SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 18
TINJAUAN PUSTAKA
Moderator   : dr.Farida Zubier, Sp.KK(K)
Dibacakan   : Rabu, 8 Februari 2012



            DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI KONDILOMA AKUMINATUM
                                     SK Sulistyaningrum
                       Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
        Fakultas Kadokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
                                           Jakarta

PENDAHULUAN

Kondiloma akuminatum (KA) merupakan tumor epitel jinak pada area anogenital yang
disebabkan infeksi human papilomavirus (HPV) tipe tertentu.1 Kelainan ini merupakan salah
satu infeksi menular tersering dengan risiko penularan tinggi secara seksual, sehingga dianggap
sebagai infeksi global epidemik.2,3 Pada populasi umum, prevalensi KA di Amerika Serikat
sebesar 1%, sedangkan pada pusat penanganan/ klinik infeksi menular seksual sebesar 4-
13%.4,5 Puncak kejadian KA pada usia 20-29 tahun, dengan prevalensi total 5,7% pada populasi
usia 18-59 tahun.6 Di Eropa, sebanyak 10,6% wanita usia 18-45 tahun pernah mengalami KA.7

Insidens kumulatif infeksi HPV secara umum pada populasi dewasa muda sebesar 40%, dengan
prevalensi mencapai 75-80%.8 Sebanyak lebih dari 2/3 kelompok individu imunokompeten yang
terinfeksi HPV mengalami infeksi transien karena respon imun pejamu mampu mengeliminasi
virus.4 Hanya kurang dari 1% pasien yang terinfeksi HPV, bermanifestasi sebagai KA. Lesi KA
memiliki kandungan virus yang tinggi dan sangat menular. Sebanyak 65% kontak seksual
individu dengan lesi KA mengalami infeksi HPV.9 Masa inkubasi umumnya berkisar beberapa
minggu sampai 3 bulan, atau lebih panjang.9,10

Lesi KA sebagian besar asimptomatik, bersifat jinak dan umumnya tidak menyebabkan
mortalitas. Morbiditas utama KA terkait dengan gangguan psikologis yang dialami lebih dari
50% pasien. 11 Adanya lesi ini kerap menimbulkan rasa cemas, malu, kehilangan percaya diri,
depresi, dan berdampak negatif pada hubungan seksual yang menyebabkan penurunan kualitas
hidup pada pasien.4,12 Dampak KA pada pusat pelayanan kesehatan cukup besar, sebanyak
125.000 kasus baru didiagnosis pada klinik kesehatan seksual di Inggris pada tahun 2009. Di
Inggris, biaya penanganan rata-rata perkasus berkisar £113 dan biaya penanganan KA setahun
sebesar £16.8 juta. 13




                                                                                             1
Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis, namun pada beberapa
kasus dibutuhkan pemeriksaan histopatologi. 4 Seiring perkembangan penggunaan desmoskop
dalam dermatologi, terdapat berbagai laporan maupun penelitian mengenai gambaran
dermoskopi pada KA. Tatalaksana KA kerap membutuhkan beberapa sesi dan terkadang
membutuhkan kombinasi beberapa modalitas untuk mengeliminasi lesi. Angka rekurensi paska
terapi berkisar 10-40%.14 Dahulu, tatalaksana KA bergantung pada dokter. Namun, saat ini,
terapi topikal KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien semakin berkembang.10 Terdapat
tiga regimen topikal utama yang direkomendasikan sebagai terapi topikal KA yang dapat
diaplikasikan sendiri oleh pasien, yaitu: podofilotoksin, imiquimod, dan sinecathecins.3

Tinjauan pustaka ini akan memaparkan etiopatogenesis, diagnosis, dan tatalaksana terkini
kondiloma akuminata.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Karakteristik HPV adalah virus DNA berkapsid yang berukuran kecil (diameter: 55nm), bulat,
terdiri atas 72 kapsomer pentamer (gambar 1), dan memiliki 800 pasang basa DNA sirkuler.
Virus ini menginfeksi vertebrata dan merupakan kelompok virus paling tua ditemukan yang
sangat beragam.15,16 Saat ini, terdapat lebih dari 130 tipe HPV telah diidentifikasi. Infeksi HPV
tertentu terkait penyakit tertentu (tabel 1). Lebih dari 40 tipe HPV menginfeksi genitalia, yang
terbagi atas risiko rendah dan risiko tinggi berdasarkan kemampuan menyebabkan
neoplasia.17,18 Infeksi HPV tipe 6 dan 11 merupakan etiologi pada 90% kasus kondiloma
akuminata.3




Gambar 1. (a) Gambaran mikroskop elektron HPV 11. (b) Model 3 dimensi HPV.*

Virus ini memiliki dua mekanisme untuk menghindari deteksi sistem imun. Pertama, infeksi
terjadi pada sel epidermal yang tidak berinteraksi langsung dengan pembuluh darah dan sistem


*
    Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15 dengan perubahan

                                                                                               2
imun humoral. Kedua, HPV mampu menginduksi defisiensi imun lokal yang ditandai dengan
berkurangnya limfosit, sel Langerhans, CD4, dan menurunkan produksi sitokin setempat.4,19

Tabel 1. Tipe HPV dan Penyakit terkait†




Sistem imun pejamu mengeliminasi virus melalui interleukin yang meningkatkan respons imun
seluler dan interferon yang mampu menghambat replikasi virus. Mekanisme inilah yang
memungkinkan terjadinya regresi spontan pada lesi awal KA. Fenomena ini juga menerangkan
individu imunokompromais terkait penurunan imun seluler, misalnya pada infeksi HIV dan
pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit terkait HPV yang lebih tinggi
dengan manifestasi lesi yang lebih besar, multifokal, dan cenderung displastik. 4

Sel pada lapisan basal merupakan target infeksi HPV, dimana umumnya HPV berada pada
keadaan subklinis selama 3 bulan. Pada HPV tipe risiko rendah, proliferasi epitel ini
menyebabkan gambaran klinis eksofitik secara klinis yang bersifat jinak. Virus ini bereplikasi
pada sel basal yang aktif membelah dan menyebabkan gangguan pada kontrol siklus sel.
Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel permukaan. Sel permukaan yang mengandung
HPV ini akan mengalami eksfoliasi dan menjadi sumber transmisi. 4,15 Skema patogenesis infeksi
HPV terangkum pada gambar 2. 20

Jalur transmisi utama HPV melalui kontak seksual penetrasi, baik melalui vagina, anal, maupun
oral.3 Abrasi epitel dan trauma minor yang terjadi saat aktivitas seksual mempermudah
transmisi dan infeksi HPV ke sel target. 8,21 Selain individu dengan lesi KA, individu yang
mengalami infeksi HPV asimptomatik dapat mentransmisikan virus. 11
†
    Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15 dengan perubahan

                                                                                            3
Gambar 2. Patogenesis infeksi HPV.‡

Faktor risiko infeksi HPV adalah jumlah pasangan seksual lebih dari 1, riwayat infeksi menular
seksual lainnya, rokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan individu imunokompromais.8,18,22-3
Faktor proteksi berupa vaksinasi, sirkumsisi, dan penggunaan kondom secara konsisten. 8,18,23

DIAGNOSIS

Diagnosis tepat merupakan langkah awal terapi KA. Manifestasi klinis KA berupa tumor
menyerupai kembang kol sewarna kulit atau merah muda. Lesi dapat berbentuk kubah, papul
datar, lesi bertangkai, maupun lesi hiperkeratotik. Lesi KA dapat soliter, multipel tersebar,
berkelompok menyerupai mulberry, maupun berkonfluens membentuk plak.4,16,18 Lesi
individual dapat berukuran beberapa mm sampai dengan cm. Lesi dengan ukuran lebih dari 10
cm disebut kondiloma raksasa.24 Beberapa gambaran manifestasi klinis KA dapat diamati pada
gambar 3. Lesi KA umumnya asimptomatik (75%) yang kadang baru ditemukan pada saat
pemeriksaan fisis, namun dapat pula disertai gejala berupa pruritus anogenital, rasa terbakar,
nyeri, tenesmus, maupun perdarahan.4 Predileksi KA terkait aktivitas seksual, dapat ditemukan
pada meatus uretra, penis, skrotum, serviks, vagina, perineum, anus, perianus, lipat inguinal,
dan rongga mulut.16,24

‡
    Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 20 dengan perubahan

                                                                                            4
Gambar 3. Berbagai manifestasi klinis KA. (a) dan (b) KA pada penis. (c) KA pada perianal.§

Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis dengan pencahayaan yang
memadai dan kaca pembesar.16 Posisi pemeriksaan bervariasi, yaitu posisi prone-jack-knife,
knee-chest, dekubitus lateral, dan litotomi. Pada pasien homoseksual, pemeriksaan anuskopi
dan protosigmoidoskopi penting dilakukan, karena lesi dapat meluas ke arah dalam pada 75-
94% pasien.18

Diagnosis banding KA sangat bergantung pada manifestasi klinis, meliputi: kondiloma lata,
moluskum kontagiosum, pearly penile papules, Fordyce spot, keratosis seboroik, dan beberapa
lesi neoplastik (papulosis bowenoid, tumor Buschke-Lowenstein, dan karsinoma sel skuamosa
in situ).11,16,18 Berbagai diagnosis banding KA terangkum pada tabel 2. Pemeriksaan sederhana
dan cepat menggunakan asam asetat 3-5% pada lesi dapat membantu penegakan diagnosis.24

A. Temuan Histopatologi
   Biopsi tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KA. Indikasi biopsi pada KA
   adalah tampilan lesi yang atipikal, lesi yang resisten terhadap terapi, dan kecurigaan
   perubahan neoplastik, ditandai dengan pigmentasi, pertumbuhan cepat, fiksasi terhadap
   struktur di bawahnya, perdarahan, dan ulserasi spontan. 4,16 Indikasi lain adalah pasien
   imunokompromais, usia lebih dari 40 tahun, dan lesi KA pada serviks.3,5

      Secara mikroskopis, lesi KA ditandai dengan adanya koilosit, yaitu keratinosit berukuran
      besar dengan area halo/ vakuolisasi perinuklear. Sel dengan inti hiperkromatik juga dapat
      ditemukan. Pada epidermis terdapat akantosis, hiperkeratosis tipe parakeratosis, dan rete
      ridges memanjang. Pada stratum basalis dapat ditemukan peningkatan/ aktivitas mitosis.
      Pada dermis dapat ditemukan papilomatosis dan sebukan sel radang kronik. 4,18




§
    Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 10 dengan perubahan

                                                                                              5
Tabel 2. Diagnosis banding Kondiloma Akuminata **




B. Dermoskopi
   Dermoskopi merupakan pemeriksaan in vivo noninvasif, yang awalnya digunakan untuk
   memeriksa lesi pigmentasi. Pemeriksaan ini telah terbukti meningkatkan keakuratan
   diagnosis melanoma. Saat ini, pemeriksaan ini juga banyak digunakan untuk mengevaluasi
   kelainan kulit nonpigmentasi. Dermoskopi mampu memperlihatkan gambaran struktur kulit
   permukaan dan struktur dibawahnya yang tidak terlihat secara klinis, yaitu pola pigmentasi
   dan pola vaskular pleksus superfisial, sehingga memberikan korelasi gambaran klinis dan
   histopatologi.25,26 Penggunaan dermoskop pada KA semakin banyak dilaporkan.27-9


**
     Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 24 dengan perubahan

                                                                                           6
Pemeriksaan dermoskopi bermanfaat untuk mendiagnosis KA, bahkan pada lesi awal, dan
       membantu membedakan dengan lesi liken planus, keratosis seboroik, papulosis bowenoid,
       dan lain-lain.28,29 Dong dkk, meneliti gambaran dermoskopi pada 90 lesi KA dari total 61
       pasien dan menemukan gambaran pola vaskular dan temuan yang karakteristik, yaitu: pola
       mosaik pada lesi awal yang masih datar dan pola menyerupai tombol (knoblike) dan
       menyerupai jari (fingerlike) pada lesi yang papilomatosa.30 Gambaran dan definisi pola
       karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan dermoskopi KA dapat dilihat pada tabel 3
       dan gambar 4.

