Gus Dur menceritakan kisah lucu seorang tukang becak asal Madura yang berkelit ketika ditilang polisi karena melanggar rambu larangan masuk jalan untuk becak. Tukang becak tersebut berkelit dengan mengatakan gambar di rambu hanya menunjukkan becak kosong tanpa pengemudi, sedangkan becaknya masih ada pengemudinya. Polisi kemudian meninggalkan tukang becak itu setelah berdebat."
1. Penanggung jawab
SekNas JGD
Penasihat
Alissa QM Wahid
koordinator
Tata Khoiriyah
Redaksi
Nabilah Munsyarihah, Zahrotien
Editor
Abas Z g.
Tata letak
Muhammad Nabil
Kontributor
GUSDURian di berbagai daerah
Sirkulasi
SekNas Jaringan GUSDURian
Sekadar Mendahului
“Bila terjadi ketegangan antara agama dan kebudayaan, maka carilah jalan
tengahnya, ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu ditangisi dan disesali, karena
itu justru memungkinkan kita untuk selalu berusaha menjembataninya.”
KH. Abdurrahman Wahid
M e n g g e r a k k a n T r a d i s i , M e n e g u h k a n I n d o n e s i a
Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel, opini, berita melalui selasar.redaksi@gmail.com.
Redaksi tidak bertanggung jawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis.
Newsletter ini adalah produk nonprofit.
K
atanya, negara kita memiliki semboyan BhinekaTunggal Ika. Akan
tetapi, konflik dengan berbagai macam rupa terjadi di mana-mana.
Kuantitasnya tidak pernah berkurang, selalu bertambah. Entah
bagaimana kualitas konfliknya.
Makna semboyan kita yang merdu itu sudah terkorupsi. Arti kata itu
sudah tersudut di pojok peradaban dan susah dicari dalam kamus kehidupan.
Kita hanya butuh manusia, yang bukan setan dan malaikat.
Manusia yang memanusiakan manusia lainnya untuk mengembalikan
makna kata itu sebagaimana adanya. Saat kata itu sudah dimaknai dengan
tingkah laku, saat itulah, darah anyir pertikaian akan musnah dari kehidupan.
Akhirulkalam, “selamat memaknai,” kami ucapkan.
E d i s i 7 / S e p t e m b e r 2 0 1 3
2. Oleh: Rio TuasikalGus Dur
Menggerakkan Tradisi
foto: abdurrahmanwahid-gusdur.blogspot.com
Ultraman Betulanadalah
e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 2
3. 3
M
asih saya ingat kata-kata Shin Asuka,
si Ultraman Dyna itu. Di episode
tersebut, belasan tahun lalu, Ultraman
melawan monster jahat yang menghancurkan
kota.
Saat sekolah dasar, saya bermimpi
punya kekuatan super untuk mengubah
dunia.Teman-teman saya juga sama.
Menuju dewasa, saya hanya bisa nyengir bila
mengingatnya. Bahwa mimpi mengubah
dunia adalah muluk.
Imajinasi konyol itu membuat
saya tertawa, sampai akhirnya Gus Dur
menyadarkan: dunia ini memang sedang
dalam marabahaya.
Gus Dur adalah Superhero Nyata
Berbeda dengan damai versi kebanyakan
orang, Gus Dur percaya itu bukan sekadar
kerukunan. Sebab istilah kerukunan terkesan
pasif, juga tutup mata pada konflik kecil.
Lewat sosok Gus Dur, kita merombak definisi
itu.
Bicara Islam damai sering dimulai
dengan nama Gus Dur. Dia telah
mengembalikan Islam ke posisi semestinya:
ramah dan cemerlang. Dia juga yang
menunjukkan bahwa Islam, demokrasi dan hak
asasi manusia punya semangat yang sama.
Seperti itulah Gus Dur mencontohkan.
Dia berupaya melindungi masyarakat Kristen,
keturunanTionghoa juga Ahmadiyah. “Gus
Dur sudah seperti ayah kami,” ujar Fam Kiun
Fat, anggota Majelis Agama Khonghucu
(Makin) Bandung.
