Dokumen tersebut membahas latar belakang perkembangan hukum internasional dan pelanggaran HAM, termasuk di Indonesia. Dokumen juga membahas pentingnya ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia untuk menghapus praktik impunitas dan menerapkan asas pertanggungjawaban komando, terutama dalam kasus Semanggi. Tujuan penelitian adalah menganalisis konstitusi nasional terkait impunitas dan manfaat ratifikasi Statuta Roma bagi penegakan HAM
Ratifikasi Statuta Roma dalam Perspektif Hukum Nasiona
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk,kasarnya dari empat ratus
tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa
modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka.1
Abad ini telah menjadi sanksi adanya dorongan yang besar bagi perkembangan hukum
internasional di banding dengan yang terjadi pada tahap sebelumnya dari sejarah hukum
internasional ini.hal tersebut merupakan akibat wajar dari berkembanya interdependensi negara-
negara dan peningkatan pesat hubungan-hubungan antar negara negara karena berbagai macam
penemuan yang di tunjukan guna menagulangi kesulitan-kesulitan menyangkut waktu,ruang dan
komunikasi.2
Hukum internasional sendiri berkembang sangat pesat setelah berakhirnya perang dunia
ke II dengan tujuan utama untuk mengadili para penjahat perang nazi seperti Herman Goring,
Heinric himler dan beberapa penjahat nazi lainya lewat Mahkamah Militer Internasional di
Nuremberg yang di bentuk oleh sekutu sebagai pemenang perang antara lain Amerika
Serikat,Uni Soviet, Inggris dan Perancis selain itu sekutu juga mendirikan Mahkamah
Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah
yang didirikan untuk mengadili penjahat perang
Pengadilan ini sendiri memiliki tujuan untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang di
1 J.G.Starke,Pengantar Hukum Internnasional,(Jakarta:,Sinar Grafika 2010),Hal 8
2 Ibid.hlm 17
2. lakukan oleh para pejabat serta jendral perang nazi dan jepang yang terjadi di negara-negara
yang di duduki oleh nazi dan jepang lewat kejadian yang kita kenal sebagai holocaust yaitu suatu
pemusnahan besar-besaran kaum yahudi oleh nazi dan perbudakan oleh pihak jepang.
Dengan demikian,Konsepsi negara-negara Barat dari semula telah medominasi pemikiran
negara-negara yang tergabung dalam PBB waktu mereka,seusai perang dunia ke II (1942-1945)
yang amat dahsyat itu,ingin merumuskan suatu dokumen hak asasi manusia yang dapat di terima
secara universal.3
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali
dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara
bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan
November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai
tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi,
perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk
sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong
Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former
Yugoslavia (ICTY) dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran
terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam
perdamaian dan keamanan internasional.
Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang
menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka dan hanya menjadi alat bagi
negara-negara adikuasa seperti halnya amerika serikat untuk memuluskan langkah politiknya
dalam politik negara lain di sisi lain pembentukan ICTY jauh dari objektifitas hukum karena
yang mengadili adalah negara-negara yang memiliki kepentingan di negara tersebut sebagai
3 Prof.Miriam Budiardjo,Dasar-dasar Ilmu Politik,(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 2008),Hal 211
3. akibat belum adanya hukum internasional atau peraturan mengenai pelanggaran Hak Asasi
Manusia.
Indonesia sendiri telah mengalami berbagai macam pelanggaran HAM seperti peristiwa
1965, Semanggi I, Semanggi II, Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok,
Penembak Misterius, Penculikan Aktivis 1998, Kasus-Kasus di Papua dan Aceh, Timor Leste yang
membuat kejadian-kejadian tersebut merubah perspektif dan paradigma masyarakat tentang
perlindungan dan pertanggungjawaban penyelesain peristiwa pelanggaran HAM akan tetapi dengan
banyaknya korban jiwa tidak membuat banyak pelaku pelanggar HAM dapat di seret di pengadilan
sebagai akibat masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia.
Masih kuatnya praktek impunitas di Indonesia sebagai akibat belum terlaksananya secara
maksimal Asas Pertanggungjawaban Komando biasanya dalam penaganan kasus pelanggaran HAM
serta penyelesainya hanya fokus kepada pelaku yang melakukan pelanggaran secara langsung atau
fisik akan tetapi para pejabat terkait dan atasan mereka tidak di bebankan pelanggaran HAM
walaupun mereka tidak melakukan secara fisik tetapi mereka mengetahui dan ikut memerintahkan
karena hal tidak mungkin seorang prajurit melakukan suatu operasi tanpa sepengatahuan atau
perintah dari atasan.
Dalam perkembanganya sebagai akibat belum adanya suatu peraturan Mengenai Hak
Asasi Manusia secara universal akhirnya PBB berinisiatif untuk membentuk suatu peraturan dan
pembentukan lembaga permanen yang mengadili tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
bertujuan untuk supermasi hukum dan keadilan dalam penaganan Kasus pelanggaran HAM.
Pada 17 Juli 1998, 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic
Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court
menyetujui dibentuknya International Criminal Court (ICC) yang diadopsi dari Statuta Roma
tersebut.Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan
4. sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-
negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar
menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan
kejahatan perang.4
Statuta Roma menjadi tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai
negara akan tetapi Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen dalam penegakan
pelanggaran HAM belum melakukan Ratifikasi Statuta Roma padahal hal ini telah tercantum
dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 – 20095 dan remhamnas
2009-20146, akan tetapi Ratifikasi masih belum di lakukan padahal Ratifikasi Statuta Roma
menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia padahal UUD 1945 telah jelas
mengatur dan melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam pasal 28 I ayat 4
dinyatakan:“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”7
Dalam hal ini sudah sangat jelas negara harus berperan aktif dalam melindungi warga
Negara dari pelanggaran HAM memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.8 Pengadilan ini bersifat ad hoc (sementara) dan mampu mengadili kasus-
kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau. Namun jika di lihat dari fakta di lapangan
banyak pelaku pelanggaran HAM berat tidak pernah di periksa akibatnya timbulnya Impunitas
terhadap pelaku Pelanggaran HAM padahal pelanggaran HAM Bukan hanya mengenai kontak
fisik tetapi ada pula asas Pertanggujawan Komando yang sangat efektif dalam menjerat para
4Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, KERTAS KERJA: Indonesia Menuju
Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008
5 Lihat Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004.
6 Lihat Peraturan Presiden 23 tahun 2011.
7 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Pasal 28 I ayat 4.
8 Lihat Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3.
5. pelaku kejahatan Hak Asasi Manusia.
Oleh sebab itu dari latar belakang di atas penulis berkeinginan meneliti dan memberikan
sebuah gagasan dengan judul ”KONSTRUKSI HUKUM NASIONAL INDONESIA
MENURUT STATUTA ROMA TENTANG PRAKTEK IMPUNITAS DAN PENEGAKAN
ASAS PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (SUATU TINJAUN KRITIS
TERHADAP KASUS SEMANGGI)”
1.2. Rumusan Masaalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah
adalah sebagai berikut:
1. Apakah memungkinkan bagi Indonesia untuk membentuk konstitusi nasional Indonesia
terkait dengan impunitas atas pelanggaran HAM?
2. Bagaimana kaitan urgensi Ratifikasi Statuta Roma dengan pengaturan impunitas di
Indonesia terkait kasus semanggi?
3. Apa urgensi penerapan asas Pertanggungjawaban Komando di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan permasalahan diatas antara lain
sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengentahui dan menganilisis Konstitusi Nasional Indonesia terkait
impunitas atas pelanggara HAM
2. Untuk dapat mengetahui dan menganalisis Ratifikasi Statuta roma sebagai landasan
Penghapusan Impunitas di Indonesia?
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Pentingnya Ratifikasi statuta roma dalam Penerapan
Pertanggungjawaban Komando di Indonesia?
6. 2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian hukum berdasarkan tujuan penelitian diatas
anatara lain sebagai berikut.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat mengembangkan konsep tentang HAM dan Ratifikasi Statuta Roma
di tinjau dari Praktek Impunitas dan Pertanggungjawaban Komando.
1.4.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1.4.2.1. Bagi Peneliti
Agar dapat mengetahui, mengerti dan memahami bagaimana Proses penegakan HAM di
Indonesia, Manfaat Ratifikasi Statuta Roma oleh indonesia,dan praktek impunitas serta
Pertanggungjawaban Komando di Indonesia
1.4.2.2. Bagi Masyarakat
Memberikan pemahaman serta pengetahuan yang objektif tentang Ratifikasi Statuta
Roma oleh Indonesia dalam menghapus praktek Impunitas dan penegakan Pertanggungjawaban
Komando.
1.4.2.3. Bagi Pemerintah
Memberikan dorongan moral agar dapat Meratifikasi Statuta Roma sebagai landasan
untuk penyelesain kasus pelanggaran HAM.
1.4.2.4. Bagi Akademisi
Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan kajian ilmiah tentang penggunaan Ratifikasi
Statuta Roma dalam penghapusan Praktek Impunitas dan Penegakan Asas Pertanggungjawaban
Komando.