1. Dzari’ah dan Hiyal Syar’iyyah
Dzari’ah
PENDAHULUAN
Fikih Islam merupakan kumpulan hukum Islam yang berkenaan dengan amal
perbuatan, yang digali dari sumber dalilnya secara terperinci. Dalil pokok yang
merupakan sumber fikih itu adalah wahyu Tuhan. Pengertian wahyu sebagai satu-satunya
sumber hukum ,ialah bahwa dialah yang berhak menetapkan adanya sumber lain yang
dapat dijadikan dasar fikih Islam, seperti Alquran dan Hadis. Adapun metode yang
digunakan untuk ber-ijtihad yang akan dibahas adalah tentang Sadduzzari`ah dan
kaitannya dengan Hilah/Hiyal dalam pembahasan di bab selanjutnya.
PEMBAHASAN
Pengertian Dzari`ah
Menurut bahasa Dzari`ah adalah wasilah/ sarana. Sedangkan menurut istilah
ulama Ushul ialah sesuatu yang menjadi jalan bagi yang diharamkan atau yang dihalalkan
maka ditetapkan hukum sarana itu menurut yang ditujunya. Sarana atau jalan kepada
yang haram adalah haram dan sarana/ jalan kepada yang mubah adalah mubah. Sesuatu
yang tidak bisa dilaksanakan kewajiban kecuali dengan dia, maka wajib pula
mengerjakan sesuatu itu.[i
1]
Saddudz Dzara-i` berasal dari dua kata, “Saddun” yang berarti membendung, dan
kata “Dzara'i” jamak dari “Dzariiah”, yang berarti jalan yang menyampaikan kepada
suatu tempat. Jadi pengertian “Saddudz Dzara-i” menurut bahasa adalah membendung
jalan yang menyampaikan kepada suatu tempat. Menurut istilah Saddudz Dzara-i adalah
menetapkan hukum suatu perkara dengan suatu hukum yang terdapat pada perkara yang
dituju.[ii
2]
Jadi Dzariah artinya washilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan. Yang
dimaksud dengan Dzari`ah di sini ialah jalan untuk sampai kepada yang haram atau
kepada yang halal. Maka hal atau cara yang menyampaikan kepada
haram hukumnya pun haram, dan cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya
pun halal pula, dan apa yang menyampaikan kita kepada wajib hukumnya pun adalah
wajib pula.
“Hukumnya wasilah( jalan/ cara yang menuju kepada tujuan) sama dengan
hukumnya tujuan”.[iii
3]
Zina itu adalah haram, maka melihat aurat wanita yang membawa kepada
perzinahan adalah haram juga. Shalat Jumat adalah wajib, maka meninggalkan jual beli
pada waktu shalat jumat demi untuk melaksanakan shalat jumat adalah wajib pula. Haji
adalah wajib, maka usaha-usaha yang menuju kepada terlaksananya ibadah haji adalah
wajib pula.
Atas dasar ini maka hukum dibagi dua yaitu : [iv
4]
1. Tujuan atau maqashid yaitu maqashid al-syariah yang berupa kemaslahatan dan
2. Wasaail atau cara yaitu jalan yang menuju kepada tercapainya tujuan.
3. (sarana) tersebut hukumnya mengikuti hukum tujuannnya. Oleh karena itu jalan kepada
hukum menimbulkan kerusakan.
Ulama hukum Islam, ada sebagian yang menggunakan Dzari`ah ini sebagai dasar
hukum, dan ada sebgian yang tidak memakainya. Ulama yang sangat berpegang teguh
kepada Dzari`ah adalah dari golongan Malikiyah dan Hambali. Sedang yang sedikit
sekali memakainya ialah Asy-Syafi`I dan Abu Hanifah. Sedang yang menolak sama
sekali adalah golongan Dhahiriyah.[vii
7]
Untuk menetapkan hukum jalan( sarana, atau wasilah) yang menghantarkan
kepada tujuan tersebut, perlu diperhatikan[viii
8] :
1. Tujuan (maqashid). Jika tujuannya dilarang, maka hukum wasilah (sarana)nya dilarang.
Jika tujuannya diwajibkan, maka hukum wasilahnya diwajibkan.
2. Niat (motif) yang mendorong seseorang berbuat sesuatu. Jika niatnya untuk mencapai
yang halal. Maka hukum sarananya halal. Jika niatnya untuk mencapai yang haram, maka
hukum sarananya haram.