Tak ada ciri superhero yang tak Gus
Dur miliki. Dia menyediakan rasa hormat
pada semua manusia, membela yang lemah,
dan memperjuangkan keadilan; mengajak
semua orang bergandengan tangan dan tidak
mempermasalahkan perbedaan; kita diajak
hidup damai dalam sebuah komunitas global.
Sungguh daftar misi yang tak gampang
dijalani. Namun Gus Dur menempuh itu
semua, sebab ia adalah manusia ultra, ya,
ultraman.
Sebentar, tapi, Gus Dur tidak punya
kekuatan super. Gus Dur tidak punya robot
Megazord atau laser dari tangannya. Lalu apa
yang menjadikan Gus Dur lebih dari manusia
biasa? Saya rasa sederhana : belas kasih.
Jurus Super: Belas Kasih
“Prinsip belas kasih tersemat di jantung
tiap agama, etika dan spiritual. Meminta
kita perlakukan semua orang sebagaimana
kita ingin diperlakukan,” demikian pembuka
Charter For Compassion (Piagam Belas Kasih)
yang dicetuskan pada 2009.
Belas kasih bukan barang baru.
Sebagaimana disebutkan dalam piagam,
dia ada di semua tradisi agama dan lainnya,
sejak zaman prasejarah. Ibarat artefak kuno,
gagasan ini muncul menjawab tantangan
manusia abad 21.
Kita melihat bagaimana Buddha,Yesus
dan Muhammad menggunakan resep yang
sama, mereka mencintai orang-orang. Lalu
mereka diikuti jutaan orang seperti Bunda
Teresa, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan
Gus Dur.
Lewat kisah mereka, kita diajari untuk
bersikap empatik, heroik, dan patriotik. Kita
diajak mengorbankan kepentingan diri dan
mementingkan orang lain tanpa kecuali.
Mimpi dari Masa Kecil
Masih banyak kejahatan di muka bumi.
Masih banyak orang yang hidup dalam
ketakutan. Karenanya, kesempatan untuk jadi
penyelamat dunia itu masih terbuka lebar.
Cita-cita Gus Dur belum sepenuhnya
berhasil. Setelah dia mencontohkan begitu
banyak, kini ada beberapa misi yang dia
wariskan untuk dilaksanakan. Ini akan sedikit
menantang, tapi patut diperjuangkan.
Saya mengajak semua insan, laki-
laki dan perempuan, siapa pun, untuk
membangunkan pahlawan yang bersemayam
dalam diri.
“
““Menumpas kejahatan dan
menegakkan keadilan. Aku tak
boleh menyerah!”
4. S
ejak 40 hari GUSDUR, sejumlah
pemuda di Samarinda sudah
berancang-ancang ingin membuat
sebuah gerakan. Namun baru 27 April 2013,
GUSDURian KalimantanTimur dikukuhkan.
Khas GUSDURian, elemen komunitas
GUSDURian Kalimantan ini tak tunggal.
Di hari pendiriannya, 14 orang hadir
dengan latar belakang yang berbeda-
beda. Di antaranya, dari PMII Metro Kutai
Kartanegara, Komisi Kepemudaan Katolik,
Nala Dwipa, dan lainnya.
Meski usianya belum lama, kegiatan
GUSDURian KalimantanTimur terus
bergulir. Mulai dari diskusi, bakti sosial,
bedah film, dan juga mengadakan Kelas
Pemikiran Gus Dur secara mandiri. Kelas
ini berlangsung di Pesantren Al-Ittihad
Samarinda dan dilanjutkan di Gereja St.
Lukas Samarinda dengan pembicara Ahmad
Baso beberapa waktu lalu.
Seperti tulisan Merah Johansyah di
edisi lalu, isu besar GUSDURian Kaltim
adalah melawan perusakan lingkungan
akibat eksplorasi sumber daya alam.
Terlebih, persoalan ini menciptakan
konflik di antara masyarakat, ketimpangan
ekonomi, dan ketidakadilan sosial.
GUSDURian
Negeri Kutai
Forum
di Komunitas ini bergabung dalam
Gerakan Samarinda Menggugat, bersama
sejumlah organisasi lain melawan kegiatan
tambang yang merugikan masyarakat.
