Pemetaan partisipatif memiliki substansi yang terus berkembang sejak dimulainya di Indonesia pada awal 1990-an, dengan tujuan awal untuk menilai penggunaan sumber daya alam secara lebih baik dan mendukung klaim masyarakat adat."
1. MEMPERCEPAT TEGAKNYA KEDAULATAN RAKYAT ATAS RUANG
No. 12, Januari 2006
KABAR
JKPP12
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
TANTANGAN MASA DEPAN
GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF
DI INDONESIA
2. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
berdiri pada bulan Mei 1996 di Bogor.
Penggagas berdirinya JKPP adalah berbagai
NGO dan masyarakat adat yang memanfaatkan
dan mengembangkan pemetaan berbasis
masyarakat sebagai salah satu alat pencapaian
tujuannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
JKPP antara lain menyelenggarakan pelatihan-
pelatihan dan magang pemetaan partisipatif,
perluasan dan penyebaran ide-ide pemetaan
partisipatif, menyelenggarakan dialog-dialog
keruangan, melakukan kajian-kajian keruangan,
penerbitan dan melakukan aliansi dengan
berbagai pihak yang aktif dalam gerakan-
gerakan sumberdaya alam kerakyatan
DEWAN REDAKSI KABAR JKPP
Penanggung Jawab : Ita Natalia, Pemimpin
Redaksi : Deny Rahadian, Redaktur : Ita
Natalia, Kasmita Widodo, Deny Rahadian,
Restu Achmaliadi, Albertus Hadi pramono,
Imam Hanafi. Distribusi : Risma. Tata Letak :
Deny. Alamat Redaksi: Jl. Arzimar III No. 17
Bogor 16152, Indonesia. Telp : 0251-379143,
Fax : 0251-379825, e-mail : jkpp@bogor.net
Penerbitan KABAR JKPP
ini atas dukungan dana
dari :
No. 12, Januari 2007
Yang dapat kami KABARi !!!
PemetaanPartisipatif,
Sebuah Gerakan ?.......................... 3
Tantangan Masa Depan Gerakan Pemetaan
PartisipatifdiIndonesia.....................10
PemetaanPartisipatifuntukPenguatan
Komunitas Perempuan Pengelola
SumberdayaAlam, Sudahkah/Masihkah
Menjadi Pilihan ??
Pilihan Itu Berdasarkan ‘Belokan-belokan’
Yang Disediakan ..........................13
Kabar dariAceh
DARI PESISIRACEH BESAR KE
PEDALAMANACEH JAYA.............17
Kabar dari Sekadau
TATARUANG DESADAN KECAMATAN
PARTISIPATIF ...............................19
02 KABAR
JKPP
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
Kabar Redaksi
Pembaca yang budiman,
Baru saja kita melewati tahun 2006 dan memasuki tahun 2007. Kerja tak
pernah berhenti dan selesai, terutama bagi orang-orang yang setia mewujudkan
cita-citanya. Begitupun JKPP, walaupun bukan tanpa halangan, kerja-kerja
pengorganisasian rakyat dan peningkatan kapitas pelayanan melalui pemetaan
partisipatifmasihterusdiupayakan.
Dengan mengambil tema “Visi Gerakan Pemetaan Partisipatif ke Depan”
JKPP hendak menilik ulang gagasan ini dengan relevansinya di masa kini dan
masa depan. Sudahkah disadari oleh sebagian pegiat di masyarakat sipil tentang
maknakataGERAKANsepertiyangseringdisebut-sebut?...samakahpikirandengan
tindakan? Ganden menuliskan bahwa makna kata “gerakan” kelihatannya telah
dihambur-hamburkan dengan sangat murah, tanpa menilai dengan sungguh-
sungguh apakah sesuatu yang sedang trend itu sungguh-sungguh suatu gerakan
atau hanya pola-pola sesaat yang nantinya akan hilang begitu saja. Jika memang
sungguh-sungguhmenjadikanpemetaanpartisipatifinisebagaigerakansosialmaka
tantangan ke depan akan semakin besar ditemukan. Bukan hanya tantangan yang
datang dari arus luar yang begitu kuat, tetapi juga arus dari dalam JKPP sendiri.
Montimengajakkitamelihatdenganjernihapasajatantangankedepanyangharus
dihadapi oleh JKPP untuk mewujudkan diri menjadi gerakan sosial. Sudah atau
justru masihkah pemetaan partisipatif menjadi alat yang berguna bagi penguatan
komunitas perempuan pengelola sumberdaya alam? Kaum ini seringkali menjadi
silent majority dalam hal mengelola ruang hidup secara arif, tak terdengar namun
terusbergerakkarenaharustetaphidup.Mampukahpemetaanpartisipatifmembantu
mereka dalam melihat persoalan ruang hidup dan mencari jalan keluar bagi dirinya
sendiri?
Beberapa kumpulan pengalaman dan refleksi pemetaan partisipatif juga
dipaparkan oleh Lorensius dari JKPP region Kalimantan Barat setidaknya sebagai
lokomotif gerakan PP di Indonesia, dan Imam dari JKPP region Jawa yang
menuturkanpengalamanditanahJawadalammengelolapotensidanmenataruang
hidupmelaluipemetaanpartisipatif.
Beberapa informasi selayang pandang dari Sekretariat Nasional JKPP
juga dituliskan dalam edisi kali ini yaitu seputar persiapan FA JKPP IV, rencana
Sarasehan Konggres AMAN III di Pontianak, program kolaboratif denganAMAN
dan Terbitan terbaru dari Seknas.
Semoga rangkaian dari tulisan ini bermanfaat dalam membuka wacana,
melahirkan gagasan cerdas untuk JKPP ke depan yang lebih baik. Selalu ada
ruang untuk saran dan kritik dari para pembaca sekalian. Selamat membaca dan
Terima kasih.
Kedaulatan masih di langit!
Redaktur
3. PEMETAAN PARTISIPATIF
SEBUAH GERAKAN ?
Makna kata “gerakan”
kelihatannya telah
dihambur-hamburkan
dengan sangat murah,
tanpa menilai dengan
sungguh-sungguh apakah
sesuatu yang sedang trend itu
sungguh-sungguh suatu
gerakan
atau hanya pola-pola sesaat
yang nantinya akan hilang
begitu saja.
Oleh : RESTU ‘GANDEN’ ACHMALIADI
03KABAR
JKPP
KABAR
utama
APA ITU GERAKAN ?
Sangat sering kita dengar kata “gerakan” diucapkan. Pada umumnya kata
“GERAKAN” ini mempunyai dua makna. Pertama adalah makna “gerakan”
sebagai kegiatan fisik, yakni makna sebenarnya dari perubahan posisi badan
atau benda tertentu. Makna kedua adalah yang berkaitan dengan dinamika
kehidupan masyarakat, lebih bermakna sosiologis. Makna gerakan yang
kedua ini sangat digandrungi masyarakat di berbagai kalangan masyarakat
saat ini, baik kalangan rakyat jelata maupun golongan menengah ke atas.
Berbagai tema dan isu “gerakan” menjadi perbincangan dan wacana sehari
hari, gerakan sosial baru, gerakan hak asasi manusia, gerakan masyarakat
adat, gerakan kembalinya marxisme-leninisme, gerakan kaum muda NU,
gerakan film Indie, gerakan kesetaraan gender, gerakan anti rasisme,
gerakan penghijauan, gerakan anti terorisme, gerakan anti Orde Baru,
gerakan pengelolaan sumberdaya alam, gerakan buruh, dll. Tetapi apakah
berbagai hal yang menyebut substansi yang dilakukannya sebagai gerakan
itu benar-benar “gerakan” yang sesungguhnya ? Makna kata “gerakan”
kelihatannya telah dihambur-hamburkan dengan sangat murah, tanpa
menilai dengan sungguh-sungguh apakah sesuatu yang sedang trend itu
sungguh-sungguh suatu gerakan atau hanya pola-pola sesaat yang nantinya
akan hilang begitu saja.
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
4. 04 KABAR
JKPP
KABAR
utama
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
Cukup banyak contoh-contoh
gerakan besar yang tersohor dan
mempunyai pengaruh luas, baik di
masa yang lampau maupun pada
masa sekarang. Gerakan-gerakan
berbagai agama besar adalah
contoh-contoh gerakan raksasa yang
sampai sekarang masih terus
berlangsung. Ajaran-ajaran agama
besar (yang awalnya disampaikan
oleh Sidharta Gautama, Yesus,
Muhammad, dll) benar-benar tetap
mampu bertahan meskipun telah
berlangsung ratusan tahun, baik isi
gerakannya, pola-pola perluasannya,
maupun keteguhan para pengikutnya
untuk mentaati ajaran. Marxisme-
Leninisme yang bermula dari
berbagai kekritisan Karl Marx di
bukunya Das Kapital yang ditulis
pertengahan tahun 1800-an juga
merupakan contoh gerakan raksasa
yang sangat besar pengaruhnya,
meskipun pada saat ini mulai
menyurut. Kapitalisme adalah
contoh lain dari gerakan raksasa yang
luar biasa, dan bahkan menjadi
idiologi dominan yang meliputi
hampir semua bangsa di dunia ini.
Berkaitan dengan makna yang
berhubungan dengan dinamika
kehidupan masyarakat, cukup
banyak literatur yang mendalami
makna dari “gerakan” (movement).
Meskipun terdapat berbagai
pendapat dan silang pendapat
tentang makna “gerakan”. Secara
umum ada tiga hal yang biasanya
terdapat dalam suatu gerakan, yang
berhubungan dengan dinamika
masyarakat. Pertama adalah adanya
nilai-nilai dan atau substansi tertentu
yang diperjuangkan oleh suatu
gerakan. Kedua adalah adanya pola-
pola tertentu dalam memperjuang-
kancita-cita suatu gerakan.
Ketiga adalah adanya orang-orang
atau massa yang memperjuangkan
suatu gerakan. Selain itu, suatu
gerakan biasanya tidak terikat waktu,
bisa memerlukan waktu singkat untuk
mewujudkan cita-citanya atau terus-
menerus dilakukan meskipun telah
berlangsung ratusan tahun.
Pemetaan partisipatif (community
mapping) telah dimulai pada tahun
1960-an, dan di Indonesia telah mulai
tumbuh pada tahun 1990-an. Pada
awalnya pemetaan partisipatif (PP)
adalah sekedar kegiatan ujicoba
saja, tetapi kemudian makin meluas
penggunanya dan makin mengerucut
pula tujuan-tujuan penggunaannya.
Apakah PP telah layak disebut
gerakan ? Apa saja bukti-bukti bahwa
PP merupakan suatu gerakan ? Mari
kita periksa satu-persatu syarat-syarat
berikut ini. Saya akan mencoba
merinci perkembangan PP dalam
konteks perkembangannya di
Indonesia saja.
SUBSTANSI GERAKAN
Suatu gerakan biasanya memiliki
substansi dan tujuan yang jelas
dalam perjuangan untuk mencapai
tujuannya. Bahkan seringkali
substansi gerakan itu sangat detail
sampai mengatur tentang tata cara
kehidupan para pengikut gerakan itu.
Substansi gerakan bisa tertulis
dengan jelas dan rinci sejak awal,
akan tetapi ada gerakan-gerakan
yang substansi dan tujuannya selalu
berkembang menyesuaikan diri
dengan perkembangan kehidupan
manusia.
Berbagai macam agama adalah
contoh-contoh gerakan yang sejak
awal menuliskan dengan rinci
tentang substansi gerakannya. Ajaran
agama sangat detail mengatur tata
cara kehidupan umatnya, filosofi hidup,
tujuan hidup, konsep alam semesta,
konsep keilahian, surga-neraka, tata
cara mencari nafkah, bagaimana
bersikap terhadap makhluk lain,
konsep dosa, dll. Meskipun telah cukup
detail berbagai substansi digambarkan
dalam suatu agama, perkembangan-
perkembangan substansi selalu terjadi
pada setiap agama. Berbagai sekte
selalu tumbuh dalam setiap agama,
perbedaan interpretasi ajaran agama
oleh para penganutnya selalu terjadi
dan menjadi dinamika perkembangan
agama itu.
Marxisme juga merupakan contoh
gerakan yang memiliki substansi
perjuangan yang sangat detail, filosofi
berfikir, perlunya merombak berbagai
sistem besar yang salah, bagaimana
memandang struktur masyarakat,
mengapa penindasan selalu terjadi di
dalam kehidupan masyarakat, sejarah
perkembangan manusia, dll.
Meskipun terjadi perbedaan
operasional gerakan dan perbedaan
interpretasi terhadap ajaran Marx di
kalangan pendukungnya, marxisme
merupakan gerakan yang berpengaruh
luas di seluruh dunia sampai saat ini,
baik di kalangan masyarakat umum,
akademisi, politik kenegaraan, sistem
ekonomi, dll, bahkan marxisme
merupakan gerakan yang sangat
ditakuti di Indonesia.
Gerakan lingkungan hidup adalah
contoh gerakan dengan substansi
gerakan yang terus mengalami
perubahan. Berbagai penelitian
bidang-bidang lingkungan terus
berlangsung dan makin melengkapi
berbagai substansi gerakan
lingkungan hidup. Tetapi “keilmiahan”
ini menyebabkan substansi gerakan
lingkungan hidup menjadi suatu hal
5. Pemetaan Partisipatif, yang di Indonesia baru dimulai
sekitar awal 1990-an – memiliki substansi
yang terus berkembang
05
KABAR
JKPP
yang sulit untuk diterapkan menjadi
sesuatu yang nyata. Para penggagas
gerakan lingkungan sendiri seringkali
gagal menerapkan prinsip-prinsip
ekologi dalam kehidupannya sehari-
hari. Beberapa kalangan menyebut
bahwa gerakan lingkungan hidup
hanya eksklusif di kalangan NGO,
pecinta alam, dan akademisi saja.
