SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 116
PROPAGANDA IDEOLOGI ISLAM
Pemikiran Partai Ideologi Islam
Sesungguhnya realitas buruk umat ini perlu diubah. Perubahan itu
seharusnya dilakukan secara politis melalui sebuah partai (kutlah) politik yang
ditegakkan di atas dasar ideologi (mabda’) Islam. Oleh karena itu harus ada
penelitian terhadap berbagai karakteristik partai politik ideologi Islam yang ada,
berikut faktor-faktor pendukungnya. Di samping itu harus pula dilakukan penelitian
terhadap sejumlah partai politik terdahulu dalam rangka mengetahui sebab-sebab
kegagalan dan kehancurannya, terutama menyangkut aspek keorganisasiannya.
Hal ini termasuk di antara materi yang mesti ada dalam pemikiran (tsaqâfah)
kolektif organisasi/partai.
Umat Islam saat ini hidup di dalam struktur masyarakat yang pemikiran,
perasaan, dan peraturannya campur-aduk. Oleh karena itu, perjuangan untuk
mendirikan Daulah Islamiyah pasti akan berhadapan vis a vis dengan masyarakat
berikut seluruh realitas, komponen, dan apa saja yang berpengaruh di dalamnya; di
samping akan berhadapan dengan bagaimana cara mengubahnya agar tercipta
suatu masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang bersifat
satu warna dan khas Islam.
Realitas individu tidak sama dengan realitas masyarakat. Komponen-
komponen pembentuk individu tentu berbeda dengan komponen-komponen
pembentuk masyarakat. Berdasarkan hal ini, hukum-hukum syariat yang berkaitan
dengan individu berbeda pula dengan hukum-hukum syariat yang berkaitan
dengan masyarakat.
Aktivitas partai politik ideologi Islam berkaitan dengan transformasi sosial
atau perubahan masyarakat. Oleh karena itu, ia harus mengadopsi secara rinci
semua hal yang berkaitan dengan perubahan masyarakat, yakni berupa berbagai
pemikiran dan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbaikan realitas
masyarakat ini.
~ 2 ~
Pada saat yang sama, organisasi/partai dakwah ideologi Islam harus
memberikan petunjuk kepada setiap individu, baik yang menjadi anggotanya
maupun yang menjadi anggota masyarakat, bahwa mereka wajib mengadopsi
setiap hukum yang berkaitan dengan aktivitas dan perjuangannya. Hukum-hukum
yang dimaksud, baik yang berkaitan dengan upaya mendirikan masyarakat Islam
yang terkait dengan dirinya sebagai fardhu kifayah—yang tidak ada uzur baginya
untuk meninggalkannya—ataupun yang berkaitan dengan pribadinya ketika partai
politik ideologi Islam ini menyeru dirinya untuk terikat dengan syariat dalam
masalah muamalat, ibadat, dan akhlak, yang seluruhnya tegak di atas landasan
akidah Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
Umat Islam saat ini banyak mempergunakan akal mereka yang telah
teracuni oleh pemikiran Barat dan mengikuti hukum-hukum akal mereka dalam
menentukan kemaslahatan. Untuk dapat meneladani dengan tepat dan benar-
benar konsisten jalannya suatu aktivitas kita harus berhadapan dengan akal dan
faktor-faktor penyusunnya. Dengan begitu akan diketahui batas-batas
penggunaannya sekaligus cara-cara penggunaannya dalam masalah akidah,
hukum-hukum syariat, pemikiran-pemikiran dan realitas yang ada.
Aktivitas dakwah ini ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan
menegakkan negara Khilafah Islam. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengetahuan mengenai perjalanan Rasulullah Saw. di Makkah dan berbagai
aktivitas yang beliau lakukan, yang mengantarkan beliau pada tegaknya Daulah
Islamiyah yang awalnya hanya seluas Madinah. Dari sinilah kita dapat meneladani
beliau. Aktivitas perjuangan ini juga menuntut adanya upaya pembedaan antara
hukum-hukum mengenai metode (tharîqah), sarana (wasîlah), dan strategi (uslûb)
dakwah ideologi Islam, sehingga kita benar-benar tepat dalam meneladani
Rasulullah Saw.
Aktivitas dakwah ideologi Islam ini juga ditujukan untuk menegakkan
hukum Allah dan mengganti sistem yang ada sekarang ini. Oleh karena itu,
diperlukan adanya monitoring (kontrol) politik terhadap setiap aktivitas penguasa,
sekaligus adanya pemahaman mengenai realitas mereka, keterlibatan mereka, dan
politik negara-negara besar yang mengendalikan sepak terjang mereka, serta
adanya upaya untuk membongkar segala strategi mereka.
~ 3 ~
Sesungguhnya negeri-negeri Islam saat ini tunduk pada sistem kufur —
khususnya pada peradaban Barat— dalam sistem pemikiran, sosial, ekonomi dan
politik. Oleh karena itu, perjalanan dakwah ideologi Islam untuk mendirikan Daulah
Khilafah Islamiyah akan berhadapan dengan sejumlah ideologi, akidah, serta
pemikiran dan sistem-sistem non-Islam yang dilahirkannya.
Sesungguhnya tujuan syariat adalah diterapkannya Islam dan mengemban
Islam sebagai risalah ke seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pemaparan mengenai pemerintahan Islam dan Daulah Khilafah Islamiyah serta
bentuk negaranya, berikut pilar-pilarnya, strukturnya, UUD-nya, dan pemikiran
umum yang diterapkan di dalamnya; diperlukan adanya pemaparan bentuk-bentuk
pemerintahan yang ada sekarang ini agar bisa dilihat adanya perbedaan antara
Daulah Khilafah Islamiyah dan negara sistem kufur serta agar umat Islam tidak
terpengaruh dengan segala bentuknya; serta diperlukan adanya pemaparan
mengenai dasar negara.
Dengan jalan (manhaj) semacam ini, partai politik ideologi Islam harus
menempuh perjalanan dakwahnya dengan cara menentukan terlebih dulu
pemikiran (tsaqâfah) kolektifnya. Pemikiran kolektif inilah yang dipraktikkan dan
didakwahkan di tengah-tengah masyarakat dengan cara yang dituntut oleh
dakwah yang ditujukan dalam rangka mengembalikan kehidupan Islam. Kehidupan
Islam terwujud dengan penegakkan Khilafah Islamiyah yang memerintah umat
Islam dan non-Muslim —yang menjadi rakyatnya— dengan Islam. Dari sinilah
risalah Islam kemudian disebarluaskan ke luar negeri melalui aktivitas dakwah dan
jihad yang dilakukan oleh negara Khilafah.
Urgensi Akidah Islam
Sebagaimana diketahui, akidah Islam harus menjadi motivator kerja partai
politik ideologi Islam, dan upaya mendirikan pemerintahan Islam yang menerapkan
hukum-hukum Allah harus menjadi tujuannya sehingga kehidupan Islam terwujud.
Oleh karena itu, pemikiran kolektif yang diadopsi oleh partai politik Islam wajib
diambil dalam bentuknya yang terikat kuat dengan akidah. Cara seperti itu akan
mewujudkan rasa tanggung jawab, perhatian, kesungguhan, semangat yang
berapi-api, serta pengorbanan pada para pengemban dakwah atau para aktivis
partai ideologi Islam. Cara seperti ini juga, pada saat yang sama, akan menjadikan
~ 4 ~
seorang Muslim mau menanggung berbagai kesulitan yang menghadangnya, dan
tidak akan menjadikan pengemban dakwah menunggu ‘ucapan terima kasih’ dari
manusia.
Yang akan terjadi pada dirinya justru adalah rasa khawatir terhadap Hari
Kiamat. Dengan begitu, dia senantisa ridha dengan segala kesulitan aktivitas yang
dijalaninya serta keterhalangan dirinya dari kesenangan dan kenikmatan dunia.
Semua itu dilakukan semata-mata demi memperoleh keridhaan Tuhannya serta
demi memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan akhirat.
Dijadikannya akidah Islam sebagai asas pemikiran partai politik ideologi
Islam juga meniscayakan akidah Islam sebagai satu-satunya asas perubahan
masyarakat. Artinya, perubahan sosial yang diupayakan semata-mata harus
didasarkan pada akidah Islam; bukan karena faktor kebencian terhadap kezaliman
yang meliputi masyarakat, atau agar masyarakat terlepas dari kebodohan, atau
semata-mata demi memperbaiki keadaan.
Dengan kata lain, faktor yang mendorong seorang Muslim untuk
berdakwah dan yang mendorong kaum Muslim lainnya untuk menyambut seruan
dakwahnya adalah pemikiran-pemikiran tentang keimanan. Hal inilah yang, pada
dasarnya, merupakan manhaj yang dikehendaki oleh Islam. Pemikiran tentang
keimanan yang dijadikan asas pemikiran kolektif bagi perubahan sosial ini wajib
disampaikan dalam bentuk yang mampu mendorong tercapainya tujuan yang telah
dicanangkan. Demikian pula dengan akidah Islam dan hukum-hukumnya serta
penelitian terhadap realitas yang ada; wajib disampaikan dalam bentuk yang dapat
mendukung tercapainya tujuan yang ada.
Walhasil, pemikiran kolektif partai harus senantiasa diikat dengan akidah
Islamiyah, dengan dalil-dalil syariat, dan yang disampaikan dengan cara yang dapat
merealisasikan tujuan syariat. Tujuan tersebut adalah terwujudnya penyembahan
kepada Allah secara praktis dengan jalan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah,
yakni merealisasikan bahwa kedaulatan hanya milik Allah semata. Atas dasar
inilah, para anggota partai politik ideologi Islam harus dibina dan dikaderisasi.
Akidah Islam, sebagaimana dipahami, menduduki posisi puncak; laksana
kepala bagi tubuh, dan jantung bagi anggota-anggota tubuh. Akidah Islam
~ 5 ~
merupakan satu-satunya pengatur dan pengendali segala perkara sekaligus
penjaga segala sesuatu.
Akidah Islam ini, ketika disampaikan, harus mampu mendorong manusia ke arah
pengesaan Allah Swt. dalam masalah ibadah maupun hukum (tasyrî‘). Artinya,
harus diyakini, bahwa tidak ada seorangpun selain-Nya yang memiliki hak ini.
Allahlah satu-satunya Tuhan dan satu-satunya Pencipta. Dialah Yang Mahatahu
atas semua perkara lahir maupun batin. Dialah satu-satunya Yang berhak
membuat/menetapkan syariat dan Yang berhak melakukan pengaturan. Karena
manusia secara fitrah merasakan bahwa dirinya lemah, serba kurang,
membutuhkan yang lain, serta terbatas, maka sesungguhnya upaya dirinya
mencari Tuhan dimaksudkan agar Tuhan memberinya petunjuk jalan yang benar
dan mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Rasulullah Saw. dari kalangan hamba-
Nya yang terpilih untuk membawa risalah-Nya yang akan memberikan petunjuk
jalan yang lurus kepada orang-orang yang mengikutinya. Allah meminta kepada
kita agar hanya mengikuti Rasulullah dalam semua perkara yang disampaikannya
dari Tuhannya. Rasululullah Saw. adalah ma‘shûm (terpelihara dari dosa).
Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya merupakan risalah bagi umat manusia
seluruhnya yang menjadi petunjuk, cahaya, rahmat, nasihat, dan obat bagi jiwa-
jiwa manusia. Allah telah menjanjikan kepada mereka kesenangan yang abadi jika
mereka beriman dan taat kepada-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengancam mereka
dengan Neraka Jahanam jika mereka menolak perintah-Nya. Manusia adalah
makhluk yang diciptakan agar hanya beribadah kepada Allah dengan hanya
mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulllah Saw.
Umat Islam harus diberikan penjelasan bahwa Islam mengikat realitas manusia
dengan keimanannya kepada Zat Yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah
Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur; juga pada apa yang ada pasca kehidupan
dunia, yaitu Hari Kebangkitan serta adanya perhitungan, pahala, dan dosa. Hal ini
harus disampaikan dengan cara yang dapat menjelaskan hubungan ini. Harus
dijelaskan pula, bahwa siapapun yang memutuskan atau memisahkan
hubungan/keterikatan ini tidak akan mampu menegakkan pendapatnya di atas
hujjah yang kuat atau bukti yang nyata, sehingga pendapatnya tergolong pendapat
yang kufur.
~ 6 ~
Akidah Islam wajib disampaikan dengan cara yang dapat menghidupkan umat dan
mendorongnya untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Akidah Islam wajib dijelaskan kepada umat Islam sebagai sesuatu yang layak untuk
menghadapi berbagai pemikiran kufur yang ada sekarang ini.
Harus dijelaskan kepalsuan setiap pemikiran kontemporer seperti kapitalisme,
nasionalisme/ ashobiyah, atau patriotisme. Harus pula dilakukan upaya untuk
membandingkan antara pemikiran-pemikiran Islam dan pemikiran-pemikiran
lainnya untuk memperoleh hasil, yaitu meruntuhkan setiap pemikiran selain Islam
dan selanjutnya meruntuhkan pula setiap institusi yang berdiri di atasnya.
Dari sini kemudian dijelaskan, bahwa hanya Islam yang benar dan layak untuk
seluruh dunia (karena keuniversalan akidah dan sistemnya) dan hanya pada Daulah
Islamiyah Islam dapat direpresentasikan secara utuh. Di dalam medan semacam
inilah jamaah ideologi Islam berusaha untuk menjatuhkan setiap propaganda,
slogan-slogan yang digelar, papan-papan pengumuman, dan seruan-seruan palsu
yang ditanamkan oleh orang-orang kafir di benak umat Islam seperti slogan,
“Kebebasan kebudayaan dan pemikiran,” “Berikan apa yang menjadi hak kaisar
kepada kaisar dan berikan apa yang menjadi hak Allah kepada Allah,” “Tanah airku
selalu benar.”
Hendaknya partai politik ideologi Islam beraktivitas untuk menjauhkan setiap
pemikiran Barat dari benak umat Islam dan dari kehidupan mereka, yaitu dengan
menyangkal berbagai pemikiran destruktif yang berkembang seperti:
“Pembaharuan Syariat,” “Yurisprudensi Syariat,” “Elastisitas syariat untuk
merespon perkembangan zaman (menurut versi Barat),” “Pemisahan agama dari
politik,” “Tidak ada politik dalam agama,” “Tidak bisa diingkari adanya perubahan
hukum-hukum karena adanya perubahan waktu dan tempat,” dan lain-lain. Selain
meruntuhkan semua propaganda ini, organisasi/partai dakwah ideologi Islam juga
mesti menanamkan pemikiran-pemikiran yang benar yang berlandaskan pada —
sekaligus lahir dari— konsep syahadat “Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh.”
Secara syar‘î, dapat dimaklumi, bahwa kalimat Lâ ilâha illâ Allâh
Muhammad Rasûlullâh —baik secara ilmu maupun amal— tidak akan bersih berada
~ 7 ~
di dalam jiwa sampai segala pemikiran selainnya dibuang dan setiap keimanan
kepada selain-Nya dijauhkan dari dalam jiwa itu. Allah Swt. berfirman:
“Oleh karena itu, siapa saja yang ingkar (kufur) terhadap thâghût dan
beriman kepada Allah, berarti ia telah berpegang pada tali yang amat kuat
dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“
(TQS. al-Baqarah [2]: 256)
Dalam ayat di atas, kata kufur terhadap thâghût supaya tidak menempel
satu noda syirik atau satu kotoran kekufuran pun dalam jiwa, sehingga setelah itu
datang keimanan yang ikhlas. Inilah keadaan yang dialami oleh orang yang
berpegang teguh pada tali yang kukuh (‘urwah al-wutsqâ).
Allah Swt. berfirman:
“Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain
Allah, serta mohonkanlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-
orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kamu
berusaha dan tempat tinggalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 19).
Frasa lâ ilâha berarti bahwa setelah meneliti dan memikirkan, muncullah
‘ilm (baca: keyakinan) —yang bermakna negasi— bahwa sesungguhnya tidak ada
‘tuhan’ yang ada sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Kemudian, frasa illâ
Allâh merupakan afirmasi (itsbât) bahwa ketuhanan (ulûhiyyah) hanyalah hak/milik
Allah semata. Artinya, kalimat di atas menegasikan tuhan selain Allah, dan
sekaligus mengafirmasikan (mengukuhkan) bahwa hanya Allah yang layak disebut
Tuhan.
Dalam perspektif bahasa Arab, kalimat semacam ini adalah bentuk pengukuhan
(itsbât) yang paling kuat dan memiliki fungsi untuk memberikan
pembatasan/pengkhususan (al-hashr). Oleh karena itu, bukan pemikiran sosialis,
nasionalisme/ashobiyah, atau patriotisme yang akan menyelamatkan atau
merupakan pemikiran yang benar. Alasannya, pemikiran-pemikiran itu semuanya
adalah rusak dan batil, menyengsarakan manusia, dan bukan membahagiakannya.
Jadi, selain Islam dan syariat-Nya, tidak ada yang lain yang merupakan petunjuk,
cahaya, dan penyembuh.
Partai politik ideologi Islam mesti melakukan pembinaan atas para
anggotanya sekaligus membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islâmiyyah)
~ 8 ~
mereka. Caranya adalah dengan menyampaikan kepada mereka sejumlah tolok
ukur/ standar yang benar dan memuaskan jiwa-jiwa mereka. Dengan begitu,
mereka suka untuk senantiasa terikat dengan syariat, dan benci jika melanggarnya;
mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat, dan benci jika berhukum
dengan selainnya. Dengan begitu pula, cara berpikir mereka dalam memandang
perkara-perkara yang ada selalu terjaga dengan sejumlah tolok ukur dan pemikiran
yang bersumber dari syariat; kecenderungan mereka mengikuti kecenderungan
Islam; serta keridhaan dan kebencian mereka semata-mata karena alasan syar‘î.
Partai politik ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran
ini kepada para pengikutnya melalui sejumlah halqah murakkazah (pembinaan
intensif). Halaqah ini dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan para aktivis
partai ideologi Islam untuk memimpin dan melaksanakan aktivitas dakwah ideologi
Islam. Hal itu dilakukan setelah mereka ikut terjun ke dalam realitas bersama partai
untuk mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam.
Partai politik ideologi Islam juga mesti berusaha memahami realitas yang
ada dengan cara berpikir. Ia juga mesti menyampaikan kepada para aktivisnya
proses berpikir yang dipergunakannya. Dengan demikian, partai ideologi Islam
berperan sebagai pembimbing bagi para aktivisnya mengenai bagaimana cara
mereka berinteraksi dengan realitas, serta bagaimana cara mereka untuk sampai
pada pemahaman Islam mengenai sejumlah realitas yang ada yang menempati
posisi sebagai obyek hukum (manâth al-hukm) baginya; seperti definisi akal,
kebutuhan fisik (hâjât al-‘udhawiyyah), naluri-naluri (gharâ-iz), kebangkitan
(nahdhah), masyarakat (mujtama‘), peradaban/kultur (hadhârah), kebudayaan
material (madaniyyah), dan lain-lain. Semua itu tentu saja mesti didefinisikan
karena adanya kebutuhan untuk mengetahui hakikatnya yang sangat berkaitan
dengan banyak hukum syariat.
Partai politik ideologi Islam harus memahami hukum-hukum syariat melalui
pemahaman terhadap dalil-dalilnya. Dari dalil-dalil itulah kemudian digali sejumlah
hukum yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai masalah atau perbaikan
realitas. Hal ini tentu saja membutuhkan pengadopsian (tabanni) sejumlah
perangkat ilmu keislaman. Ilmu inilah yang memungkinkan partai mampu
memahami nash-nash syariat sehingga, pada gilirannya, ia mampu memahami
hukum-hukum syariat dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, partai ideologi
Islam wajib mempergunakan metode penggalian dalil (istidlâl), khususnya di
~ 9 ~
hadapan para aktivisnya dan juga umat Islam secara umum. Artinya, partai ideologi
Islam mesti mengajarkan kepada mereka, sekaligus menanamkan di dalam jiwa-
jiwa mereka, metode Islam yang benar di dalam memahami sekaligus menggali
hukum-hukum syariat.
Partai politik Islam, ketika pemikiran-pemikiran Islam yang diadopsinya
ditransformasikan kepada para aktivisnya, juga wajib memperhatikan bahwa aspek
amaliahnyalah yang dijadikan tujuan. Jadi, pemikiran kolektif partai ideologi Islam
bukan sekadar untuk dipelajari, dikembangkan sebagai pengetahuan, atau semata-
mata ditujukan agar para aktivisnya mencapai derajat ilmu yang mumpuni. Akan
tetapi, lebih dari itu, pemikiran kolektif ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi
pergumulan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî)
melawan konsep-konsep kufur, sekaligus untuk mengembannya sebagai
kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyyah) di dalam diri umat dalam upaya
mendirikan sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah yang akan
membumikannya.
Partai politik Islam juga wajib menerjemahkan pemikiran kolektifnya secara
praktis dan mendetail. Partai ideologi Islam tidak boleh mengatakan sesuatu tetapi
melakukan sesuatu yang sebaliknya. Jika melakukan hal yang demikian, niscaya
hanya kebencian yang besar di sisi Allah terhadap partai, karena ia mengetahui
yang haq tetapi melaksanakan hal yang sebaliknya.
Memang, partai politik Islam harus mengadopsi pemikiran (tsaqâfah) Islam
—sebagai pemikiran kolektif partai— dan demikian juga para aktivisnya. Partai
ideologi Islam harus menjadikan pemikiran kolektifnya sebagai asas bagi mereka
dan menanamkannya dalam jiwa para aktivisnya. Dari sini, partai politik Islam
dapat terjun ke tengah-tengah umat dengan membawa pemikiran-pemikiran Islam
yang pokok, yakni dengan cara yang dapat membentuk opini umum terhadap
pemikiran-pemikiran tersebut.
Partai politik Islam terjun ke tengah-tengah umat dengan sejumlah
pemikiran Islam mengenai akidah dan hukum-hukum syariat yang pokok dalam
bentuk yang dapat menyatukan umat. Hal ini dilakukan untuk mencapai satu
tujuan, yaitu menjadikan syariat Allah sebagai satu-satunya hakim (pemutus
perkara). Dengan begitu, partai ideologi Islam telah memiliki perspektif yang
~ 10 ~
benar, yang dianggap sebagai awal kembalinya kepribadiannya yang telah lama
hilang.
Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok yang
dimaksud adalah seperti pemikiran-pemikiran yang mendorong umat pada
pengesaan Allah dalam hukum (tasyrî‘) dan ibadah, yang mengarahkan pada
pemahaman bahwa Rasulullah Saw. adalah satu-satunya yang boleh diikuti, yang
merangsang umat untuk selalu merindukan Surga, dan yang menimbulkan rasa
ngeri terhadap Neraka. Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat
pokok ini juga harus mengandung penjelasan bahwa: usaha untuk mendirikan
Daulah Khilafah Islamiyah adalah salah satu kewajiban paling penting di antara
sejumlah kewajiban penting lainnya dalam Islam, karena banyaknya kewajiban lain
yang bergantung padanya; umat Islam adalah umat yang satu, berbeda dengan
umat yang lain, sehingga adanya perbedaan ras atau sistem non-Islam yang
berkuasa atas mereka tidak boleh menjauhkan jarak mereka; umat Islam adalah
bersaudara sehingga bukan ikatan patriotisme atau nasionalisme/ashobiyah yang
menguasai mereka; jauhnya umat Islam dari hukum-hukum syariatlah yang
mewariskan kehinaan dan kerendahan bagi mereka; umat Islam wajib untuk terikat
dengan syariat yang berasal dari Tuhan mereka dan mereka tidak boleh melakukan
satu perbuatan pun kecuali setelah mengetahui dalilnya.
Pemikiran-pemikiran yang seperti inilah yang akan menciptakan suatu
lahan yang subur bagi tumbuhnya pemahaman dan upaya untuk hukum-hukum
Islam yang matang dan bernas.
Cita-cita kita adalah bagaimana mewujudkan metode dakwah/perjuangan
yang selamat, yang memang diperintahkan oleh syariat, di dalam menentukan
pemikiran kolektif ini. Dengan berpedoman pada metode tersebut, proses
pengadopsian pemikiran tersebut berlangsung dengan sempurna.
Dengan demikian, berarti telah lahir di dalam partai ideologi Islam sejumlah
besar pemikiran dan pendapat Islam serta hukum-hukum syariat yang harus
dimilikinya. Semua itu diperlukan sebagai bekal untuk menerjuni pergulatan
pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî),
mewujudkan pemikiran-pemikiran yang terkonsentrasikan (tsaqâfah murakkazah)
dalam diri orang-orang yang bersedia memikul tanggung jawab dakwah ideologi
Islam ini di atas pundak-pundak mereka, serta menciptakan opini umum di tengah-
~ 11 ~
tengah umat sehingga mereka mau menerima pemikiran-pemikiran yang diemban
oleh partai ideologi Islam.
Inilah rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik Islam.
Jika partai ideologi Islam tetap konsisten dengan batasan-batasan di atas, ia tidak
akan ditimpa malapetaka seandainya ia membuat sejumlah kekeliruan pada
sebagian hukum-hukum cabang, atau ketika partai ideologi Islam berbeda
pendapat dengan partai lainnya. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang wajar dan
bukanlah hal yang aneh.
Inilah pemikiran (tsaqâfah) yang dibutuhkan oleh partai politik Islam agar
berhasil mencapai cita-citanya. Keberhasilan tersebut akan direpresentasikan oleh
adanya penerapan syariat Allah dan tersebar luasnya dakwah ideologi Islam ke
seluruh pelosok dunia.
Keharusan Mengadopsi Pemikiran Islam yang Dibutuhkan Untuk Menjalankan
Aktivitas Kepartaian
Sebagaimana telah dimaklumi, sesungguhnya yang dituntut oleh syariat
bukanlah semata-mata keharusan adanya suatu partai, tetapi, lebih dari itu, adalah
adanya partai ideologi Islam yang mampu melaksanakan tugas dakwah ini. Dalil-
dalil mengenai keharusan adanya partai dakwah ideologi Islam telah menjelaskan
hal itu kepada kita.
Allah Swt. berfirman:
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-
Khayr (al-Islâm), menyuruh kebajikan, dan mencegah kemungkaran.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)
Melalui ayat di atas, syariat Islam telah mewajibkan umat Islam untuk
mendirikan partai politik yang berideologikan Islam serta mengemban sejumlah
pemikiran dan hukum-hukum syariat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya,
yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian
melakukan transformasi kekuasaan (istikhlâf).
~ 12 ~
Yang dimaksud tentu bukan sekadar adanya sebuah partai semata; tetapi adanya
partai yang dapat merealisasikan tujuannya yaitu mendakwahkan Islam,
memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Lebih dari itu, yang
dituntut juga bukan sekadar adanya partai yang mendakwahkan Islam,
memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran; tetapi partai yang
melaksanakan semua itu dalam upaya merealisasikan tujuan lain yaitu tampil ke
permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan
perubahan (dan penerapan) kekuasaan (istikhlâf).
Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak halal atas tiga orang yang berada di muka bumi kecuali mereka
mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir (pemimpin).”
(HR. Ahmad ibn Hanbal)
Hadis di atas menunjukkan, bahwa setiap kerja kolektif yang dituntut atas
umat Islam untuk dilaksanakan harus segera direalisasikan sampai terlaksana,
seperti adanya seorang amir yang wajib ditaati dalam hal yang karenanya dia
diangkat, dan adanya partai yang memiliki komitmen terhadap perintah amir.
Dengan adanya kerja kolektif ini, akan dihasilkan apa yang memang dikehendaki
sesuai dengan tuntutan syariat.
Kita telah memahami bahwa Allah Swt. telah membebankan banyak
kewajiban atas umat Islam, termasuk yang pelaksanaannya bagi Khalifah semata,
bukan yang lain. Konsekuensinya, umat Islam harus mengangkat seorang Khalifah
untuk menegakkan berbagai kewajiban tersebut. Kitapun telah memahami bahwa
pengangkatan Khalifah dan penegakkan ke-Khilafahan tidak mungkin dapat
direalisasikan kecuali dengan adanya partai Islam. Implikasinya, harus ada partai
Islam yang didirikan dalam rangka mengangkat Khalifah dan untuk menegakkan
keKhilafahan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada kaidah syariat berikut:
Selama suatu kewajiban tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali
dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan partai Islam terkait erat
dengan adanya tujuan syariat yang dituntut. Partai yang dimaksud bukanlah partai
yang didirikan untuk sekadar mengemban dakwah Islam atau tabligh semata.
Lebih dari itu, partai Islam yang ada haruslah ditujukan dalam rangka menegakkan
Islam di dalam realitas kehidupan umat Islam melalui pendirian Daulah Khilafah
~ 13 ~
Islamiyah. Daulah Islamiyahlah yang dianggap sebagai metode syariat untuk
menerapkan setiap hukum Islam.
Partai ideologi Islam mengadopsi seluruh pemikiran, hukum, dan pendapat —yang
sesuai dengan syariat Islam— yang dibutuhkan bagi aktivitas perjuangannya,
sekaligus terikat dengan ketiganya; baik dalam pemikiran, perkataan, maupun
tindakan. Alasannya, di antara fungsi pengadopsian (tabanni) —dalam pemikiran,
hukum, dan pendapat— adalah untuk mempersatukan para anggota partai ideologi
Islam.
Sebuah partai yang para anggotanya memiliki berbagai pemikiran dan menganut
berbagai ijtihad —meskipun mereka bersatu dalam satu tujuan dan dalam Islam
secara umum— tidak bisa tidak, akan mudah ditimpa oleh keretakan dan
perpecahan. Bahkan, lebih jauh, akan muncul di dalam tubuh partai itu sejumlah
‘partai kecil’ dan akan lahir sejumlah ‘jamaah’ di dalam jamaah; dakwahnya akan
berubah dari upaya mengajak orang lain berjuang secara bersama-sama untuk
menegakkan kewajiban ini ke arah upaya mengajak masuk ke dalam kelompoknya;
mereka akan saling bertengkar; dan masing-masing menginginkan agar
pendapatnyalah yang dipakai di dalam partai.
Dari sini, tampak jelas, betapa penting adanya adopsi (pemikiran, hukum,
pendapat) dan legislasinya bagi partai ideologi Islam. Alasannya, kesatuan partai
ideologi Islam sangat dituntut oleh syariat, dan tidak ada yang dapat menjaga
kesatuan partai ideologi Islam kecuali dengan adanya adopsi (pemikiran, hukum,
pendapat) yang dibutuhkan partai ideologi Islam dalam aktivitas perjuangannya.
Dalam hal ini, para aktivis partai ideologi Islam jelas wajib juga untuk mengadopsi
apa yang telah diadopsi oleh partainya. Adopsi (tabanni) merupakan tuntutan
syariat berdasarkan kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib.”
Selama berbagai pemikiran, hukum, dan pendapat untuk beraktivitas pada
sebuah partai ideologi Islam sesuai dengan syariat serta selama para aktivisnya
menaruh kepercayaan penuh pada partai ideologi Islam, maka partai boleh
mewajibkan para aktivisnya untuk mengikatkan diri secara penuh pula dengan apa
yang telah diadopsinya. Hal ini didasarkan pada kebolehan seorang bagi Muslim
untuk meninggalkan pendapatnya dan beramal dengan pendapat orang lain.
~ 14 ~
Utsman ibn ‘Affan r.a., misalnya, ketika dibaiat menjadi Khalifah, rela
meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil ijtihad Abu Bakar dan ‘Umar r.a.,
meskipun pendapat keduanya bertentangan dengan pendapatnya. Para sahabat
telah menyetujui sikap ‘Utsman dan mereka pun membaiat ‘Utsman.
Hanya saja, hal ini merupakan sesuatu yang boleh, bukan suatu kewajiban.
Alasannya, Sayidina ‘Ali r.a. tidak mau meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil
pendapat Abu Bakar dan ‘Umar, sementara tidak ada seorangpun dari para sahabat
yang mengingkari hal itu.
Ada pula ada hadis sahih dari asy-Sya‘bi yang menyebutkan bahwa Abu Musa
pernah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat Ali; Zaid
meninggalkan ijtihadnya dan mengambil pendapat ‘Ubay ibn Ka‘ab; ‘Abdullah
meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat ‘Umar. Banyak pula hadis
yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar pernah meninggalkan pendapat
mereka dan mengambil pendapat ‘Ali. Hal ini menunjukkan bolehnya seorang
mujtahid meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat orang lain dengan
didasarkan pada keyakinan pada ijtihadnya. Namun demikian, para aktivis partai
ideologi Islam harus berpegang teguh pada pemahaman partainya sehingga akan
tumbuh pada diri mereka suatu kesatuan pemikiran dan perasaan.
Partai ideologi Islam di samping harus mengadopsi hukum-hukum syariat yang
berkaitan dengan aktivitasnya, ia juga harus mengadopsi sejumlah cara (uslûb)
yang diperlukan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut. Uslûb, dengan
demikian, merupakan model dari penerapan hukum-hukum syariat.
Uslûb adalah hukum yang berkaitan dengan hukum asal di mana dalil datang untuk
menetapkannya. Sebagai contoh: yang dituntut dari sebuah jamaah adalah
memproduksi pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam pada diri para aktivisnya,
sebagaimana teladan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Ini adalah hukum syariat
yang harus dilaksanakan. Lantas, dengan model seperti apa dan bagaimana hukum
syariat ini diaplikasikan, tentu harus ada cara (uslûb) tertentu. Dalam hal ini, dapat
digunakan uslûb berupa halqah, ‘usrah, atau model lainnya.
Banyaknya uslûb bagi penerapan satu hukum syariat mengharuskan partai
ideologi Islam mengadopsi uslûb tertentu dan membimbing para aktivisnya untuk
menggunakannya. Dalam hal ini, partai ideologi Islam hendaknya mengadopsi
~ 15 ~
uslûb yang dapat mengantarkan pada penerapan hukum-hukum syariat. Atas dasar
ini, hukum uslûb diambil berdasarkan hukum pokoknya. Jadi, uslûb yang diambil
bersifat mengikat sebagaimana halnya hukum syariat.
Partai ideologi Islam yang telah memilih halaqah (halqah, halqât) sebagai
uslûb untuk mewujudkan pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam harus mengadopsi
uslûb tersebut sebagai sesuatu yang mengikat. Ketika mengadopsi uslûb tersebut,
partai ideologi Islam harus memandang bahwa tujuan yang diharapkan, yaitu
terwujudnya tsaqâfah (pemikiran) Islam yang mendalam, akan tercapai dengan
uslûb ini.
Contohnya adalah demikian: jumlah anggota halaqah harus disesuaikan
dengan tujuan. Jumlah anggota halaqah yang terlalu banyak dapat menyebabkan
para anggotanya kurang konsentrasi. Sebaliknya, jumlah anggota halaqah yang
terlalu sedikit akan mengakibatkan jumlah kelompok halaqah menjadi banyak
sehingga akan menyulitkan dan menyusahkan. Oleh karena itu, jumlah anggota
halaqah harus sesuai dengan proses penanaman pemikiran Islam; tidak lebih dan
tidak kurang. Penentuan jumlah anggota halaqah ini harus dipertimbangan secara
rasional.
Demikian juga alokasi waktu yang diperlukan untuk halaqah; harus diatur
agar para anggota halaqah tetap memiliki kesadaran di dalam memahami berbagai
pemikiran yang ada. Alokasi waktu halaqah yang terlalu lama akan mengakibatkan
daya serap para anggota terhadap materi halaqah menjadi rendah. Daya serap
para anggota yang rendah akan mengakibatkan berbagai pemikiran tidak
tersampaikan secara sempurna.
Demikian pula menyangkut frekuensi halaqah; apakah harian, mingguan,