Melalui jaringan ini, gerakan antiperusakan
lingkungan akibat tambang menjadi lebih
masif dan saling terhubung.
“Saya melihat sosok Gus Dur dalam
cara pandang terhadap lingkungan sangat
tepat untuk dijadikan pedoman. Dan kami
meneruskannya,” tandas Kasmani, salah
seorang penggiat. (red)
e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 4
Jogja | 27 September| Forum Jumat Terakhir | lokasi
dalam konfirmasi | Gratis & Umum | CP 082141232345
Jakarta | 4 Oktober | Forum Jumat Pertama | Aula Wahid
Institute | Gratis & Umum | CP 082141232345
gendaA
5. 5
Pergulatan
S
aat menjadi Presiden, Gus Dur
pernah bercerita kepada Menteri
Pertahanan Mahfud MD tentang
orang Madura yang katanya banyak akal
dan cerdik.
Ceritanya ada seorang tukang becak
asal Madura yang pernah dipergoki oleh
polisi ketika melanggar rambu “Becak
dilarang masuk”.Tukang becak itu masuk
ke jalan yang ada rambu gambar becak
disilang dengan garis hitam yang berarti
jalan itu tidak boleh dimasuki becak. Karu-
an saja tulang becak itu dihampiri polisi.
“Apa kamu tidak melihat gambar
itu? Itu kan gambar becak tak boleh masuk
jalan ini,” bentak Pak polisi.
“Oh saya melihat pak, tapi itu kan
gambarnya becak kosong tidak ada
pengemudinya. Becak saya kan ada yang
mengemudi, tidak kosong berarti boleh
masuk,” jawab si tukang becak.
“Bodoh, apa kamu tidak bisa baca?
Di bawah gambar itukan ada tulisan
bahwa becak dilarang masuk,” bentak Pak
polisi lagi.
“Tidak pak, saya tidak bisa baca,
kalau saya bisa membaca maka saya jadi
polisi seperti sampeyan, bukan jadi tukang
becak begini,” jawab si tukang becak sam-
bil cengengesan. Polisi itu pun akhirnya
ngeloyor meninggalkan tukang becak itu
begitu saja.
Becak
Mati Ketawa
Masuk
DilarangS
aya selalu tidak habis pikir dengan
semua konflik yang terjadi. Apakah
benar sebuah konflik terjadi karena
berawal dari perbenturan prinsip yang
mendasar?. Entah mengapa saya selalu
berpikir negatif bahwa konflik tersebut
hanya berkaitan kuasa dan kepentingan
belaka. Saya berharap bahwa pikiran saya
benar-benar salah.
Sebandingkah pengorbanan dan
harga yang harus dibayar bila memang
konflik itu tidak bisa dihindari?. Satu konflik
belum selesai di atasi, sudah muncul konflik
lainnya? Berapa banyaknya prinsip dasar
dalam hidup kita yang harus di’benarkan’
melalui pertumpahan darah?.
Gus Dur mengatakan, ‘bila
terjadi ketegangan antara agama dan
kebudayaan, maka carilah jalan tengahnya’.
Ketegangan yang selalu terjadi tidak perlu
ditangisi dan disesali, karena itu justru
memungkinkan kita untuk selalu berusaha
menjembataninya.
Lantas siapakah yang berperan
sebagai pihak yang menjembatani pihak-
pihak yang berkonflik?. Daripada kita
disibukkan dengan upaya memadamkan
konflik, kenapa tidak kita melakukan
tindakan pencegah terjadinya konflik?.
Saat ini yang dibutuhkan bukan
sekedar relawan di lapangan, tapi juga
laskar-laskar perdamaian yang terus
mengkampanyekan nilai-nilai persaudaraan
dan kemanusiaan. Laskar-laskar yang
terus menyuarakan nilai-nilai keadilan
dan kesetaraan. kita butuh laskar yang
menentramkan hati.
