1. MEMPERCEPAT TEGAKNYA KEDAULATAN RAKYAT ATAS RUANG
ACCESS TO LAND
ACCESS TO LAND
(AKSES RAKYAT TERHADAP RUANG)
ACCESS TO LAND
(AKSES RAKYAT TERHADAP RUANG)
No. 16, Mei 2010
KABAR
JKPP1616
2. KABAR JKPP NO. 16, MEi 2010
KABAR
JKPP
2 KABAR
JKPP
2
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
berdiri pada bulan Mei 1996 di Bogor. Penggagas
berdirinya JKPP adalah berbagai NGO dan
masyarakat adat yang memanfaatkan dan
mengembangkan pemetaan berbasis masyarakat
sebagai salah satu alat pencapaian tujuannya.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan JKPP antara lain
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan dan
magang pemetaan partisipatif, perluasan dan
penyebaran ide-ide pemetaan partisipatif,
menyelenggarakan dialog-dialog keruangan,
melakukan kajian-kajian keruangan, penerbitan
dan melakukan aliansi dengan berbagai pihak
yang aktif dalam gerakan-gerakan sumberdaya
alam kerakyatan
DEWAN REDAKSI KABAR JKPP
Penanggung Jawab : Kasmita Widodo, Pemimpin
Redaksi : Harizajudin, Redaktur : Kasmita
Widodo, Restu Achmaliadi, Imam Hanafi, M.
Irwan. Distribusi : Diarman. Tata Letak : Deny.
Alamat : Jl. Cimanuk Blok B7 No.6, Perumahan
Bogor Baru, Bogor 16152 - INDONESIA Telp.
+62 251 8379143, Fax. +62 251 8314210 ,
email. jkpp@bogor.net, www.jkpp.org
Penerbitan KABAR JKPP
ini atas dukungan dana
dari :
No. 16, Mei 2010
Yang dapat kami KABARi !!!
ACCESS TO LAND, Antara Janji,
Realisasi dan Strategi................3
HAK-HAK ADAT, PERENCANAAN
PARTISIPATIF DAN PEMETAAN
WILAYAH ADAT, Pengalaman dari
Aceh ........................................7
Arsitektur REDD dan Konsekuensinya
bagi Masyarakat Lokal/Adat .....10
PEMETAAN PARTISIPATIF Di Desa
Talang Ratu ..............................14
PERENCANAAN DAN PEMETAAN
LAHAN KELOLA Di Sarimukti .17
Forum AVATAR, Upaya Menuju
Partisipasi Publik dalam Penataan
Ruang ........................................20
Pelatihan Pemetaan Partisipatif Bagi
Kader Masyarakat Adat .............24
Kabar Redaksi
3. ACCESS TO LAND
(AKSES RAKYAT TERHADAP RUANG)
KABAR
JKPP
3
ACCESS TO LAND
Antara Janji, Realisasi dan Strategi
Oleh : Martua T. Sirait (Peneliti ICRAF-SEA)
akses terhadap tanah (ruang)
merupakan sesuatu yang
diperebutkan sejak dahulu,
peradaban manusia dan
bangsa-bangsa yang ada,
tidak pernah lepas dari
peperangan karena
perebutan wilayah
Pendahuluan
Access to Land merupakan salah satu issue penting guna mencapai MDG
(Millennium Development Goals), dimana kira kira 1/3 dari penduduk miskin
(900 juta orang) tinggal di pedesaan tergantung hidupnya pada tanah dan
sumber daya alam guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga akses
terhadap tanah bagi masyarakyat miskin pedesaan haruslah menjadi pusat
dari kebijakan nasional maupun internasional. Secara khusus Sekretaris
Jenderal PBB Kohfi Annan menyatakan bahwa akses tehadap tanah dan
kepastian hak atas sumber daya alam adalah mendasar dan perlu dikaitakan
pada 3 pilar untuk mencapai MDG ditahun 2015. Ke tiga pilar tersebut adalah
Dukungan Pembangunan, Hak Asasi Manusia, Penyelesaian Konflik.
Tentu kita tahu bersama, akses terhadap tanah (ruang) merupakan sesuatu
yang diperebutkan sejak dahulu, peradaban manusia dan bangsa-bangsa yang
ada, tidak pernah lepas dari peperangan karena perebutan wilayah. Setiap
tanah dan wilayah memiliki arti penting bagi penggunanya, dalam bentuk
kegunaan langsung (pertanian, hasil bumi, dan lain-lain) serta kegunaan tidak
langsung, menguasai tanah dan sumber daya alam juga berarti menguasai
manusia (baca: tenaga kerja) yang ada didalamnya. Maka, menguasai tanah
yang luas berati pula memiliki kekuasaan yang besar. Karena itulah
kepemilikan dan atau akses terhadap tanah/ruang terus diperebutkan hingga
kini !
Kebijakan kehutanan jaman kolonial jelas mengklaim kawasan hutan secara
sepihak termasuk juga manusianya sebagai tenaga kerja di hutan. Undang-
undang Pokok Kehutanan nomor 5 tahun 1967 melepaskan (baca:
memerdekaan) manusia dari ikatan tanah dan hutannya. Tetapi budaya
penjabaran kebijakan Undang-undang tersebut maupun penggantinya,
Undang-undang Kehutanan 41/1998 masih memperlakukan manusia yang
tinggal di dalam hutan sebagai bawahan atau tenaga kerjanya (praktek-praktek
ekploitatif terhadap masyarakat Magersari yang dikenal dengan nama
Magersaren) di Jawa, atau tercermin juga adalam perlakuan ekploitatif terhadap
masyarakat adat yang tinggal didalam hutan di luar jawa. Bahkan kebijakan
kehutanan masih diterjemahkan bahwa di kawasan hutan (tanah hutan) hanya
berlaku Undang-undang Kehutanan saja dan tidak memberlakukan Undang-
undang Agraria. Politik Kehutanan untuk menguasai hutan, bukan saja flora
faunanya tetapi juga tanahnya, dengan luasan 63% dari luas daratan Indonesia.
Ini adalah manifestasi dari akumulasi kekuasaan di masa lalu yang perlu kita
pikirkan kembali.
4. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
4
Asumsi, Bentuk
dan Lamanya Hak
Penerima Hak Kewajiban
KDTI
SK Menhut
No 47/1999 & SK
Masyarakat Terlanjur
mengelola Kawasan Hutan
dalam bentuk Wana Tani
maka di tunjuk menjadi
Kawasan Dengan Tujuan
Istimewa (KDTI), KDTI
Masyarakat Adat Krui, tanpa
batas waktu
Masyarakat pengelolan
wanatani asli, saat ini
bergeser dari
mengakomodir wanatani
masyarakat menjadi
kepatian bagi Hutan
Hutan Penelitian Litbang
atau Perguruan Tinggi
(KDTK)
Mengelola wanatani
asli termasuk kayu
dan non kayu
menjadi mengelola
hutan penelitian
HKM
Permenhut
No 37/2007
Ijin HKM, 35 thn
Masyarakat mendapat akses
untuk turut mengelola
kawasan hutan yang
merupakan sumber nafkah
masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat
Contoh HKM di Hutan
Lindung Lampung Barat
Kelompok Petani Hutan
(diarahkan dalam bentuk
koperasi untuk Ijin Hasil
Hutan Kayu)
Mengusahaakan
dan menjaga Hutan
Hutan Desa
Permenhut
No 49/2008
Ijin Hutan Desa, 35 tahun
Kawasan hutan yang
berada pada wilayah desa,
contoh Hutan Desa Lubuk
Beringin, Jambi
Masyarakat Desa
(kelembagaan Desa)
Mengelola
Hutan Desa
Hutan
Tanaman Rakyat
Permenhut
No P.23/2007
Ijin HTR maksimal 60 thn,
Akses masyarakat luas
untuk mengelola hutan
dalam bentuk hutan
tanaman
Perorangan, Koperasi dan
kemitraan dengan
perusahaan
Menghasilkan kayu
Hutan Adat
UUK 41/1999
Hak Kelola, Kawasan
Hutan yang berada pada
wilayah adat.
Masyarakat Adat
(kelembagaan Adat)
Mengelola
Hutan Adat
Hutan Rakyat/Hak
Permenhut
No P26/2005
Diarahkan pada Hak Milik,
bukan kawasan hutan,
hutan tanaman, dapat
berubah statusnya menjadi
kawasan hutan jika
diperlukan
Perorangan Menghasilkan kayu
Redistribusi
Tanah Negara
PP 224/1961
Hak Milik Perorangan
(SHM), Tanah Negara yang
didistribusikan kepada
petani penggarap untuk
dimiliki perorangan dengan
batasan luasan
Petani Penggarap
(diarahkan pada
perorangan)
Mengelola menjadi
tanah pertanian
produktif
Pendaftaran
Tanah Ulayat
Permen BPN
No 5/1999
Hak Kepunyaan Ulayat
(Nomor Registrasi), contoh
Tanah Masyarakat Adat
Kanekes (Baduy), Lebak.
Tanah Adat/Ulayat yang
didaftarkan penguasaannya,
tidak dibebani hak
Kelembagaan
Masyarakat Adat
Dikelola secara
komunal/bersama
Pendaftaran
Tanah Milik
PP 24/1997
Sertifikat Hak Milik, Tanah
Negara Mapun Tanah Adat
yang dikonversi menjadi
Hak Miliki
Perorangan Digunakan
langsung, bukan
tanah absentee
Kebijakan
Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN) merencanakan akan
meredistribusikan tanah bekas kawasan
hutan seluas 8,3 juta hektar dalam
bentuk hak milik kepada petani
penggarap, tetapi secara bersamaan
Departemen Kehutanan
mengembangkan program Perhutanan
Sosial dengan tujuan memberikan
akses atas kawasan hutan dalam bentuk
ijin pengelolaaan/pemanfaatan
kawasan hutan negara. Program mana
yang paling digemari oleh masyarakat?
Apa kelebihan dan kekurangannya?
Adakah kepastian atas
keberlangsungan dan jaminan
kepastian jangka panjang atas program
program tersebut?
Penjabaran kebijakan nasional ini
diharapkan dapat menjawab masalah
kemiskinan di tahun 2015, waktunya
sudah tidak lama lagi, padahal
kebijakan kebijakan ini memerlukan
suatu reformulasi kebijakan
pertanahan (agraria) dan penjabaran
penjabaran yang pro rakyat untuk
memberikan akses seluas luasnya atas
tanah kepada rakyat penggarap secara
tepat sasaran.
Pilihan-pilihan Kebijakan Akses
Atas Tanah
Saat ini terdapat beberapa pilihan atas
kebijakan, yang menjanjikan akses
rakyat atas ruang yang di tawarkan oleh
Departemen Kehutanan maupun
Badan Pertanahan Nasional. Hampir
semua pilihan pilihan kebijakan
Departemen Kehutanan maupun BPN
dibangun atas dasar asumsi bahwa
Negara memberikan akses atas tanah
kepada rakyat, hanya sedikit yang
mengakui bahwa dalam kenyataannya
masyarakat telah tinggal dan mengelola
tanah/ruang tersebut, dan masyarakat
memerlukan kepastian dalam bentuk
kepastian hukum dari negara.
Kebijakan ini beragam dan juga
berkompetisi, antara program
Kehutanan dan BPN serta sulit untuk
memberikan akses tanah bagi program
lainnya. Begitu pula program didalam
kehutanan saling berkompetisi untuk
wilayah pencadangannya masing
masing. Dari waktu ke waktu
nampaknya prioritas program juga
berubah. Pada akhir masa
pemerintahan orde baru, kebijakan
KDTI diharapkan dapat menjawab
masalah-masalah konflik kawasan
hutan dengan rakyat.
5. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
5
Pemberi Pencadangan
dan Akses
Catatan Pencadangan
(Ha/ijin)
Realisasi
(ijin/luasan)
Departemen Kehutanan atas
pengakuan Pemda, menjadi
langsung dikelola
Litbanghut, Perguruan
Tinggi
Kawasan Hutan (Hutan
Lindung dan Produksi
2/27.000 ha bagi
masyarakat, banyak
bagi Hutan Penelitian
Departemen Kehutanan
atas Pertimbangan Pemda
memberikan pencadangan
dan akses
Kawasan Hutan Negara
(hutan Lindung, Hutan
Produksi)
11.980 ha 20-an ijin
luasan tidak ada data
Departemen Kehutanan
memberikan pencadangan,
Pemerintah Daerah
memberikan akses
Kawasan Hutan Negara
(hutan Lindung, Hutan
Produksi)
2.356 ha 1 ijin/2.356 ha
Departemen Kehutanan
hanya melalukan
pembinaan, akses oleh BPN
Kawasan Hutan Negara,
(Hutan Produksi)
310.542 ha 15.306 ha
Departemen kehutanan Kawasan Hutan Negara,
masih belum ada
aturan pelaksana
Belum ada
yang dapat ijin
Departemen Kehutanan
hanya melalukan
pembinaan,
akses oleh BPN
Diluar Kawasan Hutan Tidak ada data, banyak
dilakukan secara
swadaya
BPN dan Pemda
memberikan akses
Diluar Kawasan Hutan,
didukung program PPAN
Tidak ada data Ratusan ribu sertifikat
BPN berdasarkan
pengakuan keberadaan
Masyarakat Adat
dalam Perda
1 komunitas (5000 ha)
BPN & PPAT/Camat Didukung program
Prona, Larasita
Jutaan sertifikat
Dimasa awal reformasi, HKm justru
dianggap sebagai kebijakan unggulan,
dan saat ini nampaknya HTR menjadi
andalan. Hutan Adat dan Hutan Rakyat
nampaknya belum menjadi prioritas
untuk ditangani dengan baik. Demikian
pula dengan program BPN, kebijakan
Pendaftaran Tanah di masa Orde Baru
menjadi andalan dengan dukungan
program pendanaan PRONA, di akhir
masa Orde Baru nampaknya
Pendaftaran Tanah Ulayat di gulirkan ,
saat ini nampaknya redistribusi tanah
(dikenal dengan Land Reform beserta
Akses Reformnya) menjadi andalan
dengan dukungan peralatan
pengukuran bergerak (Larasita).
Pilihan mana yang paling tepat bagi
masyarakat sangat tergantung dengan
beberapa hal antara lain:
1. Asumsi kebijakan dan
penterjemahannya pada
program, yang sesuai dengan
pemikiran masyarakat, dimana
hak dan kewajibannya sesuai
dengan kepentingan masyarakat.
2. Kesiapan program dalam bentuk
pelayanan di lapangan, prosedur
yang ringkas, sehingga tidak
salah sasaran
3. Biaya yang murah, sesuai dengan
hak dan kewajibannya
4. Meminimalisir intervensi
lanjutan (pajak, pungutan,
evaluasi, pemaksaan pola
penanaman, dan lain-lain) yang
dapat mengganggu penataan
produksi yang dinamis oleh
masyarakat
5. Jaminan kepastian jangka
panjang
Kendala yang dihadapi
Pilihan yang tepat kadang kala tidak
ditemukan, karena hampir semua
program merupakan hal baru bagi
masyarakat, sehingga masyarakat lebih
memilih pilihan yang pragmatis dan
sangat tergantung pada kelompok
pendamping atau individu yang
menjanjikan akan membantu proses-
proses untuk mendapatkan kepastian
tersebut. Ada yang memilih bekerja
sama dengan penyuluh pertanian/
kehutanan, ornop, atau jaminan tokoh-
tokoh masyarakat atau bahkan broker
yang menawarkan jasa pendampingan
secara komersil. Ini merupakan hal
wajar yang dihadapi dalam kondisi
kebijakan, kesiapan sistem dan
kesiapan aparat yang belum sempurna.
6. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
6
Kendala utama yang dihadapi dalam
kebijakan yang memberikan akses atas
tanah pada masyarakat adalah:
1. Ketiadaan koordinasi sektoral untuk
saling mendukung agenda pro
poor. Sehingga kebijakan yang
dibangun bias sektoral-nya masing
masing. Misal program HTR
memiliki bias untuk memenuhi
kebutuhan kayu bagi industri ,
tidak heran karena program ini
lahir dari direktorat Bina Produksi
Kehutanan (BPK) yang
membidangi Hutan Tanaman
Industri. Sedangkan HKM yang
lahir dari Direktorat Rehabilitasi
Lahan & Perhutanan Sosial
sehingga programnya bias
Rehabilitasi Hutan. Demikian pula
program Redistribusi Tanah (BPN)
nampaknya bias pada program
sertifikasi tanah. Sehingga
pelaksanaannya dilapangan sering
kali jauh dari semangat awalnya
yaitu memberikan akses tanah
kepada masyarakat miskin,
khususnya tuna kisma (landless)
atau hampir tuna kisma (near
landless). Hal ini ditunjukkan
dalam program redistribusi tanah
di Lampung Barat, diperlukan
waktu 5 tahun utuk menyiapkan
peta kerja yang
mengkonsolidasikan batas
kawasan hutan baru (Dephut)
setelah pelepasan kawasan hutan
untuk program redistribusi tanah
oleh BPN dan Pemda. Koordinasi
antar sektoral harus dilakukan dan
diprioritaskan supaya program-
program ini semakin tepat sasaran
mensejahterakan masyarakat,
bukan memperluas wilayah
pencadangan yang berarti
memperkuat posisi kekuasaan
suatu direktorat atau departemen
itu sendiri.
2. Kuatnya bias sektoral ini nampak
seperti jebakan bagi masyarakat
penerima manfaat, untuk ikut salah
satu program, tanpa dapat
merubah keputusannya kelak.
Sekali mengikuti program HKm,
HTR, Hutan Desa, KDTI, Hutan
Adat, berarti mengakui bahwa
tanahnya adalah kawasan hutan
negara, bahkan dalam beberapa
kebijakan dipaksa untuk membuat
pernyataan tidak akan merubah
status tanahnya. Demikian juga
dengan program BPN,
Redistribusi Tanah dan Sertifikasi
Tanah, haknya menjadi hak milik
perorangan yang dapat diperjual
belikan, dan tidak dapat dikonversi
menjadi hak lain. Seolah olah
masuk dalam lorong gelap yang
tak berhubungan satu sama
lainnya. Padahal kita ketahui
keadaan masyarakat selalu
berubah, kebijakan juga berubah.
Pengalaman di Filipina dalam
program Community Based Forest
Management (CBFM) dapat diikuti
tanpa harus menghentikan usaha
masyarakat mencari kebijakan
kepastian tenure yang lebih cocok
disuatu hari kelak. Pasal khusus
dicantumkan dalam kebijakan
tersebut dikenal dengan Non-
Weaver Clauses , yang
memberikan keleluasaan bagi
penerima manfaat untuk pindah
pada program dengan bentuk
tenure lainnya, jika kelak ada
kebijakan yang mengatur dengan
lebih baik. Ini banyak
berhubungan dengan perjuangan
masyarakat adat untuk
mendapatkan bentuk kepastian
penguasaan yang cocok bagi
masyarakat adat, tanpa harus
terjebak menyerahkan tanahnya
menjadi kawasan hutan negara,
atau memilih menjadi tanah
kepemilikan perorangan. Ini suatu
kebijakan yang perlu ditiru dari
Filipina guna mejawab kebutuhan
masyarakat.
3. Ketidak siapan aparat pemerintah
pusat maupun daerah beserta
sistem pengadminsitrasiannya
termasuk verifikasi atas aplikasi
dan evaluasi kinerja untuk
memberikan pelayanan bagi
rakyat. Ini tercermin dari program
HKm yang disiapkan
kebijakannnya pada tahun 1999
(SK Menhutbun no 622/1999)
berubah hampir setiap tahun
kebijakan umumnya yang berkutat
pada masalah pencadangan areal
. Akan tetapi belum pernah
disiapkan mekanisme administrasi
penerimaan aplikasi, verifikasi dan
sistem evaluasinya. Pada tahun
2001 Pemda Lampung Barat
menyiapkan kebijakan sistem
administrasinya, dan verifikasi.
Tahun 2005 diterbitkan kebijakan
Bupati Lampung Barat yang
mengembangkan perangkat
evalusi kinerja untuk
perpanjangan ijin sementara HKm,
bersama-sama masyarakat
penerima manfaat yang telah
memiliki ijin HKm. Proses ini
menyebabkan calon penerima
manfaat harus berkali-kali
mendatangi kantor-kantor yang
dituju untuk mempercepat proses,
dan bahkan sering pulang dengan
tangan hampa. Kebiasaan ini
lazim bagi pengusaha swasta besar
dalam mengurus perijinannya, dan
tentunya pengusaha tahu betul
bagaimana menghadapi prosedur
yang panjang ini. Tetapi bagi
penerima manfaat petani kecil, ini
merupakan siksaan yang semakin
menghilangkan semangat mereka
mengelola sumber daya alam
berwawasan jangka panjang.
Hambatan ini dapat mematahkan
semangat dan cenderung memilih
kebijakan yang instan dan belum
tentu cocok dengan pola
pengelolaan sumber daya alam
yang dia lakukan.
Penutup
Jika program dijalankan terus tanpa
perbaikan dan perubahan perilaku
pelaksanaanya serta perubahan
kebijakan yang memberikan
kesempatan untuk pindah program,
maka yang terjadi adalah “salah
sasaran” program yang dikenal dengan
Elite Captured. Karena hanya para elit
yang mampu menembus proses
birokrasi yang berbelit belit, dengan
kekuatan modal ekonomi maupun
modal sosialnya, misalnya kedekatan
dengan tokoh-tokoh masyarakat, atau
pejabat yang berwenang.
Diperlukan kesadaran kritis masyarakat
luas tentang bahaya “salah sasaran”
atau elite captured ini karena akses atas
ruang akan masih tetap diperebutkan
antara negara, pelaku usaha dan
bahkan diantara masyarakat itu sendiri.
Sehingga usaha-usaha bersama
(colective) harus dilakukan guna
mengamankan aset-aset tanah/ruang
rakyat. Akses atas tanah /ruang beserta
sumber daya alamnya tidak datang
sendiri tetapi harus diperjuangkan. Jika
pilihan kebijakan belum cocok bagi
masyarakat, ada dua kesempatan:
PERTAMA ikut dengan program yang
ada dan memperjuangkan non weaver
clause atau KEDUA memperjuangkan
kebijakan baru yang cocok dengan pola
penguasaan dan pola pengelolaan oleh
masyarakat dengan konsekuensi
memerlukan proses yang lebih lama.
***
Penulis adalah peneliti ICRAF-SEA
berbasis di Bogor, tenaga pengajar
pada FISIP di Universitas Kristen
Indonesia .
7. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
7
HAK-HAK ADAT, PERENCANAAN PARTISIPATIF
DAN PEMETAAN WILAYAH ADAT
Pengalaman dari Aceh
Oleh : Sanusi M. Syarif (Ketua Badan Pelaksana Yayasan Rumpun Bambu Indonesia)
Pendahuluan
Merujuk kepada sumber-sumber sejarah dan juga fakta yang hidup – berkembang
di dalam masyarakat Aceh, dapat disimpulkan bahwa adat Aceh telah meletakkan
dasar-dasar yang sangat kuat dalam mengatur tatanan hidup masyarakatnya, baik
dalam bidang sosial maupun dalam praktek pengelolaan kawasan/lingkungan.
Hak-Hak Adat Dalam Masyarakat di Aceh
Secara umum dan singkat, hak-hak masyarakat adat di Aceh meliputi:Hak untuk
menguasai dan memiliki kawasan komunalnya, Hak untuk membentuk/netapkan
aturan pengelolaan kawasan (adat-resam), Hak untuk memutuskan hukum, hak
untuk turut serta dalam memutuskan dan menetapkan suatu keputusan yang
berkaitan pengelolaan SDA, serta Hak untuk menyelenggarakan sejenis peradilan
(Djuned 2002: 3).
a. Hak Menguasai dan memiliki Sumber Daya Alam. Baik di daratan
maupun di lautan, seperti kawasan tepi pantai, padang penggembalaan,
hutan, laut, danau, sungai, paya dan kawasan pasang surut
b. Hak Menetapkan aturan pengelolaan kawasan. Meliputi: Tatacara
pemanfaatan, Penetapan kawasan lindung dan penggunaan terbatas,
Penetapan waktu/musim penggunaan, Penetapan cara, teknik
pemanfaatan, Penetapan pihak-pihak yang berhak mengakses dan yang
tidak berhak, Pembatasan hak pemanfaatan (gugurnya hak) dan Hak
Melindungi hak akses (hak jalan, hak jurong).
c. Hak memutuskan hukum. Yaitu dalam hal menetapkan siapa yang
berhak atas sumber daya alam tertentu, dan siapa pula yang tidak berhak,
sesuai dengan adat setempat. Juga dalam hal menetapkan sanksi bagi
pihak yang melakukan pelanggaran adat dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam
d. Hak Turut serta dalam memutuskan suatu keputusan yang berkaitan
pengelolaan SDA. Biasanya terkait dengan pelaksanaan pembangunan
di dalam wilayah masyarakat adat, Hak untuk menerima atau menolak
satu kegiatan pembangunan tertentu di dalam kawasan masyarakat adat,
Hak untuk mempertahankan pola pemanfaatan sumber alam sesuai
dengan adat setempat, Hak untuk menolak pihak lain yang akan
melakukan aktifitas ekonomi tertentu tanpa mendapatkan persetujuan
masyarakat.
e. Hak membentuk peradilan adat. Yaitu, pada tingkat gampong dan
mukim.
8. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
8
a. Di mulai pada tahun 2000
b. 2002 dikembangkan di 5
kampung di pesisir Aceh Besar
c. 2003 dipetakan dua kampung
di Aceh tenggara
d. 2005-2006 pemetaan 15
kampung di Aceh Besar
e. 2007-2008 pemetaan 10
kampung di Aceh Jaya
f. 2007 mengintergrasikan peta-
peta gampong menjadi peta
mukim di Aceh Jaya
g. 2008 penyiapan sosial di
Mukim Lamteuba
h. 2009 pemetaan wilayah
Mukim Lamteuba
i. 2010 melanjutkan pemetaan
Mukim Lampanah (konsolidasi
mukim telah dilakukan sejak
2002-2005)
1. Terdistorsinya pemahaman
masyarakat tentang hak-hak
tradisional mereka ke atas
kawasan hutan
2. Sengketa batas antar gampong
dalam satu wilayah adat
(mukim) atau berbeda mukim
3. Terdistorsinya pemahaman
masyarakat tentang ruang
kelola yang menjadi
wewenang mukim
4. Adanya kebutuhan untuk
penetapan kawasan lindung
berbasis masyarakat
5. Adanya kebutuhan untuk
konsolidasi penataan kawasan
kelola berbasis mukim
a. Konflik batas antar mukim
terjadi di banyak tempat di
Aceh, hampir merata di semua
kabupaten
b. Selain itu ada pula konflik
batas antara kawasan kelola
masyarakat dengan pihak
Pemegang konsesi HPH, HGU
dan HTI.
c. Konflik di kawasan perbatasan
antara kawasan kelola
masyarakat dengan kawasan
yang diklaim berada di bawah
otoritas departemen
kehutanan/dinas kehutanan.
Perkembangan Kegiatan
Pemetaan
Isu Utama dalam Pemetaan
Gampong dan Mukim
Pemetaan Wilayah VS Konflik
Batas Antar Mukim
Perbandingan Pendekataan Pemetaan Berbasis Gampong dan Mukim
Berikut ini adalah perbandingan proses pemetaan berbasis gampong dan mukim
Pemetaan Berbasis Gampong
KELEBIHAN KELEMAHAN
Proses koordinasi lapangan dan
penggunakan waktu yang lebih
singkat
Dapat mendorong desanisasi harta
komunal mukim yang berada dalam
sebuah gampong
Mudah untuk Menghasilkan peta
yang detil/rinci
Hanya Menggambarkan resources
pada tingkat gampong secara individu
Biaya lebih murah Kontra produktif dengan upaya
penguatan masyarakat mukim
Tidak dapat menghasilkan pola
pengelolaan kawasan/lingkungan
yang terpadu dalam satu bentang
alam tertentu
Pemetaan Berbasis Wilayah Adat Mukim (Persekutuan Gampong)
KELEBIHAN KELEMAHAN
Menjadi dasar untuk memelihara
harta komunal mukim dan
pemanfaatannya untuk semua warga
gampong se mukim
Proses koordinasi lapangan dan
penggunaan waktu yang lebih
panjang
Menggambarkan resources pada
tingkat mukim secara terintegrasi
Memerlukan biaya dan energi
yang besar
Dapat menghasilkan pola pengelolaan
kawasan/lingkungan yang terpadu
pada tingkat mukim
Menghasilkan kesepakatan yang kuat
dan mendapatkan dukungan lebih
luas
9. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
9
Pilihan tindakan
a. Untuk keperluan konsolidasi
sumber daya dan upaya
pelestarian lingkungan,
pemetaan wilayah adat
berbasis mukim lebih tepat
digunakan
b. Namun demikian, harus
menggunakan pendekatan
yang “mengalir seperti air”,
dan menghindari pendekatan
“proyek”
c. Pemetaan berbasis mukim
harus didahului dengan
upaya membangun
pemahaman dasar tentang
tatanan adat.
d. kemudian barulah disertai
dengan upaya konsolidasi
dan membangun
kesepakatan.
e. Terakhir barulah aksi
pemetaan lapangan
f. Dengan cara itu, tujuan
pemetaan sesungguhnya
barulah dapat dicapai, yaitu:
sebagai media pencerahan,
pembelajaran, perencanaan
dan perlindungan hak/
jaminan masa depan.
Dengan cara itu itu semua, tujuan
pemetaan sesungguhnya barulah dapat
dicapai, yaitu: sebagai media
p e n c e r a h a n , p e m b e l a j a r a n ,
perencanaan, perlindungan hak dan
jaminan masa depan.
Referensi:
Djuned, T.M. 2002. Hukum adat Aceh,
Gayo dan Alas. Banda Aceh:
Lembaga Adat dan Kebudayaan
Aceh.
Sanusi M. Syarif.2008. Pengalaman
Bersama di Mukim Lampanah
Leungah: Belajar Dari Lembah
Seulawah, Pustaka Rumpun
Bambu. Banda Aceh.
Sanusi M. Syarif. 2008. Menuju
Pengelolaan Kawasan Berbasis
Mukim dan Gampong di Aceh
Rayeuk. JKPP Bogor dan
Rumpun Bambu. Banda Aceh.
Sanusi M. Syarif.2005. Gampong dan
Mukim di Aceh: Menuju
Rekonstruksi Pasca Tsunami”
Pustaka Latin. Bogor.
***
Mengembangkan Inisiatif Baru Untuk Rekonstruksi Mukim
(Beberapa Prasyarat Praktis)
1. Perlu adanya dialog multi pihak untuk membahas komitmen
bersama untuk mendukung proses rekonstruksi mukim
2. Perlu adanya inisiatif yang berimbang (baik oleh masyarakat
mukim, maupun pihak luar)
3. Konsolidasi harus dimulai oleh dan pada tingkat mukim
4. Membangun pemahaman bersama
5. Melakukan kajian bersama
6. Menyepakati ulang tata ruang kawasan mukim, termasuk
menyepakati pembagian ruang kelola antara mukim dan
gampong.
7. Melakukan Pemetaan wilayah mukim
8. Melakukan Perencaan untuk Pengembangan Mukim
9. Melakukan dokumentasi dan pengukuhan kembali adat
setempat
10. Melengkapi dan memperkuat kelembagaan adat
10. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
10
Arsitektur REDD dan Konsekuensinya
Bagi Masyarakat Lokal/Adat
Oleh: Mumu Muhajir (Staf Learning Center HuMa)
RED REDD REDD+ ?
Hutan sebenarnya sudah masuk dalam strategi penurunan pemanasan global
ketika muncul perdebatan soal LULUCF dan menjadi bagian dalam CDM/Clean
Development Mechanism atau Mekanisme Pembangunan Bersih dalam kerangka
Protokol Kyoto. Tapi banyak negara tropis yang tidak terlalu bahagia dengan
peran kecil hutan itu. Dalam CDM misalnya, peran hutan hanya dipandang dalam
segi Aforestasi/Reforestasinya dengan meninggalkan kontribusi hutan yang ada
dalam mitigasi perubahan iklim. Mereka melihat bahwa hutan yang ada
seharusnya diikutsertakan dalam strategi mitigasi global perubahan iklim,
karenanya mempertahankan keberadaan hutan sekarang, baik dari segi luasan
maupun kualitasnya, penting untuk diperhatikan.
Di COP 11 di Montreal, usulan itu muncul dalam bentuk term RED atau Reduc-
ing Emission from Deforestation yang merupakan penerjemahan dari konsep
“avoiding deforestation”. Konsep itu terus menerus berubah. Di COP 13 di Bali,
peran pencegahan kerusakan hutan mengemuka yang kemudian diakomodir
dalam Bali Action Plans dengan nama REDD. Tidak berhenti di sana, REDD
berubah menjadi REDD+ ketika disadari bahwa sumbangan hutan dalam mitigasi
perubahan iklim tidak berhenti pada perubahan dari sisi negatif (avoiding defor-
estation dan degradation) tapi juga dari sisi perubahan sisi positif, seperti
peningkatan stok karbon, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan konservasi
hutan. REDD+ menemui bentuk formalnya ketika dibicarakan di COP 14, Poznan.
Dalam dua tahun ini, kita menyaksikan silih bergantinya berita terkait dengan
hutan, REDD dan perubahan iklim. Ratusan literatur telah dibuat untuk
membicarakan apa REDD, bagaimana dia diimplemetasikan, dari mana dananya,
siapa yang bisa menarik untung, dan seterusnya. REDD menjadi semakin menarik
dibicarakan karena dia diproyeksikan menjadi pengganti komitmen pertama
dalam Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012 atau menjadi bagiam
komplementer dari perjanjian penurunan emisi pasca 2012. Karena itu,
sebenarnya belum ada skema REDD yang didukung dan disepakati oleh
masyarakat internasional. Walaupun belum ada kejelasan di dunia internasional,
tidak berarti tidak ada usaha di tingkat implemetasi yang saling berkompetisi
untuk “meyumbang” pada bentuk skema REDD post-2012 nanti.
Pilot Project REDD
Dengan demikian, pengertian REDD dalam tulisan ini adalah skema pilot project
atau aktivitas uji coba yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi
dan kerusakan hutan di lokasi tertentu. Secara global tercatat sudah ada 109
aktivitas REDD (Wertz-Kanounnikoff and Kongphan-Apirak, 2009) dengan
perincian: 44 buah pilot project yang ditujukan secara langsung untuk mengurangi
emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan (“Demonstration activities”) dan 65
proyek untuk “Readiness activities” yakni kegiatan yang memang ditujukan untuk
membuat kerangka skema REDD.
