AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
presentation referat kondiloma akuminata
1. TINJAUAN PUSTAKA
Moderator : dr.Farida Zubier, Sp.KK(K)
Dibacakan : Rabu, 8 Februari 2012
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI KONDILOMA AKUMINATUM
SK Sulistyaningrum
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kadokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta
PENDAHULUAN
Kondiloma akuminatum (KA) merupakan tumor epitel jinak pada area anogenital yang
disebabkan infeksi human papilomavirus (HPV) tipe tertentu.1 Kelainan ini merupakan salah
satu infeksi menular tersering dengan risiko penularan tinggi secara seksual, sehingga dianggap
sebagai infeksi global epidemik.2,3 Pada populasi umum, prevalensi KA di Amerika Serikat
sebesar 1%, sedangkan pada pusat penanganan/ klinik infeksi menular seksual sebesar 4-
13%.4,5 Puncak kejadian KA pada usia 20-29 tahun, dengan prevalensi total 5,7% pada populasi
usia 18-59 tahun.6 Di Eropa, sebanyak 10,6% wanita usia 18-45 tahun pernah mengalami KA.7
Insidens kumulatif infeksi HPV secara umum pada populasi dewasa muda sebesar 40%, dengan
prevalensi mencapai 75-80%.8 Sebanyak lebih dari 2/3 kelompok individu imunokompeten yang
terinfeksi HPV mengalami infeksi transien karena respon imun pejamu mampu mengeliminasi
virus.4 Hanya kurang dari 1% pasien yang terinfeksi HPV, bermanifestasi sebagai KA. Lesi KA
memiliki kandungan virus yang tinggi dan sangat menular. Sebanyak 65% kontak seksual
individu dengan lesi KA mengalami infeksi HPV.9 Masa inkubasi umumnya berkisar beberapa
minggu sampai 3 bulan, atau lebih panjang.9,10
Lesi KA sebagian besar asimptomatik, bersifat jinak dan umumnya tidak menyebabkan
mortalitas. Morbiditas utama KA terkait dengan gangguan psikologis yang dialami lebih dari
50% pasien. 11 Adanya lesi ini kerap menimbulkan rasa cemas, malu, kehilangan percaya diri,
depresi, dan berdampak negatif pada hubungan seksual yang menyebabkan penurunan kualitas
hidup pada pasien.4,12 Dampak KA pada pusat pelayanan kesehatan cukup besar, sebanyak
125.000 kasus baru didiagnosis pada klinik kesehatan seksual di Inggris pada tahun 2009. Di
Inggris, biaya penanganan rata-rata perkasus berkisar £113 dan biaya penanganan KA setahun
sebesar £16.8 juta. 13
1
2. Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis, namun pada beberapa
kasus dibutuhkan pemeriksaan histopatologi. 4 Seiring perkembangan penggunaan desmoskop
dalam dermatologi, terdapat berbagai laporan maupun penelitian mengenai gambaran
dermoskopi pada KA. Tatalaksana KA kerap membutuhkan beberapa sesi dan terkadang
membutuhkan kombinasi beberapa modalitas untuk mengeliminasi lesi. Angka rekurensi paska
terapi berkisar 10-40%.14 Dahulu, tatalaksana KA bergantung pada dokter. Namun, saat ini,
terapi topikal KA yang dapat diaplikasikan sendiri oleh pasien semakin berkembang.10 Terdapat
tiga regimen topikal utama yang direkomendasikan sebagai terapi topikal KA yang dapat
diaplikasikan sendiri oleh pasien, yaitu: podofilotoksin, imiquimod, dan sinecathecins.3
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan etiopatogenesis, diagnosis, dan tatalaksana terkini
kondiloma akuminata.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Karakteristik HPV adalah virus DNA berkapsid yang berukuran kecil (diameter: 55nm), bulat,
terdiri atas 72 kapsomer pentamer (gambar 1), dan memiliki 800 pasang basa DNA sirkuler.
Virus ini menginfeksi vertebrata dan merupakan kelompok virus paling tua ditemukan yang
sangat beragam.15,16 Saat ini, terdapat lebih dari 130 tipe HPV telah diidentifikasi. Infeksi HPV
tertentu terkait penyakit tertentu (tabel 1). Lebih dari 40 tipe HPV menginfeksi genitalia, yang
terbagi atas risiko rendah dan risiko tinggi berdasarkan kemampuan menyebabkan
neoplasia.17,18 Infeksi HPV tipe 6 dan 11 merupakan etiologi pada 90% kasus kondiloma
akuminata.3
Gambar 1. (a) Gambaran mikroskop elektron HPV 11. (b) Model 3 dimensi HPV.*
Virus ini memiliki dua mekanisme untuk menghindari deteksi sistem imun. Pertama, infeksi
terjadi pada sel epidermal yang tidak berinteraksi langsung dengan pembuluh darah dan sistem
*
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15 dengan perubahan
2
3. imun humoral. Kedua, HPV mampu menginduksi defisiensi imun lokal yang ditandai dengan
berkurangnya limfosit, sel Langerhans, CD4, dan menurunkan produksi sitokin setempat.4,19
Tabel 1. Tipe HPV dan Penyakit terkait†
Sistem imun pejamu mengeliminasi virus melalui interleukin yang meningkatkan respons imun
seluler dan interferon yang mampu menghambat replikasi virus. Mekanisme inilah yang
memungkinkan terjadinya regresi spontan pada lesi awal KA. Fenomena ini juga menerangkan
individu imunokompromais terkait penurunan imun seluler, misalnya pada infeksi HIV dan
pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit terkait HPV yang lebih tinggi
dengan manifestasi lesi yang lebih besar, multifokal, dan cenderung displastik. 4
Sel pada lapisan basal merupakan target infeksi HPV, dimana umumnya HPV berada pada
keadaan subklinis selama 3 bulan. Pada HPV tipe risiko rendah, proliferasi epitel ini
menyebabkan gambaran klinis eksofitik secara klinis yang bersifat jinak. Virus ini bereplikasi
pada sel basal yang aktif membelah dan menyebabkan gangguan pada kontrol siklus sel.
Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel permukaan. Sel permukaan yang mengandung
HPV ini akan mengalami eksfoliasi dan menjadi sumber transmisi. 4,15 Skema patogenesis infeksi
HPV terangkum pada gambar 2. 20
Jalur transmisi utama HPV melalui kontak seksual penetrasi, baik melalui vagina, anal, maupun
oral.3 Abrasi epitel dan trauma minor yang terjadi saat aktivitas seksual mempermudah
transmisi dan infeksi HPV ke sel target. 8,21 Selain individu dengan lesi KA, individu yang
mengalami infeksi HPV asimptomatik dapat mentransmisikan virus. 11
†
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 15 dengan perubahan
3
4. Gambar 2. Patogenesis infeksi HPV.‡
Faktor risiko infeksi HPV adalah jumlah pasangan seksual lebih dari 1, riwayat infeksi menular
seksual lainnya, rokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan individu imunokompromais.8,18,22-3
Faktor proteksi berupa vaksinasi, sirkumsisi, dan penggunaan kondom secara konsisten. 8,18,23
DIAGNOSIS
Diagnosis tepat merupakan langkah awal terapi KA. Manifestasi klinis KA berupa tumor
menyerupai kembang kol sewarna kulit atau merah muda. Lesi dapat berbentuk kubah, papul
datar, lesi bertangkai, maupun lesi hiperkeratotik. Lesi KA dapat soliter, multipel tersebar,
berkelompok menyerupai mulberry, maupun berkonfluens membentuk plak.4,16,18 Lesi
individual dapat berukuran beberapa mm sampai dengan cm. Lesi dengan ukuran lebih dari 10
cm disebut kondiloma raksasa.24 Beberapa gambaran manifestasi klinis KA dapat diamati pada
gambar 3. Lesi KA umumnya asimptomatik (75%) yang kadang baru ditemukan pada saat
pemeriksaan fisis, namun dapat pula disertai gejala berupa pruritus anogenital, rasa terbakar,
nyeri, tenesmus, maupun perdarahan.4 Predileksi KA terkait aktivitas seksual, dapat ditemukan
pada meatus uretra, penis, skrotum, serviks, vagina, perineum, anus, perianus, lipat inguinal,
dan rongga mulut.16,24
‡
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 20 dengan perubahan
4
5. Gambar 3. Berbagai manifestasi klinis KA. (a) dan (b) KA pada penis. (c) KA pada perianal.§
Diagnosis KA umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis dengan pencahayaan yang
memadai dan kaca pembesar.16 Posisi pemeriksaan bervariasi, yaitu posisi prone-jack-knife,
knee-chest, dekubitus lateral, dan litotomi. Pada pasien homoseksual, pemeriksaan anuskopi
dan protosigmoidoskopi penting dilakukan, karena lesi dapat meluas ke arah dalam pada 75-
94% pasien.18
Diagnosis banding KA sangat bergantung pada manifestasi klinis, meliputi: kondiloma lata,
moluskum kontagiosum, pearly penile papules, Fordyce spot, keratosis seboroik, dan beberapa
lesi neoplastik (papulosis bowenoid, tumor Buschke-Lowenstein, dan karsinoma sel skuamosa
in situ).11,16,18 Berbagai diagnosis banding KA terangkum pada tabel 2. Pemeriksaan sederhana
dan cepat menggunakan asam asetat 3-5% pada lesi dapat membantu penegakan diagnosis.24
A. Temuan Histopatologi
Biopsi tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KA. Indikasi biopsi pada KA
adalah tampilan lesi yang atipikal, lesi yang resisten terhadap terapi, dan kecurigaan
perubahan neoplastik, ditandai dengan pigmentasi, pertumbuhan cepat, fiksasi terhadap
struktur di bawahnya, perdarahan, dan ulserasi spontan. 4,16 Indikasi lain adalah pasien
imunokompromais, usia lebih dari 40 tahun, dan lesi KA pada serviks.3,5
Secara mikroskopis, lesi KA ditandai dengan adanya koilosit, yaitu keratinosit berukuran
besar dengan area halo/ vakuolisasi perinuklear. Sel dengan inti hiperkromatik juga dapat
ditemukan. Pada epidermis terdapat akantosis, hiperkeratosis tipe parakeratosis, dan rete
ridges memanjang. Pada stratum basalis dapat ditemukan peningkatan/ aktivitas mitosis.
Pada dermis dapat ditemukan papilomatosis dan sebukan sel radang kronik. 4,18
§
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 10 dengan perubahan
5
6. Tabel 2. Diagnosis banding Kondiloma Akuminata **
B. Dermoskopi
Dermoskopi merupakan pemeriksaan in vivo noninvasif, yang awalnya digunakan untuk
memeriksa lesi pigmentasi. Pemeriksaan ini telah terbukti meningkatkan keakuratan
diagnosis melanoma. Saat ini, pemeriksaan ini juga banyak digunakan untuk mengevaluasi
kelainan kulit nonpigmentasi. Dermoskopi mampu memperlihatkan gambaran struktur kulit
permukaan dan struktur dibawahnya yang tidak terlihat secara klinis, yaitu pola pigmentasi
dan pola vaskular pleksus superfisial, sehingga memberikan korelasi gambaran klinis dan
histopatologi.25,26 Penggunaan dermoskop pada KA semakin banyak dilaporkan.27-9
**
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 24 dengan perubahan
6
7. Pemeriksaan dermoskopi bermanfaat untuk mendiagnosis KA, bahkan pada lesi awal, dan
membantu membedakan dengan lesi liken planus, keratosis seboroik, papulosis bowenoid,
dan lain-lain.28,29 Dong dkk, meneliti gambaran dermoskopi pada 90 lesi KA dari total 61
pasien dan menemukan gambaran pola vaskular dan temuan yang karakteristik, yaitu: pola
mosaik pada lesi awal yang masih datar dan pola menyerupai tombol (knoblike) dan
menyerupai jari (fingerlike) pada lesi yang papilomatosa.30 Gambaran dan definisi pola
karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan dermoskopi KA dapat dilihat pada tabel 3
dan gambar 4.