Pemetaan partisipatif yang di
Indonesia baru dimulai sekitar awal
1990-an memiliki substansi yang
terus berkembang. Ide awal PP
berawal dari ketidak puasan
terhadap penggunaan peta sketsa
dan transek yang digunakan dalam
metode participatory rurat appraisal
(PRA) yang dianggap kurang dalam
menilai penggunaan sumberdaya
alam di pedesaan. Hal lain yang
mengawali PP adalah tumbuhnya
upaya menggunakan kartografi
untuk mendukung berbagai klaim
masyarakat adat. Selain itu metode
PP pada awalnya digunakan secara
partisipatoris untuk menggali
persepsi masyarakat dalam program-
program konservasi. Penggunaan PP
kemudian berkembang untuk
mengekspresikan bagaimana
masyarakat adat dan masyarakat
pedesaan mengembangkan
pemanfaatan sumberdaya alam yang
berbasis masyarakat. Secara taktis
hasil PP juga digunakan untuk
berbagai advokasi pembelaan hak-
hak tenurial masyarakat pengelola
sumberdaya alam berbasis
masyarakat.
Harus diakui bahwa argumen-
argumen utama para pengguna PP
masih perlu dikembangkan lebih
jauh. Para pengguna PP ingin
mempertahankan dan mengem-
bangkan pengelolaan sumberdaya
alam berbasis masyarakat sebagai
tandingan berbagai model
pengurusan sumberdaya alam yang
hanya menekankan eksploitasi
ekonomi yang sering kurang
memperdulikan keberlanjutan
sumberdaya itu sendiri. Akan tetapi
bagian dari metode PP malahan
mengadopsi kartografi modern yang
pada dasarnya merupakan salah satu
bagian dari metode yang menyokong
eksploitasi sumberdaya-sumberdaya
di berbagai belahan dunia..
Proses pengkritisan dan pendalaman
substansi PP sebenarnya sangat
kurang. Komunikasi antar pengguna
PP, baik perorangan maupun
lembaga, dirasakan sangat kurang.
Sebenarnya kelambatan proses
komunikasi ini merupakan “misteri”
tersendiri, mengingat semakin
berkembangnya teknologi dan cara-
cara berkomunikasi; telefon, fax,
email, “SMS”, Chating via Yahoo
Messenger, dll.
Kurangnya komunikasi ini mem-
perlambat proses pengembangan
substansi PP, karena setiap
pengguna PP pasti memiliki variasi
pengalaman dalam menggunakan
PP, baik variasi metode maupun
variasi latar belakang penggunaan
PP. Memaparkan pengalaman PP
antar pengguna metode ini sangatlah
penting, karena ini merupakan proses
refleksi sebagai bagian pemasakan
substansi PP. Sebagaimana siklus
pengetahuan, proses aksi dan refleksi
perlu dilakukan terus-menerus.
Pada masa mendatang perluasan
penggunaan metode PP masih akan
terus berlangsung, termasuk di
dalamnya upaya-upaya mengkritisi
penggunaan PP. Tetapi ada
kemungkinan juga bahwa substansi
PP akan terhenti, yakni apabila para
penggagas dan pengguna PP tidak
lagi menggunakan metode ini lagi,
atau tidak ada lagi proses saling
komunikasi dan refleksi tentang
penggunaan metode PP.
POLA-POLA GERAKAN
Setiap gerakan memiliki pola tersendiri
dalam memperluas pengaruhnya
terhadap masyarakat luas. Yang
dimaksud pola-pola gerakan di sini
bisa merupakan pola-pola yang
memang sengaja disusun secara
teratur, atau bisa juga merupakan pola-
pola yang teramati dari perjalanan
gerakan itu. Pola-pola ini bisa
berlangsung beberapa tahun saja,
tetapi bisa juga pola-pola yang
berlangsung selama ratusan tahun.
Para penyebar ide-ide gerakan bisa
terkoordinir dan terpimpin secara rapi,
tetapi bisa juga tidak pernah saling
ketemu, karena terpisah oleh jarak dan
perbedaan generasi kehidupan. Pola-
pola perluasan ide-ide gerakan
berlangsung terus-menerus karena
keyakinan yang kuat tentang nilai-nilai
yang terkandung dalam gerakan itu.
Islam pada awal perkembangannya
selama bertahun-tahun banyak
mendapat tentangan, khususnya para
penyembah berhala di sekitar Mekkah.
Puluhan tahun kemudian Islam baru
bisa memperluas wilayah pengaruh -
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
6. 06 KABAR
JKPP
KABAR
utama
nya ke berbagai penjuru dunia.
Secara umum, gerakan Islam
menyebar melalui penaklukan (ke
Eropa) dan perdagangan (ke Asia
dan Afrika). Proses-proses
penyebaran ini masih terus
berlangsung sampai sekarang.
Abad-abad awal gerakan Islam
terpimpin dan bersamaan dengan
gerakan politik Pan Islamisme dari
kerajaan Islam di Jazirah Arab (Bani
Umayyah dan Bani Abasiyah). Akan
tetapi setelah fase itu, khususnya
perluasan Islam lewat perdagangan,
perluasan Islam sebenarnya
berlangsung secara alamiah dan
tergantung pada keteguhan dan
improvisasi para penyebarnya
masing-masing. Ikatan-ikatan
organisasi Islam paling sebatas di
tingkat negara masing-masing.
Pada awal perkembangannya,
gerakan Kristen malahan mendapat
penentangan keras di tempat
asalnya (Palestina-Israel sekarang).
Kristen baru berkembang sangat
pesat setelah menyeberang ke
Eropa. Puncak penyebaran berbagai
varian gerakan Kristen adalah
bersamaan dengan fase
kolonialisme dan “penaklukan dunia
baru” setelah abad XII. Gerakan
Kristen dengan berbagai variannya
pada umumnya cukup terpimpin.
Terdapat hubungan-hubungan yang
cukup kuat antara berbagai lembaga
gerakan Kristen, khususnya yang
mempunyai kesamaan sekte.
Sumber ajaran Marxisme-
Sosialisme adalah berbagai tulisan
Karl Marx, khususnya Das Kapital,
yang ditulis pada pertengahan abad
XIX. Kaum buruh dan intelektual anti
borjuis kemudian berusaha mem -
praktekkan Marxisme seluas-
luasnya. Negara-negara Eropa-lah
yang pada awalnya sangat kuat
dipengaruhi gerakan ini. Mulai tahun
1920-an dan semakin menguat
setelah perang dunia II gerakan
marxisme menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Setelah runtuhnya Uni
Sovyet pada tahun 1985 (Perestroika
di Rusia) gerakan marxisme-
leninisme cenderung menurun,
semakin banyak pengkritisan
terhadap ajaran Marxisme yang
diikuti oleh berbagai perubahan
bentuk model-model operasionali-
sasi paham ini. Pola gerakan
marxisme memang mensyaratkan
terpimpinnya proses gerakan, karena
itu gerakan ini, khususnya ketika
masih sangat kuat, menerapkan
hubungan-hubungan struktural yang
jelas, serta dengan proses
komunikasi yang sangat ketat.
Kaderisasi dan proses perluasan
gerakan marxisme di seluruh dunia
sangat terarah, meskipun drastis
menurun setelah keruntuhan Sovyet.
Tetapi kerumitan dan panjangnya
rantai kepemimpinan paham inilah
mungkin yang menyebabkan
beratnya penerapan substansi
paham ini, yang kemudian
menyebabkan kemunduran penga-
ruh gerakan marxisme.
Gerakan kapitalisme memiliki
substansi dan tujuan dasar yang
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
RESTU‘GANDEN’ACHMALIADI-PENULIS(Red)
MemaparkanpengalamanPP
antar pengguna metode ini
sangatlah penting, karena ini
merupakan proses refleksi sebagai
bagian pemasakan substansi PP
sederhana, yakni kebebasan individu
untuk memperoleh keuntungan mate-
rial, dengan pembatas koridor hukum
yang berlaku. Meskipun apabila
dianalisis dengan mendalam terdapat
berbagai kontradiksi substansi yang tak
terpecahkan serta menumbuhkan
ketidakadilan yang luar biasa,
substansi dan prinsip gerakan
kapitalisme yang praktis dan mudah
dipahami ini menyebabkan pengaruh
gerakan (saat ini) menjadi sangat
dominan di seluruh penjuru dunia.
Bahkan kapitalisme seakan-akan telah
menjadi naluri manusia. Pola gerakan
kapitalisme bisa diumpamakan
putaran roda-roda kecil yang semakin
lama menjadi semakin banyak dan
semakin besar, meskipun tanpa
kepemimpinan yang terpusat. Dua
kelompok intelektual penggagas
neoliberalisme setelah perang dunia
kedua (“Free Market Project” dari Law
School Universitas Chicago dan
kelompok intelektual “Mont Pelerin
Society” dari Swiss) adalah bagian
proses dari gerakan kapitalisme yang
telah berlangsung beberapa abad.
Tidak ada keterikatan organisasi dan
kaitan kepemimpinan di antara
pendukung kapitalisme, ikatannya
adalah kesamaan pandangan dasar
tentang kebebasan berekspresi dalam
mendapatkan keuntungan material.
PRA sangat banyak digunakan oleh
7. 07
KABAR
JKPP
lembaga-lembaga yang sangat
percaya bahwa partisipasi adalah
kunci proses pembangunan, dan
menolak model top down dalam
pembangunan sejak awal 1980-
an.Pola-pola perubahan
penggunaan peta sketsa dalam PRA
menjadi teknik Pemetaan Partisipatif
pada awal 1990-an oleh beberapa
lembaga yang menggeluti
konservasi pada mulanya hanya
coba-coba belaka. Berbagai ujicoba
ini memiliki range partisipasi yang
beragam, dari yang hanya
memanfaatkan masyarakat hanya
sebagai porter, sampai yang benar-
benar menyerahkan seluruh proses
PP kepada masyarakat.
Berbagai uji coba ini mulai
membentuk pola-pola yang jelas
setelah terbentuk Jaringan Kerja
Pemetaan Partisipatif (JKPP) pada
tahun 1996. Dengan terbentuknya
JKPP, substansi PP menjadi
mengerucut untuk mendukung
sepenuhnya berbagai model-model
pengelolaan sumberdaya alam
berbasis masyarakat yang
dipraktekkan sebagian besar
masyarakat pedesaan di Indonesia,
baik untuk dokumentasi penge-
lolaan, advokasi, maupun peren-
canaan pengelolaan sumberdaya
alam. Pola-pola pendalaman dan
perluasan ide-ide PP menjadi lebih
terarah, meskipun tidak lepas dari
berbagai hambatan, baik internal
maupun eksternal.
Para penggagas PP di Indonesia pada
awalnya hanya beberapa orang dan
beberapa lembaga saja. Berbagai
training, magang dan sosialisasi terus
dilakukan untuk memperbanyak
orang-orang dan lembaga yang
memahami, mendukung dan
menggunakan PP. Sampai saat ini
telah ratusan orang terlatih menjadi
fasilitator PP, hampir di setiap provinsi
di Indonesia terdapat lembaga yang
menggunakan PP, telah ratusan
kampung menyelenggarakan PP.
Terdapat beberapa hambatan dalam
menerapkan pola-pola pengem-
bangan PP ini.
Pertama adalah sulitnya ber-
komunikasi antara para penggagas
dan atau para fasilitator PP, sebagai
ujung tombak perluasan dan
pendalaman PP. Sulitnya komunikasi
dan konsolidasi antara para ujung
tombak pengembangan PP ini
menyebabkan hal berikut: a)
terhambatnya proses saling
mengkritisi dan saling tukar
pengalaman PP sehingga substansi
PP menjadi tidak berkembang, b)
terhambatnya proses penyamaan visi
di antara para penggiat PP, karena
sangatlah jelas bahwa tanpa adanya
penyamaan visi maka akan sulitlah
tujuan gerakan PP jangka panjang
akan terwujud. Kedua adalah tidak
adanya hubungan-hubungan, baik
langsung maupun tidak langsung,
antara berbagai kampung-kampung
yang telah menyelenggarakan PP.
Kurangnya hubungan-hubungan antar
kampung akan mempersulit proses
dokumentasi hambatan-hambatan
dan kemajuan-kemajuan pencapaian
tujuan setelah PP diselenggarakan,
dokumentasi perkembangan kampung
pasca PP akan semakin memasakkan
substansi PP pada masa mendatang.
Proses hubungan dan komunikasi
antar kampung yang menyeleng-
garakan PP juga akan meningkatkan
solidaritas dan persaudaraan antara
berbagai kampung pengguna PP
senasib dan sepenanggungan,
sangatlah jelas bahwa rasa senasib
akan memperkokoh gerakan PP.
Ketiga adalah kurang konsistennya
para penggagas dan fasilitator PP
dalam menekuni metode ini, banyak
yang telah meninggalkan PP dan
menekuni bidang atau isu lain. Hal
ketiga ini sangat menghambat
perkembangan PP, karena selain
kehilangan resource ujung tombak PP
juga sia-sianya proses berbagai
peningkatan kapasitas yang telah
dilakukan.
PENGIKUT DAN PENDUKUNG
GERAKAN
Cara yang paling mudah menilai
pengaruh suatu gerakan adalah
dengan mengamati jumlah pengikut
dari suatu gerakan. Selain itu juga bisa
dinilai dari konsistensi perjuangan
suatu gerakan dari waktu ke waktu
dalam usaha mencapai visi
perjuangannya.
Cukup banyak contoh-contoh gerakan
berskala raksasa, mempunyai jumlah
pendukung dan pengikut gerakan yang
luar biasa banyaknya. Gerakan
keagamaan adalah contoh gerakan
yang luar biasa besarnya, telah terbukti
konsistensinya selama ratusan tahun,
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
Cara yang paling mudah menilai pengaruh
suatu gerakan adalah dengan mengamati jumlah
pengikut dari suatu gerakan.
Selain itu juga bisa dinilai dari konsistensi perjuangan
suatu gerakan dari waktu ke waktu
dalam usaha mencapai visi perjuangannya.
