MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Puisi dingin taktercatat karya goenawan mohamad
1. Puisi Dingin taktercatat karya Goenawan Mohamad
Analisis nca yang satu ini, teoretis banget! He he… entah kenapa nca seneng banget heuristik dan
hermeneutik! Suatu kajian yang benar-benar harus menggunakan ketelitian untuk bisa membaca sebuah
puisi dengan benar (tapi gak menjadi patokan bahwa analisis nca ini bener..he he. Subjektif adalah kunci
analisis, tapi harus juga liat konvensi yang ada, gak asal ajah.)
Dingin tak tercatat
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa
Bahagia?
1971
I. Pembacaan Heuristik
Dalam pembahasan ini karya sastra dibaca linier, sesuai dengan struktur bahasa sebagai sistem tanda
semiotik tingkat pertama. Untuk menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti
susunan bahasa secara normatif, diberi tambahan kata sambung (dalam kurung), kata-kata
dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif. Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi
sisipan-sisipan kata dan kata sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas.
(Pradopo, 2005 : 269)
(rasa/keadaan) dingin (yang) tak tercatat / pada (alat) termometer// kota hanya
(di)basah(i)//(hembusan) angin (di) sepanjang sungai/ (seperti) mengusir, tapi kita tetap saja (berada) di
sana. Seakan-akan / gerimis (yang telah) raib / dan (seperti) cahaya (yang) berenang // mempermainkan
warna (-warna) // Tuhan, kenapa kita (manusia) bisa (merasakan) bahagia ?//
2. II. Pembacaan Retroaktif Atau Hermeneutik
Pembacaan heuristik itu baru memperjelas arti kebahasaannya, tetapi makna karya sastra atau sajak itu
belum tertangkap. Oleh karena itu, pembacaan heuristik harus diulang lagi dengan pembacaan
retroaktif dan diberi tafsiran (dibaca secara hermeneutik) sesuai dengan konvensi sastra sebagai sistem
semiotik tingkat kedua, sebagai berikut,
Judul ”dingin tak tercatat” adalah tanda bagi suatu keadaan yang tidak dapat dicatat atau dihitung.
”Dingin tak tercatat pada termometer” menjadi metafora bagi suatu keadaan yang tidak bisa diukur.
”Kota hanya basah” menjadi metafora lanjutan yang berarti tempat yang menjadi pusat suatu daerah, di
dalam puisi ini dapat dimaknai mata yang mengeluarkan air mata (kota hanya basah). Dengan bantuan
(Angin) air mata itu bisa dihapuskan (sepanjang sungai mengusir), tetapi ada keengganan dari
pelaku/tokoh untuk keluar dari masalah yang membuat air mata tersebut (tetapi kita tetap saja di sana).
Kalimat tersebut dianalogikan dengan air mata yang lama-lama mengering (gerimis raib) dan berganti
dengan kesenangan dengan permasalahan yang ada (dan cahaya berenang mempermainkan warna).
Lalu, diakhiri dengan pertanyaan kepada Sang Pencipta (Tuhan) tentang kebijakannya memberi rasa
bahagia sebagai metafora dari kesenangan orang (kenapa kita bisa bahagia?).
Dapat disimpulkan melalui pendekatan heuristik dan dilanjutkan dengan pembacaan hemeneutik bahwa
puisi Goenawan Mohamad yang ditulisnya pada tahun 1971 ini adalah puisi yang mempertanyakan
tentang kebahagiaan yang lebih disenangi manusia. Goenawan memulainya dengan diksi ”dingin” yaitu
keadaan bersuhu rendah dibandingkan dengan suhu tubuh manusia : butuh sesuatu untuk menstabilkan
rasa dingin tersebut, dengan memetaforakan bahwa keadaan tersebut tidak dapat diukur menggunakan
alat : hanya dapat dirasakan saja. Klimaks dari puisi ini yaitu mempertanyakan pada Sang Pencipta
kebahagiaan tersebut. Goenawan Mohamad hendak memperlihatkan bahwa tidak ada salahnya lebih
dekat dengan air mata dan bermain dengan air mata tersebut yang tidak kalah mengasyikkan dengan
kebahagiaan meninggalkan air mata itu sendiri.
Puisi “Dingin Tak Tercatat” menampilkan suasana ngungun, terpisah dari keramaian, namun
terselip rasa bahagia yang menimbulkan tanya. Seolah mereka (GM dan Tuhan) sedang berdua
menikmati „kesepian‟ itu bukan dengan „kesedihan‟. Kata “cahaya berenang” dalam puisi itu,
kemudian, sungguh-sungguh kami (bersama Arya Gunawan) buktikan saat menikmati larut
malam di tepi pantai Ancol. Dalam ribuan gelombang mungil sebagai anak ombak yang menepi
ke pantai, pada tiap punggung dan cekungannya, terpantul cahaya yang bersumber dari lelampu
gedung-gedung yang dari kejauhan seperti terletak di pinggir laut. “Itu dia cahaya yang
berenang…!” seru kami takjub. Sebenarnya ketakjuban itu terbit justru karena GM mampu
menuliskan pemandangan itu dalam frasa yang sederhana namun tepat.
Kemampuan seperti itu layak dipunyai oleh seorang penyair. Teman saya Tia Lesmana di
Yogya, pernah menyebut sebagai “bahasa dewa” untuk kata-kata yang lahir dari seorang penyair.
Di masa yang sangat lalu, pujangga umumnya adalah orang berdarah biru yang dekat dengan
silsilah raja-raja (Misalnya Jayabaya dan Ronggowarsito). Dengan demikian, istilah bahasa-dewa
atau bahasa-para-raja tak terlampau keliru. Sementara Joko Pinurbo menganggap pilihan kata
pada puisi GM begitu mewah dan megah.