       Tabel 3. Definisi berbagai pola desmatoskopi karakteristik pada KA ††




       Gambar 4. (a) mosaic pattern (panah A) dan glomerular ( panah B), (b) keratosis (panah A)
       dan knoblike pattern (panah B), (c) fingerlike pattern (panah A) dan knoblike pattern
       (panah B),‡‡

††
     Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 30 dengan perubahan

                                                                                              7
Pemeriksaan dermoskopi merupakan pemeriksaan noninvasif yang relatif nyaman bagi
       pasien. Keterbatasan penggunaannya pada KA, terutama terkait higiene. Pemeriksaan
       dilakukan pada area genitalia dan terdapat kemungkinan transmisi virus melalui kontak
       lensa dermoskopi. Teknik asepis antisepsis yang adekuat diperlukan untuk mencegah
       transmisi.30

C. Identifikasi Genom HPV
   Identifikasi genom HPV tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KA.4
   Individu dapat mengalami infeksi HPV multipel. Adanya lesi KA yang merupakan manifestasi
   infeksi HPV tipe risiko rendah tidak menyingkirkan adanya ko-infeksi dengan tipe HPV
   lainnya.31 Pada lesi anogenital, HPV risiko tinggi ditemukan sebanyak 31%. 32 Penelitian Anic
   dkk. terhadap 112 sampel KA pada laki-laki mengidentifikasi HPV risiko tinggi tipe 16/18
   pada 14 (12,5%) sampel.33 Faktor risiko infeksi HPV multipel adalah infeksi HIV, pasangan
   seksual lebih dari 1, dan laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki.8,31

        Sediaan untuk identifikasi genom HPV dapat diambil dari lesi pada penis, anus, vagina, dan
       rongga mulut. Pemeriksaan PCR mampu mendeteksi DNA HPV dengan tingkat sensitivitas
       dan spesifisitas tinggi.18 Identifikasi genom HPV memerlukan probe yang bersifat spesifik
       terhadap tipe HPV. Uji deteksi terbatas pada HPV tipe risiko rendah saja tidak memberikan
       banyak manfaat. Jenis pemeriksaan genom HPV bermacam-macam, yaitu: mampu
       membedakan tipe risiko tinggi dengan risiko rendah (The hybrid capture II HR® dan Cervista
       HPV HR®) dan mengidentifikasi berbagai tipe HPV yang menginfeksi genitalia secara spesifik
       (Inno Lipa® dan The Linear Array HPV genotyping test®).31,34

TATALAKSANA

Secara umum, efektivitas terapi pada infeksi menular seksual dinilai dalam 4 aspek, yaitu:
kemampuan menanggulangi manifestasi klinis, pencegahan morbiditas dan komplikasi jangka
panjang, eradikasi etiologi infeksi, dan pencegahan transmisi.35 Manifestasi klinis utama pada
lesi KA, terkait tampilan klinis lesi yang menyebabkan berbagai dampak psikologik dan
merupakan morbiditas utama pada pasien.36 Komplikasi jangka panjang infeksi HPV tipe risiko
rendah jarang terjadi. Lesi KA dapat berkembang menjadi kondiloma raksasa maupun tumor
Buschke-Lowenstein yang bersifat invasif lokal namun tidak bermetastasis, namun kejadiannya
sangat jarang.35

Terapi lesi KA mampu menurunkan jumlah virus yang terdapat pada keseluruhan lesi KA,
namun eradikasi infeksi secara sempurna sulit dicapai. Terapi lesi KA kerap meninggalkan area
‡‡
     Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 30 dengan perubahan

                                                                                                8
sekitar lesi yang masih terinfeksi HPV, namun subklinis.35 Pencegahan transmisi pada pasangan
pun kerap sulit dilakukan. Sebanyak 65% kontak seksual individu dengan lesi KA mengalami
infeksi HPV. Lesi KA mengandung jumlah virus yang tinggi. Bahkan individu yang mengalami
infeksi HPV subklinis pun sudah mampu mentransmisikan HPV. 9

Tanpa terapi, lesi KA dapat menghilang, menetap, maupun tumbuh lebih besar. Hal ini sangat
bergantung respons imun pasien. 37 Target utama terapi KA adalah eradikasi lesi KA dan
stimulasi sistem imun untuk mengenali virus, mengeliminasi, dan menghambat replikasi virus
maupun pertumbuhan lesi.10 Tidak ada terapi tunggal yang ideal untuk semua pasien maupun
untuk berbagai lesi KA.35 Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan terapi adalah:
manifestasi klinis lesi (jumlah, ukuran, keratinisasi/ nonkeratinisasi), lokasi lesi, komplikasi
terkait terapi, kondisi pasien (kehamilan, usia, status imunitas), preferensi pasien, ketersediaan
terapi, dan keterampilan/ pengalaman dokter.4,37 Secara umum, eradikasi lesi KA tercapai
dalam 3 bulan terapi, namun terdapat kemungkinan rekurensi/ relaps (tabel 4). 38

Tabel 4. Respons terhadap berbagai terapi KA. §§




Center for Disease Control and Prevention (CDC) memberikan panduan pilihan terapi
berdasarkan lokasi anatomi KA. Pada vagina, pilihan terapi adalah bedah beku N 2 cair dan
TCA/BCA 80-90%. Pada meatus uretra, pilihan terapi adalah bedah beku N2 cair dan podofilin
10-25%. Pada Anus, pilihan terapi adalah dengan bedah beku N2 cair, TCA/BCA 80-90% dan
bedah eksisi.3



§§
     Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 38 dengan sedikit perubahan

                                                                                                9
A. Bahan kimiawi topikal

   Terapi topikal yang diaplikasikan oleh pasien

     1. Podofilotoksin
        Podofilotoksin merupakan hasil purifikasi ekstrak bahan aktif podophyllum resin. Cara
        kerjanya adalah sebagai antimitotik melalui hambatan polimerisasi tubulin menjadi
        mikrotubulus, sehingga pembelahan sel terhenti pada metaphase dan induksi nekrosis
        jaringan lokal. 4,10

        Indikasi penggunaannya adalah lesi KA pada area eksternal anogenital. Kontraindikasi
        adalah penggunaan pada area vagina, uretra, serviks, dan kehamilan. Penggunaan
        kontrasepsi direkomendasikan pada wanita usia reproduktif. Sediaannya beragam
        dalam; 0,5% solusio, 0,5% gel, dan 0,15% krim (Condilox®). Anjuran penggunaannya
        adalah 2x/hari selama 3 hari dalam 1 minggu. Pada satu sesi aplikasi maksimal
        digunakan pada luas area 10 cm2 dan jumlah podofilotoksin yang digunakan maksimal
        0,5 ml/hari.3 Evaluasi ulang dilakukan dalam 4 minggu.4,10,36

        Penelitian penggunaan podofilotoksin 0,5% gel yang melibatkan 167 pasien,
        mendapatkan efektivitas terapi superior terhadap plasebo dalam kurun waktu terapi
        4-6 minggu.16 Pada penelitian yang melibatkan 1036 pasien, dibandingkan plasebo
        podofilotoksin lebih efektif dalam mengeradikasi lesi KA dalam 16 minggu terapi. Buck
        melakukan meta-analisis terhadap berbagai uji klinis acak penggunaan podofilotoksin
        dibandingkan dengan penggunaan podofilin. Efektivitas terapi podofilotoksin
        sebanding dengan podofilin dalam mengeradikasi lesi KA selama 4 minggu terapi. 39
        Efek samping yang sering dialami pasien berupa inflamasi dan iritasi lokal, erosi, nyeri,
        rasa terbakar, dan gatal.4,39 Efek samping yang sedikit dilaporkan berupa dispareuni,
        perdarahan, skar, dan insomnia.39

     2. Imiquimod
        Imiquimod/ imidazoquilinamine tidak memiliki aktivitas antivirus secara in vitro,
        namun memiliki kemampuan memodifikasi respons imun pejamu melalui peningkatan
        produksi sitokin, yaitu interferon α, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin.
        Berbagai sitokin ini akan meningkatkan jumlah dan kinerja sel natural kiler (NK),
        poliymorphonuclear neutrofilic leukocyte (PMN), makrofag, dan sel T, yang memiliki
        efek antitumor dan eradikasi virus. Senyawa ini juga mampu menginduksi memori
        sistem imun sehingga mencegah terjadinya rekurensi.4




                                                                                              10
Indikasi penggunaan adalah lesi KA terbatas pada area eksternal anogenital.
   Kontraindikasi adalah penggunaan pada membran mukosa dalam (uretra, vagina, dan
   serviks) dan kehamilan (kategori C). Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan pada
   wanita usia reproduktif. Imiquimod tersedia dalam bentuk krim dengan konsentrasi
   1% dan 5% (Aldara®). Anjuran penggunaannya adalah 3x/ minggu (selang sehari) dan
   dapat digunakan sampai dengan 16 minggu. Pasien dianjurkan untuk menggosok saat
   aplikasi krim untuk meningkatkan absorbsi. Sedian dapat diaplikasikan pada area
   sekitar lesi, tidak terbatas pada lesi KA saja. Setelah 6-10 jam area yang diterapi
   hendaknya dibersihkan dengan sabun yang lembut.3,4,16,36

   Hasil metanalisis berbagai uji klinis acak mendapatkan baik imiquimod 1% maupun 5%
   lebih efektif dibandingkan plasebo dalam eradikasi lesi KA selama kurun waktu terapi
   12 minggu. Imiquimod 5% lebih efektif dibandingkan imiquimod 1%. Efek samping
   lebih jarang ditemukan dibandingkan podofilotoksin, berupa eritema ringan-sedang,
   erosi, gatal, sensasi terbakar, iritasi, indurasi, nyeri pada perabaan. Efek samping ini
   lebih sering dijumpai pada konsentrasi yang lebih tinggi. 16,36,39

3. Sinecatechins
   Sinecatechins merupakan polifenon E yang terdiri atas ekstrak 8 catechins yang
   dipurifikasi dari teh hijau (Camellia sinensis). Aktivitas biologisnya meliputi efek
   antivirus, efek antikarsinogenik (menginduksi apoptosis dan hambatan total siklus sel),
   anti-oksidan, anti-angiogenik, dan efek modulasi renspons imun melalui peningkatan
   sitokin: interferon, TNF, dan interleukin.4,40

   Indikasi penggunaannya adalah lesi KA pada area eksternal anogenital. Sedian berupa
   salap 15% (veregen®). Sediaan ini tidak direkomendasikan pada pasien yang hamil,
   usia dibawah 18 tahun, imunokompromais, dan pasien dengan herpes genitalis,
   karena belum ada uji klinis keamanan dan efektivitas pada populasi tersebut.
   Penggunaannya dapat mencapai 250 mg/kali aplikasi. Diaplikasikan 3x/hari dan dapat
   digunakan sampai dengan eradikasi total lesi tercapai/ maksimal 16 minggu.4,40

   Uji klinis acak yang dilakukan di Eropa dan Afrika selatan dengan melibatkan 503
   pasien KA, mendapatkan bahwa sediaan ini superior dibandingkan dengan plasebo
   dalam kurun waktu 12 minggu terapi.4 Dibandingkan imiquimod dan podofilotoksin,
   efektivitas sinecatechins dalam eradikasi lesi KA lebih superior.40 Efek samping yang
   ditemukan berupa reaksi lokal kulit, yaitu: eritema, edema, dan erosi yang puncaknya
   terjadi dalam kurun 2-4 minggu terapi.4



                                                                                        11
Terapi topikal yang diaplikasikan oleh dokter

     1. Podofilin
        Podofilin resin bekerja sebagai antimitotik yang menginduksi nekrosis jaringan,
        sebagaimana podofilotoksin yang merupakan ekstrak bahan aktif utama dari podofilin
        resin. Podofilin mengandung flavenoid mutagen, quercetin, dan kamferol. Kehamilan
        merupakan kontra-indikasi sediaan ini. Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan
        pada wanita usia reproduktif. Sediaan ini merupakan salah satu terapi tertua KA.4,16

        Sediaan berupa solusio podofilin dengan konsentrasi 10-25%. Penggunaan maksimal
        pada satu sesi terapi adalah luas area 10 cm2 atau jumlah total podofilin kurang dari
        0,5 ml. Hal ini terkait dengan risiko absorpsi dan toksisitas sistemik. Efek samping yang
        dapat timbul berupa supresi sum sum tulang, gangguan neurologi, halusinasi, psikosis,
        mual, muntah, diare, gangguan fungsi hati, dan nyeri akut abdomen pernah dilaporkan
        dalam 20 tahun terakhir.4,16