8. 08 KABAR
JKPP
KABAR
utama
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
sebagian besar umat manusia
adalah umat beragama, meskipun
ada yang hanya sekedar pada “tanda
pengenal”. Marxisme juga
merupakan contoh dari gerakan
raksasa, negara-negara Eropa
Timur, China, Indo China, dan
beberapa negara Amerika Latin
masih menyisakan prinsip-prinsip
marxisme dalam politik
kenegaraannya. Kapitalisme adalah
gerakan yang paling besar dan
paling luas pengaruhnya di dunia
saat ini, sebagian besar negara di
dunia menerapkan ekonomi
kapitalistik, baik eksplisit maupun
implisit. Demokrasi yang merupakan
ajaran peninggalan filsuf Yunani
adalah contoh gerakan raksasa yang
pengaruhnya sangat luas di dunia,
hampir-hampir tidak ada negara
yang tidak menyatakan diri sebagai
negara yang menerapkan prinsip
demokrasi, meskipun telah banyak
studi yang menunjukkan bahwa
demokrasi mempunyai masalah
tersendiri, yakni tetap memberikan
keuntungan dan pengaruh kuat pada
pihak-pihak yang mendominasi
perekonomian, tidak sebagaimana
cita-cita demokrasi yang akan
menguntungkan seluruh rakyat.
Gerakan nasionalisme dunia ketiga
untuk lepas dari kolonialisme adalah
contoh lain dari gerakan raksasa di
dunia. Setelah perang dunia II lebih
dari 100 negara baru telah muncul,
terutama negara-negara yang
sebelumnya dijajah oleh bangsa-
bangsa Eropa.
Meskipun tidak sebesar penga-
ruhnya sebagaimana berbagai
gerakan di atas, cukup banyak
contoh gerakan yang berpengaruh
dan secara konsisten memperjuang-
kan cita-citanya. Gerakan anti
rasisme, yang dimulai beberapa abad
yang lalu dan semakin kuat setelah
perang dunia II, merupakan gerakan
yang besar, berpengaruh dan
mencapai hasil yang nyata untuk
pendukungnya. Gerakan masyarakat
adat, yang tumbuh setelah perang
dunia II, merupakan gerakan yang
makin menguat di banyak negara di
dunia dan konsisten
memperjuangkan pengakuan
terhadap masyarakat adat yang di
berbagai negara telah terpinggirkan
akibat pembangunan ekonomi. PBB
menyatakan tahun 1992-2002
sebagai tahun masyarakat adat.
Gerakan lingkungan merupakan
gerakan yang cukup berpengaruh di
dunia, meskipun dianggap elitis hanya
di kalangan NGO dan akademisi.
Gerakan lingkungan, yang
kebanyakan didukung oleh dana
publik dari negara maju sebagai
kepintaran lobi operator NGO
lingkungan, secara konsisten
menyerukan penghentian
pengrusakan lingkungan hidup
(polusi udara, polusi air, pengrusakan
hutan, pengrusakan sumberdaya
pesisir-laut, perburuan binatang
langka, dll.) agar kehidupan bumi
tetap bisa berlangsung. Gerakan
kaum vegetarian yaitu gerakan anti
produk hewani dengan berbagai
variannya merupakan contoh gerakan
kecil, tetapi tetap konsisten dijalankan
oleh para penganutnya selama ber-
abad-abad.
Selain di tingkat internasional, cukup
banyak contoh gerakan berskala
nasional yang sangat mempengaruhi
perjalanan Bangsa Indonesia.
Gerakan petani adalah contoh
gerakan di tingkat nasional yang telah
berlangsung beberapa abad, selalu
akan muncul apabila kaum tani
tertindas terlalu keras, baik merupakan
gerakan diam-diam maupun terang-
terangan. Gerakan petani di Indonesia
makin menguat setelah Reformasi
1998.
Gerakan Reformasi adalah gerakan
nasional yang dipelopori mahasiswa
untuk meruntuhkan Orde Baru.
Gerakan Reformasi dimulai dari
berbagai rapat akbar yang
diselenggarakan oleh mahasiswa di
berbagai pelosok nusantara, dan
mencapai puncaknya dengan
lengsernya Soeharto pada Mei 1998.
Revolusi hijau adalah gerakan yang
mengupayakan perubahan cara
bercocok tanam tradisional yang
“dianggap” tidak produktif diganti
dengan tata cara bercocok tanam
yang “dianggap modern” (mengggu-
nakan bibit unggul, menggunakan
pupuk buatan, menggunakan pes-
tisida, menggunakan traktor, dll).
Meskipun banyak dikritik dan terbukti
berefek samping mencemari
lingkungan dan degradasi
biodiversitas, gerakan Revolusi Hijau
Gerakan petani adalah contoh gerakan di tingkat
nasional yang telah berlangsung beberapa abad, selalu
akan muncul apabila kaum tani tertindas terlalu keras,
baik merupakan gerakan diam-diam maupun terang-
terangan.
9. 09
KABAR
JKPP
Lemahnyakomunikasidan
konsolidasi para penggiat PP
(penggagas, pengguna,
pendukung) adalah bukti
lemahnyakekuatan
para penggiat PP untuk
mewujudkantujuan
jangka panjang PP.
sangat berpengaruh terhadap tata
cara bercocok tanam petani
Indonesia. Saat ini telah sangat
dirasakan ketergantungan petani
terhadap “input modern” (bibit
unggul, pupuk buatan, pestisida, dll).
Contoh gerakan di Indonesia yang
sangat besar tetapi mengenaskan
adalah gerakan penumpasan PKI
pada 1965-1966. Gerakan ini sangat
mengerikan, 500.000 - 1.000.000
orang tumpas tanpa tahu salahnya,
karena tidak pernah diadili. Berbagai
penelitian dan analisis telah
dilakukan, tetapi (sampai saat ini)
tidak ada satu pihak pun yang
menyatakan bertanggung jawab
terhadap tragedi ini.
Di tingkat Internasional (Canada,
Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara)
PP telah digunakan secara luas,
khususnya sebagai bagian alat untuk
menuntut hak-hak tenurial berbagai
kelompok masyarakat adat. Hasil-
hasil penggunaan PP sangat
bervariasi, dari tersusunnya berbagai
kebijakan baru yang mendukung
masyarakat adat sampai dengan
praktek-praktek nyata yang
mengakui hak-hak masyarakat adat.
Di tingkat nasional, berbagai
kegiatan PP telah diselenggarakan
di hampir seluruh provinsi di
Indonesia. Berdasarkan data JKPP,
telah lebih dari 2 juta hektar luas
areal PP yang didukung oleh
anggota JKPP. Ini belum termasuk
berbagai kegiatan PP yang
diselenggarakan oleh lembaga-
lembaga yang bukan anggota JKPP.
Ratusan kampung (yang tentunya
melibatkan puluhan ribu keluarga)
telah menyelenggarakan PP.
Ratusan fasilitator PP telah terlatih.
JKPP dan berbagai lembaga lain yang
menyelenggarakan PP berjaringan
dengan pihak-pihak yang mendukung
gerakan PP.
Dilihat dari kuantitas, telah cukup
besar jumlah para penggagas,
pengguna dan pendukung PP. Akan
tetapi besarnya kuantitas penggiat PP
tidak menjamin kualitasnya dalam
meneguhkan tujuan jangka panjang
PP. Lemahnya komunikasi dan
konsolidasi para penggiat PP
(penggagas, pengguna, pendukung)
adalah bukti lemahnya kekuatan para
penggiat PP untuk mewujudkan tujuan
jangka panjang PP.
PENUTUP
Cikal bakal gerakan PP dimulai di
Canada pada tahun 1960-an. Di
tingkat internasional, aktivitas PP mulai
meluas pada tahun 1980-an, dan
makin menguat pada era 1990-an. Di
Indonesia sendiri aktivitas PP dimulai
pada awal 1990-an.
Hasil-hasil gerakan PP di berbagai
negara sangatlah bervariasi,
digunakan untuk dokumentasi
pengelolaan sumberdaya alam,
menghasilkan perubahan kebijakan
pengakuan hak-hak masyarakat
adat,untuk proses perencanaan
pengelolaan sumberdaya alam,
sebagai bagian proses advokasi, dll.
Hasil yang sangat kuat di Indonesia
adalah perluasan ide-ide dan
penggunaan PP, telah ratusan
kampung dan lebih dari 2 juta hektar
lahan telah terpetakan. Belum banyak
perubahan kebijakan dihasilkan
sebagai bagian manfaat PP. Beberapa
instansi pemerintah, baik di pusat
maupun di daerah, telah mulai
menghargai PP sebagai sumber
informasi spasial versi masyarakat yang
sangat partisipatoris dan murah.
Saya menilai bahwa berbagai aktivitas
pemetaan partisipatif (community
mapping), baik di tingkat nasional
maupun internasional, belum
merupakan gerakan yang besar dan
berpengaruh. Substansi gerakan PP
masih perlu dikaji terus sehingga
memiliki argumen yang lebih kuat,
mengeliminir berbagai kontradiksi di
dalamnya, serta menjadi sederhana
dan mudah dipahami berbagai pihak.
Pola-pola perluasan gerakan PP perlu
lebih bervariasi, dan perlu lebih serius
dikukuhi oleh para penggiatnya
(penggagas, pendukung, pengguna).
Luas dan jumlah pengguna PP masih
terlalu sedikit untuk digolongkan
sebagai gerakan besar, perlu upaya
yang lebih serius untuk mengajak
berbagai pihak menjadi pengguna dan
pendukung PP. Konsistensi para
penggiat PP perlu diuji dalam tahun-
tahun mendatang. Waktu dan jumlah
tahun akan menguji apakah PP benar-
benar merupakan gerakan yang
bermanfaat dan didukung oleh
masyarakat luas, atau kemudian
terhenti karena memang hanya
sekedar kegenitan proyek-proyek yang
diintroduksikan oleh berbagai NGO.
[ra] ***
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
10. TANTANGAN MASA DEPAN
GERAKANPEMETAANPARTISIPATIFDIINDONESIA
Oleh : ALBERTUS HADI PRAMONO
SEJAK kegiatan pemetaan partisipatif dengan teknik kartografi pertama kali
dilakukan di Long Uli, di perbatasan Taman Nasional Kayan Mentarang
(Kalimantan Timur), pada tahun 1992, gerakan pemetaan partisipatif
berkembang cukup pesat. Perkembangan sangat terasa pada akhir 1990-an
terutama setelah pembentukan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
pertengahan tahun 1996. Perhatian lembaga-lembaga donor akan
pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat memungkinkan
dukungan dana yang besar bagi gerakan ini. Dua tahun setelah pembentukan
JKPP, Soeharto mundur dari kekuasaan otoriternya yang dipegang selama
32 tahun. Kejadian ini membuka peluang yang besar dalam meredefinisi
hubungan negara dan rakyat dan membuka ruang politik yang sangat besar
bagi gerakan sosial. JKPP menikmati situasi ini sehingga memungkinkan
gerakannya makin membesar dan bahkan membantu pembentukan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara.
Di lain pihak perubahan politik tersebut menyebabkan perubahan prioritas
lembaga donor untuk menyokong isu reformasi politik dan ekonomi, terutama
melalui topik desentralisasi dan good governance. Perubahan politik
pendanaan ini berdampak signifikan terhadap gerakan PP sehingga mulai
melesu dan seperti kekurangan darah. Repotnya JKPP terlambat, atau bahkan
tidak siap, untuk mengantisipasi perubahan ini, karena masih berkutat
persoalan teknis pemetaan. Mengutip istilah Restu ‘Ganden’ Ahmaliadi,
anggota-anggota JKPP masih menjadi “tukang ukur-ukur” dan belum sampai
‘bermain’ politik dalam pengelolaan ruang dan belum memiliki konsep yang
jelas setelah pemetaan dilakukan. Padahal visinya untuk menegakkan
kedaulatan rakyat atas ruang sangatlah politis. Jadi terasa sekali kesenjangan
antara mimpi dan kenyataan.
.... anggota JKPP masih
menjadi “tukang ukur-
ukur” dan belum sampai
‘bermain’ politik dalam
pengelolaan ruang dan
belum memiliki konsep
yang jelas setelah
pemetaandilakukan
10 KABAR
JKPP
KABAR
utama
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
11. KABAR
JKPP
11
Kelesuan ini juga mewujud dalam
tidak aktifnya kebanyakan anggota
JKPP, baik dalam kegiatan pemetaan
maupun dalam jaringan. Terasa
sekali jaringan ini aktif ketika dana
mengucur deras ke anggota. Namun
saat sekretariat nasional tidak
mampu memberikan dana, anggota
seperti tidak terlalu peduli dengan
keadaan jaringan.
Akhirnya sekretariat nasional harus
mencari jalan sendiri untuk tetap bisa
bertahan dengan membuat proyek-
proyek yang diharapkan bisa
memberi pembelajaran dalam
mempengaruhi kebijakan keruang-
an di beberapa daerah. Proyek-
proyek ini menyebabkan sekretariat
sibuk dengan pengelolaan proyek,
sehingga anggota-anggota yang
tidak terlibat dalam proyek-proyek
tersebut sepertinya terabaikan.
Hal ini bukan berarti komunikasi
dengan anggota tidak berlangsung.
Ada, namun tidak mampu mem-
bangkitkan jaringan yang lesu.
Menghadapi persoalan-persoalan
tersebut JKPP perlu redefinisi
kembali gerakannya. Untuk itu JKPP
harus memperhatikan konteks-
konteks politik, sosial, ekonomi dan
budaya yang ada. Krisis ekonomi
yang meruntuhkan rejim Orde Baru
tetap berlangsung karena tidak ada
perubahan mendasar pada perilaku
negara dan elit politiknya. Elit politik
dan ekonomi bahkan makin
mementingkan kepentingan pribadi
dan kelompoknya, tidak peduli
kesulitan hidup rakyat yang makin
berat akibat kesalahan pengelolaan
negara. Pemerintah makin condong
pada kepentingan pemodal besar
untuk mengundang investasi baru
sebagai penggerak ekonomi, dan
kurang melindungi kepentingan
rakyat kebanyakan di pedesaan dan
perkotaan. Selain itu tertutupnya
komunikasi antar kelompok-
kelompok identitas yang
dikategorikan sebagai SARA
menimbulkan konflik etnis dan
agama seperti di Kalimantan Barat
dan Tengah, Maluku dan Poso.
