Center for Innovation Opportunities and Development Prasetiya Mulya Business School was held a Business Dialogue with theme "Building a Technology-Based Industries: The Case of Green Car". This theme was raised because of the global business demand, especially green business in automotive sector.
The event was held on Wednesday, 27 February 2013.
1. MOBIL RAMAH LINGKUNGAN (GREEN CAR) INDONESIA
DILIHAT DARI PERSPEKTIF BUDAYA
Oleh : Agus Sachari
Ringkasan
Mobil Nasional Ramah Lingkungan telah menjadi pembicaraan yang terus menerus
dalam beberapa tahun terakhir. Upaya-upaya masyarakat untuk mewujudkan hal itu
telah banyak dilakukan. Namun sebagian besar masih mengalami kendala budaya di
dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Melalui
pendekatan perspektif budaya, konsep mobil nasional yang ramah lingkungan tersebut
dapat menjawab kebutuhan yang lebih proporsional dibandingkan dengan mendesain
berbasis pada pencangkokan dari mobil-mobil yang telah ada sebelumnya. Konsep
mobil tersebut harus bertitik tolak dari implementasi ramah budaya terlebih dahulu
yang di dalamnya secara eksistensial juga ramah lingkungan. Dengan demikian
perwujudannya tidak terasing dari kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki
karakter dan kekhasan tersendiri dalam memilih kendaraan maupun mengendarainya.
Kata kunci : Mobil Ramah Lingkungan, Perspektif Budaya.
A. LATAR BELAKANG
Pembicaraan mobil nasional telah tumbuh , menjadi sebuah fenomena budaya dari
sejak masa pemerintahan Orde Baru hingga sekarang. Dimasa itu upaya- upaya telah
dilakukan melalui proses alih teknologi, pabrikan total (full manufacturing) hingga
membuka berkembangnya industri karoseri di tahun 1980-an (Chalmers, 1996) dan
puncaknya berupaya untuk mendesain mobil nasional secara mandiri ‘Maleo’ yang
dikordinir oleh BPIS (Badan Pengembangan Industri Strategis) di jaman pemerintahan
Soeharto.
Permasalahan mobil nasional tersebut seolah tak pernah surut dan akhirnya menjadi
obsesi baru bagi pemerintahan sekarang. Namun setelah beberapa dekade, realisasi ke
arah terciptanya alat transportasi yang diharapkan tersebut belum dapat terlaksana.
Ketika para siswa SMK mencoba merakit sendiri mobil; kemudian menjadi primadona
pencitraan walikota Solo, semua pihak tersentak kembali bahwa obsesi beberapa
dekade yang lalu untuk memproduksi mobil nasional, semakin dekat dengan
realisasinya.
1
2. Seiring dengan kebijakan nasional berkaitan lingkungan hidup dan menipisnya
cadangan minyak bumi, serta kemungkinan Indonesia turut bertanggungjawab
terhadap peristiwa pemanasan global dan perubahan iklim (DNPI,2009), konsep mobil
nasional ramah lingkungan secara berlomba-lomba dibangun kembali oleh pelbagai
pihak. Tentu saja, terdapat kebiasaan dan tradisi bangsa Indonesia yang ‘pandai’ dan
‘kreatif’ untuk segera merealisasikannya dalam waktu singkat.
Hambatan-hambatan yang terjadi seolah tersamar dengan hadirnya pelbagai model
mobil ramah lingkungan nasional tersebut dengan pelbagai konsep dan tampilan.
Hambatan aspek teknis dan juga non-teknis yang berkaitan dengan politik
perdagangan, strategi pembangunan, gaya hidup masyarakat dan juga ketersediaan
infra struktur transportasi yang selama ini selalu menjadi masalah direduksi dalam
eforia ‘keterbisaan’ membuat desain mobil secara cepat dan instan. Demikian pula
pola pikir terhadap energi masyarakat harus secepatnya berubah (Numberi, 2011)
Dalam situasi tersebut di atas, telah banyak para akhli membahas tentang
kemungkinan-kemungkinan segera didirikan industri otomotif nasional yang mampu
memproduksi pelbagai jenis kendaraan sesuai kebutuhan dalam negeri. Demikian pula
telah banyak upaya dari masyarakat untuk mendesain mobil ramah lingkungan, baik
yang berpremis transfer teknologi, persaingan pasar, bahkan adanya obsesi kebutuhan
akan kebanggaan nasional melalui bidang otomotif melalui mobil nasional.