atau dwimingguan; harus disepakati dan ditetapkan waktunya. Dengan begitu,
aspek praktis dalam dakwah tidak akan menjadi sulit dan para aktivis partai tidak
disibukkan oleh aspek ilmiah Islam dengan mengorbankan aspek amaliahnya.
Demikianlah proses pengadopsian setiap uslûb yang sesuai dengan hukum-
hukum syariat berlangsung dan menjadikannya pas dengan hukum-hukum syariat
yang ingin direalisasikan.
~ 16 ~
Apa yang dibicarakan berkaitan dengan uslûb juga sama persis dengan apa
yang dibicarakan bekenaan dengan wasilah (sarana) dakwah. Seorang pemimpin
partai ideologi Islam, dalam hal ini, boleh melakukan perubahan terhadap uslûb dan
wasilah yang digunakan sesuai dengan apa yang memang dituntut untuk
merealisasikan suatu amal.
Karena aktivitas partai ideologi Islam meliputi areal yang luas di muka bumi dan
memiliki jaringan di berbagai negara, maka besarnya tugas yang dibebankan pada
partai mengharuskan adanya struktur administrasi (jihâz idârî). Dengan struktur
administrasi ini, partai ideologi Islam dapat melakukan monitoring dakwah,
merealisasikan berbagai targetnya di seluruh lahan aktivitasnya, mengatur dan
menertibkan gerakan dakwah ideologi Islam, mengawasi pembinaan para
aktivisnya, mempersiapkan kondisi umum atas ide, terjun dalam pergulatan
pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), sekaligus
menampilkan diri di tengah-tengah umat sebagai satu tubuh yang memposisikan
dirinya untuk melaksanakan kewajiban ini.
Dengan demikian, harus ada struktur organisasi yang didirikan untuk mencapai
tujuan secara optimal sehingga hasil-hasilnya dapat diperoleh dan dilestarikan.
Oleh karena itu, partai ideologi Islam harus pula mengadopsi struktur
administrasi (jihâz idârî) atau struktur organisasi sehingga pengaturan aktivitas
dakwah ideologi Islam dapat dilakukan secara sempurna. Dengan begitu, tujuan
dakwah ideologi Islam dapai dicapai dengan sukses.
Setelah itu, partai ideologi Islam harus mengadopsi peraturan administrasi
(qânûn idârî) yang akan mengatur setiap bagian partai dan gerakan di dalamnya,
membatasi wewenang ketua (amir) partai, menentukan bagaimana ketua partai
mengatur partai, menjelaskan bagaimana cara pemilihan ketua partai, serta
menerangkan siapa yang berhak mengangkat penanggung jawab mantiqah-
mantiqah (mas’ûl manâtiq) atau penanggung jawab wilayah-wilayah (mas’ûl
wilâyât) dan batas-batas wewenang mereka. Singkatnya, peraturan ini mengatur
administrasi setiap aktivitas partai ideologi Islam dan menentukan wewenang
semua komponen partai ideologi Islam.
Semua yang disebutkan di atas merupakan uslûb dan wasilah yang
dibutuhkan untuk melaksanakan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan
~ 17 ~
aktivitas partai ideologi Islam. Berbagai uslûb administrasi yang diadopsi partai
wajib dilaksanakan selama ketua (amir) partai memandang perlu hal itu.
Alasannya, menaati ketua/amir partai hukumnya wajib.
Setiap perkara yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam adalah wajib
dilaksanakan. Lantas, bagaimana sikap partai jika terjadi pelanggaran terhadap apa
yang telah diadopsinya? Apakan partai akan menyelesaikannya dengan teguran
atau sanksi administratif?
Sebuah organisasi politik ideologi Islam sesungguhnya juga harus
mengadopsi sejumlah sanksi administratif atas setiap anggotanya yang melanggar
hukum yang telah diadopsinya atau yang melampaui batas-batas syariat yang telah
ditetapkannya. Dasar hukum dari keharusan adanya sanksi-sanksi tersebut adalah
adanya pelanggaran terhadap perintah amir (mukhâlafah al-amir). Alasannya,
hukum syariat telah mewajibkan adanya amir jamaah atau ketua partai sekaligus
mewajibkan pula untuk menaatinya. Pelanggaran terhadap setiap perintahnya —
yang berkaitan dengan semua perkara yang menyebabkan dirinya diangkat
sebagai amir/ketua atas diri mereka— adalah tindakan yang diharamkan. Jika tidak
demikian, eksistensi amir/ketua bagi partai ideologi Islam tentu tidak ada artinya.
Adanya sanksi-sanksi administratif harus meliputi seluruh komponen partai
ideologi Islam, mulai dari amir sampai anggota terkecil dalam tubuh partai. Sanksi-
sanksi ini diberlakukan atas seluruh pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsi
oleh partai ideologi Islam. Jadi, siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum-hukum syariat yang diadopsi partai, melanggar uslûb-uslûb-nya, atau tidak
mempedulikan eksistensi struktur administrasi (jihâz idârî) atau peraturan
administrasi (qânûn idârî), ataupun keluar dari batas-batas wewenangnya harus
ditegur, dikritik, atau diberi sanksi.
Demikianlah, suasana pemikiran harus disertai dengan suasana organisasi
yang teratur, yang akan mengatur pengejawantahan pemikiran-pemikiran yang
berkaitan dengan aktivitas partai ideologi Islam dan hukum-hukum yang
berhubungan dengan metode dakwahnya.
Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri betapa banyak
organisasi Islam maupun non-Islam telah bubar karena tidak memperhatikan aspek
keorganisasian yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, wajar jika sebuah partai
~ 18 ~
yang tidak memperhatikan gagasan tentang betapa pentingnya pengadopsian
(tabanni) pemikiran/hukum akan selalu dilanda perbedaan pendapat, menghadapi
keguncangan dan kekacauan, masuk dalam lingkaran setan, mengalami berbagai
deviasi, dan tidak memiliki pihak yang melakukan kritik terhadapnya.
Akibatnya, partai akan semakin jauh dari sosoknya yang memenuhi
berbagai ketentuan syariat. Wajar pula jika perekrutan para anggota partai dan
para penanggung jawabnya yang tidak berdasarkan syarat-syarat syar’iyyah yang
tertib —tetapi berdasarkan pada kekerabatan, kedudukan sosial, jabatan, atau
tingkat pendidikannya— akan mengakibatkan buruknya distribusi tugas-tugas
dakwah dan menciptakan kesenjangan jabatan di antara para anggotanya.
Tidak adanya aturan administrasi yang jelas, yang harus ditaati oleh semua
anggota partai, secara alami, juga akan menimbulkan kritik/teguran yang bersifat
diskriminatif dan tidak proposional. Bahaya pula jika tidak ada sanksi-sanksi
administratif yang tidak mentoleransi terjadinya pelanggaran besar maupun kecil
dan tidak akan membiarkan orang menikmati kemaksiatan dan banyak berbuat
kesalahan.
Berdasarkan hal di atas, berbagai aspek keorganisasian dan pembentukan
tubuh partai ideologi Islam yang mampu bergerak secara efektif harus selalu
diperhatikan, karena hal itu merupakan garansi bagi tertibnya pemikiran-pemikiran
dakwah ideologi Islam dan terkoordinasinya para aktivis partai ideologi Islam, yang
lebih lanjut akan memudahkan aktivitas dakwah ideologi Islam. Dalam hal ini,
pembentukan partai atau jamaah dakwah ideologi Islam harus senantiasa sesuai
dengan tujuannya.
Hendaknya jangan ada seorangpun yang berasumsi bahwa aspek
keorganisasian hanya merupakan perkara sekunder. Akan tetapi, harus disadari
bahwa aspek ini mempunyai peran yang sangat penting dan krusial. Oleh karena
itu, jika penyusunan dan pembentukan partai tidak tepat, pengadopsian hukum-
hukum yang diperlukannya tidak bagus, dan keterikatannya terhadap apa yang
diadopsi tidak baik, maka segala sesuatu yang dimiliki partai —sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya— akan mengalami keruntuhan dan kehancuran.
Selanjutnya, harus disadari, bahwa pelaksanaan tugas-tugas
keorganisasian mengharuskan partai atau jamaah memiliki dana. Di antaranya
~ 19 ~
adalah untuk membiayai aktivitas para aktivisnya yang membutuhkan dana untuk
transportasi, biaya percetakan/fotokopi, dan lain sebagainya, yang diperlukan bagi
upaya pengembanan dakwah Islam. Tanggung jawab keuangan ini harus
ditanggung oleh partai ideologi Islam, dengan kata lain, harus ditanggung oleh
para anggotanya. Dengan demikian, siapa saja yang telah mengikhlaskan diri untuk
berdakwah ideologi Islam, sudah selayaknya dia mengorbankan hartanya, yang
nyata-nyata lebih ringan dibandingkan dengan memilkul tugas dakwah ideologi
Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, partai ideologi Islam harus berusaha keras agar tidak
meminta bantuan pihak luar; baik pihak luar ini adalah individu, kelompok, atau
pemerintah yang ada. Dengan begitu, partai ideologi Islam tidak akan disusupi
melalui sektor ini. Masalahnya, musuh-musuh partai ideologi Islam akan selalu
berpikir untuk mengeksploitasi kebutuhan partai terhadap dana hingga mereka
pun menawarkan bantuannya. Boleh jadi, pada awalnya tanpa pretensi apa-apa.
Akan tetapi kemudian, tidak berapa lama, bantuan dana tesebut akan berubah
menjadi bantuan yang mengandung motif dan tujuan tertentu di baliknya.
Sekarang ini, di lapangan dakwah terdapat banyak sekali lontaran pemikiran yang
tidak berlandaskan pada asas yang benar, dan banyak sekali partai dakwah yang
tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh syariat. Sejumlah partai yang ada
itu tidak lain sekadar merupakan perkumpulan umat Islam yang rela melakukan
aktivitas yang bersifat parsial —yang tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah
yang ada, sekalipun bersifat parsial— serta melalaikan pandangan yang
komprehensif menurut syariat Islam.
Sejumlah partai tersebut pada dasarnya tidak mengemban Islam secara benar,
yakni yang memungkinkan Islam dapat diterapkan secara sempurna di tengah-
tengah kehidupan umat Islam. Partai dakwah semacam ini sangat banyak
jumlahnya, bahkan di satu negeri saja bisa mencapai ratusan. Pada gilirannya,
mereka menjadikan sejumlah “toko dan lahan pertanian” menghabiskan segala
usahanya, serta menjadikan orientasi dan aktivitas yang sahih hilang pada diri
umat Islam.
Di tengah sejumlah banyak partai dakwah yang banyak menarik perhatian ini,
hanya ada sedikit sekali yang memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk
mencapai berbagai tujuan Islam dan berusaha merealisasikannya. Umat dilarang
~ 20 ~
menyelisihi hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam.
“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah
Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.”
(TQS. al-Anbiya’ [21]: 92)
“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan
kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku.”
(TQS. al-Mukminun [23]: 52)
“Permisalan orang-orang Mukmin itu dalam kasih sayang mereka adalah
seperti satu tubuh; jika salah satu anggotanya ada yang sakit maka seluruh
tubuh akan merasakan gelisah dan demam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan
Ahmad)
“Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan
berselisih setelah datang kepada mereka sejumlah bukti yang nyata.
Mereka itulah orang-orang yang layak mendapatkan azab yang pedih.”
(TQS. Ali ‘Imran [3]: 105)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka
hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (TQS. al-An’am [6]: 159)
Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baydhawi, berkata, “Mereka berlebih-
lebihan dalam agama; mereka mengimani sebagian dan kafir atas sebagian yang
lain; dan merekapun berbeda pendapat di dalamnya.”
Ayat-ayat ini telah mengeluarkan orang yang akidahnya bertentangan
dengan akidah umat Islam dari agama Islam. Ayat ini tidak ada kaitannya sama
sekali dengan topik di seputar perbedaan ijtihad dalam hal-hal yang dzanni (tidak
pasti).
Janganlah kalian seperti orang-orang yang melepaskan diri dari agamanya
dan berbeda pendapat tentangnya setelah datang kepada kalian bayyinât, yaitu
~ 21 ~
perkara-perkara akidah yang jelas dan bukti-bukti yang tegas (qath‘î). Yang
dimaksud dengan mereka di sini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Imam al-Baydhawi, ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Janganlah
kalian bertikai dan berpecah-belah” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104),” menyatakan
demikian:
“Maksudnya adalah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang bertikai dalam
masalah tauhid, penyucian Allah, dan beberapa kondisi alam Akhirat; sementara
mereka telah mengetahui —setelah datang kepada mereka bukti-bukti— berbagai
tanda dan hujjah yang menjelaskan kebenaran yang wajib mereka sepakati.
Tampak jelas bahwa larangan di dalam ayat ini khusus ditujukan pada perbedaan
pendapat dalam masalah ushûl, bukan masalah furû‘, berdasarkan sabda Rasulullah
Saw. yang menyatakan:
“Siapa saja yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala,
sedangkan jika ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.”
Potongan ayat yang artinya, “Mereka itulah yang akan mendapatkan azab
yang berat,” merupakan ancaman bagi orang-orang yang berpecah-belah dan bagi
orang-orang yang menyerupai mereka.”
Demikianlah pernyataan al-Baydhawi.
Sesungguhnya proses perubahan yang Islami merupakan aktivitas yang sulit;
mengalahkan opini jahiliyah dari kedudukannya juga bukanlah perkara yang
mudah; sementara upaya merealisasikan kekuasaan Islam atas masyarakat —
dalam pemikiran, perilaku, dan sistem— menuntut adanya upaya bersama.
Konspirasi internasional atas Islam dan atas harakah Islam mengharuskan adanya
persatuan dalam menghadapi dan menantangnya. Kekuatan internasional yang
memusuhi Islam dan bersekongkol untuk menguasai Dunia Islam telah saling
bekerjasama dan menyatukan perjuangannya. Oleh karena itu, kekuatan Islam
yang ada di Dunia Islam tidak boleh ada yang bertentangan dengan perkara-
perkara yang qath’i (pasti) di dalam Islam agar tidak menjadi santapan yang lezat
bagi musuh dan agar tidak mudah bagi mereka untuk mengeliminasi dan
menjatuhkannya. Jika umat ada yang menyimpang dalam hal yang qath’i (pasti) di
dalam Islam maka tidak akan menjadi penjaga masa depan Islam serta memelihara
perjalanan Islam dari kerusakan, pelecehan, dan pemusnahan.
~ 22 ~
Berbagai kekuatan dan partai yang bersifat lokal yang memusuhi Islam sampai
sekarang ini telah memiliki cabang-cabangnya di seluruh Dunia Islam. Mereka
senantiasa mempelajari, mengawasi, merancang strategi, dan selalu bersiap diri di
segala lini.
Umat Islam saat ini hidup di dalam naungan darul kufur (bersistem kufur), yang
karenanya mesti diubah agar menjadi darul Islam. Sebuah keharusan adanya
jamaah/partai ideologi Islam yang berjuang untuk merealisasikan tujuan
melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mengikuti langkah-langkah perjuangan
Rasulullah Saw.
Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban yang harus
diusahakan untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Di antara kewajiban tersebut, ada
yang harus dilaksanakan secara individual (fardhu ‘ain), yang tidak dapat
digugurkan sampai berhasil dilaksanakan; dan ada pula merupakan kewajiban
kolektif (fardhu kifayah), yang harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh suatu
jamaah di tengah-tengah umat Islam. Di antara sejumlah fardhu kifayah itu adalah
kewajiban mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah.
Menegakkan syariat Allah secara total merupakan kewajiban, sementara
seorang individu Muslim tidak akan mampu melaksanakannya tanpa bantuan
Muslim lainnya. Namun demikian, setiap Muslim wajib menyatukan usaha serta
mengumpulkan kemauan dan segenap kesungguhan untuk menegakkannya.
Perkara ini termasuk ke dalam bab Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib
(selama suatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya
suatu perkara, maka perkara tersebut hukumnya wajib).
Kewajiban ini merupakan salah satu fardhu kifayah yang harus ditegakkan.
Jika tidak ditegakkan, maka siapapun yang tidak melibatkan diri (berdiam diri) di
dalamnya akan berdosa besar. Watak pelaksanaannya membutuhkan adanya
jamaah/komunitas/partai dari kalangan umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn).
Umat berusaha untuk menegakkan kewajiban ini. Siapa saja yang berdiam diri
dipandang berdosa dan dosa itu tetap ada pada siapa saja yang tidak berusaha.
Partai yang ada di tengah-tengah umat Islam ini berupaya menegakkan
kewajiban tersebut. Partai ideologi Islam juga harus mengevaluasi sekaligus
mengkritisi benar-salahnya berbagai pemikiran dan hukum yang diadopsi serta
~ 23 ~
yang dibutuhkannya ketika beraktivitas untuk merealisasikan tujuan yang ingin
dicapai.
Partai yang dimaksud tentu bukan merupakan umat Islam secara
keseluruhan sebagai jamaah (jamâ‘ah al-muslimîn). Partai ini juga tentu bukan
Khalifah atau sejajar kedudukannya dengan Khalifah. Hukum-hukum di seputar ke-
Khalifahan tidak berlaku bagi partai. Partai tidak boleh mengerjakan satu aktivitas
apapun yang menjadi tugas seorang Khalifah, yang pelaksanaannya memang
hanya disandarkan kepada dirinya, bukan kepada yang lain. Partai ideologi Islam,
dalam hal ini, hanya merupakan salah satu jamaah yang merupakan bagian dari
umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn) saja. Sebaliknya, umat Islam dengan seluruh
komunitas yang ada di dalamnya merupakan jamaah umat Islam (jamâ‘ah al-
muslimîn). Jama‘ah al-muslimîn meliputi semua jamaah dan semua individu Muslim
yang ada.
Yang dimaksud dengan jamâ‘ah al-muslimîn adalah umat Islam yang
disatukan dan dipersaudarakan oleh akidah Islam. Jadi, umat Islam mungkin saja
berbeda pendapat dalam berbagai perkara dzanni (tidak pasti), tetapi perbedaan
itu tidak akan menafikan persaudaraan mereka. Siapa saja —baik individu maupun
jamaah dari kalangan umat Islam— yang keluar dari akidah mereka, maka dia
dianggap telah keluar dari jamâ‘ah al-muslimîn dan dia akan terlempar ke dalam
Neraka. Pengertian seperti inilah yang dimaksud oleh Hadis Nabi Saw. yang
berbunyi:
“Orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang berpisah dari
jamaah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, seorang Muslim yang meninggalkan agamanya tidak lagi
termasuk jamâ‘ah al-muslimîn.
Umat dilarang menyimpang dalam hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam
Islam.
“Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; semuanya ada di
Neraka, kecuali satu.” Mereka bertanya, “Golongan manakah itu, wahai
Rasulullah? Beliau menjawab, “Golongan yang mengikutiku dan para
sahabatku.” (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad ibn
Hanbal)
~ 24 ~
Sebagai jamaah, umat Islam adalah umat yang satu; tidak seperti umat-
umat lainnya. Umat Islam sekufu (setara) dalam darah dan harta mereka. Orang
yang dianggap paling rendah di antara mereka sama dengan orang yang dianggap
paling tinggi di tengah-tengah mereka. Mereka itu merupakan satu tangan,
meskipun hasil ijtihad mereka berbeda-beda (dalam hal-hal yang dzanni/ tidak
pasti).
Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan
kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.” (TQS. al-
Anbiya’ [21]: 92)
Nash-nash di atas menunjuk pada umat Islam dengan seluruh komponen
yang ada di dalamnya bukan menunjuk hanya pada salah satu jamaah Islam
(jamâ‘ah min al-muslimîn). Jika suatu jamaah mengklaim dirinya sebagai jamâ‘ah
al-muslimîn, maka klaim tersebut merupakan kesalahan besar dan merupakan
pemahaman yang aneh. Klaim tersebut tidak jarang mengakibatkan hal-hal yang
berbahaya seperti: menganggap orang yang tidak bergabung dengan mereka
sebagai orang yang tidak ikut serta dalam ukhuwah bersama mereka; sebagai
orang yang meninggalkan agamanya dan keluar dari jamaah; atau sebagai orang
yang akan terjerumus ke dalam Neraka.
Dibolehkan adanya multipartai atau banyaknya jamaah yang berusaha
untuk menegakkan Islam. Dalil-dalil yang membolehkan adanya perbedaan
pendapat dalam masalah yang dzanni (tidak pasti, tidak tegas) sangat banyak
sekali. Perbedaan pendapat dalam masalah ini terjadi juga di kalangan para
sahabat; demikian juga di kalangan para tâbi‘în dan para ulama salaf.
Sebaliknya, yang terlarang adalah berbeda pendapat sebagaimana halnya
yang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Mereka, misalnya, berbeda pendapat
mengenai nabi-nabi mereka dan berbeda sikap terhadap isi kitab-kitab mereka.
Mereka terpecah menjadi banyak aliran. Akibatnya, mereka tersesat dari
kebenaran yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi mereka sehingga tersesat
pula para pengikut mereka.
Allah Swt. berfirman:
~ 25 ~
“Kemudian berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka
sehingga kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan
hari yang besar.” (TQS. Maryam [19]: 37)
Maksudnya, Allah Swt. memperingatkan kita terhadap perbedaan seperti
yang mereka tunjukkan.
Rasulullah Saw. sendiri, pada waktu Perang Khandaq, telah membiarkan
adanya perbedaan pemahaman para sahabat terhadap perkataan beliau, yakni
ketika beliau bersabda mereka:
“Siapa saja yang mendengar dan taat, hendaknya dia tidak menunaikan
shalat kecuali di Bani Quraidzah.” (Sirah Ibn Hisyam)
Rasulullah Saw. juga bersabda:
“Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka dia
mendapatkan dua pahala. Sebaliknya, apabila dia berijtihad dan ternyata
ijtihadnya salah maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. al-Bukhari)
Seorang mujtahid, ketika berijtihad, bisa salah bisa benar. Ini tidak berarti bahwa
kedudukannya sebagai seorang mujtahid menjadikan dia tidak pernah melakukan
kesalahan.
Hukum yang digali oleh seorang mujtahid dianggap sebagai hukum syariat.
Seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya tidak mengetahui bahwa dia salah.
Sebab, seandainya dia mengetahui kesalahannya, dia jelas tidak boleh tetap
berada dalam kesalahannya itu. Akan tetapi, dia mesti membandingkan
pemahamannya dengan pemahaman orang lain.
Seorang mujtahid mendapatkan pahala di sisi Allah apakah ijtihadnya benar atau
salah. Akan tetapi, pahala keduanya berbeda.
Ada kesepakatan di kalangan para ulama bahwa dosa terlepas dari para
mujtahid yang berijtihad dalam hukum-hukum syariat yang zhannî berkaitan
dengan fikih.
Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi bertutur, “Para sahabat berbeda
pendapat dalam menghukumi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Akan tetapi,
meskipun demikian, mereka tetap bersatu.”
~ 26 ~
Suatu jamaah atau partai berdiri di atas pemahaman terhadap syariat
tertentu yang kadang-kadang mungkin berbeda-beda, sebagaimana terhadap
syariat yang lainnya; kecuali apabila hukum-hukum syariat itu bersifat qath‘î
(tegas).
Beraktivitas atau berjuang bersama-sama jamaah/partai yang lebih dekat
dengan kebenaran menjadi wajib hukumnya. Demikianlah sebagaimana Allah Swt.
berfirman:
“Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan
kebajikan, menyuruh kemakrufan, dan mencegah kemungkaran.
Merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)
Perintah Allah Swt. di dalam ayat ini menunjukkan pada kewajiban untuk
mendirikan minimal satu jamaah/partai di tengah-tengah kaum Muslim yang
aktivitasnya adalah mendakwahkan al-khair (Islam) dan amar makruf nahi
mungkar.
Sesungguhnya kita wajib memahami dengan baik bahwa apa saja yang diakui atau
disetujui oleh syariat merupakan rahmat.
Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar-Rasyid ketika Khalifah ingin
mengadopsi dan melegislasi pemahaman dan mazhab Imam Malik, sekaligus
memaksa masyarakat untuk mempraktikkannya dan melarang penerapan
pemahaman lainnya. Saat itu Imam Malik berkata, “Janganlah Anda
mempersempit kaum Muslim dalam hal apa saja yang telah Allah mudahkan untuk
mereka.”
Wajib diperhatikan di sini bahwa negara-negara sistem kufur —dalam menghadapi
munculnya satu atau beberapa jamaah/partai di muka bumi ini secara nyata yang
berusaha keras untuk menegakkan hukum-hukum Allah— selain mempergunakan
cara-cara kekerasan dan membuat berita-berita bohong tentang jamaah-
jamaah/partai-partai itu, merekapun sengaja menjatuhkan dan menggagalkan
jamaah-jamaah/partai-partai ini dengan jalan mendirikan jamaah-jamaah/partai-
partai lain yang tunduk kepada mereka.
Allah tidak akan menolong kaum Muslim kecuali apabila mereka terikat dengan
syariat, berpegang teguh dengan tali Allah, serta melaksanakan semua perintah-
~ 27 ~
Nya. Sesungguhnya Allah akan menolong mereka meskipun mereka hanya sedikit.
Satu dalam kebenaran itu banyak, sementara banyak dalam kebatilan adalah
seperti buih.
Adanya seorang Khalifah dan adanya Daulah Khilafah Islamiyah adalah
representasi dan penampakan terpenting dari bentuk-bentuk persatuan kaum
Muslim; tidak ada persatuan selain dalam kerangka itu. Memang, dalam Khilafah
Islamiyah, akan banyak pemahaman yang berbeda-beda, tetapi kita diperintahkan
untuk tetap menaati Khalifah. Khalifahlah yang mengadopsi sekaligus melegislasi
hukum publik. Legislasi hukum yang dilakukan Khalifah —bukan melarang atau
menghapuskan pemahaman/mazhab tertentu— jelas akan menghilangkan
perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebab, perintah Khalifah harus diterapkan,
baik secara lahir maupun batin, oleh seluruh kaum Muslim.
Sementara itu, pemimpin jamaah/partai sesungguhnya hanya ditaati di
dalam urusan jamaah/partainya saja. Perintahnya akan menghilangkan perbedaan
pendapat di antara anggota-anggota partainya saja, bukan di antara kaum Muslim
secara keseluruhan.
Agama Islam adalah agama yang bersifat universal; karena Muhammad Saw.
diutus kepada manusia seluruhnya.
“Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat
yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (TQS.
al-Baqarah [2]: 143)
“Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadalian semuanya.” (TQS. al-A’raf [7]: 158)
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (TQS.
Saba’ [34]: 28)
Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengarahkan dakwahnya ke seluruh
dunia, ke segala kekuatan, ke seluruh blok, dan kepada semua raja. Karena itulah,
beliau sebagai kepala negara Islam mengirim utusan kepada Najasyi (Raja
Habsyah), Heraklius (Kaisar Romawi), Muqauqis (Pembesar Koptik), dan Kisra
~ 28 ~
(Pemimpin Persia). Dalam hal ini, dakwah Islam tidak boleh hanya berbentuk
semacam “toko-toko” dan “lahan-lahan pertanian” yang ada di sana-sini,
sementara jihad Islampun hanya merupakan teriakan di padang sahara yang
lengang.
Islam sebagai agama bersifat internasional dalam akidah dan sistemnya. Allah
adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur segala sesuatu. Dia Maha
Mengetahui yang lahir maupun yang batin. Manusia yang lemah yang diciptakan
dari air yang hina tentu wajib untuk kembali kepada-Nya. Allah adalah Pencipta
manusia. Dia adalah Tuhan setiap manusia. Keberadaan manusia berkaitan dengan
tujuan penciptaannya, yaitu ibadah. Keberadaan manusia juga berkaitan dengan
kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan; Surga dan
Neraka; balasan bagi keimanan dan kekufuran; serta balasan bagi ketaatan dan
kemaksiatan. Hakikat akidah Islam wajib untuk disampaikan kepada manusia
seluruhnya.
Allah Swt. berfirman:
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata
dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata
(pula).” (TQS. al-Anfal [8]: 42)
Peraturan yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan yang berasal dari
akidah ini juga merupakan peraturan untuk manusia sebagai manusia tanpa
memperhatikan lagi warna kulit, ras, atau keadaannya.
Islam adalah agama yang universal. Islam mewajibkan benih berdirinya Daulah
Islamiyah adalah benih yang mendunia. Selanjutnya, Islam juga mengharuskan
jamaah/partai ideologi Islam mempersiapkan dirinya untuk menegakkan tugas ini.
Oleh karena itu, jamaah/partai ideologi Islam pada dasarnya wajib untuk tidak
memandang aktivitasnya dengan pandangan yang sempit.
Akan tetapi, jamaah/partai ideologi Islam harus memandang bahwa dirinya wajib
menyelamatkan umat manusia seluruhnya dari ide-ide kufur dan syirik meskipun
kekufuran dan kemusyrikan itu menampilkan diri dalam berbagai bentuk dan
nama. Jamaah/partai ideologi Islam juga harus mengembalikan manusia pada
kebenaran yang tidak berbilang. Inilah yang wajib menjadi perspektif jamaah/partai
ideologi Islam. Berdasarkan ini pula diadopsi pemikiran-pemikiran (tsaqâfât)
~ 29 ~
jamaah/partai ideologi Islam.
Jamaah/partai ideologi Islam juga mesti memandang bahwa aktivitas dan langkah-
langkah perjalanannya telah didesain sedemikian rupa sesuai tuntunan Rasul Saw.
Dengan begitu, apabila jamaah/partai berjalan tanpa melenceng sedikitpun dan
bersabar menghadapi segala hal yang menimpanya tanpa bias, tanpa melakukan
rekonsiliasi, dan tanpa melakukan kamuflase, maka Allah Swt. telah
mempersiapkannya (secara praktis dan teoritis) untuk menegakkan urusan ini
secara internasional. Yang demikian itu adalah setelah berdirinya Daulah Islamiyah.
Dengan demikian, apabila dilihat dari segi pemikiran, jamaah/partai ideologi Islam
haruslah bersifat internasional. Sebaliknya, dari segi aktivitas, ia tidak keluar dari
keadaannya sebagai suatu jamaah/partai yang beraktivitas di satu tempat tertentu
untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Setelah itu, Daulah Khilafah
Islamiyahlah yang akan berperan untuk menegakkan tugas yang agung itu.
Negeri-negeri kaum Muslim telah terbagi-bagi menjadi sejumlah negara. Inilah
yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam. Secara umum, kaum Muslim di
negara-negara itu hidup dalam kondisi yang mirip. Ekspansi dakwah akan
memberikan kekuatan bagi jamaah/partai ideologi Islam, membuat orientasinya
lebih besar dan lebih efektif, dan menjadikan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah
di salah satu wilayah di antara wilayah-wilayah yang menerima dakwah lebih luas
dan lebih tersebar. Faktor inilah yang dapat membantu jamaah/partai ideologi
Islam untuk melaksanakan tugas yang akan mengantarkannya pada tegaknya
Daulah Khilafah Islamiyah dan mempersiapkan Daulah Islamiyah memasuki fase
pergulatan internasional. Dalam dua perkara ini jamaah/partai ideologi Islam tentu
harus menyandarkan diri pada pertolongan Allah Swt.
Sesungguhnya aktivitas dakwah yang pertama pada masa Nabi Saw. bersifat
komprehensif. Ketika itu, Rasulullah Saw. sebagai kepala negara mengatur dan
memonitor aktivitas dakwah dalam segala bidang. Di bidang pendidikan, beliau
berperan sebagai murabbi (pendidik); di bidang pengajaran, beliau berperan
sebagai mu‘allim (pengajar); di medan jihad, beliau beperan sebagai panglima
perang; dan di bidang strategi, beliau adalah seorang pionir.
“Apakah kalian mengimani sebagian (isi) al-Kitab dan mengingkari
sebahagian yang lainmya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan
~ 30 ~
pada Hari Kiamat kelak mereka dikembalikan pada siksaan yang sangat
berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85)
Penentuan amal perbuatan berasal dari Allah. Kaidah syariat yang berbunyi:
“Asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.”
Seandainya perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah maka
perbuatan itu hasan (terpuji) dan apabila tidak maka perbuatan itu qabih (tercela).
Kaidah syara’ menyebutkan:
“Hasan itu adalah apa-apa yang dikatakan oleh syara’ hasan dan qabih itu adalah
apa-apa yang dikatakan syara’ qabih”
Sesungguhnya Islam itu sempurna, dan Islam secara keseluruhan dilaksanakan oleh
seluruh kaum Muslim atau dengan kata lain oleh umat Islam.
Di dalam umat Islam terdapat individu-individu, jamaah-jamaah dan Khalifah. Dan
untuk masing-masing kelompok di atas telah dibebankan hukum-hukum syara’
yang spesifik.
Seorang individu muslim melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai
individu. Jamaah pun melaksanakan apa yang dituntut syara’ terhadapnya, Begitu
pula dengan Khalifah, melaksanakan apa yang dibebankan syara’ terhadapnya.
Apabila kaum Muslim sebagai individu melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’
terhadap mereka, demikian juga jamaah dan Khalifah, maka akan terealisasilah
seluruh amal dan kesempurnaannya. Begitu pula kelalaian apapun atau hanya
membatasi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tertentu saja tanpa
melaksanakan yang lainnya akan menjadikan orang yang lalai itu keluar dari
keumuman apa yang harus dilaksanakan olehnya, dan akan menjerumuskannya
pada dosa.
Islam yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya Khalifah.
Keterikatan banyaknya hukum-hukum Islam dengan keberadaan Khalifah
menjadikan kehadirannya wajib menurut syara’, dan menjadikan usaha untuk
mengadakannya juga wajib menurut syara’.
Implikasi dari semua itu mewajibkan adanya partai ideologi Islam yang beraktivitas
untuk mengadakannya, dan menegakkan seluruh perkara yang dituntut syara’
untuk menegakkan agama melalui berdirinya Daulah Islamiyah.
Inilah keseluruhan yang diminta. Inilah yang dinamakan dengan melanjutkan
~ 31 ~
kehidupan Islam. Secara keseluruhan, itulah yang dituntut oleh syara’ dari jamaah.
Jamaah dilarang oleh syara’ untuk melaksanakan hukum-hukum yang tidak
menjadi kewenangannya, seperti menerapkan hudud. Jamaah tidak boleh
mengambil alih tugas Khalifah. Yang harus dilakukan oleh jamaah adalah
mewujudkan Khalifah agar dia melaksanakan tugas yang dituntut atasnya.
“Dan amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia
bertanggung jawab dengan segala urusannya.” (HR. Muslim)
Dari sini kita mengalihkan perhatian pada topik bahwa seseorang yang beriman
kepada Islam secara sempurna dan berdakwah kepada Islam secara keseluruhan,
dia pasti akan mengadopsi secara terperinci hal-hal yang dituntut syara’ darinya