     2. Bichloracetic acid (BCA) dan Trichloracetic acid (TCA)
        Baik BCA maupun TCA merupakan agen yang bersifat korosif. Senyawa ini dengan
        cepat menjadi inaktif setelah kontak dengan kulit/ lesi. Hal ini yang menyebabkan
        penggunaannya tergolong aman selama kehamilan. Konsentrasi penggunaan BCA
        maupun TCA tidak terstandardisasi dan biasanya merupakan sediaan yang disiapkan
        atas pesanan kepada farmasi. Konsentrasi yang digunakan dapat mencapai 95%. 4,16

        Cara penggunaannya adalah diaplikasikan pada lesi KA dengan menggunakan tusuk gigi
        atau cotton bud. Jadwal terapi umumnya 3x/minggu selama 4 minggu. Bikarbonat,
        talkum, sabun, maupun air dapat digunakan untuk netralisasi kelebihan aplikasi
        BCA/TCA. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah berupa ulserasi. Efektivitas respons
        terapi dan tingkat rekurensi superior dibandingkan plasebo.4,16

B. Injeksi interferon intralesi dan interferon topikal

   Interferon α yang memiliki efek antivirus luas diproduksi sebagai respons imun pada infeksi
   virus. Selain digunakan sebagai agen injeksi intralesi, interferon juga digunakan dalam
   sediaan topikal. Keduanya memiliki efektivitas superior dibandingkan plasebo dalam
   mengeliminasi lesi KA. Penggunaannya secara sistemik tidak dianjurkan baik sebagai terapi
   primer maupun tambahan dalam tatalaksana KA.4,16,18,39




                                                                                              12
Dosis injeksi interferon intralesi adalah 1-2 juta U. Dapat diulang setiap hari dengan dosis
   maksimal 5 juta U/pasien. Jumlah lesi KA maksimum yang mendapat injeksi pada satu sesi
   terapi adalah 5 lesi. Efek samping yang dapat dijumpai berupa demam, mialgia, nyeri
   kepala, lelah, dan leukopenia.18 Penggunaannya secara topikal dapat diaplikasikan 1x/hari,
   selama 4 minggu. Penggunaan interferon topikal kerap menjadi terapi tambahan modalitas
   terapi yang lain.18,39

C. Bedah
   Terapi bedah secara langsung, baik eksisi maupun ablasi lesi KA, merupakan pilihan pertama
   lesi KA yang besar dan lesi yang menyebabkan obstruksi. Tindakan ini dapat dilakukan pada
   berbagai lokasi lesi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan ini adalah
   anestesi dan kontrol infeksi. Anestesi yang digunakan dapat berupa anestesi umum, lokal
   infiltrasi, maupun tumesen, bergantung kebutuhan pasien, ukuran, dan luas distribusi lesi.
   Lesi umumnya hanya sampai ke bagian atas dermis, sehingga tindakan hendaknya tidak
   lebih dalam dari lapisan ini.16,41

     1. Bedah Eksisi
        Bedah eksisi, baik menggunakan skapel, gunting, dan kuretase, secara langsung
        mampu menghilangkan lesi KA.4,36 Tindakan ini dapat dikombinasi dengan
        elektrokauter untuk hemostasis dan sebagai modalitas terapi penyerta. Anatomi area
        sekitar lesi yang akan diterapi harus dikuasai dengan baik. Hindari trauma pada otot
        sfingter. Apa bila tindakan perlu bertahap, interval antar tindakan yang
        direkomendasikan berkisar 1-3 bulan.18 Keuntungan tindakan ini adalah hasil terapi
        dapat dilihat segera pasca terapi dan jumlah kunjungan yang lebih sedikit bahkan pada
        beberapa kasus dapat dilakukan dalam 1 sesi. Efek samping berupa nyeri, jaringan
        parut, dan perdarahan.36

     2. Bedah Listrik
        Tindakan ini dapat digunakan untuk lesi KA eksternal, maupun internal. Operator
        hendaknya menguasai anatomi dan mengontrol kedalaman kauterisasi. Hal ini penting
        untuk mencegah terjadinya jaringan parut dan cedera sfingter. Targetnya adalah luka
        bakar derajat 1-2. Luka bakar sirkumferensial pada area perianal, hendaknya dihindari
        untuk menghindari stenosis ani.18 Komplikasi yang dapat terjadi berupa nyeri, iritasi
        lokal, infeksi, hipopigmentasi pasca-inflamasi, dan skar.4,36

     3. Bedah Beku
        Bedah beku menggunakan N2 cair, CO2 padat, cryoprobe untuk membekukan
        kandungan air pada jaringan dan menginduksi terjadinya lisis sel. 4,18 Target pada

                                                                                            13
aplikasi terapi adalah terbentuknya halo beberapa mm di sekitar lesi. Terapi dikatakan
         berhasil bila timbul lepuh dalam beberapa hari, dengan proses inflamasi pada area lesi
         dan perilesi, lepasnya lesi, dan diikuti fase penyembuhan. Sesi terapi selanjutnya
         dapat dilakukan dalam interval waktu 1-2 minggu. Efek samping dapat berupa nyeri,
         infeksi, ulserasi, hipopigmentasi pasca-inflamasi dan skar. 4,36

     4. Laser CO2
        Bedah laser secara ablatif menyebabkan vaporisasi lesi KA yang akan menyebabkan
        destruksi jaringan. Teknik ini cukup efektif mengatasi lesi KA yang berukuran besar.
        Asap yang timbul pada saat terapi dapat mengandung partikel virus. Operator
        hendaknya menggunakan masker dan penghisap asap yang adekuat untuk proteksi
        diri terhadap infeksi HPV respiratorik. Komplikasi yang timbul dapat berupa nyeri,
        gatal, bengkak, dan skar. Tindakan ini dapat dilakukan pada anak dan wanita dengan
        kehamilan.4,36

D. Terapi lain dengan bukti sahih terbatas

   Terapi lain berupa injeksi bleomisin intralesi, kantaridin topikal, 5-Fluorouracyl (5-FU)
   topikal dan injeksi intralesi 5-FU, cidofovir topikal, tretinoin oral, dan terapi topikal 5-
   aminolaevulinic acid 20%-photodynamic therapy (ALA-PDT) penelitiannya masih sangat
   terbatas dan sebagian berupa laporan kasus anekdotal. Regimen tersebut belum
   mendapatkan persetujuan FDA sebagai agen standar yang digunakan dalam terapi KA. 4,16,18

Edukasi pasien, persiapan, dan tindak lanjut paska terapi

Pasien perlu diberikan edukasi mengenai kekerapan, transmisi, dan perjalanan alami infeksi
HPV. Pasien hendaknya mendapat informasi bahwa mereka mampu menularkan virus dan
pasangan seksual mereka kemungkinan besar sudah mengalami infeksi. Hubungan setia
diharapkan mampu menurunkan penyebaran virus.4 Pasien dianjurkan menggunakan kondom
pada hubungan yang baru untuk mencegah penularan.31

Hampir seluruh terapi KA kerap disertai rasa tidak nyaman, nyeri, dan memerlukan beberapa
kunjungan. Hal ini memberikan dampak terhadap pembiayaan dan kehilangan waktu kerja pada
pasien. Keseluruhan informasi terkait terapi, komplikasi, frekuensi dan durasi terapi perlu
disampaikan kepada pasien.35 Pasien yang akan melakukan terapi di rumah harus diajarkan
menggunakan obat terapi topikal dengan benar dan diingatkan untuk kontrol secara berkala.
Dokter hendaknya memastikan pasien dapat melihat/ mengidentifikasi lesi KA dan mengajarkan
penggunaan alat bantu, misalnya cermin untuk mengaplikasikan terapi topikal dengan tepat.16



                                                                                            14
Sebagian besar terapi KA, menyebabkan gangguan integritas kulit. Hal ini berpotensi menjadi
port d’ entree kuman. Pencegahan terhadap infeksi penting dilakukan. Pasien perlu diajarkan
menjaga higiene, merawat luka, mengamati dan melaporkan gejala serta tanda infeksi, yaitu:
peningkatan intensitas kemerahan kulit, bengkak, panas, nyeri, pus pada area lesi yang diterapi,
maupun demam.16 Pemberian antibiotik profilaksis topikal pasca terapi dapat dipertimbangkan.

Apabila eradikasi sempurna lesi KA tidak tercapai dalam 6 minggu atau dalam masa yang
direkomendasikan secara spesifik oleh produsen farmasi, kombinasi dengan alternatif terapi
yang lain perlu dipertimbangkan. Pada lesi yang resisten perlu dilakukan biopsi. Apabila
eradikasi lesi KA telah tercapai dan komplikasi selama terapi telah mengalami resolusi,
kunjungan dan evaluasi ulang 3 bulan paska terapi dapat direkomendasikan. Tujuan kunjungan
ini adalah untuk mengidentifikasi rekurensi dan memberikan kesempatan pasien untuk
mendapatkan tambahan informasi dan konseling. Pada pasien imunosupresi kunjungan ulang
berkala 6-12 bulan direkomendasikan karena risiko rekurensi lebih besar. 37

KONDILOMA AKUMINATA PADA KEHAMILAN

Lesi KA umumnya mengalami perburukan/ progresivitas pada kehamilan. Faktor yang
mendasari progresivitas ini adalah efek hormon selama kehamilan, peningkatan aliran darah,
dan penurunan respons imun secara umum.16,42 Paska kehamilan, lesi KA umumnya akan
mengalami regresi. Lesi KA dapat menghambat vagina meregang optimal dan kerap
menyebabkan laserasi pada persalinan. Terapi KA perlu dilakukan pada wanita yang ingin
menjalani prosedur persalinan normal. Beberapa terapi KA dapat dilakukan selama kehamilan
adalah: BCA/TCA, bedah beku, eksisi, dan laser.16 Namun, persalinan Cesarean dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi risiko transmisi vertikal melalui jalan lahir dan menurunkan
risiko kejadian papilomatosis laring onset juvenilis pada bayi. 43 Papilomatosis laring onset
juvenilis pertama kali dilaporkan oleh Hajek pada tahun 1956. Penyakit ini merupakan penyakit
terkait infeksi HPV tipe risiko rendah yang jarang (risiko kejadian <0,04%) namun memiliki
morbiditas yang tinggi.16,41,443

Infeksi HPV selama kehamilan sering dikaitkan dengan kejadian transmisi vertikal. Secara
umum, transmisi vertikal merupakan terminologi yang menggambarkan transfer virus dari
orang tua kepada bayi. Dari Ibu hal ini dapat terjadi: selama kehamilan melalui plasenta, selama
persalinan melalui jalan lahir yang terinfeksi HPV, dan setelah kelahiran melalui air susu ibu
(ASI). Pada infeksi HPV, HPV dapat terdeteksi pada amnion wanita yang hamil dengan infeksi
HPV dan pada sperma laki-laki.43 Penelitian mengenai transmisi vertikal HPV masih sangat
terbatas, penelian yang ada lebih banyak terfokus pada infeksi genitalia HPV. Transmisi vertikal
HPV perinatal terjadi, namun angka kejadiannya kecil. 44



                                                                                             15
Infeksi HPV tidak menyebabkan viremia dan virus ini tidak ditransmisikan melalui ASI. 43 Namun,
penelitian Wolf dkk menemukan deteksi HPV DNA pada 10 (4%) dari 223 sampel ASI pada 3 hari
pascapartum pada wanita dengan infeksi HPV anogenital yang baru melahirkan. Pada penelitian
ini, 9 dari 10 sampel tersebut mengandung HPV tipe 16 (risiko tinggi). Pada HPV umumnya tidak
terjadi viremia, peneliti berpendapat HPV pada ASI merupakan transmisi retrograde manner
dari jaringan pada nipel dan areola. Hal ini dipikirkan menyebabkan transmisi horizontal HPV
dari ibu kepada anak. 45

PENUTUP

Infeksi HPV merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual tersering di dunia. 4 Meskipun
sebagian besar infeksi bersifat subklinis dan eliminasi HPV oleh respons imun pejamu tercapai
pada 2/3 populasi terinfeksi, infeksi HPV tipe risiko rendah (terutama tipe 6 dan 11) dapat
bermanifestasi sebagai KA. Lesi KA memiliki potensi penularan yang tinggi dan kerap
menimbulkan gangguan psikologis pada pasien. Diagnosis KA umumnya dapat dilakukan
dengan pemeriksaan fisis, namun pada beberapa kasus yang meragukan permeriksaan
dermoskopi dan biopsi dapat dilakukan.10,16

