Dokumen tersebut membahas berbagai kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seperti kasus pengadaan sarana dan prasarana vaksin flu burung senilai Rp1,3 triliun dan kasus pengadaan alat kesehatan lainnya. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi kerugian negara dari berbagai kasus tersebut mencapai Rp693,2 miliar. Kemenkes juga ditemukan memiliki salah
1. Nama : Julia Cahyani
Akuntansi Ekstensi 2010
Pemeriksaan Keuangan (Auditing)
STIE MH. Thamrin Jakarta
2. Banyak Perkara Korupsi di Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merupakan lembaga negara yang mengurusi semua hal
menyangkut kesehatan masyarakat, dari mulai penanggulangan penyakit sampai penyediaan
sarana dan prasarana penunjangnya. Namun, lembaga yang menjunjung tinggi gaya hidup
sehat itu kini sedang menjadi pesakitan. Serangkaian kasus korupsi menyeruak, dan bahkan
melibatkan orang nomor satu di kementerian tersebut.
Salah satu kasus yang masih ditelisik dan dikembangkan oleh penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni dugaan korupsi dalam penyediaan sarana dan
prasarana vaksin flu burung di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kemenkes tahun anggaran 2008-2011. Adapun jumlah dana yang
dianggarkan dalam proyek pengadaan sarana dan prasarana vaksin flu burung tersebut
sebesar Rp1,3 triliun. Dana tersebut dikucurkan secara bertahap sebanyak tiga kali, terhitung
dari 2008.
Indikasi korupsi di Kemenkes tersebut terungkap saat BPK menyerahkan dokumen laporan
hasil pemeriksaan ke DPR. Menurut Anggota VI BPK, Rizal Djalil, bahwa sekitar 70% dari
total barang yang diminta dalam proyek pengadaan sarana dan prasarana vaksin flu burung
itu masih belum dimanfaatkan dengan baik. Sebagian besar barang masih teronggok di
gudang dan belum terpasang. "Negara berarti harus menyewa gudang untuk menyimpan
barang yang tidak dimanfaatkan tersebut," ujarnya.
Selain itu, Rizal juga menemukan keanehan terkait barang yang belum diuji coba dan
dipasang namun sudah dibayar semuanya. Akibatnya, dari hasil audit BPK, ditemukan
kerugian negara sebesar Rp349,5 miliar. Karena barang yang sudah dibeli tak dimanfaatkan
dengan baik, BPK juga mendapati adanya potensi kerugian keuangan negara sebesar
Rp343,7 miliar. Sehingga total indikasi kerugian negara yang ditemukan BPK secara
keseluruhan sebesar Rp693,2 miliar.
3. Dari hasil audit BPK terhadap proyek pengadaan sarana dan prasarana vaksin flu burung
tersebut, juga didapati adanya dugaan persekongkolan antara pihak-pihak di Kemenkes
dengan pihak luar, seperti PT Anugerah Nusantara yang dimiliki oleh Muhammad
Nazaruddin. Namun, menurut pengakuan pengacaranya, Junimart Girsang, 30% saham yang
dimiliki Nazaruddin di PT Anugerah Nusantara sudah dijual kepada Anas Urbaningrum.
Selain PT Anugerah Nusantara, persekongkolan juga melibatkan PT Bio Farma, serta
Universitas Airlangga.
PT Anugerah Nusantara sendiri adalah pemenang proyek pengadaan sarana dan prasarana
vaksin flu burung tersebut. PT milik Nazaruddin-Anas itu berhasil mengalahkan PT Bio
Farma yang terkenal berpengalaman dalam memproduksi berbagai vaksin dan sudah lama
bergerak di bidang alat kesehatan. Ada kecurigaan bahwa Kemenkes melakukan penunjukan
langsung pelaksana proyek tanpa melalui proses tender. Sehingga PT Anugerah Nusantara
berhasil menggarap proyek yang nilai kontraknya Rp718 miliar.