Tabel 3. Definisi berbagai pola desmatoskopi karakteristik pada KA ††
Gambar 4. (a) mosaic pattern (panah A) dan glomerular ( panah B), (b) keratosis (panah A)
dan knoblike pattern (panah B), (c) fingerlike pattern (panah A) dan knoblike pattern
(panah B),‡‡
††
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 30 dengan perubahan
7
8. Pemeriksaan dermoskopi merupakan pemeriksaan noninvasif yang relatif nyaman bagi
pasien. Keterbatasan penggunaannya pada KA, terutama terkait higiene. Pemeriksaan
dilakukan pada area genitalia dan terdapat kemungkinan transmisi virus melalui kontak
lensa dermoskopi. Teknik asepis antisepsis yang adekuat diperlukan untuk mencegah
transmisi.30
C. Identifikasi Genom HPV
Identifikasi genom HPV tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KA.4
Individu dapat mengalami infeksi HPV multipel. Adanya lesi KA yang merupakan manifestasi
infeksi HPV tipe risiko rendah tidak menyingkirkan adanya ko-infeksi dengan tipe HPV
lainnya.31 Pada lesi anogenital, HPV risiko tinggi ditemukan sebanyak 31%. 32 Penelitian Anic
dkk. terhadap 112 sampel KA pada laki-laki mengidentifikasi HPV risiko tinggi tipe 16/18
pada 14 (12,5%) sampel.33 Faktor risiko infeksi HPV multipel adalah infeksi HIV, pasangan
seksual lebih dari 1, dan laki-laki berhubungan seksual dengan laki-laki.8,31
Sediaan untuk identifikasi genom HPV dapat diambil dari lesi pada penis, anus, vagina, dan
rongga mulut. Pemeriksaan PCR mampu mendeteksi DNA HPV dengan tingkat sensitivitas
dan spesifisitas tinggi.18 Identifikasi genom HPV memerlukan probe yang bersifat spesifik
terhadap tipe HPV. Uji deteksi terbatas pada HPV tipe risiko rendah saja tidak memberikan
banyak manfaat. Jenis pemeriksaan genom HPV bermacam-macam, yaitu: mampu
membedakan tipe risiko tinggi dengan risiko rendah (The hybrid capture II HR® dan Cervista
HPV HR®) dan mengidentifikasi berbagai tipe HPV yang menginfeksi genitalia secara spesifik
(Inno Lipa® dan The Linear Array HPV genotyping test®).31,34
TATALAKSANA
Secara umum, efektivitas terapi pada infeksi menular seksual dinilai dalam 4 aspek, yaitu:
kemampuan menanggulangi manifestasi klinis, pencegahan morbiditas dan komplikasi jangka
panjang, eradikasi etiologi infeksi, dan pencegahan transmisi.35 Manifestasi klinis utama pada
lesi KA, terkait tampilan klinis lesi yang menyebabkan berbagai dampak psikologik dan
merupakan morbiditas utama pada pasien.36 Komplikasi jangka panjang infeksi HPV tipe risiko
rendah jarang terjadi. Lesi KA dapat berkembang menjadi kondiloma raksasa maupun tumor
Buschke-Lowenstein yang bersifat invasif lokal namun tidak bermetastasis, namun kejadiannya
sangat jarang.35
Terapi lesi KA mampu menurunkan jumlah virus yang terdapat pada keseluruhan lesi KA,
namun eradikasi infeksi secara sempurna sulit dicapai. Terapi lesi KA kerap meninggalkan area
‡‡
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 30 dengan perubahan
8
9. sekitar lesi yang masih terinfeksi HPV, namun subklinis.35 Pencegahan transmisi pada pasangan
pun kerap sulit dilakukan. Sebanyak 65% kontak seksual individu dengan lesi KA mengalami
infeksi HPV. Lesi KA mengandung jumlah virus yang tinggi. Bahkan individu yang mengalami
infeksi HPV subklinis pun sudah mampu mentransmisikan HPV. 9
Tanpa terapi, lesi KA dapat menghilang, menetap, maupun tumbuh lebih besar. Hal ini sangat
bergantung respons imun pasien. 37 Target utama terapi KA adalah eradikasi lesi KA dan
stimulasi sistem imun untuk mengenali virus, mengeliminasi, dan menghambat replikasi virus
maupun pertumbuhan lesi.10 Tidak ada terapi tunggal yang ideal untuk semua pasien maupun
untuk berbagai lesi KA.35 Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan terapi adalah:
manifestasi klinis lesi (jumlah, ukuran, keratinisasi/ nonkeratinisasi), lokasi lesi, komplikasi
terkait terapi, kondisi pasien (kehamilan, usia, status imunitas), preferensi pasien, ketersediaan
terapi, dan keterampilan/ pengalaman dokter.4,37 Secara umum, eradikasi lesi KA tercapai
dalam 3 bulan terapi, namun terdapat kemungkinan rekurensi/ relaps (tabel 4). 38
Tabel 4. Respons terhadap berbagai terapi KA. §§
Center for Disease Control and Prevention (CDC) memberikan panduan pilihan terapi
berdasarkan lokasi anatomi KA. Pada vagina, pilihan terapi adalah bedah beku N 2 cair dan
TCA/BCA 80-90%. Pada meatus uretra, pilihan terapi adalah bedah beku N2 cair dan podofilin
