Menilik fenomena sistem pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi yang berlangsung beberapa dasawarsa terakhir akan dijumpai kesenjangan antara apa yang seharusnya ada (Das Sollen) dalam sistem pembelajaran yang berlangsung dan apa yang ada (Das Sein) dalam bentuk eliminasi nilai-nilai universal humanistik yang telah tercerabut dari akarnya. Hal ini, tidak boleh tidak, adalah suatu dampak terjadinya pembelengguan desain, proses, dan evaluasi pembelajaran sebagai warisan budaya penjajah terhadap budaya lokal masyarakat agraris di bidang pendidikan pada masa tersebut. Ada beberapa karakteristik yang masih bisa dirasakan, meskipun tampak sumir namun implikatif, yaitu adanya prinsip kepatuhan total di dalam kelas dalam suasana pembelajaran (Principles of Total Obedience), adanya budaya tidak melontarkan pertanyaan ketika belajar di kelas (Unquestioning Mind), adanya pandangan bahwa yang tua mengetahui segalanya (Elders Know All), dan adanya pandangan bahwa dosen tidak mungkin berbuat salah (Lecturers Can Do No Wrong) (Widiatmoko, 1998).
Intellectual Discourse Business in Islamic Perspective - Mej Dr Mohd Adib Abd...
Akselerasi Perubahan Paradigma Sistem Pembelajaran Bahasa Inggris Di Perguruan Tinggi Pada Milenium Iii Blg
1. Akselerasi Perubahan Paradigma Sistem Pembelajaran Bahasa
Inggris di Perguruan Tinggi pada Milenium III
Oleh
Widiatmoko
E.: moko.geong@gmail.com
W.: http://widiatmoko.blog.com
Jakarta, Indonesia
Pengantar
Menilik fenomena sistem pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi yang
berlangsung beberapa dasawarsa terakhir akan dijumpai kesenjangan antara apa yang
seharusnya ada (Das Sollen) dalam sistem pembelajaran yang berlangsung dan apa yang ada
(Das Sein) dalam bentuk eliminasi nilai-nilai universal humanistik yang telah tercerabut dari
akarnya. Hal ini, tidak boleh tidak, adalah suatu dampak terjadinya pembelengguan desain,
proses, dan evaluasi pembelajaran sebagai warisan budaya penjajah terhadap budaya lokal
masyarakat agraris di bidang pendidikan pada masa tersebut. Ada beberapa karakteristik yang
masih bisa dirasakan, meskipun tampak sumir namun implikatif, yaitu adanya prinsip kepatuhan
total di dalam kelas dalam suasana pembelajaran (Principles of Total Obedience), adanya budaya
tidak melontarkan pertanyaan ketika belajar di kelas (Unquestioning Mind), adanya pandangan
bahwa yang tua mengetahui segalanya (Elders Know All), dan adanya pandangan bahwa dosen
tidak mungkin berbuat salah (Lecturers Can Do No Wrong) (Widiatmoko, 1998).
Akselerasi Perubahan Sistem Pembelajaran Bahasa Inggris
Ketika Bill Gates meluncurkan Windows 2000 pada awal milenium III, beberapa waktu
lalu, orang makin sadar akan teralienasi dirinya terhadap apa yang disebut budaya teknologi.
Begitupun apabila mencermati data-data, ada akselerasi perubahan di segala sektor kehidupan
yang mana orang makin sadar bahwa manusia tidak akan mengalami keterputusan dalam mata
rantai kebudayaan antarmasa.
Pembelajaran bahasa Inggris, sebagai akibat adanya akselerasi perubahan di bidang
teknologi, telah bergeser ke arah pengembangan yang mendasar pada peranti teknologi informasi
yang baru.
Oleh karena itu, arus situasi dari persaingan global akan mudah dikenali. Pertama, pasar
dunia menjadi berpadu karena adanya akselerasi dalam komunikasi dan teknologi komputer
yang merambah pada pembelajaran bahasa Inggris. Kedua, globalisasi sebagai aspek kunci dan
transformasi kegiatan ekonomi dunia di mana fungsi pembelajaran bahasa Inggris mau tidak
mau harus memenuhi kebutuhan tersebut. Ketiga, kemajuan teknologi membuat perbatasan
nasional menjadi keropos. Di sini akan menjadi pembuktian bahwa bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional yang digunakan oleh orang secara global untuk bertukar informasi di semua
sektor.