Wacana tentang mobil nasional listrik yang sempat aktual dalam beberapa tahun
terakhir ini telah menjadi pilihan yang penting dalam kerangka untuk membangun
industri otomotif nasional yang hingga kini masih didominasi asing. Pilihan- pilihan
cenderung kepada mobil listrik yang dinilai hemat energi dan rendah polusi.
(GAIKINDO, 2012) Tentu saja pilihan ini tidak serta merta mencuat kepermukaan
tanpa kajian yang mendalam dari pelbagai pihak, baik pemerintah maupun kalangan
perguruan tinggi.
Harapan besar, bahwa konsep mobil ramah lingkungan dan berbiaya ringan dapat
dicapai melalui perjuangan panjang melalui tahap ramah budaya terlebih dahulu.
Karena secara langsung atau tidak di dalam perwujudannya akan menjangkau pula
2
3. konsep ramah lingkungan dan kompromi-kompromi terhadap kebijakan politik
pembangunan pembiayaan jangka pendek maupun jangka panjang.
B. PENDEKATAN RAMAH BUDAYA
Dalam sejarah permobilan, para perancang cenderung memecahkan permasalahan
persoalan kebutuhan alat transportasi itu dari aspek teknologi, permintaan pasar atau
kecenderungan trend visual yang telah menjadi kelaziman di dunia otomotif. Bagi
negara-ngera yang telah memiliki sejarah panjang permobilan hal itu telah menjadi
sesuatu yang niscaya dan lumrah. Namun bagi negara-negara berkembang yang belum
memiliki tradisi industri permobilan yang mapan dan lengkap, hal itu tentu menjadi
kendala yang menghambat. Di tanah air, pelbagai jurus telah di lakukan oleh para
produsen otomotif untuk mengatasi hal itu selama berpuluh tahun. Oleh pelbagai
pihak, terutama kalangan akademisi kondisi tersebut dituntut harus pula dilengkapi
dengan pengembangan keilmuan, profesi dan riset yang sinambung.
Bagi kalangan desainer otomotif dari lingkungan pendidikan desain, upaya pendekatan
dilakukan dengan pelbagai cara berpikir. Hal tersebut perlu dilakukan karena
situasinya berbeda dengan negara-negara maju yang telah mapan. Salah satu model
yang kerap dipergunakan sebagai dasar perumusan konsep desain adalah model
pendekatan ramah budaya. Pendekatan ini dirasakan penting karena hakikatnya alat
transportasi atau mobil dibuat untuk manusia dan demi manusia. Penekanannya
terletak pada bobot humanitas yang tinggi pada perwujudan artifak modern tersebut.
Beberapa kriteria yang mendasari konsep desain dilihat dari perspektif budaya antara
lain selalu mempertimbangkan aspek-aspek :
1. Ideologi Sosial
Cara pandang masyarakat negara berkembang tentu berbeda dengan cara pandang
masyarakat industri yang rasionalis dan serba taat azas. Masyarakat industri
memandang benda hanyalah sebagai artifak profanistik yang setiap saat dapat berganti.
Padahal masyarakat negara berkembang, khususnya di tanah air memandang objek
benda lebih hanya sekadar sebagai benda fungsional. Terutama benda-benda yang
telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mencari rezeki ataupun kegiatan
3
4. utama lainnya. Untuk itu, dalam setiap perancangan, dirasa penting untuk
mempertimbangkan segi hubungan emosional dengan benda yang akan dibuat.