dan mengadopsi pula hal-hal yang dituntut syara’ dari partai ideologi Islam, tempat
dia beraktivitas di dalamnya.
Kelalaian terhadap perkara apapun yang dituntut darinya akan dipertanggung
jawabkan di hadapan Allah Swt. Demikian juga halnya dengan seorang Khalifah.
Dia harus melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai pribadi. Dia wajib
mengerjakan shalat, shaum, berhaji, membayar zakat, berbakti kepada kedua
orang tuanya. Diapun dilarang untuk berzina, melakukan aktivitas riba, berdusta
dan menipu. Di samping itu dia juga harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
seorang Khalifah, seperti menyusun Undang-undang, mengumumkan jihad,
melindungi persatuan kaum Muslim, memerintah (negara dan masyarakat) dengan
apa yang diturunkan Allah, menerapkan hudud. Sebaliknya, kelalaian apapun
dalam tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan ditanyakan oleh Allah kelak.
Inilah realitas yang ditampilkan oleh hukum-hukum syara’. Dan hal ini harus
dipahami dengan baik oleh partai ideologi Islam, agar partai ideologi Islam mampu
untuk memilah-milah mana perkara yang harus dilaksanakan olehnya, dan mana
perkara yang tidak dituntut atasnya. Jika sebuah partai ideologi Islam mampu
menentukan fakta tentang dirinya maka partai ideologi Islam tersebut dapat
menetapkan kapasitas yang dituntut atasnya.
Aktivitas partai ideologi Islam harus bersifat politis, serta berdiri berdasarkan asas
[ideologi] yang ingin diterapkan atas umat Islam. Akidah Islam memperoleh
perhatian utama dalam dakwah, karena akidah Islam adalah asas setiap perkara
cabang dan berkaitan dengan seluruh hukum-hukum syara’. Konsentrasi yang
~ 32 ~
amat besar pada aktivitas pendirian Daulah Khilafah Islamiyah adalah karena
keterikatan banyaknya hukum dengan negara, dan dari sinilah penamaan bahwa
mendirikan Daulah Islamiyah sebagai tâj al-furûdh (mahkota dari berbagai perkara
fardhu).
Dengan demikian apabila partai ideologi Islam berusaha untuk mencapai takâmul
dan tawâzun yang berbeda dengan apa yang telah dijelaskan, maka partai ideologi
Islam tersebut telah membebani dirinya dengan apa yang tidak diwajibkan Allah
atasnya. Dan jamaah tersebut akan terus mengeluhkan kekurangan dan
ketidakseimbangan. Ujung-ujungnya jamaah tesebut akan berubah menjadi
jamaah yang penuh dengan keluhan dan berurai air mata, tersesat dari jalan yang
seharusnya karena dia telah kehilangan petunjuk.
Di antara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa di dalamnya juga terdapat
sistem ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer.
Di dalam sistem ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan
tanah, dengan kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan
luar negeri. Seluruh hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan
oleh Syâri’ dengan Khalifah. Khalifahlah yang mengatur dan memelihara seluruh
perkara tersebut, bukan partai ideologi Islam. Partai hanya berdakwah.
Di dalam sistem politik, Khilafah harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah
ditetapkan oleh syara’, dari Khalifah sampai mu’awin, termasuk wali dan qadhi,
aparat administrasi hingga majelis umat. Khalifah memiliki wewenang dan tugas
sebagaimana mu’awin; wali dan tentara memiliki tugas masing-masing, demikian
juga dengan aparat administrasi yang memiliki tugas sendiri.
Bahkan termasuk dalam tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan
persiapan itu akan merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan
dakwah ke seluruh dunia -mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya
sampai tingkat gerakan saja; yang memungkinkan seorang muslim mampu
mempelajari penggunaan senjata.
Di samping itu harus dimengerti bahwa ada jenis-jenis persenjataan yang hanya
dimiliki oleh negara. Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level
internasional (mencakup artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur,
~ 33 ~
nuklir, pesawat ruang angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan
berbagai penelitian dan pengembangan industri persenjataan, penyediaan
lapangan-lapangan terbang serta pusat-pusat latihan.
Rasulullah Saw. ketika mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak
melakukannya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai ideologi Islam,
melainkan sebagai penguasa negara Islam. Meneladani beliau dalam perkara ini
tidak boleh keluar dari perspektif ini.
Kewajiban partai ideologi Islam adalah mewujudkan Khalifah, yang akan
menjalankan tugasnya untuk merealisir seluruh perkara tersebut. Sebab,
Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam
mewujudkan Khalifah dan (berpaling dengan) berusaha untuk melaksanakan
tugas-tugas Khalifah maka jamaah dalam hal ini telah menyeleweng dari syara’.
Partai ideologi Islam wajib mengadopsi konsep sistem-sistem yang ingin
diterapkannya atas manusia ketika Allah memberikannya kemenangan untuk
melaksanakannya. Partai ideologi Islam pun menetapkan struktur negara sistem
Islam dan menetapkan UUD Khilafah, serta memberikan gambaran secara umum
kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar mereka melihat bahwa Islam
mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan berjalan bersama mereka
dalam mencapai peribadatan komprehensif mereka, dengan menjadikan mereka
berada di dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas
mereka.
Partai ideologi Islam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam-nya harus luas, demikian
juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut untuk melaksanakan seluruh perkara yang
memang dituntut atasnya. Pemikirannya adalah pemikiran-pemikiran untuk
mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan umat.
Terbebas Dari Racun Pemikiran
Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam di bidang
ruhiyah, keterbelakangan di bidang materi, kemunduran di bidang pemikiran dan
politik Islam, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyataan-
kenyataan buruk yang menimpa mereka.
~ 34 ~
Akibatnya, di tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam
muncul pemikiran-pemikiran yang tidak menggambarkan hakikat Islam yang
sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih
menggambarkan tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap
Islam dan petunjuk-petunjuk Islam di dalam kehidupan.
Pihak kafir imperialis yang menguasai urusan kaum Muslim dan mampu
membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil menanamkan pemahaman dan
tolok ukur mereka di kalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil
menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di
mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk
kepentingan kaum kafir.
Penyebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para
penganutnya yang telah kehilangan ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya
pemahaman yang benar di dalam diri mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha
melakukan perlawanan dengan bermodalkan pemahaman yang telah dipengaruhi
oleh realitas dan tunduk kepada kepentingan (asas manfaat). Sayangnya
perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih-
tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang
menyedihkan.
Orang–orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak
mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan
masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap
lontaran ini adalah menciptakan solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang
dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis
berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka merekapun menyengaja
mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan.
Mereka juga secara sengaja membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang salah, yang
pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang
salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu
bertujuan untuk mengkompromikan di antara keduanya dan memberikan
gambaran bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman.
~ 35 ~
Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap
Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakikatnya jika kita
mengambil pemahaman dan tolok ukur semacam itu berarti sama saja dengan
meninggalkan Islam dan mengikuti sistem kapitalis.
Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan
kompromi ini hakikatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan
meninggalkan Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum
Muslim dan mengajak mereka untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah
kepada Islam yang sebenarnya.
Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya
berusaha untuk membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel
ini, maka usaha-usaha itu ibarat fatamorgana.
Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui
batas-batas syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau karena kebodohan, lalu
menyatakan bahwa tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari
empatbelas abad sejak masa Rasulullah saw masih berpegang dengan pola pikir
yang sama dengan pola pikir masa kenabian, harus dilakukan upaya tajdîd
(pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan
kondisi. Menurut mereka, Islam harus diberi suntikkan pemikiran-pemikiran
“modern.”
Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran
yang menjadi bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, dan menetapkan perspektif
baru dalam kehidupan mereka. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim
beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat
dari pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami
agar Islam tetap berada pada kemodernannya.
Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti:
inna ad-dîna marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti
perkembangan), khudz wa thâlib (ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl bimâ
yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i (menerima apapun yang sesuai
dengan syara’ atau apapun yang tidak bertentangan dengan syara’), irtikâbu
akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan
~ 36 ~
bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu kulluhu lâ
yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan
ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi al-Islâm (bertahap dalam penerapan
Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi adalah bagian dari Islam), lâ
yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak diingkari
perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takûnu al-
maslahah fatsamma syar’ullâh (di mana ada maslahat di sana ada hukum Allah).
Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah
berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan ”kebangkitan Islam modern” yang
dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan
muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemason, Muhammad Abduh, yang
saat itu digelari syaikhul Islam.
Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang
memiliki niat buruk dan kebusukan yang tersembunyi dengan maksud bisa
memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab kekuatan mereka, dan
mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam diri terhadap
penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.
Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan
maksud yang baik, tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan
obat mujarab yang menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini,
yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan.
Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik,
pengaruhnya terhadap realitas kaum Muslim sama saja. Pemikiran orang-orang
kafir pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan tidak
mampu mengusir keburukan.
Allah Swt. telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah
cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah
menentukan metode pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk
menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan
oleh seorang muslim kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah
diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah Swt.
Kaidah berpikir seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan
~ 37 ~
dalil-dalil syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki
dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan
alasan apapun tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas
kebangkitan kita secara sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya.
Kaidah-kaidah dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’
yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang
mereka dipaparkan agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Di mana ada
hukum syara’ di situ ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Hukum asal perbuatan
adalah terikat dengan hukum syara’, ‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah
mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya’, ‘Terpuji (hasan) itu
adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan tercela (qabih) itu adalah apa-
apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang
diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah’, ‘Tidak
ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa yang berpaling dari hukum
Allah maka baginya kehidupan yang sempit’, ‘Sesungguhnya umat Islam adalah
umat yang satu tidak seperti umat yang lain’, ‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui
ashobiyah wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah
(sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah gaya hidup yang istimewa, yang berbeda
dengan gaya hidup lainnya secara diametral.’
Jika sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan
menunjukkan dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang
telah dipegang oleh generasi salafush shâlih. Kita tidak boleh keluar dari
keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku
bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang tercela.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian
berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya,
sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” (Sirah Ibnu
Hisyam)
Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Semuanya berada di Neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat)
~ 38 ~
bertanya: ‘Siapa orang-orang yang termasuk golongan yang selamat itu
wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan
para sahabatku sekarang ini’.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ibnu Hanbal)
Rasulullah Saw. bersabda:
“Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak
akan menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat.”
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-
orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka....” (HR.
Muslim)
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barangsiapa di antara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat
perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat
perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan
setiap bid’ah berada di Neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan Sunnah
Khulafâ ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah
kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Hadits-hadits tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (terpuji) dan
peringatan agar menjauhi perkara bid’ah. Semakin jauh suatu zaman dengan masa
Rasulullah Saw. maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih
konsisten dan lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan
keikhlasan yang lebih besar.
Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi
Saw. dan sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk dan harus
melaksanakan apapun yang Rasulullah saw dan para sahabat kerjakan, maka kita
tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan tidak keluar lalu
terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak.
~ 39 ~
- Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa
kita sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya.
- Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci.
- Kita harus menjaga metode istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang
bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum-
hukum syara’.
- Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam
kehidupan kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita;
lebih penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat
Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan perintah-perintah
Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan salafush
shâlih.
- Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya
dari jiwa dan akal kita karena bisa merusak akidah, serta membuang jauh-jauh
segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra. yang telah
melucuti seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka
memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan.
Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena
umat di masa akhir ini tidak akan baik kecuali dengan menggunakan perkara yang
menjadikan umat di masa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan di mana kaum
Muslim harus memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat ataupun
jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya
kondisi mereka.
Konsep kompromistis Tadarruj (bertahap) juga berarti menerapkan sedikit
hukum syara dengan ikut melestarikan penerapan hukum selain syara’ untuk
sementara waktu, hingga menurut asumsinya akan tiba saatnya penerapan hukum
syara’ secara sempurna.
Sesungguhnya tadarruj (pentahapan) tidak terkait dengan tahapan-tahapan
tertentu. Juga tidak tunduk kepada kaidah-kaidah yang mengikat -menurut orang-
orang yang membolehkannya-.
Konsep kompromistis tadarruj (bertahap) bisa mencakup juga pemikiran-
pemikiran yang berkaitan dengan akidah, seperti ‘Sesungguhnya sosialisme itu
bagian dari Islam’ atau ‘Sesungguhnya demokrasi adalah bagian dari Islam’. Bisa
~ 40 ~
pula mencakup hukum-hukum syara’. Bisa tadarruj berkaitan dengan sistem,
seperti tuntutan agar turut serta sebagai penguasa di dalam sistem pemerintahan
non-Syariah, meskipun hal itu haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para
pendukung tadarruj itu sendiri. Namun, menurut mereka bukan tuntutan itu yang
menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya dalam kekuasaan di pemerintahan
kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan Islam yang merupakan pokok dan
kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk
mewujudkan sebagian hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum kuur,
dengan harapan akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian
diasumsikan bisa menjadi mayoritas dan seterusnya. Orang yang meyakini tadarruj
bersikukuh dengan cara-caranya ini dan berusaha mengajak orang lain untuk
mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai bahwa orang yang melontarkan ide ini
adalah orang yang takwa, yang jika berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak
menerima adanya tahapan-tahapan, akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain
dia menerima adanya tadarruj karena dia menghendaki agar orang lain dapat
menjalankan hukum syara’, di samping agar mereka tidak menolak dakwah kepada
hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang turut melestarikan
hukum-hukum kufur dan mengupayakan sebagian dari hukum-hukum Islam adalah
lebih baik daripada tidak melaksanakannya sama sekali.
Para pendukung ide ini menggunakan pembenaran yang memperkuat
pemahaman mereka dalam pemikiran dan dakwah Islam. Dalam rangka mencapai
tujuan yang ingin dicapainya mereka telah mempergunakan alasan-alasan itu
sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tunduk kepada
nash dan dalalah (penunjukannya)-nya. Mereka malah mempergunakankan nash
agar sesuai dengan keinginan mereka.
Dahulu, jihad futuhât (penaklukan/pembebasan) oleh Islam melalui Negara
Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-negeri dibuka.
Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah.
Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih barunya ke-
Islaman saudara-saudara mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamar
melalui tahapan sebagaimana asumsi “tahapan” yang telah dilalui dalam
pengharaman khamar. Padahal bisa diasumsikan kondisi saat itu menuntut mereka
dan sangat dibutuhkan seandainya asumsi pentahapan bisa dijadikan sebagai
patokan.
Wajar saja para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah
tadarruj. Kiranya benarlah sabda Rasulullah Saw.:
~ 41 ~
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang menjumpai perbedaan
yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang
menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang
demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam Neraka.”
(HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hukum Syariah telah lengkap, yang secara syar’i tidak boleh kembali kepada
hukum kufur. Jika kita melaksanakan hukum jahiliyah, berarti kita telah
melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah Swt. kepada kita. Inilah
pendapat orang-orang terdahulu dan kemudian.
Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan hukum-hukum berdasarkan peristiwa-
peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati. Yang pertama kali turun adalah
masalah iman, kemudian tentang Surga dan Neraka. Setelah itu halal dan haram.
Hal ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian yang
lain.
Saat itu kaum Muslim bertanggung jawab sebatas (ayat-ayat) al-Qur’an yang
diturunkan, tidak lebih dari itu.
Ketika ayat-ayat tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum banyak belum turun, maka kaum Muslim –saat itu-
bertanggung jawab terhadap Islam seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas-
batas yang telah dijelaskan nash-nash syara’ yang telah turun.
Kaum Muslim selalu harus bertanggungjawab terhadap hukum-hukum Islam
yang berkaitan dengan individu muslim dalam setiap keadaan, baik daulah Islam
telah eksis ataupun belum ada. Sedangkan hukum-hukum Islam yang disandarkan
pembebanannya kepada negara maka tetap berkaitan dengan negara yang harus
dipastikan terpenuhinya. Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang
lainnya. Tidak ada yang namanya kembali ke belakang.
Ide tentang tadarruj (pentahapan) bukan berasal dari syara’ dan tidak boleh
menisbahkannya kepada syara’. Permasalahan ini terkait dengan metode berpikir
yang tidak sesuai dengan syara’ dalam kondisi apapun.
Islam memiliki sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan
tabi’at sistem Islam itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata.
~ 42 ~
Tatkala seorang muslim terikat dengan hukum syara’ maka dia harus
menjadikan keterikatannya itu berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Jika tidak
demikian maka konsistensinya itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia
mengajak orang lain kepada Islam maka dia wajib menjadkan iman kepada Allah
Swt. sebagai asas dakwahnya.
Akidah Islam serta tauhid mengandung pengertian wajibnya berpasrah untuk
menerima seluruh syariah Islam, jika TIDAK MAU MENERIMA Syariah Islam
sebagai wujud KETUNDUKAN HATI kepada Allah berarti akidahnya, tauhidnya
rusak.
Agar seorang muslim berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan
yang benar dan lurus maka wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan
mewujudkannya kemudian memupuknya. Apabila seorang muslim tidak bersandar
kepada asas ruhiyah ketika melaksanakan syariat, maka hal itu dapat
menjerumuskannya pada dosa, bahkan bisa menggelincirkannya kepada syirik.
Rasulullah Saw. telah berkata kepada bani ‘Amir bin Sha’sha’ah ketika beliau
mendakwahkan Islam kepada mereka dan meminta nushrah (pertolongan) kepada
mereka:
‘Perkara (kekuasaan Islam) itu di tangan Allah, Dialah Yang menetapkan
sekehendak-Nya’. (Sirah Ibnu Hisyam)
Ini diucapkan beliau tatkala mereka meminta kepada beliau (sebagai syarat
pertolongan mereka) agar kendali kekuasaan diberikan kepada mereka setelah
wafatnya Rasulullah Saw. Hal itu terjadi pada saat kondisi beliau Saw. sangat
membutuhkan adanya orang (pihak) yang dapat menolong dakwah.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw merupakan ajakan yang benar, dan
perintah Allah-lah yang menjadikannya benar di dalam perkataannya tanpa
mengindahkan lagi bujuk rayu dan tawar menawar (kompromi), agar dapat
diketahui dengan jelas orang-orang yang benar dan orang-orang yang salah.
Rasulullah Saw. telah mengatakan kepada paman beliau Abi Thalib:
“Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di
tangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini
(dakwah) maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah akan
memenangkanku atau aku binasa karenanya.” (Sirah Ibnu Hisyam)
~ 43 ~
Nash yang berasal dari Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa beliau tidak
menerima sedikitpun kompromi atau tawar menawar di dalam syari’at. Beliau
dalam hal ini telah memberikan sebaik-baik contoh di dalam dakwahnya. Beliau
tidak mencari muka, tidak “berdamai”, tidak mengikuti mereka, tidak
menunjukkan keridhoan dan tidak berbasa-basi kepada para penguasa. Dakwah
beliau jelas dan berani, yang bisa melahirkan pemikiran yang benar, yang
mematahkan dan menyebabkan kebatilan itu sirna.
Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhijrah dari Makkah,
dari tempat di mana mereka tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah
Swt. ke tempat mereka bisa melaksanakannya. Dan Allah mengharamkan mereka
tetap tinggal di tempat selain Negara Islam yang telah berdiri untuk tegaknya
seluruh amal Islam (kecuali kerena keterpaksaan yang sungguh-sungguh). Firman
Allah Swt:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan
bagaimana kamu ini? mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang
tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah
itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” (TQS. an-Nisa [4]: 97)
Rasulullah Saw. memulai dakwahnya dengan Lâ ilâha illa Allah Muhammad
Rasulullâh dan beliau mulai menyampaikan kalimat itu kepada kaumnya. Kalimat
itu pula ucapannya yang terakhir tanpa ada perubahan sedikitpun. Apakah beliau
mendakwahkan sesuatu yang lebih ringan dari (kalimat) itu terlebih dahulu
sehingga bisa menuai simpati penguasa dan penduduk Makkah, kemudian beliau
berdakwah menyampaikannya secara bertahap sampai akhirnya menyampaikan
hukum Allah yang sebenarnya? Sesungguhnya kalimat itu merupakan awal dan
akhir dakwah beliau Saw.
Abu Bakar ra. telah memerangi orang-orang yang bersikeras tidak mau
membayar zakat. Beliau tidak memberikan tempo (jeda waktu) dan tidak pula
ridha kepada mereka. Tidakkah kita ingat terhadap perkataannya yang terkenal:
‘Demi Allah, seandainya mereka tidak mau membayar zakat kepadaku
sebagaimana mereka telah membayarnya kepada Rasulullah Saw. maka
sungguh aku akan memerangi mereka’.
Padahal kaum Muslim saat itu sedang menghadapi gerakan pemurtadan dan
pembangkangan yang sangat besar?
~ 44 ~
Kaum Muslim terdahulu telah mengemban dakwah kepada Islam tanpa ada
pemahaman tadarruj (pentahapan). Dan mereka mengambil metode ini pada saat
mereka menerapkan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan, yang wilayahnya
berubah dari dâr al-kufur menjadi dâr al-Islâm. Kaum Muslim terdahulu tidak
mempedulikan kondisi negeri-negeri yang saat itu baru memeluk Islam, tidak
berkompromi untuk membiarkan mereka berhukum kufur demi pentahapan.
Mereka tidak membiarkan orang-orang yang baru masuk Islam itu meminum
khamr sedikit sampai jiwa-jiwa mereka terbiasa dengan tidak meminumnya; dan
tidak membolehkan bermuamalah dengan riba sedikit; dan tidak membolehkan
melacur dengan wanita sedikitpun,.... Mereka masuk ke dalam agama Islam secara
keseluruhan. Mereka semuanya dilarang mempraktekkan riba, zina atau minum
khamr, dan seluruh perkara yang diharamkan Allah atas mereka. Mereka
menerapkan hukum-hukum syari’at yang telah dibebankan, baik kewajiban yang
dibebankan itu terkait dengan individu ataupun jama’ah, fardhu ‘ain ataupun
fardhu kifayah.
Syari’at secara umum telah menunjukkan atas wajibnya membalut dakwah
dengan kebenaran dan lurusnya jalan. Firman Allah Swt:
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab
(al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai
bimbingan yang lurus.” (TQS. al-Kahfi [18] 1-2)
Allah Swt. telah memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang kafir ingin
membujuk-bujuk kita, berjalan bersama mereka, dan agar kita melepaskan
kebenaran serta agar kita menerima perkara-perkara yang dianggap (pada
mulanya) sebagai perkara yang enteng dan sepele terhadap kekafiran. Allah Swt
berfirman:
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul)
dari diri mereka sendiri.” (TQS. al-Baqarah [2]: 109)
Kemudian dengan hukum-hukum, firman Allah Swt:
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka
bersikap lunak (pula kepadamu).” (TQS. al-Qalam [68]: 9)
~ 45 ~
“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat
Allah).” (TQS. al-Qalam [68]: 8)
Rabb kita telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah)nya kita terhadap orang-
orang dzalim. Firman Allah Swt:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang
menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain Allah, kemudian kamu tidak akan
diberi pertolongan.” (TQS. Hud [11]: 113)
Dakwah yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu
menjadikan keterikatan seorang muslim dengan syari’atnya secara sempurna,
meskipun orang tersebut baru masuk Islam atau baru saja terikat dengan hukum
syara.’ Tidak ada jalan lain bagi kita, sebagai pengemban dakwah, selain dari
menanamkan iman ke dalam jiwa dan menjaganya hingga memperoleh (panen)
buah yang paling baik dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan takwa.
Daulah Islam tidak dibangun oleh orang-orang yang kosong dari pemikiran
Islam, atau yang disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas
orang-orang yang tidak menjalankan aktivitas dakwah, dan orang-orang yang tidak
terpengaruh oleh dakwah maupun orang-orang yang terpaksa menerima dakwah.
Daulah Khilafah Islam, wajib dibangun di atas opini umum yang terpancar dari
kesadaran umum, yang menerima pemikiran Islam dan menerima ide untuk ber-
tahkim kepada Islam. Dengan demikian tidak diperlukan sikap dengan mengikuti
nafsu manusia atau mengikuti realitas yang menyimpang, karena Allah telah
memerintahkan kita untuk merubah jiwa-jiwa (manusia) dan merubah realitas
(yang ada) agar sesuai dengan Islam.
Apabila kita menengok kembali al-Qur’an, kemudian kita dalami lagi ayat-
ayatnya, pasti kita akan mengetahui bahwa perintah untuk menerapkan hukum
Islam bersifat qath’i.
Rasulullah Saw. dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali
diturunkan ayat al-Qur’an, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu-
nunggu atau memperlambatnya. Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring
dengan turunnya ayat.
~ 46 ~
Setelah turunnya ayat:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]: 3)
Kaum Muslim dituntut untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan
tuntutan yang bersifat menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah
ataupun akhlaq; baik itu terkait dengan muamalat ataupun dengan aspek
pemerintahan, ekonomi, sosial atau politik luar negeri; baik dalam kondisi damai
maupun perang.
Firman Allah Swt:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Ambillah dan amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah Saw., dan
tinggalkanlah serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata (mâ) di dalam
ayat itu termasuk dalam kategori bentuk umum, yang mencakup wajibnya beramal
dengan seluruh kewajiban, dan wajibnya meninggalkan atau menjauhi seluruh
larangan. Tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan yang terdapat di
dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarînah (indikasi) yang terdapat di ujung ayat,
(yaitu) berupa perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan azab yang pedih bagi
yang tidak melaksanakan ayat tersebut.
Firman Allah Swt:
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu
mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”
(TQS. al-Maidah [5]: 49)
Ayat ini memerintahkan kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan
perintah yang bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah; baik itu berupa perintah ataupun larangan.
Di dalam ayat itu juga Rasulullah Saw. dan kaum Muslim setelah beliau dilarang
untuk mengikuti hawa nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan mereka.
~ 47 ~
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam
Buku Propaganda Ideologi Islam

