Musni Umar: Peranan Pemuda Dalam Perubahan dan Mengisi Pembangunan di Indonesia
Aceh Butuh ''Sekolah''
1. ACEH BUTUH “SEKOLAH”
Oleh : Munzami Hs
Sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda memproklamirkan perang dan pendudukan
atas Kerajaan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873 hingga tercapainya perjanjian damai
MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 lalu, Aceh telah melewati sebagian usianya
dengan rangkaian konflik multidimensi yang berkepanjangan, jauh dari kehidupan demokrasi
dan damai lebih kurang selama 132 tahun.
Konflik yang berkepanjangan ini dimulai dari perlawanan rakyat Aceh terhadap
imperialisme pemerintah kolonial Belanda hingga tahun 1942, kemudian perlawanan
terhadap pendudukan Jepang sampai tahun 1945, perlawanan DI/TII (sejak 20 September
1953) dibawah pimpinan Tgk Daud Beureu’eh sebagai akibat kekecewaan terhadap
Pemerintah Indonesia rezim Orde Lama, sampai gerakan perlawanan GAM dibawah
pimpinan Tgk Hasan Tiro selama hampir 30 tahun (sejak 4 Desember 1976) terhadap
Pemerintah Indonesia rezim Orde Baru dan Orde Reformasi hingga tercapainya MoU
Helsinki pada Agustus 2005 lalu, tepatnya 5 bulan pasca bencana Gempa dan Tsunami
melanda Aceh. Rangkaian perjalanan sejarah ini telah menjadikan Aceh yang dulunya sudah
terbiasa hidup dalam suasana konflik hingga bencana memasuki gerbang sejarah baru yaitu
kehidupan bernuansa perdamaian pasca damai Helsinki.
Secara biologis, pasca penandatanganan MoU Helsinki, Aceh akan menginjak usia 6
tahun pada 15 Agustus tahun ini. Jika dianalogikan sebagai seorang anak, maka Aceh hari ini
sedang berada pada usia kanak-kanak menjelang masuk pendidikan Sekolah Dasar. Artinya,
sebuah fase kehidupan baru telah dimulai di Aceh dalam nuansa damai dan demokratis atau
seperti yang digagas oleh berbagai elemen masyarakat Aceh mengenai sebuah tatanan ’’Aceh
Baru’’ yang damai dan demokratis menuju ’’Welfare State’’ atau Nanggroe Seujahtra.
2. Usia 6 tahun pasca damai merupakan momentum awal bagi Aceh untuk bangkit,
mempersiapkan diri dan menyusun kerangka pembangunan yang visionable dan sustainable
untuk sebuah masa depan 4.486.570 juta jiwa masyarakat Aceh (Data Hasil Sensus
Penduduk, BPS : 2010) yang demokratis,’’merdeka’’ (freedom) dan seujahtra, terutama
merdeka dari kebodohan dan merdeka dari kemiskinan, tentunya cita-cita sosial ini akan bisa
terwujud melalui pendidikan yang terintegrasi dan berkelanjutan karena sesuai dengan tujuan
pendidikan itu sendiri yaitu untuk merekayasa masa depan yang lebih baik, beradab, dan
bermartabat.
Jika kita melihat capaian pembangunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang terjadi di Aceh sampai hari ini, Aceh sebagai bagian dari NKRI dan
berstatus daerah otonomi khusus berdasarkan UUPA No.11 Tahun 2006 merupakan daerah
yang sangat kaya akan sumber daya alamnya tetapi juga sangat kaya dengan pengangguran
dan kemiskinan rakyatnya.
Berdasarkan ’’Laporan Pembangunan Manusia Aceh 2010’’ yang diterbitkan oleh
United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia disebutkan bahwa ; Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Aceh mengalami peningkatan lebih lambat (negatif) dalam
beberapa tahun terakhir, dengan menduduki peringkat ke-29 dari 33 provinsi di Indonesia
pada 2008/peringkat 5 terbawah(data terakhir UNDP), kemudian terkait dengan Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) Aceh masih berada pada angka 22%, lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata nasional sebesar 14 persen.