Tidak ada terapi yang ideal untuk seluruh lesi. Pemilihan terapi yang tepat bergantung pada
tampilan lesi, lokasi, ketersediaan modalitas, keterampilan dokter, dan preferensi pasien.
Preferensi pasien berbagai faktor, yaitu: efektivitas, tingkat rekurensi, kenyamanan, privasi,
biaya, efek samping, dan komplikasi terapi. Pasien hendaknya diberikan informasi menyeluruh
mengenai penyakit dan tatalaksana untuk menunjang keberhasilan terapi dan mencegah
transmisi.4,41




                                                                                            16
DAFTAR PUSTAKA

1 Penneys NS, Winkelman FJ. Condyloma acuminata: what is in a name? J Am Acad Dermatol 2010;63(6):1100.
2 Desai S, Wetten S, Woodhall SC, Peters L, Hughes G, Soldan K. Genital warts and cost of care in England. Sex
    Transm Infect 2011;87(6):464-8.
3 Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted disease treatment guidelines 2010. Genital
    warts. Morb Mortal Wkly Rep 2010;59(RR-12):70-4.
4 Mayeaux EJ, Dunton C. Modern management of external genital warts. J Low Genit Tract Dis 2008; 12(3):185-92.
5 Gunter J. Genital and perianal warts: new treatment opportunities for human papillomavirus infection. Am J
    Obstet Gynecol 2003; 189(3 Suppl):S3-11.
6 Dunne EF, Thep –Amnuay S, Whitehead SJ, Markowitz LE. Genital warts among 18-59 years old in the US
    National and nutrition survey (NHANES) 1999-2002. In: 16th meeting of the International society for sexually
    transmitted diseases research; 10-13 Jul 2005. Amsterdam, The Netherlands 2005.
7 Kjær SK, Tran TN, Sparen P,Tryggvadottir L, Munk C, Dasbach E, et al. The burden of genital warts: a study of
    nearly 70,000 women from the general female population in the four Nordic countries. J Infect Dis 2007;
    196(10):1447-54.
8 Shew ML, Fortenberry JD. HPV infection in adolescents: natural history, complications, and indicators for viral
    typing. Semin Pediatr Infect Dis 2005;16(3):168-74.
9 Winer RL, Kiviat NB, Hughes JP, Adam DE, Lee SK, Kuypers JM, et al. Development and duration of human
    papillomavirus lesions, after initial infection. J Infect Dis 2005; 191(5):731-8.
10 O’Mahony C. Genital warts: current and future management options. Am J Clin Dermatol 2005:6(4):239-43.
11 Jeynes C, Chung MC, Challenor R. ‘Shame on you’the psychosocial impact of genital warts. Int J STD AIDS 2009;
    20:557–60.
12 Mortensen GL. Long-term quality of life effects of genital warts – a follow-up study. Dan Med Bul 2010;57(4):1-
    4.
13 Woodhall SC, Jit M, Soldan K, Kinghorn G, Gilson R, Nathan M, et al. The impact of genital warts: Loss of quality
    of life and cost treatment in eight sexual health clinics in the UK. Sex Transm Infect 2011;87:458-63.
14 Woodhall SC, Lacey CJN, Wikstorm A. European guidelines (IUSTI/WHO) on the management of anogenital
    warts. Poster presentation at the 25th International papillomavirus conference; 8-14 May 2009. Maimo,
    Sweden 2009.
15 Rose RC, Stoler MH. Biology. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa
    Healthcare 2009;1:1-16.
16 Wiley DJ, Douglas J, Beutner K, Cox T, Fife K, Moscicki AB, et al. External genital warts: diagnosis, treatment, and
    prevention. Clin Infect Disease 2002;35(2 Suppl):S210-24.
17 Egelkrout EM, Galloway DA. Biology of Human Papillomaviruses. In:Holmes K, Mardh P, Sparling P, eds. Sexually
    Transmitted Diseases. 5th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2010;15:463–87.
18 Chang GJ, Welton ML. Human papillomavirus, condylomata acuminata, and anal neoplasia. Clin in Col Rec Surg
    2004;17(4):221-30.
19 Poole CL, Denman CJ, Arbiser JL. Immunosuppression may be present within condyloma acuminate. J Am Acad
    Dermatol 2008;59:967-74 .
20 Bonnez W, Reichman RC. Papillomaviruses. In: Mandell GL. eds. Principles and Practice of Infectious Diseases.
    6th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Churchill Livingstone, 2005:1841–56.
21Gravitt PE. Epidemiology. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa Healthcare
    2009;2:17-28.
22 Hansen BT, Jenssen MH, Kjaer SK, Munk C, Tryggvadottir L, Sparen P. Association between smoking and genital
    warts: longitudinal analysis. Sex tran Infect 2010;86:258-62.
23 Garland SM. Prevention strategies against human papillommavirus in males. Gyn Oncol 2010;117(Suppl):20-5.
24 Bonnez W, Toy EP.Disease. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa
    Healthcare 2009; 3:29-44.
25 Hirokawa D, Lee JB. Dermatoscopy: an overview of subsurface morphology. Clin in Dermatol 2011; 29: 557-65.
26 Zalaudek I, Giacomel J, Cabo H, Di Stefani A, Ferrara G, Hofmann-Wellenhof R, et al. Entodermoscopy: a new
    tool for diagnosing skin infections and infestations. Dermatol 2008;216:14-23.

                                                                                                                    17
27 Ozdemir F, Kilinc-Karaarslan I, Akalin T. A pigmented, hemorrhagic genital wart: clinical, dermoscopic, and
    histopathologic features. Arch Dermatol 2008;144:1072-3.
28 Teoli M, Di Stefani A, Botti E, Mio G, Chimenti S. Dermoscopy for treatment monitoring of viral warts [abstract].
  Dermatology 2006;212:318.
29 Kim SH, Seo SH, Ko HC, Kwon KS, Kim MB. The use of dermatoscopy to differentiate vestibular papillae, a
  normal variant of the female external genitalia, from condyloma acuminata. J Am Acad Dermatol 2009;60:353-5.
30 Dong H, Shu D, Campbell TM, Fruhauf J, Soyer P, Hofmann-Wellenhof R. Dermatoscopy of genital warts. J Am
  Acad Dermatol 2011;64(5):859-64.
31 Juckett G, Hartman-adams. Human papillomavirus: clinical manifestations and prevention. Am Fam Physician
  2010;15:1209-14.
32Garland SM, Steben M, Sings HL. Natural history of genital warts: analysis of the placebo arm of 2 randomized
  phase III trials of a quadrivalent human papillomavirus (types 6,11,16,18) vaccine. J Infect Dis 2009;199(9):805-
  14.
33 Anic GM, Lee JH, Stockwell H, Rollison DE, Wu Y,Papenfuss MR. Incidence and human papillomavirus type
  distribution of genital warts in a multinational cohort of men: the HPV in men study. J Infect Dis 2011;204:1886-
  92
34 Flores R, Abalos AT, Nielson CM, Abrahamsen M, Harris RB, Giuliano AR. Reability of sample collection and
  laboratory testing for HPV detection in men. J Virol Methods 2008;148:136-43.
35 Wilson J. Treatment of genital warts: what’s the evidence? Int J STD AIDSI 2002:13:216-22.
36 Maw R. Critical appraisal of commonly used treatment for genital warts. Int J STD AIDS 2004;15:357-64.
37 Winner RL, Koutsky LA. Genital human papillomavirus. In:Holmes K, Mardh P, Sparling P, eds. Sexually
  Transmitted Diseases. 5th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2010;28:489-508.
38 Bonnez W, Toy E. Therapy. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa
  Healthcare 2009; 4:45-58.
39 Buck HW. Warts (genital). Clinical evidence 2007; 8(1602):1-20.
40 Meltzer SM, Monk BJ, Tewari K. Green tea catechins for treaqtent of external genital warts. Am J Obstet
  Gynecol 2009;233: e1-7.
41 Gunter J. Genital and perianal warts: new treatment opportunities for human papillomavirus infection. Am J
  Obstet Gynecol 2003;10(suppl): S3-11.
42 Nigam A, Mishra A. Condyloma acuminatum: atypical presentation during pregnancy. Int J STD AIDS
  2011;22(9):534-5.
43 Cason J, Mant CA. High-risk mucosal human papillomavirus infection during infancy and childhood. J Clin Virol
  2005;32(Suppl):s52-8.
44 Castellsagué X, Drudis T, Cañadas MP, Goncé A, Ros R, Pérez JM, et al. Human Papillomavirus (HPV) infection in
  pregnant women and mother-to-child transmission of genital HPV genotypes: a prospective study in Spain. BMC
  Infect Dis 2009;9:74.
45 Wolf R, Wolf D, Davidovici B. Mothers With Anogenital HPV Should Avoid Breastfeeding: myth? Skin Med
  2010;8(3):177-8.




                                                                                                                 18

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Pem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskulerPem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskuler
Jafar Nyan
 
1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)
1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)
1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)
Farhan Hady Danuatmaja
 
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
aauyahilda
 
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitisKolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
yudhasetya01
 
Sifilis. bag. 13
Sifilis. bag. 13Sifilis. bag. 13
Sifilis. bag. 13
tristyanto
 
Ruang 8- Kasus 1 Modul Penurunan Kesadaran
Ruang 8- Kasus 1 Modul Penurunan KesadaranRuang 8- Kasus 1 Modul Penurunan Kesadaran
Ruang 8- Kasus 1 Modul Penurunan Kesadaran
Amelia Manatar
 

Was ist angesagt? (20)

Case hernia putri
Case hernia putriCase hernia putri
Case hernia putri
 
Pem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskulerPem fisik sist.kardiovaskuler
Pem fisik sist.kardiovaskuler
 
Laporan Kasus BPH
Laporan Kasus BPHLaporan Kasus BPH
Laporan Kasus BPH
 
Otitis eksterna
Otitis eksternaOtitis eksterna
Otitis eksterna
 
Efloresensi (modul kulit dan jaringan penunjang)
Efloresensi (modul kulit dan jaringan penunjang)Efloresensi (modul kulit dan jaringan penunjang)
Efloresensi (modul kulit dan jaringan penunjang)
 
Orkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
Orkitis (Orchitis) - Presentasi KasusOrkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
Orkitis (Orchitis) - Presentasi Kasus
 
Hydrocele hidrokel anak optek aai
Hydrocele hidrokel  anak optek aaiHydrocele hidrokel  anak optek aai
Hydrocele hidrokel anak optek aai
 
Perforasi gaster
Perforasi gasterPerforasi gaster
Perforasi gaster
 
1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)
1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)
1 05 209_pendekatan diagnosis limfadenopati(1)
 
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra ReponibilisLaporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
Laporan Kasus Bedah Anak : Hernia Inguinalis Lateralis Dekstra Reponibilis
 
Konjungtivitis
KonjungtivitisKonjungtivitis
Konjungtivitis
 
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
225881539 appendisitis-akut-laporan-kasus
 
Aspek Anamnesis Pasien Nyeri Ulu Hati
Aspek Anamnesis Pasien Nyeri Ulu HatiAspek Anamnesis Pasien Nyeri Ulu Hati
Aspek Anamnesis Pasien Nyeri Ulu Hati
 
Cairan infuse
Cairan infuseCairan infuse
Cairan infuse
 
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitisKolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
Kolelitiasis,kolestasis,kolesistitis
 
Laporan kasus kolitis
Laporan kasus kolitisLaporan kasus kolitis
Laporan kasus kolitis
 
CBD otitis eksterna
CBD otitis eksternaCBD otitis eksterna
CBD otitis eksterna
 
119920864 hernia-inguinalis-ppt
119920864 hernia-inguinalis-ppt119920864 hernia-inguinalis-ppt
119920864 hernia-inguinalis-ppt
 
Sifilis. bag. 13
Sifilis. bag. 13Sifilis. bag. 13
Sifilis. bag. 13
 
Ruang 8- Kasus 1 Modul Penurunan Kesadaran
Ruang 8- Kasus 1 Modul Penurunan KesadaranRuang 8- Kasus 1 Modul Penurunan Kesadaran
Ruang 8- Kasus 1 Modul Penurunan Kesadaran
 

Ähnlich wie presentation referat kondiloma akuminata

98769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-1
98769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-198769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-1
98769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-1
RinaLestari17
 
PPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptx
PPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptxPPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptx
PPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptx
ArwanDiana
 
TATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIV
TATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIVTATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIV
TATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIV
Supri Adi
 
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...
Ajo Yayan
 
27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...
27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...
27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...
enggardonikarmawan
 
Eic laymen slides1
Eic laymen slides1Eic laymen slides1
Eic laymen slides1
Faiz Amri
 

Ähnlich wie presentation referat kondiloma akuminata (20)

Oral Condyloma Acuminatum
Oral Condyloma AcuminatumOral Condyloma Acuminatum
Oral Condyloma Acuminatum
 
condyloma acuminata
condyloma acuminatacondyloma acuminata
condyloma acuminata
 
Askep kanker serviks
Askep kanker serviksAskep kanker serviks
Askep kanker serviks
 
98769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-1
98769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-198769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-1
98769633 asuhan-keperawatan-kanker-serviks-1
 
PPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptx
PPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptxPPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptx
PPT kelompok 8 condiloma acuminata.pptx
 
TATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIV
TATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIVTATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIV
TATALAKSANA INFEKSI CMV PADA ANAK PENDERITA HIV
 
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...
Siphilis adalah sebuah infeksi sistemik yang disebabkan oleh treponema pallid...
 