10-25%. Pada Anus, pilihan terapi adalah dengan bedah beku N2 cair, TCA/BCA 80-90% dan
bedah eksisi.3
§§
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan 38 dengan sedikit perubahan
9
10. A. Bahan kimiawi topikal
Terapi topikal yang diaplikasikan oleh pasien
1. Podofilotoksin
Podofilotoksin merupakan hasil purifikasi ekstrak bahan aktif podophyllum resin. Cara
kerjanya adalah sebagai antimitotik melalui hambatan polimerisasi tubulin menjadi
mikrotubulus, sehingga pembelahan sel terhenti pada metaphase dan induksi nekrosis
jaringan lokal. 4,10
Indikasi penggunaannya adalah lesi KA pada area eksternal anogenital. Kontraindikasi
adalah penggunaan pada area vagina, uretra, serviks, dan kehamilan. Penggunaan
kontrasepsi direkomendasikan pada wanita usia reproduktif. Sediaannya beragam
dalam; 0,5% solusio, 0,5% gel, dan 0,15% krim (Condilox®). Anjuran penggunaannya
adalah 2x/hari selama 3 hari dalam 1 minggu. Pada satu sesi aplikasi maksimal
digunakan pada luas area 10 cm2 dan jumlah podofilotoksin yang digunakan maksimal
0,5 ml/hari.3 Evaluasi ulang dilakukan dalam 4 minggu.4,10,36
Penelitian penggunaan podofilotoksin 0,5% gel yang melibatkan 167 pasien,
mendapatkan efektivitas terapi superior terhadap plasebo dalam kurun waktu terapi
4-6 minggu.16 Pada penelitian yang melibatkan 1036 pasien, dibandingkan plasebo
podofilotoksin lebih efektif dalam mengeradikasi lesi KA dalam 16 minggu terapi. Buck
melakukan meta-analisis terhadap berbagai uji klinis acak penggunaan podofilotoksin
dibandingkan dengan penggunaan podofilin. Efektivitas terapi podofilotoksin
sebanding dengan podofilin dalam mengeradikasi lesi KA selama 4 minggu terapi. 39
Efek samping yang sering dialami pasien berupa inflamasi dan iritasi lokal, erosi, nyeri,
rasa terbakar, dan gatal.4,39 Efek samping yang sedikit dilaporkan berupa dispareuni,
perdarahan, skar, dan insomnia.39
2. Imiquimod
Imiquimod/ imidazoquilinamine tidak memiliki aktivitas antivirus secara in vitro,
namun memiliki kemampuan memodifikasi respons imun pejamu melalui peningkatan
produksi sitokin, yaitu interferon α, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin.
Berbagai sitokin ini akan meningkatkan jumlah dan kinerja sel natural kiler (NK),
poliymorphonuclear neutrofilic leukocyte (PMN), makrofag, dan sel T, yang memiliki
efek antitumor dan eradikasi virus. Senyawa ini juga mampu menginduksi memori
sistem imun sehingga mencegah terjadinya rekurensi.4
10
11. Indikasi penggunaan adalah lesi KA terbatas pada area eksternal anogenital.
Kontraindikasi adalah penggunaan pada membran mukosa dalam (uretra, vagina, dan
serviks) dan kehamilan (kategori C). Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan pada
wanita usia reproduktif. Imiquimod tersedia dalam bentuk krim dengan konsentrasi
1% dan 5% (Aldara®). Anjuran penggunaannya adalah 3x/ minggu (selang sehari) dan
dapat digunakan sampai dengan 16 minggu. Pasien dianjurkan untuk menggosok saat
aplikasi krim untuk meningkatkan absorbsi. Sedian dapat diaplikasikan pada area
sekitar lesi, tidak terbatas pada lesi KA saja. Setelah 6-10 jam area yang diterapi
hendaknya dibersihkan dengan sabun yang lembut.3,4,16,36
Hasil metanalisis berbagai uji klinis acak mendapatkan baik imiquimod 1% maupun 5%
lebih efektif dibandingkan plasebo dalam eradikasi lesi KA selama kurun waktu terapi
12 minggu. Imiquimod 5% lebih efektif dibandingkan imiquimod 1%. Efek samping
lebih jarang ditemukan dibandingkan podofilotoksin, berupa eritema ringan-sedang,
erosi, gatal, sensasi terbakar, iritasi, indurasi, nyeri pada perabaan. Efek samping ini
lebih sering dijumpai pada konsentrasi yang lebih tinggi. 16,36,39
3. Sinecatechins
Sinecatechins merupakan polifenon E yang terdiri atas ekstrak 8 catechins yang
dipurifikasi dari teh hijau (Camellia sinensis). Aktivitas biologisnya meliputi efek
antivirus, efek antikarsinogenik (menginduksi apoptosis dan hambatan total siklus sel),
anti-oksidan, anti-angiogenik, dan efek modulasi renspons imun melalui peningkatan
sitokin: interferon, TNF, dan interleukin.4,40
Indikasi penggunaannya adalah lesi KA pada area eksternal anogenital. Sedian berupa
salap 15% (veregen®). Sediaan ini tidak direkomendasikan pada pasien yang hamil,
usia dibawah 18 tahun, imunokompromais, dan pasien dengan herpes genitalis,
karena belum ada uji klinis keamanan dan efektivitas pada populasi tersebut.