Indonesia merupakan
Negara yang paling banyak
aktivitas pilot proyek
REDD-nya
11. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
11
Indonesia merupakan Negara yang pal-
ing banyak aktivitas pilot proyek REDD-
nya. Tercatat ada 29 aktivitas REDD
yang sekarang ada di Indonesia yang
bisa dikategorikan ke dalam 3 versi
(Madeira, 2009):
1. Proyek REDD yang dilakukan
dengan cara mengajukan ijin
konsesi hutan (“Model Konsesi”),
seperti IUPHHK Restorasi
Ekosistem atau bentuk ijin konsesi
hutan lainnya.
2. Proyek REDD yang dilakukan
dengan melakukan kerjasama
dengan pemerintah (“Kerjasama
Pemerintah”), seperti KFCP atau
Skema di bawah payung UN-
REDD
3. Proyek REDD yang dilakukan
dengan melakukan kerjasama
dengan para pemilik ijin/lahan
(“Kerjasama Pengguna Lahan”),
misalnya pemrakarsa melakukan
kerja sama dengan pemilik Ijin
HTI, HGU Sawit, Hutan Desa, dst.
Sebenarnya ada satu lagi kategori
namun tidak dimasukkan karena
mereka tidak mencari karbon kredit,
yakni mereka yang melakukan
kerjasama dengan pemerintah untuk
membangun proyek karbon namun
tidak mencari kredit karbon buat
mereka sendiri. Kegiatan ini biasanya
didukung oleh organisasi bilateral atau
NGO.
Model Konsesi dan
Konsekuensinya bagi Masyarakat
Dari 3 kategori pilot proyek itu,
kebanyakan di Indonesia mengikuti
model konsesi (Madeira, 2009). Model
konsesi ini bisa dilakukan dengan
pemrakarsa mengajukan ijin konsesi
baru atau pemilik suatu konsesi
merubah atau menambahkan ke ijin
awalnya usaha-usaha pengurangan
emisi dari deforestasi dan kerusakan
hutan.
Banyaknya model konsesi ini bisa
dicarikan alasannya, pertama, untuk
mencegah terjadinya deforestasi yang
direncanakan. Di Indonesia, deforestasi
lebih banyak terjadi karena aktivitas
yang direncanakan, bisa oleh
pemerintah atau oleh mereka yang
mendapatkan ijin dari pemerintah (lihat
Greenomics, 2009). Mereka
mengajukan ijin di lahan hutan yang
sudah rusak, yang kemudian bisa
dikonversi jadi perkebunan
atauaktivitas pembangunan non-
kehutanan lainnya atau di lahan hutan
lainnya yang menunggu untuk
dikonversi. Kedua, kebijakan
kehutanan Indonesia selalu memihak
pada perusahaan besar. Ketiga, usaha
konservasi yang selama ini dilakukan
di Indonesia selalu gagal atau terhambat
karena adanya ketidaksesuaian dengan
kepentingan aparat pemerintah.
Mengajukan ijin konsesi dapat
meminimalisir intervensi terlalu jauh
dari aparat pemerintah. Keempat,
terkait masalah teknis pembiayaan,
proyek REDD untuk sampai
mendapatkan kredit karbon
memerlukan dana awal yang besar.
Kelima, model konsesi menjamin
kepastian hukum, sesuatu yang sangat
penting dalam REDD yang
dipergunakan untuk menunjukkan
bahwa akses terhadap karbon bisa
dipertahankan sesuai dengan
perjanjian jual beli kredit karbon.
Tapi umumnya sistem konsesi yang
dipakai dalam rencana skema REDD ini
sebenarnya memanggil kembali ingatan
akan apa yang mereka lakukan di
tingkat masyarakat dan lingkungan
hidup. Tidak terhitung berapa banyak
konflik yang merugikan masyarakat dari
adanya sistem konsesi ini. Dari
penemuan awal dari riset yang sedang
kami lakukan, tampaknya masyarakat
mengkhawatirkan praktek REDD akan
sama dengan praktek HPH selama ini.
Mereka akan kembali menghadapi
ketidakbebasan dalam mengakses
hutan atau hanya sekedar menjadi
penonton dan mendapatkan remahan
rente dari proses itu. Belum lagi
masalah ternyata lokasi REDD tersebut
berada di dalam kawasan yang diklaim
masyarakat sebagai wilayah kelola/
adatnya.
Pengalaman selama ini menunjukkan,
klaim itu akan selalu tersisihkan ketika
berhadapan dengan versi lain dari rejim
pemerintah.
Tidak hanya berhenti di sana, model
konsesi dipakai karena tujuannya
adalah mencegah pihak luar
mengkonversi hutan untuk keperluan
di luar urusan konservasi atau
penyimpanan karbon di pohon dan
lahan. Pihak luar ini tidak hanya
perusahaan sawit, tetapi juga
masyarakat sekitar yang dikawatirkan
akan melakukan perambahan.
Pihak pemrakarsa proyek REDD bukan
tidak menyadari peranan penting
masyarakat sekitar hutan (local
shareholder). Mereka selalu
memasukkan faktor keterlibatan
masyarakat dalam proposal REDD-nya.
Mereka menyadari biarpun, misalnya
secara de jure suatu kawasan yang akan
dijadikan pilot proyek REDD itu tidak
dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara
de facto, masyarakat memegang
peranan penting dalam keberhasilan
proyek itu, misalnya di lihat dari sisi
permanence atau leakage. Namun,
dalam pelaksanaannya, sebagaimana
yang kami temukan di lapangan,
masyarakat masih kesulitan untuk
mengetahui “apa sebenarnya” yang
sedang dilakukan oleh para pemrakarsa
itu. Ada pemrakarsa yang datang ke
suatu kampung untuk maksud yang
berbeda jauh dengan maksud
sebenarnya. Awalnya datang dengan
maksud untuk melakukan pendataan
serta pembuatan koridor orang utan,
tapi setelah lama baru ketahuan bahwa
12. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
12
mereka sebenarnya sedang melakukan
assessment soal REDD dan lokasi itu
cocok untuk dijadikan lokasi REDD.
Atau ada pemrakarsa yang menutup diri
ketika ada warga yang bertanya soal-
soal mendasar yang seharusnya
diberitahukan secara terbuka, seperti
soal apa itu REDD, bagaimana
pelaksanaan konkritnya di lapangan,
dst, terlepas dari apakah masyarakat
akan mengerti atau tidak.
Melakukan konsultasi dengan local
shareholder, terutama masyarakat
sekitar hutan, merupakan prasyarat
penting dalam pelaksanaan REDD.
Selanjutnya ada mekanisme Free Prior
Informed Consent (FPIC) yang juga
harus dilakukan agar masyarakat tahu
dan sesadar-sadarnya paham
konsekuensi jika menerima atau
menolak proyek REDD. Kedua hal ini
sudah dimasukkan dalam standar
sertifikasi karbon sebagaimana ada di
dalam Voluntary Carbon Standard
(VCS) dan the Climate, Community and
Biodiversity (CCB) Standards.
Kebanyakan yang dilakukan para
pemrakarsa dalam menentukan lokasi
REDD lebih bersifat “lingkungan”: tipe
pohon, tipe tanah, iklim regional, dan
topografinya. Faktor masyarakat adalah
faktor yan dibicarakan selanjutnya. Ini
juga akan memberikan konsekuensi
lain.
Mengapa Masyarakat rentan?
Masyarakat diperkirakan akan rentan
sebagai dampak jika REDD dilakukan
karena ditunjang sedikitnya dua factor:
[1] Perbedaan besar pandangan antara
masyarakat lokal/Adat dan pemrakarsa
REDD dalam melihat hutan dan
fungsinya; serta [2] insentif REDD
berasal dari luar negeri suatu Negara.
Perbedaan besar pandangan antara
masyarakat lokal/adat dan pemrakarsa
REDD dalam melihat hutan dan
fungsinya. Pengurangan emisi untuk
mencegah dampak yang lebih besar
dari perubahan iklim sekarang lebih
banyak bergerak di tataran elit dan
internasional. Jika dilihat dari sisi siapa
yang paling berkepentingan,
sebenarnya Negara-negara maju yang
terikat dalam Protokol Kyoto-lah
sebenarnya yang palig berkepentingan
dengan adanya REDD. Selain murah,
ia juga menjadi dasar untuk mengajak
Negara berkembang dengan
perekonomian raksasa seperti China
dan India untuk juga memegang beban
pengurangan emisi.
Tujuan pemrakarsa REDD tidak lain
adalah adanya kredit karbon dari hutan
yang bisa diperjualbelikan di tingkat
internasional, jika masuk dalam
kategori Pasar, atau kredit karbon yang
bisa dikompensasikan dengan sejumlah
dana, jika masuk dalam kategori Public
Fund. Tujuan ini bisa jadi tidak akan
sejalan dengan kepentingan masyarakat
sekitar hutan di Negara-negara tropis.
Jembatan itu harusnya dibangun lewat
konsultasi atau program FPIC yang
dilakukan secara benar di lapangan.
Bukan berarti bahwa masyarakat harus
menyesuaikan diri dengan kepentingan
pengurangan emisi itu. Mereka harus
tetap dihormati cara hidupnya,
keberadaan mereka di lokasi, dst.
Hanya saja, usaha untuk membuat
jembatan di antara perbedaan tujuan
bisa diusahakan. Jangan sampai, demi
tujuan pengurangan emisi, masyarakat
diarahkan untuk mengganti livelihood-
nya atau bahkan dipindahkan ke lokasi
lain [biarpun secara tidak langsung
meminta, misalnya, dengan
mengatakan bahwa daerah itu akan
dijadikan taman nasional (plus lokasi
REDD), sebenarnya mengindikasikan
bahwa penduduk di lokasi itu harus
pindah atau makin sengsara karena
hidup di dalam kawasan taman
nasional].
Diarahkannya masyarakat ke tipe
pekerjaan yang tidak lagi bergantung
pada hutan menjadi mimpi besar para
konservasionis yang nampak
dikerjakan dalam program-program In-
tegrated Conservation and Develop-
ment Program (ICDP). Tapi, hanya
sedikit yang berhasil.
Dalam REDD, sebenarnya proses ini
hanya membuat masyarakat tidak
terlibat dalam skema REDD.
Konsekuensinya adalah jika pun
berhasil maka masyarakat tidak akan
mendapatkan ‘kompensasi” dari skema
REDD yang berlangsung disekitarnya
dan justru dia akan dibebani dengan
“cost” tertentu, tergantung pada
bagaimana pemrakarsa memandang
hubungan antara proyeknya dengan
masyarakat tersebut. Ini menjadi
bantahan bahwa REDD bukanlah
skema Payment for Environmental Ser-
vices (PES). Sebaliknya, jika tidak
berhasil, maka justru akan akibatnya
akan mengganggu keberlanjutan
proyek REDD.
Di sisi lain, ada inisiatif yang dikerjakan
oleh pemerintah, sebagai pemilik
hutan, untuk melibatkan masyarakat
dalam skema REDD dengan mengajak
mereka untuk masuk dalam proyek
HTR atau Hutan Tanaman Rakyat.
Sebuah model konsesi tapi lebih
diarahkan untuk rakyat dan skala kecil.
Di satu lokasi di Kalteng, semua warga,
tidak peduli apakah dia punya
kemampuan mengelola pepohonan
atau tidak, dimasukkan ke dalam
kelompok tani dan terbentuk sekitar 75
kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari 5 – 7 kepala keluarga dan
akan mengusahakan lahan seluas 15
hektar/kelompok. Kepala Mantirnya
sampai mengatakan bahwa jika HTR ini
jalan, maka tidak akan ada lagi nelayan,
semuanya akan mengusahakan HTR.
