Masyarakat Ammatoa di Sulawesi Selatan memiliki sistem nilai budaya yang tertuang dalam Pasang ri Kajang, yang berisi pedoman hidup berdasarkan ajaran leluhur. Nilai-nilai dalam Pasang ri Kajang meliputi kehidupan sosial, religi, lingkungan, dan sistem pemerintahan. Masyarakat Ammatoa mengelola hutan secara berkelanjutan berdasarkan kepercayaan bahwa hutan adalah tempat suci yang menopang hidup mereka.
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Ammatoa ii
1. NAMA
NIS
KELAS
Masyarakat Ammatoa merupakan salah satu masyarakat adat yang masih eksis
ditengah ‘gempuran’ kapitalisme liberal dan merasuknya nilai-nilai ekstrimisme
agama impor pada negeri ini. Mereka berdomisili di Provinsi Sulawesi Selatan,
tepatnya diwilayah Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Eksistensi
masyarakat Ammatoa ditopang oleh keberhasilan mereka dalam mengelola
ekosistem secara seimbang dan berkesinambungan. Keberhasilan itu tak dapat
dilepaskan dari sistem nilai budaya mereka yang tertuang dalam Pasang ri Kajang.
Menjaga ’ Pesan’Leluhur
Pasang riKajang merupakan pedoman hidup masyarakat Ammatoa yang terdiri
dari kumpulan amanat leluhur. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasang dianggap
sakral oleh masyarakat Ammatoa, yang bila tidak diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari akan berdampak buruk bagi kehidupan kolektif orang
Ammatoa (Usop, 1978). Dampak buruk yang dimaksud adalah rusaknya
keseimbangan ekologis dan kacaunya sistem sosial. Begitulah keyakinan
masyarakat Ammatoa terhadap Pasang riKajang.
Pasang mengandung panduan bagi hidup manusia dalam segala aspek, baik itu
apek sosial, religi, mata pencaharian, budaya, lingkungan serta sistem
kepemimpinan. Bahkan Pasang juga mendeskripsikan proses terjadinya
bumi dengan berlandaskan pada mitologi masyarakat Ammatoa. Secara esensi,
Pasang mirip dengan Lontarak dalam sistem kebudayaan Bugis.
Sekilas, Pasang menyerupai ajaran agama yang mengatur pola kehidupan
manusia secara holistik. Meskipun tampaknya masyarakat Ammatoa tidak
menganggap Pasang sebagaisuatu religi atau sistem kepercayaan, karena Pasang
justru dianggap lebih luas dari itu. Faktanya, masyarakat Ammatoa menganut
sistem kepercayaan yang dinamakan Patuntung. Dan ajaran Patuntung ini menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari Pasang ri Kajang.
Sebagaimana halnya kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat adat pada
umumnya, Pasang memuat berbagai ajaran leluhur yang substansinya adalah
2. menuntun manusia untuk berbuat baik, hidup jujur dan sederhana. Hal itu tampak
dalam ajaran yang terdapat dalam Pasang berikut ini :
Patuntung manuntungi,Manuntungikalambusannana kamase-maseanna,
Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na,
Artinya :
Manusia yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya
dikawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut kejujuran, kesabaran, ketegasan,
kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya.
Kebudayaan Ammatoa memang sangat lekat dengan pola hidup sederhana. Itupun
berkorelasi dengan ajaran Pasang yang mengamanatkan kebersahajaan. Dalam
konsepsiadat Ammatoa, ada ungkapan yang berbunyi “Anre kalumanynyang
kalupepeang,Rie’Kamase-masea”yang berarti “ditempat ini (kawasan adat
Ammatoa) tidak ada kemakmuran, yang ada hanya kebersahajaan . Hal ini
mencerminkan pandangan hidup orang Ammatoa yang menganggap kehidupan
ideal itu adalah kehidupan yang sederhana atau ‘cukup’, bukan kehidupan yang
makmur. Makmur diartikan sebagai kehidupan yang berkelebihan.
Pasang mengajarkan :
Angnganrena rie’, care-care na rie, Pammallijuku na rie’, tan koko na galung
rie, Balla situju-tuju.
Artinya :
Hidup yang cukup itu adalah bila makanan ada, pakaian ada, pembeli lauk ada,
sawah dan ladang ada dan rumah yang sederhana saja,
(Hijjang, 2002).
Kebersahajaan hidup inilah yang berpengaruh pada sistem pengelolaan lingkungan
hidup mereka yang berada di hutan kawasan adat Ammatoa.
Hutan sebagai Tana Toa
Secara garis besar, sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat Ammatoa
berbasiskan pada zonasi lahan yang terbagi dalam dua area, yakni rabbang
seppang (batas sempit) dan rabbanglaura (batas luas). Rabbang seppang
3. mencakup kawasan adat Ammatoa yang didalamnya terdapat hutan adat yang tidak
boleh dirusak atau diganggu. Sementara rabbanglaura melingkupi kawasan yang
dapat digunakan sebagai sumber penghidupan orang Ammatoa yang rata-rata
hidup dari berladang menetap serta beternak. Wilayah rabbang laura mencakup
seluruh kawasan diluar kawasan adat atau rabbang seppang.
Hutan yang termasuk dalam kawasan adat Ammatoa memiliki luas 110 hektar
(Sakka, 1999). Kawasan adat ini dinamakan juga Ilalang Embaya,sementara
wilayah diluar kawasan adat bernama Ipantarang Embaya.Pengelolaan hutan yang
dilakukan masyarakat Ammatoa sangat terkait dengan sistem religi mereka,
Patuntung, yang merupakan salah satu aspek dari sistem nilai Pasang riKajang.
Dalam konsepsi Patuntung, hutan adat Ammatoa dipercaya sebagai tempat
turunnya manusia pertama (Tau-Manurung)dibumi. Tempat tersebut juga
diistilahkan sebagai Tana Toa atau tanah tua. Tana Toa juga diyakini sebagai
tempat naiknya Tau-Manurungke langit untuk mencapai kehidupan
bersama Tuhan yang dalam konsepsiteologis Patuntung bernama Tau Rie’
A’ra’na (TRA).
Sakralitas kawasan adat Ammatoa inilah yang membuat masyarakat Ammatoa
enggan merusak ekosistem yang berada dalam kawasan tersebut. Mereka melarang
anggota masyarakatnya untuk menebang pohon, berburu satwa serta melakukan
perbuatan lainnya yang dapat merusak sistem ekologi dalam Ilalang Embaya.
Dalam Pasang diserukan :
Punna nitabbangngikayua, Nipappirangngangngiangngurangibosi,
Appatanre’tumbusu, napauturiolowa.
Artinya :
Kalau kayu ditebang, akan mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata
air.
Begitu menurut nenek moyang kita
Lihat juga pernyataan penasehat adat Ammatoa (Galla Puto) berikut ini :
Anjo borongna iya kontaki bosiya, Nasaba konre mae anre’ pangairang, iyaminjo
borongnga selaku pangairang, nasabaiya nakabattuibosi.
4. Artinya :
Hutan adalah yang mengontak hujan, sebab disini tidak ada pengairan, maka hutan
lah yang berfungsi sebagai pengairan, karena hutanlah yang menyebabkan
turunnya hujan.
Dalam hal ini terlihat adanya paradigma ekologis yang maju dari agama
Patuntung. Sebuah kesadaran akan fungsi hidrologis dari hutan sebagai pengatur
tata air bagi kebutuhan hidup masyarakat Ammatoa. Hutan dipandang sebagai
tumbusu atau sumber mata air.
Indigenousknowledge seperti itulah yang tampaknya melandasi sistem
kepercayaan mereka tentang sakralitas hutan adat sebagai tempat awal dan akhir
dari Tau-Manurung. Kepercayaan yang sifatnya fungsional karena lahir dari
pemikiran masyarakat peladang yang hidup menyatu dengan hutan sebagai tempat
tinggal maupun sumber pangan mereka. Bila hutan itu hancur, maka hancur pula
kehidupan mereka. Oleh sebab itulah lahir agama Patuntung serta Pasang ri
Kajang sebagaisuprastruktur kebudayaan Ammatoa untuk menjaga kelestarian
hutan adat sebagai sumber penghidupan mereka.
Kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa yang berlandaskan pada Pasang ri
Kajang dengan Patuntung sebagai sistem religinya telah memberikan ‘pelajaran’
bagi kita, bahwasanya pengelolaan hutan atau lingkungan hidup sangat
berpengaruh bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Bila pengelolaan hutan
dilakukan dengan menggunakan logika kapital yang tujuannya adalah akumulasi
modal, maka kehancuranlah yang didapat. Bukan hanya kehancuran hutan itu
sendiri, namun juga kehancuran manusia berikut peradabannya. Sementara bila
pengelolaan hutan didasari oleh kesadaran yang tinggi akan kebersinambungan
hidup manusia, maka kita akan selamat. Sudah saatnya kapitalisme ‘buta’ yang
menjadi landasan dari logika kapital dibuang ke ‘tong sampah’ peradaban, karena
terbukti menistakan kemanusiaan selama ratusan tahun.
HISKI DARMAYANA
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20120219/pasang-
ri-kajang-kearifan-lokal-masyarakat-ammatoa-bulukumba.html#ixzz3WhDVVvtB
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook