SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 36
Downloaden Sie, um offline zu lesen
1
Bab 1
Insomnia Akut
Kepalanya pecah. Dirasakanlah seperti itu olehnya.
Menjalar urat kemerahan memenuhi bola mata. Perih tak
terkira. Limbung tak kenal arah. Gegap gempita kepalanya
berisi ledakan-ledakan jaringan otak. Dunia berputar-
putar tak mau menjejak barang sekali. Ajur mumurlah
badan ini.
Tiap hari tiap malam harus ia lewatilah derita ini.
Tiap hari tiap malam ia harus berjuang melawan regangan
jiwa. Karena ia tahu, tiap hari tiap malam bila ia mulai
memejamkan mata barang sejenak, sesuatu akan terjadi.
Sesuatu itu barulah ia ketahui kira-kira dua minggu
lalu. Merupakan pengalaman yang mencekik leher
buatnya. Tiga hari tiga malam ia berusaha mencerna apa
yang sebetulnya terjadi. Tak ketemu pula jawabnya.
Pusing peninglah ia. Dikiranya hanya mimpi buruk,
namun terasa sangat nyata.
Pemuda ini bernama Jaya. Semenjak peristiwa
pertama itu ia seperti lenyap ingatan. Dikiranya ingatan
itu sangatlah penting, mengapa? Karena dalam tubuhnya
seolah terdapat lubang menganga. Sebuah gap yang perlu
diisi, supaya ia ingat kembali jati diri dulu kala. Bak lubang
kubur yang mendamba jenazah. Bertonase rindu
terhadap sesosok yang pernah dicinta. Siapa dia? Entah ia
tak tahu.
Ragu-ragu ia menatap pantulan wajah di cermin.
Bertanya-tanya apakah ia sungguh mengenal rupa itu.
2
Kumis, jenggot, dan cambangnya telah lebat bak semak
belukar pekarangan yang ditinggal. Pisau cukur telah ia
genggam. Lalu diletakkannya lagi. Berpaling lalu menyikat
gigi.
Cangkir kopi bertumpuk di wastafel, senjata
melewati malam, katanya. Telah ia cicipi aneka kopi. Dari
yang rencengan terjual di warung-warung sampai bubuk
racikan yang dijual mahal dan daring. Demi menjaga
pasang mata ini tetap terbuka. Tak peduli betapa lelah
tubuhnya telah merongrong minta direhatkan.
Paling banter ia hanya berani memejamkan mata
barang lima menit di kala siang. Di sela istirahat bekerja
di pabrik panel listrik. Ia mempelajari caranya mengganti
rehat malam. Memejamkan mata tanpa harus terlelap,
mengatur napas santai, mengistirahatkan otot-otot. Di
pabrik, Jaya dijuluki ‘Mayat Hidup’.
Awal-awal sungguhlah melelahkan. Hampir-hampir
ia ambruk di tengah memasang lampu neon, untung
rekannya segera menangkap. Bila tidak, Jaya mungkin
sudah tamat riwayat.
“Hei, kamu butuh tidur.” Rekannya menegur.
“Iya, sepertinya.” Jawab Jaya enteng.
“Serius. Kamu butuh tidur. Ambillah cuti sehari atau
dua. Pulihkan diri kamu.”
“Ah, kalau cuti aku tidak bisa.”
“Mengapa?”
“Bosan di rumah sendirian.”
3
“Ya segerakanlah kau kawin Jay.” Si rekan tertawa,
menowel bahu.
“Kawin aku mau. Gadisnya ini mana rimbanya?” Jaya
ikut tertawa.
“Ya kamu tunggu saja di pinggir jalan, cegatlah itu
yang berbonceng tiga.”
“Gendeng kamu.”
Bercanda dengan rekan perihal asmara dan kawinan,
menjadi tamasya menghilangkan lelah. Kadang pula hal-
hal cabul diobrolkan. Sering malah. Terlampau sering.
Minuman energi ditenggak Jaya sesering ia
menghirup udara. Dalam tas kerjanya terdapat banyak
sekali suplai minuman tersebut. Sudah seperti baterai
baginya. Demi menghindari peristiwa menegangkan yang
menghabisi napasnya itu. Diguncanglah kepalanya supaya
pengalaman hampir mampus itu kabur.
“Seharusnya aku memang sudah mati sekarang ini.
Bagaimana tidak? Sudah seminggu aku tidak tidur!” Jaya
menjambak rambutnya. “Atau aku ini sudah mewujud
hantu? Setan?” Jaya memukul-mukul wajahnya sendiri di
hadapan cermin. “Bangsat!” Jaya menghantamkan
bogemnya ke tembok kamar mandi.