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Kepemimpinan dalam islam bahan ngajar
Kepemimpinan dalam islam bahan ngajarKepemimpinan dalam islam bahan ngajar
Kepemimpinan dalam islam bahan ngajarIyeh Solichin
 
Indonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialisme
Indonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialismeIndonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialisme
Indonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialismeAhmad Harmoko
 
M3 Fikrah&Tariqah
M3 Fikrah&TariqahM3 Fikrah&Tariqah
M3 Fikrah&Tariqahcucur
 
Seminar khilafah
Seminar khilafahSeminar khilafah
Seminar khilafahel-hafiy
 
Aplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnik
Aplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnikAplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnik
Aplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnikZida Min
 
Mengenal syariah islam 2
Mengenal syariah islam 2Mengenal syariah islam 2
Mengenal syariah islam 2el-hafiy
 
Syariah islam
Syariah islamSyariah islam
Syariah islamel-hafiy
 
Jamaah jamaah islam
Jamaah jamaah islamJamaah jamaah islam
Jamaah jamaah islamHadzaa Choir
 
M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2
M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2
M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2Ardi Muluk
 
Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir IndonesiaHizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir IndonesiaAvandy Satya
 

Was ist angesagt? (18)

Pai
PaiPai
Pai
 
Kepemimpinan dalam islam bahan ngajar
Kepemimpinan dalam islam bahan ngajarKepemimpinan dalam islam bahan ngajar
Kepemimpinan dalam islam bahan ngajar
 
Indonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialisme
Indonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialismeIndonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialisme
Indonesia dalam cengkeraman neoliberalisme neoimperialisme
 
M3 Fikrah&Tariqah
M3 Fikrah&TariqahM3 Fikrah&Tariqah
M3 Fikrah&Tariqah
 
Tsawabit
TsawabitTsawabit
Tsawabit
 
Seminar khilafah
Seminar khilafahSeminar khilafah
Seminar khilafah
 
Rekonstruksi negara ideal
Rekonstruksi negara idealRekonstruksi negara ideal
Rekonstruksi negara ideal
 
Politik dalam islam
Politik dalam islamPolitik dalam islam
Politik dalam islam
 
Aplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnik
Aplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnikAplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnik
Aplikasi maqasid syariah dalam hubungan etnik
 
Ta'rif Hizbut Tahrir
Ta'rif Hizbut TahrirTa'rif Hizbut Tahrir
Ta'rif Hizbut Tahrir
 
Mengenal syariah islam 2
Mengenal syariah islam 2Mengenal syariah islam 2
Mengenal syariah islam 2
 
Syariah islam
Syariah islamSyariah islam
Syariah islam
 
islam kaffah
islam kaffahislam kaffah
islam kaffah
 
Mengenal islam sebagai mabda (ideologi)
Mengenal islam sebagai mabda (ideologi)Mengenal islam sebagai mabda (ideologi)
Mengenal islam sebagai mabda (ideologi)
 
Islam politik (political islam)
Islam politik (political islam)Islam politik (political islam)
Islam politik (political islam)
 
Jamaah jamaah islam
Jamaah jamaah islamJamaah jamaah islam
Jamaah jamaah islam
 
M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2
M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2
M12mengenal hizbut-tahrir-1234601443516523-2
 
Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir IndonesiaHizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir Indonesia
 

Andere mochten auch

Mencintai dan mengikuti rasul saw secara kâffah
Mencintai  dan mengikuti  rasul saw secara kâffahMencintai  dan mengikuti  rasul saw secara kâffah
Mencintai dan mengikuti rasul saw secara kâffahMush'ab Abdurrahman
 
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDFBUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDFAnas Wibowo
 
Mulai akar-hingga-daun
Mulai akar-hingga-daunMulai akar-hingga-daun
Mulai akar-hingga-daunelgorutijundi
 
Hizbut Tahrir dari A-Z
Hizbut Tahrir dari A-ZHizbut Tahrir dari A-Z
Hizbut Tahrir dari A-Znahdalife
 
Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)
Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)
Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)Abdul Hakim
 
Ideologi ideologi besar
Ideologi ideologi besarIdeologi ideologi besar
Ideologi ideologi besaridbloginfo
 
Pesona Idola Remaja - LDS DPP HTI
Pesona Idola Remaja - LDS DPP HTIPesona Idola Remaja - LDS DPP HTI
Pesona Idola Remaja - LDS DPP HTIGuslaeni Hafid
 
Daurah rekrutmen
Daurah rekrutmenDaurah rekrutmen
Daurah rekrutmenAbdul Hakim
 
Bagaimana menyentuh hati (da'wah) abbas as siisi
Bagaimana menyentuh hati (da'wah)  abbas as siisiBagaimana menyentuh hati (da'wah)  abbas as siisi
Bagaimana menyentuh hati (da'wah) abbas as siisiAmir Dauly
 
Hadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsan
Hadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsanHadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsan
Hadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsanAbdul Muchith
 
The power of twitter for dakwah by @Hafidz341
The power of twitter for dakwah by @Hafidz341The power of twitter for dakwah by @Hafidz341
The power of twitter for dakwah by @Hafidz341Guslaeni Hafid
 
Cara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'aniCara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'aniFaisal Pak
 

Andere mochten auch (20)

Mengenal mabda sosialisme komunisme
Mengenal mabda sosialisme komunismeMengenal mabda sosialisme komunisme
Mengenal mabda sosialisme komunisme
 
Mencintai dan mengikuti rasul saw secara kâffah
Mencintai  dan mengikuti  rasul saw secara kâffahMencintai  dan mengikuti  rasul saw secara kâffah
Mencintai dan mengikuti rasul saw secara kâffah
 
Perkembangan islam
Perkembangan islamPerkembangan islam
Perkembangan islam
 
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDFBUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
BUKLET Kewajiban Syariah Islam PDF
 
Mulai akar-hingga-daun
Mulai akar-hingga-daunMulai akar-hingga-daun
Mulai akar-hingga-daun
 
ABC PSI
ABC PSI ABC PSI
ABC PSI
 
Hizbut Tahrir dari A-Z
Hizbut Tahrir dari A-ZHizbut Tahrir dari A-Z
Hizbut Tahrir dari A-Z
 
Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)
Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)
Pedoman pemberdayaan orang tua sit (ery masruri)
 
Ideologi ideologi besar
Ideologi ideologi besarIdeologi ideologi besar
Ideologi ideologi besar
 