Mereka dijanjikan akan mendapatkan
bantuan pembiayaan sebesar kurang
lebih 8 juta/ha, bantuan bibit, konsultasi
penanaman dan perawatan pohon dst.
Namun HTR dalam benak masyarakat
adalah jalan legal untuk memotong
Dari penemuan awal dari riset yang sedang kami lakukan,
tampaknya masyarakat mengkhawatirkan praktek REDD
akan sama dengan praktek HPH selama ini. Mereka akan
kembali menghadapi ketidakbebasan dalam mengakses hutan
atau hanya sekedar menjadi penonton dan mendapatkan
remahan rente dari proses itu
13. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
13
kayu. Lokasi yang mereka pilih ternyata
adalah lokasi yang masih ada
pohonnya. Mereka menyatakan bahwa
dengan keterlibatan dalam HTR ini,
mereka bisa memotong pohon secara
legal. Masalahnya adalah, tidak ada
pemberitahuan kepada mereka, dalam
skema REDD, pemotongan kayu/
pohon mengandung konsekuensi
terlepasnya karbon, memberi pupuk
terlalu banyak atau peerwatan tanah
yang tidak baik akan berkonsekuensi
pada terlepasnya karbon dan gas rumah
kaca lainnya. Belum ada info
bagaimana soal ini diselesaikan. Dalam
proses awal, masyarakat mungkin
diperbolehkan untuk memotong pohon
demi pembersihan lahan, tapi apa
nasibnya pohon yang mereka tanam:
masih berhakkah mereka atas pohon itu
ketika skema REDD dijalankan?
Insentif REDD berasal dari luar negeri
suatu Negara. Terlihat bahwa
pemerintah seperti berjalan sendiri
dalam mengeluarkan kebijakan soal
REDD atau perubahan iklim.
Hal yang sering terjadi ketika insentif
tidak berasal dari dalam negeri suatu
negera tetapi berasal dari luar negeri.
Insentif REDD tidaklah datang dari
dalam negeri, ia merupakan jalan bagi
terlaksananya offset emisi Negara-
negara maju dengan membeli kredit
karbon yang dijual oleh Negara-negara
pemilik hutan tropis. Insentif yang
datang dari luar negeri ini dapat
melemahkan aspek akuntabilitas
Negara terhadap rakyatnya. “Proyek
lingkungan hidup”, termasuk
perubahan iklim dan REDD, yang
berjalan di Indonesia umumnya
mengalirkan insentif dari luar negeri
dan belum bisa menghidupkan insentif
dari dalam negeri, sehingga rentan
gagal dan kurang mengakomodasi
kepentingan lokal shareholder.
Pada titik ini, menjadi sebuah
keharusan untuk terus menerus
menyuarakan suara masyarakat dalam
perencanaan kebijakan yang terkait
maupun tidak terkait dengan
perubahan iklim atau REDD dan
bahkan menjadikan “perspektif
masyarakat” bersandingan dengan
“perspektif pengurangan emisi”.
Menjadikan keterlibatan masyarakat
tidak hanya dalam tataran formal, tapi
terlibat penuh dalam perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring pilot
proyek REDD.
***
* Tulisan ini sebagai makalah yang
disajikan dalam acara Seminar
“Workshop on Climate Change and
REDD”, Grand Nangroe Hotel - Banda
Aceh, 26 April 2010.
Email: mumu.muhajir@gmail.com
Referensi
Greenomics Indonesia. 2009.
“Menguji” Rencana Pemenuhan
Target Penurunan Emisi Indonesia
2020 dari Sektor Kehutanan dan
Pemanfaatan Lahan Gambut. Kertas
Kebijakan. Jakarta, Indonesia:
Greenomics Indonesia.
Madeira, Erin Myers. 2009. REDD in
Design: Assessment of Planned First-
Generation Activities in Indonesia,
RFF Discussion Paper 09-49,
Washington D.C: Resources for the
Future
Wertz-Kanounnikoff, Sheila, and
Meta Kongphan-Apirak. 2009.
Emerging REDD+: a preliminary
survey of emerging demonstration
and readiness activities. CIFOR
Working Paper No 46. Bogor,
Indonesia: Center for International
Forestry Research.
Bukan berarti bahwa
masyarakat harus
menyesuaikan diri dengan
kepentingan pengurangan
emisi itu.
Mereka harus tetap
dihormati cara hidupnya
14. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
14
PEMETAAN PARTISIPATIF
Desa Talang Ratu
Oleh : R. Nursidi & Adi Syaputra *
Pengantar
Kabupaten Lebong merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu.
Kabupaten Lebong merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong.
Kabupaten Lebong cukup unik, yakni hampir 70 % wilayahnya masih tergolong
hutan perawan (virgin forest). Sebagian besar wilayah Kabupaten Lebong
merupakan kawasan hutan/kawasan konservasi.
Kabupaten Lebong, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari kawasan
konservasi, dibentuk berdasarkan UU No. 39 tahun 2003; hasil pemekaran dari
Kabupaten Rejang Lebong. Luas kabupaten ini adalah 192.924 ha. Berdasarkan
Keputusan Gubernur Bengkulu — hasil Pemaduaserasian antara Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi
Bengkulu dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 420/kab-II/1999 tentang
penunjukan kawasan hutan — setelah diproyeksikan pada setiap kabupaten/kota
di Provinsi Bengkulu maka Kabupaten Lebong memiliki kawasan hutan seluas
134.834,55 ha (69,88%) dengan pembagian sebagai berikut: 20.777,40 ha
(10,76%) hutan lindung, 111.035 ha (57,55%) Taman Nasional Kerinci Sebelat,
3.022,15 ha (1,56%) suaka alam, serta areal permukiman dan peruntukan lain
sekitar 58.089,45 ha (30,10%). Secara geografis, wilayah Kabupaten Lebong
berada pada ketinggian antara 100 – 1000 m dari permukaan laut, dengan wilayah
seluas 171.719 ha (89%) berada pada ketinggian e” 500 m dpl. Ini menunjukkan
bahwa sebagian besar wilayah Lebong berada di dataran tinggi, yang berarti juga
tingginya potensi rusak (erosivitas) air limpasan (run off). Kondisi topografi Kab.
Lebong bergelombang sampai berbukit; wilayah dengan kelerengan e” 40 °
meliputi areal seluas 122.735 ha (63,80%) dari seluruh wlayah Kabupaten Lebong.
Melihat kondisi geografis Lebong yang seperti itu, dengan berbagai variasi konflik
pemanfaatan lahan yang ada di dalamnya, sangatlah sulit tentunya mengharapkan
model pembanguan yang ideal tanpa adanya proses penataan ruang yang
partisipatif dan berbasis kerakyatan. Atas dasar ini dan dengan keinginan tulus
untuk mewujudkan kedaulatan masyarakat, minimal pada wilayah kelola mereka
sendiri, maka dilakukanlah kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah Desa Talang
Ratu Kecamatan Rimbo Pengadang sebagai langkah awal membangun proses
tranformasi pemetaan kepada masyarakat yang ada di Kabupaten Lebong.
Wilayah kelola
masyarakat yang selama
ini digunakannya untuk
bertani dan berkebun
kemudian diklaim
secara sepihak menjadi
tanah negara;
berubah nama menjadi
hutan lindung dan
taman nasional
15. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
15
Pra Pemetaan
Sebagaimana banyak desa di tepian
kawasan hutan yang lain, Desa Talang
Ratu telah kenyang dengan berbagai
represi aparat keamanan, akibat konflik
pemanfaatan lahan antara masyarakat
dengan Negara. Wilayah kelola
masyarakat yang selama ini
digunakannya untuk bertani dan
berkebun kemudian diklaim secara
sepihak menjadi tanah negara; berubah
nama menjadi hutan lindung dan taman
nasional. Puncak kemarahan
masyarakat Talang Ratu adalah adalah
terjadinya pembakaran pondok (rumah)
masyarakat Talang Ratu oleh Polisi
Kehutanan (Polhut) pada tahun 2005
Masyarakat dituduh melakukan
pembalakan liar di dalam kawasan
hutan lindung sehingga Polhut
melakukan tindakan represif, yakni
dengan melakukan penangkapan
beberapa masyarakat yang membuka
areal di hutan lindung, skaerta
melakukan pembakaran dan
pemusnahan pondok-pondok
masyarakat. Melihat tindakan represif
Polhut tersebut, masyarakat
menyikapinya dengan marah dan
anarkis. Salah satu Polhut dipukul dan
dibacok telinganya.
Klaim sepihak Negara atas wilayah
kelola masyarakat masih terus
berlangsung. Sebagian persaawahan
masyarakat dianggap “masuk” wilayah
Taman Nasional Kerinci Sebelat. Hal
ini membuat masyarakat semakin
kwatir. Masih banyak lagi kasus konflik
pemanfaatan lahan lain yang terjadi di
Desa Talang Ratu.
Sangat disayangkan mengapa konflik
ini harus terjadi yang sebenarnya
merugikan kedua belah pihak.
Kerugian terbesar tentunya dirasakan
oleh masyarakat Desa Talang Ratu.
Posisi tawar masyarakat dalam
mengurus sumberdaya alam ternyata
lemah; padahal mereka mengolah
tanah adat yang telah diwarisinya
secara turun-temurun.
Yang lebih parah lagi adalah bahwa
kerusakan hutan lindung dan kawasan
hutan lainnya disebabkan oleh
masyarakat yang melakukan
pembalakan hutan secara liar.
Masyarakat dijadikan kambing hitam
atas kerusakan yang terjadi di kawasan
hutan lindung. Inilah yang menjadi latar
belakang dilakukannya pemetaan
partisipatif di Desa Talang Ratu ini.
Masyarakat ingin memperjelas wilayah
hidup yang telah diwarisinya tersebut.
Proses Pemetaan Partisipatif
Melalui komunitas adat Jurukalang
Suku Rejang pada pertengahan bulan
Februari tahun 2006 masyarakat Desa
Talang Ratu berkomunikasi dan
meminta fasilitasi kepada Yayasan
Kelopak Bengkulu, agar wilayah
desanya dipetakan. Hal ini dilakukan
guna menjawab keraguan masyarakat
akan wilayah kelola yang seharusnya
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Berdasarkan Paduserasi antara RTRW
dengan TGHK Provinsi Bengkulu dan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 420/
kab-II/1999 tentang penunjukan
kawasan hutan diketahui bahwa luas
wilayah Desa Talang Ratu adalah 1150
Ha.
Namun berdasarkan penggalian data,
informasi, dan proses survey pemetaan
partisipatif dilakukan — berdasarkan
kesepakatan adat serta informasi yang
diwariskan secara turun temurun
kepada masyarakat Desa Talang Ratu
— diketahui bahwa luas wilayah Desa
Talang Ratu secara keseluruhan adalah
5648, 430 ha. Klasifikasi tata guna
lahan Desa Talang Ratu adalah sebagai
berikut: Sawah dengan luas 221,532
ha, Kebun Masyarakat dengan luas
2223,059 ha, Kawasan Hutan Lindung
(HL. Rimbo Pengadang) 1425,209 ha,
Belukar dan Eks. Kebun Masyarakat
1653,744 ha, Luas Mukim penduduk
124,886 ha (dimana teridiri area
pemukiman penduduk , Luasan Sungai
(Sungai Ketahun) dan, Luasan area jalan
dan di Desa Talang Ratu juga terdapat
kawasan HAS Danau tes yang masuk
ke wilayah desa seluas 311,700 Ha.