Tubuhnya mulai memberontak. Memprotes dengan
rasa sakit, pegal linu, meriang, keringat dingin. Arggh.
Sungguh tak karuanlah serangan itu. Jaya membandel.
Tak peduli. Ia bertekad kuat tak ingin mengulangi
peristiwa kala itu. Karena ia sudah tahu jawabnya,
pengalaman hampir mampus itu bisa terulang bila ia
memejamkan mata menuju lelap.
4
Jawaban itu didapatnya hari kelima setelah kejadian.
Sudah tiga hari dan tiga malam ia berpikir keras sampai
tak tidur, berusaha melupakannya dengan bekerja tak
kenal lelah, pulang ke rumah petak untuk menamatkan
gim, atau menonton serial lama. Hari keempat
digunakannya untuk merenung, tak ayal kejadian itu
susah untuk disingkirkan. Jaya mencari ilham, mencari-
cari petunjuk di peramban. Menjelaskan mengenai
ketahanan tubuh manusia. Manusia bisa mati seminggu
tiada makan, manusia bisa mati seminggu tiada tidur, tiga
menit manusia bisa cepat mati bila tak bernapas, tak
minum tiga hari manusia bisa mampus kekeringan. “Ngeri
juga. Aku sudah empat hari tak tidur.” Kemudian ada lagi.
Bisa frustasi, mudah marah, kaburnya penglihatan,
bahkan halusinasi. “Wah, jangan-jangan aku halusinasi.
Segala yang kulakukan ini tidak nyata.” Jaya menggigit
jarinya. “Ah, sakit.” Hari kelima tiba, tak kunjung ia tidur,
barulah sewaktu sayup-sayup terdengar suara adzan di
luar sana. Jaya merasa syahdu mendengarkannya, tak
sadarlah ia memejam mata khusyuk, dan tertidur.
Napasnya tercekik. Matanya berusaha membuka
namun sukar. Gelagapan serasa tenggelam dalam sumur.
Kulit terasa tercabik dan ditarik paksa. “Ya Tuhan!” Jaya
menggeram. Mulutnya pun kaku beku.
Dari dalam ia berusaha berontak. Melawan siksaan
regangan nyawa ini. Seperti pengalaman-pengalaman
terdahulunya ketika ‘ketindihan’ menimpa. Memegang
sesuatu, sebuah kata, sebuah nama. Entah siapa. Entah
apa. Ia lupa. Sebagaimana ia lupa dirinya sendiri. Hanya
nama Jaya dan kebiasaan harian yang monoton. Sesuatu
telah terenggut kala itu. Sesuatu yang seharusnya amat
berarti baginya. Ia menggenggam ingatan kosong itu, yang
5
tak berupa, tak segera mewujud utuh. Hanya menjadi janji
hampa. Yang sampai kini masih ia nanti terkuaknya.
Terengah-engah Jaya berhasil melepaskan diri dari
jerat maut itu. Tangannya tengah menggapai ke udara.
Meraih tangan tak kasat mata. Entah apa entah siapa.
“Sialan! Bila aku tidur aku bisa mati.” Simpul Jaya.
Membanting meja kesal.
Mulailah dari situ ia bertekad untuk tidak tidur.
“Jangan sampai mata ini terpejam sedikitpun. Bisa mati
aku.” Ah, tapi Jaya tahu ini sangatlah bertentangan.
Manusia bisa mati tiada tidur seminggu! Dan bilamana ia
tidur, ia pun akan mati! Argghhh…. Peninglah Jaya.
Menghajar karung beras persediaan satu bulan.
“Apa ini yang tengah terjadi padaku?” menangis
putus asa ia di hadap cermin. Mata telah merah darah.
Kepala berdentam-dentam, berpasukan-pasukan
genderang memukul tiada henti. Menjambaki rambut,
menarik cambang, memukul dahi dan rahang. Entah
sudah berapa kali ia melukai bonggol tangan dengan
menghajar tembok. Semua demi melampiaskan dorongan
amarah tak terkendali akibat tak tidur.
Yang baru saja terjadi pada hari kelima itu, hanyalah
secuil dari kejadian pertama yang membuatnya trauma. Ia
masih ingat betul betapa sakitnya. Betapa tak berdayanya
ia. Betapa lebih mengerikannya itu, Jaya tak mampu
mengingat detil dan mengapa peristiwa itu terjadi, ia
mengingat wajah, wajah samar, mungkin dia yang harus
didamba. Entahlah, entah siapa itu entah apa itu.
