2. B
E
C
D
F
A
Pertanggungjawaban Pidana
Konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral. Dalam
bahasa Latin dikenal dengan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan
pada suatu perbuatan yang tidak mengakibatkan seseorang bersalah
kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris dirumuskan
dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally
blameworthy. Dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana
seseorang, yaitu perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana
(actus reus) da nada sikap batin jahat atau tersela (mens rea)
3. B
E
C
D
F
A
Lanjutan..
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban
orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Yang
dipertanggungjawabkan adalah tindak pidana yang
dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu
mekanisme yang dibangun hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas tanda bukti kesepakatan menolak
suatu perbuatan tertentu.
4. B
E
C
D
F
A
Kesalahan merupakan hal penting untuk memidana seseorang.
Tanpa itu, pertanggungjawaban tidak akan ada. Tidak heran jika
dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
(geen straf zonder schuld). Asas kesalahan ini meupakan asas yang
fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas
tersebut, sehingga meresap dan menggema hampir dalam semua
ajaran penting dalam hukum pidana.
Lanjutan..
5. B
E
C
D
F
A
Kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dari
segi masyarakat sebebnarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai
kesalahan jika pada waktu melakukan tindak pidana dapat dicela, yaitu
kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal
mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut dan karenanya
bahkan harus menghindari perbuatan demikian.
7. B
E
C
D
F
A
Kesalahan psikologis menitik beratkan pada keadaan batin (psychis)
tertentu si pembuat, sehingga dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, tidak diikuti oleh ketiadaan unsur “dengan sengaja” atau
“karena kealpaan” dalam rumusan tindak pidana.
Dalam KUHP yang menyatakan hal tersebut diliputi pertanyaan
apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau “karena
kealpaan” dalam pelanggran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana
sekalipun tidak ada satu dari dua bentuk kesalahan itu. Persoalan ini
menyebabkan keraguan atas kemampuan teori kesalahan psikologis
untuk menjelaskan masalah kesalahan.
9. B
E
C
D
F
A
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami
perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subyek hukum
pidana disamping manusia. Mana kala korporasi juga diakui
sebagai subyek hukum disamping manusia, maka konsep
pertanggungjawaban pidana pun harus “diciptakan”agar korporasi
juga dapat di jatuhan pidana ketika terbukti melakukann tindak
pidana.
Perkembangan sistem pertanggung jawaban
pidana
10. B
E
C
D
F
A
Secara teoritis ada tiga teori atau system pertanggung
jawaban pidana pada subyek hukum korporasi:
Teori
Identifikasi
Teori strict
liability
Teori Vicarious
Liability
11. B
E
C
D
F
A
Kemampuan bertanggung jawab diartikan sebagai kondisi batin yang
normal atau sehat dan mampunyai akal seseorang dalam membeda-
bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk," atau dengan kata lain,
mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan
dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan
kehendaknya.
Kemampuan bertanggung jawab
12. B
E
C
D
F
A
Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan adanya
kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor
kehendak Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keisyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan
yang tidak diperbolehkan
13. B
E
C
D
F
A Andi zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-
undang merumuskan syarat kesalahan secara negatif KUHP di seluruh
dunia pada umumnya tidak mengatur tentangkemampuan
bertanggungjawab Yang diatur ialah kebalkannya, yaitu
ketidakmampuan bertanggung jawab, Demikian halnya dengan
ketentuan Pasal 44 KUHP
14. B
E
C
D
F
A
"1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
padanya. disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuh- nya (sebrekkige
ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2. lika ternyata bahwa perbautan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya
disebabakan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena
penyakit, maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke
dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Pasal
ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak
mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi
salah satu di antara dua hal, yaitu sebagai berikut."
15. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit hingga akalnya
menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik
dan yang buruk Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsi yang melakukan
perbuatan pidana.
Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akal nya
menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk
Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pi dana.
16. B
E
C
D
F
A
Werboek van srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan
sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh UU
menurut Memorie van Toelichting kesengajaan sama dengan
willens en wetens" atau diketahui atau dikehendaki
Kesengajaan dan Kealpaan
17. B
E
C
D
F
A Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud
"willens en wetens" adalah seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen)
perbuatan itu serta harus menginsyan atau mengerti (weten)
akan akibat dari perbuatan itu.“
Secara teoretis terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus),
yaitu dolus malus dan dolus eventualis
18. B
E
C
D
F
A
Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
kata "kealpaan, seperti recklessness, neglience, sembrono, dan teledor.
Simons mengatakan bahwa umumnya kealpaan itu terdiri atas dua
bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di
samping dapat menduga akibatnya. Namun, meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi
kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu
mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang uu
19. B
E
C
D
F
A
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang
sangat gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan
dalam perbuatan seseorang secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah
pada keadaan batin orang itu. Dengan pengertian demikian, maka di
dalam kealpaan (culpa) terkandung makna kesalahan dalam arti luas
yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara
kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu
sifat positif yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk
melakukan suatu perbuatan yang dilarang, sedangkan dalam kealpaan
sifat positifini tidak ditemukan.
20. B
E
C
D
F
A
Dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku bersifat ceroboh, teledor, atau
kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum
terjadi. Dalam kealpaan ini, pada diri pelaku memang tidak ada niat
kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum.
Meskipun demikian, ia tetap dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan
akibat yang dilarang hukum itu karena sikapnya yang ceroboh. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat agar setiap orang memiliki
sikap hati-hati dalam bertindak.
Dilihat dari bentuknya, Modderman mengatakan bahwa terdapat dua
bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan yang disadari (bewuste culpa) dan
kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa).
21. B
E
C
D
F
A
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pem benar
dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.
Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya
mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada
pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum,
sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada pemaafan pembuatannya
sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.
Alasan Penghapus Kesalahan
22. B
E
C
D
F
A
Yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan
pemaaf antara lain:
Daya paksa
(overmacht)
Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer
ekses),
Pelaksanaan perintah
jabatan tanpa
wewenang yang
didasari oleh iktikad
baik