1. Nomor 39
MACAM-MACAM PERNIKAHAN TERLARANG
Nikah Mut’ah
Istilah Mut’ah berasal dari kata Tamattu’ yang artinya menikmati. Dalam istilah Fiqih kawin
Mut’ah ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki terhadap wanita dengan
batas waktu tertentu, misalnya untuk satu hari, satu minggu dan seterusnya.
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa nikah Mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu
dan dilarang dalam agama. Nikah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah Saw,
namun kemudian Allah SWT menghapus atau melarangnya. Seperti yang tertera dalam
hadits.
صلى هللا رسول نهى ،عنه هللا رضي على عنالحمر لحوم وعن المتعة نهى ،وسلم عليه هللا
)عليه (متفق خيبر زمن هلية اال
Artinya:”Dari Ali r.a ia berkata, Rasulullah Saw telah melarang nikah mut’ah dan makan
daging khimar pada zaman khaibar(H. R Muttafaqun'Alaih)”.
Nikah Sighar
Yang dimaksud dengan Syighar adalah tukar menukar, yaitu: seorang laki-laki memberikan
saudara wanitanya, anak perempuannya/anak perempuan di bawah perwaliaannya kepada
seorang laki-laki dengan imbalan diterimanya anak perempuan/saudara perempuan bawah
perwaliaannya, tanpa memakai maskawin, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits:
على ابنته الرجل يزوج ان والشغار الشغار عن نهى :صلعم هللا رسول ان عنهما هللا رضي عمر ابن عن نافع عنيزوج ان
)عليه (متفق صداق بينهما ليس ابنته االخر
Artinya:”Dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah melarang perbuatannya syighar (dan kemudian
dijelaskan dengan perkataannya), syighar ialah laki-laki mengawinkan dengan imbalan dia
dikawinkan kepada anak perempuan dari laki-laki tadi keduanya tanpa memberikan
maskawin (H. R. Muttafaqun’Alaih)".
Maharnya di sini ialah kelamin masing-masing wanita itu yang dimiliki laki-laki tersebut
diatas.
Nikah Muhallil
Muhallil artinya menghalalkan, maksud yang dikehendaki menurut ilmu fiqh ialah suatu
bentuk perkawinan yang semata-mata untuk menghalalkan kembalinya suami kepada mantan
istrinya, akibat dari hak rujuk setelah talak ketiga. Seperti yang dijelaskan dalam hadits yang
berbunyi: artinya:”Rasulullah SAW, melaknat muhallil dan muhallil lahu.”
وعنابنوالت النسائ (رواه له والمحلل المحلل ،وسلم عليه هللا صلى هللا رسول لعن قال عنه هللا رضي مسعود)رمذى
Artinya: ”Dari Ibn Mas'ud r.aberkata Rasulullah Saw, melaknat muhallil dan muhallil
lahu.” (H.R An-Nasa'I dan At-Turmudzi).
Menurut hukum Islam seorang isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, tidak
diperbolehkan kawin kembali dengan bekas suaminya kalau belum memenuhi syarat-yarat
tertentu, yaitu:
a. Harus kawin dengan laki-laki lain.
b. Sudah berhubungan suami istri.
c. Ditalak oleh suaminya yang baru tadi.
d. Habis masa iddahnya.
2. Nikah Tafwidh
“Nikah Tafwidh” ialah nikah yang di dalam sighat akadnya tidak dinyatakan kesediaan
membayar mahar (maskawin) oleh pihak calon suami kepada pihak calon istri.
Nikah Sirri
Pernikahan yang tidak diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada hakiktnya
ini adalah zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.
Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah
adanya wali. Pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan.
Pernikahan Silang
Yaitu pernikahan antara laki-laki dengan perempuan yang berbeda agama atau keyakinan.
Pernikahan Khadan
Khadan artinya gundik atau piaraan, baik laki-laki yang menjadikan wanita sebagai gundik
maupun wanita yang menjadikan laki-laki sebagai gundik.
Menikahi wanita yang berzina
Nomor 40
PERKAWINAN MENURUT UUD NO.1 TAHUN 1974
Perawinan menurut UU. No. I Tahun 1974. Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang
perkawinan terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis besar sebagai
berikut .
1. Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri dari 5 pasal.
2. Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
3. Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri dari 9 pasal.
4. Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
5. Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1 pasal.
6. Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri, terdiri dari 5 pasal.
7. Bab VII : Harta benda dalam perkawinan, terdiri dari 3 pasal.
8. Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
9. Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
10.Bab X : Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
11.Bab XI : Perwalian terdiri dari 5 pasal.
12.Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
13.Bab XIII : Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal.
14.Bab XIV : Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.
a. Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.
UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa : Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa :
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus
dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah.
3. 3. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
b. Sahnya Perkawinan.
UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menegasklan bahwa “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan :
1. Pasal 4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam.
2. Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
c. Tujuan Perkawinan
1. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuuhanan Yang Maha Esa. (UU. No. 1 Th. 1974)
2. “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah”.
d. Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan Talak
Menurut UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :
1. Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Pasal 40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan.
Tata cara perceraian dan pengajuan gugatan cerai diatur tersendiri dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36.
Sedangkan peranan Pengadilan Agama menurut UU RI No. 7 Tahun 1989, pada
dasarnya sama dengan pasal 39 UU No. I Tahun 1974. Kemudian untuk mendapatkan
gambaran yang agak jelas, pelajarilah pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989
Batasan Umur
Untuk kemaslahatan keluarga Dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh di lakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang sudah di tetapkan dalam undang-undang No 1
tahun 1974, yaitu ; menerangkan tentang :
- Pihak pria ( calon suami )sekurang-kurangnya sudah mencapai umur 19 tahun.
- Pihak Wanita ( calon istri )sekurang-kurangnya sudah mencapai umur 16 tahun.
Pasal 7 ayat 2 menerangkan, dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak
putra maupun pihak wanita.
Luthfi Rahmawati /20/XII IPS 2