6
Lubang menganga membentuk jurang dalam jiwa.
Menuntut Jaya untuk menemukan apa yang seharusnya
berada di sana, melengkapi kepingan raga.
“Siapa aku?” seringkali ia menyatakan pertanyaan
bodoh itu terhadap wajah di balik cermin. “Kau kenal
siapa aku?”
“Jay, sungguhan, ini sudah hampir dua minggu dan
kulihat kamu masih dan bahkan lebih parah dari terakhir
kali kutegur.” Rekannya berkata. “Beristirahatlah,
pejamkan matamu. Percuma kau menetesi bulir-bulir
penyegar mata sedangkan kau tetap tidak tidur. Mau
kamu kuantar ke dokter?”
“Tak usahlah. Tak usah repot-repot. Aku yang
mengalami, mengapa kamu yang bingung?” nada suara
Jaya terdengar kasar.
“Kamu ini menderita insomnia, kubilang. Bisa jadi
kamu berhalusinasi dan akhirnya mengacaukan dirimu
sendiri. Supervisor telah menanyakan perihal dirimu.
Harus kujawab apa lagi nanti?”
“Jika kamu berkeberatan, silakan cari rekan lain. Aku
bisa bekerja sendiri.”
“Gila kamu Jay. Sungguh. Aku khawatir denganmu.
Kamu sendirian di kota ini, tahu.”
“Hei, jangan bahas tentang mereka. Oke? Aku tak
suka.”
“Setidaknya kabari mereka. Mengapa kamu menjauh
dari saudara sedaging sendiri?”
“Bukan urusanmu, tahu.”
7
“Aku berhak tahu, Jay. Kamu rekanku.”
“Ah, peduli setan. Pedulimu palsu.” Jaya
melemparkan majun kotor ke arah rekannya itu.
“Kamu sudah bagai adik sendiri bagiku.”
“Diam tahu tidak sih! Berisik!” Jaya mendorong si
rekan hingga terhuyung dan melewati garis batas aman
jalur wara wiri forklift pengantar perkakas panel. Si rekan
tertubruk dan terlindas.
Gunung kekacauan meletus. Memuntahkan laharnya
menghancurkan kehidupan monoton yang telah tertata di
belakang Jaya. Dalam keraguan apa yang ia saksikan, Jaya
tergeletak jatuh, tertelan banjir lava. Sungguh, ia tak kenal
lagi dirinya ini. Mau mati atau hidup, sudah lagi ia tak
peduli.
8
Bab 2
Puing Kesadaran
Dunia mewujud tebing-tebing terjal. Mengepungnya
dari segala sisi. Sekali jentik, bebatuan meledak menjadi
serpihan dahsyat, longsor melumat tempat ia berdiri.
Tangan menggapai minta tolong. Tak satupun yang
mendengar jerit itu.
Tertelan ke dalam. Tergerus kasarnya batu dan
kerikil. “Tolong.” Sia-sia.
“Jaya! Bangun!” tamparan berulang pada pipi.
Jaya terbatuk bangkit dari kelimbungan. Lidahnya
terasa berpasir. “Ada apa?” Jaya berguling sembari
meremas kepala, berdenyut-denyut nyeri.
“Kamu kumat lagi.” Jawab si rekan. “Serius. Kamu
harus pulang. Atau pergilah ke klinik.” si rekan
menyentuh kening Jaya. “Gila, kamu sepanas neraka saja.”
Jaya menggeliat. “Ah, tak usahlah. Aku masih kuat,
Amin.”
Amin membantu Jaya bangkit. “Untung tak ada yang
melihat kamu tidur di panel lagi.”
Jaya membelalak. “Aku tertidur?” perasaannya
berubah tak enak. Barusan ia sudah mati pasti.
“Kamu tidur ngorok tahu! Aku jadi ngeri dekat-dekat
kamu. Bisa jadi kamu berubah jadi zombie. Wajahmu abu-
abu begitu, cobalah mengaca.”
9
Jaya menjambaki rambut tak percaya. “Aku tidur?
Aku tidak mati?”
“Hush. Apa sih yang kamu bicarakan?”
“Rasanya tadi aku melihatmu terlindas. Aku
mendorongmu hingga dilindas forklift itu.”
“Loh, bagaimana bisa? Aku sedari tadi memasang
kabel. Mengawasimu tidur tahu.”
“Ya Tuhan.” Jaya menghembuskan napas linglung.