2. Berpihak pada kearifan budaya
Banyak benda-benda industrial yang dirancang tidak sejalan dengan kearifan budaya
yang tumbuh dimasyarakat. Di dalam banyak kasus hal tersebut, menyebabkan mala-
fungsi, human eror, menjadi asing, atau berperilaku tak lazim. Untuk itu, dalam
merancang kearifan lokal tetap harus menjadi bagian yang harus diperhatikan, baik
berkaitan dengan operasional, keselamatan, kesehatan maupun keamanan.
3. Selaras dengan Lingkungan
Pemahaman keselarasan dalam banyak hal selalu ingin dicapai oleh bangsa Indonesia
sejak lampau. Keselarasan bukan dalam artian hubungan berimbang, tetapi lebih
dalam lagi meliputi hubungan timbal balik yang benar-benar disadari antara manusia,
alam dan benda ciptaannya. Dengan demikian manusia sebagai subjek kunci dalam
menciptakan dunia binaanya, tetapi selalu tetap menjaga pola keharmonisan yang
langgeng itu. Juga hal itu dapat dipahami dalam merancang benda-benda
kebutuhannya selalu mempertimbangkan pola keharmonisan dan taat pada tatanan
yang ramah dengan lingkungannya. Namun sebagai catatan, lingkungan itu dapat
berubah dengan cepat karena dibangunnya infra struktur baru dan sistem transportasi
perkotaan yang lebih layak, atau lingkungan itu menjadi statis dan tidak mampu
mengimbangi daya dukung kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.
4.Mempertimbangkan keakraban
Akrab dalam pandangan masyarakat berkembang selalu memiliki konotasi bersahabat
dan setia menjaga kesahabatan itu. Tampilan visual yang terlalu ekstrim, kerap sulit
menciptakan kesahabatan walaupun akhirnya dapat diterima memerlukan waktu yang
cukup lama. Demikian pula dengan desain baru yang betul-betul baru meniru dari
negara lain, kerap mengalami kendala untuk diterima di dalam masyarakat dalam
waktu singkat. Andaikan diterimapun, kerap usia kesahabatannya tidaklah lama.
Dalam dunia benda, sesuatu yang sangat ekstrim kerap mengalami penolakan atau
penyesuaian-penyesuaian. Untuk itu dalam merancang sebuah produk, faktor
keakraban teknis dan visual ini penting untuk selalu dipertimbangkan.
4
5. 5.Kewajaran Visual
Hakikatnya bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa santun dan menghargai
kesantunan dalam banyak hal. Meskipun dalam dekade terakhir kondisi ini mengalami
pergeseran-pergeseran ke arah budaya yang agresif. Fenomena tersebut tumbuh seiring
dengan era kebebasan dan terjadinya pelapukan tata nilai di masyarakat. Namun
demikian, jiwa dari kesantunan ini masih ada dan seharusnya tetap lestari mengingat
kondisi visual yang semakin hari semakin tiada beraturan dan ‘liar’. Salah satu bentuk
kesantunan itu adalah kewajaran visual. Dalam merancang objek-objek kebendaan
maupun objek visual lainnya, unsur kewajaran visual ini tetap harus terjadi, baik yang
ditampilkan dalam gaya modern, gaya tradisional maupun pencampurannya.
6. Memberdayakan masyarakat
Alangkah bermaknanya jika semua objek visual juga memancing masyarakat untuk
belajar, seluas mungkin melibatkan masyarakat dan mampu mendudukkannya sebagai
bagian dari sejarah peradaban bangsa. Keberdayaan masyarakat ini akan tumbuh
seiring dengan luasnya kesempatan dan proses belajar secara terus menerus dalam
banyak hal. Masyarakat tidak lagi harus terjebak ke dalam proses pembodohan dan
jargon-jargon hiperbolis. Tetapi sudah saatnya masayarakat menjadi potensi cerdas
yang dapat menyelesaikan permasalahannya. Dalam dunia desain, hal itu perlu
ditunjukkan melalui pelbagai bentuk kemandirian yang berkualitas, sehingga dapat
berkompetisi di arena perekonomian nasional.
7. Memiliki Daya Keterjangkauan
Apapun upaya yang dilakukan oleh masyarakat tidak akan memiliki makna jika
kesemuanya jauh terjangkau oleh keterbatasan ekonomi industri di dalam negeri. .
