Tulisan ini membahas pendapat yang sesuai tentang pemahaman realita umat (fiqhul waqi') dan kewajiban saling mencintai antar Muslim. Fiqhul waqi' merupakan kewajiban yang bersifat kolektif dimana jika dilakukan sebagian maka kewajiban bagi yang lain gugur. Pentingnya kerjasama antara ulama dan masyarakat dalam mengajarkan dan menerapkan ajaran Islam yang murni. Larangan menuduh ulama tanpa dasar
1. Pendapat Yang Wasath (Tepat/Benar) Perihal Fiqhul Waqi' Serta Kewajiban Saling Cinta Dan Loyal
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=666&bagian=0
Pendapat Yang Wasath (Tepat/Benar) Perihal Fiqhul Waqi'...
Kategori :
Fokus Utama
Tanggal : Rabu, 28 April 2004 09:08:55 WIB
FIQHUL WAQI' [MEMAHAMI REALITA UMMAT]
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bagian Terakhir dari Enam Tulisan [6/6]
[M]. PENDAPAT YANG WASATH (TEPAT/BENAR) PERIHAL FIQHUL WAQI'
Dengan demikian perkara Fiqhul Waqi' adalah sebagaimana dikatakan oleh Allah Jalla Jalaluhu.
"Artinya : Demikianlah kami telah menjadikan kamu sebagai ummat yang wasath (adil dan pilihan) .."
[Al-Baqarah : 143]
Fiqhul Waqi' dengan maknanya secara syar'i adalah sebuah kewajiban, namun sifatnya fardhu kifayah, jika
telah dilaksanakan oleh sebagian ulama, maka gugurlah kewajiban dari sebagian lainnya, dari para penuntut
ilmu dan gugur pula dari kaum mulimin secara umum.
Oleh sebab itu kita wajib bersikap i'tidal (adil dan lurus) dalam mengajak kaum muslimin kepada
pengetahuan/pengenalan terhadap Fiqhul Waqi', tidak menghanyutkan mereka dengan informasi dan berita
politik, serta pemecahan-pemecahan problematika ala pemikir-pemikir barat. Yang wajib selama-lamanya
adalah mendengungkan/menyuarakan seputar "tasfiyah" pemurnian ajaran Islam dari segala kotoran yang
digantungkan padanya kemudian ditindak lanjuti dengan pembinaan kaum muslimin, baik sebagai sebuah
kelompok masyarakat, maupun perseorangan diatas Islam yang telah murni tersebut. Serta mengikat mereka
dengan manhaj (metode) dakwah yang hak, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, sejalan dengan pemahaman para
Salaf (pendahulu) ummat ini yang shalih.
[N]. KEWAJIBAN SALING CINTA DAN LOYAL [ANTAR SESAMA MUSLIM]
Merupakan kewajiban bagi para ulama dengan spesialisasi mereka masing-masing dan ummat secara
keseluruhan untuk menerapkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Perumpamaan orang-orang mukminin dalam cinta, kasih sayang dan sikap saling bahu membahu di
antara mereka, ibarat sebatang tubuh, jika satu anggotanya mengeluh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh
lainnya saling menyeru (untuk menanggung derita) dengan tidak tidur dan naiknya suhu badan (demam) [1] "
[2]
Perumpamaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang agung ini tidak akan terwujud sesuai dengan
kandungan maknanya yang indah dan mengagungkan, melainkan dengan jalan ta'awun (saling
tolong-menolong) antara para ulama dengan anggota masyarakat dalam bentuk mengajar, belajar, berdakwah
Halaman 1/3
2. Pendapat Yang Wasath (Tepat/Benar) Perihal Fiqhul Waqi' Serta Kewajiban Saling Cinta Dan Loyal
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=666&bagian=0
dan penerapan (pengamalan ilmu yang diketahui). Dengan demikian mereka yang mengetahui pemahaman
syariat beserta dalil-dalilnya yang bersifat penerapan dan tidak sekedar menganalisa, dapat saling bekerjasama.
Para ulama memberikan kepada mereka apa yang dimiliki berupa ilmu fiqh, sedang mereka yang memahami
Fiqhul Waqi, menyampaikan kepada para ulama sesuatu yang secara jelas telah diketahui (dipelajari) agar
semuanya jelas dan sama-sama mengambil sikap dan mewaspadainya.
Dari wujud kerjasama yang penuh kejujuran ini, antara para ulama dan para da'i sesuai dengan spesialisasi
masing-masing, akan memungkinkan terwujudnya apa yang menjadi idaman setiap muslim yang memiliki
semangat dan kecemburuan [terhadap agamanya, -pent].
[O]. BAHAYA PELEMPARAN TUDUHAN TERHADAP ULAMA
Menikam/menuduh sebagian ulama atau para penuntut ilmu dan mencela mereka karena ketidak tahuan
mereka tentang Fiqhul Waqi, begitu pula halnya pelemparan tuduhan yang dialamatkan mereka dengan
sebutan yang tidak sepatutnya disebutkan pada kesempatan ini, adalah kesalahan dan kekeliruan yang amat
jelas, yang tidak boleh diteruskan, sebab merupakan sikap "tabaghudh" saling memurkai/membenci, yang
telah dilarang dalam sejumlah hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan justru hadits-hadits itu
memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat yang sebaliknya, berupa sikap saling mencintai, saling
berjumpa dan saling tolong menolong.