Realitasnya membingungkan. Terombang-ambing di
batas kesadaran. Diawasinya telapak tangan dan kaki
menjejak lantai konkrit pabrik. “Berapa lama aku tidur?”
“Tidak lama. Sepuluh menitan adalah.”
Makin pening ia dibuat. Bagaimana mungkin itu bisa
terjadi? Ia telah berupaya sekeras mungkin untuk tak
tertidur. Dan kini, dikatakan ia sudah tertidur, barang
sepuluh menit, tak terjadi itu peristiwa mencekik leher.
Berbeda. Kali ini berbeda. Oh ya Tuhan, apa yang
sesungguhnya terjadi?
“Pusing?”
“Sangat.”
“Istirahat saja kamu.”
“Betul? Terima kasih ya.”
Amin mengirim keplakan pada belakang kepala Jaya.
“Enak saja. Bantu aku memasang kabel dulu.”
“Iya iya.” Jaya mengulur kabel dan mengurutkan
sesuai peletakannya seperti pada gambar rancangan.
10
Tangannya gemetar memutar obeng, sekrup-sekrup kecil
berjatuhan. “Maaf maaf.” Ia menjumputnya, kali ini
berusaha lebih cermat. Membuka mata lebar-lebar.
Diiringi perasaan ganjil dan janggal karena baru saja ia
tertidur, sesingkat itu energinya terisi ulang, sedikit
cukup untuk menawarkan dua minggu lebih tak tidur. Jika
ini berlangsung kembali, boleh jadi Jaya tak lagi harus
ketergantungan terhadap minuman energi dan kopi. Dan
pada akhirnya, ia berharap kutukan ini menyingkir.
Tetap saja, ia masih ngeri dengan apa yang
menyambut ketika ia tidur nanti. Bila saja ia memutuskan
untuk tidur nanti malam. Saat ini, ia masih bertahan untuk
tidak.
“Jika suatu kesempatan aku bertemu hantu dan
sedang bersama kamu, bisa jadi hantu itu lari terkencing-
kencing melihatmu.” Kata Amin.
“Ah, hantunya takut melihat jenggotmu itu lah.”
“Gila gila. Aku heran bagaimana kamu bisa bertahan
selama ini dengan kondisimu saat ini. Kamu tidak histeris
melihat pantulan wajahmu di kaca?”
“Aku sudah biasa. Aku lebih histeris bila melihat
wajahmu, Amin. Jenggotmu itu ngeri-ngeri sedap.”
Amin tertawa, lalu berhenti, menyimak wajah Jaya.
Seraut prihatin tampak dari sana. “Jay, kamu baik-baik
saja kan?”
Jaya membatu. Terkenang realitas palsu yang
mendera dan menghancurkan pijakan. Ia melihat dengan
jelas Amin yang berbadan agak gemuk, pipi tembam dan
bercambang sampai jenggot yang lebat itu tadi ia dorong
11
dan menabrak forklift, terseret dan terlindas sampai
remuk badan. Seketika itu dosa mengguyurnya, bersalah!
Bersalah!
Itu terjadi sungguh nyata. Jaya yakini. Amarah
menggerogoti, mendesak-desak minta diluapkan,
perkataan sahabat yang tulus dikira cemoohan. Insomnia
ini telah membuktikan keburukannya. Jaya halusinasi!
Jika memang itu tadi terjadi sungguhan, Jaya pasti
sudah diskors. Dipecat! Tak hormat! Mencelakakan rekan
kerja! Dosa besar!
Sampai ia tak yakin saat ini adalah realitas nyata. Ia
menanti gelegak amarah dari dalam jiwa mendengar
pertanyaan prihatin kawannya. Apakah akan muncul
pula? Atau menjuruskannya pada kejadian realitas yang
lebih buruk lagi. Misalnya, Jaya menusuk mata Amin
dengan obeng? Memikirkan itu saja Jaya sudah
menggenggam obengnya erat-erat.
“Jay? Hei. Bengong lagi kan.” Amin menyapukan
tangannya di udara, di hadap wajah Jaya.
Jaya mengguncangkan kepala. “Eh iya? Ada apa?”
“Wah, benar benar deh. Kamu ini perlu dirukiyah.”
“Apa sih?”
“Jangan-jangan ada jin yang menempel di
punggungmu.”
“Hush.. jangan ngawur. Mana percaya aku dengan hal
demikian.”
12
“Kau bertingkah sangat aneh. Ini pasti gegara
insomnia parahmu. Buruanlah kamu cek ke dokter.
Sebelum kamu mampus betulan.”