Ada sebuah pertanyaan yang perlu
dijawab oleh masing-masing diri kita,
apakah kita mau berperan sebagai laskar
perdamaian itu?. (*)
6. Gus Dur Bertutur
yang sama sekali baru dalam menilai dan
memahami tokoh KH. A. Mutamakkin
yang wafat pada abad ke 18 Masehi dan
dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati,
JawaTengah. Diantara keturunannya yang
masih aktif dalam kehidupan masyarakat
adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama),
KH. A. M. Sahal Mahfudz dan diri penulis
sendiri.
Salah satu sesepuh keluarga dan
keturunan beliau, dengan pengaruh
sangat besar semasa hidupnya adalah
KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia
tahun lalu (2001) dan dimakamkan di desa
tersebut. Sebagai penghafal al-Qur’an beliau
memimpin sebuah pesantren di desa tersebut
dan mengembangkan asketisme yang sangat
mengagumkan, dalam bahasa pesantren
dikenal dengan istilah akhlakul karimah.
Dalam menilik riwayat KH. A.
Mutamakin itu penulis juga menggunakan
Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton
Amangkurat IV dan Pakubuwono II di
Surakarta, yang dibahas oleh disertasi
Dr. Soebardi ; juga ceritera ketoprak dan
ceritera-ceritera lain, di samping berbagai
tulisan kaum pesantren tentang beliau dan
terutama tulisan-tulisan beliau sendiri. Yang
tidak sempat penulis gunakan, adalah tulisan
Dr. Kuntowidjoyo dari Universitas Gadjah
Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, yang
menggunakan referensi Serat Cebolek dan
sebuah buku tentang beliau yang diterbitkan
oleh LKiS, diYogyakarta, tulisan Dr. Abdul
Djamil, Rektor IAINWalisongo di Semarang.
P
ada pertengahan bulan Mei 2002,
penulis menyampaikan penilaiannya
atas diri KH. A. Mutamakkin dalam
sebuah seminar yang berlangsung di IAIN
(UIN,red) Syarif Hidayatullah, Ciputat.
Pendapat itu dikemukakan dalam seminar
untuk menyambut terbitnya sebuah buku
tentang diri beliau, yang memang benar-benar
merupakan karya berbobot ilmiah dan melihat
peranan beliau dari berbagai sudut pandang.
Baik dari aspek epistemologis, kesejarahan
maupun aspek sosiologis. Karya tersebut
memerlukan sebuah penanganan serius yang
harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.
Dalam seminar itu, penulis
mengemukakan sebuah sudut pandang
Oleh: Abdurrahman Wahid
Islam:
Apakah Bentuk
e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 6
Perlawanannya?
7. 7
Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin
telah memelopori sebuah pendekatan
baru dalam hubungan antara Islam dan
kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini
memerlukan penelitian mendalam, agar kita
menemukan strategi perjuangan Islam yang
tepat di negeri ini.
Perjuangan umat Islam dalam abad ke
18 Masehi itu, pada intinya ada yang berupa
sikap pro/menunjang pemerintah, dan sikap
menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum
Islam) padaumumnyabersikap mendukung
kekuasaan, mungkin atas dasar adagium
yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam
pemerintahan penguasa yang bobrok, masih
lebih baik daripada anarki semalam (sittuna
sanatan min imâmin fâjirin ashlahu minlailatin
bila sulthan).”
Sikap ini merupakan sebuah kenyataan
tidak adanya kontrol atas jalannya
pemerintahan, semuanya tergantung pada
kehendak sang penguasa. Para pelanggar
hukum, termasuk pelanggar fiqh/hukum
Islam terkena sanksi atau tidak secara legal
seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum
fiqh itu menetapkan KH. A. Mutamakin telah
melanggar syari’ah karena memasang lukisan
binatang secara utuh, dan sering menonton
wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci.
Oleh sebab itu ia harus dihukum.Tetapi
hukuman itu terserah pada sultan sebagai
penguasa.
Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan
tassawuf bersikap menentang penguasa.
Perbedaan sikap ini menjadi pemicu
pemberontakan di beberapa tempat dalam
abad tersebut. Dalam pandangan kaum
tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari
kebenaran formal agama, karena itu haruslah
dilawan secara terbuka. Sikap ini, sebenarnya
sama-sama bersifat politis, bila dibandingkan
dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas.