Nama Universitas Airlangga (Unair) menyeruak, lantaran ada dana sebesar Rp143 miliar
yang mengalir dari Kemenkes ke Unair. Dana yang diduga pengalihan dari Daftar Isian
Pelaksana Anggaran (DIPA) tersebut, digunakan untuk membiayai pembangunan
Laboratorium Bio Safety Level (BSL) 3. Yang mencengangkan adalah pembangunan
laboratorium tersebut belum terlaksana.
Menindaklanjuti temuan ini, Hasan Basri, Wakil BPK menegaskan pihaknya akan terus
mendalami dan mempelajarinya. Hal ini terkait dengan adanya permintaan dari KPK yang
akan menggunakan hasil audit dan kajian BPK guna pengusutan kasus proyek pengadaan
sarana dan prasarana vaksin flu burung. "Kami lakukan pendalaman agar bisa segera
diserahkan ke KPK," kata Hasan.
Pihak Kemenkes, terutama Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, belum ada yang mau berkomentar. Salah seorang pegawai di Kemenkes
menuturkan bahwa kasus ini merupakan hal sensitif dan membutuhkan kehati-hatian dalam
memberikan informasi.
4. Tak Hanya Flu Burung
Kasus yang menyeret banyak pejabat di Kemenkes ini semula merupakan pengembangan
dari dugaan korupsi penanggulangan wabah flu burung pada 2006. Kasus itu sendiri telah
menyeret Ratna Dewi Umar (Direktur Bina Pelayanan Medik Kemenkes) dan Mulya A.
Hasjmy (Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kemenkes).
Ratna, bahkan sempat secara implisit menuding mantan Menkes, Almarhum Endang Rahayu
Sedianingsih ikut terlibat dalam kasus yang sedang melilitnya. "Saya tidak mengerti apa-apa
kenapa beliau (Endang) dipanggil, kaitannya apa. Yang saya mengerti, yang jelas 2007
beliau sebagai Kepala Pusat Litbang Biomedis dan Farmasi ketika pengadaan 2007," kata
Ratna Dewi Umar usai diperiksa KPK, pada akhir Maret silam.
Sebelumnya, Kemenkes juga terseret kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan pada
2005. Bahkan, mantan Menkes Siti Fadilah Supari, kini sudah ditetapkan sebagai tersangka
oleh Mabes Polri. BPK sendiri mencatat ada kerugian negara sebesar Rp6,1 miliar.
Keterangan ini didapat dari kesaksian salah seorang auditor BPK, Sumarsana, saat bersaksi
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada pertengahan Mei lalu. "Setelah kami
melakukan pengecekan laporan keuangan di Kemenkes atas harga alat kesehatan PT
Indofarma dengan agen lain yang ada di lapangan, ada selisih yang cukup besar," beber
Sumarsana.
Selain Ratna Dewi Umar, KPK sudah menetapkan mantan pejabat Kemenkes Rustam
Syarifuddin Pakaya sebagai tersangka dalam kasus kasus pengadaan alat kesehatan untuk
pusat penanggulangan krisis di Kementerian Kesehatan tahun 2007 silam. Kasus ini sendiri
ditemukan berdasarkan pengembangan kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk
penanggulangan flu burung tahun 2006.
Dalam kasus alat flu burung tersebut, KPK juga sudah menetapkan tersangka lain, yakni
mantan Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Soetedjo Yuwono, dan
mantan Sekretaris Ditjen Pelayanan Medik Kemenkes, Mulya A Hasjim.
5. Ada kasus korupsi lain yang melilit Kemenkes, misalnya kasus pengadaan alat
rontgen portable dan kasus pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan dokter. Untuk
kasus terakhir bahkan ada kesan kepolisian dan kejaksaan „berebut‟untuk menanganinya.
Tunjuk Langsung
Siti Fadillah boleh mengaku tak bisa mengawasi satu persatu proyek yang ada di Kemenkes.