Pesona Idola Remaja - LDS DPP HTI
Pesona Idola Remaja - LDS DPP HTIPesona Idola Remaja - LDS DPP HTI
Pesona Idola Remaja - LDS DPP HTI
 
Fiqh Amal Islami
Fiqh Amal IslamiFiqh Amal Islami
Fiqh Amal Islami
 
Daurah rekrutmen
Daurah rekrutmenDaurah rekrutmen
Daurah rekrutmen
 
Bagaimana menyentuh hati (da'wah) abbas as siisi
Bagaimana menyentuh hati (da'wah)  abbas as siisiBagaimana menyentuh hati (da'wah)  abbas as siisi
Bagaimana menyentuh hati (da'wah) abbas as siisi
 
Hadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsan
Hadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsanHadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsan
Hadis 2 Arbain Nawawi. iman – islam – ihsan
 
The power of twitter for dakwah by @Hafidz341
The power of twitter for dakwah by @Hafidz341The power of twitter for dakwah by @Hafidz341
The power of twitter for dakwah by @Hafidz341
 
Dakwah fardiyah mustafa masyhur
Dakwah fardiyah   mustafa masyhurDakwah fardiyah   mustafa masyhur
Dakwah fardiyah mustafa masyhur
 
Alur takatul hizb
Alur takatul hizbAlur takatul hizb
Alur takatul hizb
 
Manajemen kaderisasi
Manajemen kaderisasiManajemen kaderisasi
Manajemen kaderisasi
 
Dakwah itu mudah
Dakwah itu mudahDakwah itu mudah
Dakwah itu mudah
 
Cara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'aniCara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'ani
 

Ähnlich wie Buku Propaganda Ideologi Islam

Peran partai politik dalam negara khilafah
Peran partai politik dalam negara khilafahPeran partai politik dalam negara khilafah
Peran partai politik dalam negara khilafahFlamencoRizky
 
Mengkaji Kitab Al Takattul Al Hizbiy
Mengkaji Kitab Al Takattul Al HizbiyMengkaji Kitab Al Takattul Al Hizbiy
Mengkaji Kitab Al Takattul Al Hizbiykha27lid
 
PARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptx
PARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptxPARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptx
PARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptxssuser51ea3d
 
Soal Jawab Seputar Gerakan Islam
Soal Jawab Seputar Gerakan IslamSoal Jawab Seputar Gerakan Islam
Soal Jawab Seputar Gerakan IslamAnas Wibowo
 
(02) Pembentukan partai-politik
(02) Pembentukan partai-politik(02) Pembentukan partai-politik
(02) Pembentukan partai-politikArwan Amin
 
Kedudukan sistem politik dalam islam
Kedudukan sistem politik dalam islamKedudukan sistem politik dalam islam
Kedudukan sistem politik dalam islamHaan Herdiantara
 
Mengkaji kitab-1226846459760474-8
Mengkaji kitab-1226846459760474-8Mengkaji kitab-1226846459760474-8
Mengkaji kitab-1226846459760474-8Muhammad Sidqi
 
9 tips awet muda secara islami
9 tips awet muda secara islami9 tips awet muda secara islami
9 tips awet muda secara islamiSiti Yaa Dhani
 
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesiaKonsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesiaDimebag Darrell
 
5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt
5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt
5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).pptBudiPrasetyo203326
 
Murtad Bukan Hak Asasi
Murtad Bukan Hak AsasiMurtad Bukan Hak Asasi
Murtad Bukan Hak AsasiYumie Mie
 
Pemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesiaPemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesiaTrisna Nurdiaman
 
Strategi perjuangan muhammadiyah
Strategi perjuangan muhammadiyahStrategi perjuangan muhammadiyah
Strategi perjuangan muhammadiyahMuhsin Hariyanto
 
ISU LIBERALISME DI MALAYSIA
ISU LIBERALISME DI MALAYSIAISU LIBERALISME DI MALAYSIA
ISU LIBERALISME DI MALAYSIAAliffAzahar
 

Ähnlich wie Buku Propaganda Ideologi Islam (20)

Peran partai politik dalam negara khilafah
Peran partai politik dalam negara khilafahPeran partai politik dalam negara khilafah
Peran partai politik dalam negara khilafah
 
Fikrul Islam (handy book)
Fikrul Islam (handy book)Fikrul Islam (handy book)
Fikrul Islam (handy book)
 
Partai politik-dalam-islam
Partai politik-dalam-islamPartai politik-dalam-islam
Partai politik-dalam-islam
 
Makalah 1
Makalah 1Makalah 1
Makalah 1
 
Mengkaji Kitab Al Takattul Al Hizbiy
Mengkaji Kitab Al Takattul Al HizbiyMengkaji Kitab Al Takattul Al Hizbiy
Mengkaji Kitab Al Takattul Al Hizbiy
 
Tugas tik 4
Tugas tik 4Tugas tik 4
Tugas tik 4
 
PARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptx
PARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptxPARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptx
PARPOL PERSPEKTIF ISLAM.pptx
 
Soal Jawab Seputar Gerakan Islam
Soal Jawab Seputar Gerakan IslamSoal Jawab Seputar Gerakan Islam
Soal Jawab Seputar Gerakan Islam
 
(02) Pembentukan partai-politik
(02) Pembentukan partai-politik(02) Pembentukan partai-politik
(02) Pembentukan partai-politik
 
Kedudukan sistem politik dalam islam
Kedudukan sistem politik dalam islamKedudukan sistem politik dalam islam
Kedudukan sistem politik dalam islam
 
Tarbiyah siyasiyah
Tarbiyah siyasiyahTarbiyah siyasiyah
Tarbiyah siyasiyah
 
Mengkaji kitab-1226846459760474-8
Mengkaji kitab-1226846459760474-8Mengkaji kitab-1226846459760474-8
Mengkaji kitab-1226846459760474-8
 
9 tips awet muda secara islami
9 tips awet muda secara islami9 tips awet muda secara islami
9 tips awet muda secara islami
 
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesiaKonsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
Konsep sistem imunitas dalam penanggulangan terorisme di indonesia
 
Soal tes tertulis
Soal tes tertulisSoal tes tertulis
Soal tes tertulis
 
5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt
5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt
5_PARPOL ISLAM IDEOLOGIS (2).ppt
 
Murtad Bukan Hak Asasi
Murtad Bukan Hak AsasiMurtad Bukan Hak Asasi
Murtad Bukan Hak Asasi
 
Pemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesiaPemikiran pilitik islam indonesia
Pemikiran pilitik islam indonesia
 
Strategi perjuangan muhammadiyah
Strategi perjuangan muhammadiyahStrategi perjuangan muhammadiyah
Strategi perjuangan muhammadiyah
 
ISU LIBERALISME DI MALAYSIA
ISU LIBERALISME DI MALAYSIAISU LIBERALISME DI MALAYSIA
ISU LIBERALISME DI MALAYSIA
 

Mehr von Anas Wibowo

Booklet penjelasan Politik Partai .PDF
Booklet penjelasan Politik Partai .PDFBooklet penjelasan Politik Partai .PDF
Booklet penjelasan Politik Partai .PDFAnas Wibowo
 
Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]
Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]
Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]Anas Wibowo
 
Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]
Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]
Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]Anas Wibowo
 
Menyoal Penceramah Radikal [pptx]
Menyoal Penceramah Radikal [pptx]Menyoal Penceramah Radikal [pptx]
Menyoal Penceramah Radikal [pptx]Anas Wibowo
 
Muslim Pelaksana Syariat Islam
Muslim Pelaksana Syariat IslamMuslim Pelaksana Syariat Islam
Muslim Pelaksana Syariat IslamAnas Wibowo
 
Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]
Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]
Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]Anas Wibowo
 
Menutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPT
Menutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPTMenutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPT
Menutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPTAnas Wibowo
 
Hijrah: Kemerdekaan Hakiki
Hijrah: Kemerdekaan HakikiHijrah: Kemerdekaan Hakiki
Hijrah: Kemerdekaan HakikiAnas Wibowo
 
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiKeunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiAnas Wibowo
 
Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]
Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]
Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]Anas Wibowo
 
RUU HIP Mengandung Bahaya Besar
RUU HIP Mengandung Bahaya BesarRUU HIP Mengandung Bahaya Besar
RUU HIP Mengandung Bahaya BesarAnas Wibowo
 
Komunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan Umat
Komunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan UmatKomunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan Umat
Komunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan UmatAnas Wibowo
 
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020Anas Wibowo
 
Hukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui
Hukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan MenyusuiHukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui
Hukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan MenyusuiAnas Wibowo
 
Hukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPT
Hukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPTHukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPT
Hukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPTAnas Wibowo
 
Fiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan Ramadhan
Fiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan RamadhanFiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan Ramadhan
Fiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan RamadhanAnas Wibowo
 
Solusi Syariah Untuk Bisnis Saat Wabah
Solusi Syariah Untuk Bisnis Saat WabahSolusi Syariah Untuk Bisnis Saat Wabah
Solusi Syariah Untuk Bisnis Saat WabahAnas Wibowo
 
Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)
Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)
Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)Anas Wibowo
 
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Anas Wibowo
 
kitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arab
kitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arabkitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arab
kitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF ArabAnas Wibowo
 

Mehr von Anas Wibowo (20)

Booklet penjelasan Politik Partai .PDF
Booklet penjelasan Politik Partai .PDFBooklet penjelasan Politik Partai .PDF
Booklet penjelasan Politik Partai .PDF
 
Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]
Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]
Kritik atas Aqidah Sekularisme - expo rajab [pdf]
 
Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]
Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]
Depresi Ibu Rumah Tangga Bagaimana Solusi Islam [pdf]
 
Menyoal Penceramah Radikal [pptx]
Menyoal Penceramah Radikal [pptx]Menyoal Penceramah Radikal [pptx]
Menyoal Penceramah Radikal [pptx]
 
Muslim Pelaksana Syariat Islam
Muslim Pelaksana Syariat IslamMuslim Pelaksana Syariat Islam
Muslim Pelaksana Syariat Islam
 
Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]
Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]
Riba - Dosanya NgeRIBAnget [PPT]
 
Menutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPT
Menutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPTMenutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPT
Menutup Aurat yang Benar - Sesuai Syariah .PPT
 
Hijrah: Kemerdekaan Hakiki
Hijrah: Kemerdekaan HakikiHijrah: Kemerdekaan Hakiki
Hijrah: Kemerdekaan Hakiki
 
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-JawiKeunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
Keunggulan Sistem Pidana Islam - KH. Shiddiq al-Jawi
 
Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]
Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]
Uang-Uang Haram dalam Demokrasi [PDF]
 
RUU HIP Mengandung Bahaya Besar
RUU HIP Mengandung Bahaya BesarRUU HIP Mengandung Bahaya Besar
RUU HIP Mengandung Bahaya Besar
 
Komunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan Umat
Komunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan UmatKomunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan Umat
Komunisme VS Dakwah Menuju Kebangkitan Umat
 
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020
 
Hukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui
Hukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan MenyusuiHukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui
Hukum Meng-Qadha` Puasa Bagi Wanita Hamil Dan Menyusui
 
Hukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPT
Hukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPTHukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPT
Hukum Utang (ad-Dain) dan Pinjaman (al-Qardh) .PPT
 
Fiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan Ramadhan
Fiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan RamadhanFiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan Ramadhan
Fiqih Ramadhan - syariat berkaitan dengan bulan Ramadhan
 
Solusi Syariah Untuk Bisnis Saat Wabah
Solusi Syariah Untuk Bisnis Saat WabahSolusi Syariah Untuk Bisnis Saat Wabah
Solusi Syariah Untuk Bisnis Saat Wabah
 
Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)
Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)
Hukum Ihtikar (Menimbun Barang Dagangan)
 
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)
 
kitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arab
kitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arabkitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arab
kitab Nizhom ul Hukmi fil Islam PDF Arab
 