Secara masif, bisa ditarik fenomena tanggapan terhadap arus global akselerasi itu, yaitu,
menyukai dan menerapkan; melepaskan diri; munculnya adhokrasi yang berupa munculnya
manajemen projek atau manajemen gugus depan; dan adanya spesifikasi keahlian yang dimiliki
seseorang (Nurhadi, 1999).
2. Khusus dalam pendidikan dan pelatihan, misalnya bahasa Inggris, dirasakan adanya
kecenderungan-kecenderungan, yang menurut Dr. Arief Suhadi Sadiman, berupa hal-hal, sebagai
berikut. Pertama, paradigma pendidikan dan pelatihan bergeser dari sistem yang berorientasi
pada dosen ke sistem yang berorientasi pada mahasiswa. Seiring dengan ini, akan terjadi
pergeseran peran dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris karena makin
banyak tersedianya sumber-sumber belajar alternatif.
Kedua, tumbuh dan makin memasyarakatnya pendidikan dan pelatihan bahasa Inggris
jarak jauh sebagai sistem pendidikan dan pelatihan alternatif yang memungkinkan proses
pembelajaran dilakukan secara lebih luwes, efisien, efektif, dapat diakses oleh siapa saja yang
memerlukan tanpa pandang jenis kelamin, usia, tempat tinggal, status ekonomi sosial, maupun
pengalaman pendidikan sebelumnya. Konsep bahwa kuliah harus pergi ke kampus akan
dilengkapi dengan pemahaman baru bahwa belajar di perguruan tinggi bisa dilakukan di mana
atau dari mana saja sejauh memungkinkan tanpa harus bertemu muka dengan dosen. Kelas
maya, kampus maya, perpustakaan elektronik dan sejenisnya makin lama makin menunjukkan
eksistensinya.
Ketiga, makin banyaknya pilihan sumber belajar bahasa Inggris yang tersedia sebagai
dampak makin banyak dan mudahnya informasi diperoleh baik yang bermanfaat maupun tidak.
Keempat, makin diperlukannya kualitas global yang baku dalam rangka persaingan
global. Sistem akreditasi antarlembaga pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri
tampaknya akan semakin penting karena makin ramainya lalu lintas transfer kredit antarlembaga
pendidikan.
Kelima, semakin diperlukannya pembelajaran bahasa Inggris sepanjang hayat sejalan
dengan menipisnya batas antara masa kuliah dan masa bekerja di satu pihak dan berkembang
atau berubahnya pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan di
masyarakat maupun dunia kerja di pihak lain. Konsep bahwa belajar hanya dilakukan semasa
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi tidak bisa lagi dipertahankan karena semasa bekerja
pun orang dituntut untuk terus belajar untuk memenuhi kebutuhan (Sadiman, 2000).
Karakteristik Sumberdaya Manusia pada Milenium III
Sumberdaya manusia yang bisa hidup dan bersaing memasuki milenium III adalah
mereka yang benar-benar unggul. Mereka adalah manusia yang memiliki kompetensi yang
dibutuhkan untuk memasuki kehidupan di era yang telah berubah dari keteraturan ke
kesemrawutan. Kompetensi yang harus dimiliki oleh manusia unggul adalah seperti: berpikir
kreatif produktif, berada pada pengambilan keputusan, mampu memecahkan masalah, belajar
sebagaimana belajar, melakukan kolaborasi, dan melakukan pengendalian diri (Degeng, 2000).
Oleh karena itu, tujuan pendidikan di dalamnya termasuk kurikulum dan proses belajar
mengajar (pembelajaran) seharusnya mengarah ke pembentukan kompetensi tersebut. Strategi
pendidikan untuk menghasilkan manusia yang bisa hidup memasuki milenium III seharusnya
berangkat dari landasan teoretik yang cocok yaitu yang lebih memberi peluang kepada setiap
mahasiswa agar dapat mengalami growth in learning. Satu unsur penting yang bertalian dengan
strategi pendidikan ini adalah bagaimana menata lingkungan agar kegiatan belajar benar-benar
merupakan aktivitas yang menggairahkan bagi mahasiswa. Lingkungan belajar haruslah
dikondisikan agar mahasiswa mau dan mudah belajar. Salah satu karakteristik dari penataan
lingkungan seperti ini adalah adanya keterlibatan mereka sebagai subjek dalam kegiatan belajar.