Presentasi kasus Fitriardi Sejati melanoma 2
Presentasi kasus Fitriardi Sejati melanoma 2Presentasi kasus Fitriardi Sejati melanoma 2
Presentasi kasus Fitriardi Sejati melanoma 2
 
27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...
27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...
27._Kondiloma,_Trikomoniasis,_Kandidosis_-_Dr._dr._Sitti_Musafirah,_Sp.KK,_FI...
 
Blok 24 (limfoma hodgkin)
Blok 24 (limfoma hodgkin)Blok 24 (limfoma hodgkin)
Blok 24 (limfoma hodgkin)
 
Kanker serviks by dr.Trifena RAFA, klinik kecantikan Bandung
Kanker serviks by dr.Trifena RAFA, klinik kecantikan BandungKanker serviks by dr.Trifena RAFA, klinik kecantikan Bandung
Kanker serviks by dr.Trifena RAFA, klinik kecantikan Bandung
 
Leukemia
LeukemiaLeukemia
Leukemia
 
Laporan pemicu 4 repro
Laporan pemicu 4 reproLaporan pemicu 4 repro
Laporan pemicu 4 repro
 
KONSEPTUAL MATA AJAR ASKEP RONGGA MULUT.ppt
KONSEPTUAL MATA AJAR ASKEP RONGGA MULUT.pptKONSEPTUAL MATA AJAR ASKEP RONGGA MULUT.ppt
KONSEPTUAL MATA AJAR ASKEP RONGGA MULUT.ppt
 
Eic laymen slides1
Eic laymen slides1Eic laymen slides1
Eic laymen slides1
 
Kandidiasis mukosa
Kandidiasis mukosaKandidiasis mukosa
Kandidiasis mukosa
 
Tumor paru
Tumor paruTumor paru
Tumor paru
 
LAPORAN KASUS VERUKA VULGARIS FATTIA PRATIWI 22360180.docx
LAPORAN KASUS VERUKA VULGARIS FATTIA PRATIWI 22360180.docxLAPORAN KASUS VERUKA VULGARIS FATTIA PRATIWI 22360180.docx
LAPORAN KASUS VERUKA VULGARIS FATTIA PRATIWI 22360180.docx
 
retinoblastoma pada anak dan balita .pptx
retinoblastoma pada anak dan balita .pptxretinoblastoma pada anak dan balita .pptx
retinoblastoma pada anak dan balita .pptx
 
KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN.pptx
KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN.pptxKESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN.pptx
KESEHATAN REPRODUKSI DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN.pptx
 

Kürzlich hochgeladen

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
nabilafarahdiba95
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
MaskuratulMunawaroh
 

Kürzlich hochgeladen (20)

MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptxOPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
OPTIMALISASI KOMUNITAS BELAJAR DI SEKOLAH.pptx
 
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsxvIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
vIDEO kelayakan berita untuk mahasiswa.ppsx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptxDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 CGP 10.pptx
 
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdfAksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
Aksi Nyata PMM Topik Refleksi Diri (1).pdf
 
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptxPrakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
Prakarsa Perubahan dan kanvas ATAP (1).pptx
 
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptxBab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
Bab 4 Persatuan dan Kesatuan di Lingkup Wilayah Kabupaten dan Kota.pptx
 
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - PerencanaanProgram Kerja Public Relations - Perencanaan
Program Kerja Public Relations - Perencanaan
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
Panduan Memahami Data Rapor Pendidikan 2024
 
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptxPPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
PPT Mean Median Modus data tunggal .pptx
 
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan BerkelanjutanTopik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
Topik 4_Eksplorasi Konsep LK Kelompok_Pendidikan Berkelanjutan
 
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
Latihan Soal untuk US dan Tryout SMP 2024
Latihan Soal untuk  US dan Tryout SMP 2024Latihan Soal untuk  US dan Tryout SMP 2024
Latihan Soal untuk US dan Tryout SMP 2024
 
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.pptHAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ppkn i.ppt
 
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMKAksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
Aksi Nyata Disiplin Positif Keyakinan Kelas untuk SMK
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 5 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptxPPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
PPT SOSIALISASI PENGELOLAAN KINERJA GURU DAN KS 2024.pptx
 
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptxAKSI NYATA  Numerasi  Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
 

