena sampai saat penelitian berakhir larva ikan baru mencapai ±0,058 gram dan masih dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan hingga rasio kelamin dapat diperoleh. DAFTAR PUSTAKA Arfah, H. 1997. Efektifitas hormon 17-α- metiltestoteron dengan metode perndaman induk terhadap nisbah kelamin dan fertilitas keturunan pada ikan guppy (Poecilia reticulata). Tesis master. Fakultas pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 43p Hepher, B. & Y. Prugnin. 1981. Commersial Fish Farming. With Special Reference to Fish Culture in Israel. John Willey and Sons. New York. 261p Hunter, G.A. & E.M. Donaldson. 1983. Hormonal sex control and its application to fish culture, p:223-203. In W.S. Hoar, D.J. Randall and E.M. Donaldson (Eds). Fish Physiology.Vol. IXB. Academic Press. New York. Matty, A.J. 1995. Fish endrocrinology. Croom Helm. London and Sydney. 259p. Nagy, A.M., M. Bercsenyl & V. Csan. 1981. Investigation on carp Cyprinus carpio by oral administration of methyltestosteron. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic science, 38:725- 728. Patino,R., K.B. Davis, J.E. Schoore, C. Uguz, C.A. Strussman, N.C. Parker, B.A Simco and C.A. Goudie. 1996. Sex differentiation of channel catfish Ictalurus punctatus. Aquaculture. 8:81- 93. Stansfield, W.D. 1983. Schum‟s outline of theory and problems of genetics. Me Graw-Hill Book Company, New York . 281p. Strussman, C.A, & R. Patino. 1995 Temperature manipulation of sex differentation in fish. In: Proceeding of Fifth International Symposium on The Reproductive Physiology of Fish (F.W.Goetz & P. Thomas, eds), Fish symp, Austin, Texas. Yamamoto, T. 1969. Sex differentiation, p:117-158 In W.S.Hoar & D.J. Randal (Eds). Fish Physiology. Vol. III. Academic Press, New York. Yamazaki, F. 1983. Sex control and manipulation in fish. Aquaculture, 33:329-354. Yatim, W. 1983. Genetika. Edisi 11. Penerbit Tarsito, Bandung, 397 hal.