Penggunaannya dapat mencapai 250 mg/kali aplikasi. Diaplikasikan 3x/hari dan dapat
digunakan sampai dengan eradikasi total lesi tercapai/ maksimal 16 minggu.4,40
Uji klinis acak yang dilakukan di Eropa dan Afrika selatan dengan melibatkan 503
pasien KA, mendapatkan bahwa sediaan ini superior dibandingkan dengan plasebo
dalam kurun waktu 12 minggu terapi.4 Dibandingkan imiquimod dan podofilotoksin,
efektivitas sinecatechins dalam eradikasi lesi KA lebih superior.40 Efek samping yang
ditemukan berupa reaksi lokal kulit, yaitu: eritema, edema, dan erosi yang puncaknya
terjadi dalam kurun 2-4 minggu terapi.4
11
12. Terapi topikal yang diaplikasikan oleh dokter
1. Podofilin
Podofilin resin bekerja sebagai antimitotik yang menginduksi nekrosis jaringan,
sebagaimana podofilotoksin yang merupakan ekstrak bahan aktif utama dari podofilin
resin. Podofilin mengandung flavenoid mutagen, quercetin, dan kamferol. Kehamilan
merupakan kontra-indikasi sediaan ini. Penggunaan kontrasepsi direkomendasikan
pada wanita usia reproduktif. Sediaan ini merupakan salah satu terapi tertua KA.4,16
Sediaan berupa solusio podofilin dengan konsentrasi 10-25%. Penggunaan maksimal
pada satu sesi terapi adalah luas area 10 cm2 atau jumlah total podofilin kurang dari
0,5 ml. Hal ini terkait dengan risiko absorpsi dan toksisitas sistemik. Efek samping yang
dapat timbul berupa supresi sum sum tulang, gangguan neurologi, halusinasi, psikosis,
mual, muntah, diare, gangguan fungsi hati, dan nyeri akut abdomen pernah dilaporkan
dalam 20 tahun terakhir.4,16
2. Bichloracetic acid (BCA) dan Trichloracetic acid (TCA)
Baik BCA maupun TCA merupakan agen yang bersifat korosif. Senyawa ini dengan
cepat menjadi inaktif setelah kontak dengan kulit/ lesi. Hal ini yang menyebabkan
penggunaannya tergolong aman selama kehamilan. Konsentrasi penggunaan BCA
maupun TCA tidak terstandardisasi dan biasanya merupakan sediaan yang disiapkan
atas pesanan kepada farmasi. Konsentrasi yang digunakan dapat mencapai 95%. 4,16
Cara penggunaannya adalah diaplikasikan pada lesi KA dengan menggunakan tusuk gigi
atau cotton bud. Jadwal terapi umumnya 3x/minggu selama 4 minggu. Bikarbonat,
talkum, sabun, maupun air dapat digunakan untuk netralisasi kelebihan aplikasi
BCA/TCA. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah berupa ulserasi. Efektivitas respons
terapi dan tingkat rekurensi superior dibandingkan plasebo.4,16
B. Injeksi interferon intralesi dan interferon topikal
Interferon α yang memiliki efek antivirus luas diproduksi sebagai respons imun pada infeksi
virus. Selain digunakan sebagai agen injeksi intralesi, interferon juga digunakan dalam
sediaan topikal. Keduanya memiliki efektivitas superior dibandingkan plasebo dalam
mengeliminasi lesi KA. Penggunaannya secara sistemik tidak dianjurkan baik sebagai terapi
primer maupun tambahan dalam tatalaksana KA.4,16,18,39
12
13. Dosis injeksi interferon intralesi adalah 1-2 juta U. Dapat diulang setiap hari dengan dosis
maksimal 5 juta U/pasien. Jumlah lesi KA maksimum yang mendapat injeksi pada satu sesi
terapi adalah 5 lesi. Efek samping yang dapat dijumpai berupa demam, mialgia, nyeri
kepala, lelah, dan leukopenia.18 Penggunaannya secara topikal dapat diaplikasikan 1x/hari,
selama 4 minggu. Penggunaan interferon topikal kerap menjadi terapi tambahan modalitas
terapi yang lain.18,39
C. Bedah
Terapi bedah secara langsung, baik eksisi maupun ablasi lesi KA, merupakan pilihan pertama
lesi KA yang besar dan lesi yang menyebabkan obstruksi. Tindakan ini dapat dilakukan pada
berbagai lokasi lesi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan ini adalah
anestesi dan kontrol infeksi. Anestesi yang digunakan dapat berupa anestesi umum, lokal
infiltrasi, maupun tumesen, bergantung kebutuhan pasien, ukuran, dan luas distribusi lesi.
Lesi umumnya hanya sampai ke bagian atas dermis, sehingga tindakan hendaknya tidak
lebih dalam dari lapisan ini.16,41
1. Bedah Eksisi
Bedah eksisi, baik menggunakan skapel, gunting, dan kuretase, secara langsung
mampu menghilangkan lesi KA.4,36 Tindakan ini dapat dikombinasi dengan
elektrokauter untuk hemostasis dan sebagai modalitas terapi penyerta. Anatomi area
sekitar lesi yang akan diterapi harus dikuasai dengan baik. Hindari trauma pada otot
sfingter. Apa bila tindakan perlu bertahap, interval antar tindakan yang
direkomendasikan berkisar 1-3 bulan.18 Keuntungan tindakan ini adalah hasil terapi
dapat dilihat segera pasca terapi dan jumlah kunjungan yang lebih sedikit bahkan pada
beberapa kasus dapat dilakukan dalam 1 sesi. Efek samping berupa nyeri, jaringan
parut, dan perdarahan.36
2. Bedah Listrik
Tindakan ini dapat digunakan untuk lesi KA eksternal, maupun internal. Operator
hendaknya menguasai anatomi dan mengontrol kedalaman kauterisasi. Hal ini penting
untuk mencegah terjadinya jaringan parut dan cedera sfingter. Targetnya adalah luka
bakar derajat 1-2. Luka bakar sirkumferensial pada area perianal, hendaknya dihindari
untuk menghindari stenosis ani.18 Komplikasi yang dapat terjadi berupa nyeri, iritasi
lokal, infeksi, hipopigmentasi pasca-inflamasi, dan skar.4,36
3. Bedah Beku
Bedah beku menggunakan N2 cair, CO2 padat, cryoprobe untuk membekukan
kandungan air pada jaringan dan menginduksi terjadinya lisis sel. 4,18 Target pada
13
14. aplikasi terapi adalah terbentuknya halo beberapa mm di sekitar lesi. Terapi dikatakan
berhasil bila timbul lepuh dalam beberapa hari, dengan proses inflamasi pada area lesi
dan perilesi, lepasnya lesi, dan diikuti fase penyembuhan. Sesi terapi selanjutnya
dapat dilakukan dalam interval waktu 1-2 minggu. Efek samping dapat berupa nyeri,
infeksi, ulserasi, hipopigmentasi pasca-inflamasi dan skar. 4,36
4. Laser CO2
Bedah laser secara ablatif menyebabkan vaporisasi lesi KA yang akan menyebabkan
destruksi jaringan. Teknik ini cukup efektif mengatasi lesi KA yang berukuran besar.