[P]. CARA MENANGGULANGI KESALAHAN
Adapun kewajiban seorang muslim yang melihat suatu kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan oleh seorang
alim atau da'i, adalah mengingatkan dan menasihatinya. Jika suatu kesalahan dilakukan di sebuah lokasi yang
sifatnya terbatas, maka peringatannya dilakukan di lokasi tersebut tanpa diumumkan atau disebar luaskan. Dan
jika kesalahan itu bersifat umum dan masyhur, maka tidak mengapa peringatan dan keterangannya dilakukan
dengan cara diumukan, akan tetapi sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu.
"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka
dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]
Sesuatu yang juga penting untuk dijelaskan, bahwa kekeliruan yang dipersalahkan tersebut bukanlah yang
dibangun atas dasar semangat dan gejolak jiwa muda belaka tanpa ilmu atau keterangan yang jelas.
Akan tetapi yang dimaksud adalah sebuah kekeliruan dan kesalahan yang benar-benar berdasarkan hujjah,
keterangan, dalil dan burhan (bukti).
Gambaran metode/cara mempersalahkan dan mengingatkan yang penuh kelembutan dan kebijakan tersebut,
tidak mungkin terwujud, kecuali antara para ulama yang ikhlas dan penuntut ilmu yang benar-benar ingin
menasihati yang mana ilmu dan dakwah mereka berada pada kalimat yang sama (kalimatun sawa'), tiada
perselisihan diantara mereka, berdiri tegak diatas keterangan yang berdasarkan pada al-Qur'an, sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berpijak pada manhaj (metode) Salaf, pendahulu ummat dalam
menjalankan agama ini.
Sebagai penutup (makalah ini, -pent), ada suatu hal yang amat penting untuk diperkenalkan dan diberitahukan
kepada kaum muslimin. Maka saya katakan : "Sikap ridha kita kepada Fiqhul Waqi' yang sesuai dengan
gambaran syariat dan kesibukan kita dengannya, tidak boleh dijadikan pendorong untuk memasuki pintu-pintu
politik modern, yang mana para pelakunya telah berbuat kezhaliman, tidak pula tergiur dan tertipu oleh
kalimat-kalimat yang berkisar pada politik, mengulang-ulangi cara mereka (dalam politik), dan tenggelam
dalam keanehan-keanehan mereka.
Yang wajib hanyalah berjalan di atas "siyasah syar'iyyah" (mengatur, memimpin, mengemudikan urusan
ummat sesuai dengan tuntunan syar'i), yaitu memelihara dan menjaga kepentingan-kepentingan ummat Islam.
Sementara kepentingan dan pemeliharaan seperti itu tidak mungkin dapat terwujud, kecuali dibawah sinar,
Halaman 2/3
3. Pendapat Yang Wasath (Tepat/Benar) Perihal Fiqhul Waqi' Serta Kewajiban Saling Cinta Dan Loyal
http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=666&bagian=0
cahaya al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta diatas pijakan manhaj Salafus
Shalih, dipegang oleh Ulil Amri (para pemegang dan penanggung jawab urusan ummat ini, -pent) yang terdiri
dari para ulama yang menerapkan ilmu mereka, dan para umara (pemimpin) yang bersikap adil, karena
sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu dapat mencegah dengan sulthan (kekuasaan) sesuatu yang tidak dapat
dicegah dengan al-Qur'an.[3]
[Q]. BAHAYA SISTEM POLITIK MODERN
Adapun sistem politik ala barat yang sedang membuka pintu-pintunya dan menipu serta memperdayakan
pengikut-pengikutnya adalah sistem politik tanpa mengenal agama. Setiap orang yang tergiring dibelakangnya
dan tenggelam dilautannya, telah ditimpa oleh adzabnya dan dibakar oleh "neraka" yang berkobar-kobar,
sebab orang yang tegesa-gesa ingin meraih sesuatu sebelum saatnya, niscaya memperoleh sangsi dengan
terhalangi sesuatu itu darinya.
"Barangsiapa tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum saatnya, niscaya terhalangi darinya sebagai sebuah sangsi
atasnya".
"Hanya Allah Jalla Jalaluhu pemberi taufiq untuk sebuah kebenaran, dan segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam"
Catatan :
Tulisan ini diterjemahkan dari majalah "as-Salafiyyah", edisi ke lima, tahun 1420-1421, Hal. 41-48, dengan
judul asli " Hukmu Fiqhil Waqi' wa Ahammiyyatunuhu"
[Disalin dari Majalah : as-Salafiyah, edisi ke 5/Th 1420-1421. hal 41-48, dengan judul asli "Hukmu fiqhil
Waqi' wa Ahammiyyatuhu". Diterjemahkan oleh Mubarak BM Bamuallim LC dalam Buku "Biografi Syaikh
Al-Albani Mujaddid dan Ahli Hadits Abad ini" hal. 127-150 Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
_________
Foote Note.
[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menukil perkataan Ibnu Hamzah tentang "at-Taraahum.
at-Tawaadud dan at-Ta'aathuf" yang dimaksud dengan "at-Taraahum" yaitu saling mengasihi sebagai terhadap
sebagian lainnya semata-mata karena persaudaraan iman. "at-Tawaadud" yaitu hubungan interaksi yang
membuahkan rasa cinta, seperti saling mengunjungi, saling memberi hadiah, dan lain sebagainya.
"at-Ta'aathuf" yaitu sebagian menolong sebagian lainnya, seperti menaruh iba/kasihan kepada seseorang
dengan memberi pakaian padanya untuk menguatkan tubuhnya. [Fathul Baari 10/453-454, -pent]
[2]. Hadits Shahih dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya, lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah
No. 1083, jilid 3/71
[3]. Lihat Ad-Durrul Mantsur oleh as-Suyuti jilid 4, hal. 99
Halaman 3/3