Masyarakat Desa Talang Ratu berharap
agar dengan pemetaan partisipatif
menjadi jelas lah wilayah kelola dan
pemanfaatan masyarakat yang telah
diwarisinya secara turun-temurun.
Masyarakat berharap bisa mengakses
dan memanfaatkan wilayah mereka
tanpa rasa takut.
Konflik Keruangan
Pada mulanya masyarakat Desa Talang
Ratu cukup bebas memanfaatkan
wilayah kelola yang telah diwarisinya
secara turun-temurun. Tetapi berbagai
aturan yang dibuat oleh Negara —
seperti padu serasi antara RTRW dan
TGHK – ternyata telah menghalangi
akses masyarakat terhadap wilayah
kelolanya sendiri. Pemerintah secara
semena-mena telah menjadikan
wilayah kelola masyarakat Desa Talang
Ratu menjadi hutan lindung dan
kawasan konservasi.
Bahkan pada tahun 2005 Dinas
Kehutanan Kabupaten Lebong juga
melakukan pemasangan patok batas
kawasan hutan di wilayah kelola
masyarakat. Proses ini kemudian
dilanjutkan dengan pengusiran
masyarakat besar-besaran dari lahan
kebunnya yang dianggap telah masuk
kawasan hutan. Masyarakat ketakutan
dan resah akibat kejadian pengusiran
ini. Kebijakan Dinas Kehutanan –
melakukan klaim sepihak atas kawasan
hutan dan kemudian melakukan
pengusiran masyarakat dari lahannya
– merugikan ekonomi masyarakat Desa
Talang Ratu.
16. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
16
Berdasarkan pemetaan partisipatif
diketahui bahwa ada 5648,430 ha
wilayah desa yang seharusnya dapat
dimanfaatkan masyarakat Desa Talang
Ratu; tetapi secara sepihak telah
ditetapkan menjadi hutan lindung dan
hutan suaka alam (HSA) Danau Tes.
Maka tertutuplah akses masyarakat
untuk memanfaatkan hutan tersebut.
Jika dinilai secara kuantitatif, maka
kerugian yang diderita masyarakat
karena adanya perubahan fungsi
kawasan kelola ini adalah sebagai
berikut. Satu hektar kebun dapat
menghasilkan 5 ton kopi per tahun
dengan harga jual kopi 12.000 rupiah
per kilogram. Jika dikalikan dengan
jumlah luasan wilayah yang beralih
fungsi menjadi kawasan hutan, maka
kerugian masyarakat Desa Talang Ratu
mencapai 123.000.000.000 per tahun.
Di dalam penyelenggaran hutan,
berdasarkan pasal 2 UU No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, disebutkan
bahwa penyelenggaraan hutan di
Indonesia meliputi asas-asas: (1) asas
manfaat dan lestari, (2) asas
kerakyatan dan keadilan, (3) asas
kebersamaan, (4) asas keterbukaan,
dan (5) asas keterpaduan. Namun
kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah di Desa Talang Ratu
malahan bertentangan dengan asas-
asas peraturan ini.
Pemetaan partisipatif yang dilakukan di
Desa Talang Ratu memberikan harapan
pada masyarakat untuk mendapatkan
keadilan dalam pengelolaan kawasan
hutan. Di sisi lain, gambaran konflik
ruang yang terjadi di Desa Talang Ratu
ini juga terjadi di hampir seluruh
wilayah Kabupaten Lebong, mengingat
wilayah Kabupaten Lebong merupakan
wilayah yang diapit oleh taman
nasional dan hutan lindung. Masih
dibutuhkan proses yang panjang untuk
membangun suatu pemahaman
bersama dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah.
***
Catatan :
* Staff Pemetaan Yayasan Kelopak
Bengkulu
** Pemetaan partisipatif dilakukan
pada bulan Maret 2006
Dengan gambaran ini terlihat dengan
nyata bahwa kebijakan pemerintah
menetapkan kawasan secara sepihak
sangat merugikan masyarakat Desa
Talang Ratu. Tetapi, di sisi lain,
memang ada kebutuhan untuk
melestarikan hutan tersebut. Oleh
karena ini dibutuhkan suatu formulasi
kesepakatan bersama – antara
masyarakat dan pemerintah — yang
dapat mengakomodir kepentingan
bersama antara masyarakat dan
pemerintah.
Pemetaan partisipatif yang
dilakukan di Desa Talang
Ratu memberikan harapan
pada masyarakat untuk
mendapatkan keadilan
dalam pengelolaan
kawasan hutan
17. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
17
PERENCANAAN
DAN PEMETAAN LAHAN KELOLA
Di Sarimukti
Oleh: Restu Achmaliadi *
Lahan Garapan Lahan Sengketa
Sarimukti adalah salah satu desa di Kec. Pasir Wangi, Garut, Jabar. Letaknya
sekitar 40 km dari Garut; ke arah barat daya kota Garut. Ada lebih dari 5000
jiwa warga yang menghuni Sarimukti; terdapat sekitar 1700 rumah untuk tempat
tinggal. Dengan total luas lahan milik yang hanya sekitar 590 hektar, maka banyak
penduduk di Sarimukti yang tidak memiliki tanah, dan menggantungkan nafkah
hidupnya menjadi buruh tani. Kekurangan tanah ini tidak hanya terjadi sekarang
saja, tetapi telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Sarimukti terletak di
lereng Papandayan. Meskipun keseluruhan desa berlereng-lereng curam, tetapi
tanah di Sarimukti sangat subur. Sebagian besar tanah di Sarimukti diusahakan
untuk kebun sayur; sisanya – sekitar 30% — diusahakan untuk sawah tadah hujan.
Bagian barat Sarimukti adalah lereng Papandayan yang sangat subur. Sebelum
kemerdekaan, sebagian lereng ini dikonsesikan (Ehrpacht) oleh Belanda untuk
tanaman Kina kepada N.V. Kina Cultuur Mjo Chinchona. Ketika Belanda “diusir”
oleh tentara Jepang, perkebunan ini terlantar. Masyarakat Sarimukti dan sekitarnya
telah memanfaatkan lahan bekas perkebunan kina ini sejak perkebunan ini
ditelantarkan, baik untuk tanaman padi maupun sayuran.
Lahan bekas perkebunan ini bahkan sebagian telah diredistribusikan kepada
masyarakat (obyek landreform) pada tahun 1970-an. Akan tetapi — melewati
prosedur yang tidak terlalu jelas — bersamaan dengan keberadaan Perhutani
Unit III di Jawa Barat pada tahun 1978, sebagian lahan bekas perkebunan kina
yang lain telah berubah menjadi hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani
Unit III.
Pengalihan status sebagian bekas perkebunan ini menjadi kawasan hutan
menimbulkan konflik dengan dengan masyarakat penggarap.
Pada tahun 1970-an para penggarap di lahan garapan ini memohon kepada
pemerintah agar lahan garapan ini, sebagaimana lahan yang lain, bisa menjadi
obyek landreform juga.
Proses mediasi, pada waktu itu, telah berlangsung. Tetapi sampai saat ini hasilnya
tidak jelas. Tuntutan masyarakat penggarap ini kelihatannya berlalu begitu saja,
sementara itu Perum Perhutani terus bekerja di lahan garapan ini.
Setelah reformasi 1998, penggarapan di lahan bekas perkebunan kina – yang
telah diakui sebagai kawasan hutan – semakin marak. Terdapat lebih dari 250
keluarga dan 23 kelompok yang menggarap di lahan ini. Perum Perhutani merasa
keberatan terhadap keberadaan para penggarap ini, tetapi para penggarap – yang
merasa lahan itu merupakan bekas perkebunan dan bukan kawasan hutan – tidak
peduli terhadap keberatan Perhutani.
* Anggota Individu JKPP, tinggal di Bogor
18. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
18
Operasi Wanalaga Lodaya
Setelah reformasi 1998, Pemerintah
Indonesia membuat kesepakatan
dengan International Monetery Fund
(IMF – lembaga keuangan internasional
yang “membantu” krisis ekonomi)
tentang langkah-langkah untuk
mengatasi krisis ekonomi di Indonesia.
Salah satu butir kesepakatan itu adalah
upaya untuk mengatasi pembalakan liar
(illegal logging) yang dianggap telah
menghancurkan sumberdaya hutan
Indonesia. Untuk melaksanakan butir
kesepakatan tentang pengatasan
pembalakan liar ini, Departemen
Kehutanan (Dephut) meluncurkan
proyek memberantas pembalakan liar
di 4 provinsi, yakni Provinsi Kalimantan
Barat, Provinsi Kalimantan Tengah,
Provinsi Lampung, dan Provinsi Jawa
Barat. Di Jawa Barat proyek ini
diwujudkan dalam bentuk “operasi
pembalakan liar” yang kemudian
disebut dengan Operasi Wanalaga
Lodaya. Operasi ini dilaksanakan di
Kabupaten Garut, karena Garut
“dianggap” sebagai wilayah yang
kegiatan pembalakan liarnya pasca
reformasi sangat tinggi.
Operasi Wanalaga Lodaya – proyek
Dephut – di Garut dilaksanakan pada
tahun 2002 oleh Kepolisian Daerah
(Polda) Jabar, bekerja sama dengan
Dewan Pemerhati Kehutanan dan
Lingkungan seTatar Sunda (DPKLTS),
sebuah LSM yang berpusat di Bandung.
Proyek operasi ini bernilai 500 juta
rupiah; melibatkan, paling tidak, 100
orang aparat kepolisian dari Polda
Jabar. Operasi Wanalaga Lodaya,
tepatnya, dilakukan di Cagar Alam
Sancang (Garut Selatan) dan di areal
yang “dianggap” kawasan hutan di
lereng Papandayan.
Lahan garapan warga Sarimukti, yang
statusnya masih merupakan lahan
sengketa antara masyarakat dan
Perhutani, termasuk menjadi sasaran
operasi ini.
Operasi Wanalaga Lodaya –
memberantas illegal logging – di lereng
Papandayan (khususnya di lahan
garapan masyarakat Sarimukti)
sangatlah salah sasaran. Karena
masyarakat Sarimukti bukanlah
perambah hutan, tetapi mereka
menggarap tanah bekas perkebunan
kina yang seharusnya di luar
wewenang Departemen Kehutanan.
Operasi ini membuat masyarakat
Sarimukti ketakutan, karena polisi
bersenjata lengkap bersliweran di
kampung-kampung Sarimukti, mencari
dan menangkap orang-orang yang
dianggap para perambah hutan.
Sebagian besar penggarap diinterogasi
dan diintimidasi, sebagian penggarap
ditahan, dan satu orang penggarap
dipenjarakan.
Operasi Wanalaga Lodaya jela-jelas
melanggar hak asasi manusia. Operasi
Wanalaga Lodaya membuat OTL
Sarimukti pecah dan tidak
berfungsi,karena cerai berainya para
anggota serta rasa saling curiga di antara
para anggota; meskipun ini hanya
untuk sementara waktu. Para warga
Sarimukti tidak akan pernah melupakan
operasi kepolisian yang sangat
menakutkan ini.
Pemetaan dan Rencana Kelola
Lahan Garapan
Lahan garapan Organisasi Tani
Lapangan (OTL) Sarimukti merupakan
areal berbukit-bukit, berlereng
curam,serta terletak pada ketinggian
antara 1500 – 1900 meter dari
permukaan laut. Kondisi dan
ketinggian lahan yang seperti ini
merupakan tantangan bagi OTL
Sarimukti untuk membuktikan bahwa
mereka mampu menjaga fungsi lindung
areal lahan garapan, di samping
mendapatkan manfaat ekonomi dari
lahan ini. Terjaganya fungsi lindung
areal ini akan menyediakan sumber air
yang cukup untuk daerah di bawahnya,
serta akan menjaga kesuburan tanah di
areal ini sendiri.
Pada ketinggian lahan seperti ini
menyebabkan terbatasnya pilihan jenis-
jenis tanaman pertanian yang bisa
dibudidayakan. Sebagian besar
tanaman buah-buahan tidak akan
menghasilkan buah pada ketinggian
seperti ini. Tanaman-tanaman palawija
juga sulit untuk tumbuh baik di lokasi
dengan ketinggian seperti ini. Praktis
hanya sayuran dan kopi yang bisa
dibudidayakan di daerah dengan
ketinggian seperti ini. Para petani harus
terus mencari tanaman-tanaman yang
cocok dengan ketinggian seperti ini;
yang bernilai ekonomi memadai serta
memiliki fungsi lindung yang baik.
Tantangan lain yang dihadapi oleh OTL
Sarimukti adalah ketidakpastian status
lahan garapan. Sejak tahun 70-an
masyarakat telah memohon kepastian
atas lahan garapan, tetapi sampai
sekarang permohonan itu tidak karuan
timbanya; bahkan lahan garapan itu
telah diklaim oleh Perhutani sebagai
kawasan hutan. Sangatlah sulit
menerima tanggung jawab mengelola
suatu areal sementara tidak ada
kepastian hak atas tanah itu.
Berbagai masalah itu tidak mengurangi
semangat OTL Sarimukti untuk
menggarap lahannya dengan baik.
Pada tanggal 20 Desember 2007 OTL
Sarimukti memutuskan untuk
memperjelas rencana pengelolaan
lahan garapan.
Inti dari pertemuan ini adalah beberapa
tahapan kegiatan:
1. pemetaan partisipatif lahan
garapan secara global;
2. pendataan ulang para penggarap
/ anggota OTL dan luas lahan
garapannya;
3. membuat proyeksi dan
persiapan lahan desa untuk
rumah orang jompo;
4. membuat pengukuran rincikan
tanah untuk warga yang
menggarap Wahi yang akan
dipindahkan, karena lahan Wahi
akan dipergunakan untuk
sekolahan;
5. membuat proyeksi dan
persiapan lahan Wahi untuk
sekolah lanjutan atas;
6. membagi garapan kembali
sehingga menjadi lebih adil.
Sebagai tindak lanjut pertemuan ini,
antara tanggal 7 dan 22 Januari 2008
diselenggarakan pemetaan partisipatif
lahan garapan secara global. Pemetaan
ini merupakan langkah permulaan
dalam mengelola lahan garapan secara
lebih baik. Peta global lahan garapan
yang dihasilkan akan dijadikan acuan
untuk mengatur lahan garapan. Peta
lahan garapan juga bisa dipergunakan
untuk alat advokasi pada tahap
berikutnya.
19. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
19
Berdasarkan hasil pemetaan, luas
garapan OTL Sarimukti adalah 165,5
hektar. Dengan jumlah penggarap
sekitar 250 orang maka setiap
penggarap – apabila dibagi secara rata
– bisa menggarap lebih dari 0,5 hektar.
Tetapi untuk memberikan lahan
garapan yang adil merupakan persoalan
tersendiri yang harus diatasi oleh OTL
Sarimukti pada masa mendatang. Ada
beberapa temuan menarik selama
penyelenggaraan pemetaan ini.
Pertama, masih ditemukan tangkal (akar
tersisa) dari pohon-pohon kina di lahan
garapan OTL Sarimukti. Ini makin
menguatkan klaim masyarakat, bahwa
yang digarap masyarakat adalah bekas
perkebunan kina, dan bukan kawasan
hutan. Fakta ini seharusnya
diformulasikan lebih lanjut agar
menjadi argumen yang terstruktur dan
bisa mendukung klaim masyarakat
Sarimukti.
Kedua, masyarakat Sarimukti sangat
beruntung, karena memiliki lahan
garapan yang sangat subur; sebagian
besar tanah di Sarmukti adalah lapukan
debu vulkanik Papandayan. Akan
tetapi lahan desa Sarimukti terletak di
lereng-lereng yang curam.
Mempertahankan kesuburan tanah
akibat erosi adalah tantangan besar
yang dihadapi para penggarap
Sarimukti di masa mendatang.
Proses penggarapan lahan ini harus
terpimpin dengan baik; harus ada
keseimbangan antara fungsi produksi
dan fungsi lindung terhadap tanah dan
air.
Penutup
Pemetaan partisipatif lahan garapan
Sarimukti merupakan langkah awal
menuju pengelolaan lahan garapan
yang lebih baik; seimbang antara fungsi
lindung dan fungsi budidaya. Paraga
penggarap di Sarimukti harus memiliki
rencana kelola yang lebih detil, serta
menerapkan rencana kelola itu dengan
konsisten. Para anggota OTL Sarimukti
harus bisa membuktikan bahwa mereka
bisa mengelola lahan di daerah
berlereng curam dengan baik.
Untuk bisa mengelola lahan dengan
baik, para penggarap perlu
meningkatkan kerjasama di antara para
anggota. Karena itu pembagian lahan
garapan harus lebih adil sehingga tidak
ada jarak lagi antara petani kaya dan
petani miskin.
***
20. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
20
Forum AVATAR,
Upaya Menuju Partisipatif Publik
Dalam Penataan Ruang
Latar Belakang
Semenjak pengesahan Undang-undang No. 26 tahun 2007 hingga saat ini masih
banyak aturan turunannya belum diselesaikan oleh pemerintah. Begitu pula
mandat lainnya seperti revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi /
Kabupaten yang harus diselesaikan dua dan tiga tahun setelah UU tersebut
disahkan. Beberapa provinsi sudah membuat usulan revisi, ada yang sudah
hampir di sahkan menjadi perda namun ada juga yang menjadi polimek sampai
ketingkat nasional seperti RTRW Provinsi Kalimantan Tengah dan Riau. RTRW
Nasional telah selesai dibuat (PP No. 26 tahun 2008), namun Perpres RTR
Pulau saat ini masih dalam proses penyusunan.
Kebijakan Penataan Ruang seperti RTRWN, RTR Pulau, sampai RTRW
Kabupaten merupakan dasar dalam proses pembangunan wilayah. Melalui
kebijakan penataan ruang yang baik, pelaksanaan pembangunan, khususnya
pemanfaatan ruang menjadi lebih teratur dan juga dapat melindungi
kepentingan orang banyak. Namun begitu, sebagai sebuah produk politik,
kebijakan penataan ruang sarat kepentingan politik yang menimbulkan
perdebatan tajam sejak disusun dan juga berpotensi konflik ketika
diimplementasikan.
Dalam menjamin penyelenggaraan Tata Ruang dalam mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Adapun
asas – asas yang menjadi dasar dalam penataan ruang guna mencapai tujuan
dalam penyelanggaraan tata ruang itu, ialah :
1. Keterpaduan
2. Keserasian, Keselarasan dan keseimbangan
3. Keberlanjutan
4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan
5. Keterbukaan
6. Kebersamaan dan kemitraan
7. Perlindungan kepentingan umum
8. Kepastian hukum dan keadilan
9. Akuntabilitas
Semangat dalam partisipatif publik dalam proses penyelenggaraan penataan
ruang serta untuk memperbaiki kondisi tata ruang melalui inisiatif lokal
mewujudkan suatu Forum yang diberi nama Forum Advokasi Penataan Ruang
(Avatar). Forum ini merupakan sarana komunikasi dan melakukan advokasi
kebijakan penataan ruang oleh CSO, dimana sebagai wadah sharing informasi
dan melakukan perbaikan dalam penyelanggaraan tata ruang di suatu wilayah.
Untuk itu dalam perjalanan Forum Komunikasi dilakukan beberapa kegiatan
yang akan diceritakan prosesnya dalam ringkasan ini.
Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang mengharuskan
setiap kebijakan, rencana
dan program, termasuk
Rencana Tata Ruang,
harus disertai dengan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS)
21. ACCESS TO LAND
(Akses rakyat terhadap ruang)
KABAR
JKPP
21
Diskusi Terbuka “Tantangan
Kebijakan Penataan Ruang
Terhadap Jaminan Kesehateraan
Rakyat”
Kebijakan penataan ruang berdasarkan
mandat UU. No 26 tahun 2007 seperti
tertuang dalam pasal 7(1) “Negara
menyelenggarakan penataan ruang
untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Jadi sudah jelas sebenarnya
dasar penentuan atau pembuatan
kebijakan penataan ruang. Namun
pertanyaannya apakah RTRW yang telah
dibuat sudah mengarahkan pola dan
struktur ruang untuk kemakmuran rakyat?
Tentunya perlu dicermati oleh kita
semua. Salah satu yang ingin diwujudkan
dalam kebijakan penataan ruang adalah
perlindungan terhadap fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif lingkungan
hidup akibat pemanfaatan ruang. Jangan
sampai RTRW malah menjadi pemicu
bencana ekologis akibat fungsi
perlindungan lingkungan hidup tidak
terwujud.
Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang mengharuskan
setiap kebijakan, rencana dan program,
termasuk Rencana Tata Ruang, harus
disertai dengan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS). KLHS ini diharapkan
menjadi rambu agar setiap kebijakan
yang dibuat pemerintah dilandasi atas
kajian dampak strategis pada lingkungan
hidup.
Melihat tantangan kedepan kebijakan
penataan ruang, Pusat Pengkajian
Perencanaan dan Pengembangan
(P4W), JKPP, CAPPA dan beberapa
NGO di Jakarta – Bogor menginisiasi
adanya diskusi terbuka mengenai
kebijakan penataan ruang. Diskusi
terbuka yang bertema kan ‘Tantangan
Kebijakan Penataan Ruang Terhadap
Jaminan Kesehateraan Rakyat”
dilaksanakan di Aula A. Baehaqie
Gedung P4W Kapus IPB Baranangsiang
pada hari Rabu, 7 Januari 2010. Dari
diskusi terbuka ini diharapkan akan
terungkap fakta-fakta umum yang
berkaitan dengan penataan ruang,
rumusan strategi advokasi penataan
ruang untuk menjawab fakta-fakta yang
berkaitan dengan penataan ruang,
Pembagian peran dan kelembagaan
dalam mengawal stategi advokasi
penataan ruang dan Penyusunan
Agenda prioritas yang harus ditindak
lanjuti dalam waktu dekat berkaitan
dengan permasalahan penataan ruang.
Rekomendasi
Diskusi Terbuka “Tantangan Kebijakan Penataan Ruang
Terhadap Jaminan Kesehateraan Rakyat”
1. Diketemui model penguasaan dalam penataan Ruang,
yaitu memalui Tata Kuasa – Tata Guna – Tata Produksi –
Tata Konsumsi dalam setiap kondisi untuk menjamin
keselamatan rakyat, produktifitas rakyat, keberlanjutan
layanan alam;
2. Target advokasi akan dilakukan kepada PU melalui Tata
Ruang Nasional dan Pemda (revisi RTRW) maupaun dalam
penyelenggaraan dan pengawalan Tata Ruang;
3. Terdapat beberapa peluang yang bisa dilakukan intervensi
di dalam melakukan advokasi penataan ruang, yaitu
melalui penyusuna tata ruang (revisi RTRW), Prolegnas,
KLHS sebelum RTRW di sahkan.
4. Wadah koordinasi sebagai tempat koordinasi – pertukaran
informasi – saling belajar tentang Tata Ruang; sebagai
perwujudan dari mengkoordinasikan dan
mengkomunikasikan proses TR di nasional ke daerah dan
sebaliknya, mendorong proses resolusi konflik ruang,
melakukan lingkar2 belajar TR, melakukan monitoring
implementasi penataan ruang — intervensi di
pengendalian; dengan sebagai Host: JKPP
Diskusi lanjutan pun dilakukan dalam
memantapkan keberadaan Forum
Komunikasi dan Advokasi Tata Ruang
(Forum Avatar), dengan disusun
berbagai perencanaan, diantaranya :
A. Tim Kerja Advokasi Tata Ruang
Pembentukan tim kerja advokasi
tata ruang ini, telah direncanakan
pada pada Februari 2010 yang
perlu ditindak lanjuti di antaranya:
a. JKPP diminta untuk
menyusun agenda Forum
kerja tata ruang
b. Menyusun rencana kerja ke
depan dalam melakukan
advokasi tata ruang
c. Rencana pertemuan dengan
Dirjen Penataan Ruang
B. Sharing Informasi :
a) Di Sulawesi Selatan telah ada
Pokja Tata Ruang Sulsel.
Pokja ini sekarang melakukan
pengkajian dokumen Tata
Ruang dan perlu adanya
update nasional ke daerah
terkait dengan status RTRW di
setiap wilayah;
b) Hubungan antara Perguruan
Tinggi yang lebih pada
konseptual dan NGO yang
menguasasi advokasi sangat
dibagus dalam melakukan
advokasi bersama pada penataan
ruang;
c) Trend Kebijakan yang
berkembang sekarang lebih
cepat, dibandingkan dengan
turunan dari UU Penataan
Ruang, seperti PP No.26/2007,
PP No. 26/2008, PP No. 15/
2010, UU No. 32/2009; PP tahun
2010 mengenai wilayah hutan
lindung untuk perencanaan
pertambangan;
d) Status RTRW Provinsi sekarang
di tingkat nasional secara
substansi sudah ada 10 RTRW
yang telah di setujui, 14 RTRWP
pada tahap proses, dan 9 RTRWP
tahap revisi.
e) UU Keterbukaan Informasi
Publik yang akan di undangkan
pada bulan April nanti, bisa
22. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
22
menjadikan suatu langkah kita
mendapatkan beberapa informasi
dan dokumen penataan ruang,
dapat dijadikan sebagai proses
pengawalan kebijakan penataan
ruang;
f) Masih banyak kawasan hutan
yang belum di tata batas dan
kawasan perijinan perkebunan –
pertambangan yang berpotensi
melanggar kebijakan penataan
ruang;
g) Deptan melalui Dirjenbun
mencanangkan pengembangan
perkebunan kelapa sawit di
Indonesia hingga tahun 2010
mencapai 9 juta Ha, sampai 2009
sudah ada sekitar 7 juta Ha dan
akan di kembangkan lagi sisanya
yang 2 juta Ha pada tahun 2010
ini;
h) Sekitar 8,9 juta Ha akan
dilepaskan statusnya oleh
Departemen Kehutanan, dimana
4,7 juta Ha baru ditanami dan 2,4
juta Ha berstatus HGU, dan dalam
10 tahun ke depan akan
dilepaskan seluas 420.000 Ha/
pertahun;
i) Bupati mengetahui proses
perijinan yang berada di kawasan
hutan, dimana setiap program
antar departemen dan dinas
melalui sepengetahuan dari
Bupati mengenai status kawasan,
pekembangan otonomi
Kabupaten baru bisa
menyebabkan kesimpangsiuran
tata batas dan status kawasan.
Maka juga diperlukan suatu uji
publik investasi per sektor oleh
Pemkab kepada publik.
j) Banyak model dalam
pengembangan status kawasan
hutan, dimana banyak wilayah-
wilayah yang sudah diploting
terlebih dahulu untuk proyek-
proyek investasi. Yang sekarang
dikembangkan oleh Departemen
kehutanan melalui Model KPH –
KPH di setiap wilayah;
k) WWF melakukan inisiasi
pertemuan dan pembentukan
Forum Gubernur se – Sumatera
yang tujuannya untuk
penyelamatan koridor ‘Gajah dan
Harimau Sumatera’ yang akan di
coba awalnya di wilayah
Sumetera Barat – Riau – Jambi
yang nantinya akan diusulkan
untu se Sumetara dari Aceh
sampai Lampung;
l) Jaringan di Pulau Jawa dan
Kalimantan (Kalimantan Barat)
meminta kepada Forum untuk
mendukung Workshop advokasi
Tata Ruang. Untuk itu perlu
didiskusikan, apabila dalam
kegiatan workshop oleh Forum
Advokasi Tata Ruang, seperti
a. Materi workshop untuk setiap
wilayah;
b. Keterlibatan Forum di dalam
workshop;
m) Terdapat 2 permasalahan yang
mendasar di dalam Tata Ruang
sekarang :
a. Tata ruang tidak konsisten
antara rencana dan fakta dari
perencanaan penataan ruang;
b. Rencana Tata Ruang yang
dibuat tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah perencanaan
Tata ruang. Dimana sekarang
ini hanya disesuaikan kondisi
existing landuse tanpa ada
daya dukung lingkungannya
n) Di dalam RTRW sekarang tidak
ada studi kelayakan dari fakta dan
analisis, sehingga diperlukan
suatu studi kelayakan bisa
memaparkan suatu akibat dari
pelanggaran Tata Ruang secara
ekosistem (sistematis);
o) Berdasarkan dari data Sawit
watch, bahwa terdapat 630
konflik perkebunan kelapa sawit
di komunitas namun belum
diklasifikasikan ke dalam jenis
pelanggaran Tata Ruang. Untuk
kalimantan sudah tersusun jenis
konflik yang terjadi di
perkebunan sawit;
p) Sudah ada PPNS Kimpraswil
yang bisa melakukan Penyidikan
alibat dari pelanggran Tata
Ruang, namun posisinya masih
belum berfungsi dan masih
lemah;
C. Rencana Tindak Lanjut ke
depan
a. Jangka Pendek
1. JKPP sebagai host dalam Forum
Diskusi Advokasi Tata Ruang, bisa
membuat matrik mengenai isu dan
aktivitas kawan-kawan yang berada
di Forum Avatar (Advokasi Tata
Ruang) dalam melakukan
pengawalan dan melakukan
advokasi bersama pada RTRW;
2. Membuat Forum Diskusi Advokasi
Tata Ruang melalui googlegroups
untuk melakukan komunikasi
update dari advokasi tata ruang di
setiap wilayah dan nasional
melalui “Forum Avatar”;
3. Pertemuan dengan Dirjen Penataan
Ruang pada tanggal 22 Maret 2010
jam 10.00 pagi di Gedung SDA
dan Penataan Ruang;
4. Membuat Lingkar Belajar dalam
melakukan advokasi Tata Ruang,
P4W bersedia bersama-sama;
5. Melakukan proses Tryout dalam
mengawal RTRW di tingkat
Provinsi dan nasional dan
menjadikannya Provinsi Riau –
Kalimantan Tengah – Sulawesi
Tenggara sebagai wilayah dalam
melakukan tryout advokasi
bersama
6. Nasional “Analisis Kebijakan”
7. Terlibat di dalam kegiatan Forum
Peduli Tata Ruang yang mana P4W
menjadi host nya dan akan
diselenggarakan pada tanggal 8
April 2010. Dimana akan hadir
dari beberapa Perguruan Tinggi di
Indonesia;
b. Jangka Panjang
1. Melalukan studi kelayakan dan
analisis terkait Tata Ruang
2. Melakukan advokasi melalui
kondisi ekosistem – Bioregion –
Kelayakan – data yang valid –
menawarkan model penataan
ruang;
3. Melakukan workshop Tata Ruang
di tingkat Nasional terkait dengan
hasil studi kasus pelanggaran
kebijakan Tata Ruang di Riau –
Kalimantan Tengah – Sulawesi
Tenggara;
4. Mempengaruhi Legislatif dalam
melakukan advokasi kebijakan
(DPRD dan DPR-RI)
Untuk melakukan diskusi dan sharing informasi mengenai kebijakan penataan
ruang sekarang ini secara intensif di Milist Forum Avatar
(F_avatar@googlegroups.com)
24. KABAR JKPP NO. 16 MEI 2010
KABAR
JKPP
24
Pelatihan Pemetaan Partisipatif
Bagi Kader Masyarakat Adat
Tanggal 24 Januari – 4 Feburari 2010
di Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak
Propinsi Banten, Jaringan Kerja
Pemetaan Partisipatif bekerja sama
dengan Forest Wacth Indonesia dan
PB. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) melakukan pelatihan
pemetaan partisipatif untuk kader
AMAN di lima wilayah. Pelatihan ini
diharapkan adanya kader AMAN yang
mampu menfasilitasi pemetaan
partisipatis di wilayahnya.
Peserta pelatihan terdiri dari 3 orang
dari Sulawesi Tengah, 2 orang dari
Bengkulu, 4 orang dari Jawa, 2 orang
dari Nusa Tenggara Barat, 2 orang dari
Maluku Utara, 1 orang dari Kalimantan
Barat. Selain itu ada peserta dari
internal JKPP sebanyak 2 orang.
Pada pelatihan ini tidak Cuma
diberikan materi mengenai teknis
pemetaan tapi juga diberikan materi
mengenai gerakan masyarakat adat,
tentang keorganiasasian AMAN, hak-
hak masyarakat adat terhadap wilayah
serta ideologi dasar gerakan pemetaan
partisipatif dalam kerangka
memperkuat gerakan masyarakat adat
dalam memperjuangkan hak-hak,
pengaturan tata kuasa, tata kelola, tata
produksi dan tata komsumsi. Pelatihan
berupa materi dalam kelas dan materi
praktek.
Pada kegiatan praktek peserta
pelatihan di coba untuk memfasilitasi
3 kali pertemuan kampung dan
melakukan pengambilan data yang
berkaitan dengan wilayah maupun
sosial, ekonomi dan aturan adat di
Kasepuhan Cisitu. Pada pertemuan
pertama, peserta memfasilitasi
lokakarya pemetaan partisipatif di
Pendopo Adat Kasepuhan Cisitu.
Agenda yang dibahas pada pertemuan
ini antara lain gambaran umum
wewengkon Adat Kasepuhan Cisitu,
Identifikasi permasalahan mengenai
wewengkon adat, rumusan masalah
dan pembuatan sketsa wewengkon
adat.
Pada pertemuan ini teridentifikasi
permasalahan wewengkon seperti
adanya wewengkon adat yang
dijadikan kawasan pertambangan emas
oleh PT. Antam tanpa persetujuan
masyarakat adat Kasepuhan Cisitu,
selain itu juga ada permasalahan
mengenai perluasan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Pemetaan
dijadikan salah satu kegiatan untuk
mengatasi permasalahan tersebut.
Kesepakatan lainnya yang dihasilkan
pada pertemuan ini, karena
keterbatasan waktu maka masyarakat
akan membagi ke beberapa tim untuk
menyelesaikan untuk mempercepat
proses selesainya.
Pertemuan kedua yang difasilitasi oleh
peserta adalah membahas kesiapan
teknis dalam melakukan pengambilan
data dilapangan. Pada pertemuan ini
disepakati pengambilan data lapangan
kedalam 7 kelompok, jalur perbatasan
dikerjakan oleh kelompok 1-4
sedangkan kelompok 5-7 mengambil
data penggunaan lahan. Pertemuan
ketiga tidak bisa dilaksanakan karena
masyarakat minta hanya dilakukan
secara internal. Pertemuan internal ini
untuk membahas kondisi kewilayahan
dan verifikasi hasil pemetaan.
Diakhir pelatihan, peserta
menyerahkan hasil pelatihan berupa
draft peta wilayah kasepuhan Cisitu
dan dokumen mengenai profil
kasepuhan Cisitu. ***