Jaya membanting obengnya. “Hei, jangan asal bicara.
Omonganmu bisa jadi doa lho.”
“Tenang kawan. Doaku selalu yang baik-baik buatmu.
Yang tadi bukan doa, tapi fakta.”
Jaya mendengus. “Sama saja tolol.”
Bel panjang memekakkan telinga berbunyi tepat
menandai jam lima sore telah tiba. Waktunya para pekerja
berbenah dan pulang,berganti regumalam. Jaya dan Amin
berjalan berbarengan menuju tempat parkir, jalur pulang
mereka searah. Amin sendiri sudah berkali-kali
berkunjung ke kontrakan Jaya. Kontrakan sempit tiga
petak. Selagi melangkah Amin mengawasi Jaya. Pemuda
ini jalannya goyah, hilang keseimbangan. “Jay. Kamu
ngantuk?”
Jaya memijat pangkal hidungnya. “Pusing.” Katanya.
Amin mengajak berhenti dan memeriksa mata Jaya.
“Astaga, matamu merah darah Jay. Kuantar kamu
pulang. Bisa bahaya jika kamu bawa motor sendiri.” Amin
prihatin. “Oke?”
Jaya membungkuk, tangan pada lutut. Tubuhnya
drastis menjadi lemah. Ia mengiyakan tawaran Amin.
“Terima kasih kawan.” Amin mengalungkan tangannya
pada Jaya supaya pemuda itu berjalan dengan benar.
Di atas motor Amin senantiasa menepuk kaki Jaya
bilamana ia mulai oleng karena pusing yang diderita.
Perjalanan motor menembus macet yang biasanya
13
memakan waktu lebih dari empat puluh menit, kini
melebihi waktu tersebut karena Amin lebih sering
berhenti. “Tarik napas dalam-dalam Jay. Kuatkan diri.
Sebentar lagi sampai.”
Kontrakan petak Jaya berletak di kampung Lengkong
Gudang. Mendekati maghrib sudah banyak banci-banci
yang hendak berangkat bekerja. Jaya tertawa. “Kamu
pernah digoda salah satunya kan Min?”
“Ah gawat.” Amin mengambil jalan menghindari
banci-banci yang menunggu jemputan itu. Kontrakan Jaya
masuk ke gang-gang sempit yang seringnya bentrok
dengan motor-motor yang hendak keluar pula.
Sesampainya di kontrakan Jaya langsung
merubuhkan tubuhnya di sofa ruang depan. Amin
memasukkan motor ke dalam. “Kau istirahatlah.” Lalu ia
ke dapur, mengambil air segelas dari dispenser.
Mengaduk-aduk.
Mata Jaya sayup-sayup berat. Kantuk hebat
menyerang. Argghh.. ia berusaha menolak desakan untuk
tidur. Ia masih takut. Ia regangkanlah tubuhnya,
mematah-matahkan buku jari hingga berbunyi nyaring.
Krakk krakk. Menarik napas dalam-dalam, mengatur
batin supaya tenang.
Tangan Amin menyentuh kening Jaya. “Ya ampun.
Bisa ini aku masak mi di jidatmu. Panas sekali. Nih
minum.”
“Terima kasih, Min.” Jaya menenggak air segelas
sampai habis. Amin duduk di sofa satunya, melihat
prihatin kawannya. “Tak usah kamu melihat aku seperti
itu. Aku ini tak apa-apa, Min.”
14
“Gila kamu bilang seperti itu tidak apa-apa.” Amin
menggelengkan kepala. Ia menyandarkan punggung dan
menyelonjorkan kaki ke atas meja di antara dua sofa.
“Cerita jujurlah, ada masalah apa kamu ini. Masalah
asmarakah? Ayo sini cerita sama pakarnya.”
“Ah kentut. Pakar dari Hongkong!” Jaya mencibir
canda.
“Bulan kemarin kamu baru putus hubungan kan?”
Jaya mengernyit. Ia tak ingat perihal itu. “Ah tidak.
Tidak ingat aku.”
“Wah, kamu ini insomnia juga amnesia ya?”
“Entahlah. Pusing aku. Mataku berat dan perih, Min.”
Jaya menyandarkan punggung. Mengucek mata.
Menimbang-nimbang untuk bercerita yang sesungguhnya
kepada Amin. “Aku merasa ada yang hilang. Jauh tak
terjangkau.”
“Mungkin kamu rindu keluargamu.”
“Bukan. Bukan itu kurasa. Ini lebih dari itu. Aku
merasa jati diriku ada yang hilang. Terenggut entah
apakah.”