Asap yang timbul pada saat terapi dapat mengandung partikel virus. Operator
hendaknya menggunakan masker dan penghisap asap yang adekuat untuk proteksi
diri terhadap infeksi HPV respiratorik. Komplikasi yang timbul dapat berupa nyeri,
gatal, bengkak, dan skar. Tindakan ini dapat dilakukan pada anak dan wanita dengan
kehamilan.4,36
D. Terapi lain dengan bukti sahih terbatas
Terapi lain berupa injeksi bleomisin intralesi, kantaridin topikal, 5-Fluorouracyl (5-FU)
topikal dan injeksi intralesi 5-FU, cidofovir topikal, tretinoin oral, dan terapi topikal 5-
aminolaevulinic acid 20%-photodynamic therapy (ALA-PDT) penelitiannya masih sangat
terbatas dan sebagian berupa laporan kasus anekdotal. Regimen tersebut belum
mendapatkan persetujuan FDA sebagai agen standar yang digunakan dalam terapi KA. 4,16,18
Edukasi pasien, persiapan, dan tindak lanjut paska terapi
Pasien perlu diberikan edukasi mengenai kekerapan, transmisi, dan perjalanan alami infeksi
HPV. Pasien hendaknya mendapat informasi bahwa mereka mampu menularkan virus dan
pasangan seksual mereka kemungkinan besar sudah mengalami infeksi. Hubungan setia
diharapkan mampu menurunkan penyebaran virus.4 Pasien dianjurkan menggunakan kondom
pada hubungan yang baru untuk mencegah penularan.31
Hampir seluruh terapi KA kerap disertai rasa tidak nyaman, nyeri, dan memerlukan beberapa
kunjungan. Hal ini memberikan dampak terhadap pembiayaan dan kehilangan waktu kerja pada
pasien. Keseluruhan informasi terkait terapi, komplikasi, frekuensi dan durasi terapi perlu
disampaikan kepada pasien.35 Pasien yang akan melakukan terapi di rumah harus diajarkan
menggunakan obat terapi topikal dengan benar dan diingatkan untuk kontrol secara berkala.
Dokter hendaknya memastikan pasien dapat melihat/ mengidentifikasi lesi KA dan mengajarkan
penggunaan alat bantu, misalnya cermin untuk mengaplikasikan terapi topikal dengan tepat.16
14
15. Sebagian besar terapi KA, menyebabkan gangguan integritas kulit. Hal ini berpotensi menjadi
port d’ entree kuman. Pencegahan terhadap infeksi penting dilakukan. Pasien perlu diajarkan
menjaga higiene, merawat luka, mengamati dan melaporkan gejala serta tanda infeksi, yaitu:
peningkatan intensitas kemerahan kulit, bengkak, panas, nyeri, pus pada area lesi yang diterapi,
maupun demam.16 Pemberian antibiotik profilaksis topikal pasca terapi dapat dipertimbangkan.
Apabila eradikasi sempurna lesi KA tidak tercapai dalam 6 minggu atau dalam masa yang
direkomendasikan secara spesifik oleh produsen farmasi, kombinasi dengan alternatif terapi
yang lain perlu dipertimbangkan. Pada lesi yang resisten perlu dilakukan biopsi. Apabila
eradikasi lesi KA telah tercapai dan komplikasi selama terapi telah mengalami resolusi,
kunjungan dan evaluasi ulang 3 bulan paska terapi dapat direkomendasikan. Tujuan kunjungan
ini adalah untuk mengidentifikasi rekurensi dan memberikan kesempatan pasien untuk
mendapatkan tambahan informasi dan konseling. Pada pasien imunosupresi kunjungan ulang
berkala 6-12 bulan direkomendasikan karena risiko rekurensi lebih besar. 37
KONDILOMA AKUMINATA PADA KEHAMILAN
Lesi KA umumnya mengalami perburukan/ progresivitas pada kehamilan. Faktor yang
mendasari progresivitas ini adalah efek hormon selama kehamilan, peningkatan aliran darah,
dan penurunan respons imun secara umum.16,42 Paska kehamilan, lesi KA umumnya akan
mengalami regresi. Lesi KA dapat menghambat vagina meregang optimal dan kerap
menyebabkan laserasi pada persalinan. Terapi KA perlu dilakukan pada wanita yang ingin
menjalani prosedur persalinan normal. Beberapa terapi KA dapat dilakukan selama kehamilan
adalah: BCA/TCA, bedah beku, eksisi, dan laser.16 Namun, persalinan Cesarean dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi risiko transmisi vertikal melalui jalan lahir dan menurunkan
risiko kejadian papilomatosis laring onset juvenilis pada bayi. 43 Papilomatosis laring onset
juvenilis pertama kali dilaporkan oleh Hajek pada tahun 1956. Penyakit ini merupakan penyakit
terkait infeksi HPV tipe risiko rendah yang jarang (risiko kejadian <0,04%) namun memiliki
morbiditas yang tinggi.16,41,443
Infeksi HPV selama kehamilan sering dikaitkan dengan kejadian transmisi vertikal. Secara
umum, transmisi vertikal merupakan terminologi yang menggambarkan transfer virus dari