Hanya saja, jika yang satu menentang
maka yang lain mendukung. Sikap politis
inilah yang membuat penguasa waktu itu
banyak menghukum mati dan menyiksa para
pemimpin gerakan tarekat. Cerita ulama
yang mati dibakar atas perintah sultan adalah
sesuatu yang memilukan di waktu itu.
Gus Dur menjadi orang besar salah
satu alasannya adalah karena dia
menafkahkan hidupnya untuk melayani
orang lain.
Hal tersebut menjadi simpulan
ungkapan GusYahya CholilTsaquf
dalam kegiatan halal bi halal komunitas
Terong Gosong dan GUSDURian
yang diselenggarakan diYPI El Farab,
Singkalanyar, Prambon, Nganjuk (31/8).
Koordinator Nasional GUSDURian
berhalangan hadir dalam kegiatan
tersebut, posisinya diwakili oleh Aan
Anshory aktivis GUSDURian Jombang.
Hadir dalam kegiatan yang bertajuk
“Perjuangan Gus Dur untuk NKRI,
sejumlah tokoh agama dan masyrakat,
KetuaYayasanYPI El Faraby, Drs. KH.
Ma’lumYunus, SH, MM dan 80 aktivis se
Kabupaten Nganjuk.
Selain di Nganjuk, kegiatan
syawalan juga digelar oleh Sekretariat
Nasional Jaringan GUSDURian diWisma
GUSDURian sehari sebelumnya yang
dihadiri ratusan aktivis dan masyarakat
sekitar. (*)
Kongkow
Kongkow
NGANJUK
Syawalan Bersama
Terong Gosong
8. Kongkow
e-newsletter SELASAR /edisi 7/2013 8
HUT RI Lintas Iman
Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan, semua suku, agama, keraton, dan
ras yang ada di nusantara menyatakan bergabung dengan NKRI. Perbedaan melebur menjadi
satu dalam bingkai Indonesia. Semangat toleransi semacam itu harus tetap dikembangkan
dalam konteks kekinian.
Hal tersebut menjadi simpulan pembicaraan Koordinator Nasional GUSDURian, Alissa
Wahid saat menjadi pembicara dalam HUT RI Lintas Iman se-KabupatenTemanggung yang
digelar Majelis Jemaat GKITemanggung dan GUSDURian, Selasa (27/8) lalu.
Hadir dalam kegiatan tersebut, BupatiTemanggung, Bambang Sukarno,Wakil Bupati
Irawan Prasetyadi, Dandim 0706/Temanggung, Letkol Inf Ganardyto Herry,Wakapolres Kompol
Suwanto, para tokoh agama dan tokoh masyarakat di KabupatenTemanggung.
Pendeta Darmanto Lemuel sebagai tandem Alissa dalam dialog tersebut menambahkan,
kegiatan tersebut menjadi titik awal untuk mempertegas pengejawantahan kebhinekaan di
daerah penghasil tembakau ini. (*)
TEMANGGUNG
GUSDURian Harus Pintar Menulis
Menulis merupakan hal yang terlihat sederhana, namun akan bermakna penting untuk
menunjang gerakan. Untuk itu, anggota GUSDURian harus pandai menulis, terutama untuk
menunjang gerakan dan pembentukan opini.
Hal tersebut disampaikan Aan Anshori, Koordinator GUSDURian Jombang, saat pelatihan
Jurnalistik yang digelar di Aula Lakpesdam NU Jombang (18/7). “Komitmen GUSDURian
melakukan capacity building bagi anggotanya harus terus dilakukan,” tegasnya.
Kegiatan ini berlangsung selama satu setengah bulan yang dihelat setiap hari Minggu.
Proses selanjutnya, anggota dilatih untuk turun ke lapangan difasilitasi wartawan Koran Sindo,
Tritus Julan. “Event ini merupkan bagian transformasi dari tradisi oral menjadi tradisi tulis.
Perjuangan harus diabadikan melalui tulisan,” tegas Aan. (*)
JOMBANG