Persoalan bertambah berat karena
kesalahan pengelolaan sumber daya
alam telah menimbulkan sederet
bencana akibat kelalaian manusia,
terutama dalam bentuk kebijakan
negara. Banjir, tanah longsor, luapan
lumpur panas, kekeringan adalah
bentuk-bentuk bencana yang muncul
akibat pemanfaatan ruang yang tidak
memperhatikan prinsip-prinsip
keberlanjutan, partisipasi dan
keadilan.
Dengan berakhirnya periode
kepengurusan sekretaris nasional
JKPP, jaringan ini perlu meredefinisi
gerakannya. JKPP harus berubah dari
sekedar ‘tukang ukur-ukur’ menjadi
pendamping yang berkomitmen tinggi
bagi masyarakat lokal dan kekuatan
penekan yang didengarkan bagi para
pembuat kebijakan dan pemodal.
Untuk menjadi pendamping yang baik
JKPP hendaknya meninggalkan
orientasi teknis pemetaan dan lebih
mengarahkan gerakannya pada
visinya secara sungguh-sungguh.
Sehingga kedaulatan rakyat atas
ruang bisa benar-benar terwujud,
bukan hanya sekedar jargon untuk
gagah-gagahan. Untuk itu ada dua hal
yang perlu diperhatikan bagi
perkembangan gerakan pemetaan
partisipatif di masa depan.
Pertama, JKPP perlu mempertanyakan
kembali filosofi gerakannya karena
gerakan ini menimbulkan dampak
yang semula justru ingin dilawan. Kita
terkejut, misalnya, ketika pemetaan
justru membuat masyarakat menjadi
makin individualistis atas hak atas
tanahnya. Kita baru tersadar dengan
akibat intervensi lewat teknologi
pemetaan. Untuk itu kita perlu
memahami apa sebenarnya hakekat
peta dan pemetaan. Kemudian, sesuai
dengan namanya, filosofi gerakan
adalah partisipasi masyarakat. Dalam
kegiatan partisipatif dialog di antara
masyarakat lokal dan pendamping
adalah kunci, termasuk dalam
pembuatan peta. Namun kita secara
tidak sadar telah melakukan kekerasan
dengan memaksakan pengetahuan
kartografis kepada masyarakat lokal
tanpa kita menggali pengetahuan
keruangan yang ada. Belum lagi
dalam banyak kasus partisipasi yang
bermakna belumlah menjadi
kenyataan, karena baru pada taraf
mobilisasi dan konsultasi seperti pada
proyek pemerintah. Padahal,
partisipasi yang bermakna mestinya
masyarakat memiliki kontrol yang kuat
pada setiap proses pemetaan.
Kedua, terkait dengan hal terakhir,
anggota JKPP perlu melakukan
pengorganisasian masyarakat secara
sungguh-sungguh.
Dengan pengorganisasian yang kuat
pemetaan bisa menjadi bagian
penting dalam upaya masyarakat untuk
merebut kontrol atas ruang dan kemu-
JKPP harus berubah dari sekedar ‘tukang ukur-ukur’
menjadi pendamping yang berkomitmen tinggi bagi
masyarakatlokal
dan kekuatan penekan yang didengarkan bagi para
pembuat kebijakan dan pemodal
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
12. 12 KABAR
JKPP
KABAR
utama
dian mengelolanya dengan bijak.
Dengan demikian peta bukan
menjadi tujuan, tetapi menjadi
wahana untuk mencapai tujuan
yang lebih besar.
Ke luar gerakan pemetaan
partisipatif di masa depan perlu
masuk ke dalam pembuatan
kebijakan agraria dan penataan
ruang yang mendorong rasa
keadilan dan menjamin
keberlanjutan ekosistem. Saat ini
pemerintah dan DPR sedang
membahas perubahan UUPA dan
UU Penataan Ruang. Kedua
undang-undang tersebut menjadi
kunci dalam perjuangan gerakan
pemetaan partisipatif. Sayangnya
JKPP tidak terlibat dalam
pembahasan keduanya. Dengan
ribuan peta yang sudah dihasilkan
selama lebih sepuluh tahun, JKPP
mestinya bisa punya
pembelajarantentang bagaimana
kebijakan agraria dan penataan
ruang yang lebih berpihak kepada
rakyat dan bisa menjamin
kelangsungan ekosistem. Selama
ini kita hanya puas dengan pujian
dari pihak donor dan instansi
pemerintah atas kegiatan pemetaan
partisipatif, namun dampak gerakan
ini masih hanya sampai tingkat
kecamatan. Di beberapa kabupaten
gerakan ini sudah terasa gaungnya,
tetapi tetap saja belum mampu
mempengaruhi pembuatan
kebijakan secara signifikan.
Rencana tata ruang yang dihasilkan
kabupaten tersebut tidak
memperhatikan peta-peta
yangdihasilkan masyarakat. Di
tingkat provinsi dan nasional gaung
gerakan pemetaan partisipatif bah-
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
bahkan tidak terdengar, kecuali di
Aceh yang sedang dalam proses
rekonstruksi.
Terakhir, dampak penting dari
pemetaan partisipatif adalah
meningkatnya identitas kelompok.
Dalam taraf tertentu dampak tersebut
positif, terutama dalam memperkuat
masyarakat adat yang terpasung
selama puluhan tahun.
Saat ini
pemerintah dan DPR
sedang membahas
perubahanUUPAdanUU
PenataanRuang.
Keduaundang-undang
tersebut menjadi kunci
dalamperjuangan
gerakan pemetaan
partisipatif
Namun dengan makin menguatnya
politik identitas di negara ini, hal
tersebut perlu mendapat perhatian
serius agar jangan sampai terjadi
konflik etnis dan agama yang tidak
terkendali. Dalam kehidupan sosial
konflik pasti akan ada, tetapi perlu
dikelola agar semua pihak yang terlibat
untuk menerima perbedaan dan tetap
merasa aman untuk beraktivitas.
Dengan demikian tantangan bagi
gerakan pemetaan partisipatif adalah
bagaimana ikut berperan dalam
membangun masyarakat yang
multikultural yang damai dan
sejahtera. Salah satu upaya yang bisa
dilakukan adalah memetakan potensi
konflik secara partisipatif, sehingga
kelompok-kelompok yang terlibat bisa
mengadakan dialog untuk mengu -
rangi kemungkinan menyeruaknya
konflik. [ahp] ***
Perencanaan Tata Ruang Tingkat Kampung, Satu kegiatan pasca pemetaan
partisipatif
13. KABAR
JKPP
13
PP untuk Penguatan Komunitas Perempuan Pengelola Sumberdaya Alam,
Sudahkah/Masihkah Menjadi Pilihan??
Pilihan itu Berdasarkan ‘Belokan-belokan’
Yang Disediakan…
Oleh : HILMA SAFITRI
KABAR
utama
JIKA diperhatikan dengan baik, maka ada beberapa kata kunci
di dalam kalimat (panjang) di atas; yaitu pertama Pemetaan
Partisipatif, kedua Penguatan Komunitas Perempuan dalam
Pengelolaan SDA, terakhir atau ketiga Pilihan (PP untuk
Penguatan Komunitas Perempuan). Yang terakhir inilah yang
sebenarnya menjadi pertanyaan besarnya, karena kata-kata
“sudahkah, masihkah, atau bahkan akankah pemetaan
partisipatif menjadi salah satu alat bagi penguatan komunitas
(perempuan)??” adalah sesuatu yang perlu ditelaah dengan
cermat..
Pemetaan Partisipatif
Pada bagian ini kita tidak akan panjang lebar membahas
pemetaan partisipatif (PP). Yang paling penting diperhatikan
adalah visi dan target-target (trajectory) gerakan PP. Jika hendak
mengaitkan visi ke depan gerakan PP dengan penguatan
komunitas perempuan —sebagai pengelola sumberdaya alam
– maka yang harus direncanakan oleh para pelaku gerakan ini
adalah menyusun trajectory agar gerakan ini dapat terukur
keberhasilannya dan teridentifikasi berbagai kelemahannya.
Namun sebelum sampai ke situ, konsepsi tentang gerakan
pemetaan partisipatif inipun perlu dibedah bersama, apakah
PP ini memang sudah menjadi sebuah gerakan atau hanya
satu bagian komponen gerakan rakyat ?
Pernyataan ini lebih tepat disebut
Pertanyaan Besar, dan merupakan
pertanyaan bagi semua pihak yang
mengaku menjadi pelopor
gerakan Pemetaan Partisipatif
juga mereka yang terlibat dalam
kerja-kerja gerakan
Pemetaan Partisipatif.
Terlebih-lebih, jika dikaitkan
dengan agenda besar Visi Gerakan
Pemetaan Partisipatif ke depan…
pertanyaan ini memang harus segera
dijawab.
Tetapi - tanpa harus melakukan
ketergesa-gesaan – sebaiknya
memang tidak perlu dijawab secara
definitif, namun sebaiknya mari kita
lihat beberapa fakta yang terkait
dengan pertanyaan di atas.
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
14. Gambaran Akses dan Kontrol Pengambilan Keputusan Petani Berdasarkan
Gender Terhadap Penguasaan Lahan, Pengusahaan Lahan dan Pembentukan
Modal Pasca Reclaiming 2
KABAR
JKPP
14
KABAR
utama
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
Tanpa bermaksud mengulang-
ulang sejumlah diskusi yang sudah
dilakukan, PP masih harus
menempuh jalan yang panjang agar
benar-benar bisa disebut sebagai
“gerakan”. Sejumlah kenyataan
dapat diuraikan satu persatu.
Pelajaran penting yang dapat ditarik
adalah bahwa pada kenyataannya
PP adalah sebuah metode yang
mula-mula secara efektif
dipergunakan oleh komunitas-
komunitas yang melakukan
advokasi untuk isu-isu konservasi
dan sumberdaya alam. Perkem-
bangan terkininya adalah bahwa
komunitas-komunitas petani yang
berhadapan dengan sengketa tanah
struktural mulai memperkuat
kerangka advokasinya dengan
menggunakan metode PP.1
Berbicara tentang PP tanpa
didahului embel-embel kata
‘gerakan’, pada awal perkem-
bangannya tidak (bisa) terlepas dari
urusan teknis ‘ukur-mengukur’ dan
kartografi; syarat dengan peralatan
canggih dan pentingnya peran
instruktur PP. Secara teknis, metode
PP kemudian mensyaratkan
prakondisi tersebut. Kemudian
secara bersamaan, metode teknis
tersebut juga mensyaratkan metode
sosial, dengan kata kunci
partisipatif; yaitu mensyaratkan
keterlibatan seluruh anggota
komunitas yang akan menggu-
nakan metode ini. Artinya ada satu
masa tertentu anggota suatu
komunitas ‘mengalokasikan’
waktunya untuk kegiatan PP ini.
Dikaitkan dengan penguatan
komunitas perempuan pengelola
sumberdaya alam, sangatlah jelas
bahwa perempuan adalah faktor
penting bagi metode PP. Hal ini terkait
dengan informasi yang dimiliki
komunitas perempuan terhadap
wilayah ‘penguasaannya’. Dengan
istilah partisipatif yang digunakan,
maka di sinilah peran komunitas
perempuan. Selanjutnya mari kita lihat
dari sisi sebaliknya, sebagaimana
pertanyaan besar yang diberikan di
awal tulisan ini, apakah komunitas
perempuan menganggap penting
metode PP di dalam proses
penguatan dirinya?
Penguatan Komunitas
Perempuan untuk Pengelolaan
SDA
Kata ‘penguatan’ bermakna sebagai
sebuah upaya untuk memperkuat; bisa
bermakna fisik maupun abstrak.
Khusus untuk penguatan komunitas
perempuan, makna ‘penguatan’ tidak
bisa dilepaskan dari kenyataan yang
ada di masyarakat tentang peran
perempuan didalam komunitasnya,
termasuk cara pandang terhadap
peran perempuan di tengah-tengah
masyarakat. Suatu gambaran mikro
tentang peranan kaum perempuan di
dalam komunitas perdesaan — dalam
hal ini komunitas petani — dirincikan
dalam tabel di bawah ini.
Di dalam pengelolaan lahan
(penguasaan, pengusahaan,
permodalan), perem- puan telah
mampu mengakses prosesnya. Tetapi
ternyata hak atas kontrol dan
pengambilan keputusan – ini
merupakan hak terpenting — dalam
mengelola lahan belum dimiliki oleh
kelompok perempuan.
Tabel ini secara implisit meng-
gambarkan bahwa ternyata masih
dibutuhkan energi yang besar untuk
bisa memasuki kehidupan kaum
perempuan tani, dan mendorong
perubahan kehidupan mereka ke arah
yang lebih baik; sehingga keadilan
terhadap sumber-sumber agraria
benar-benar merupakan keadilan
agraria yang utuh.
Salah satu rekomendasi adalah agar
semua kelompok yang mengorganisir
rakyat menggunakan analisis gender
sebagai salah satu pisau analisis untuk
memahami persoalan dan kemudian
menemukan jawaban atas persoalan
itu; termasuk aktivitas-aktivitas yang
dilakukan haruslah punya perspektif
gender.
Metode PP sebenarnya bisa menjadi
salah satu jawaban, karena tekanan
GENDER
Penguasaan
Lahan
Pengusahaan
Lahan
Pembentukan
Modal
LAKI-LAKI
- Akses
- Kontrol
- Pengambilan Keputusan
PEREMPUAN
- Akses
- Kontrol
- Pengambilan Keputusan
X X X
X X X
X X X
X X X
- - -
- X -
15. KABAR
JKPP
15
PP pada partisipasi kemudian
menjadi sangat relevan dalam
analisis di atas; partisipasi yang
penuh adalah bagian dari keadilan.