Buku Propaganda Ideologi Islam

  • 1.
  • 2. PROPAGANDA IDEOLOGI ISLAM Pemikiran Partai Ideologi Islam Sesungguhnya realitas buruk umat ini perlu diubah. Perubahan itu seharusnya dilakukan secara politis melalui sebuah partai (kutlah) politik yang ditegakkan di atas dasar ideologi (mabda’) Islam. Oleh karena itu harus ada penelitian terhadap berbagai karakteristik partai politik ideologi Islam yang ada, berikut faktor-faktor pendukungnya. Di samping itu harus pula dilakukan penelitian terhadap sejumlah partai politik terdahulu dalam rangka mengetahui sebab-sebab kegagalan dan kehancurannya, terutama menyangkut aspek keorganisasiannya. Hal ini termasuk di antara materi yang mesti ada dalam pemikiran (tsaqâfah) kolektif organisasi/partai. Umat Islam saat ini hidup di dalam struktur masyarakat yang pemikiran, perasaan, dan peraturannya campur-aduk. Oleh karena itu, perjuangan untuk mendirikan Daulah Islamiyah pasti akan berhadapan vis a vis dengan masyarakat berikut seluruh realitas, komponen, dan apa saja yang berpengaruh di dalamnya; di samping akan berhadapan dengan bagaimana cara mengubahnya agar tercipta suatu masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang bersifat satu warna dan khas Islam. Realitas individu tidak sama dengan realitas masyarakat. Komponen- komponen pembentuk individu tentu berbeda dengan komponen-komponen pembentuk masyarakat. Berdasarkan hal ini, hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan individu berbeda pula dengan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan masyarakat. Aktivitas partai politik ideologi Islam berkaitan dengan transformasi sosial atau perubahan masyarakat. Oleh karena itu, ia harus mengadopsi secara rinci semua hal yang berkaitan dengan perubahan masyarakat, yakni berupa berbagai pemikiran dan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbaikan realitas masyarakat ini. ~ 2 ~
  • 3. Pada saat yang sama, organisasi/partai dakwah ideologi Islam harus memberikan petunjuk kepada setiap individu, baik yang menjadi anggotanya maupun yang menjadi anggota masyarakat, bahwa mereka wajib mengadopsi setiap hukum yang berkaitan dengan aktivitas dan perjuangannya. Hukum-hukum yang dimaksud, baik yang berkaitan dengan upaya mendirikan masyarakat Islam yang terkait dengan dirinya sebagai fardhu kifayah—yang tidak ada uzur baginya untuk meninggalkannya—ataupun yang berkaitan dengan pribadinya ketika partai politik ideologi Islam ini menyeru dirinya untuk terikat dengan syariat dalam masalah muamalat, ibadat, dan akhlak, yang seluruhnya tegak di atas landasan akidah Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Umat Islam saat ini banyak mempergunakan akal mereka yang telah teracuni oleh pemikiran Barat dan mengikuti hukum-hukum akal mereka dalam menentukan kemaslahatan. Untuk dapat meneladani dengan tepat dan benar- benar konsisten jalannya suatu aktivitas kita harus berhadapan dengan akal dan faktor-faktor penyusunnya. Dengan begitu akan diketahui batas-batas penggunaannya sekaligus cara-cara penggunaannya dalam masalah akidah, hukum-hukum syariat, pemikiran-pemikiran dan realitas yang ada. Aktivitas dakwah ini ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan menegakkan negara Khilafah Islam. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengetahuan mengenai perjalanan Rasulullah Saw. di Makkah dan berbagai aktivitas yang beliau lakukan, yang mengantarkan beliau pada tegaknya Daulah Islamiyah yang awalnya hanya seluas Madinah. Dari sinilah kita dapat meneladani beliau. Aktivitas perjuangan ini juga menuntut adanya upaya pembedaan antara hukum-hukum mengenai metode (tharîqah), sarana (wasîlah), dan strategi (uslûb) dakwah ideologi Islam, sehingga kita benar-benar tepat dalam meneladani Rasulullah Saw. Aktivitas dakwah ideologi Islam ini juga ditujukan untuk menegakkan hukum Allah dan mengganti sistem yang ada sekarang ini. Oleh karena itu, diperlukan adanya monitoring (kontrol) politik terhadap setiap aktivitas penguasa, sekaligus adanya pemahaman mengenai realitas mereka, keterlibatan mereka, dan politik negara-negara besar yang mengendalikan sepak terjang mereka, serta adanya upaya untuk membongkar segala strategi mereka. ~ 3 ~
  • 4. Sesungguhnya negeri-negeri Islam saat ini tunduk pada sistem kufur — khususnya pada peradaban Barat— dalam sistem pemikiran, sosial, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, perjalanan dakwah ideologi Islam untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah akan berhadapan dengan sejumlah ideologi, akidah, serta pemikiran dan sistem-sistem non-Islam yang dilahirkannya. Sesungguhnya tujuan syariat adalah diterapkannya Islam dan mengemban Islam sebagai risalah ke seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemaparan mengenai pemerintahan Islam dan Daulah Khilafah Islamiyah serta bentuk negaranya, berikut pilar-pilarnya, strukturnya, UUD-nya, dan pemikiran umum yang diterapkan di dalamnya; diperlukan adanya pemaparan bentuk-bentuk pemerintahan yang ada sekarang ini agar bisa dilihat adanya perbedaan antara Daulah Khilafah Islamiyah dan negara sistem kufur serta agar umat Islam tidak terpengaruh dengan segala bentuknya; serta diperlukan adanya pemaparan mengenai dasar negara. Dengan jalan (manhaj) semacam ini, partai politik ideologi Islam harus menempuh perjalanan dakwahnya dengan cara menentukan terlebih dulu pemikiran (tsaqâfah) kolektifnya. Pemikiran kolektif inilah yang dipraktikkan dan didakwahkan di tengah-tengah masyarakat dengan cara yang dituntut oleh dakwah yang ditujukan dalam rangka mengembalikan kehidupan Islam. Kehidupan Islam terwujud dengan penegakkan Khilafah Islamiyah yang memerintah umat Islam dan non-Muslim —yang menjadi rakyatnya— dengan Islam. Dari sinilah risalah Islam kemudian disebarluaskan ke luar negeri melalui aktivitas dakwah dan jihad yang dilakukan oleh negara Khilafah. Urgensi Akidah Islam Sebagaimana diketahui, akidah Islam harus menjadi motivator kerja partai politik ideologi Islam, dan upaya mendirikan pemerintahan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah harus menjadi tujuannya sehingga kehidupan Islam terwujud. Oleh karena itu, pemikiran kolektif yang diadopsi oleh partai politik Islam wajib diambil dalam bentuknya yang terikat kuat dengan akidah. Cara seperti itu akan mewujudkan rasa tanggung jawab, perhatian, kesungguhan, semangat yang berapi-api, serta pengorbanan pada para pengemban dakwah atau para aktivis partai ideologi Islam. Cara seperti ini juga, pada saat yang sama, akan menjadikan ~ 4 ~
  • 5. seorang Muslim mau menanggung berbagai kesulitan yang menghadangnya, dan tidak akan menjadikan pengemban dakwah menunggu ‘ucapan terima kasih’ dari manusia. Yang akan terjadi pada dirinya justru adalah rasa khawatir terhadap Hari Kiamat. Dengan begitu, dia senantisa ridha dengan segala kesulitan aktivitas yang dijalaninya serta keterhalangan dirinya dari kesenangan dan kenikmatan dunia. Semua itu dilakukan semata-mata demi memperoleh keridhaan Tuhannya serta demi memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan akhirat. Dijadikannya akidah Islam sebagai asas pemikiran partai politik ideologi Islam juga meniscayakan akidah Islam sebagai satu-satunya asas perubahan masyarakat. Artinya, perubahan sosial yang diupayakan semata-mata harus didasarkan pada akidah Islam; bukan karena faktor kebencian terhadap kezaliman yang meliputi masyarakat, atau agar masyarakat terlepas dari kebodohan, atau semata-mata demi memperbaiki keadaan. Dengan kata lain, faktor yang mendorong seorang Muslim untuk berdakwah dan yang mendorong kaum Muslim lainnya untuk menyambut seruan dakwahnya adalah pemikiran-pemikiran tentang keimanan. Hal inilah yang, pada dasarnya, merupakan manhaj yang dikehendaki oleh Islam. Pemikiran tentang keimanan yang dijadikan asas pemikiran kolektif bagi perubahan sosial ini wajib disampaikan dalam bentuk yang mampu mendorong tercapainya tujuan yang telah dicanangkan. Demikian pula dengan akidah Islam dan hukum-hukumnya serta penelitian terhadap realitas yang ada; wajib disampaikan dalam bentuk yang dapat mendukung tercapainya tujuan yang ada. Walhasil, pemikiran kolektif partai harus senantiasa diikat dengan akidah Islamiyah, dengan dalil-dalil syariat, dan yang disampaikan dengan cara yang dapat merealisasikan tujuan syariat. Tujuan tersebut adalah terwujudnya penyembahan kepada Allah secara praktis dengan jalan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah, yakni merealisasikan bahwa kedaulatan hanya milik Allah semata. Atas dasar inilah, para anggota partai politik ideologi Islam harus dibina dan dikaderisasi. Akidah Islam, sebagaimana dipahami, menduduki posisi puncak; laksana kepala bagi tubuh, dan jantung bagi anggota-anggota tubuh. Akidah Islam ~ 5 ~
  • 6. merupakan satu-satunya pengatur dan pengendali segala perkara sekaligus penjaga segala sesuatu. Akidah Islam ini, ketika disampaikan, harus mampu mendorong manusia ke arah pengesaan Allah Swt. dalam masalah ibadah maupun hukum (tasyrî‘). Artinya, harus diyakini, bahwa tidak ada seorangpun selain-Nya yang memiliki hak ini. Allahlah satu-satunya Tuhan dan satu-satunya Pencipta. Dialah Yang Mahatahu atas semua perkara lahir maupun batin. Dialah satu-satunya Yang berhak membuat/menetapkan syariat dan Yang berhak melakukan pengaturan. Karena manusia secara fitrah merasakan bahwa dirinya lemah, serba kurang, membutuhkan yang lain, serta terbatas, maka sesungguhnya upaya dirinya mencari Tuhan dimaksudkan agar Tuhan memberinya petunjuk jalan yang benar dan mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya Islam. Sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Rasulullah Saw. dari kalangan hamba- Nya yang terpilih untuk membawa risalah-Nya yang akan memberikan petunjuk jalan yang lurus kepada orang-orang yang mengikutinya. Allah meminta kepada kita agar hanya mengikuti Rasulullah dalam semua perkara yang disampaikannya dari Tuhannya. Rasululullah Saw. adalah ma‘shûm (terpelihara dari dosa). Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya merupakan risalah bagi umat manusia seluruhnya yang menjadi petunjuk, cahaya, rahmat, nasihat, dan obat bagi jiwa- jiwa manusia. Allah telah menjanjikan kepada mereka kesenangan yang abadi jika mereka beriman dan taat kepada-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengancam mereka dengan Neraka Jahanam jika mereka menolak perintah-Nya. Manusia adalah makhluk yang diciptakan agar hanya beribadah kepada Allah dengan hanya mengikuti petunjuk yang disampaikan oleh Rasulllah Saw. Umat Islam harus diberikan penjelasan bahwa Islam mengikat realitas manusia dengan keimanannya kepada Zat Yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur; juga pada apa yang ada pasca kehidupan dunia, yaitu Hari Kebangkitan serta adanya perhitungan, pahala, dan dosa. Hal ini harus disampaikan dengan cara yang dapat menjelaskan hubungan ini. Harus dijelaskan pula, bahwa siapapun yang memutuskan atau memisahkan hubungan/keterikatan ini tidak akan mampu menegakkan pendapatnya di atas hujjah yang kuat atau bukti yang nyata, sehingga pendapatnya tergolong pendapat yang kufur. ~ 6 ~
  • 7. Akidah Islam wajib disampaikan dengan cara yang dapat menghidupkan umat dan mendorongnya untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Akidah Islam wajib dijelaskan kepada umat Islam sebagai sesuatu yang layak untuk menghadapi berbagai pemikiran kufur yang ada sekarang ini. Harus dijelaskan kepalsuan setiap pemikiran kontemporer seperti kapitalisme, nasionalisme/ ashobiyah, atau patriotisme. Harus pula dilakukan upaya untuk membandingkan antara pemikiran-pemikiran Islam dan pemikiran-pemikiran lainnya untuk memperoleh hasil, yaitu meruntuhkan setiap pemikiran selain Islam dan selanjutnya meruntuhkan pula setiap institusi yang berdiri di atasnya. Dari sini kemudian dijelaskan, bahwa hanya Islam yang benar dan layak untuk seluruh dunia (karena keuniversalan akidah dan sistemnya) dan hanya pada Daulah Islamiyah Islam dapat direpresentasikan secara utuh. Di dalam medan semacam inilah jamaah ideologi Islam berusaha untuk menjatuhkan setiap propaganda, slogan-slogan yang digelar, papan-papan pengumuman, dan seruan-seruan palsu yang ditanamkan oleh orang-orang kafir di benak umat Islam seperti slogan, “Kebebasan kebudayaan dan pemikiran,” “Berikan apa yang menjadi hak kaisar kepada kaisar dan berikan apa yang menjadi hak Allah kepada Allah,” “Tanah airku selalu benar.” Hendaknya partai politik ideologi Islam beraktivitas untuk menjauhkan setiap pemikiran Barat dari benak umat Islam dan dari kehidupan mereka, yaitu dengan menyangkal berbagai pemikiran destruktif yang berkembang seperti: “Pembaharuan Syariat,” “Yurisprudensi Syariat,” “Elastisitas syariat untuk merespon perkembangan zaman (menurut versi Barat),” “Pemisahan agama dari politik,” “Tidak ada politik dalam agama,” “Tidak bisa diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena adanya perubahan waktu dan tempat,” dan lain-lain. Selain meruntuhkan semua propaganda ini, organisasi/partai dakwah ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran yang benar yang berlandaskan pada — sekaligus lahir dari— konsep syahadat “Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh.” Secara syar‘î, dapat dimaklumi, bahwa kalimat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh —baik secara ilmu maupun amal— tidak akan bersih berada ~ 7 ~
  • 8. di dalam jiwa sampai segala pemikiran selainnya dibuang dan setiap keimanan kepada selain-Nya dijauhkan dari dalam jiwa itu. Allah Swt. berfirman: “Oleh karena itu, siapa saja yang ingkar (kufur) terhadap thâghût dan beriman kepada Allah, berarti ia telah berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (TQS. al-Baqarah [2]: 256) Dalam ayat di atas, kata kufur terhadap thâghût supaya tidak menempel satu noda syirik atau satu kotoran kekufuran pun dalam jiwa, sehingga setelah itu datang keimanan yang ikhlas. Inilah keadaan yang dialami oleh orang yang berpegang teguh pada tali yang kukuh (‘urwah al-wutsqâ). Allah Swt. berfirman: “Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, serta mohonkanlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang- orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 19). Frasa lâ ilâha berarti bahwa setelah meneliti dan memikirkan, muncullah ‘ilm (baca: keyakinan) —yang bermakna negasi— bahwa sesungguhnya tidak ada ‘tuhan’ yang ada sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Kemudian, frasa illâ Allâh merupakan afirmasi (itsbât) bahwa ketuhanan (ulûhiyyah) hanyalah hak/milik Allah semata. Artinya, kalimat di atas menegasikan tuhan selain Allah, dan sekaligus mengafirmasikan (mengukuhkan) bahwa hanya Allah yang layak disebut Tuhan. Dalam perspektif bahasa Arab, kalimat semacam ini adalah bentuk pengukuhan (itsbât) yang paling kuat dan memiliki fungsi untuk memberikan pembatasan/pengkhususan (al-hashr). Oleh karena itu, bukan pemikiran sosialis, nasionalisme/ashobiyah, atau patriotisme yang akan menyelamatkan atau merupakan pemikiran yang benar. Alasannya, pemikiran-pemikiran itu semuanya adalah rusak dan batil, menyengsarakan manusia, dan bukan membahagiakannya. Jadi, selain Islam dan syariat-Nya, tidak ada yang lain yang merupakan petunjuk, cahaya, dan penyembuh. Partai politik ideologi Islam mesti melakukan pembinaan atas para anggotanya sekaligus membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islâmiyyah) ~ 8 ~
  • 9. mereka. Caranya adalah dengan menyampaikan kepada mereka sejumlah tolok ukur/ standar yang benar dan memuaskan jiwa-jiwa mereka. Dengan begitu, mereka suka untuk senantiasa terikat dengan syariat, dan benci jika melanggarnya; mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat, dan benci jika berhukum dengan selainnya. Dengan begitu pula, cara berpikir mereka dalam memandang perkara-perkara yang ada selalu terjaga dengan sejumlah tolok ukur dan pemikiran yang bersumber dari syariat; kecenderungan mereka mengikuti kecenderungan Islam; serta keridhaan dan kebencian mereka semata-mata karena alasan syar‘î. Partai politik ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran ini kepada para pengikutnya melalui sejumlah halqah murakkazah (pembinaan intensif). Halaqah ini dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan para aktivis partai ideologi Islam untuk memimpin dan melaksanakan aktivitas dakwah ideologi Islam. Hal itu dilakukan setelah mereka ikut terjun ke dalam realitas bersama partai untuk mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam. Partai politik ideologi Islam juga mesti berusaha memahami realitas yang ada dengan cara berpikir. Ia juga mesti menyampaikan kepada para aktivisnya proses berpikir yang dipergunakannya. Dengan demikian, partai ideologi Islam berperan sebagai pembimbing bagi para aktivisnya mengenai bagaimana cara mereka berinteraksi dengan realitas, serta bagaimana cara mereka untuk sampai pada pemahaman Islam mengenai sejumlah realitas yang ada yang menempati posisi sebagai obyek hukum (manâth al-hukm) baginya; seperti definisi akal, kebutuhan fisik (hâjât al-‘udhawiyyah), naluri-naluri (gharâ-iz), kebangkitan (nahdhah), masyarakat (mujtama‘), peradaban/kultur (hadhârah), kebudayaan material (madaniyyah), dan lain-lain. Semua itu tentu saja mesti didefinisikan karena adanya kebutuhan untuk mengetahui hakikatnya yang sangat berkaitan dengan banyak hukum syariat. Partai politik ideologi Islam harus memahami hukum-hukum syariat melalui pemahaman terhadap dalil-dalilnya. Dari dalil-dalil itulah kemudian digali sejumlah hukum yang berkaitan dengan penyelesaian berbagai masalah atau perbaikan realitas. Hal ini tentu saja membutuhkan pengadopsian (tabanni) sejumlah perangkat ilmu keislaman. Ilmu inilah yang memungkinkan partai mampu memahami nash-nash syariat sehingga, pada gilirannya, ia mampu memahami hukum-hukum syariat dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, partai ideologi Islam wajib mempergunakan metode penggalian dalil (istidlâl), khususnya di ~ 9 ~
  • 10. hadapan para aktivisnya dan juga umat Islam secara umum. Artinya, partai ideologi Islam mesti mengajarkan kepada mereka, sekaligus menanamkan di dalam jiwa- jiwa mereka, metode Islam yang benar di dalam memahami sekaligus menggali hukum-hukum syariat. Partai politik Islam, ketika pemikiran-pemikiran Islam yang diadopsinya ditransformasikan kepada para aktivisnya, juga wajib memperhatikan bahwa aspek amaliahnyalah yang dijadikan tujuan. Jadi, pemikiran kolektif partai ideologi Islam bukan sekadar untuk dipelajari, dikembangkan sebagai pengetahuan, atau semata- mata ditujukan agar para aktivisnya mencapai derajat ilmu yang mumpuni. Akan tetapi, lebih dari itu, pemikiran kolektif ini dimaksudkan untuk menciptakan kondisi pergumulan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) melawan konsep-konsep kufur, sekaligus untuk mengembannya sebagai kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyyah) di dalam diri umat dalam upaya mendirikan sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah yang akan membumikannya. Partai politik Islam juga wajib menerjemahkan pemikiran kolektifnya secara praktis dan mendetail. Partai ideologi Islam tidak boleh mengatakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu yang sebaliknya. Jika melakukan hal yang demikian, niscaya hanya kebencian yang besar di sisi Allah terhadap partai, karena ia mengetahui yang haq tetapi melaksanakan hal yang sebaliknya. Memang, partai politik Islam harus mengadopsi pemikiran (tsaqâfah) Islam —sebagai pemikiran kolektif partai— dan demikian juga para aktivisnya. Partai ideologi Islam harus menjadikan pemikiran kolektifnya sebagai asas bagi mereka dan menanamkannya dalam jiwa para aktivisnya. Dari sini, partai politik Islam dapat terjun ke tengah-tengah umat dengan membawa pemikiran-pemikiran Islam yang pokok, yakni dengan cara yang dapat membentuk opini umum terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Partai politik Islam terjun ke tengah-tengah umat dengan sejumlah pemikiran Islam mengenai akidah dan hukum-hukum syariat yang pokok dalam bentuk yang dapat menyatukan umat. Hal ini dilakukan untuk mencapai satu tujuan, yaitu menjadikan syariat Allah sebagai satu-satunya hakim (pemutus perkara). Dengan begitu, partai ideologi Islam telah memiliki perspektif yang ~ 10 ~
  • 11. benar, yang dianggap sebagai awal kembalinya kepribadiannya yang telah lama hilang. Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok yang dimaksud adalah seperti pemikiran-pemikiran yang mendorong umat pada pengesaan Allah dalam hukum (tasyrî‘) dan ibadah, yang mengarahkan pada pemahaman bahwa Rasulullah Saw. adalah satu-satunya yang boleh diikuti, yang merangsang umat untuk selalu merindukan Surga, dan yang menimbulkan rasa ngeri terhadap Neraka. Pemikiran-pemikiran asasi dan hukum-hukum syariat pokok ini juga harus mengandung penjelasan bahwa: usaha untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah salah satu kewajiban paling penting di antara sejumlah kewajiban penting lainnya dalam Islam, karena banyaknya kewajiban lain yang bergantung padanya; umat Islam adalah umat yang satu, berbeda dengan umat yang lain, sehingga adanya perbedaan ras atau sistem non-Islam yang berkuasa atas mereka tidak boleh menjauhkan jarak mereka; umat Islam adalah bersaudara sehingga bukan ikatan patriotisme atau nasionalisme/ashobiyah yang menguasai mereka; jauhnya umat Islam dari hukum-hukum syariatlah yang mewariskan kehinaan dan kerendahan bagi mereka; umat Islam wajib untuk terikat dengan syariat yang berasal dari Tuhan mereka dan mereka tidak boleh melakukan satu perbuatan pun kecuali setelah mengetahui dalilnya. Pemikiran-pemikiran yang seperti inilah yang akan menciptakan suatu lahan yang subur bagi tumbuhnya pemahaman dan upaya untuk hukum-hukum Islam yang matang dan bernas. Cita-cita kita adalah bagaimana mewujudkan metode dakwah/perjuangan yang selamat, yang memang diperintahkan oleh syariat, di dalam menentukan pemikiran kolektif ini. Dengan berpedoman pada metode tersebut, proses pengadopsian pemikiran tersebut berlangsung dengan sempurna. Dengan demikian, berarti telah lahir di dalam partai ideologi Islam sejumlah besar pemikiran dan pendapat Islam serta hukum-hukum syariat yang harus dimilikinya. Semua itu diperlukan sebagai bekal untuk menerjuni pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), mewujudkan pemikiran-pemikiran yang terkonsentrasikan (tsaqâfah murakkazah) dalam diri orang-orang yang bersedia memikul tanggung jawab dakwah ideologi Islam ini di atas pundak-pundak mereka, serta menciptakan opini umum di tengah- ~ 11 ~
  • 12. tengah umat sehingga mereka mau menerima pemikiran-pemikiran yang diemban oleh partai ideologi Islam. Inilah rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik Islam. Jika partai ideologi Islam tetap konsisten dengan batasan-batasan di atas, ia tidak akan ditimpa malapetaka seandainya ia membuat sejumlah kekeliruan pada sebagian hukum-hukum cabang, atau ketika partai ideologi Islam berbeda pendapat dengan partai lainnya. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang wajar dan bukanlah hal yang aneh. Inilah pemikiran (tsaqâfah) yang dibutuhkan oleh partai politik Islam agar berhasil mencapai cita-citanya. Keberhasilan tersebut akan direpresentasikan oleh adanya penerapan syariat Allah dan tersebar luasnya dakwah ideologi Islam ke seluruh pelosok dunia. Keharusan Mengadopsi Pemikiran Islam yang Dibutuhkan Untuk Menjalankan Aktivitas Kepartaian Sebagaimana telah dimaklumi, sesungguhnya yang dituntut oleh syariat bukanlah semata-mata keharusan adanya suatu partai, tetapi, lebih dari itu, adalah adanya partai ideologi Islam yang mampu melaksanakan tugas dakwah ini. Dalil- dalil mengenai keharusan adanya partai dakwah ideologi Islam telah menjelaskan hal itu kepada kita. Allah Swt. berfirman: “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al- Khayr (al-Islâm), menyuruh kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104) Melalui ayat di atas, syariat Islam telah mewajibkan umat Islam untuk mendirikan partai politik yang berideologikan Islam serta mengemban sejumlah pemikiran dan hukum-hukum syariat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan transformasi kekuasaan (istikhlâf). ~ 12 ~
  • 13. Yang dimaksud tentu bukan sekadar adanya sebuah partai semata; tetapi adanya partai yang dapat merealisasikan tujuannya yaitu mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Lebih dari itu, yang dituntut juga bukan sekadar adanya partai yang mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran; tetapi partai yang melaksanakan semua itu dalam upaya merealisasikan tujuan lain yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan perubahan (dan penerapan) kekuasaan (istikhlâf). Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak halal atas tiga orang yang berada di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir (pemimpin).” (HR. Ahmad ibn Hanbal) Hadis di atas menunjukkan, bahwa setiap kerja kolektif yang dituntut atas umat Islam untuk dilaksanakan harus segera direalisasikan sampai terlaksana, seperti adanya seorang amir yang wajib ditaati dalam hal yang karenanya dia diangkat, dan adanya partai yang memiliki komitmen terhadap perintah amir. Dengan adanya kerja kolektif ini, akan dihasilkan apa yang memang dikehendaki sesuai dengan tuntutan syariat. Kita telah memahami bahwa Allah Swt. telah membebankan banyak kewajiban atas umat Islam, termasuk yang pelaksanaannya bagi Khalifah semata, bukan yang lain. Konsekuensinya, umat Islam harus mengangkat seorang Khalifah untuk menegakkan berbagai kewajiban tersebut. Kitapun telah memahami bahwa pengangkatan Khalifah dan penegakkan ke-Khilafahan tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan adanya partai Islam. Implikasinya, harus ada partai Islam yang didirikan dalam rangka mengangkat Khalifah dan untuk menegakkan keKhilafahan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada kaidah syariat berikut: Selama suatu kewajiban tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan partai Islam terkait erat dengan adanya tujuan syariat yang dituntut. Partai yang dimaksud bukanlah partai yang didirikan untuk sekadar mengemban dakwah Islam atau tabligh semata. Lebih dari itu, partai Islam yang ada haruslah ditujukan dalam rangka menegakkan Islam di dalam realitas kehidupan umat Islam melalui pendirian Daulah Khilafah ~ 13 ~
  • 14. Islamiyah. Daulah Islamiyahlah yang dianggap sebagai metode syariat untuk menerapkan setiap hukum Islam. Partai ideologi Islam mengadopsi seluruh pemikiran, hukum, dan pendapat —yang sesuai dengan syariat Islam— yang dibutuhkan bagi aktivitas perjuangannya, sekaligus terikat dengan ketiganya; baik dalam pemikiran, perkataan, maupun tindakan. Alasannya, di antara fungsi pengadopsian (tabanni) —dalam pemikiran, hukum, dan pendapat— adalah untuk mempersatukan para anggota partai ideologi Islam. Sebuah partai yang para anggotanya memiliki berbagai pemikiran dan menganut berbagai ijtihad —meskipun mereka bersatu dalam satu tujuan dan dalam Islam secara umum— tidak bisa tidak, akan mudah ditimpa oleh keretakan dan perpecahan. Bahkan, lebih jauh, akan muncul di dalam tubuh partai itu sejumlah ‘partai kecil’ dan akan lahir sejumlah ‘jamaah’ di dalam jamaah; dakwahnya akan berubah dari upaya mengajak orang lain berjuang secara bersama-sama untuk menegakkan kewajiban ini ke arah upaya mengajak masuk ke dalam kelompoknya; mereka akan saling bertengkar; dan masing-masing menginginkan agar pendapatnyalah yang dipakai di dalam partai. Dari sini, tampak jelas, betapa penting adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) dan legislasinya bagi partai ideologi Islam. Alasannya, kesatuan partai ideologi Islam sangat dituntut oleh syariat, dan tidak ada yang dapat menjaga kesatuan partai ideologi Islam kecuali dengan adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) yang dibutuhkan partai ideologi Islam dalam aktivitas perjuangannya. Dalam hal ini, para aktivis partai ideologi Islam jelas wajib juga untuk mengadopsi apa yang telah diadopsi oleh partainya. Adopsi (tabanni) merupakan tuntutan syariat berdasarkan kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib.” Selama berbagai pemikiran, hukum, dan pendapat untuk beraktivitas pada sebuah partai ideologi Islam sesuai dengan syariat serta selama para aktivisnya menaruh kepercayaan penuh pada partai ideologi Islam, maka partai boleh mewajibkan para aktivisnya untuk mengikatkan diri secara penuh pula dengan apa yang telah diadopsinya. Hal ini didasarkan pada kebolehan seorang bagi Muslim untuk meninggalkan pendapatnya dan beramal dengan pendapat orang lain. ~ 14 ~
  • 15. Utsman ibn ‘Affan r.a., misalnya, ketika dibaiat menjadi Khalifah, rela meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil ijtihad Abu Bakar dan ‘Umar r.a., meskipun pendapat keduanya bertentangan dengan pendapatnya. Para sahabat telah menyetujui sikap ‘Utsman dan mereka pun membaiat ‘Utsman. Hanya saja, hal ini merupakan sesuatu yang boleh, bukan suatu kewajiban. Alasannya, Sayidina ‘Ali r.a. tidak mau meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil pendapat Abu Bakar dan ‘Umar, sementara tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari hal itu. Ada pula ada hadis sahih dari asy-Sya‘bi yang menyebutkan bahwa Abu Musa pernah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat Ali; Zaid meninggalkan ijtihadnya dan mengambil pendapat ‘Ubay ibn Ka‘ab; ‘Abdullah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat ‘Umar. Banyak pula hadis yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar pernah meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat ‘Ali. Hal ini menunjukkan bolehnya seorang mujtahid meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat orang lain dengan didasarkan pada keyakinan pada ijtihadnya. Namun demikian, para aktivis partai ideologi Islam harus berpegang teguh pada pemahaman partainya sehingga akan tumbuh pada diri mereka suatu kesatuan pemikiran dan perasaan. Partai ideologi Islam di samping harus mengadopsi hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan aktivitasnya, ia juga harus mengadopsi sejumlah cara (uslûb) yang diperlukan untuk menerapkan hukum-hukum tersebut. Uslûb, dengan demikian, merupakan model dari penerapan hukum-hukum syariat. Uslûb adalah hukum yang berkaitan dengan hukum asal di mana dalil datang untuk menetapkannya. Sebagai contoh: yang dituntut dari sebuah jamaah adalah memproduksi pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam pada diri para aktivisnya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Ini adalah hukum syariat yang harus dilaksanakan. Lantas, dengan model seperti apa dan bagaimana hukum syariat ini diaplikasikan, tentu harus ada cara (uslûb) tertentu. Dalam hal ini, dapat digunakan uslûb berupa halqah, ‘usrah, atau model lainnya. Banyaknya uslûb bagi penerapan satu hukum syariat mengharuskan partai ideologi Islam mengadopsi uslûb tertentu dan membimbing para aktivisnya untuk menggunakannya. Dalam hal ini, partai ideologi Islam hendaknya mengadopsi ~ 15 ~
  • 16. uslûb yang dapat mengantarkan pada penerapan hukum-hukum syariat. Atas dasar ini, hukum uslûb diambil berdasarkan hukum pokoknya. Jadi, uslûb yang diambil bersifat mengikat sebagaimana halnya hukum syariat. Partai ideologi Islam yang telah memilih halaqah (halqah, halqât) sebagai uslûb untuk mewujudkan pemikiran (tsaqâfah) yang mendalam harus mengadopsi uslûb tersebut sebagai sesuatu yang mengikat. Ketika mengadopsi uslûb tersebut, partai ideologi Islam harus memandang bahwa tujuan yang diharapkan, yaitu terwujudnya tsaqâfah (pemikiran) Islam yang mendalam, akan tercapai dengan uslûb ini. Contohnya adalah demikian: jumlah anggota halaqah harus disesuaikan dengan tujuan. Jumlah anggota halaqah yang terlalu banyak dapat menyebabkan para anggotanya kurang konsentrasi. Sebaliknya, jumlah anggota halaqah yang terlalu sedikit akan mengakibatkan jumlah kelompok halaqah menjadi banyak sehingga akan menyulitkan dan menyusahkan. Oleh karena itu, jumlah anggota halaqah harus sesuai dengan proses penanaman pemikiran Islam; tidak lebih dan tidak kurang. Penentuan jumlah anggota halaqah ini harus dipertimbangan secara rasional. Demikian juga alokasi waktu yang diperlukan untuk halaqah; harus diatur agar para anggota halaqah tetap memiliki kesadaran di dalam memahami berbagai pemikiran yang ada. Alokasi waktu halaqah yang terlalu lama akan mengakibatkan daya serap para anggota terhadap materi halaqah menjadi rendah. Daya serap para anggota yang rendah akan mengakibatkan berbagai pemikiran tidak tersampaikan secara sempurna. Demikian pula menyangkut frekuensi halaqah; apakah harian, mingguan, atau dwimingguan; harus disepakati dan ditetapkan waktunya. Dengan begitu, aspek praktis dalam dakwah tidak akan menjadi sulit dan para aktivis partai tidak disibukkan oleh aspek ilmiah Islam dengan mengorbankan aspek amaliahnya. Demikianlah proses pengadopsian setiap uslûb yang sesuai dengan hukum- hukum syariat berlangsung dan menjadikannya pas dengan hukum-hukum syariat yang ingin direalisasikan. ~ 16 ~
  • 17. Apa yang dibicarakan berkaitan dengan uslûb juga sama persis dengan apa yang dibicarakan bekenaan dengan wasilah (sarana) dakwah. Seorang pemimpin partai ideologi Islam, dalam hal ini, boleh melakukan perubahan terhadap uslûb dan wasilah yang digunakan sesuai dengan apa yang memang dituntut untuk merealisasikan suatu amal. Karena aktivitas partai ideologi Islam meliputi areal yang luas di muka bumi dan memiliki jaringan di berbagai negara, maka besarnya tugas yang dibebankan pada partai mengharuskan adanya struktur administrasi (jihâz idârî). Dengan struktur administrasi ini, partai ideologi Islam dapat melakukan monitoring dakwah, merealisasikan berbagai targetnya di seluruh lahan aktivitasnya, mengatur dan menertibkan gerakan dakwah ideologi Islam, mengawasi pembinaan para aktivisnya, mempersiapkan kondisi umum atas ide, terjun dalam pergulatan pemikiran (ash-shirâ‘ al-fikrî) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), sekaligus menampilkan diri di tengah-tengah umat sebagai satu tubuh yang memposisikan dirinya untuk melaksanakan kewajiban ini. Dengan demikian, harus ada struktur organisasi yang didirikan untuk mencapai tujuan secara optimal sehingga hasil-hasilnya dapat diperoleh dan dilestarikan. Oleh karena itu, partai ideologi Islam harus pula mengadopsi struktur administrasi (jihâz idârî) atau struktur organisasi sehingga pengaturan aktivitas dakwah ideologi Islam dapat dilakukan secara sempurna. Dengan begitu, tujuan dakwah ideologi Islam dapai dicapai dengan sukses. Setelah itu, partai ideologi Islam harus mengadopsi peraturan administrasi (qânûn idârî) yang akan mengatur setiap bagian partai dan gerakan di dalamnya, membatasi wewenang ketua (amir) partai, menentukan bagaimana ketua partai mengatur partai, menjelaskan bagaimana cara pemilihan ketua partai, serta menerangkan siapa yang berhak mengangkat penanggung jawab mantiqah- mantiqah (mas’ûl manâtiq) atau penanggung jawab wilayah-wilayah (mas’ûl wilâyât) dan batas-batas wewenang mereka. Singkatnya, peraturan ini mengatur administrasi setiap aktivitas partai ideologi Islam dan menentukan wewenang semua komponen partai ideologi Islam. Semua yang disebutkan di atas merupakan uslûb dan wasilah yang dibutuhkan untuk melaksanakan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan ~ 17 ~
  • 18. aktivitas partai ideologi Islam. Berbagai uslûb administrasi yang diadopsi partai wajib dilaksanakan selama ketua (amir) partai memandang perlu hal itu. Alasannya, menaati ketua/amir partai hukumnya wajib. Setiap perkara yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam adalah wajib dilaksanakan. Lantas, bagaimana sikap partai jika terjadi pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsinya? Apakan partai akan menyelesaikannya dengan teguran atau sanksi administratif? Sebuah organisasi politik ideologi Islam sesungguhnya juga harus mengadopsi sejumlah sanksi administratif atas setiap anggotanya yang melanggar hukum yang telah diadopsinya atau yang melampaui batas-batas syariat yang telah ditetapkannya. Dasar hukum dari keharusan adanya sanksi-sanksi tersebut adalah adanya pelanggaran terhadap perintah amir (mukhâlafah al-amir). Alasannya, hukum syariat telah mewajibkan adanya amir jamaah atau ketua partai sekaligus mewajibkan pula untuk menaatinya. Pelanggaran terhadap setiap perintahnya — yang berkaitan dengan semua perkara yang menyebabkan dirinya diangkat sebagai amir/ketua atas diri mereka— adalah tindakan yang diharamkan. Jika tidak demikian, eksistensi amir/ketua bagi partai ideologi Islam tentu tidak ada artinya. Adanya sanksi-sanksi administratif harus meliputi seluruh komponen partai ideologi Islam, mulai dari amir sampai anggota terkecil dalam tubuh partai. Sanksi- sanksi ini diberlakukan atas seluruh pelanggaran terhadap apa yang telah diadopsi oleh partai ideologi Islam. Jadi, siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat yang diadopsi partai, melanggar uslûb-uslûb-nya, atau tidak mempedulikan eksistensi struktur administrasi (jihâz idârî) atau peraturan administrasi (qânûn idârî), ataupun keluar dari batas-batas wewenangnya harus ditegur, dikritik, atau diberi sanksi. Demikianlah, suasana pemikiran harus disertai dengan suasana organisasi yang teratur, yang akan mengatur pengejawantahan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan aktivitas partai ideologi Islam dan hukum-hukum yang berhubungan dengan metode dakwahnya. Kita telah melihat dengan mata kepala kita sendiri betapa banyak organisasi Islam maupun non-Islam telah bubar karena tidak memperhatikan aspek keorganisasian yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, wajar jika sebuah partai ~ 18 ~
  • 19. yang tidak memperhatikan gagasan tentang betapa pentingnya pengadopsian (tabanni) pemikiran/hukum akan selalu dilanda perbedaan pendapat, menghadapi keguncangan dan kekacauan, masuk dalam lingkaran setan, mengalami berbagai deviasi, dan tidak memiliki pihak yang melakukan kritik terhadapnya. Akibatnya, partai akan semakin jauh dari sosoknya yang memenuhi berbagai ketentuan syariat. Wajar pula jika perekrutan para anggota partai dan para penanggung jawabnya yang tidak berdasarkan syarat-syarat syar’iyyah yang tertib —tetapi berdasarkan pada kekerabatan, kedudukan sosial, jabatan, atau tingkat pendidikannya— akan mengakibatkan buruknya distribusi tugas-tugas dakwah dan menciptakan kesenjangan jabatan di antara para anggotanya. Tidak adanya aturan administrasi yang jelas, yang harus ditaati oleh semua anggota partai, secara alami, juga akan menimbulkan kritik/teguran yang bersifat diskriminatif dan tidak proposional. Bahaya pula jika tidak ada sanksi-sanksi administratif yang tidak mentoleransi terjadinya pelanggaran besar maupun kecil dan tidak akan membiarkan orang menikmati kemaksiatan dan banyak berbuat kesalahan. Berdasarkan hal di atas, berbagai aspek keorganisasian dan pembentukan tubuh partai ideologi Islam yang mampu bergerak secara efektif harus selalu diperhatikan, karena hal itu merupakan garansi bagi tertibnya pemikiran-pemikiran dakwah ideologi Islam dan terkoordinasinya para aktivis partai ideologi Islam, yang lebih lanjut akan memudahkan aktivitas dakwah ideologi Islam. Dalam hal ini, pembentukan partai atau jamaah dakwah ideologi Islam harus senantiasa sesuai dengan tujuannya. Hendaknya jangan ada seorangpun yang berasumsi bahwa aspek keorganisasian hanya merupakan perkara sekunder. Akan tetapi, harus disadari bahwa aspek ini mempunyai peran yang sangat penting dan krusial. Oleh karena itu, jika penyusunan dan pembentukan partai tidak tepat, pengadopsian hukum- hukum yang diperlukannya tidak bagus, dan keterikatannya terhadap apa yang diadopsi tidak baik, maka segala sesuatu yang dimiliki partai —sebagaimana yang disebutkan sebelumnya— akan mengalami keruntuhan dan kehancuran. Selanjutnya, harus disadari, bahwa pelaksanaan tugas-tugas keorganisasian mengharuskan partai atau jamaah memiliki dana. Di antaranya ~ 19 ~
  • 20. adalah untuk membiayai aktivitas para aktivisnya yang membutuhkan dana untuk transportasi, biaya percetakan/fotokopi, dan lain sebagainya, yang diperlukan bagi upaya pengembanan dakwah Islam. Tanggung jawab keuangan ini harus ditanggung oleh partai ideologi Islam, dengan kata lain, harus ditanggung oleh para anggotanya. Dengan demikian, siapa saja yang telah mengikhlaskan diri untuk berdakwah ideologi Islam, sudah selayaknya dia mengorbankan hartanya, yang nyata-nyata lebih ringan dibandingkan dengan memilkul tugas dakwah ideologi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, partai ideologi Islam harus berusaha keras agar tidak meminta bantuan pihak luar; baik pihak luar ini adalah individu, kelompok, atau pemerintah yang ada. Dengan begitu, partai ideologi Islam tidak akan disusupi melalui sektor ini. Masalahnya, musuh-musuh partai ideologi Islam akan selalu berpikir untuk mengeksploitasi kebutuhan partai terhadap dana hingga mereka pun menawarkan bantuannya. Boleh jadi, pada awalnya tanpa pretensi apa-apa. Akan tetapi kemudian, tidak berapa lama, bantuan dana tesebut akan berubah menjadi bantuan yang mengandung motif dan tujuan tertentu di baliknya. Sekarang ini, di lapangan dakwah terdapat banyak sekali lontaran pemikiran yang tidak berlandaskan pada asas yang benar, dan banyak sekali partai dakwah yang tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh syariat. Sejumlah partai yang ada itu tidak lain sekadar merupakan perkumpulan umat Islam yang rela melakukan aktivitas yang bersifat parsial —yang tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada, sekalipun bersifat parsial— serta melalaikan pandangan yang komprehensif menurut syariat Islam. Sejumlah partai tersebut pada dasarnya tidak mengemban Islam secara benar, yakni yang memungkinkan Islam dapat diterapkan secara sempurna di tengah- tengah kehidupan umat Islam. Partai dakwah semacam ini sangat banyak jumlahnya, bahkan di satu negeri saja bisa mencapai ratusan. Pada gilirannya, mereka menjadikan sejumlah “toko dan lahan pertanian” menghabiskan segala usahanya, serta menjadikan orientasi dan aktivitas yang sahih hilang pada diri umat Islam. Di tengah sejumlah banyak partai dakwah yang banyak menarik perhatian ini, hanya ada sedikit sekali yang memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk mencapai berbagai tujuan Islam dan berusaha merealisasikannya. Umat dilarang ~ 20 ~
  • 21. menyelisihi hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam. “Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.” (TQS. al-Anbiya’ [21]: 92) “Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku.” (TQS. al-Mukminun [23]: 52) “Permisalan orang-orang Mukmin itu dalam kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh; jika salah satu anggotanya ada yang sakit maka seluruh tubuh akan merasakan gelisah dan demam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad) “Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka sejumlah bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang layak mendapatkan azab yang pedih.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 105) “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (TQS. al-An’am [6]: 159) Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baydhawi, berkata, “Mereka berlebih- lebihan dalam agama; mereka mengimani sebagian dan kafir atas sebagian yang lain; dan merekapun berbeda pendapat di dalamnya.” Ayat-ayat ini telah mengeluarkan orang yang akidahnya bertentangan dengan akidah umat Islam dari agama Islam. Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik di seputar perbedaan ijtihad dalam hal-hal yang dzanni (tidak pasti). Janganlah kalian seperti orang-orang yang melepaskan diri dari agamanya dan berbeda pendapat tentangnya setelah datang kepada kalian bayyinât, yaitu ~ 21 ~
  • 22. perkara-perkara akidah yang jelas dan bukti-bukti yang tegas (qath‘î). Yang dimaksud dengan mereka di sini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Imam al-Baydhawi, ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Janganlah kalian bertikai dan berpecah-belah” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104),” menyatakan demikian: “Maksudnya adalah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang bertikai dalam masalah tauhid, penyucian Allah, dan beberapa kondisi alam Akhirat; sementara mereka telah mengetahui —setelah datang kepada mereka bukti-bukti— berbagai tanda dan hujjah yang menjelaskan kebenaran yang wajib mereka sepakati. Tampak jelas bahwa larangan di dalam ayat ini khusus ditujukan pada perbedaan pendapat dalam masalah ushûl, bukan masalah furû‘, berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan: “Siapa saja yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, sedangkan jika ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.” Potongan ayat yang artinya, “Mereka itulah yang akan mendapatkan azab yang berat,” merupakan ancaman bagi orang-orang yang berpecah-belah dan bagi orang-orang yang menyerupai mereka.” Demikianlah pernyataan al-Baydhawi. Sesungguhnya proses perubahan yang Islami merupakan aktivitas yang sulit; mengalahkan opini jahiliyah dari kedudukannya juga bukanlah perkara yang mudah; sementara upaya merealisasikan kekuasaan Islam atas masyarakat — dalam pemikiran, perilaku, dan sistem— menuntut adanya upaya bersama. Konspirasi internasional atas Islam dan atas harakah Islam mengharuskan adanya persatuan dalam menghadapi dan menantangnya. Kekuatan internasional yang memusuhi Islam dan bersekongkol untuk menguasai Dunia Islam telah saling bekerjasama dan menyatukan perjuangannya. Oleh karena itu, kekuatan Islam yang ada di Dunia Islam tidak boleh ada yang bertentangan dengan perkara- perkara yang qath’i (pasti) di dalam Islam agar tidak menjadi santapan yang lezat bagi musuh dan agar tidak mudah bagi mereka untuk mengeliminasi dan menjatuhkannya. Jika umat ada yang menyimpang dalam hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam maka tidak akan menjadi penjaga masa depan Islam serta memelihara perjalanan Islam dari kerusakan, pelecehan, dan pemusnahan. ~ 22 ~
  • 23. Berbagai kekuatan dan partai yang bersifat lokal yang memusuhi Islam sampai sekarang ini telah memiliki cabang-cabangnya di seluruh Dunia Islam. Mereka senantiasa mempelajari, mengawasi, merancang strategi, dan selalu bersiap diri di segala lini. Umat Islam saat ini hidup di dalam naungan darul kufur (bersistem kufur), yang karenanya mesti diubah agar menjadi darul Islam. Sebuah keharusan adanya jamaah/partai ideologi Islam yang berjuang untuk merealisasikan tujuan melanjutkan kehidupan Islam dengan cara mengikuti langkah-langkah perjuangan Rasulullah Saw. Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban yang harus diusahakan untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Di antara kewajiban tersebut, ada yang harus dilaksanakan secara individual (fardhu ‘ain), yang tidak dapat digugurkan sampai berhasil dilaksanakan; dan ada pula merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah), yang harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh suatu jamaah di tengah-tengah umat Islam. Di antara sejumlah fardhu kifayah itu adalah kewajiban mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Menegakkan syariat Allah secara total merupakan kewajiban, sementara seorang individu Muslim tidak akan mampu melaksanakannya tanpa bantuan Muslim lainnya. Namun demikian, setiap Muslim wajib menyatukan usaha serta mengumpulkan kemauan dan segenap kesungguhan untuk menegakkannya. Perkara ini termasuk ke dalam bab Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib (selama suatu kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan adanya suatu perkara, maka perkara tersebut hukumnya wajib). Kewajiban ini merupakan salah satu fardhu kifayah yang harus ditegakkan. Jika tidak ditegakkan, maka siapapun yang tidak melibatkan diri (berdiam diri) di dalamnya akan berdosa besar. Watak pelaksanaannya membutuhkan adanya jamaah/komunitas/partai dari kalangan umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn). Umat berusaha untuk menegakkan kewajiban ini. Siapa saja yang berdiam diri dipandang berdosa dan dosa itu tetap ada pada siapa saja yang tidak berusaha. Partai yang ada di tengah-tengah umat Islam ini berupaya menegakkan kewajiban tersebut. Partai ideologi Islam juga harus mengevaluasi sekaligus mengkritisi benar-salahnya berbagai pemikiran dan hukum yang diadopsi serta ~ 23 ~
  • 24. yang dibutuhkannya ketika beraktivitas untuk merealisasikan tujuan yang ingin dicapai. Partai yang dimaksud tentu bukan merupakan umat Islam secara keseluruhan sebagai jamaah (jamâ‘ah al-muslimîn). Partai ini juga tentu bukan Khalifah atau sejajar kedudukannya dengan Khalifah. Hukum-hukum di seputar ke- Khalifahan tidak berlaku bagi partai. Partai tidak boleh mengerjakan satu aktivitas apapun yang menjadi tugas seorang Khalifah, yang pelaksanaannya memang hanya disandarkan kepada dirinya, bukan kepada yang lain. Partai ideologi Islam, dalam hal ini, hanya merupakan salah satu jamaah yang merupakan bagian dari umat Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn) saja. Sebaliknya, umat Islam dengan seluruh komunitas yang ada di dalamnya merupakan jamaah umat Islam (jamâ‘ah al- muslimîn). Jama‘ah al-muslimîn meliputi semua jamaah dan semua individu Muslim yang ada. Yang dimaksud dengan jamâ‘ah al-muslimîn adalah umat Islam yang disatukan dan dipersaudarakan oleh akidah Islam. Jadi, umat Islam mungkin saja berbeda pendapat dalam berbagai perkara dzanni (tidak pasti), tetapi perbedaan itu tidak akan menafikan persaudaraan mereka. Siapa saja —baik individu maupun jamaah dari kalangan umat Islam— yang keluar dari akidah mereka, maka dia dianggap telah keluar dari jamâ‘ah al-muslimîn dan dia akan terlempar ke dalam Neraka. Pengertian seperti inilah yang dimaksud oleh Hadis Nabi Saw. yang berbunyi: “Orang yang meninggalkan agamanya adalah orang yang berpisah dari jamaah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) Maksudnya, seorang Muslim yang meninggalkan agamanya tidak lagi termasuk jamâ‘ah al-muslimîn. Umat dilarang menyimpang dalam hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam. “Umatku akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; semuanya ada di Neraka, kecuali satu.” Mereka bertanya, “Golongan manakah itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Golongan yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibn Majah, dan Ahmad ibn Hanbal) ~ 24 ~
  • 25. Sebagai jamaah, umat Islam adalah umat yang satu; tidak seperti umat- umat lainnya. Umat Islam sekufu (setara) dalam darah dan harta mereka. Orang yang dianggap paling rendah di antara mereka sama dengan orang yang dianggap paling tinggi di tengah-tengah mereka. Mereka itu merupakan satu tangan, meskipun hasil ijtihad mereka berbeda-beda (dalam hal-hal yang dzanni/ tidak pasti). Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.” (TQS. al- Anbiya’ [21]: 92) Nash-nash di atas menunjuk pada umat Islam dengan seluruh komponen yang ada di dalamnya bukan menunjuk hanya pada salah satu jamaah Islam (jamâ‘ah min al-muslimîn). Jika suatu jamaah mengklaim dirinya sebagai jamâ‘ah al-muslimîn, maka klaim tersebut merupakan kesalahan besar dan merupakan pemahaman yang aneh. Klaim tersebut tidak jarang mengakibatkan hal-hal yang berbahaya seperti: menganggap orang yang tidak bergabung dengan mereka sebagai orang yang tidak ikut serta dalam ukhuwah bersama mereka; sebagai orang yang meninggalkan agamanya dan keluar dari jamaah; atau sebagai orang yang akan terjerumus ke dalam Neraka. Dibolehkan adanya multipartai atau banyaknya jamaah yang berusaha untuk menegakkan Islam. Dalil-dalil yang membolehkan adanya perbedaan pendapat dalam masalah yang dzanni (tidak pasti, tidak tegas) sangat banyak sekali. Perbedaan pendapat dalam masalah ini terjadi juga di kalangan para sahabat; demikian juga di kalangan para tâbi‘în dan para ulama salaf. Sebaliknya, yang terlarang adalah berbeda pendapat sebagaimana halnya yang terjadi di kalangan orang-orang kafir. Mereka, misalnya, berbeda pendapat mengenai nabi-nabi mereka dan berbeda sikap terhadap isi kitab-kitab mereka. Mereka terpecah menjadi banyak aliran. Akibatnya, mereka tersesat dari kebenaran yang telah diturunkan Allah kepada para Nabi mereka sehingga tersesat pula para pengikut mereka. Allah Swt. berfirman: ~ 25 ~
  • 26. “Kemudian berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka sehingga kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.” (TQS. Maryam [19]: 37) Maksudnya, Allah Swt. memperingatkan kita terhadap perbedaan seperti yang mereka tunjukkan. Rasulullah Saw. sendiri, pada waktu Perang Khandaq, telah membiarkan adanya perbedaan pemahaman para sahabat terhadap perkataan beliau, yakni ketika beliau bersabda mereka: “Siapa saja yang mendengar dan taat, hendaknya dia tidak menunaikan shalat kecuali di Bani Quraidzah.” (Sirah Ibn Hisyam) Rasulullah Saw. juga bersabda: “Apabila seorang hakim berijtihad dan dia benar dalam ijtihadnya maka dia mendapatkan dua pahala. Sebaliknya, apabila dia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah maka dia mendapatkan satu pahala.” (HR. al-Bukhari) Seorang mujtahid, ketika berijtihad, bisa salah bisa benar. Ini tidak berarti bahwa kedudukannya sebagai seorang mujtahid menjadikan dia tidak pernah melakukan kesalahan. Hukum yang digali oleh seorang mujtahid dianggap sebagai hukum syariat. Seorang mujtahid yang salah dalam ijtihadnya tidak mengetahui bahwa dia salah. Sebab, seandainya dia mengetahui kesalahannya, dia jelas tidak boleh tetap berada dalam kesalahannya itu. Akan tetapi, dia mesti membandingkan pemahamannya dengan pemahaman orang lain. Seorang mujtahid mendapatkan pahala di sisi Allah apakah ijtihadnya benar atau salah. Akan tetapi, pahala keduanya berbeda. Ada kesepakatan di kalangan para ulama bahwa dosa terlepas dari para mujtahid yang berijtihad dalam hukum-hukum syariat yang zhannî berkaitan dengan fikih. Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi bertutur, “Para sahabat berbeda pendapat dalam menghukumi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Akan tetapi, meskipun demikian, mereka tetap bersatu.” ~ 26 ~
  • 27. Suatu jamaah atau partai berdiri di atas pemahaman terhadap syariat tertentu yang kadang-kadang mungkin berbeda-beda, sebagaimana terhadap syariat yang lainnya; kecuali apabila hukum-hukum syariat itu bersifat qath‘î (tegas). Beraktivitas atau berjuang bersama-sama jamaah/partai yang lebih dekat dengan kebenaran menjadi wajib hukumnya. Demikianlah sebagaimana Allah Swt. berfirman: “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan, menyuruh kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104) Perintah Allah Swt. di dalam ayat ini menunjukkan pada kewajiban untuk mendirikan minimal satu jamaah/partai di tengah-tengah kaum Muslim yang aktivitasnya adalah mendakwahkan al-khair (Islam) dan amar makruf nahi mungkar. Sesungguhnya kita wajib memahami dengan baik bahwa apa saja yang diakui atau disetujui oleh syariat merupakan rahmat. Imam Malik berkata kepada Khalifah Harun ar-Rasyid ketika Khalifah ingin mengadopsi dan melegislasi pemahaman dan mazhab Imam Malik, sekaligus memaksa masyarakat untuk mempraktikkannya dan melarang penerapan pemahaman lainnya. Saat itu Imam Malik berkata, “Janganlah Anda mempersempit kaum Muslim dalam hal apa saja yang telah Allah mudahkan untuk mereka.” Wajib diperhatikan di sini bahwa negara-negara sistem kufur —dalam menghadapi munculnya satu atau beberapa jamaah/partai di muka bumi ini secara nyata yang berusaha keras untuk menegakkan hukum-hukum Allah— selain mempergunakan cara-cara kekerasan dan membuat berita-berita bohong tentang jamaah- jamaah/partai-partai itu, merekapun sengaja menjatuhkan dan menggagalkan jamaah-jamaah/partai-partai ini dengan jalan mendirikan jamaah-jamaah/partai- partai lain yang tunduk kepada mereka. Allah tidak akan menolong kaum Muslim kecuali apabila mereka terikat dengan syariat, berpegang teguh dengan tali Allah, serta melaksanakan semua perintah- ~ 27 ~
  • 28. Nya. Sesungguhnya Allah akan menolong mereka meskipun mereka hanya sedikit. Satu dalam kebenaran itu banyak, sementara banyak dalam kebatilan adalah seperti buih. Adanya seorang Khalifah dan adanya Daulah Khilafah Islamiyah adalah representasi dan penampakan terpenting dari bentuk-bentuk persatuan kaum Muslim; tidak ada persatuan selain dalam kerangka itu. Memang, dalam Khilafah Islamiyah, akan banyak pemahaman yang berbeda-beda, tetapi kita diperintahkan untuk tetap menaati Khalifah. Khalifahlah yang mengadopsi sekaligus melegislasi hukum publik. Legislasi hukum yang dilakukan Khalifah —bukan melarang atau menghapuskan pemahaman/mazhab tertentu— jelas akan menghilangkan perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebab, perintah Khalifah harus diterapkan, baik secara lahir maupun batin, oleh seluruh kaum Muslim. Sementara itu, pemimpin jamaah/partai sesungguhnya hanya ditaati di dalam urusan jamaah/partainya saja. Perintahnya akan menghilangkan perbedaan pendapat di antara anggota-anggota partainya saja, bukan di antara kaum Muslim secara keseluruhan. Agama Islam adalah agama yang bersifat universal; karena Muhammad Saw. diutus kepada manusia seluruhnya. “Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (TQS. al-Baqarah [2]: 143) “Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadalian semuanya.” (TQS. al-A’raf [7]: 158) “Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (TQS. Saba’ [34]: 28) Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengarahkan dakwahnya ke seluruh dunia, ke segala kekuatan, ke seluruh blok, dan kepada semua raja. Karena itulah, beliau sebagai kepala negara Islam mengirim utusan kepada Najasyi (Raja Habsyah), Heraklius (Kaisar Romawi), Muqauqis (Pembesar Koptik), dan Kisra ~ 28 ~
  • 29. (Pemimpin Persia). Dalam hal ini, dakwah Islam tidak boleh hanya berbentuk semacam “toko-toko” dan “lahan-lahan pertanian” yang ada di sana-sini, sementara jihad Islampun hanya merupakan teriakan di padang sahara yang lengang. Islam sebagai agama bersifat internasional dalam akidah dan sistemnya. Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui yang lahir maupun yang batin. Manusia yang lemah yang diciptakan dari air yang hina tentu wajib untuk kembali kepada-Nya. Allah adalah Pencipta manusia. Dia adalah Tuhan setiap manusia. Keberadaan manusia berkaitan dengan tujuan penciptaannya, yaitu ibadah. Keberadaan manusia juga berkaitan dengan kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan; Surga dan Neraka; balasan bagi keimanan dan kekufuran; serta balasan bagi ketaatan dan kemaksiatan. Hakikat akidah Islam wajib untuk disampaikan kepada manusia seluruhnya. Allah Swt. berfirman: “Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (TQS. al-Anfal [8]: 42) Peraturan yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan yang berasal dari akidah ini juga merupakan peraturan untuk manusia sebagai manusia tanpa memperhatikan lagi warna kulit, ras, atau keadaannya. Islam adalah agama yang universal. Islam mewajibkan benih berdirinya Daulah Islamiyah adalah benih yang mendunia. Selanjutnya, Islam juga mengharuskan jamaah/partai ideologi Islam mempersiapkan dirinya untuk menegakkan tugas ini. Oleh karena itu, jamaah/partai ideologi Islam pada dasarnya wajib untuk tidak memandang aktivitasnya dengan pandangan yang sempit. Akan tetapi, jamaah/partai ideologi Islam harus memandang bahwa dirinya wajib menyelamatkan umat manusia seluruhnya dari ide-ide kufur dan syirik meskipun kekufuran dan kemusyrikan itu menampilkan diri dalam berbagai bentuk dan nama. Jamaah/partai ideologi Islam juga harus mengembalikan manusia pada kebenaran yang tidak berbilang. Inilah yang wajib menjadi perspektif jamaah/partai ideologi Islam. Berdasarkan ini pula diadopsi pemikiran-pemikiran (tsaqâfât) ~ 29 ~
  • 30. jamaah/partai ideologi Islam. Jamaah/partai ideologi Islam juga mesti memandang bahwa aktivitas dan langkah- langkah perjalanannya telah didesain sedemikian rupa sesuai tuntunan Rasul Saw. Dengan begitu, apabila jamaah/partai berjalan tanpa melenceng sedikitpun dan bersabar menghadapi segala hal yang menimpanya tanpa bias, tanpa melakukan rekonsiliasi, dan tanpa melakukan kamuflase, maka Allah Swt. telah mempersiapkannya (secara praktis dan teoritis) untuk menegakkan urusan ini secara internasional. Yang demikian itu adalah setelah berdirinya Daulah Islamiyah. Dengan demikian, apabila dilihat dari segi pemikiran, jamaah/partai ideologi Islam haruslah bersifat internasional. Sebaliknya, dari segi aktivitas, ia tidak keluar dari keadaannya sebagai suatu jamaah/partai yang beraktivitas di satu tempat tertentu untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Setelah itu, Daulah Khilafah Islamiyahlah yang akan berperan untuk menegakkan tugas yang agung itu. Negeri-negeri kaum Muslim telah terbagi-bagi menjadi sejumlah negara. Inilah yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam. Secara umum, kaum Muslim di negara-negara itu hidup dalam kondisi yang mirip. Ekspansi dakwah akan memberikan kekuatan bagi jamaah/partai ideologi Islam, membuat orientasinya lebih besar dan lebih efektif, dan menjadikan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah di salah satu wilayah di antara wilayah-wilayah yang menerima dakwah lebih luas dan lebih tersebar. Faktor inilah yang dapat membantu jamaah/partai ideologi Islam untuk melaksanakan tugas yang akan mengantarkannya pada tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah dan mempersiapkan Daulah Islamiyah memasuki fase pergulatan internasional. Dalam dua perkara ini jamaah/partai ideologi Islam tentu harus menyandarkan diri pada pertolongan Allah Swt. Sesungguhnya aktivitas dakwah yang pertama pada masa Nabi Saw. bersifat komprehensif. Ketika itu, Rasulullah Saw. sebagai kepala negara mengatur dan memonitor aktivitas dakwah dalam segala bidang. Di bidang pendidikan, beliau berperan sebagai murabbi (pendidik); di bidang pengajaran, beliau berperan sebagai mu‘allim (pengajar); di medan jihad, beliau beperan sebagai panglima perang; dan di bidang strategi, beliau adalah seorang pionir. “Apakah kalian mengimani sebagian (isi) al-Kitab dan mengingkari sebahagian yang lainmya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan ~ 30 ~
  • 31. pada Hari Kiamat kelak mereka dikembalikan pada siksaan yang sangat berat.” (TQS. al-Baqarah [2]: 85) Penentuan amal perbuatan berasal dari Allah. Kaidah syariat yang berbunyi: “Asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat.” Seandainya perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah maka perbuatan itu hasan (terpuji) dan apabila tidak maka perbuatan itu qabih (tercela). Kaidah syara’ menyebutkan: “Hasan itu adalah apa-apa yang dikatakan oleh syara’ hasan dan qabih itu adalah apa-apa yang dikatakan syara’ qabih” Sesungguhnya Islam itu sempurna, dan Islam secara keseluruhan dilaksanakan oleh seluruh kaum Muslim atau dengan kata lain oleh umat Islam. Di dalam umat Islam terdapat individu-individu, jamaah-jamaah dan Khalifah. Dan untuk masing-masing kelompok di atas telah dibebankan hukum-hukum syara’ yang spesifik. Seorang individu muslim melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai individu. Jamaah pun melaksanakan apa yang dituntut syara’ terhadapnya, Begitu pula dengan Khalifah, melaksanakan apa yang dibebankan syara’ terhadapnya. Apabila kaum Muslim sebagai individu melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ terhadap mereka, demikian juga jamaah dan Khalifah, maka akan terealisasilah seluruh amal dan kesempurnaannya. Begitu pula kelalaian apapun atau hanya membatasi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban tertentu saja tanpa melaksanakan yang lainnya akan menjadikan orang yang lalai itu keluar dari keumuman apa yang harus dilaksanakan olehnya, dan akan menjerumuskannya pada dosa. Islam yang sempurna tidak akan lengkap eksistensinya tanpa adanya Khalifah. Keterikatan banyaknya hukum-hukum Islam dengan keberadaan Khalifah menjadikan kehadirannya wajib menurut syara’, dan menjadikan usaha untuk mengadakannya juga wajib menurut syara’. Implikasi dari semua itu mewajibkan adanya partai ideologi Islam yang beraktivitas untuk mengadakannya, dan menegakkan seluruh perkara yang dituntut syara’ untuk menegakkan agama melalui berdirinya Daulah Islamiyah. Inilah keseluruhan yang diminta. Inilah yang dinamakan dengan melanjutkan ~ 31 ~
  • 32. kehidupan Islam. Secara keseluruhan, itulah yang dituntut oleh syara’ dari jamaah. Jamaah dilarang oleh syara’ untuk melaksanakan hukum-hukum yang tidak menjadi kewenangannya, seperti menerapkan hudud. Jamaah tidak boleh mengambil alih tugas Khalifah. Yang harus dilakukan oleh jamaah adalah mewujudkan Khalifah agar dia melaksanakan tugas yang dituntut atasnya. “Dan amir itu adalah pemimpin yang mengurusi urusan umat, dan dia bertanggung jawab dengan segala urusannya.” (HR. Muslim) Dari sini kita mengalihkan perhatian pada topik bahwa seseorang yang beriman kepada Islam secara sempurna dan berdakwah kepada Islam secara keseluruhan, dia pasti akan mengadopsi secara terperinci hal-hal yang dituntut syara’ darinya dan mengadopsi pula hal-hal yang dituntut syara’ dari partai ideologi Islam, tempat dia beraktivitas di dalamnya. Kelalaian terhadap perkara apapun yang dituntut darinya akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. Demikian juga halnya dengan seorang Khalifah. Dia harus melaksanakan apa yang dituntut oleh syara’ sebagai pribadi. Dia wajib mengerjakan shalat, shaum, berhaji, membayar zakat, berbakti kepada kedua orang tuanya. Diapun dilarang untuk berzina, melakukan aktivitas riba, berdusta dan menipu. Di samping itu dia juga harus melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang Khalifah, seperti menyusun Undang-undang, mengumumkan jihad, melindungi persatuan kaum Muslim, memerintah (negara dan masyarakat) dengan apa yang diturunkan Allah, menerapkan hudud. Sebaliknya, kelalaian apapun dalam tugas-tugas yang diberikan kepadanya akan ditanyakan oleh Allah kelak. Inilah realitas yang ditampilkan oleh hukum-hukum syara’. Dan hal ini harus dipahami dengan baik oleh partai ideologi Islam, agar partai ideologi Islam mampu untuk memilah-milah mana perkara yang harus dilaksanakan olehnya, dan mana perkara yang tidak dituntut atasnya. Jika sebuah partai ideologi Islam mampu menentukan fakta tentang dirinya maka partai ideologi Islam tersebut dapat menetapkan kapasitas yang dituntut atasnya. Aktivitas partai ideologi Islam harus bersifat politis, serta berdiri berdasarkan asas [ideologi] yang ingin diterapkan atas umat Islam. Akidah Islam memperoleh perhatian utama dalam dakwah, karena akidah Islam adalah asas setiap perkara cabang dan berkaitan dengan seluruh hukum-hukum syara’. Konsentrasi yang ~ 32 ~
  • 33. amat besar pada aktivitas pendirian Daulah Khilafah Islamiyah adalah karena keterikatan banyaknya hukum dengan negara, dan dari sinilah penamaan bahwa mendirikan Daulah Islamiyah sebagai tâj al-furûdh (mahkota dari berbagai perkara fardhu). Dengan demikian apabila partai ideologi Islam berusaha untuk mencapai takâmul dan tawâzun yang berbeda dengan apa yang telah dijelaskan, maka partai ideologi Islam tersebut telah membebani dirinya dengan apa yang tidak diwajibkan Allah atasnya. Dan jamaah tersebut akan terus mengeluhkan kekurangan dan ketidakseimbangan. Ujung-ujungnya jamaah tesebut akan berubah menjadi jamaah yang penuh dengan keluhan dan berurai air mata, tersesat dari jalan yang seharusnya karena dia telah kehilangan petunjuk. Di antara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa di dalamnya juga terdapat sistem ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer. Di dalam sistem ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan tanah, dengan kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan luar negeri. Seluruh hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan oleh Syâri’ dengan Khalifah. Khalifahlah yang mengatur dan memelihara seluruh perkara tersebut, bukan partai ideologi Islam. Partai hanya berdakwah. Di dalam sistem politik, Khilafah harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah ditetapkan oleh syara’, dari Khalifah sampai mu’awin, termasuk wali dan qadhi, aparat administrasi hingga majelis umat. Khalifah memiliki wewenang dan tugas sebagaimana mu’awin; wali dan tentara memiliki tugas masing-masing, demikian juga dengan aparat administrasi yang memiliki tugas sendiri. Bahkan termasuk dalam tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan persiapan itu akan merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan dakwah ke seluruh dunia -mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya sampai tingkat gerakan saja; yang memungkinkan seorang muslim mampu mempelajari penggunaan senjata. Di samping itu harus dimengerti bahwa ada jenis-jenis persenjataan yang hanya dimiliki oleh negara. Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level internasional (mencakup artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur, ~ 33 ~
  • 34. nuklir, pesawat ruang angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan berbagai penelitian dan pengembangan industri persenjataan, penyediaan lapangan-lapangan terbang serta pusat-pusat latihan. Rasulullah Saw. ketika mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak melakukannya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai ideologi Islam, melainkan sebagai penguasa negara Islam. Meneladani beliau dalam perkara ini tidak boleh keluar dari perspektif ini. Kewajiban partai ideologi Islam adalah mewujudkan Khalifah, yang akan menjalankan tugasnya untuk merealisir seluruh perkara tersebut. Sebab, Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam mewujudkan Khalifah dan (berpaling dengan) berusaha untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah maka jamaah dalam hal ini telah menyeleweng dari syara’. Partai ideologi Islam wajib mengadopsi konsep sistem-sistem yang ingin diterapkannya atas manusia ketika Allah memberikannya kemenangan untuk melaksanakannya. Partai ideologi Islam pun menetapkan struktur negara sistem Islam dan menetapkan UUD Khilafah, serta memberikan gambaran secara umum kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar mereka melihat bahwa Islam mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan berjalan bersama mereka dalam mencapai peribadatan komprehensif mereka, dengan menjadikan mereka berada di dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas mereka. Partai ideologi Islam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam-nya harus luas, demikian juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut untuk melaksanakan seluruh perkara yang memang dituntut atasnya. Pemikirannya adalah pemikiran-pemikiran untuk mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan umat. Terbebas Dari Racun Pemikiran Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam di bidang ruhiyah, keterbelakangan di bidang materi, kemunduran di bidang pemikiran dan politik Islam, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyataan- kenyataan buruk yang menimpa mereka. ~ 34 ~
  • 35. Akibatnya, di tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul pemikiran-pemikiran yang tidak menggambarkan hakikat Islam yang sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih menggambarkan tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam dan petunjuk-petunjuk Islam di dalam kehidupan. Pihak kafir imperialis yang menguasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka di kalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum kafir. Penyebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang telah kehilangan ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realitas dan tunduk kepada kepentingan (asas manfaat). Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih- tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang menyedihkan. Orang–orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka merekapun menyengaja mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan. Mereka juga secara sengaja membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang salah, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu bertujuan untuk mengkompromikan di antara keduanya dan memberikan gambaran bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman. ~ 35 ~
  • 36. Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakikatnya jika kita mengambil pemahaman dan tolok ukur semacam itu berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan mengikuti sistem kapitalis. Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan kompromi ini hakikatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya. Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya berusaha untuk membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat fatamorgana. Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui batas-batas syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau karena kebodohan, lalu menyatakan bahwa tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad sejak masa Rasulullah saw masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan pola pikir masa kenabian, harus dilakukan upaya tajdîd (pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Menurut mereka, Islam harus diberi suntikkan pemikiran-pemikiran “modern.” Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan mereka. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap berada pada kemodernannya. Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dîna marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz wa thâlib (ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl bimâ yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i (menerima apapun yang sesuai dengan syara’ atau apapun yang tidak bertentangan dengan syara’), irtikâbu akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan ~ 36 ~
  • 37. bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu kulluhu lâ yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi al-Islâm (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi adalah bagian dari Islam), lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak diingkari perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takûnu al- maslahah fatsamma syar’ullâh (di mana ada maslahat di sana ada hukum Allah). Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan ”kebangkitan Islam modern” yang dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemason, Muhammad Abduh, yang saat itu digelari syaikhul Islam. Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk dan kebusukan yang tersembunyi dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab kekuatan mereka, dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya. Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan maksud yang baik, tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab yang menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan. Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik, pengaruhnya terhadap realitas kaum Muslim sama saja. Pemikiran orang-orang kafir pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan tidak mampu mengusir keburukan. Allah Swt. telah menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan metode pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang muslim kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah Swt. Kaidah berpikir seorang muslim -yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan ~ 37 ~
  • 38. dalil-dalil syara’- itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah bertolaknya asas kebangkitan kita secara sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya. Kaidah-kaidah dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’ yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang mereka dipaparkan agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya, ‘Di mana ada hukum syara’ di situ ada maslahat, dan bukan sebaliknya’, ‘Hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’, ‘Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya’, ‘Terpuji (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan tercela (qabih) itu adalah apa- apa yang dikatakan buruk oleh syara’, ‘Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah’, ‘Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat’, ‘Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah maka baginya kehidupan yang sempit’, ‘Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak seperti umat yang lain’, ‘Sesungguhnya Islam tidak mengakui ashobiyah wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), isytirâkiyyah (sosialis) dan demokrasi’, ‘Islam adalah gaya hidup yang istimewa, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral.’ Jika sebagian nash-nash syara’ diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang oleh generasi salafush shâlih. Kita tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah pebuatan yang tercela. Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang jika kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” (Sirah Ibnu Hisyam) Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua. Rasulullah Saw. bersabda: “Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di Neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) ~ 38 ~
  • 39. bertanya: ‘Siapa orang-orang yang termasuk golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: ‘(Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku sekarang ini’.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal) Rasulullah Saw. bersabda: “Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal) Sabda Rasulullah Saw.: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang- orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka....” (HR. Muslim) Sabda Rasulullah Saw.: “Barangsiapa di antara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di Neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafâ ar-Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) Hadits-hadits tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (terpuji) dan peringatan agar menjauhi perkara bid’ah. Semakin jauh suatu zaman dengan masa Rasulullah Saw. maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar. Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Saw. dan sunnah khulafâ ar-râsyidîn yang mendapat petunjuk dan harus melaksanakan apapun yang Rasulullah saw dan para sahabat kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak. ~ 39 ~
  • 40. - Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya. - Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci. - Kita harus menjaga metode istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum- hukum syara’. - Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan salafush shâlih. - Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari jiwa dan akal kita karena bisa merusak akidah, serta membuang jauh-jauh segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra. yang telah melucuti seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan. Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat di masa akhir ini tidak akan baik kecuali dengan menggunakan perkara yang menjadikan umat di masa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan di mana kaum Muslim harus memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat ataupun jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya kondisi mereka. Konsep kompromistis Tadarruj (bertahap) juga berarti menerapkan sedikit hukum syara dengan ikut melestarikan penerapan hukum selain syara’ untuk sementara waktu, hingga menurut asumsinya akan tiba saatnya penerapan hukum syara’ secara sempurna. Sesungguhnya tadarruj (pentahapan) tidak terkait dengan tahapan-tahapan tertentu. Juga tidak tunduk kepada kaidah-kaidah yang mengikat -menurut orang- orang yang membolehkannya-. Konsep kompromistis tadarruj (bertahap) bisa mencakup juga pemikiran- pemikiran yang berkaitan dengan akidah, seperti ‘Sesungguhnya sosialisme itu bagian dari Islam’ atau ‘Sesungguhnya demokrasi adalah bagian dari Islam’. Bisa ~ 40 ~
  • 41. pula mencakup hukum-hukum syara’. Bisa tadarruj berkaitan dengan sistem, seperti tuntutan agar turut serta sebagai penguasa di dalam sistem pemerintahan non-Syariah, meskipun hal itu haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para pendukung tadarruj itu sendiri. Namun, menurut mereka bukan tuntutan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya dalam kekuasaan di pemerintahan kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan Islam yang merupakan pokok dan kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk mewujudkan sebagian hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum kuur, dengan harapan akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian diasumsikan bisa menjadi mayoritas dan seterusnya. Orang yang meyakini tadarruj bersikukuh dengan cara-caranya ini dan berusaha mengajak orang lain untuk mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai bahwa orang yang melontarkan ide ini adalah orang yang takwa, yang jika berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak menerima adanya tahapan-tahapan, akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain dia menerima adanya tadarruj karena dia menghendaki agar orang lain dapat menjalankan hukum syara’, di samping agar mereka tidak menolak dakwah kepada hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang turut melestarikan hukum-hukum kufur dan mengupayakan sebagian dari hukum-hukum Islam adalah lebih baik daripada tidak melaksanakannya sama sekali. Para pendukung ide ini menggunakan pembenaran yang memperkuat pemahaman mereka dalam pemikiran dan dakwah Islam. Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapainya mereka telah mempergunakan alasan-alasan itu sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tunduk kepada nash dan dalalah (penunjukannya)-nya. Mereka malah mempergunakankan nash agar sesuai dengan keinginan mereka. Dahulu, jihad futuhât (penaklukan/pembebasan) oleh Islam melalui Negara Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih barunya ke- Islaman saudara-saudara mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamar melalui tahapan sebagaimana asumsi “tahapan” yang telah dilalui dalam pengharaman khamar. Padahal bisa diasumsikan kondisi saat itu menuntut mereka dan sangat dibutuhkan seandainya asumsi pentahapan bisa dijadikan sebagai patokan. Wajar saja para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj. Kiranya benarlah sabda Rasulullah Saw.: ~ 41 ~
  • 42. “Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam Neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud) Hukum Syariah telah lengkap, yang secara syar’i tidak boleh kembali kepada hukum kufur. Jika kita melaksanakan hukum jahiliyah, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah Swt. kepada kita. Inilah pendapat orang-orang terdahulu dan kemudian. Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan hukum-hukum berdasarkan peristiwa- peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati. Yang pertama kali turun adalah masalah iman, kemudian tentang Surga dan Neraka. Setelah itu halal dan haram. Hal ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian yang lain. Saat itu kaum Muslim bertanggung jawab sebatas (ayat-ayat) al-Qur’an yang diturunkan, tidak lebih dari itu. Ketika ayat-ayat tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum banyak belum turun, maka kaum Muslim –saat itu- bertanggung jawab terhadap Islam seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas- batas yang telah dijelaskan nash-nash syara’ yang telah turun. Kaum Muslim selalu harus bertanggungjawab terhadap hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan individu muslim dalam setiap keadaan, baik daulah Islam telah eksis ataupun belum ada. Sedangkan hukum-hukum Islam yang disandarkan pembebanannya kepada negara maka tetap berkaitan dengan negara yang harus dipastikan terpenuhinya. Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang lainnya. Tidak ada yang namanya kembali ke belakang. Ide tentang tadarruj (pentahapan) bukan berasal dari syara’ dan tidak boleh menisbahkannya kepada syara’. Permasalahan ini terkait dengan metode berpikir yang tidak sesuai dengan syara’ dalam kondisi apapun. Islam memiliki sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan tabi’at sistem Islam itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata. ~ 42 ~
  • 43. Tatkala seorang muslim terikat dengan hukum syara’ maka dia harus menjadikan keterikatannya itu berdasarkan keimanan kepada Allah Swt. Jika tidak demikian maka konsistensinya itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia mengajak orang lain kepada Islam maka dia wajib menjadkan iman kepada Allah Swt. sebagai asas dakwahnya. Akidah Islam serta tauhid mengandung pengertian wajibnya berpasrah untuk menerima seluruh syariah Islam, jika TIDAK MAU MENERIMA Syariah Islam sebagai wujud KETUNDUKAN HATI kepada Allah berarti akidahnya, tauhidnya rusak. Agar seorang muslim berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan yang benar dan lurus maka wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan mewujudkannya kemudian memupuknya. Apabila seorang muslim tidak bersandar kepada asas ruhiyah ketika melaksanakan syariat, maka hal itu dapat menjerumuskannya pada dosa, bahkan bisa menggelincirkannya kepada syirik. Rasulullah Saw. telah berkata kepada bani ‘Amir bin Sha’sha’ah ketika beliau mendakwahkan Islam kepada mereka dan meminta nushrah (pertolongan) kepada mereka: ‘Perkara (kekuasaan Islam) itu di tangan Allah, Dialah Yang menetapkan sekehendak-Nya’. (Sirah Ibnu Hisyam) Ini diucapkan beliau tatkala mereka meminta kepada beliau (sebagai syarat pertolongan mereka) agar kendali kekuasaan diberikan kepada mereka setelah wafatnya Rasulullah Saw. Hal itu terjadi pada saat kondisi beliau Saw. sangat membutuhkan adanya orang (pihak) yang dapat menolong dakwah. Apa yang dilakukan Rasulullah saw merupakan ajakan yang benar, dan perintah Allah-lah yang menjadikannya benar di dalam perkataannya tanpa mengindahkan lagi bujuk rayu dan tawar menawar (kompromi), agar dapat diketahui dengan jelas orang-orang yang benar dan orang-orang yang salah. Rasulullah Saw. telah mengatakan kepada paman beliau Abi Thalib: “Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (dakwah) maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah akan memenangkanku atau aku binasa karenanya.” (Sirah Ibnu Hisyam) ~ 43 ~
  • 44. Nash yang berasal dari Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa beliau tidak menerima sedikitpun kompromi atau tawar menawar di dalam syari’at. Beliau dalam hal ini telah memberikan sebaik-baik contoh di dalam dakwahnya. Beliau tidak mencari muka, tidak “berdamai”, tidak mengikuti mereka, tidak menunjukkan keridhoan dan tidak berbasa-basi kepada para penguasa. Dakwah beliau jelas dan berani, yang bisa melahirkan pemikiran yang benar, yang mematahkan dan menyebabkan kebatilan itu sirna. Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhijrah dari Makkah, dari tempat di mana mereka tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Swt. ke tempat mereka bisa melaksanakannya. Dan Allah mengharamkan mereka tetap tinggal di tempat selain Negara Islam yang telah berdiri untuk tegaknya seluruh amal Islam (kecuali kerena keterpaksaan yang sungguh-sungguh). Firman Allah Swt: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini? mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” (TQS. an-Nisa [4]: 97) Rasulullah Saw. memulai dakwahnya dengan Lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh dan beliau mulai menyampaikan kalimat itu kepada kaumnya. Kalimat itu pula ucapannya yang terakhir tanpa ada perubahan sedikitpun. Apakah beliau mendakwahkan sesuatu yang lebih ringan dari (kalimat) itu terlebih dahulu sehingga bisa menuai simpati penguasa dan penduduk Makkah, kemudian beliau berdakwah menyampaikannya secara bertahap sampai akhirnya menyampaikan hukum Allah yang sebenarnya? Sesungguhnya kalimat itu merupakan awal dan akhir dakwah beliau Saw. Abu Bakar ra. telah memerangi orang-orang yang bersikeras tidak mau membayar zakat. Beliau tidak memberikan tempo (jeda waktu) dan tidak pula ridha kepada mereka. Tidakkah kita ingat terhadap perkataannya yang terkenal: ‘Demi Allah, seandainya mereka tidak mau membayar zakat kepadaku sebagaimana mereka telah membayarnya kepada Rasulullah Saw. maka sungguh aku akan memerangi mereka’. Padahal kaum Muslim saat itu sedang menghadapi gerakan pemurtadan dan pembangkangan yang sangat besar? ~ 44 ~
  • 45. Kaum Muslim terdahulu telah mengemban dakwah kepada Islam tanpa ada pemahaman tadarruj (pentahapan). Dan mereka mengambil metode ini pada saat mereka menerapkan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan, yang wilayahnya berubah dari dâr al-kufur menjadi dâr al-Islâm. Kaum Muslim terdahulu tidak mempedulikan kondisi negeri-negeri yang saat itu baru memeluk Islam, tidak berkompromi untuk membiarkan mereka berhukum kufur demi pentahapan. Mereka tidak membiarkan orang-orang yang baru masuk Islam itu meminum khamr sedikit sampai jiwa-jiwa mereka terbiasa dengan tidak meminumnya; dan tidak membolehkan bermuamalah dengan riba sedikit; dan tidak membolehkan melacur dengan wanita sedikitpun,.... Mereka masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan. Mereka semuanya dilarang mempraktekkan riba, zina atau minum khamr, dan seluruh perkara yang diharamkan Allah atas mereka. Mereka menerapkan hukum-hukum syari’at yang telah dibebankan, baik kewajiban yang dibebankan itu terkait dengan individu ataupun jama’ah, fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah. Syari’at secara umum telah menunjukkan atas wajibnya membalut dakwah dengan kebenaran dan lurusnya jalan. Firman Allah Swt: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus.” (TQS. al-Kahfi [18] 1-2) Allah Swt. telah memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang kafir ingin membujuk-bujuk kita, berjalan bersama mereka, dan agar kita melepaskan kebenaran serta agar kita menerima perkara-perkara yang dianggap (pada mulanya) sebagai perkara yang enteng dan sepele terhadap kekafiran. Allah Swt berfirman: “Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri.” (TQS. al-Baqarah [2]: 109) Kemudian dengan hukum-hukum, firman Allah Swt: “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (TQS. al-Qalam [68]: 9) ~ 45 ~
  • 46. “Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah).” (TQS. al-Qalam [68]: 8) Rabb kita telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah)nya kita terhadap orang- orang dzalim. Firman Allah Swt: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang menyebabkan kamu disentuh api Neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (TQS. Hud [11]: 113) Dakwah yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu menjadikan keterikatan seorang muslim dengan syari’atnya secara sempurna, meskipun orang tersebut baru masuk Islam atau baru saja terikat dengan hukum syara.’ Tidak ada jalan lain bagi kita, sebagai pengemban dakwah, selain dari menanamkan iman ke dalam jiwa dan menjaganya hingga memperoleh (panen) buah yang paling baik dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan takwa. Daulah Islam tidak dibangun oleh orang-orang yang kosong dari pemikiran Islam, atau yang disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas orang-orang yang tidak menjalankan aktivitas dakwah, dan orang-orang yang tidak terpengaruh oleh dakwah maupun orang-orang yang terpaksa menerima dakwah. Daulah Khilafah Islam, wajib dibangun di atas opini umum yang terpancar dari kesadaran umum, yang menerima pemikiran Islam dan menerima ide untuk ber- tahkim kepada Islam. Dengan demikian tidak diperlukan sikap dengan mengikuti nafsu manusia atau mengikuti realitas yang menyimpang, karena Allah telah memerintahkan kita untuk merubah jiwa-jiwa (manusia) dan merubah realitas (yang ada) agar sesuai dengan Islam. Apabila kita menengok kembali al-Qur’an, kemudian kita dalami lagi ayat- ayatnya, pasti kita akan mengetahui bahwa perintah untuk menerapkan hukum Islam bersifat qath’i. Rasulullah Saw. dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali diturunkan ayat al-Qur’an, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu- nunggu atau memperlambatnya. Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring dengan turunnya ayat. ~ 46 ~
  • 47. Setelah turunnya ayat: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS. al-Maidah [5]: 3) Kaum Muslim dituntut untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan tuntutan yang bersifat menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah ataupun akhlaq; baik itu terkait dengan muamalat ataupun dengan aspek pemerintahan, ekonomi, sosial atau politik luar negeri; baik dalam kondisi damai maupun perang. Firman Allah Swt: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (TQS. al-Hasyr [59]: 7) Ambillah dan amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah Saw., dan tinggalkanlah serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata (mâ) di dalam ayat itu termasuk dalam kategori bentuk umum, yang mencakup wajibnya beramal dengan seluruh kewajiban, dan wajibnya meninggalkan atau menjauhi seluruh larangan. Tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan yang terdapat di dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarînah (indikasi) yang terdapat di ujung ayat, (yaitu) berupa perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan azab yang pedih bagi yang tidak melaksanakan ayat tersebut. Firman Allah Swt: “(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. al-Maidah [5]: 49) Ayat ini memerintahkan kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan perintah yang bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; baik itu berupa perintah ataupun larangan. Di dalam ayat itu juga Rasulullah Saw. dan kaum Muslim setelah beliau dilarang untuk mengikuti hawa nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan mereka. ~ 47 ~