orang tua kepada bayi. Dari Ibu hal ini dapat terjadi: selama kehamilan melalui plasenta, selama
persalinan melalui jalan lahir yang terinfeksi HPV, dan setelah kelahiran melalui air susu ibu
(ASI). Pada infeksi HPV, HPV dapat terdeteksi pada amnion wanita yang hamil dengan infeksi
HPV dan pada sperma laki-laki.43 Penelitian mengenai transmisi vertikal HPV masih sangat
terbatas, penelian yang ada lebih banyak terfokus pada infeksi genitalia HPV. Transmisi vertikal
HPV perinatal terjadi, namun angka kejadiannya kecil. 44
15
16. Infeksi HPV tidak menyebabkan viremia dan virus ini tidak ditransmisikan melalui ASI. 43 Namun,
penelitian Wolf dkk menemukan deteksi HPV DNA pada 10 (4%) dari 223 sampel ASI pada 3 hari
pascapartum pada wanita dengan infeksi HPV anogenital yang baru melahirkan. Pada penelitian
ini, 9 dari 10 sampel tersebut mengandung HPV tipe 16 (risiko tinggi). Pada HPV umumnya tidak
terjadi viremia, peneliti berpendapat HPV pada ASI merupakan transmisi retrograde manner
dari jaringan pada nipel dan areola. Hal ini dipikirkan menyebabkan transmisi horizontal HPV
dari ibu kepada anak. 45
PENUTUP
Infeksi HPV merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual tersering di dunia. 4 Meskipun
sebagian besar infeksi bersifat subklinis dan eliminasi HPV oleh respons imun pejamu tercapai
pada 2/3 populasi terinfeksi, infeksi HPV tipe risiko rendah (terutama tipe 6 dan 11) dapat
bermanifestasi sebagai KA. Lesi KA memiliki potensi penularan yang tinggi dan kerap
menimbulkan gangguan psikologis pada pasien. Diagnosis KA umumnya dapat dilakukan
dengan pemeriksaan fisis, namun pada beberapa kasus yang meragukan permeriksaan
dermoskopi dan biopsi dapat dilakukan.10,16
Tidak ada terapi yang ideal untuk seluruh lesi. Pemilihan terapi yang tepat bergantung pada
tampilan lesi, lokasi, ketersediaan modalitas, keterampilan dokter, dan preferensi pasien.
Preferensi pasien berbagai faktor, yaitu: efektivitas, tingkat rekurensi, kenyamanan, privasi,
biaya, efek samping, dan komplikasi terapi. Pasien hendaknya diberikan informasi menyeluruh
mengenai penyakit dan tatalaksana untuk menunjang keberhasilan terapi dan mencegah
transmisi.4,41
16
17. DAFTAR PUSTAKA
1 Penneys NS, Winkelman FJ. Condyloma acuminata: what is in a name? J Am Acad Dermatol 2010;63(6):1100.
2 Desai S, Wetten S, Woodhall SC, Peters L, Hughes G, Soldan K. Genital warts and cost of care in England. Sex
Transm Infect 2011;87(6):464-8.
3 Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted disease treatment guidelines 2010. Genital
warts. Morb Mortal Wkly Rep 2010;59(RR-12):70-4.
4 Mayeaux EJ, Dunton C. Modern management of external genital warts. J Low Genit Tract Dis 2008; 12(3):185-92.
5 Gunter J. Genital and perianal warts: new treatment opportunities for human papillomavirus infection. Am J
Obstet Gynecol 2003; 189(3 Suppl):S3-11.
6 Dunne EF, Thep –Amnuay S, Whitehead SJ, Markowitz LE. Genital warts among 18-59 years old in the US
National and nutrition survey (NHANES) 1999-2002. In: 16th meeting of the International society for sexually
transmitted diseases research; 10-13 Jul 2005. Amsterdam, The Netherlands 2005.
7 Kjær SK, Tran TN, Sparen P,Tryggvadottir L, Munk C, Dasbach E, et al. The burden of genital warts: a study of
nearly 70,000 women from the general female population in the four Nordic countries. J Infect Dis 2007;
196(10):1447-54.
8 Shew ML, Fortenberry JD. HPV infection in adolescents: natural history, complications, and indicators for viral
typing. Semin Pediatr Infect Dis 2005;16(3):168-74.
9 Winer RL, Kiviat NB, Hughes JP, Adam DE, Lee SK, Kuypers JM, et al. Development and duration of human
papillomavirus lesions, after initial infection. J Infect Dis 2005; 191(5):731-8.
10 O’Mahony C. Genital warts: current and future management options. Am J Clin Dermatol 2005:6(4):239-43.
11 Jeynes C, Chung MC, Challenor R. ‘Shame on you’the psychosocial impact of genital warts. Int J STD AIDS 2009;
20:557–60.
12 Mortensen GL. Long-term quality of life effects of genital warts – a follow-up study. Dan Med Bul 2010;57(4):1-
4.
13 Woodhall SC, Jit M, Soldan K, Kinghorn G, Gilson R, Nathan M, et al. The impact of genital warts: Loss of quality
of life and cost treatment in eight sexual health clinics in the UK. Sex Transm Infect 2011;87:458-63.
14 Woodhall SC, Lacey CJN, Wikstorm A. European guidelines (IUSTI/WHO) on the management of anogenital
warts. Poster presentation at the 25th International papillomavirus conference; 8-14 May 2009. Maimo,
Sweden 2009.
15 Rose RC, Stoler MH. Biology. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa
Healthcare 2009;1:1-16.
16 Wiley DJ, Douglas J, Beutner K, Cox T, Fife K, Moscicki AB, et al. External genital warts: diagnosis, treatment, and
prevention. Clin Infect Disease 2002;35(2 Suppl):S210-24.
17 Egelkrout EM, Galloway DA. Biology of Human Papillomaviruses. In:Holmes K, Mardh P, Sparling P, eds. Sexually
Transmitted Diseases. 5th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2010;15:463–87.
18 Chang GJ, Welton ML. Human papillomavirus, condylomata acuminata, and anal neoplasia. Clin in Col Rec Surg
2004;17(4):221-30.
19 Poole CL, Denman CJ, Arbiser JL. Immunosuppression may be present within condyloma acuminate. J Am Acad
Dermatol 2008;59:967-74 .
20 Bonnez W, Reichman RC. Papillomaviruses. In: Mandell GL. eds. Principles and Practice of Infectious Diseases.
6th ed. Philadelphia, PA: Elsevier/Churchill Livingstone, 2005:1841–56.
21Gravitt PE. Epidemiology. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa Healthcare
2009;2:17-28.
22 Hansen BT, Jenssen MH, Kjaer SK, Munk C, Tryggvadottir L, Sparen P. Association between smoking and genital
warts: longitudinal analysis. Sex tran Infect 2010;86:258-62.
23 Garland SM. Prevention strategies against human papillommavirus in males. Gyn Oncol 2010;117(Suppl):20-5.
24 Bonnez W, Toy EP.Disease. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa
Healthcare 2009; 3:29-44.
25 Hirokawa D, Lee JB. Dermatoscopy: an overview of subsurface morphology. Clin in Dermatol 2011; 29: 557-65.
26 Zalaudek I, Giacomel J, Cabo H, Di Stefani A, Ferrara G, Hofmann-Wellenhof R, et al. Entodermoscopy: a new
tool for diagnosing skin infections and infestations. Dermatol 2008;216:14-23.
17
18. 27 Ozdemir F, Kilinc-Karaarslan I, Akalin T. A pigmented, hemorrhagic genital wart: clinical, dermoscopic, and
histopathologic features. Arch Dermatol 2008;144:1072-3.
28 Teoli M, Di Stefani A, Botti E, Mio G, Chimenti S. Dermoscopy for treatment monitoring of viral warts [abstract].
Dermatology 2006;212:318.
29 Kim SH, Seo SH, Ko HC, Kwon KS, Kim MB. The use of dermatoscopy to differentiate vestibular papillae, a
normal variant of the female external genitalia, from condyloma acuminata. J Am Acad Dermatol 2009;60:353-5.
30 Dong H, Shu D, Campbell TM, Fruhauf J, Soyer P, Hofmann-Wellenhof R. Dermatoscopy of genital warts. J Am
Acad Dermatol 2011;64(5):859-64.
31 Juckett G, Hartman-adams. Human papillomavirus: clinical manifestations and prevention. Am Fam Physician
2010;15:1209-14.
32Garland SM, Steben M, Sings HL. Natural history of genital warts: analysis of the placebo arm of 2 randomized
phase III trials of a quadrivalent human papillomavirus (types 6,11,16,18) vaccine. J Infect Dis 2009;199(9):805-
14.
33 Anic GM, Lee JH, Stockwell H, Rollison DE, Wu Y,Papenfuss MR. Incidence and human papillomavirus type
distribution of genital warts in a multinational cohort of men: the HPV in men study. J Infect Dis 2011;204:1886-
92
34 Flores R, Abalos AT, Nielson CM, Abrahamsen M, Harris RB, Giuliano AR. Reability of sample collection and
laboratory testing for HPV detection in men. J Virol Methods 2008;148:136-43.
35 Wilson J. Treatment of genital warts: what’s the evidence? Int J STD AIDSI 2002:13:216-22.
36 Maw R. Critical appraisal of commonly used treatment for genital warts. Int J STD AIDS 2004;15:357-64.
37 Winner RL, Koutsky LA. Genital human papillomavirus. In:Holmes K, Mardh P, Sparling P, eds. Sexually
Transmitted Diseases. 5th ed. New York, NY: McGraw-Hill, 2010;28:489-508.
38 Bonnez W, Toy E. Therapy. In: Bonnez W. Guide to genital disease and prevention. New York: Informa
Healthcare 2009; 4:45-58.
39 Buck HW. Warts (genital). Clinical evidence 2007; 8(1602):1-20.
40 Meltzer SM, Monk BJ, Tewari K. Green tea catechins for treaqtent of external genital warts. Am J Obstet
Gynecol 2009;233: e1-7.
41 Gunter J. Genital and perianal warts: new treatment opportunities for human papillomavirus infection. Am J
Obstet Gynecol 2003;10(suppl): S3-11.
42 Nigam A, Mishra A. Condyloma acuminatum: atypical presentation during pregnancy. Int J STD AIDS
2011;22(9):534-5.
43 Cason J, Mant CA. High-risk mucosal human papillomavirus infection during infancy and childhood. J Clin Virol
2005;32(Suppl):s52-8.
44 Castellsagué X, Drudis T, Cañadas MP, Goncé A, Ros R, Pérez JM, et al. Human Papillomavirus (HPV) infection in
pregnant women and mother-to-child transmission of genital HPV genotypes: a prospective study in Spain. BMC
Infect Dis 2009;9:74.
45 Wolf R, Wolf D, Davidovici B. Mothers With Anogenital HPV Should Avoid Breastfeeding: myth? Skin Med
2010;8(3):177-8.
18