Tetapi sayangnya, kenyataan mikro
di atas menunjukkan bahwa
persoalan kontrol terhadap lahan
(penguasaan, pengusahaan,
permodalan) belum menjadi bagian
dari kewenangan kaum perempuan.
Sebelum ‘keadilan’ terwujud di
dalam komunitas, maka proses
penguatan komunitas perempuan
melalui PP tetap hanya akan
ditempuh dengan cara “sekedar
melibatkan kaum perempuan” – jika
tidak ingin dikatakan sebagai alat
legitimasi – dalam setiap proses-
proses PP. Walau bagaimanapun,
PP – proses partisipasi — tetap bisa
menjadi pintu masuk dalam proses
penguatan komunitas perempuan;
sejauh ada upaya-upaya yang terus
menerus agar kaum perempuan
bisa mendapatkan ruang dalam
kontrol lahan garapannya, atau lebih
luas lagi kontrol dalam pengelolaan
SDA.
Seefektif apakah metode PP
mampu memperkuat komunitas
perempuan?
Terminologi partisipatif yang sangat
kuat dalam metode PP, yang
mensyaratkan alokasi waktu yang
harus disediakan dalam proses PP,
bisa menumbuhkan ‘belokan-
belokan’ baru. Budaya masyarakat
Indonesia pada umumnya. –
terlepas bagaimana pandangan
umum terhadap peran penting kaum
perempuan – masih menganggap
perempuan adalah pelaku utama
tugas-tugas domestic rumah
tangga.
Dengan tradisi yang masih seperti itu,
maka terminologi partisipatif perlu
dicermati dengan baik, agar tidak
terjadi ‘gegar’ budaya dengan
diterapkannya konsep PP dalam
konteks penguatan komunitas
perempuan.
Akan berbeda halnya jika kewenangan
kontrol terhadap SDA sudah menjadi
bagian dari kewenangan kaum
perempuan. Dalam kondisi seperti ini
metode PP akan dengan mudah
diadopsi dan proses penguatan
komunitas perempuan akan terus
berlanjut. Pada saat hal ini belum ada/
terjadi, maka ‘belokan’ yang harus
dibuat dalam metode PP – minimal –
diarahkan untuk mendorong kaum
perempuan dalam mencetuskan
inisiatif bersama kaum laki-laki untuk
melakukan kegiatan bersama dalam
konteks kontrol lahan atau
pengelolaan SDA.
Dengan kata lain, dalam kegiatan PP
komunitas perempuan tidak hanya
sekedar menjadi “kelompok ikutan” di
setiap proses PP.
Sudahkah, Masihkan, atau
Akankah PP Menjadi Pilihan untuk
Penguatan Komunitas Perempuan
Pengelola Sumberdaya Alam??
Seorang marketing akan senantiasa
menawarkan produk terbaiknya bagi
kebutuhan konsumen. Berbagai
perbaikan akan terus dilakukan untuk
memuaskan kebutuhan konsumen.
Bagian utama dari pemuasan
kebutuhan konsumen adalah menilai
kualitas ‘produk’ yang ditawarkan itu
sendiri.
PP, sebagai sebuah metode yang
ditawarkan, perlu dilihat kembali
kelengkapannya sehingga bisa
digunakan dalam upaya penguatan
komunitas perempuan.
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
16. KABAR
utama
KABAR
JKPP
16
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
Sehingga untuk menjawab pertanyaan
besar di atas, yang diperlukan adalah
temukanlah ‘belokan-belokan’ itu dan
dengan kelincahan sang marketing
temukan definisi-definisi ‘Partisipatif’
yang khas untuk berbagai kondisi
sehingga benar-benar berkontribusi
kepada upaya-upaya penguatan
komunitas perempuan. [hs] ***
Secara umum, metode PP sangat
layak dan efektif jika digunakan oleh
komunitas-komunitas terorganisir.
Walaupun demikian, berbagai
pengalaman menunjukkan bahwa
metode PP yang diadopsi oleh
komunitas-komunitas terorganisir
pun seringkali menumbuhkan satu
kesadaran baru bahwa masih ada
persoalan rendahnya solidaritas di
antara komunitas. Dalam
perkembangan perluasan penggu-
naan metode PP di basis-basis
organisasi tani, metode PP
seringkali dipergunakan untuk
mempertegas batas-batas kelola di
antara anggotanya, dan seringkali di
dalam perjalanannya menemukan
kendala di mana diketahui bahwa
di antara anggota organisasi tani
ternyata berlum terjadi pembagian
lahan garapan yang sama. Dalam
perjalanan penguatan organisasi
secara keseluruhan hal ini menjadi
satu tantangan besar untuk
memulihkan ketegangan yang
timbul di antara anggota organisasi
tani. Metode PP jangan sampai
memperuncing persoalan ketim-
pangan internal seperti ini.
Demikian pula dengan upaya-upaya
penguatan komunitas perempuan,
banyak yang perlu dicermati dalam
menerapkan syarat partisipasi jika
metode PP tetap ditawarkan untuk
penguatan komunitas perempuan.
Tingkat ‘partisipatif’ yang ditawarkan
harusnya berbeda-beda, tergantung
kondisi komunitas yang
menyelenggarakan PP. Misalnya,
dalam kondisi komunitas yang
pemikirannya masih menempatkan
kaum perempuan dalam tugas-
tugas internal rumah tangga, maka
definisi partisipatif harus diperluas
sehingga istilah ini tidak “selalu ter-
Catatan Kaki :
1
Warta JKPP edisi Januari 2006 dan Restu
“Ganden”Achmaliadi, Mencermati
Perkembangan JKPP dan PP, dalam
PERDIKAN, edisi 3 tahun 2006, LATIN,
VSO, IDRC.
2
Dikutip dariAndromeda, SebuahAjakan
untuk Mewujudkan KeadilanAgraria:
Menyoroti Kemiskinan dan Perempuan
Petani, dalam Suara PembaruanAgraria
edisi No. 5 Edisi Khusus Tahun 2000, KPA,
BSP Kemala, 2000. Hal. 34.
jebak” dalam peran aktif semua pihak,
termasuk kaum perempuan, dalam
proses PP. Di sinilah peran para
marketing bekerja.
Kembali kepada pernyataan/
pertanyaan besar di awal tulisan ini,-
PP sebagai sebuah metode tentu saja
dapat diadopsi untuk tujuan
penguatan komunitas perempuan.
Syaratnya adalah bahwa metode PP
bisa dengan fleksibel dan dinamis
menangkap dinamika komunitas
perempuan itu sendiri.
Demikian pula dengan
upaya-upayapenguatan
komunitas perempuan,
banyak yang perlu
dicermati dalam
menerapkan syarat
partisipasi jika metode PP
tetap ditawarkan untuk
penguatankomunitas
perempuan
17. KABAR
JKPP
17
KABAR
PROGRAM
DARI PESISIR ACEH BESAR KE PEDALAMAN ACEH JAYA
Kabar dari Aceh
Oleh : KASMITA WIDODO
pada tiga bukit, sebelum akhirnya harus menyeberang
dengan rakit melewati Sungai Sarah Raya yang lebarnya
sekitar 100 meter. Ini memang gampong (desa) paling
ujung (hulu sungai) dari Kecamatan Teunom.
Pada tahun kedua setelah gempa dan tsunami di Aceh,
JKPP dan YRBI melakukan perluasan pemetaan partisipatif
dan sekaligus memfasilitasi perencanaan gampong di
Kabupaten Aceh Jaya. Sebagian lokasi kegiatan berada
di daerah terkena tsunami (pesisir), sebagian lagi lokasi
kegiatan berada di daerah yang terkena dampak konflik
politik di Aceh. Mengapa bergerak ke daerah pedalaman
(hulu sungai)? Program perluasan pemetaan partisipatif
dan perencanaan gampong/mukim pada akhirnya
mendorong masyarakat untuk terlibat dalam penataan
ruang di Aceh Jaya. Sudah ada inisiatif dari Flora Fauna
Internasional (FFI) bersama Serikat Mukim Aceh Jaya
untuk menyusun RTRW Kabupaten Aceh Jaya. Dalam
mendorong inisiatif masyarakat untuk mengambil
perannya dalam penataan ruang, tidak hanya oleh
masyarakat pesisir tapi juga masyarakat di daerah hulu
sungai (pegunungan). Apalah artinya kalau daerah pesisir
terencana dengan baik, sementara di daerah hulu sungai
“Tapeu got peta dan perencanaan
gampong untuk ta kelola gampong
geutanyo”1
PERJALANAN dari Banda Aceh menuju Ibukota
Kecamatan Teunom – Kabupaten Aceh Jaya ditempuh
sekitar 8 jam dengan mobil. Ada juga layanan angkutan
umum jurusan Banda Aceh – Meulaboh, karena sering
berhenti mengambil dan menurunkan penumpang, waktu
tempuh bisa lebih lama. Kondisi jalan Banda Aceh –
Calang (Ibukota Kab. Aceh Jaya) masih rusak parah.Akibat
tsunami, banyak badan jalan yang terhempas dan hanya
ada jembatan darurat ketika melewati sungai, sehingga
dibuat jalan alternatif melewati jalan desa dengan kondisi
berdebu saat cuaca panas dan berlumpur pada saat hujan.
Ruas jalan Calang – Teunom sudah diaspal cukup bagus,
namun pada beberapa ruas jalan sudah mulai berlubang
dan amblas.
Dari Ibukota Teunom menuju lokasi kegiatan JKPP dan
Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) di Kemukiman
Sarah Raya bisa ditempuh dengan sepeda motor atau
mobil. Diperlukan waktu sekitar 1 jam melewati jalan
beraspal yang rusak, dan jalan tanah berbatu dan menanjak
1
Artinya, “Kita buat peta dan perencanaan kampung untuk mengelola
gampong kita”.
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
18. KABAR
JKPP
18
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
tidak terjadi proses pengelolaan yang
baik dan berkelanjutan.
Situasi politik paska konflik
memungkinkan untuk melakukan
pengorganisasian di tingkat
gampong. Namun, kondisi ini tidak
banyak dilirik oleh para NGO untuk
melakukan kegiatan di daerah
tersebut. Karena konsentrasi
sebagian besar NGO yang ada di
Aceh masih terfokus pada daerah
yang terkena tsunami. Padahal kalau
ditelaah lebih jauh, dampak konflik di
Aceh juga cukup luar biasa. Selain
korban jiwa, tidak terjadi pengurusan
atau terabaikannya sumberdaya
gampong yang menjadi basis
produksi masyarakat, seperti sawah
dan kebun. Perlu proses pemerataan
percepatan rehabilitasi dan
rekonstruksi pada daerah tsunami
dan daerah konflik. Sehingga terjadi
keseimbangan antara hulu dan hilir
sungai, antara pesisir dan daerah
pegunungan.
Selain melakukan perluasan wilayah
pemetaan dan perencanaan
gampong di Aceh Jaya, saat ini ada
sebuah proses advokasi bersama
mengenai tata ruang wilayah Provinsi
NAD dan Kab. Aceh Besar. Beberapa
lembaga yang ada diAceh melakukan
pengawalan proses penyusunan
RTRWP NAD dan RTRWK beberapa
kabupaten. Upaya ini dilakukan untuk
merealisasikan hak mukim dalam
penyusunan tata ruang di Aceh.
Sehingga peran mukim tidak hanya
sebagai “pemadam kebakaran” jika
terjadi konflik di tingkat implementasi
rencana pembangunan wilayah,
tetapi dapat memiliki peran dalam
pengambilan keputusan terhadap
perencanaan ruang di wilayah masing-
masing. Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias,
hampir menyelesaikan penyusunan
RTRWP NAD dan 17 kabupaten/kota.
Dari penelaahan dokumen-dokumen
tata ruang tersebut ternyata telah terjadi
penyeragaman konsep dan pola
pemanfaatan ruang, serta lemahnya
konsep ke-Acehan yang menjadi salah
satu dasar dalam penyusunan tata
ruang.
Advokasi kebijakan tata ruang yang
telah dijalankan selama ini perlu
dukungan banyak pihak dan upaya
yang masif dalam proses pengawalan
penyusunan yang akan menjadi produk
kebijakan. Ada dua hal yang perlu
ditelaah dalam melakukan advokasi
kebijakan tata ruang, dokumen teknis
yang berisi fakta dan analisa dan
perencanaan tata ruang wilayah dan
naskah Qanun (Peraturan Daerah) itu
sendiri.
Kedua dokumen ini menjadi satu
paket kebijakan yang akan mengatur
suatu wilayah (ruang) kabupaten atau
provinsi untuk periode 10-15 tahun ke
depan. Kondisi Aceh ke depan
dimulai dari proses penyusunan tata
ruang ini, sehingga diperlukan upaya
banyak pihak untuk memantau dan
memberikan masukan yang
konstruktif bagi tata ruang Aceh.
Dalam Undang-undang Peme-
rintahan Aceh (UUPA) No.11 tahun
2006, Mukim sudah dimasukkan
dalam struktur pemerintahan Aceh.
Imeum mukim berperan sebagai
jembatan antara pemerintahan
dengan adat yang berlaku dalam
masyarakat. Dalam konteks
pengelolaan ruang, mukim harus
dijadikan unit terkecil dalam
perencanaan tata ruang wilayah
(Kertas Posisi Tim Adhoc Tata
Ruang, 2006). Mukim dan gampong
secara tradisi memiliki sistem tata
ruang yang khas. Pembagian
kawasan dalam wilayah mukim/
gampong dilakukan berdasarkan
pada fungsi-fungsi tertentu, seperti
fungsi sosial-spiritual, ekonomi dan
fungsi ekologi (lingkungan). Namun
demikian, sejalan dengan perubahan
zaman, fungsi-fungsi kawasan dalam
wilayah gampong ikut pula
mengalami perubahan (Sanusi M.
Syarif, 2006). Dengan kondisi
tersebut di atas, partisipasi dan peran
mukim dan gampong menjadi sangat
penting dalam proses penyusunan
tata ruang wilayah, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten di NAD.
Partisipasi yang dimaksud adalah
partisipasi yang menyeluruh dalam
proses penyusunan rencana tata
ruang, yaitu dari penyusunan,
pelaksanaan dan pengawasannya.
[kw] ***
Dalam konteks pengelolaan
ruang, mukim harus
dijadikan unit terkecil
dalam perencanaan tata
ruang wilayah
KABAR
PROGRAM
19. KABAR
JKPP
19
KABAR
PROGRAM
TATA RUANG DESA DAN KECAMATAN PARTISIPATIF
Oleh : KASMITA WIDODO
Kabar dari Sekadau
Dalam pelaksanaannya, salah satu tujuan dari gagasan ini
adalah merealisasikan hak partisipasi masyarakat dalam
penataan ruang seperti yang diamanatkan dalam PP No. 69
Tahun 1996 tentang Pelaksanaan hak dan Kewajiban, serta
Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang. Karena dalam prakteknya selama ini,
partisipasi masyarakat masih sangat semu, tidak lebih dari
sekedar penerima informasi tanpa dapat memberikan
respon apalagi masukan yang substansial. Ini tidak lepas
dari paradigma pemerintah selama ini yang
menyederhanakan proses penataan ruang karena kerangka
proyek dan rencana investasi. Padahal ini sebuah
penyederhanaan yang menimbulkan kesulitan pada tahap
berikutnya dari sebuah perencanaan tata ruang, yaitu proses
implementasi.
Dampak sosial budaya, ekonomi, dan ekologi yang menjadi
rambu dari sebuah perencanaan tata ruang menjadi begitu
samar dan terabaikan. Perubahan bentang alam dan
peruntukan penggunaan lahan masih dimaknai sebagai
Di Kabupaten Sekadau,
tepatnya diKecamatan Nanga Mahap,
sedang berlangsung sebuah proses
yang dilakukan masyarakat di 11 desa
bersama pemerintah desa dan kecamatan
untuk menyusun sebuah rencana tata
ruang tingkat desa dan kecamatan,
sebuah proses yang didorong oleh
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP)-Bogor, Program Pemberdayaan
Sumberdaya Alam Kerakyatan
(PPSDAK)-Pontianak
dan Gerakan Rakyat Pemberdayaan
Kampung (GRPK)-Sekadau
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
20. KABAR
JKPP
20
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
mekanisme dari rente ekonomi yang
mendorong pusat-pusat pertum-
buhan untuk peningkatan
“pendapatan ekonomi daerah”.
Rencana ini menjadi begitu
prematur pada tahap implemen-
tasinya, karena terjadi konflik di
lapangan berkaitan dengan
perubahan peruntukan lahan dan
konflik pertanahan dan kawasan. Hal
ini karena beberapa hal. Satu di
antaranya adalah ketidakmampuan
kita merealisasikan hak partisipasi
masyarakat dalam penyusunan
rencana tata ruang.
Ruang bagi masyarakat tidak melulu
untuk basis produksi tetapi memiliki
dimensi sosial, budaya dan
kelembagaan, terutama bagi
masyarakat adat. Sehingga
pengaturan ruang perlu basis
informasi dan rencana yang disusun
berdasarkan pola pemanfaatan
ruang dan aspek sosial
kelembagaan di tingkat lokal yang
sangat spesifik setiap wilayah.
Penyeragaman struktur dan pola
pemanfaatan ruang sering
menimbulkan ketidaksesuaian
terhadap sistem kelola masyarakat.
Menyusun rencana tata ruang
memang harus melibatkan banyak
pihak, terutama masyarakat yang
mendiami dan hidup di dalamnya.
Dalam kerangka otonomi daerah
saat ini, belum terjadi pergerakan
yang berarti menuju arah yang dapat
memposisikan masyarakat sebagai
perencana wilayah di setiap
kampungnya. Perlu dukungan
banyak pihak dan kemauan politik
dari pemerintah daerah untuk duduk
bersama dengan masyarakat ketika
KABAR
PROGRAM ruang hidup direncanakan untuk
pengembangan dan pertumbuhan
ekonomi daerah dengan tetap
memprioritaskan kesejahteraan
masyarakat dan keberlanjutan ruang
hidup tersebut.
Pemerintah Kecamatan Nanga
Mahap, para kepala desa, tokoh
masyarakat dan tokoh adat telah
memulai langkah baru dalam
menyusun rencana tata ruang
kecamatan yang berbasis pada
perencanaan kampung. Dimulai dari
sebuah workshop perencanaan
penyusunan rencana detil tata ruang
Kecamatan Nanga Mahap, disusunlah
agenda bersama untuk melakukan
perencanaan partisipatif. Basis
informasi yang dituangkan dalam peta
kampung melalui pemetaan partisipatif
dan rencana pengelolaan ruang
masyarakat di tingkat desa menjadi
bahan utama dalam menyusun
rencana detil tata ruang di tingkat
kecamatan. Ketika artikel ini ditulis,
telah difasilitasi 4 perencanaan desa;
Desa Cenayan, Desa Sebabas, Desa
Landau Kumpai dan Desa Nanga
Suri. Hasil perencanaan ini akan
disusun oleh Tim Kerja Tata Ruang
Kecamatan Nanga Mahap yang
terdiri dari Pemerintah Kecamatan
Nanga Mahap, para Kepala Desa dan
Tokoh Adat/masyarakat.
Selain itu, secara bersamaan saat ini
sedang dilakukan kajian sosial,
ekonomi dan spasial di tiga
kecamatan; Kecamatan Nanga
Mahap, Kecamatan Nanga Taman
dan Kecamatan Sekadau Hulu. Hasil
kajian ini dan hasil perencanaan desa
diformulasikan oleh Tim Kerja Tata
Ruang Kecamatan untuk disusun
menjadi rencana detil tata ruang
kecamatan (RDTRK) yang
partisipatif. Bagaimana dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Sekadau yang
telah disusun? RTRWK Sekadau
menjadi arahan bagi RDTRK Nanga
Mahap. Ada proses integrasi dan
negosiasi antara Pemerintah
Kecamatan Nanga Mahap dan
rencana desa yang dibuat oleh
masyarakat.
Belum banyak yang bisa dikabarkan,
namun cukup banyak yang sedang
dikerjakan, walau itu dimulai dari
kampung. [kw] ***
Perencanaan Desa Cenayan,
Kab. Sekadau
21. KABAR
JKPP
21
KABAR
REGION
Pemetaan Partisipatif di Jawa:
Mengelola Potensi, Menata Ruang Hidup
TEKNOLOGI pemetaan makin
canggih dan metodologi pemetaan
makin beragam. Implikasinya adalah
makin kuatnya penggunaan dan
pemanfaatan informasi peta/spasial
dalam pemanfaatan ruang, yang
berkorelasi pada masalah-masalah
keruangan. Kemajuan teknologi ini
perlu diimbangi dengan
penyebarluasan informasi secara
lengkap dan adil kepada masyarakat
agar dapat dimanfaatkan secara
efektif, dengan mengoptimalkan
manfaat dan meminimalisir
“mudharat” (dampak negatif) yang
mungkin terjadi.
Peta sudah sejak lama digunakan
oleh manusia. Tahun 2300 sebelum
masehi (SM) orang-orang di
Babilonia sudah membuat peta di
atas lempengan-lempengan tanah.
Pada saat ini peta sudah bukan
barang mewah yang susah didapat.
Peta bukan lagi gambar sederhana
dengan informasi yang terbatas,
tetapi dalam bentuk yang sangat
bervariasi. Dewasa ini, Teknologi
informasi geospatial sangat
berkembang pesat, mampu
memberikan informasi suatu wilayah
Tingkat pemahaman masyarakat terhadap peta akan merubah
cara pandang dan kesadaran masyarakat terhadap ruang
hidupnya. Kemampuan membaca peta dan masalah keruangan
adalah ’indra keenam’ untuk melihat masa depan dalam
konteks pemanfaatan ruang demi kesejahteraan masyarakat.
Maka, Jangan Biarkan Masyarakat Buta Peta!
yang luas secara lengkap dengan
proses pembuatan yang sangat
singkat.
Peta sangat penting untuk semua
orang dan di semua tempat, baik di
laut, di darat, di pantai, di pegunungan,
di kota, di hutan, bahkan di dalam
gedung ataupun di dalam kapal
sekalipun. Kita butuh informasi berupa
peta. Seiring dengan perkembangan
teknologi dan pemanfaatan peta,
seiring itu pula beragam pengguna
dan penggunaan hasil peta tersebut,
tentu saja beragam pula dampaknya.
Namun demikian, tidak sedikit yang
buta peta atau yang menganggap peta
sekedar gambar “bentuk dan lokasi”
suatu wilayah. Pun tidak banyak yang
sadar bahwa dampak dari
penggunaan peta dapat berpengaruh
secara geografis ekologis, sosial,
budaya, politik dan ekonomi khususnya
ketika peta itu dipakai di ruang-ruang
kepentingan sektoral.
Ironisnya, majunya teknologi informasi
geospatial belum dimanfaatkan dan
diterapkan secara maksimal.Terbukti
masih banyaknya konflik tumpang tin-
tindih pengelolaan wilayah dan
sengketa agraria yang tak kunjung
selesai. Kemiskinan, keterbatasan
akses terhadap sumberdaya alam,
konflik horizontal, banjir, kekeringan,
tanah longsor, dan lain-lain menjadi
hal yang harus dihadapi oleh
masyarakat di Pulau Jawa khususnya.
Majunya informasi geospatial di pulau
Jawa, seakan tidak memberikan nilai
tambah yang berarti bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Padahal
dengan teknologi yang ada,
seharusnya mampu menghitung
langkah-langkah efektif khususnya
dalam pemanfaatan ruang kelola bagi
masyarakat.
Saatnya masyarakat menata ruang
hidupnya
Di tengah majunya teknologi
pemetaan dan beragamnya pihak
penyedia dan pengguna peta, sudah
seharusnya masyarakat memiliki dan
menggunakan peta dalam mengatur
ruang hidupnya. Banyaknya konflik
ruang kelola yang menekan
kesejahteraan masyarakat harus
1
Koordinator JKPP Region Jawa
Oleh : IMAM HANAFI1
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
22. KABAR
JKPP
22
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
disikapi dengan pemahaman yang
mendalam terhadap aspek-aspek
ruang di tingkat masyarakat. Setiap
perubahan bentang alam di suatu
wilayah, akan sangat berpengaruh
terhadap kondisi masyarakat, baik
perubahan bentang alam yang
diakibatkan bencana alam, maupun
karena perubahan status fungsi dan
kepemilikan pada satu kawasan.
Sebagai pihak yang bersentuhan
langsung dengan setiap perubahan
ruang, selayaknyalah masyarakat
menjadi pihak utama yang
memanfaatkan peta untuk menata
ruang hidupnya sendiri. Karena
apapun itu, hanya masyarakatlah
yang sangat mengetahui tentang
kondisi ruang yang sesuai dengan
pola hidupnya. Di sisi lain, proses
penataan ruang yang melibatkan
masyarakat perlu mendapat
perhatian dan dukungan serius dari
pemerintah sebagai penyelenggara
proses penataan ruang.
Dengan maraknya masalah-masalah
keruangan di Pulau Jawa saat ini,
minimnya lahan dan ancaman
bencana alam secara periodik,
masyarakat perlu didorong untuk
secara aktif menata wilayah
hidupnya. Pemetaan partisipatif (PP)
bisa dipergunakan sebagai bagian
upaya aktif masyarakat dalam
mengelola ruang hidupnya, karena
salah satu hasil PP adalah data-data
spasial detail tentang pemanfaatan
ruang yang bisa menjadi masukan
untuk perencanaan pengelolaan
ruang. Pelaksaan PP diharapkan
dapat menambah kesadaran
masyarakat terhadap kondisi ruang
hidup dan potensinya, baik potensi
yang bisa dimanfaatkan atau potensi
bencana yang mengancam.
Dengan adanya kesadaran ruang yang
utuh, upaya mencapai kesejahteraan
tidak sekedar meningkatkan
produktivitas ekonomi tetapi juga
menghindari dan meminimalisir
resiko bencana. Upaya-upaya
pemetaan dan penataan wilayah
kelola masyarakat perlu ditunjang
dengan konsep pengelolaan wilayah
yang memperhatikan aspek ekonomi
dan ekologi yang sinergis.
Meskipun baru berjumlah sedikit,
berbagai kegiatan pemetaan
partisipatif telah diselenggarakan di
berbagai tempat di Pulau Jawa:
beberapa kampung di Jember,
Mojokerto, Gunung Merapi-
Yogyakarta, Wonosobo, Garut, Ciamis,
Tasikmalaya, Sukabumi, Lebak,
Subang. Pemetaan yang telah
diselenggarakan di beberapa tempat
di Jawa ini memiliki beberapa variasi
tujuan: untuk mendokumentasikan
wilayah reklaim sebagai bagian dari
proses advokasi, untuk perencanaan
pengelolaan, untuk mempertegas
batas wilayah, untuk mendokumen-
tasikan model pengelolaan
sumberdaya alam, dll. Tujuan dan
pemanfaatan peta yang telah dibuat
tentunya akan berkembang di masa-
masa mendatang.
PP yang telah diselenggarakan di
Jawa ini tentunya masih terlalu sedikit.
Kegiatan PP di Jawa masih sangat
perlu diperluas. Berikut ini beberapa
manfaat bila PP bisa diselenggarakan
seluas-luasnya di Jawa:
1. Akan tersedia data detail
tentang wilayah kelola dan
model kelola sumberdaya
alam versi masyarakat
(meskipun data persil tanah
di P. Jawa cukup lengkap,
tetapi masih banyak juga wi-
layah di P. Jawa terutama di
bagian Selatan yang detail
data spasialnya terabaikan).
2. Akan tersedia data spasial
perdesaan yang lebih
lengkap sehingga memu-
dahkan perencanaan detail
tata ruang.
3. Makin mudahnya menye-
lesaikan berbagai tumpang
tindih kepentingan dalam
pemanfaatan ruang,
khususnya di perdesaan.
4. Tersedianya data spasial
detail tentang potensi dan
daerah rawan bencana versi
masyarakat, sehingga bisa
dipadukan dengan berbagai
pendekatan “ilmiah” lain
dalam pengelolaan P. Jawa.
Upaya-upaya ini tentu saja tidak bisa
berjalan sendiri. Perhatian, dukungan
dan keterlibatan para pihak yang lain
(khususnya pemerintah) sangat
dibutuhkan. Penataan ruang
partisipatif membutuhkan ruang
dialogis yang dinamis antara
pemerintah sebagai penentu
kebijakan dan masyarakat sebagai
pelaku kebijakan. Sehingga, dalam
menyikapi persoalan ruang, ada
komunikasi dua arah yang
memungkinkan terjadinya kesepa-
haman bersama. Di sisi lain dukungan
tersebut juga dibutuhkan dalam
pemenuhan alat dan prasyarat yang
dibutuhkan guna mencapai harapan
yang diinginkan.
Sudah saatnya masyarakat dilibatkan
dan mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak dalam proses
penataan ruang hidupnya!!! [ih]
KABAR
REGION
23. KABAR
JKPP
23
MEREFLEKSIKAN KEMBALI
PENDEKATAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
KABAR
REGION
Oleh : LORENSIUS A.R1
PROPINSI Kalimantan Barat
merupakan salah satu daerah
penyumbang devisa terbesar dari
sektor kehutanan (hasil hutan)
terutama pada masa Orde Baru
berkuasa. Selain kayu (saat ini)
investasi perkebunan besar sedang
berlangsung besar-besaran di
Kalbar. Hampir seluruh wilayah di
Kalimantan Barat telah terkapling-
kapling untuk kepentingan investasi
skala besar yang kesemuanya itu
terjadi tanpa proses pelibatan warga
masyarakat, terutama masyarakat
adat. Dominasi negara terhadap hak-
hak masyarakat adat acapkali kita
lihat-dengar dan bahkan rasakan.
Dinamika sosial budaya, ekonomi
dan bahkan politik terkooptasi oleh
kekuasaan saat itu; aktivitas
pemberdayaan masyarakat sangat
sedikit terbangun.
Dalam kondisi tersebut gerakan
Pemetaan partisipatif (PP) menjadi
salah satu alternatif untuk membuka
ruang negosiasi masyarakat dengan
pihak luar (pemerintah dan
pengusaha) dalam mengelola dan
memanfaatkan ruang. Bahkan di
beberapa wilayah yang notabene
masih cukup luas hutan dan
lahannya, kegiatan PP menjadi
alternatif untuk membatasi ruang
gerak investasi skala besar dan/atau
pencaplokan lahan masyarakat oleh
pihak yang tak bertanggungjawab.
Pengingkaran terhadap eksistensi
masyarakat adat di Kalbar saat itu
memang acapkali kita dengar. Oleh
sebab itu PP menjadi terobosan baru
dalam membangun gerakan sosial di
Kalbar. Kemudian dengan peta
partisipatif, warga masyarakat adat
mulai menunjukan pada pihak luar
bahwa kepemilikan atas ruang
kelolanya menjadi jelas yang diikuti
dengan bukti sejarah kepemilikan
wilkayah. Hasil peta tersebut pula yang
kemudian mampu memberi
perlawanan kepada pihak perusahaan
sehingga menyebabkan beberapa
perusahaan dikenai hukum adat
kerena telah merampas hak
masyarakat adat. Sebagai payung
hukum dari gerakan tersebut
digunakan UU No.24/1992 tentang
Penataan Ruang (saat ini sedang
dalam tahap revisi oleh DPR), dan
Peraturan Pemerintah No.69/1996
tentang Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang. Kemudian di
Kalbar sendiri pada saat itu ada Perda
No.1/1995 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRWP) Propinsi
Kalimantan Barat. Dasar hukum inilah
yang kemudian dijadikan pintu masuk
untuk melakukan gerakan PP di
Kalimantan Barat. Gerakan PP
sebagai gerakan sosial kemudian
berkembang menjadi gerakan sosial
politik manakala hasil yang diperoleh
dari PP tersebut menginginkan
adanya perubahan kebijakan dan
perubahan paradigma pemerintah
daerah dalam pengelolan
sumberdaya alam di daerah.
Kemudian juga proses PP yang
terjadi mampu menghambat lajunya
proses eksploitasi sumberdaya hutan
dan pelanggaran hak masyarakat
adat di Kalimantan Barat. Hal lainnya
yang tak kalah pentingnya adalah
upaya mempromosikan pola
pengelolaan sumberdaya alam yang
dilakukan oleh masyarakat yang
dikenal cukup arif dan bijak.
Gerakan PP di Kalimantan Barat sejak
tahun 1995-2000 cukup pesat.
Namun memasuki tahun 2000-2006
ini, proses percepatan pemetaan di
kalbar mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan antara lain: semakin
banyaknya permintaan pendam-
pingan pasca pemetaan, belum
maksimalnya proses pengorga-
nisasian pada kampung-kampung
yang telah menyelenggarakan PP,
proses pemetaan belum memberi
dampak atau manfaat yang signifikan
terutama tentang kepastian hak
pengelolaan. Berdasarkan catatan,
hingga akhir Juni 2006 PPSDAK
Pancur Kasih telah berhasil
mendukung penyelenggaraan PP di
1
Badan Pengawas JKPP, Staff
PPSDAK Pancur Kasih- Pontianak
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
Kabar dari Kalbar
24. KABAR
REGION
286 wilayah kelola rakyat dengan
luas 1.189.223,68 hektare atau 7,94
% dari luas Kalbar yang tersebar
pada 9 kabupeten. Kuantitas capaian
di atas tidak sejalan dengan harapan
ideal awal kegiatan ini yang
menginginkan adanya proses yang
lebih nyata dan tegas berupa adanya
pengakuan dan penghormatan atas
pengelolaan ruang masyarakat
setempat oleh negara, atau
berkurangnya proses degradasi
sumberdaya hutan akibat
penebangan dan masih dijumpainya
praktek-praktek pelanggaran hak-
hak masyarakat oleh investasi skala
besar. Gerakan PP masih terus
menerus melakukan upaya agar cita-
cita luhur bagi masyarakat adat dapat
terlaksana.
SETELAH 10 TAHUN GERAKAN
PEMETAAN PARTISIPATIF DI
KALIMANTAN BARAT
Dari 286 wilayah kampung yang telah
menyelenggarakan PP,ada beberapa
wilayah yang dapat kita jadikan bahan
pelajaran menarik dari pelaksanaan
gerakan ini, terutama pekerja sosial –
“tukang ukur” / “BPN swasta” – yang
memperjuangkan kedaulatan rakyat
atas ruangnya.
Oleh sebab itu para pekerja sosial ini
akan terus berupaya agar kerja-kerja
ke depan tidak hanya sekedar kegiatan
penyelamatan yang bersifat “emergen-
cy”, tetapi membutuhan perhatian
serius terutama bagaimana agar
gerakan ini mampu melakukan
perubahan dalam konteks
pemberdayaan masyarakat.
Pengalaman 10 tahun PPSDAK
Pancur Kasih dalam mendukung PP
sudah cukup alasan untuk
merefleksikan pendekatan yang
selama ini dilakukan. PP diharapkan
mampu mengaktualisaikan peren-
canaan pembangunan wilayah
dengan basis sumberdaya yang ada.
Hasil PP yang dirasakan saat ini
belum sepenuhnya memberi dampak
politik yang signifikan terhadap
pengurusan dan penguasaan
sumberdaya alam.
TAHUN PP NAMA KAMPUNG HASIL/DAMPAK
1995 Sidas Daya, Kab. Landak Informasi dan pengorganisasian yang utuh proses PP di wilayah ini mampu mempertahankan
bentuk-bentuk tradisi pertanian masyarakat yang arif dan bijak dengan hasil yang cukup.
Kemandirian dan sikap swadaya atau partisipasi yang tinggi membuat kampung ini mendapatkan
perhatian dari banyak pihak termasuk Pemda Kab. Landak berupa sarana pendidikan, tempat
ibadah, dan bantuan sarana air bersih.
1997 Kotib, Kab. Landak Proses PP mampu memberikan pemahaman tentang pengelolaan wilayah sehingga ditetapkan
kawasan lindung atau hutan adat sebagai wilayah resapan air dan tempat berburu serta kawasan
untuk mencari kayu bahan ramuan rumah.
Pasca PP warga mengkoordinir diri membentuk koperasi sebagai wadah untuk pengelolaan
ekonomirumahtangga,
1998 Riam Tapang, Silat Hulu
Kab. Kapuas Hulu
Tahun 1998 pada saat penyelenggaraan PP, kampung ini bergabung dalam Desa Nanga Luan
Kec. Silat Hulu. Berdasarkan hasil PP wilayah ini mengusulkan untuk pemekaran wilayah dan
sekarangtelahdefenitifmenjadisebuahDesaRiamTapang.
Pada saat penyelenggaraan PP, wilayah adat Kampung Tapang masih “dikuasai” oleh PT.Alas
Kusuma dan PT. Duta Rendra Mulia. Sejak dilakukan pengorganisasian, masyarakat mampu
memaksa PTAlas Kusuma menghentikan aktivitasnya dan berhasil menuntut ganti rugi kepada
perusahaanataspelanggaranhutanadatyangtergarapolehperusahaanini.
2004 Nanga Mahap,
Kab. Sekadau
Pendekatan yang baik antara pihak Pemerintah Kec. Nanga Mahap dengan tokoh masyarakat
sehinggamampumenghasilkanpetaperencanaankecamatanyangmenjadibahanpertimbangan
dalam penyusunan perencanaan pembangunan di Kecamatan Nanga Mahap.
2004 Kampung Gurung Urau, Kec.
Nanga Mahap, Kab. Sekadau
dan Kampung Riam Perupuk
Kec. Sandai, Kab. Ketapang
Penyelenggaraan PP wilayah Gurung Urau melewati wilayah dari kampung Riam Perupuk,
yang dipicu dengan pemukiman warga Gurung Urau yang berada di wilayah Riam Perupuk.
Warga Riam Perupuk secara administasi kependudukan masuk Kec. Nanga Mahap Kab.
Sekadau, sementara teritori wilayah adatnya berada dalam Kecamatan Sandai Kab. Ketapang
1997 Kampung Blonse, Langkar
Kec. Simpang Hulu,
Kab. Ketapang
Terjadi pengkaplingan kawasan hutan oleh pihak yang menyatakan cukup berperan dalam
pelaksanaan PP untuk diserahkan kepada pihak perusahaan dengan model HPHH 100 ha pada
tahaun 1998-1999, sehingga terjadi konflik antar warga.
Tabel Gambaran Kondisi Wilayah Pasca PP 1995-2005
KABAR
JKPP
24
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
25. BEBERAPA HASIL DISKUSI REFLEKSI PEMETAAN PARTISIPATIF
1. PP mampu mentransformasi “peta mental” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi suatu peta modern yang
berasal dari tradisi tulisan. Dalam melakukan transformasi ini, tidak semua budaya lisan yang dialihkan ke
dalam bentuk tulisan menguntungkan karena bahan-bahan tertulis justru bisa menjadi alat kontrol bagi
pihak luar terhadap masyarakat yang memiliki pengetahuan tersebut. Tetapi dalam banyak kasus pengalihan
demikian tidak bisa dihindari karena untuk perlindungan dan penyelamatan budaya tradisi lisan.
2. PP di Kalimantan Barat memiliki tujuan untuk memperjelas batas-batas klaim wilayah masyarakat lokal/
adat, mengatur pola pemanfaatan ruang oleh masyarakat, dan sebagai alat pengorganisasian masyarakat
untuk mengurangi potensi konflik dan perusakan sumberdaya alam. Kemudian PP menjadi dasar untuk
advokasi kebijakan untuk mendapatkan legitimasi atas klaim tersebut melalui pengakuan, penghormatan,
dan perlindungan.
3. Dampak lain yang muncul akibat PP antara lain tata batas menjadi kaku yang berujung pada menguaknya
konflik di dalam masyarakat dan menimbulkan kotak-kotak sosial mengikuti tata batas peta, memperkuat
pembagian wilayah administratif pemerintahan (melalui pemetaan kampung/desa), serta adanya
kecenderungan privatisasi tanah adat.
4. Hingga saat ini disadari bahwa PP belum mampu menerjemahkan indigenous knowledge dan indigenus
wisdom dalam konteks sosial budaya komunitas kampung yang dipetakan, terutama dalam hal “kumpulan
hak yang melekat” (bundles of rights) termasuk hak pemanfaatan sumberdaya alam oleh kerabat dari
wilayah tetangga. Yang terjadi justru PP “membekukan” fleksibilitas dan dinamika ruang dan pengetahuan
“asli”.
5. Persoalan metodologi, selama ini metode PP cenderung seragam tanpa mempedulikan perbedaan kondisi
dan kebutuhan masyarakat yang wilayahnya dipetakan. Padahal, paling sedikit ada tiga tingkat kondisi
masyarakat yang perlu diperhatikan, penyelamatan (damage control), pemulihan (recovery) dan investasi.
6. Keberlanjutan atau kesinambungan kerjasama dalam pengorganisasian masyarakat sesudah pemetaan
mutlak dilakukan.