presentation referat kondiloma akuminata

  • 1. TINJAUAN PUSTAKA Moderator : dr.Farida Zubier, Sp.KK(K) Dibacakan : Rabu, 8 Februari 2012 DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI KONDILOMA AKUMINATUM SK Sulistyaningrum Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kadokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta PENDAHULUAN Kondiloma akuminatum (KA) merupakan tumor epitel jinak pada area anogenital yang disebabkan infeksi human papilomavirus (HPV) tipe tertentu.1 Kelainan ini merupakan salah satu infeksi menular tersering dengan risiko penularan tinggi secara seksual, sehingga dianggap sebagai infeksi global epidemik.2,3 Pada populasi umum, prevalensi KA di Amerika Serikat sebesar 1%, sedangkan pada pusat penanganan/ klinik infeksi menular seksual sebesar 4- 13%.4,5 Puncak kejadian KA pada usia 20-29 tahun, dengan prevalensi total 5,7% pada populasi usia 18-59 tahun.6 Di Eropa, sebanyak 10,6% wanita usia 18-45 tahun pernah mengalami KA.7 Insidens kumulatif infeksi HPV secara umum pada populasi dewasa muda sebesar 40%, dengan prevalensi mencapai 75-80%.8 Sebanyak lebih dari 2/3 kelompok individu imunokompeten yang terinfeksi HPV mengalami infeksi transien karena respon imun pejamu mampu mengeliminasi virus.4 Hanya kurang dari 1% pasien yang terinfeksi HPV, bermanifestasi sebagai KA. Lesi KA memiliki kandungan virus yang tinggi dan sangat menular. Sebanyak 65% kontak seksual individu dengan lesi KA mengalami infeksi HPV.9 Masa inkubasi umumnya berkisar beberapa minggu sampai 3 bulan, atau lebih panjang.9,10 Lesi KA sebagian besar asimptomatik, bersifat jinak dan umumnya tidak menyebabkan mortalitas. Morbiditas utama KA terkait dengan gangguan psikologis yang dialami lebih dari 50% pasien. 11 Adanya lesi ini kerap menimbulkan rasa cemas, malu, kehilangan percaya diri, depresi, dan berdampak negatif pada hubungan seksual yang menyebabkan penurunan kualitas hidup pada pasien.4,12 Dampak KA pada pusat pelayanan kesehatan cukup besar, sebanyak 125.000 kasus baru didiagnosis pada klinik kesehatan seksual di Inggris pada tahun 2009. Di Inggris, biaya penanganan rata-rata perkasus berkisar £113 dan biaya penanganan KA setahun sebesar £16.8 juta. 13 1
  • 2. Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis, namun pada beberapa kasus dibutuhkan pemeriksaan histopatologi. 4 Seiring perkembangan penggunaan desmoskop dalam dermatologi, terdapat berbagai laporan maupun penelitian mengenai gambaran dermoskopi pada KA. Tatalaksana KA kerap membutuhkan beberapa sesi dan terkadang membutuhkan kombinasi beberapa modalitas untuk mengeliminasi lesi. Angka rekurensi paska terapi berkisar 10-40%.14 Dahulu, tatalaksana KA bergantung pada dokter. Namun, saat ini, terapi topikal KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien semakin berkembang.10 Terdapat tiga regimen topikal utama yang direkomendasikan sebagai terapi topikal KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien, yaitu: podofilotoksin, imiquimod, dan sinecathecins.3 Tinjauan pustaka ini akan memaparkan etiopatogenesis, diagnosis, dan tatalaksana terkini kondiloma akuminata. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Karakteristik HPV adalah virus DNA berkapsid yang berukuran kecil (diameter: 55nm), bulat, terdiri atas 72 kapsomer pentamer (gambar 1), dan memiliki 800 pasang basa DNA sirkuler. Virus ini menginfeksi vertebrata dan merupakan kelompok virus paling tua ditemukan yang sangat beragam.15,16 Saat ini, terdapat lebih dari 130 tipe HPV telah diidentifikasi. Infeksi HPV tertentu terkait penyakit tertentu (tabel 1). Lebih dari 40 tipe HPV menginfeksi genitalia, yang terbagi atas risiko rendah dan risiko tinggi berdasarkan kemampuan menyebabkan neoplasia.17,18 Infeksi HPV tipe 6 dan 11 merupakan etiologi pada 90% kasus kondiloma akuminata.3 Gambar 1. (a) Gambaran mikroskop elektron HPV 11. (b) Model 3 dimensi HPV.* Virus ini memiliki dua mekanisme untuk menghindari deteksi sistem imun. Pertama, infeksi terjadi pada sel epidermal yang tidak berinteraksi langsung dengan pembuluh darah dan sistem * Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15 dengan perubahan 2
  • 3. imun humoral. Kedua, HPV mampu menginduksi defisiensi imun lokal yang ditandai dengan berkurangnya limfosit, sel Langerhans, CD4, dan menurunkan produksi sitokin setempat.4,19 Tabel 1. Tipe HPV dan Penyakit terkait† Sistem imun pejamu mengeliminasi virus melalui interleukin yang meningkatkan respons imun seluler dan interferon yang mampu menghambat replikasi virus. Mekanisme inilah yang memungkinkan terjadinya regresi spontan pada lesi awal KA. Fenomena ini juga menerangkan individu imunokompromais terkait penurunan imun seluler, misalnya pada infeksi HIV dan pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit terkait HPV yang lebih tinggi dengan manifestasi lesi yang lebih besar, multifokal, dan cenderung displastik. 4 Sel pada lapisan basal merupakan target infeksi HPV, dimana umumnya HPV berada pada keadaan subklinis selama 3 bulan. Pada HPV tipe risiko rendah, proliferasi epitel ini menyebabkan gambaran klinis eksofitik secara klinis yang bersifat jinak. Virus ini bereplikasi pada sel basal yang aktif membelah dan menyebabkan gangguan pada kontrol siklus sel. Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel permukaan. Sel permukaan yang mengandung HPV ini akan mengalami eksfoliasi dan menjadi sumber transmisi. 4,15 Skema patogenesis infeksi HPV terangkum pada gambar 2. 20 Jalur transmisi utama HPV melalui kontak seksual penetrasi, baik melalui vagina, anal, maupun oral.3 Abrasi epitel dan trauma minor yang terjadi saat aktivitas seksual mempermudah transmisi dan infeksi HPV ke sel target. 8,21 Selain individu dengan lesi KA, individu yang mengalami infeksi HPV asimptomatik dapat mentransmisikan virus. 11 † Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15 dengan perubahan 3
  • 4. Gambar 2. Patogenesis infeksi HPV.‡ Faktor risiko infeksi HPV adalah jumlah pasangan seksual lebih dari 1, riwayat infeksi menular seksual lainnya, rokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan individu imunokompromais.8,18,22-3 Faktor proteksi berupa vaksinasi, sirkumsisi, dan penggunaan kondom secara konsisten. 8,18,23 DIAGNOSIS Diagnosis tepat merupakan langkah awal terapi KA. Manifestasi klinis KA berupa tumor menyerupai kembang kol sewarna kulit atau merah muda. Lesi dapat berbentuk kubah, papul datar, lesi bertangkai, maupun lesi hiperkeratotik. Lesi KA dapat soliter, multipel tersebar, berkelompok menyerupai mulberry, maupun berkonfluens membentuk plak.4,16,18 Lesi individual dapat berukuran beberapa mm sampai dengan cm. Lesi dengan ukuran lebih dari 10 cm disebut kondiloma raksasa.24 Beberapa gambaran manifestasi klinis KA dapat diamati pada gambar 3. Lesi KA umumnya asimptomatik (75%) yang kadang baru ditemukan pada saat pemeriksaan fisis, namun dapat pula disertai gejala berupa pruritus anogenital, rasa terbakar, nyeri, tenesmus, maupun perdarahan.4 Predileksi KA terkait aktivitas seksual, dapat ditemukan pada meatus uretra, penis, skrotum, serviks, vagina, perineum, anus, perianus, lipat inguinal, dan rongga mulut.16,24 ‡ Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 20 dengan perubahan 4
  • 5. Gambar 3. Berbagai manifestasi klinis KA. (a) dan (b) KA pada penis. (c) KA pada perianal.§ Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis dengan pencahayaan yang memadai dan kaca pembesar.16 Posisi pemeriksaan bervariasi, yaitu posisi prone-jack-knife, knee-chest, dekubitus lateral, dan litotomi. Pada pasien homoseksual, pemeriksaan anuskopi dan protosigmoidoskopi penting dilakukan, karena lesi dapat meluas ke arah dalam pada 75- 94% pasien.18 Diagnosis banding KA sangat bergantung pada manifestasi klinis, meliputi: kondiloma lata, moluskum kontagiosum, pearly penile papules, Fordyce spot, keratosis seboroik, dan beberapa lesi neoplastik (papulosis bowenoid, tumor Buschke-Lowenstein, dan karsinoma sel skuamosa in situ).11,16,18 Berbagai diagnosis banding KA terangkum pada tabel 2. Pemeriksaan sederhana dan cepat menggunakan asam asetat 3-5% pada lesi dapat membantu penegakan diagnosis.24 A. Temuan Histopatologi Biopsi tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KA. Indikasi biopsi pada KA adalah tampilan lesi yang atipikal, lesi yang resisten terhadap terapi, dan kecurigaan perubahan neoplastik, ditandai dengan pigmentasi, pertumbuhan cepat, fiksasi terhadap struktur di bawahnya, perdarahan, dan ulserasi spontan. 4,16 Indikasi lain adalah pasien imunokompromais, usia lebih dari 40 tahun, dan lesi KA pada serviks.3,5 Secara mikroskopis, lesi KA ditandai dengan adanya koilosit, yaitu keratinosit berukuran besar dengan area halo/ vakuolisasi perinuklear. Sel dengan inti hiperkromatik juga dapat ditemukan. Pada epidermis terdapat akantosis, hiperkeratosis tipe parakeratosis, dan rete ridges memanjang. Pada stratum basalis dapat ditemukan peningkatan/ aktivitas mitosis. Pada dermis dapat ditemukan papilomatosis dan sebukan sel radang kronik. 4,18 § Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 10 dengan perubahan 5
  • 6. Tabel 2. Diagnosis banding Kondiloma Akuminata ** B. Dermoskopi Dermoskopi merupakan pemeriksaan in vivo noninvasif, yang awalnya digunakan untuk memeriksa lesi pigmentasi. Pemeriksaan ini telah terbukti meningkatkan keakuratan diagnosis melanoma. Saat ini, pemeriksaan ini juga banyak digunakan untuk mengevaluasi kelainan kulit nonpigmentasi. Dermoskopi mampu memperlihatkan gambaran struktur kulit permukaan dan struktur dibawahnya yang tidak terlihat secara klinis, yaitu pola pigmentasi dan pola vaskular pleksus superfisial, sehingga memberikan korelasi gambaran klinis dan histopatologi.25,26 Penggunaan dermoskop pada KA semakin banyak dilaporkan.27-9 ** Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 24 dengan perubahan 6
  • 7. Pemeriksaan dermoskopi bermanfaat untuk mendiagnosis KA, bahkan pada lesi awal, dan membantu membedakan dengan lesi liken planus, keratosis seboroik, papulosis bowenoid, dan lain-lain.28,29 Dong dkk, meneliti gambaran dermoskopi pada 90 lesi KA dari total 61 pasien dan menemukan gambaran pola vaskular dan temuan yang karakteristik, yaitu: pola mosaik pada lesi awal yang masih datar dan pola menyerupai tombol (knoblike) dan menyerupai jari (fingerlike) pada lesi yang papilomatosa.30 Gambaran dan definisi pola karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan dermoskopi KA dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 4. Tabel 3. Definisi berbagai pola desmatoskopi karakteristik pada KA †† Gambar 4. (a) mosaic pattern (panah A) dan glomerular ( panah B), (b) keratosis (panah A) dan knoblike pattern (panah B), (c) fingerlike pattern (panah A) dan knoblike pattern (panah B),‡‡ †† Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 30 dengan perubahan 7
  • 8. Pemeriksaan dermoskopi merupakan pemeriksaan noninvasif yang relatif nyaman bagi pasien. Keterbatasan penggunaannya pada KA, terutama terkait higiene. Pemeriksaan dilakukan pada area genitalia dan terdapat kemungkinan transmisi virus melalui kontak lensa dermoskopi. Teknik asepis antisepsis yang adekuat diperlukan untuk mencegah transmisi.30 C. Identifikasi Genom HPV Identifikasi genom HPV tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KA.4 Individu dapat mengalami infeksi HPV multipel. Adanya lesi KA yang merupakan manifestasi infeksi HPV tipe risiko rendah tidak menyingkirkan adanya ko-infeksi dengan tipe HPV lainnya.31 Pada lesi anogenital, HPV risiko tinggi ditemukan sebanyak 31%. 32 Penelitian Anic dkk. terhadap 112 sampel KA pada laki-laki mengidentifikasi HPV risiko tinggi tipe 16/18 pada 14 (12,5%) sampel.33 Faktor risiko infeksi HPV multipel adalah infeksi HIV, pasangan seksual lebih dari 1, dan laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki.8,31 Sediaan untuk identifikasi genom HPV dapat diambil dari lesi pada penis, anus, vagina, dan rongga mulut. Pemeriksaan PCR mampu mendeteksi DNA HPV dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas tinggi.18 Identifikasi genom HPV memerlukan probe yang bersifat spesifik terhadap tipe HPV. Uji deteksi terbatas pada HPV tipe risiko rendah saja tidak memberikan banyak manfaat. Jenis pemeriksaan genom HPV bermacam-macam, yaitu: mampu membedakan tipe risiko tinggi dengan risiko rendah (The hybrid capture II HR® dan Cervista HPV HR®) dan mengidentifikasi berbagai tipe HPV yang menginfeksi genitalia secara spesifik (Inno Lipa® dan The Linear Array HPV genotyping test®).31,34 TATALAKSANA Secara umum, efektivitas terapi pada infeksi menular seksual dinilai dalam 4 aspek, yaitu: kemampuan menanggulangi manifestasi klinis, pencegahan morbiditas dan komplikasi jangka panjang, eradikasi etiologi infeksi, dan pencegahan transmisi.35 Manifestasi klinis utama pada lesi KA, terkait tampilan klinis lesi yang menyebabkan berbagai dampak psikologik dan merupakan morbiditas utama pada pasien.36 Komplikasi jangka panjang infeksi HPV tipe risiko rendah jarang terjadi. Lesi KA dapat berkembang menjadi kondiloma raksasa maupun tumor Buschke-Lowenstein yang bersifat invasif lokal namun tidak bermetastasis, namun kejadiannya sangat jarang.35 Terapi lesi KA mampu menurunkan jumlah virus yang terdapat pada keseluruhan lesi KA, namun eradikasi infeksi secara sempurna sulit dicapai. Terapi lesi KA kerap meninggalkan area ‡‡ Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 30 dengan perubahan 8
