1. Makna ihsan meliputi kebaikan kepada Allah, manusia, hewan, dan tumbuhan. Ihsan adalah melakukan segala sesuatu dengan niat murni untuk Allah dan berbuat sebaik-baiknya.
2. Ihsan kepada manusia meliputi berbuat baik kepada orang tua, kerabat, dan manusia lainnya. Ihsan kepada hewan dan tumbuhan meliputi berbuat baik saat membunuh dan menyembelih hewan.
1. 1
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tafsir QS al-Qashsash/28 : 77
Menggapai Kemuliaan Hidup dengan Rûh (Spirit) al-Ihsân
Teks (Nash) Ayat al-Quran
ِغَتْابَوِاَيمفَِِاك
َ
آتِِه َ
اّللَِِارَاّدلِِ
َ
ةَرخ
ْ
اْلِۖ
َ
لَوِِ َنس
َ
تِِ
َ
كَيبص
َ
نِِمَِنِ
اَي
ْ
نُاّدلۖنس
ْ
ح
َ
أَوِاَم
َ
كَِِن َس
ْ
ح
َ
أِِه َ
اّللِِ
َ
كْ َ
َلإِۖ
َ
لَوِِغْب
َ
تِِ
َ
اد َس
َ
ف
ْ
الِِفِ
ِضْر
َ ْ
اْلِۖ
َ
نإَِِ َ
اّللِِ
َ
لُِِب
ه
ُيَِِيندس
ْ
فهم
ْ
ال
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan..” (QS al-
Qashsash/28 : 77)
Tafsîr al-Mufradât
: Berbuat baiklah kamu. Ini adalah perintah yang pada waktu itu
ditujukan kepada Nabi Muhammad s.a.w., tetapi pesan moralnya
tertuju pada semua orang yang menjadi umat Nabi Muhammad
s.a.w. (umat Islam)
: Kerusakan. Kata ‘kerusakan’ di sini menunjuk pada segala bentuk
kerusakan yang bisa terjadi pada diri manusia, binatang, alam dan
segala hal yang terkait dengannya, baik yang bersifat jasmaniah
maupun ruhaniah.
Penjelasan
Sekurang-kurangnya sebelas kali Allah menggunakan kata “ihsân”
dalam al-Quran untuk menyebut perbuatan yang baik. Dua di antaranya
memakai “alif-lâm”, al-ihsân, yaitu pada QS ar-Rahmân/55: 60,
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
dan an-Nahl [16]: 90,
2. 2
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Bila diterjemahkan secara harfiah, keduanya berarti “kebaikan atau
kebajikan”.
Yang pertama Allah menjelaskan: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali
kebaikan (pula).” Sedang yang kedua, penjelasan itu berbunyi: ”Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsân), memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Demikian pula dalam sembilan ayat lainnya, kata “ihsân”
diterjemahkan menjadi suatu kebaikan dan perbuatan baik. Bahkan pada QS al-
Baqarah/2: 83, “ihsân” digunakan sebagai pengganti kata berbuat baik kepada
kedua orang tua, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah (ihsân)
kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang
miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil darimu, dan kamu selalu
berpaling.”
Pada ayat tersebut, Allah menyebut “ihsân” sejajar dengan larangan
berbuat syirik, perintah berbuat baik kepada orang tua dan kaum kerabat,
berbuat baik kepada fakir miskin da anak-anak yatim, mengucapkan kata-kata
yang baik kepada sesama manusia, serta mendirikan shalat dan menunaikan
zakat. Secara sederhana dapat dipahami bahwa konsep “ihsân” adalah sama dan
sebangun dengan konsep akhlak, baik akhlak kepada Sang Pencipta, maupun
akhlak kepada sesama manusia.
3. 3
Pendeknya, dapat pula diartikan bahwa faktor “ihsân” harus selalu
hadir menyertai seluruh perilaku dan perilaku manusiawi. Ihsân sejatinya
menjadi napas dan inspirasi dari keseluruhan amal manusia, bersenyawa
dengan jenis pekerjaan dan profesi apapun. Karena itu ihsân adalah juga
pengendali motif-motif insani yang mendasari keseluruhan tindakan aktivitas
yang dilaluinya setiap saat.
Itulah sebabnya, ketika berdialog dengan Rasulullah s.a.w., Jibril
menempatkan pertanyaan tentang ihsân ini pada urutan terakhir setelah “iman
dan islam”. Ihsân dalam hal ini menjadi dimensi penggenap amal setelah
seseorang menyatakan keimanan dan melaksanakan serangkaian ajaran seperti
disyariatkan Islam. Ihsân merupakan kekuatan moral yang menyempurnakan
setiap tindakan. Sebagaimana hadits berikut:
…
…
“… maka beritahukanlah padaku tentang ihsân.“ Rasulullah s.a.w.
pun menjawab: "hendaklah engkau menyembah kepada Allah seolah-
olah engkau dapat melihatNya, tetapi jikalau tidak dapat seolah-olah
melihatNya, maka sesungguhnya Allah itu dapat melihatmu …“
(Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, juz I, hal. 28, hadits no.
102; An-Nasâi, Sunan an-Nasâi, juz VIII, hal. 97, hadits no. 4990;
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz I, hal. 51,
hadits no. 363, Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, juz II, hal. 635,
4695, dari Umar bin al-Khaththâb)
Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi serta budaya masyarakat
saat ini, kita perlu menghidupkan kembali rûh (spirit) ihsân yang mungkin telah
mati, sehingga tidak ada lagi kebijakan, program, dan tindakan yang hanya
berorientasi pada kepentingan pribadi ataupun kelompok. Semuanya
merupakan implementasi pengabdian hanya kepada-Nya untuk mewujudkan
kebaikan.
Kita tidak cukup hanya menjadi seorang pemeluk agama. Beragama
saja tidak cukup. Beragama (Islam) itu harus pula diikuti oleh ber-ihsân.
Demikianlah, Allah menjelaskan bahwa:
”(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri (ber-
Islam) kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan (ber-ihsan), maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS, al-
Baqarah/2: 112).
1. Cakupan Makna Ihsân
4. 4
Berbuat sesuatu dengan cara ihsân, cakupannya sangat luas. Secara
bahasa ihsân artinya (puncak) kebaikan, yaitu melakukan apa pun dengan
sepenuh hati atau memurnikan niat (ikhlâsh) dan berbuat yang terbaik (itqân)
dalam segala hal. Sedangkan secara istilah, ihsân adalah memurnikan niat dan
melaksanalan ibadah sepenuh hati hanya untuk Allah SWT dengan
menyempurnakan pelaksanaannya seakan-akan kita (umat manusia) “melihat”
Allah SWT padsa saat beribadah, atau (jika ‘kita’ tidak mampu untuk
melakukannya hingga sampai pada derajat tersebut) kita berupaya seoptimal
mungkin untuk merasakan bahwa Allah SWT tengah menyaksikan apa pun
yang tengah kita kerjakan hingga sampai pada hal yang sekecil-kecilnya.
Sebagaimana disabdakan Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadits hadits yang
berkisah tentng dialog antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad s.a.w.
tersebut di atas:
…
…
“… maka beritahukanlah padaku tentang ihsân.“ Rasulullah s.a.w.
punnmenjawab: "hendaklah engkau menyembah kepada Allah seolah-
olah engkau dapat melihatNya, tetapi jikalau tidak dapat seolah-olah
melihatNya, maka sesungguhnya Allah itu dapat melihatmu …“
(Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, juz I, hal. 28, hadits no.
102; An-Nasâi, Sunan an-Nasâi, juz VIII, hal. 97, hadits no. 4990;
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz I, hal. 51,
hadits no. 363, Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, juz II, hal. 635,
4695, dari Umar bin al-Khaththâb)
Cakupan makna ihsân, meliputi antara lain:
a. Ihsân kepada sesama manusia, khususnya kepada orang tua, kerabat dan
manusia pada umumnya. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah SWT:
”
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (orang yang tengah berada
dalam perjalanan dan bekalnya tidak memadai untuk mencukupi
kebutuhan primernya), dan dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri.” (QS an-Nisâ’/4 : 36)
5. 5
b. Ihsân kepada hewan dan tumbuhan. Selain diperintahkan
untuk berbuat ihsân terhadap manusia, kita juga diperintahkan
untuk berbuat ihsân kepada hewan dan juga kepada tumbuhan.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas:
“Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika
kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu; hendaklah kalian
mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.”
Dan QS al-Baqarah/2: 205,
ۗ
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”
Dalam hadits di atas -- secara khusus -- diperintahkan dua hal, yaitu:
1) Berbuat ihsân dalam membunuh, baik membunuh manusia karena alasan
yang dibenarkan Allah SWT, seperti membunuh pelaku kejahatan yang
sudah divonis untuk dihukum mati. Maka hukuman tersebut perlu
dilaksanakan dengan cara yang baik dan tidak menyakitinya. Atau
membunuh hewan-hewan yang dianggap berbahaya atau buas dan
mengancam nyawa, juga harus dilakukan dengan cara yang baik pula.
Misalnya tidak boleh membunuhnya dengan membakar atau
menyiksanya.
2) Berbuat ihsân dalam menyembelih, yaitu dengan cara menajamkan pisau
yang digunakan untuk menyembelih dan kedua menyenangkan hewan
sembelihannya. Atau dengan kata lain memerlakukan hewan yang akan
disembelih dengan baik, seperti memberi makan dan minum dengan
baik, menyediakan kandang yang baik dan sebagainya. Dan ketika
menyembelihnya juga dilakukan dengan sebaik-baiknya, seperti
dianjurkan untuk dihadapkan ke arah kiblat, membaca lafazh basmalah,
dengan menggunakan pisau yang tajam, dan sebagainya.
Dan dalam ayat di atas, Allah mengingatkan kepada umat Islam agar
tidak merusak harmoni alam, termasuk di dalamnya (tidak merusak) tumbuh-
tumbihan.
Wallâhu A’lam bish-Shawâb.