Tapi yang pasti dia pernah mengeluarkan surat rekomendasi penunjukan langsung
pengadaan alat kesehatan dan perbekalan rumah sakit dalam rangka wabah Flu Burung
(Avian Influenza). Dalam surat tertanggal 12 Juni 2006, Siti Fadillah memberikan
rekomendasi kepada Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kemenkes -yang saat itu
dijabat Ratna Dewi Umar- untuk melakukan penunjukan langsung.
“Selanjutnya proses penunjukan langsung tersebut agar dilakukan sesuai ketentuan dan
peraturan yang berlaku dengan memperhatikan kewajaran harga serta akuntabilitas
pelaksanaannya,” demikian Siti Fadillah menutup suratnya. Surat itu juga ditembuskan
kepada Menteri Keuangan, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dan Sekjen Kemenkes. Siti
Fadillah pernah membantah pernyataan Ratna Dewi yang menyebut hanya menjalankan
perintah Menkes dalam proyek senilai Rp98 miliar itu.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, Febri Hendri
menilai surat tersebut sudah cukup membuktikan bahwa Siti Fadillah mengetahui dan
diduga ikut berkontribusi dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp32 miliar itu. “Ini
adalah bukti bahwa Siti Fadillah mengetahui dan merekomendasi pengadaan diduga ikut
berkontribusi terhadap kasus tersebut.”
Pengusutan berbagai dugaan korupsi yang menjerat Kementrian Kesehatan (Kemenkes)
sepertinya belum akan berhenti. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali
menemukan adanya indikasi kecurangan di kementrian itu sebesar Rp693,2miliar.
6. Sementara atas Laporan Keuangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010, BPK
tidak memberikan pendapat (disclaimer) terkait dengan nilai salah saji yang signifikan
sebesar Rp1,88 triliun. Nilai itu jauh melampaui batas toleransi salah saji sebesar Rp224
milyar.
Uraian salah saji yang signifikan dalam laporan keuangan tahun 2011 adalah Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak disetor ke kas negara dan diindikasikan adanya
penyalahgunaan penggunaannya sejak Desember tahun 2005 hingga 31 Desember 2011
sebesar Rp9,60 miliar pada Satker Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia.
Selain itu belanja modal tersebut termasuk didalamnya pembayaran dimuka untuk "material
on site dan purchace order" pekerjaan tahun 2011 senilai Rp77,05 miliar untuk pelaksanaan
pembangunan Rumah Sakit Otak Nasional pada Ditjen Bina Upaya Kesehatan sebesar
Rp75,09 miliar dan sebesar Rp1,96 miliar untuk pembangunan Gedung Layanan Sekretariat
Konsil Kedokteran Indonesia.
Pembayaran dimuka atas "material on site dan purchace order" tersebut tanpa disertai bank
garansi dan bertentangan dengan Perpres No.54 tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah yang menyatakan bahwa pembayaran bulanan/termin untuk
pekerjaan konstruksi, dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang.
Salah saji lainnya, pengadaan modul dan alat kesehatan rumah sakit bergerak senilai
Rp68,58 miliar yang diperuntukkan bagi 10 kabupaten di daerah terpencil/ tertinggal/
kepulauan pada tujuh provinsi di seluruh Indonesia. Pekerjaan tersebut telah dibayar lunas
pada tanggal 31 Desember 2011. Pihak Kemenkes tidak memiliki mekanisme untuk
memastikan bahwa pengadaan, pengiriman dan pemasangan atas seluruh alat telah secara
lengkap dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 2011.
Hasil Konfirmasi kepada pihak-pihak terkait diketahui bahwa sampai dengan tanggal 30
April 2012, pekerjaan pemasangan modul rumah sakit bergerak telah selesai di tiga
kabupaten, sementara di 7 kabupaten lainnya baru mencapai 80 persen, sedangkan alat
kesehatan yang dikirim ke 10 kabupaten tersebut, di delapan kabupaten masih belum dibuka
dari koli pembungkusnya.