Pelibatan mereka membawa implikasi yang luas sekali karena terkandung suatu pemikiran
reformatif tentang bagaimana memperlakukan mahasiswa dan apa yang harus disediakan
untuknya agar terjadi proses belajar dalam dirinya. Oleh karena itu, kiranya bukan hal ilusif
apabila keragaman langkah memasuki era tersebut haruslah padu dengan pemberdayaan unsur
warga dalam pelibatan dirinya dalam kontribusi bagi pengembangan teknologi pendidikan.
Karena pendidikan merupakan sebuah kawasan yang menyandang aneka elemen yang
mendukungnya, mau tidak mau reengineering pada bidang ini secara kontinu harus mengalami
perubahan paradigma. Wajar sekali, apabila paradigma ini bisa implikatif pada pengembangan
teknologi pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Inggris.
Kontribusi Ilmu-ilmu Lain pada Teknologi Pembelajaran Bahasa Inggris
Pada dekade ini, teknologi pembelajaran bahasa Inggris merupakan bagian dari ilmu
terapan. Sebagai ilmu terapan, teknologi pembelajaran ini bersifat efektif dan interdisipliner.
Beberapa disiplin ilmu atau teori yang sangat besar sumbangannya terhadap lahirnya teknologi
3. pembelajaran tersebut sebagai bidang ilmu adalah teori media, komunikasi, instrumentasi,
psikologi, filsafat, ergonomi, komputer, dan lain-lain.
Peran media terhadap teknologi pembelajaran bahasa Inggris digolongkan ke dalam tiga
kategori, yaitu: pertama, pada proses penyampaian pembelajaran di mana media digunakan
untuk menyampaikan suatu pesan yang khas, kedua, penciptaan lingkungan belajar bermedia di
mana media yang ada didesain untuk membantu mahasiswa untuk mengungkapkan dan
mempelajari ilmu baru, ketiga, pengembangan kemampuan kognitif mahasiswa di mana media
dijadikan model tentang suatu konsep (Irawan, 2000).
Psikologi juga memberikan kontribusi yang sangat penting pada teknologi pembelajaran
bahasa Inggris. Pemahaman tentang karakteristik mahasiswa, pemahaman tentang proses
berpikir dan belajar mahasiswa dan sebagainya adalah contoh sumbangan psikologi terhadap
teknologi pembelajaran bahasa Inggris. Menurut Lowyckk dan Eter (1993), kontribusi psikologi
terhadap teknologi pembelajaran bahasa Inggris adalah melalui penerapan psikologi
instruksional ke desain instruksional.
Dalam ilmu filsafat, diketahui bahwa semua ilmu lahir dari ilmu filsafat ini. Teori
humanistik dan fenomenologi telah memberi inspirasi kepada para pakar di bidang teori belajar
yang diaplikasikan di dunia teknologi pembelajaran tersebut.
Sumbangan ergonomi terhadap teknologi pembelajaran bahasa Inggris sangat beragam,
misalnya pembangunan ruang kelas yang kondusif untuk belajar sampai penentuan desain bahan
ajar yang enak dibaca, indah dipandang, dan tidak melelahkan mata dan pikiran.
Landasan Pengembangan Teknologi Pembelajaran Bahasa Inggris
Setiap perkembangan cabang ilmu atau pengetahuan perlu didasari serangkaian dalil
atau dasar yang dijadikan patokan pembenaran. Secara filosofis, dasar keilmuan itu meliputi
ontologi atau rumusan tentang gejala pengamatan yang dibatasi pada suatu pokok telaah khusus
yang tidak tergarap oleh bidang telaah lain, epistemologi atau usaha atau prinsip intelektual
untuk memperoleh kebenaran dalam pokok telaah yang ditentukan, dan aksiologi atau nilai-nilai
yang menentukan kegunaan dari pokok telaah yang ditentukan yang mempersoalkan nilai moral
(etika) dan seni dan keindahan (estetika).
Melihat pada akselerasi perubahan tersebut di atas, bisa ditarik serangkaian gejala yang
belum tergarap secara baik, yaitu adanya sejumlah mahasiswa yang belum terpenuhi kesempatan
belajar bahasa Inggrisnya, baik melalui lembaga khusus, maupun secara mandiri; adanya
berbagai sumber baik yang telah tersedia maupun yang dapat direkayasa tetapi belum
dimanfaatkan untuk keperluan belajar bahasa Inggris; adanya usaha yang terarah dan terencana
untuk menggarap sumber-sumber tersebut agar dapat terpenuhi hasrat belajar setiap mahasiswa;
dan adanya pengelolaan atau kegiatan khusus untuk mengembangkan dan memanfaatkan
sumber tersebut untuk belajar secara efektif, efisien, dan selaras (Miarso, 2000).
Semua bentuk teknologi adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk suatu tujuan
tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya,
meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumberdaya yang ada. Teknologi itu pada
hakikatnya adalah bebas nilai dan akhirnya disadari bahwa teknologi telah membantu kita dalam
penglihatan (kacamata, mikroskop, teleskop, dan sebagainya).
Implikasi terhadap Dimensi Tujuan Pembelajaran Bahasa Inggris
Akselerasi perubahan multisektor telah merambah bidang garap tersendiri dalam sistem
pembelajaran bahasa Inggris. Karaktersitik faktual manusia pada milenium III telah secara
integral merupakan sebuah keharusan sebab akan bertalian dengan kualitas kompetensi
sumberdaya manusia tersebut. Pengembangan kompetensi yang dibutuhkan untuk memasuki
dunia kerja milenium III menuntut strategi pembelajaran bahasa Inggris yang tepat dan perlu
diakomodasi dalam desain pembelajaran yang berupa hal-hal sebagai berikut.
a. pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk menampilkan, menciptakan,
menghasilkan, atau melakukan sesuatu,
b. dorongan tingkat berpikir yang lebih tinggi terhadap pemecahan suatu masalah,
c. pemberian tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna, dan
d. penerapan apa yang dipelajari dalam konteks nyata.
Oleh karena itu, akselerasi perubahan juga harus berlangsung dalam strategi
pembelajaran, misalnya akselerasi perubahan dari teori behavioristik ke teori
4. kognitif/konstruktivistik. Hal ini berupa perubahan tekanan dari hasil belajar ke proses belajar,
perubahan dari respon pasif ke penyusunan makna secara aktif, perubahan dari evaluasi
keterampilan secara terpisah ke keterampilan berpadu, perhatian pada keterampilan metakognisi
ke keterampilan konatif yang mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Namun demikian, akselerasi tersebut belumlah tuntas apabila belum digarap akselerasi
perubahan pada evaluasi. Sering evaluasi sebagai sebuah proses dan sekaligus produk
pengukuran sistem pembelajaran. Terlebih evaluasi adalah barometer sebuah sistem di mana di
dalamnya melibatkan aspek-aspek psikologis dalam membangun sebuah konstruk baru. Evaluasi
yang dimaksud adalah akselerasi perubahan dari evaluasi dengan menggunakan kertas dan pensil
ke evaluasi otentik yang mempunyai karakteristik bahwa evaluasi haruslah relevan dan bermakna
bagi mahasiswa, evaluasi mengacu pada konteks yang jelas, evaluasi menekankan pada
keterampilan yang kompleks, evaluasi tidak menuntut satu jawaban betul, dan evaluasi
mempertimbangkan kecepatan dan pertumbuhan mahasiswa secara individual (Degeng, 2000).
Oleh karena itu, aspek evaluasi juga harus mengalami akselerasi dari aspek tunggal ke
multidimensional. Hal ini disebabkan oleh adanya pengakuan bahwa mahasiswa memiliki
berbagai kemampuan dan bakat yang dapat dikembangkan.
Simpulan
Menapaki tatanan dunia baru pada milenium III segala akselerasi perubahan bisa
melanda kapan saja, kepada siapa saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Fenomena warisan
kolonial yang berupa prinsip kepatuhan total, budaya tidak melontarkan pertanyaan, dosen
sebagai tumpuan pengetahuan, dan dosen tidak mungkin berbuat salah sudah selayaknya
berangsur-angsur ditinggalkan untuk mempersiapkan paradigma sistem pembelajaran yang
baru, khususnya pembelajaran bahasa Inggris pada milenium III.
Akselerasi perubahan akan bermuara pada karakteristik yang tidak bisa tidak akan
terjadi pada tuntutan pengembangan sumberdaya manusia. Dalam rangka pengembangan inilah
perlu dibenahi ihwal peranti yang bertalian dengan pembelajaran tersebut.
Proposal Rogers dalam pendemokrasian sistem pembelajaran mendapat respon positif
dalam pembenahan pembelajaran dan teknologi sehingga integrasi antara akselerasi perubahan
multisektoral dan tawaran pembelajaran dengan teknologinya memberi kontribusi positif solutif
atas diskrepensi yang berlangsung sekian lama.
Harapannya adalah bahwa manusia unggul kian diharapkan untuk menjawab
problematika sistem pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi.