1. 1
Pembahasan Ringkas Di Seputar Fidyah
Kadang-kadang orang, karena kondisi tertentu, tidak lagi mampu
untuk melaksanakan ibadah puasa, lalu menggantinya dengan membayar
fidyah. Apa alasannya?
Di dalam QS al-Baqarah/2: 184 diebutkan bahwa bagi mereka yang
tidak mampu untuk berpuasa, maka diwajibkan atas mereka membayar
fidyah (,)فدية hanya saja al-Quran tidak memberikan kepada kita penjelasan
secara utuh tentang apa itu fidyah, atas keumuman inilah akhirnya para
ulama memberikan penjelasan yang beragam.
Allah berfirman:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah/3: 184)
Menurut Ibnu al-Manzhur dalam kamus Lisân al-‘Arab, fidyah --
secara bahasa -- berarti:
“Harta atau sejenisnya yang dipakai untuk meyelamatkan tawanan atau sejenisnya
sehigga dia terbebas darinya” (Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 32,
hal. 65)
Sedangkan menurut istilah, Imam Al-Jurjani dalam kitab at-Ta’rîfât,
memberikan penjelasan, bahwa fidyah itu adalah:
“Pengganti untuk membebaskan seorang manusia mukallaf dari suatu larangan yang
berlaku padanya.” (Ibid.)
2. 2
Dilihat dari definisi di atas ternyata fidyah itu adalah nama umum
yang berlaku dalam banyak hal, pengganti tawanan dalam kondisi
peperangan, pengganti kesalahan atas apa yang dilakukan dalam ibadah haji,
juga pengganti atas berbukanya seseorang dengan alasan tertentu pada bulan
puasa, dan seterusnya.
Bentuk fidyahnya juga beragam, tergantung dengan kondisi dimana
fidyah itu ada. Pengganti untuk tawanan biasa apa saja, pengganti dalam
ibadah haji adalah menyembilih sembelihan, sedang fidyah dalam bab puasa
Ramadhan biasa berupa makanan pokok dan sejenisnya.
Makanan yang dimaksud diberikan kepada fakir dan miskin yang
memang membutuhkan makanan untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Kewajiban Untuk Membayar Fidyah, Bagi Siapa Saja?
Kebolehan untuk berbuka itu tentunya dengan ragam alasan, dan
tidak semua alasan berbuka dibolehkan menggantinya dengan membayar
fidyah. Hanya ada beberapa kondisi saja, dimana mereka yang dibolehkan
untuk berbuka pada bulan puasa untuk menggantinya dengan membayar
fidyah.
1. Lanjut Usia dan Sakit
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-
Baqarah/2: 184)
Sudah bukan menjadi hal yang aneh jika mereka yang sudah lanjut
usia mendapati kondisi fisiknya sangat lemah.
Ibnu Abbas menegaskan:
3. 3
”Telah diberikan keringanan buat orang tua renta untuk berbuka puasa, namun dia
wajib memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkannya satu orang miskin,
tanpa harus membayar qadha’’.” (HR Ad-Daruquthny dari Abdullah bin
Abbas, Sunan ad-Dâruquthni, juz VI, hal. 163, hadits no. 2405 dan Al-Hakim
dari Abdullah bin Abbas, Al-Mustadrak, juz I, hal. 606, hadits no. 1607)
Hal yang sama juga berlaku untuk mereka yang sakit dengan
katagori sakit berat yang dalam penilaian medis sudah tidak ada harapan
sembuh.
Untuk itu fidyah ini tidak berlaku bagi mereka yang berbuka karena
sakit yang sakitnya masih memungkinkan untuk sembuh. Mereka yang sakit
karena DBD misalnya, sehingga harus diinapkan di rumah sakit, dalam
kondisi seperti ini mereka boleh berbuka, namun setelah sembuh dari
DBDnya maka cara menggantinya adalah dengan berpuasa, bukan dengan
fidyah.
2. Hamil dan Menyusui
Dalam hal ini ada perbedaan ulama. Sebagian menilai mereka
hanya wajib qadha’ saja, sebagian menilai wajib fidyah saja, ada juga
pendapat yang menilai wajib qadha’ dan fidyah, dan pendapat yang
membedakan antara hamil dengan menyusui.
Bagi yang menilai bahwa Ibu hamil dan menyusui hanya wajib
membayar fidyah saja, mereka meyandarkan pendapat ini dengan pendapat
Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Jubair. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi
dalam kitan As-Sunan al-Kubrâ, bahwa sekali waktu Ibnu Umar ditanya
perihal perempuan hamil pada bulan puasa, beliau menjawab:
“dia boleh berbuka, dan membayar fidyah untuk orang miskin satu mud” (Al-
Baihaqi dari Nafi’, As-Sunan al-Kubrâ, juz IV, hal. 230, hadits no. 8335)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau pernah meminta
perempuan hamil untuk berbuka di bulan puasa dan berkata:
4. 4
“Kalian seperti orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak kuat untukberpuasa,
maka berbuka saja, dan berilah makan orang miskin (membayar fidyah) disetiap
hari yang ditinggalkan setengah sha’ dari hinthah (gandum yang bagus)” (HR Ad-
Daruquthni dari Abdullah bin Abbas, Sunan ad-Dâruquthni, juz VI, hal. 169,
hadits no. 2411)
Dan pendapat yang menilai bahwa ibu hamil dan menyusui harus
mengganti puasa yang mereka tinggalkan dengan qadha’ dan fidyah dinlai
sebagai pendapat yang lebih berhati-hati, agak berat memang, namun ini
bukan pendapat sembarang orang, ini adalah pendapat dari madzhab Syafi’i
serta ulama-ulama yang sejalan dengan mereka.
Untuk pendapat yang membedakan antara hamil dan menyusui
maka fidyah ini hanya diwajibkan bagi mereka yang menyusui, karena
kondisi ini dalam madzhab Maliki diqiyaskan dengan kondisi sakit dan
kondisi lanjut usia.
Karena itu dalam madzhab Maliki untuk ibu yang menyusui yang
berbuka pada bulan Ramadhan, mereka wajib menggantinya dengan qadha’
puasa sekaligus fidyah.
3. Menunda Qadha’ Puasa Hingga Bertemu Ramadhan Berikutnya
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughnî, jilid 3, hal. 144 menilai bahwa
mayoritas ulama berpendapat mereka yang Memunyai utang puasa
Ramadhan, lalu dengan sengaja tidak membayarnya hingga datang
Ramadhan berikutnya, maka selain tetap wajib membayar utang puasanya
mereka juga wajib membayar fidyah atas kelalaian ini.
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah
ridhwanullahi ‘alaihim, juga pendapat Mujahid, Said bin Jubair, Atha’ bin
Abi Rabah. Dan ini juga pendapat madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah
dan Al-Hanabilah.
3. Meninggal dan Memunyai Utang Puasa
Untuk mereka yang berbuka puasa karena sakit, lalu setelah sembuh
dari sakitnya belum sempat untuk memgqadha’ puasa dan meninggal dunia,
maka dalam kondisi seperti ini menurut ulama madzhab selain madzhab
Syafi’i menilai bahwa wajib atas atas orang meninggal ini membayar fidyah.
5. 5
Nabi saw bersabda:
“Orang yang wafat dan punya utang puasa, maka dia harus memberi makan orang
miskin (membayar fidyah) satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan.”
(HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas, Sunan at-Tirmidzi, juz III, hal.
96, hadits no. 718)
Di sebuah riwayat yang berasal dari Abdullah bin Abbas,
dinyatakan:
“Bahwa beliau ditanya tentang kasus orang yang meninggal dunia dan punya utang
nadzar puasa sebulan dan utang puasa Ramadhan. Maka Ibnu Abbas menjawab:
”Utang puasa Ramadhan dibayar dengan membayar fidyah, utang puasa nadzar
dibayar dengan orang lain berpuasa untuknya.” (Muhammad bin Abdul Wahab
bin Sulaiman at-Tamimi dari Abu ‘Ubaid dan Al-Laits bin Sa’ad, Majmû’ah
al-Hadîts ‘Alâ Abwâb al-Fqih, juz II, hal. 550, hadits no. 1411)
Namun dalam madzhab Syafi’i bagi mereka yang meninggal dunia
dan Memunyai utang puasa maka wajib atas ahli warisnya membayarkan
utang puasa tersebut. Sebagaimana pesan dari nabi Muhammad SAW:
“Siapa yang meninggal dunia dan punya utang puasa, maka walinya harus
berpuasa untuknya.” (HR al-Bukhari dari ‘Aisyah, Shahîh al-Bukhâriy, juz III,
hal. 46, hadits no. 1952 dan Muslim dari ‘Aisyah, Shahîh Muslim, juz III, hal.
155, hadits no. 2748)
Bentuk dan Besaran Fidyah
Bentuk fidyah puasa ini berupa makanan, biasanya adalah makanan
pokok yang disetiap negri berbeda satu dengan yang lainnya. Makanan
pokok ini bisa dalam bentuk siap santap atau hanya berupa bahan mentah,
keduanya boleh-boleh saja, karena memang tidak ada aturan khusus yang
mengikat.
6. 6
Namun untuk ukuran fidyah, seberapa banyak jumlahnya yang
harus dikeluarkan, di sini para ulama berbeda pandangan:
1. Satu Mud
Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Majmû’, jilid 6, hal 257-259
mengemukakan pendapatnya bahwa kewajiban fidyah itu hanya satu mud.
Istilah mud ini adalah istilah yang menunjuk ukuran volume, bukan ukuran
berat, sehingga jika dikonversi ke dalam hitungan berat sebagian menilai
jumlahnya adalah (+/-) 675 gram, atau kurang dari 1 liter. Satu mud ini
berarti seperempat ukuran zakat fitrah yang jumlahnya empat mud.
2. Satu Sha’
Ini adalah pendapat dari kalangan Hanafiyah, seperti yang
dijelaskan oleh Imam al-Kasani dalam kitab Badâ’i’ wa ash-Shanâ’i', jilid 2,
hal. 92. Satu sha’ itu setara dengan empat mud, sama dengan jumlah zakat
fitrah yang dibayarkan. Jika dikonversi ke dalam ukuran gram, lebih kurang
beratnya adalah (+/-) 2,176 gram, atau (+/-) 2,7 liter.
Waktu Membayarkan
Karena fidyah ini adalah ganti atas puasa yang ditinggalkan, maka
sudah barang tentu hitungan berapa hari jumlah puasa yang ditinggalkan
akan diketahui setelah puasa usai. Untuk kasus seperti ini maka waktu
pembayaran fidyah adalah setelah puasa usai, waktunya sama seperti waktu
meng-qadha’ puasa.
Namun untuk mereka yang sudah bisa dipastikan hitungan hari
berbukanya, maka dalam hal ini para ulama membolehkan untuk dibayarkan
pada bulan puasa tersebut, bisa dibayarkan bersamaan dengan membayar
zakat fitrah.
Orang tua yang sudah lanjut usia, dan bisa dipastikan tidak akan
berpuasa, maka fidyah untuk mereka ini boleh dibayarkan sebelum
Ramadhan berakhir.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.