3. Akibat dari sesuatu perbuatan. Dalam hal ini hukum tidak bisa ditetapkan dengan
pertimbangan niat saja, tetapi diperhatikan juga akibat dari perbuatan itu. Jika perbuatan
itu menghasilkan kemaslahatan, dan kemaslahatan itulah yang juga dimaksudkan dalam
muamalah itu, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan. Sebaliknya, jika perbuatan itu
mengakibatkan kerusakan, meskipun tujuannya baik, maka wasilah dihukum tidak boleh
dikerjakan sekedar yang munasabah dengan tujuan mengharamkannya.
Pada intinya, untuk menetapkan sesuatu baik, harus diperhatikan niat dan
akibatnya. Jika keduanya baik, maka wasilah dihukum baik juga. Sebailknya, jika niat
dan akbatnya tidak baik, maka wasilahnya juga dihukum tidak baik.
Sikap Para Ulama Terhadap Dzari`ah
Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada Dzari`ah, sedangkan
Imam Syafi`y dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua terakhir
tidak menolak Dzari`ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang
berdiri sendiri. Menurut Syafi`y dan Abu Hanifah, Dzari`ah ini masuk ke dalam dasar
yang sudah mereka tetapkan yaitu Qiyas menurut Imam Syafi`y dan istihsan menurut
hanafy.[ix
9]
Berpegang pada Dzari`ah tidak boleh terlalu berlebihan , karena orang yang
tenggelam di dalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah, mandub
bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang kezaliman. Oleh karena
itu Ibnul Araby di dalam kitabnya Ahkamul Qur`an mengaitkan keharaman karena
Dzari`ah itu apabila yang diharamkan karena sadduzzari`ah itu, tsabit keharamannya
dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan pula dengan Dzari`ah. Dengan demikian,
maka mukalllaf wajib mengatahui benar di dalam menggunakan Dzari`ah itu akan bahaya
menggunakannya atau bahaya meninggalkannya. Mereka pun harus mentarjihkan di
antara keduanya, kemudian harus mengambil mana yang unggul.[x
10]
HILAH / HIYAL
Pengertian Hilah / Hiyal
Kata al-hiyal adalah bentuk plural dari kata al-hilah yang berarti suatu tipu daya,
kecerdikan, muslihat, atau alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri dari suatu beban
4. atau tanggung jawab. Dalam ucapan orang Indonesia sehari-hari kata hilah ini kemudian
diucapkan dengan kilah (KBBI, 2005 : 567). Dalam hukum secara teknis kata hilah
dipergunakan sebagai suatu saluran legal atau medium untuk suatu tujuan ekstra legal.
Majid Khadduri yang mengutip Sir Henry S. Maine menyatakan pengertian al-hiyal asy-
syar`iyah hampir berdekatan maknanya dengan kata legal fiction dalam tradisi hukum
Barat. Menurut asy-Syatibi, al-hilah adalah melakukan suatu amalan yang pada lahirnya
diperbolehkan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya. Sekalipun pada dasarnya
seseorang itu mengerjakan suatu pekerjaan yang dibolehkan, namun terkandung maksud
pelaku untuk menghindarkan diri dari suatu kewajiban syara’ yang lebih penting daripada
amalan yang dilakukannya tersebut.[xi
11]
Bentuk-bentuk Hiyal Asy-Syar`iyah
Ibnul Qayyim al-Jauziyah membagi hiyal alsyar`iyah menjadi empat bentuk :
Pertama, hilah yang mengandung tujuan yang diharamkan dan cara yang digunakan juga
cara yang haram. Contohnya kasus orang yang meminum khamar sebelum masuk waktu
shalat, sehingga kewajiban shalatnya saat itu hilang. Kedua, hilah yang dilakukan dengan
melaksanaka perbuatan yang dibolehkan, tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum
syara’ lainnya. Contohnya orang yang menghibahkan sebagian hartanya saat haul sudah
mendekat, dengan demikian ia terlepas dari kewajiban membayar zakat karena hartanya
sudah berkurang dari nisab. Disebut tipu daya karena jumlah harta yang dihibahkannya
lebih kecil dari zakat yang harus dikeluarkannya. Ketiga, perbuatan yang dilakukan
bukanlah perbuatan yang diharamkan, bahkan dianjurkan tetapi bertujuan untuk sesuatu
yang diharamkan. Contohnya ialah perkawinan rekayasa oleh seorang muhallil terhadap
seorang perempuan yang telah dicerai dengan talak ba’in kubra dengan tujuan agar
perempuan itu dapat dinikahi kembali oleh suaminya. Keempat, hilah yang digunakan itu
bertujuan untuk mendapatkan suatu hak atau untuk menolak kezaliman. Dari keempat
macam hilah di atas, para ulama fikih sepakat untuk tidak membolehkan hilah bentuk
pertama dan kedua. Sebaliknya terhadap hilah bentuk ketiga dan keempat para ulama
berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan mengapa hiyal asysyar` iyah dilarang :
[xii
12]
1. Tujuan pelaku hilah bertentangan dengan tujuan Syari`(Allah SWT dan Rasulullah
SAW) .
2. Akibat perbuatan hilah membawa kepada kemafsadatan yang dilarang agama. Contohnya
dengan adanya hibah yang direkayasa, kewajibanzakat menjadi hilang.
3. Dalam akad yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan hilah, kehendak untuk
melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad yang
dilakukan sebenarnya tidak ada.
4. Hilah itu batal karena syaratnya bertentangan dengan kehendak akad.
5. Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab hilah dilakukan dengan
meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat. Contoh hilah
untuk menghindari zakat, nisab merupakan sebab wajibnya zakat. Dengan hibah sebagai
hilah, syarat wajib itu menjadi hilang.
5. 6. Hilah haram berdasarkan teori istiqra’(induksi dari berbagai dalil). Dalildalil tersebut di
antaranya adalah ayat-ayat al-Quran menceritakan tentang orang munafiq yang tidak
ikhlas beramal. Hilah dilakukan karena menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku
yang tidak ikhlas beramal.
Kesimpulan
Dzariah artinya washilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan. Yang
dimaksud dengan Dzari`ah di sini ialah jalan untuk sampai kepada yang haram atau
kepada yang halal. Maka halan atau cara yang menyampaikan kepada haram hukumnya
pun haram, dan cara yang menyampaikan kepada halal hukumnya pun halal pula, dan apa
yang menyampaikan kita kepada wajib hukumnya pun adalah wajib pula.
Ulama hukum Islam, ada sebagian yang menggunakan Dzari`ah ini sebagai dasar
hukum, dan ada sebgian yang tidak memakainya. Ulama yang sangat berpegang teguh
kepada Dzari`ah adalah dari golongan Malikiyah dan Hambali. Sedang yang sedikit
sekali memakainya ialah Asy-Syafi`I dan Abu Hanifah. Sedang yang menolak sama
sekali adalah golongan Dhahiriyah.
Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada Dzari`ah, sedangkan
Imam Syafi`y dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua terakhir
tidak menolak Dzari`ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang
berdiri sendiri. Menurut Syafi`y dan Abu Hanifah, Dzari`ah ini masuk ke dalam dasar
yang sudah mereka tetapkan yaitu Qiyas menurut Imam Syafi`y dan istihsan menurut
hanafy.
Kata al-hiyal adalah bentuk plural dari kata al-hilah yang berarti suatu tipu daya,
kecerdikan, muslihat, atau alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri dari suatu beban
atau tanggung jawab.
Penulis : Muhammad Ibrahim Ismail NIM 1002110348 (Mahasiswa Jurusan
Syari’ah, Prodi Ahwal Asy-Syakhshiyyah, STAIN Palangka Raya, Dipresentasikan dalam
diskusi kelas pada semester ganjil tahun 2011) dan Diedit kembali oleh Abdul Helim
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman, Sumber hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995.
A.Djazuli, Ilmu Fikih, Jakarta : Kencana, 2006.
Syukur, Syarmin, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Read more: http://www.abdulhelim.com/2012/04/dzariah-sebagai-salah-satu-
metodologi.html#ixzz2F658LNAb
6. i[1]Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, h.164.
ii[2]Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h.245
iii[3]A.Djazuli, Ilmu Fiqih, Jakarta : Kencana, 2006, h.98
iv[4]Ibid., h.99
v[5]Ibid., h.100
vi[6]Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h.246
vii[7]Ibid., h.246
viii[8]Ibid., h.247
ix[9]Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, h.166
x[10]Ibid., h.167
xi[11].....(not found) (online 11 Desember 2011).
xii[12]Ibid.
7. i[1]Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, h.164.
ii[2]Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h.245
iii[3]A.Djazuli, Ilmu Fiqih, Jakarta : Kencana, 2006, h.98
iv[4]Ibid., h.99
v[5]Ibid., h.100
vi[6]Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h.246
vii[7]Ibid., h.246
viii[8]Ibid., h.247
ix[9]Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, h.166
x[10]Ibid., h.167
xi[11].....(not found) (online 11 Desember 2011).
xii[12]Ibid.