  • 9. sekitar lesi yang masih terinfeksi HPV, namun subklinis.35 Pencegahan transmisi pada pasangan pun kerap sulit dilakukan. Sebanyak 65% kontak seksual individu dengan lesi KA mengalami infeksi HPV. Lesi KA mengandung jumlah virus yang tinggi. Bahkan individu yang mengalami infeksi HPV subklinis pun sudah mampu mentransmisikan HPV. 9 Tanpa terapi, lesi KA dapat menghilang, menetap, maupun tumbuh lebih besar. Hal ini sangat bergantung respons imun pasien. 37 Target utama terapi KA adalah eradikasi lesi KA dan stimulasi sistem imun untuk mengenali virus, mengeliminasi, dan menghambat replikasi virus maupun pertumbuhan lesi.10 Tidak ada terapi tunggal yang ideal untuk semua pasien maupun untuk berbagai lesi KA.35 Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan terapi adalah: manifestasi klinis lesi (jumlah, ukuran, keratinisasi/ nonkeratinisasi), lokasi lesi, komplikasi terkait terapi, kondisi pasien (kehamilan, usia, status imunitas), preferensi pasien, ketersediaan terapi, dan keterampilan/ pengalaman dokter.4,37 Secara umum, eradikasi lesi KA tercapai dalam 3 bulan terapi, namun terdapat kemungkinan rekurensi/ relaps (tabel 4). 38 Tabel 4. Respons terhadap berbagai terapi KA. §§ Center for Disease Control and Prevention (CDC) memberikan panduan pilihan terapi berdasarkan lokasi anatomi KA. Pada vagina, pilihan terapi adalah bedah beku N 2 cair dan TCA/BCA 80-90%. Pada meatus uretra, pilihan terapi adalah bedah beku N2 cair dan podofilin 10-25%. Pada Anus, pilihan terapi adalah dengan bedah beku N2 cair, TCA/BCA 80-90% dan bedah eksisi.3 §§ Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 38 dengan sedikit perubahan 9
  • 10. A. Bahan kimiawi topikal Terapi topikal yang diaplikasikan oleh pasien 1. Podofilotoksin Podofilotoksin merupakan hasil purifikasi ekstrak bahan aktif podophyllum resin. Cara kerjanya adalah sebagai antimitotik melalui hambatan polimerisasi tubulin menjadi mikrotubulus, sehingga pembelahan sel terhenti pada metaphase dan induksi nekrosis jaringan lokal. 4,10 Indikasi penggunaannya adalah lesi KA pada area eksternal anogenital. Kontraindikasi adalah penggunaan pada area vagina, uretra, serviks, dan kehamilan. Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan pada wanita usia reproduktif. Sediaannya beragam dalam; 0,5% solusio, 0,5% gel, dan 0,15% krim (Condilox®). Anjuran penggunaannya adalah 2x/hari selama 3 hari dalam 1 minggu. Pada satu sesi aplikasi maksimal digunakan pada luas area 10 cm2 dan jumlah podofilotoksin yang digunakan maksimal 0,5 ml/hari.3 Evaluasi ulang dilakukan dalam 4 minggu.4,10,36 Penelitian penggunaan podofilotoksin 0,5% gel yang melibatkan 167 pasien, mendapatkan efektivitas terapi superior terhadap plasebo dalam kurun waktu terapi 4-6 minggu.16 Pada penelitian yang melibatkan 1036 pasien, dibandingkan plasebo podofilotoksin lebih efektif dalam mengeradikasi lesi KA dalam 16 minggu terapi. Buck melakukan meta-analisis terhadap berbagai uji klinis acak penggunaan podofilotoksin dibandingkan dengan penggunaan podofilin. Efektivitas terapi podofilotoksin sebanding dengan podofilin dalam mengeradikasi lesi KA selama 4 minggu terapi. 39 Efek samping yang sering dialami pasien berupa inflamasi dan iritasi lokal, erosi, nyeri, rasa terbakar, dan gatal.4,39 Efek samping yang sedikit dilaporkan berupa dispareuni, perdarahan, skar, dan insomnia.39 2. Imiquimod Imiquimod/ imidazoquilinamine tidak memiliki aktivitas antivirus secara in vitro, namun memiliki kemampuan memodifikasi respons imun pejamu melalui peningkatan produksi sitokin, yaitu interferon α, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin. Berbagai sitokin ini akan meningkatkan jumlah dan kinerja sel natural kiler (NK), poliymorphonuclear neutrofilic leukocyte (PMN), makrofag, dan sel T, yang memiliki efek antitumor dan eradikasi virus. Senyawa ini juga mampu menginduksi memori sistem imun sehingga mencegah terjadinya rekurensi.4 10
  • 11. Indikasi penggunaan adalah lesi KA terbatas pada area eksternal anogenital. Kontraindikasi adalah penggunaan pada membran mukosa dalam (uretra, vagina, dan serviks) dan kehamilan (kategori C). Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan pada wanita usia reproduktif. Imiquimod tersedia dalam bentuk krim dengan konsentrasi 1% dan 5% (Aldara®). Anjuran penggunaannya adalah 3x/ minggu (selang sehari) dan dapat digunakan sampai dengan 16 minggu. Pasien dianjurkan untuk menggosok saat aplikasi krim untuk meningkatkan absorbsi. Sedian dapat diaplikasikan pada area sekitar lesi, tidak terbatas pada lesi KA saja. Setelah 6-10 jam area yang diterapi hendaknya dibersihkan dengan sabun yang lembut.3,4,16,36 Hasil metanalisis berbagai uji klinis acak mendapatkan baik imiquimod 1% maupun 5% lebih efektif dibandingkan plasebo dalam eradikasi lesi KA selama kurun waktu terapi 12 minggu. Imiquimod 5% lebih efektif dibandingkan imiquimod 1%. Efek samping lebih jarang ditemukan dibandingkan podofilotoksin, berupa eritema ringan-sedang, erosi, gatal, sensasi terbakar, iritasi, indurasi, nyeri pada perabaan. Efek samping ini lebih sering dijumpai pada konsentrasi yang lebih tinggi. 16,36,39 3. Sinecatechins Sinecatechins merupakan polifenon E yang terdiri atas ekstrak 8 catechins yang dipurifikasi dari teh hijau (Camellia sinensis). Aktivitas biologisnya meliputi efek antivirus, efek antikarsinogenik (menginduksi apoptosis dan hambatan total siklus sel), anti-oksidan, anti-angiogenik, dan efek modulasi renspons imun melalui peningkatan sitokin: interferon, TNF, dan interleukin.4,40 Indikasi penggunaannya adalah lesi KA pada area eksternal anogenital. Sedian berupa salap 15% (veregen®). Sediaan ini tidak direkomendasikan pada pasien yang hamil, usia dibawah 18 tahun, imunokompromais, dan pasien dengan herpes genitalis, karena belum ada uji klinis keamanan dan efektivitas pada populasi tersebut. Penggunaannya dapat mencapai 250 mg/kali aplikasi. Diaplikasikan 3x/hari dan dapat digunakan sampai dengan eradikasi total lesi tercapai/ maksimal 16 minggu.4,40 Uji klinis acak yang dilakukan di Eropa dan Afrika selatan dengan melibatkan 503 pasien KA, mendapatkan bahwa sediaan ini superior dibandingkan dengan plasebo dalam kurun waktu 12 minggu terapi.4 Dibandingkan imiquimod dan podofilotoksin, efektivitas sinecatechins dalam eradikasi lesi KA lebih superior.40 Efek samping yang ditemukan berupa reaksi lokal kulit, yaitu: eritema, edema, dan erosi yang puncaknya terjadi dalam kurun 2-4 minggu terapi.4 11
  • 12. Terapi topikal yang diaplikasikan oleh dokter 1. Podofilin Podofilin resin bekerja sebagai antimitotik yang menginduksi nekrosis jaringan, sebagaimana podofilotoksin yang merupakan ekstrak bahan aktif utama dari podofilin resin. Podofilin mengandung flavenoid mutagen, quercetin, dan kamferol. Kehamilan merupakan kontra-indikasi sediaan ini. Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan pada wanita usia reproduktif. Sediaan ini merupakan salah satu terapi tertua KA.4,16 Sediaan berupa solusio podofilin dengan konsentrasi 10-25%. Penggunaan maksimal pada satu sesi terapi adalah luas area 10 cm2 atau jumlah total podofilin kurang dari 0,5 ml. Hal ini terkait dengan risiko absorpsi dan toksisitas sistemik. Efek samping yang dapat timbul berupa supresi sum sum tulang, gangguan neurologi, halusinasi, psikosis, mual, muntah, diare, gangguan fungsi hati, dan nyeri akut abdomen pernah dilaporkan dalam 20 tahun terakhir.4,16 2. Bichloracetic acid (BCA) dan Trichloracetic acid (TCA) Baik BCA maupun TCA merupakan agen yang bersifat korosif. Senyawa ini dengan cepat menjadi inaktif setelah kontak dengan kulit/ lesi. Hal ini yang menyebabkan penggunaannya tergolong aman selama kehamilan. Konsentrasi penggunaan BCA maupun TCA tidak terstandardisasi dan biasanya merupakan sediaan yang disiapkan atas pesanan kepada farmasi. Konsentrasi yang digunakan dapat mencapai 95%. 4,16 Cara penggunaannya adalah diaplikasikan pada lesi KA dengan menggunakan tusuk gigi atau cotton bud. Jadwal terapi umumnya 3x/minggu selama 4 minggu. Bikarbonat, talkum, sabun, maupun air dapat digunakan untuk netralisasi kelebihan aplikasi BCA/TCA. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah berupa ulserasi. Efektivitas respons terapi dan tingkat rekurensi superior dibandingkan plasebo.4,16 B. Injeksi interferon intralesi dan interferon topikal Interferon α yang memiliki efek antivirus luas diproduksi sebagai respons imun pada infeksi virus. Selain digunakan sebagai agen injeksi intralesi, interferon juga digunakan dalam sediaan topikal. Keduanya memiliki efektivitas superior dibandingkan plasebo dalam mengeliminasi lesi KA. Penggunaannya secara sistemik tidak dianjurkan baik sebagai terapi primer maupun tambahan dalam tatalaksana KA.4,16,18,39 12
  • 13. Dosis injeksi interferon intralesi adalah 1-2 juta U. Dapat diulang setiap hari dengan dosis maksimal 5 juta U/pasien. Jumlah lesi KA maksimum yang mendapat injeksi pada satu sesi terapi adalah 5 lesi. Efek samping yang dapat dijumpai berupa demam, mialgia, nyeri kepala, lelah, dan leukopenia.18 Penggunaannya secara topikal dapat diaplikasikan 1x/hari, selama 4 minggu. Penggunaan interferon topikal kerap menjadi terapi tambahan modalitas terapi yang lain.18,39 C. Bedah Terapi bedah secara langsung, baik eksisi maupun ablasi lesi KA, merupakan pilihan pertama lesi KA yang besar dan lesi yang menyebabkan obstruksi. Tindakan ini dapat dilakukan pada berbagai lokasi lesi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan ini adalah anestesi dan kontrol infeksi. Anestesi yang digunakan dapat berupa anestesi umum, lokal infiltrasi, maupun tumesen, bergantung kebutuhan pasien, ukuran, dan luas distribusi lesi. Lesi umumnya hanya sampai ke bagian atas dermis, sehingga tindakan hendaknya tidak lebih dalam dari lapisan ini.16,41 1. Bedah Eksisi Bedah eksisi, baik menggunakan skapel, gunting, dan kuretase, secara langsung mampu menghilangkan lesi KA.4,36 Tindakan ini dapat dikombinasi dengan elektrokauter untuk hemostasis dan sebagai modalitas terapi penyerta. Anatomi area sekitar lesi yang akan diterapi harus dikuasai dengan baik. Hindari trauma pada otot sfingter. Apa bila tindakan perlu bertahap, interval antar tindakan yang direkomendasikan berkisar 1-3 bulan.18 Keuntungan tindakan ini adalah hasil terapi dapat dilihat segera pasca terapi dan jumlah kunjungan yang lebih sedikit bahkan pada beberapa kasus dapat dilakukan dalam 1 sesi. Efek samping berupa nyeri, jaringan parut, dan perdarahan.36 2. Bedah Listrik Tindakan ini dapat digunakan untuk lesi KA eksternal, maupun internal. Operator hendaknya menguasai anatomi dan mengontrol kedalaman kauterisasi. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya jaringan parut dan cedera sfingter. Targetnya adalah luka bakar derajat 1-2. Luka bakar sirkumferensial pada area perianal, hendaknya dihindari untuk menghindari stenosis ani.18 Komplikasi yang dapat terjadi berupa nyeri, iritasi lokal, infeksi, hipopigmentasi pasca-inflamasi, dan skar.4,36 3. Bedah Beku Bedah beku menggunakan N2 cair, CO2 padat, cryoprobe untuk membekukan kandungan air pada jaringan dan menginduksi terjadinya lisis sel. 4,18 Target pada 13
  • 14. aplikasi terapi adalah terbentuknya halo beberapa mm di sekitar lesi. Terapi dikatakan berhasil bila timbul lepuh dalam beberapa hari, dengan proses inflamasi pada area lesi dan perilesi, lepasnya lesi, dan diikuti fase penyembuhan. Sesi terapi selanjutnya dapat dilakukan dalam interval waktu 1-2 minggu. Efek samping dapat berupa nyeri, infeksi, ulserasi, hipopigmentasi pasca-inflamasi dan skar. 4,36 4. Laser CO2 Bedah laser secara ablatif menyebabkan vaporisasi lesi KA yang akan menyebabkan destruksi jaringan. Teknik ini cukup efektif mengatasi lesi KA yang berukuran besar. Asap yang timbul pada saat terapi dapat mengandung partikel virus. Operator hendaknya menggunakan masker dan penghisap asap yang adekuat untuk proteksi diri terhadap infeksi HPV respiratorik. Komplikasi yang timbul dapat berupa nyeri, gatal, bengkak, dan skar. Tindakan ini dapat dilakukan pada anak dan wanita dengan kehamilan.4,36 D. Terapi lain dengan bukti sahih terbatas Terapi lain berupa injeksi bleomisin intralesi, kantaridin topikal, 5-Fluorouracyl (5-FU) topikal dan injeksi intralesi 5-FU, cidofovir topikal, tretinoin oral, dan terapi topikal 5- aminolaevulinic acid 20%-photodynamic therapy (ALA-PDT) penelitiannya masih sangat terbatas dan sebagian berupa laporan kasus anekdotal. Regimen tersebut belum mendapatkan persetujuan FDA sebagai agen standar yang digunakan dalam terapi KA. 4,16,18 Edukasi pasien, persiapan, dan tindak lanjut paska terapi Pasien perlu diberikan edukasi mengenai kekerapan, transmisi, dan perjalanan alami infeksi HPV. Pasien hendaknya mendapat informasi bahwa mereka mampu menularkan virus dan pasangan seksual mereka kemungkinan besar sudah mengalami infeksi. Hubungan setia diharapkan mampu menurunkan penyebaran virus.4 Pasien dianjurkan menggunakan kondom pada hubungan yang baru untuk mencegah penularan.31 Hampir seluruh terapi KA kerap disertai rasa tidak nyaman, nyeri, dan memerlukan beberapa kunjungan. Hal ini memberikan dampak terhadap pembiayaan dan kehilangan waktu kerja pada pasien. Keseluruhan informasi terkait terapi, komplikasi, frekuensi dan durasi terapi perlu disampaikan kepada pasien.35 Pasien yang akan melakukan terapi di rumah harus diajarkan menggunakan obat terapi topikal dengan benar dan diingatkan untuk kontrol secara berkala. Dokter hendaknya memastikan pasien dapat melihat/ mengidentifikasi lesi KA dan mengajarkan penggunaan alat bantu, misalnya cermin untuk mengaplikasikan terapi topikal dengan tepat.16 14
  • 15. Sebagian besar terapi KA, menyebabkan gangguan integritas kulit. Hal ini berpotensi menjadi port d’ entree kuman. Pencegahan terhadap infeksi penting dilakukan. Pasien perlu diajarkan menjaga higiene, merawat luka, mengamati dan melaporkan gejala serta tanda infeksi, yaitu: peningkatan intensitas kemerahan kulit, bengkak, panas, nyeri, pus pada area lesi yang diterapi, maupun demam.16 Pemberian antibiotik profilaksis topikal pasca terapi dapat dipertimbangkan. Apabila eradikasi sempurna lesi KA tidak tercapai dalam 6 minggu atau dalam masa yang direkomendasikan secara spesifik oleh produsen farmasi, kombinasi dengan alternatif terapi yang lain perlu dipertimbangkan. Pada lesi yang resisten perlu dilakukan biopsi. Apabila eradikasi lesi KA telah tercapai dan komplikasi selama terapi telah mengalami resolusi, kunjungan dan evaluasi ulang 3 bulan paska terapi dapat direkomendasikan. Tujuan kunjungan ini adalah untuk mengidentifikasi rekurensi dan memberikan kesempatan pasien untuk mendapatkan tambahan informasi dan konseling. Pada pasien imunosupresi kunjungan ulang berkala 6-12 bulan direkomendasikan karena risiko rekurensi lebih besar. 37 KONDILOMA AKUMINATA PADA KEHAMILAN Lesi KA umumnya mengalami perburukan/ progresivitas pada kehamilan. Faktor yang mendasari progresivitas ini adalah efek hormon selama kehamilan, peningkatan aliran darah, dan penurunan respons imun secara umum.16,42 Paska kehamilan, lesi KA umumnya akan mengalami regresi. Lesi KA dapat menghambat vagina meregang optimal dan kerap menyebabkan laserasi pada persalinan. Terapi KA perlu dilakukan pada wanita yang ingin menjalani prosedur persalinan normal. Beberapa terapi KA dapat dilakukan selama kehamilan adalah: BCA/TCA, bedah beku, eksisi, dan laser.16 Namun, persalinan Cesarean dapat dipertimbangkan untuk mengurangi risiko transmisi vertikal melalui jalan lahir dan menurunkan risiko kejadian papilomatosis laring onset juvenilis pada bayi. 43 Papilomatosis laring onset juvenilis pertama kali dilaporkan oleh Hajek pada tahun 1956. Penyakit ini merupakan penyakit terkait infeksi HPV tipe risiko rendah yang jarang (risiko kejadian <0,04%) namun memiliki morbiditas yang tinggi.16,41,443 Infeksi HPV selama kehamilan sering dikaitkan dengan kejadian transmisi vertikal. Secara umum, transmisi vertikal merupakan terminologi yang menggambarkan transfer virus dari orang tua kepada bayi. Dari Ibu hal ini dapat terjadi: selama kehamilan melalui plasenta, selama persalinan melalui jalan lahir yang terinfeksi HPV, dan setelah kelahiran melalui air susu ibu (ASI). Pada infeksi HPV, HPV dapat terdeteksi pada amnion wanita yang hamil dengan infeksi HPV dan pada sperma laki-laki.43 Penelitian mengenai transmisi vertikal HPV masih sangat terbatas, penelian yang ada lebih banyak terfokus pada infeksi genitalia HPV. Transmisi vertikal HPV perinatal terjadi, namun angka kejadiannya kecil. 44 15
  • 16. Infeksi HPV tidak menyebabkan viremia dan virus ini tidak ditransmisikan melalui ASI. 43 Namun, penelitian Wolf dkk menemukan deteksi HPV DNA pada 10 (4%) dari 223 sampel ASI pada 3 hari pascapartum pada wanita dengan infeksi HPV anogenital yang baru melahirkan. Pada penelitian ini, 9 dari 10 sampel tersebut mengandung HPV tipe 16 (risiko tinggi). Pada HPV umumnya tidak terjadi viremia, peneliti berpendapat HPV pada ASI merupakan transmisi retrograde manner dari jaringan pada nipel dan areola. Hal ini dipikirkan menyebabkan transmisi horizontal HPV dari ibu kepada anak. 45 PENUTUP Infeksi HPV merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual tersering di dunia. 4 Meskipun sebagian besar infeksi bersifat subklinis dan eliminasi HPV oleh respons imun pejamu tercapai pada 2/3 populasi terinfeksi, infeksi HPV tipe risiko rendah (terutama tipe 6 dan 11) dapat bermanifestasi sebagai KA. Lesi KA memiliki potensi penularan yang tinggi dan kerap menimbulkan gangguan psikologis pada pasien. Diagnosis KA umumnya dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisis, namun pada beberapa kasus yang meragukan permeriksaan dermoskopi dan biopsi dapat dilakukan.10,16 Tidak ada terapi yang ideal untuk seluruh lesi. Pemilihan terapi yang tepat bergantung pada tampilan lesi, lokasi, ketersediaan modalitas, keterampilan dokter, dan preferensi pasien. Preferensi pasien berbagai faktor, yaitu: efektivitas, tingkat rekurensi, kenyamanan, privasi, biaya, efek samping, dan komplikasi terapi. Pasien hendaknya diberikan informasi menyeluruh mengenai penyakit dan tatalaksana untuk menunjang keberhasilan terapi dan mencegah transmisi.4,41 16
  • 17. DAFTAR PUSTAKA 1 Penneys NS, Winkelman FJ. Condyloma acuminata: what is in a name? J Am Acad Dermatol 2010;63(6):1100. 2 Desai S, Wetten S, Woodhall SC, Peters L, Hughes G, Soldan K. Genital warts and cost of care in England. Sex Transm Infect 2011;87(6):464-8. 3 Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted disease treatment guidelines 2010. Genital warts. Morb Mortal Wkly Rep 2010;59(RR-12):70-4. 4 Mayeaux EJ, Dunton C. Modern management of external genital warts. J Low Genit Tract Dis 2008; 12(3):185-92. 5 Gunter J. Genital and perianal warts: new treatment opportunities for human papillomavirus infection. Am J Obstet Gynecol 2003; 189(3 Suppl):S3-11. 6 Dunne EF, Thep –Amnuay S, Whitehead SJ, Markowitz LE. Genital warts among 18-59 years old in the US National and nutrition survey (NHANES) 1999-2002. In: 16th meeting of the International society for sexually transmitted diseases research; 10-13 Jul 2005. Amsterdam, The Netherlands 2005. 7 Kjær SK, Tran TN, Sparen P,Tryggvadottir L, Munk C, Dasbach E, et al. The burden of genital warts: a study of nearly 70,000 women from the general female population in the four Nordic countries. J Infect Dis 2007; 196(10):1447-54. 8 Shew ML, Fortenberry JD. HPV infection in adolescents: natural history, complications, and indicators for viral typing. Semin Pediatr Infect Dis 2005;16(3):168-74. 9 Winer RL, Kiviat NB, Hughes JP, Adam DE, Lee SK, Kuypers JM, et al. Development and duration of human papillomavirus lesions, after initial infection. J Infect Dis 2005; 191(5):731-8. 10 O’Mahony C. Genital warts: current and future management options. Am J Clin Dermatol 2005:6(4):239-43. 11 Jeynes C, Chung MC, Challenor R. ‘Shame on you’the psychosocial impact of genital warts. Int J STD AIDS 2009; 20:557–60. 12 Mortensen GL. Long-term quality of life effects of genital warts – a follow-up study. Dan Med Bul 2010;57(4):1- 4. 13 Woodhall SC, Jit M, Soldan K, Kinghorn G, Gilson R, Nathan M, et al. The impact of genital warts: Loss of quality of life and cost treatment in eight sexual health clinics in the UK. Sex Transm Infect 2011;87:458-63. 14 Woodhall SC, Lacey CJN, Wikstorm A. European guidelines (IUSTI/WHO) on the management of anogenital warts. Poster presentation at the 25th International papillomavirus conference; 8-14 May 2009. Maimo, Sweden 2009. 15 Rose RC, Stoler MH. Biology. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa Healthcare 2009;1:1-16. 16 Wiley DJ, Douglas J, Beutner K, Cox T, Fife K, Moscicki AB, et al. External genital warts: diagnosis, treatment, and prevention. Clin Infect Disease 2002;35(2 Suppl):S210-24. 17 Egelkrout EM, Galloway DA. Biology of Human Papillomaviruses. In:Holmes K, Mardh P, Sparling P, eds. Sexually Transmitted Diseases. 5th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2010;15:463–87. 18 Chang GJ, Welton ML. Human papillomavirus, condylomata acuminata, and anal neoplasia. Clin in Col Rec Surg 2004;17(4):221-30. 19 Poole CL, Denman CJ, Arbiser JL. Immunosuppression may be present within condyloma acuminate. J Am Acad Dermatol 2008;59:967-74 . 20 Bonnez W, Reichman RC. Papillomaviruses. In: Mandell GL. eds. Principles and Practice of Infectious Diseases. 6th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Churchill Livingstone, 2005:1841–56. 21Gravitt PE. Epidemiology. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa Healthcare 2009;2:17-28. 22 Hansen BT, Jenssen MH, Kjaer SK, Munk C, Tryggvadottir L, Sparen P. Association between smoking and genital warts: longitudinal analysis. Sex tran Infect 2010;86:258-62. 23 Garland SM. Prevention strategies against human papillommavirus in males. Gyn Oncol 2010;117(Suppl):20-5. 24 Bonnez W, Toy EP.Disease. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa Healthcare 2009; 3:29-44. 25 Hirokawa D, Lee JB. Dermatoscopy: an overview of subsurface morphology. Clin in Dermatol 2011; 29: 557-65. 26 Zalaudek I, Giacomel J, Cabo H, Di Stefani A, Ferrara G, Hofmann-Wellenhof R, et al. Entodermoscopy: a new tool for diagnosing skin infections and infestations. Dermatol 2008;216:14-23. 17
  • 18. 27 Ozdemir F, Kilinc-Karaarslan I, Akalin T. A pigmented, hemorrhagic genital wart: clinical, dermoscopic, and histopathologic features. Arch Dermatol 2008;144:1072-3. 28 Teoli M, Di Stefani A, Botti E, Mio G, Chimenti S. Dermoscopy for treatment monitoring of viral warts [abstract]. Dermatology 2006;212:318. 29 Kim SH, Seo SH, Ko HC, Kwon KS, Kim MB. The use of dermatoscopy to differentiate vestibular papillae, a normal variant of the female external genitalia, from condyloma acuminata. J Am Acad Dermatol 2009;60:353-5. 30 Dong H, Shu D, Campbell TM, Fruhauf J, Soyer P, Hofmann-Wellenhof R. Dermatoscopy of genital warts. J Am Acad Dermatol 2011;64(5):859-64. 31 Juckett G, Hartman-adams. Human papillomavirus: clinical manifestations and prevention. Am Fam Physician 2010;15:1209-14. 32Garland SM, Steben M, Sings HL. Natural history of genital warts: analysis of the placebo arm of 2 randomized phase III trials of a quadrivalent human papillomavirus (types 6,11,16,18) vaccine. J Infect Dis 2009;199(9):805- 14. 33 Anic GM, Lee JH, Stockwell H, Rollison DE, Wu Y,Papenfuss MR. Incidence and human papillomavirus type distribution of genital warts in a multinational cohort of men: the HPV in men study. J Infect Dis 2011;204:1886- 92 34 Flores R, Abalos AT, Nielson CM, Abrahamsen M, Harris RB, Giuliano AR. Reability of sample collection and laboratory testing for HPV detection in men. J Virol Methods 2008;148:136-43. 35 Wilson J. Treatment of genital warts: what’s the evidence? Int J STD AIDSI 2002:13:216-22. 36 Maw R. Critical appraisal of commonly used treatment for genital warts. Int J STD AIDS 2004;15:357-64. 37 Winner RL, Koutsky LA. Genital human papillomavirus. In:Holmes K, Mardh P, Sparling P, eds. Sexually Transmitted Diseases. 5th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2010;28:489-508. 38 Bonnez W, Toy E. Therapy. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa Healthcare 2009; 4:45-58. 39 Buck HW. Warts (genital). Clinical evidence 2007; 8(1602):1-20. 40 Meltzer SM, Monk BJ, Tewari K. Green tea catechins for treaqtent of external genital warts. Am J Obstet Gynecol 2009;233: e1-7. 41 Gunter J. Genital and perianal warts: new treatment opportunities for human papillomavirus infection. Am J Obstet Gynecol 2003;10(suppl): S3-11. 42 Nigam A, Mishra A. Condyloma acuminatum: atypical presentation during pregnancy. Int J STD AIDS 2011;22(9):534-5. 43 Cason J, Mant CA. High-risk mucosal human papillomavirus infection during infancy and childhood. J Clin Virol 2005;32(Suppl):s52-8. 44 Castellsagué X, Drudis T, Cañadas MP, Goncé A, Ros R, Pérez JM, et al. Human Papillomavirus (HPV) infection in pregnant women and mother-to-child transmission of genital HPV genotypes: a prospective study in Spain. BMC Infect Dis 2009;9:74. 45 Wolf R, Wolf D, Davidovici B. Mothers With Anogenital HPV Should Avoid Breastfeeding: myth? Skin Med 2010;8(3):177-8. 18