Ditinjau dari segi ukuran pendapatan Product Domestic Regional Bruto (PDRB) per
kapita, ’’LPM Aceh 2010’’ terbitan UNDP juga menunjukkan kalau Aceh merupakan salah
satu provinsi terkaya di Indonesia, tetapi pengeluaran per kapita menunjukkan bahwa
masyarakat Aceh berada diantara yang termiskin, begitu juga halnya dengan penyediaan
3. lapangan pekerjaan, pertumbuhan PDRB Aceh memberikan dampak yang lebih rendah
terhadap penciptaan lapangan kerja serta partisipasi tenaga kerja jauh di bawah rata-rata
nasional, artinya angka pengangguran di Aceh juga masih tinggi. Kondisi ini sangat
memprihatinkan bagi pembangunan Aceh di masa depan, apalagi jika melihat sumber
terbesar PDRB Aceh adalah berasal dari sektor migas yang terus mengalami penyusutan
akibat kehabisan cadangan yang diperkirakan habis beberapa tahun kedepan.
Kondisi kekinian Aceh, jika ditinjau dari aspek sosial-politik juga mengalami
pembangunan yang sangat memprihatinkan. Laporan berbagai media massa lokal juga
ditemukan berbagai tindakan kelompok-kelompok tertentu yang berpotensi merusak
perdamaian Aceh dan menodai demokrasi yang sedang dibangun Aceh. Tindakan kekerasaan
terhadap masyarakat masih menghantui akan pahitnya masa-masa konflik dulu, beberapa
contoh diantaranya ; pemukulan terhadap wartawan di Padang Tiji – Pidie, tindak kekerasan
yang dialami seorang penceramah di Bambong – Pidie, penyebaran aliran sesat yang
menghebohkan Aceh akhir-akhir ini hingga isu teroris. Suhu politik juga semakin memanas
menjelang masa transisi kekuasaan Eksekutif (Gubernur, Bupati dan Walikota) jelang
Pilkada, salah satu diantaranya soal kisruh mengenai UU calon independen yang belum ada
titik terang hingga hari ini.
Berbagai problematika ekonomi, sosial, dan politik di Aceh hari ini, tentu menjadi
tugas bersama semua elemen masyarakat Aceh sebagai stakeholder dari ’’seorang anak yang
akan berusia 6 tahun’’(baca ; Aceh) dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Seluruh stakeholder harus memahami peran, tanggung jawab, dan berpartisipasi
aktif bagi pembangunan Aceh kedepan. Masyarakat politik (Pemerintah/Birokrat, Parpol, dan
Politisi), masyarakat ekonomi (Kadin, Hipmi, Pengusaha, dll), dan masyarakat sipil (LSM,
Ormas, OKP, Civitas Akademika, Mahasiswa, dll.) harus berpartisipasi aktif sesuai dengan
4. perannya masing-masing untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang damai dan
demokratis menuju Nanggroe yang Seujahtera.
Masyarakat Aceh tentu memahami bahwa di era damai ini, musuh bersama kita hari
ini bukan lagi bangsa kulit putih Belanda yang pernah menjajah selama 69 tahun (1873-
1942), atau negeri matahari terbit Jepang yang pernah menduduki Aceh selama 3 tahun
(1942-1945), maupun Pemerintah Pusat yang dulunya pernah mengkhianati dan
mengecewakan rakyat Aceh.
Musuh bersama kita yang sesungguhnya hari ini terutama adalah kemiskinan dan
kebodohan, serta elemen-elemen yang ingin merusak perdamaian Aceh saat ini yang sudah
berusia hampir 6 tahun, ibarat seorang anak kecil berusia 6 tahun yang baru menempuh
pendidikan Sekolah Dasar, begitu juga dengan usia perdamaian Aceh hari ini yang menjelang
usia 6 tahun pada tanggal 15 Agustus nanti, tentu harus dijaga bersama oleh seluruh elemen
masyarakat melalui pendidikan dan pencerdasan publik agar tidak ada lagi slogan di
masyarakat ’’Geuyue Jak Sikula Gadoh Kalop Lam Puep’’ seperti yang disampaikan dalam
Film Aceh ’’Eumpang Breuh’’, agar masyarakat Aceh lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu
publik apalagi dalam menyikapi proses pelaksanaan Pilkada untuk menentukan pemimpin
pemimpin terbaik Aceh kedepan.
Terakhir sedikit mengingat kata-kata Teungku Hasan Muhammad di Tiro bahwa :
’’Biaya perang sangat mahal akan tetapi biaya memelihara perdamaian jauh lebih mahal.
Peliharalah kedamaian ini untuk kesejahteraan kita semua’’. Semoga menjadi tulisan yang
bermanfaat bagi kita semua masyarakat Aceh. Amin!
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah.
Artikel ini dimuat di kolom opini Harian Serambi Indonesia, 11 Juni 2011.