Mimpi-mimpi yang menciptakan ‘keseolahan’ dapat membuat mobil berkualitas bagus
dalam semalam seharusnya segera diganti dengan fenomena kewajaran, bahwa mobil
harus melalui proses perancangan tahap demi tahap yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan beberapa puluh tahun yang lampau,
ketika aspek regulasi dan kualitas cita rasa masyarakat yang jauh lebih baik. Dengan
demikian, daya keterjangkauan tetap harus sejalan dengan kondisi-kondisi tersebut.
5
6. C. IMPLEMENTASI DESAIN
Ketujuh parameter yang menjadi landasan konsep pemikiran desain ramah budaya di
atas, tidaklah mudah dan serta merta dapat menjadi inspirasi para desainer otomotif
nasional. Namun paling tidak di lingkungan akademisi dapat diimplementasi dalam
bentuk riset dan konsep-konsep desain mobil masa depan yang dapat menjangkau
hajat hidup masyarakat banyak.
Dalam merancang mobil yang ramah budaya diibaratkan sebagai penciptaan karya
seni yang mengandung nilai-nilai humanitas tinggi. Garis demi garis tertuang dalam
membentuk sosok yang mempertimbangkan banyak hal, dari aspek teknis, falsafah
kecepatan hingga rautan ekonomi yang menjadi bagian dari budaya masyarakat di
negara berkembang. Jika pilihan itu lebih menekankan pada keramahan lingkungan
(Mitchell, 2010) dan pembiayaan, maka pilihannya cenderung menciptakan mobil
hibrida yang dapat dikembangkan secara modular.
Gambar 1. : Konsep mobil hibrida modular-1 dengan motor penggerak bbm
dan gas (sumber : Martinus P, 2012)
6
7. Mobil hibrida modular-1 merupakan wujud pilihan alat transportasi perkotaan masa
depan dengan biaya ringan dan ramah lingkungan. Pilihan dua penggerak dipilih
sebagai alternatif dengan sistem pemindahan penngerak secara otomatis dari
penggerak motor bbm konvensional dikarenakan dimasa transisi peralihan ke gas
sepenuhnya masih membutuhkan proses adaptasi ’menunggu’ sistem teknologi
terbaru yang mampu mengefesienasikan kinerja motor penggerak gas secara lebih
sempurna.
Gambar 2 : Konsep mobil Hibrida Modular-2 dengan platform yang dapat
dikembangkan untuk penerapan yang lebih luas dengan penggerak gas/bbm/biofuel
dan motor listrik. (sumber : Martinus P, 2012)
Mobil hibrida modular-2 merupakan wujud pilihan alat transportasi perkotaan masa
depan dengan biaya produksi yang lebih ringan dan ramah lingkungan. Pilihan
kombinasi dua penggerak dipilih sebagai alternatif dengan sistem pengisian listrik dari
penggerak motor bakar atau gas sebagai alternatif tercepat untuk menjawab masa
transisi peralihan ke motor listrik sepenuhnya masih membutuhkan proses adaptasi
7
8. menunggu penyempurnaan teknologi accu berdaya tahan lama dan dimensi yang lebih
ringkas.
Tentu saja diharapkan teknologi penggerak dan mesin bakar untuk kendaraan dalam
waktu satu dekade ke depan telah ditemukan dan menjadi sebuah paradigma baru
dalam industri otomotif nasional. Untuk itu persiapan-persiapan R & D nasional harus
segera dijalankan dalam rangkaian menunjang pemecahan alternatif yang mendesak.
Tabel 1 : Kriteria Konsep dan Implementasinya
No KRITERIA KONSEP IMPLEMENTASI DESAIN
1 Ideologi Sosial Desain harus didasarkan akan kebutuhan
masyarakat banyak
2 Kearifan Budaya Desain harus mempertimbangkan kebiasaan
dan keselamatan masyarakat
3 Keselarasan dg Lingkungan Desain harus hemat bahan bakar dan juga
mempertimbangkan utk menjaga kelestarian
lingkungan
4 Keakraban Desain harus mudah digunakan,
dikenali,dikendalikan dan praktis
5 Kewajaran Visual Desain harus proporsional secara semantik,
tampilan maupun gaya visual
6 Memberdayakan Masyarakat Desain harus menjadi proses pembelajaran
masyarakat dan meningkatkan perekonomian
7 Memiliki Keterjangkauan Desain harus dapat dibuat di dalam negeri
sendiri dengan biaya ringan secara
berkualitas
Penerapan kriteria konsep dan implementasinya ke dalam desain merupakan sebuah
metoda dalam merancang kendaraan ramah budaya agar dapat lebih membumi dengan
masyarakat negara berkembang penggunanya. Terutama masyarakat yang masih
mencoba membentuk dan membangun industri otomotif dan juga bagi para profesional
desain yang berminat mengembangkan desain mobil di negara berkembang.
D. MEREKONSTRUKSI FENOMENA
Maraknya masayarakat Indonesia untuk mendesain mobil ramah lingkungan,
tampaknya telah menjadi wacana publik yang telah lama ditunggu. Sejumlah lembaga
8
9. penelitian, perguruan tinggi, industri karosari dan bahkan individu-individu di dalam
tubuh masyarakat seakan berlomba untuk mendesain mobil nasional dan segera
menggelindingkannya di jalan raya. Kebanggaan bercampur dengan rasa pesimistis
tumbuh hilang berganti.
Eforia semacam itu sebenarnya wajar terjadi di negara berkembang sebagai bentuk
perlawanan. Namun kegelisahan masyarakat dipandang berbeda oleh prinsipal
industri mobil dengan melihatnya sebagai peluang untuk membentuk segmen pasar
baru : mobil ramah lingkungan. Tentu saja para pengusaha mobil tersebut dengan
cepat tanggap untuk menghadirkan mobil-mobil dengan keramahan visual baru yang
lebih modern.
Pada akhirnya, para pengusaha berkapital besar dengan mudah membaca keinginan
pemerintah dan masyarakat akan mobil baru .Kepedulian terhadap lingkungan dan
biaya ringan akhirnya terjebak kembali menjadi jargon politik perdagangan. Kondisi-
kondisi tersebut menunjukkan ketakberdayaan menghadapi perkembangan bisnis
global yang telah menghegemoni negara ini selama beberapa puluh tahun.
C. KESIMPULAN
Berdasar paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam mendesain mobil ramah
lingkungan dan berbiaya ringan, hakikatnya merupakan proses mendesain mobil
ramah budaya yang lebih membumi untuk memecahkan alat transportasi di negara
berkembang.
Implementasi teknis dapat dilakukan sejalan dengan pertimbangan laik darat, regulasi
dan juga standarisasi komponen, serta proses mendesain tahap-demi tahap seperti
layaknya tradisi mendesain mobil dengan komputer grafik dan kematangan industri
pendukungnya.
Itikad positif yang kreatif senantiasa harus terus terjaga melalui program pendidikan,
pemagangan, pencangkokkan dan transfer teknologi. Dengan demikian kompetensi
dalam bidang otomotif akan senantiasa terjaga dan menjadi bagian tradisi panjang
perjuangan untuk membangun industri otomotif yang handal di masa depan.
9
10. REFERENSI
1. Numberi, Freddy, 2011, Transportasi dan Perubahan Iklim, Gramedia,
Jakarta.
2. Chalmers, Ian, 1996, Konglomerasi : Negara dan Modal dalam Industri
Otomotif Indonesia, Gramedia, Jakarta.
3. GAIKINDO, 2012, The Readness of GAIKINDO to cope with National fofil
fuel Conversion to CNG Program, Seminar CNG for Conversion Motor
Vehicle, ITB.
4. Martinus, 2011, Car Design and the Urban Lifestyles, ITB.
5. Mitchell, William J, 2010, Reinventing the Autonobile, Personal Urban
Mobility for the 21 st Century, Massachusetts of Technology.
10