7. Gerakan PP sebagai sebuah gerakan sosial cenderung menekankan kepentingan ekonomi dan ekologi
bila dilihat dari jenis-jenis peta yang dihasilkan, yaitu batas kampung dan tata guna lahan. Dengan demikian
sampai saat ini gerakan PP masih berupa gerakan kultural yang bertujuan untuk mendidik masyarakat,
tetapi belum mengembangkan komponen kedua dari gerakan sosial yaitu sebagai sebuah gerakan politik.
Informasi pada tabel hanya
sebagian kecil dari hasil dan
persoalan yang ada di lapangan.
Perubahan yang diakibatkan oleh
proses PP tentunya dapat menjadi
bahan pelajaran menarik bagi pihak
yang terlibat didalam proses PP ini.
Pelajaran menarik ini tentunya
membutuhkan perhatian para pihak
dalam bekerja bersama masyarakat.
Proses pendekatan, pengorga-
nisasian dan penyadaran kelompok
masyarakat terus di-upgrade agar
dapat menyesuaikan dengan kondisi
sosial masyarakat dan perkem-
bangan zaman terutama perubahan
kebijakan negara. Sikap jenuh warga
masyarakat terhadap pendekatan
pragmatis yang belum menunjukkan
hasil signifikan pada kondisi sosial
masyarakat juga menyebabkan
gerakan ini jalan di tempat dan justru
menjadi bumerang bagi aktivis
gerakan sosial lainya.
Semangat desentralisasi hendaknya
menjadi momentum dalam
melakukan gerakan PP pada masa
yang akan datang. Oleh sebab itu
pendekatan strategis dan taktis yang
perlu dilakukan ke depan adalah
bagaimana meningkatkan kapasitas
kelompok-kelompok masyarakat
untuk membangun komunikasi
dengan pemerintah daerah agar
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat mendapat dukungan
daripemerintah daerah. Dengan
demikian proses pengakuan dan
penghormatan terhadap hak
masyarakat dapat tercapai. [lar] ***
KABAR
JKPP
25
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
26. 26
KABAR
JKPP
KABAR JKPP NO. 12 JANUARI 2007
KABAR
SEKNAS
Waktu tak pernah berhenti!
Tanpa terasa kita sudah memasuki tahun yang baru lagi, tahun 2007
DALAM KABAR JKPP 12 ini beberapa informasi yang dapat
dikabarkan dari SekNas kali ini adalah:
PERSIAPAN SEKNAS MENJELANG FORUM
ANGGOTA JKPP IV, MARET 2007
Perhelatan ini yang seharusnya dilaksanakan tahun yang
lalu, tetapi karena mengalami banyak keterbatasan,
penyelenggaraan Forum Anggota IV JKPP ini baru bisa
dilaksanakan pada akhir Maret 2007. Persiapan-persiapan
yang telah dilakukan saat ini adalah pertemuan dengan
Badan Pengawas yang selanjutnya bertindak sebagai SC
untuk membahas pelaksanaan Forum Anggota IV JKPP.
Pertemuan pertama SC pada bulan September 2006
menghasilkan catatan-catatan. Diantaranya :
1. Review perkembangan PP periode 2003-2006
Permintaan layanan PP(Jawa paling banyak) namun
prosesnya tidak programatik, tetapi berdasarkan
permintaan masyarakat (lembaga), bentuknya adalah
penyediaan fasilitator dan alat. Ada juga proses PP
berhubungan dengan perluasan ruang kelola melalui
program kolaborasi dengan lembaga lain diantaranya
program registrasi kawasan kelola rakyat yang dilakukan
oleh KpSHK, di mana JKPP sebagai bagian dari program
tersebut.
2. Konsolidasi di setiap Region
Perkembangan regional di Jawa dan Nusa Tenggara cukup
aktif, banyak permintaan layanan PP yang berhubungan
dengan kasus-kasus yang terjadi di wilayahnya, hal ini
membuat komunikasi dengan SekNas lebih baik dan
adanya dukungan logistik; Region Sumatera membubarkan
diri sehingga anggotanya langsung berhubungan dengan
SekNas; Sulawesi ada Forum tetapi tidak aktif demikian
pula halnya dengan Region Maluku-Papua. Menjelang
Forum Anggota JKPP IV, perlu adanya diskusi dan
komunikasi di tingkat region untuk konsolidasi dan memilih
perwakilan dari masing-masing region yang akan hadir
dalam Forum Anggota JKPP IV.
3. Mekanisme Forum Anggota JKPP IV
Ada beberapa mekanisme yang direkomendasikan untuk
dilakukan tanpa tatap muka (virtual,telp,sms,pos, kunjung-
ngan perwakilan) walaupun masih diusahakan untuk tatap
muka.
Untuk menggali dan mendiskusikan seputar
perkembangan PP, regional dan SekNas, serta rencana
FA akan digunakan quisioner yang dikirim ke seluruh
anggota JKPP melalui pos, fax dan e-mail
Output dari pertemuan pertama SC tersebut adalah,
terkirim/terinformasikannya 18 lembar informasi dan
quisioner kapada anggota JKPP via pos. Serta pengiriman
quisioner via e-mail ke seluruh anggota JKPP (yang
tercatat/memiliki alamat e-mail). Dalam catatan di
sekretariat anggota aktif JKPP saat ini sebanyak 87
anggota, lembar informasi yang kembali ke sekretariat
hanya 6 saja.
Pertemuan kedua SC, pada tanggal 18 Januari 2007 telah
memutuskan bahwa Forum Anggota JKPP IV diagendakan
untuk dilaksanakan pada tanggal 28-30 Maret 2007 yang
sebelumnya akan dilakukan rapat SC pada tanggal 26-27
Maret 2007. Namun mengingat keterbatasan biaya, maka
diputuskan mengundang anggota JKPP (Lembaga) dalam
ForumAnggota IV JKPPberdasarkan quota Region dengan
perbandingan 3:1 yang penunjukkannya diserahkan
kepada kesepakatan masing-masing Region.
REGION LEMBAGA QUOTA
Sumatera 10 3
Jawa-Bali 12 4
Sulawesi 12 4
Nusa Tenggara 6 2
Kalimantan -1 10 3
Kalimantan -2 2 1
Maluku-Papua 311
TOTAL 63 20
Pembagian Quota
JKPP Menjelang Akhir Kepengurusan 2003-2006
27. KABAR
JKPP
27
VISI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN
Untuk mengkomunikasikan persiapan Forum Anggota
JKPP IV ini, untuk setiap region ditunjuk moderator
komunikasi antar anggota. Adapun relawan yang bersedia
menjadi moderator komunikasi di setiap region adalah
Restu “Ganden” Achmaliadi (Sumatera), Haris Palisuri
(Sulawesi), Lorensius (Kalimantan), Samuel Sau Sabu
(Nusa Tenggara), Imam Hanafi (Jawa) dan SekNas JKPP
(Maluku dan Papua). Topik yang didiskusikan oleh
moderator kepada setiap lembaga di masing-masing
region adalah :
Pandangan terhadap organisasi JKPP ke depan
(Tetap/Bubar/Berubah Bentuk)
Perkembangan seputar issue keruangan di
masing-masing region
Sistem quota dan rekomendasi untuk Forum
Anggota JKPP IV. [IN]
KONTRIBUSI JKPP UNTUK KMAN III
DI PONTIANAK
Dalam konggres AMAN III di Pontianak nanti, JKPP akan
bekerja sama dengan PPSDAK dan KpSHK untuk
penyelenggaraan Sarasehan dengan tema “Kembali ke
Semangat Komunitas”. Sarasehan ini akan mengajak
seluruh peserta konggres AMAN untuk merefleksikan
kembali cita-cita mereka bergabung dalam sebuah aliansi.
Selain untuk terus mengkonsolidasikan diri, sudahkah para
anggota dari aliansi ini menyadari fakta-fakta sosial-ekologi-
ekonomi dalam kehidupan mereka yang harus sesegera
mungkin diamankan terlebih dahulu sebelum bergumul
dalam ruwetnya jalan mengentalkan ideologi dan platform
organisasi melawan negara?
Sarasehan ini juga hendak mengajak semua pihak
berkontribusi secara praktis namun masif dalam menjawab
tantangan jaman. Krisis multi dimensi semakin terasa
menyesakkan. Harga-harga bahan pokok kian melambung
tanpa perlawanan dari rakyat. Energi terbarukan belum
banyak diciptakan sehingga masih sangat tergantung
kepada negara, untuk misalnya kebutuhan penerangan
rumah tangga, bahan bakar minyak semakin mahal,
sampai-sampai air bersihpun menjadi sesuatu yang langka
bagi sebagian komunitas karena memang telah kering-
hilang atau diprivatisasi oleh kalangan pemodal.
Sudahkah ini menjadi perbincangan yang menemukan
jalan keluar bersama bagi komunitas adat yang bergabung
dalamAMAN?... Jika belum atau tidak, apakah baru sampai
tahap bergabung untuk bersama-sama bermimpi ?
...ajakannya adalah…ayo bangunlah karena kelaparan
sudah di depan mata, kebodohan merajalela, kekeringan
hampir selalu melanda jika musimnya tiba…(IN)
SERI panduan ini merupakan kolaborasi tulisan dan
pengalaman dari para fasilitator JKPP yang secara aktif
telah berpengalaman memfasilitasi pemetaan kampung
sejak JKPP terbentuk. JKPP bekerjasama dengan
PERGERAKAN berusaha mewujudkan gagasan ini.
Lebih dari satu tahun untuk menyelesaikan sebuah
panduan sederhana untuk para pegiat pemetaan
partisipatif. Buku panduan ini dibuat dalam bentuk serial.
Terdiri dari 10 seri yang memuat mulai dari filosofi pemeta-
SERI PANDUAN PEMETAAN PARTISIPATIF, 2006
taan partisipatif, bagaimana menyelenggarakan sebuah
pertemuan untuk membahas tentang pemetaan kampung
sampai pada cara-cara/teknis menggunakan alat bantu
seperti GPS dan Kompas untuk survei pemetaan.
Masih diperlukan sumbangan gagasan cemerlang lainnya
bagi percepatan dan perluasan kerja JKPP ke depan, oleh
karena itu kami membuka kesempatan terbuka bagi
partisipan JKPP untuk menciptakan gagasan-gagasan baru
bagi penguatan komunitas melalui PP. (IN)
TERBITAN PALING GRESS
DARI SEKRETARIAT
28. layah di Indonesia dengan kasus yang berbeda. Program
FPIC di Kekhalifahan Kuntu, Kabupaten Kampar, Riau
adalah negosiasi kasus masyarakat dengan HTI
(PT.RAPP); di Larantuka, Flores Timur adalah proses
negosiasi masyarakat Lawolema dengan Hutan Lindung;
dan di Kabupaten Paser Kaltim adalah proses negosiasi
masyarakat Desa Lusan dengan pemegang hak
pengusahaan hutan (HPH) Rizki Kacida Reana (RKR). Hal
ini dimaksudkan untuk membuat model penerapan FPIC
dengan studi kasus yang variatif.
Sampai saat ini, untuk mendukung program FPIC, JKPP
telah melakukan beberapa rangkaian kegiatan pemetaan
partisipatif paska workshop nasional dan workshop di tiap
region. Kegiatan pemetaan partisipatif yang dilakukan
secara paralel akan selesai pada Januari-Pebruari 2007.
beberapa peta yang dihasilkan adalah peta batas
administrasi, peta tata guna lahan dan peta perencanaan
masyarakat. Peta-peta ini akan dijadikan sebagai dokumen
penyerta dalam proses negosiasi. Di sisi lain peta-peta ini
juga akan disimpan oleh masyarakat sebagai dokumen
yang dapat dimanfaatkan sebagai alat bukti, proses
perencanaan dan alat untuk berkomunikasi dengan pihak
luar terkait ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan
(potensi) yang ada di dalamnya. [ih] ***
DI TENGAH persoalan konflik keruangan yang masih
kencang terjadi di Indonesia, baik yang sudah terjadi sejak
lama, yang baru hingga yang antri untuk mengancam,
menuntut adanya proses penanganan dan penyelesaian
lewat alternatif solusi. Salah satu cara penyelesaian konflik
yang dapat dilakukan adalah lewat jalur negosiasi. Agar
proses negosiasi dapat berjalan memuaskan, salah satu
pinsip yang digunakan dalam membangun proses
negosiasi adalah dengan menerapkan prinsip FPIC (Free,
Prior, Informed Consent).
FPIC di Indonesia mensyaratkan tiga hal, yaitu:
• Adanya pengakuan dari pemerintah terhadap
keberadaan dan hak masyarakat adat, baik
secara kebijakan maupun secara fakta
implementasi di tingkat lapang
• Adanya keinginan stakeholders untuk mengajak/
melibatkan masyarakat (rightholders) untuk
bernegosiasi
• Adanya kapasitas masyarakat yang memadai
untuk melakukan proses negosiasi
Terkait dengan tiga hal tersebut di atas, di tingkat
kebijakan, secara implisit, menyebutkan adanya
pengakuan terhadap eksistensi masyarakat, khususnya
masyarakat adat. Meskipun demikian, persoalan
pengakuan tidak sesederhana teks dalam naskah
kebijakan. Dalam konteksnya persoalan pengakuan masih
perlu “dicari dan dikejar” kejelasannya.
Salah satu prasyarat bagi berjalannya prinsip FPIC adalah
“Pembuktian eksistensi masyarakat adat atas dasar klaim”,
cara untuk membuktikan eksistensi masyarakat adat
diantaranya melalui pemetaan partisipatif; untuk
memetakan batas-batas sistem kepemilikan tanah adat
dan bentuk-bentuk pemanfaatan tanah di dalam kawasan
tersebut.
Perkembangan Program FPIC
Sampai saat ini program FPIC telah berjalan selama satu
tahun lebih. Program FPIC difokuskan pada beberapa wi-
Pemetaan Partisipatif
dalam Free Prior Informed Consent (FPIC)
Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan
Oleh : IMAM HANAFI
Salah satu prasyarat bagi berjalannya prinsip FPIC adalah
Pembuktian eksistensi masyarakat adat atas dasar klaim