2. PROLOG
Hal terpenting pertama dalam
membahas retorika tabligh
sesungguhnya bukan membahas
bagaimana kita dapat trampil
menyampaikan pesan tabligh berdasar
kaidah-kaidah retorika, tapi bagaimana
kita mampu membangun kepribadian
mubaligh sehingga ia benar-benar
tampil sebagai sosok mubaligh yang
memiliki integritas. Persoalan ini amat
penting, terkait dengan beberapa
alasan:
3. 1. Kepribadian da’i amat terkait erat dengan keberhasilan
dakwah. Beragam fakta historis menjelaskan bahwa
keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh para da’i sepanjang
masa, termasuk di dataran bumi Nusantara, khususnya di
pulau jawa yang dilakukan para wali, secara menonjol amat
dipengaruhi oleh kepribadian yang dimiliki para da’i. Terutama
yang terkait dengan integritas moral, kedalaman ilmu,
keberanian, ketekunan, kesabaran, ketawakalan,
kesederhanaan, dan keikhlasan. Dengan kepribadian ini,
mereka tidak hanya menjadi amat bijaksana, penuh kasih
dalam bertegur sapa, sopan santun dalam bertutur kata, tapi
juga sangat toleran terhadap agama dan keyakinan masyarakat
yang didakwahi. Sehingga tanpa terasa hati masyarakat pun
dapat tertaklukkan, dan lambat-laun mereka larut pada agama
baru (Islam) yang ditawarkan. Dan hasilnya, dalam kurun
waktu yang relatif amat singkat Islam telah menyebar dan
diterima masyarakat hampir secara total di pulau Jawa.
4. 2. Secara internal, profesi mubaligh masih dihadapkan pada
sejumnah persoalan:
a. Problem kognisi, terkait wawasan, pengetahuan, logika,
dan kecerdasan, yang menjadi sumber kepercayaan
masyarakat terhadap para muballigh.
b. Problem skill, terkait keterampilan, ketangkasan, dan
kepantasan dalam melakukan tabligh.
c. Problem kepribadian, terkait dengan kewibawaan,
spiritualitas, keteladanan, daya juang, penampilan,
ketawaduan, keikhlasan, kelembutan, dan ketegasan
dalam melaksanakan tabligh.
d. Problem psikologis , terkait dengan kesadaran sebagai
da’i, kesiapan, ketenangan, kesejukan, dan kedamaian
yang dirasakan seorang muballigh.
e. Problem keluarga , terkait dengan harmonisasi dan
dukungan keluarga terhadap profesi para muballigh.
f. Problem ekonomi , terkait kesejahteraan para muballigh.
5. 3. Profesi dakwah atau tabligh sekarang ini oleh masyarakat
umum dipahami sebagai profesi yang bersifat “terbuka”,
artinya dapat dilakukan oleh “siapa saja”, dengan dalil:
ballighû annî wa lau âyah. Bahkan mungkin oleh sebagian
orang dianggap sebagai profesi alternatif, untuk tidak
mengatakan profesi pelarian, misalnya; ketika sudah tidak
menjabat lagi, tidak terkenal lagi, atau ketika sudah merasa
mentok untuk mendapatkan pekerjaan lain lalu mereka
memilih jadi da’i/mubaligh. Sehingga sekarang ini para
da’i/muballigh atau mengklaim diri sebagai da’i/mubaligh
tidak hanya lahir dari kalangan pesantren (dalam hal ini
para santri dan kyai) atau dari lembaga-lembaga pendidikan
dakwah, tapi juga lahir dari berbagai kalangan yang
bervariasi: politisi, artis, seniman, budayawan, mantan
pejabat, pelawak, dan lain-lain dengan segala macam watak,
asesori, dan embel-embel yang melekat pada dirinya.
6. Pentingnya Retorika dalam Tabligh
Sebagai ilmu dan sekaligus sebagai seni bicara,
retorika memang amat diperlukan dalam tabligh.
Diantara alasan-alasannya adalah:
1. Bagaimanapun mahirnya seseorang bertabligh,
secara jujur harus diakui pasti ada saja
kekurangan atau kelemahannya. Oleh karena itu,
teknik kita dalam membahas materi ini akan lebih
banyak menggunakan pendekatan brain storming
(bertukar pikiran) atau sharing experience
(berbagi pengalaman) di antara kita, dengan
begitu mudah-mudahan kelemahan yang ada pada
diri kita terus dapat kita kurangi. Di samping itu,
mudah-mudahan kita juga akan mendapat
pengalaman baru dari sesama rekan kita.
7. 2. Secara jujur masih sering juga kita
saksikan perhelatan tabligh yang
terdengar tidak menarik, membosankan,
hadirin terlihat mengantuk, dan kegiatan
tabligh berakhir dengan tidak berkesan.
Banyak sesungguhnya kemungkinan yang
dapat menjadi penyebab terjadinya hal
seperti itu, antara lain: tidak ada kontak
batin dengan jamaah, uraian tabligh
terlalu bertele-tele, mubaligh tidak
menguasai bahan dan tidak menghayati
isi tabligh, materi tabligh tidak sesuai
dengan kebutuhan jamaah, dan lain-lain.
8. 3. Secara teoritik, sukses tabligh ditentukan
oleh banyak faktor. Faktor terpenting adalah
penampilan muballigh dan cara ia
menyajikan materi tabligh. Muballigh yang
berbicara tenang, mantap, berwibawa, dan
menguasai serta menghayati materi tabligh
dengan baik, dia bukan hanya akan sanggup
menarik perhatian jamaah tapi juga akan
sanggup memberikan siraman ruhani yang
mengesankan.
4. Dengan demikian, untuk mencapai
pelaksanakan tabligh yang efektif seorang
mubaligh perlu memahami (menguasai) seni
berbicara atau retorika tabligh.