7. Tidak terdapat catatan dan dokumen pendukung yang dapat diberikan oleh Kemenkes untuk
dapat memastikan hak dan kewajiban Kemenkes terkait modul rumah sakit bergerak yang
masih dalam proses pemasangan dan telah lengkapnya alat kesehatan yang dikirim langsung
ke kabupaten pada posisi setelah tanggal neraca hingga 30 April 2012.
Pada 2011, Kemenkes telah melakukan perbaikan atas penatausahaan pendapatan dan
belanja di Badan Layanan Umum (BLU) RSCM, perbaikan sistem monitoring penyaluran
kekurangan gaji dan insentif dokter dan bidan tidak tetap, peningkatan pengendalian atas
pelaksanaan pertanggungjawaban belanja perjalanan dinas oleh pejabat penguji surat
perintah membayar (SPM) di satker pusat.
Perbaikan lainnya menyangkut persediaan di masing-masing satker Kemenkes telah dikelola
dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan telah ditindaklanjuti oleh satker di
lingkungan Ditjen Bina Gizi, Ditjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan, Pusat Kesehatan
Haji, Balitbang, dan BLU RSCM.
Menurut keterangan itu, BPK melakukan pertemuan koordinasi dengan Kemenkes di Kantor
Pusat BPK Jakarta pada Senin (23/7) untuk membahas tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK
tersebut. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Anggota BPK Rizal Djalil, Menkes Nafsiah Mboi,
dan pejabat lain dua instansi tersebut.
Sementara itu uraian salah saji laporan keuangan Kemenkes 2010 meliputi mekanisme
pengendalian internal penerimaan tidak memadai mengakibatkan penerimaan realisasi
pendapatan BLU RSCM sebesar Rp613,48 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya.
Selain itu mekanisme pengendalian penyaluran gaji dokter/bidan pegawai tidak tetap (PTT)
untuk memastikan dana dapat disalurkan tepat waktu dan sepenuhnya dibayarkan kepada
yang berhak tidak memadai, sehingga masih ada gaji dokter/bidan PTT yang telah
dilaporkan belum seluruhnya terjadi dan dibayarkan kepada pegawai yang berhak sebesar
Rp73,12 miliar.
8. Salah saji lainnya belanja barang senilai Rp715,59 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya,
belanja modal senilai Rp427,22 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya disebabkan
perhitungan yang tidak cermat dan indikasi proses pemilihan penyedia barang yang tidak
melalui persaingan sehat yang mengakibatkan indikasi kemahalan harga, Selain itu
persediaan senilai Rp85,59 miliar yang belum sepenuhnya berdasarkan hasil "stock
opname", hasil "stock opname" belum valid, dan tidak meliputi seluruh persediaan yang
dikelola satker.
9. Analisis Kasus Korupsi di Kementrian Kesehatan
Kasus korupsi di Kementrian Kesehatan merupakan kasus korupsi di bidang proses
pengadaan barang dan jasa. Proyek pengadaan sarana dan prasarana vaksin flu burung di
Kemenkes masih belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yang justru menambah beban
kerugian Negara karena barang yang sudah dibeli tak dimanfaatkan dengan baik.
Adanya dugaan persekongkolan antara pihak-pihak di Kemenkes dengan pihak luar berupa
kecurigaan bahwa Kemenkes melakukan penunjukan langsung pelaksana proyek pengadaan
sarana dan prasarana vaksin flu burung tanpa melalui proses tender sehingga PT Anugerah
Nusantara berhasil menggarap proyek tsb. PT Anugerah Nusantara merupakan
perusahaan milik Muhammad Nazaruddin dan Anas Ubaningrum.
Padahal jika Kemenses membuka tender secara terbuka, proyek tsb. Mungkin dapat
menghasilkan proyek lebih bermanfaat digunakan untuk masyarakat tanpa terbengkalai
akibat penyelidikan adanya dugaan korupsi. Dan memungkinkan perusahaan – perusahaan
di Indonesia lebih kreatif, inovatif dan bersaing dengan sehat untuk mendapatkan proyek
pemerintah.
Untuk itu, sudah seharusnya, transfaransi pengadaan barang dan jasa harus mengatur tentang
keterlibatan masyarakat secara nyata dari proses awal tender sampai pengerjaan proyek di
lapangan. Apa pun ceritanya, masyarakat lah yang akan menikmati baik dan buruknya
kuwalitas proyek yang diciptakan oleh pemerintah. Sehingga, sudah seharusnya masyarakat
dilibatkan untuk mengawasi proses tender tersebut.
Selain itu, harus mengatur tentang pendirian pos pengaduan masyarakat. Jadi, ketika
rekanan tidak mengerjakan proyek dengan baik, kualitas proyek sangat buruk dan lain
sebagainya, masyarakat bisa melaporkan temuan tersebut pada pos pengaduan itu. Pos ini
nantinya secara berkala akan melaporkan ke bupati/walikota dan wajib mengekspose
laporan-laporan dari masyarakat tersebut melalui media massa.
Jika hal ini dilakukan memungkinkan tidak terjadinya sebagian besar barang masih
teronggok di gudang, belum terpasang, dan barang yang belum diuji coba. Ini langkah kecil
10. untuk menyelematkan kebocoran uang negara dari sektor pengadaan barang dan jasa.
Mempersempit ruang korupsi bagi pejabat dan rekanan proyek barang dan jasa. Perlu upaya
penegakkan hukum yang tegas, cepat , tanpa pandang bulu dan transfaran. , proses
penyidikan di Kejagung tampaknya tidak bisa lepas dari keharusan adanya hasil penelaahan
BPKP dalam menentukan kerugian negara.
Pada sisi lain, ada kecenderungan dalam penanganan korupsi di kejaksaan hanya terfokus
pada soal ada atau tidaknya kerugian negara. Untuk mengatasinya, harus ada peningkatan
kerja sama antara kejaksaan dan BPKP. Di sisi lain, auditor BPKP di daerah juga harus
ditambah seiring dengan semakin meningkatnya kasus korupsi yang disidik kejaksaan.
Kementerian Kesehatan harus membuka diri dan bekerjasama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi terkait dugaan korupsi pengadaan vaksin flu burung. Kementrian
Kesehatan harus proaktif membantuk KPK untuk menungkap kasus ini. Seperti yang
dilakukan Mahkama Agung membantu KPK menungkap kasus suap hakim. Itu harus
dilakukan Kemenkes.
Kesadaran masing-masing individu merupakan kunci awal dari pemberantasan korupsi di
Indonesia. Masalahnya, korupsi yang dilakukan di Indonesia ini merupakan korupsi jamaah,
sulit sekali ketika kita ingin memberantas korupsi dengan kemudian mengembalikan
permasalahan ini kepada masing-masing individu. Itu asumsi dasar permasalahan ketika kita
ingin menyelesaikan masalah korupsi ini dengan cara primitif.
Harus ada akuntabilitas dan transparansi dalam instrumen pemerintahan. Dalam hal
ini kemudian pertanggungjawaban terhadap sebuah perkara menjadi jelas. Hal ini penting
adanya agar seluruh individu yang tergabung dalam birokrasi selalu waspada terhadap
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam perkara tertentu. Kasus yang terjadi
kebanyakan ialah ketika elemen dalam birokrasi hanya menjadi tikus kecil yang diperalat
dan dijadikan korban untuk diperolok oleh media dan masyarakat demi menyembunyikan
kasus yang memang sampai saat itni belum sempat tersentuh oleh penyelidikan yang
intensif.