“Itulah dampak insomnia, sepertinya. Makanya
tidurlah kamu Jaya. Tidur.. pejamkan mata.. bernapas
perlahan-lahan.. buat diri jadi tenang.. singkirkan segala
beban… tidur.. tidur.”
Jaya sayup-sayup. Terlambat! Matanya tak mau
menuruti perintah untuk membuka terjaga. Ia tersedot ke
dalam lelap. Sebelum seluruhnya menggelap dan
15
kelopaknya tertutup sempurna, samar-samar wajah Amin
tersenyum.
Matikah aku?
Jaya melihat dirinya sedang terlelap di sofa dan Amin
tengah bikin mi rebus di dapur. Melayang-layang ia di
ruang depan. Tubuh transparan.
16
Bab 3
Ambang Batas
Bunyi gamelan berlantun di kawasan suatu
pondokan. Lantunannya syahdu dan membuat badan
hendak meliuk-liuk dan menari. Bunyi gongnya
menggetarkan jiwa, seperti memberi tabuhan kesadaran
terhadap sesuatu hal. Sebuah yang abstrak tersembunyi
di balik kalbu. Permainan gamelan itu pun dibawakan
oleh mereka-mereka yang abstrak, tak terlihat oleh mata
biasa. Mereka adalah para saudara halus.
Pondokan yang terdiri dari pendopo luas di tengah-
tengah berlantaikan kayu hitam mengkilap dan beratap
serabut kelapa, pendopo yang cukup memuat ratusan
orang maupun makhluk lain. Lalu berjajar di kiri dan
kanan membentuk huruf U siku, pondokan kecil kamar-
kamar singgah bagi pelancong, abdi, dan penuntut ilmu
dari pondokan maupun padepokan lain.
Penghuni pondokan diwajibkan menampakkan diri
di pendopo besar bilamana gamelan tengah dimainkan.
Seorang perempuan tua mengenakan gaun dan selendang
panjang berwarna hijau toska dengan rambut digelung
duduk hikmat di panggung kecil paling depan pendopo.
Matanya terpejam khusyuk mendengarkan. Di
hadapannya terdapat meja kecil di mana senampan berisi
mangkuk-mangkuk tanah berletak. Kelopak ragam bunga
mengisi mangkuk-mangkuk tersebut. Aromanya menguar
dan dihirup oleh si perempuan tua. Tubuhnya bergoyang
ke kanan dan kiri seperti sedang bertasbih.
17
Pendopo dipenuhi oleh orang-orang berjubah kain
putih, berikat kepala, bersorban, bertelanjang dada dan
bersabuk warna, hewan-hewan jejadian, para makhluk
berambut dan berkuku panjang, sebagian besar dari
mereka adalah pengabdi abadi pondokan ini. Mereka
adalah yang disebut Gandarupa. Para peralih rupa dan
wujud.
Semua duduk bersila dan menganggukkan kepala
pelan berulang. Menyesuaikan irama gamelan yang telah
berwaktu-waktu berlantun. Ini adalah bentuk
penghormatan kepada para saudara halus baik yang
menghubungkan antara alam halus dengan alam fana
alias alam manusia. Mereka para pengikut ajaran si
perempuan tua diwajibkan menyabarkan diri sampai
gamelan terakhir dimainkan. Bisa berhari-hari bermalam-
malam.
Siapakah gerangan si perempuan tua yang begitu
dihormati ini?
Beliau dikenal dengan nama Nyai Laksmi. Sang
pengasuh bijak dan tegas pondok berkumpulnya
Gandarupa ini. Salah satu yang masih kukuh memegang
teguh aliran putih, aliran kebajikan. Berilham kepada
kisah hidup para Pendekar Putih yang senantiasa
bertarung tanpa henti melawan aliran hitam Pendekar
Hitam.
Siapapun tamu dari padepokan lain yang hendak
berkunjung, baik itu hendak memberi kabar, meminta
petuah, bantuan, atau hal yang lain diharuskan berdiri
menunggu di gerbang depan pondok yang jaraknya cukup
jauh untuk mencapai pendopo besar. Karena halaman
pondokan itu adalah tempat para saudara halus tengah
18
melantunkan gamelan. Tiada yang pasti tahu ada berapa
saudara halus yang tengah bermain, konon katanya ada
ribuan, Nyai Laksmi-lah yang mengetahui, beliau mampu
melihat tembus alam.
Tiga pendekar abu-abu penjaga kunci alam
Watukayu setia menanti dan menghayati lantunan
gamelan membahana di depan gerbang bambu-bambu
menancap. Tak boleh ada suara, mereka tahu dengan
pasti. Tangan di balik punggung mereka berdiri. Satu
berbadan besar tinggi, satu kurus kekar tinggi sedang,
satu lagi perawakan ideal berotot sewajarnya.
Dahulunya mereka bukanlah berasal dari alam ini.
Mereka bertiga pernah bersanding dengan Pendekar
Putih melawan Pendekar Hitam yang hendak
membebaskan Raja Siluman jahat dari perut bumi. Karena
pengorbanan mereka yang tulus dan senjata terakhir yang
mengakibatkan mereka tak mampu lagi kembali ke alam
asal, mereka dinobatkan menjadi penjaga kunci alam
Watukayu yang barulah seumur jagung ini. Meski begitu,
kehidupan yang berlangsung dalam alam ini seolah telah
berlangsung ratusan tahun lamanya. Waktu adalah
ukuran yang membingungkan memang.
Sebagai pendekar, berdiri sepanjang berhari-hari dan
bermalam-malam adalah hal yang sepele. Telah berlatih
mereka sehingga sudah biasa. Segala hal yang perlu
mereka ketahui mengenai alam Watukayu telah dibekali
oleh sang entitas yang dimuliakan, ialah sang Nini
Dhanyang Smarabumi.
Tugas sebagai tiga pendekar abu-abu penjaga kunci
alam Watukayu tidaklah mudah. Mereka harus memasuki
tiap alam cabang dari pohon dimensi untuk memastikan
19
tiada kericuhan atau akal bulus untuk menghidupkan
kembali aura jahat para Raja Siluman. Di setiap alam itu
mereka menemui banyak sekali cikal bakal sosok jahat
yang bisa menyebabkan runtuhnya pondasi alam
Watukayu sehingga bisa jadi para Raja Siluman jahat yang
telah terkurung di perut bumi paling dasar akan
meloloskan diri dan muncul di alam permukaan, alias
alam manusia. Kemudian mereka mempelajari banyak
pusaka-pusaka yang ada di setiap alam percabangan.
Masing-masing pusaka memiliki khasiatnya sendiri, bisa
menjadi dua hal, tergantung kepada siapakah pusaka itu
jatuh nantinya. Saat ini, mereka tengah dikejar waktu
untuk mencari pusaka-pusaka itu dan menyerahkan
kepada Nini Dhanyang Smarabumi demi lebih terjaga
amannya. Belum lagi permasalahan antara kelompok-
kelompok besar penghuni alam Watukayu, ada
perselisihan yang tengah terjadi, yang tak bisa dipungkiri.
Padepokan-padepokan pendekar saling bertikai untuk
menentukan siapa yang paling unggul dan paling tinggi
ilmunya. Susah payah tiga pendekar abu-abu melerai
mereka.
Kehadiran mereka yang jarang-jarang di pondok Nyai
Laksmi ini bukanlah untuk membahas masalah-masalah
tersebut. Ada hal yang lebih mendesak lagi. Dirasa oleh
mereka Nyai Laksmi adalah orang yang tepat untuk
didatangi.
Setelah tiga hari tiga malam berturut-turut akhirnya
lantunan gamelan mereda, ditandai mulai heningnya
suasana. Seseorang berjalan menghampiri mereka.
Seorang lelaki segar bertubuh pejal, mengenakan pakaian
pendekar berwarna hijau tua, dada bidang
dipampangkan, rambut memiak tengah, helai kain
20
mengikat kepala. Tiga pendekar abu-abu tahu apa yang
ada di balik ikat kepala tersebut.
“Selamat datang, pendekar penjaga kunci.” Lelaki itu
menjura.
“Terima kasih atas sambutannya. Kami hendak
bertemu Nyai Laksmi. Kami yakin beliau pasti sudah
mengetahui maksud kedatangan kami.” Yang
berperawakan paling ideal yang menjawab.
“Itu tak lagi perlu disangsikan. Mari.” Lelaki hijau itu
mengajak dengan sopan, mengisyaratkan dengan jempol
yang menunjuk arah pendopo.
“Koreksi kami bila salah. Engkau adalah Gandarupa,
betulkah?”
“Tiga pendekar abu-abu pasti sudah berpengalaman
mengenali tiap golongan.” Jawab lelaki itu rendah hati.
“Semakin berilmu semakin merunduk. Kami suka
prinsip demikian. Tak kami ragukan lagi, engkau adalah
Gandarupa yang paling sakti di pondok ini.”
Senyum lelaki hijau ini lembut. “Hamba yakin ilmu
hamba tiada apa-apanya dengan ilmu tiga pendekar abu-
abu.”
“Sangat bijaksana. Nyai Laksmi mengajari kalian
dengan benar.”
“Betul, hamba masih belajar. Ilmu sejati tak pernah
usai untuk dikejar.”
“Bijaksana sekali. Begitulah seyogyanya sikap para
penuntut ilmu.”
21
Mereka sampai, menaiki undakan tangga pendopo
besar yang telah sepi penghuni. Si lelaki hijau berjalan
jongkok menghampiri Nyai Laksmi yang tengah
menarikan tangan di atas mangkuk-mangkuk kembang.
Geriknya santun membisiki telinga Nyai Laksmi.
Perempuan tua nan bijaksana membuka mata perlahan,
matanya sudah memutih. Mata yang mampu melihat
tembus alam.
Si lelaki hijau kembali ke tiga pendekar abu-abu, lagi
dengan jempol menunjuk mempersilakan mereka duduk
di hadapan Nyai. Lalu ia sendiri mengambil tempat agak
jauh di belakang. Bersila.
“Tiga pendekar abu-abu.” Sambut Nyai Laksmi.
Suaranya berat dan parau. “Apa yang bisa aku bantu?”
“Engkau telah mengetahuinya semenjak kami
menjejakkan kaki menuju kemari, Nyai.”
Nyai Laksmi tersenyum ringan, menimbulkan lipatan
pada wajahnya yang sepuh. “Betul sekali. Namun
Gandarupa itu belum mengetahui.”
“Baiklah Nyai Laksmi, jika demikian yang
dikehendaki. Kami datang kemari hendak meminta
bantuan. Terdapat sebuah masalah yang tengah terjadi
yang berpotensi merusak keseimbangan alam. Ada
sebuah suksma yang tak seharusnya berada di alam fana.
Suksma itu sangatlah berbahaya bila bertemu mereka
yang beragenda tak becik. Kami tak memiliki kemampuan
untuk melacak keberadaan suksma tersebut. Kami
meminta bantuan orang yang bisa menyaru menjadi
manusia.”
22
Nyai Laksmi mengangguk mengerti. Ia meminta si
lelaki hijau untuk mendekat. “Kau dengar tadi?”
Si lelaki berjalan jongkok dan mengangguk setelah
sampai dekat. “Hamba mendengarkan dengan jelas, Nyai.”
“Jika begitu, kaulah yang akan membantu tiga
pendekar abu-abu ini. Bersediakah kau?”
Si lelaki menyatukan tangannya. “Hamba bersedia,
Nyai.”
“Bagus. Gandarupa ini akan menjadi mata kalian di
alam fana.” Jemari Nyai Laksmi memunculkan percikan
listrik. Diarahkan kepada si Gandarupa. “Kau tahu apa
yang perlu kauperbuat.”
“Nggih Nyai. Hamba harus mencari ia yang tengah
memasuki alam ambang batas.”
23
Bab 4
Memisah Raga
Apa yang hendak dikata bila melihat tubuh sendiri?
Seperti mimpi yang berlaku di mana mata kita mampu
melihat segala dan tetap menjadi tokoh utama. Melihat
sekitar dan pula melihat diri sendiri. Dalam mimpi-mimpi
itu ibarat kita memiliki memori lain yang bahkan baru, tak
terkait sama sekali dengan kenangan di alam sadar.
Pernah merasa seperti itukah? Bagai ia memiliki dunianya
sendiri yang terlampau jauh berbeda.
Di manakah letak ruh? Tiada yang tahu pastinya.
Apakah ini ruh yang sedang berjalan memisah raga? Jaya
tak memiliki jawabannya. Ia terlampau heran seheran-
herannya.
Ia dihempas rasa takut yang mencekam ketika jatuh
tertidur. Ia yang terdapat dalam badan hendak
memberontak namun tak sangguplah mengendalikan
ragawi. Begitu berat. Seperti mimpi tertindih gajah
menakutkan. Namun tentu saja berbeda kali ini. Serta
merta dirinya membelah menjadi dua. Satu berwujud
padat, satu berwujud halus.
Satu yang berwujud padat tengah tertidur pulas,
kegiatan yang telah lama ia hindari. Melihat napas itu
terhembus teratur dan tenang membuatnya meragu.
Sesungguhnya apalah yang ia takutkan selama ini? Apa
yang mencekiknya sampai hampir mati? Apakah itu hantu
cekik atau sesungguhnya pertempuran jiwa raga?
24
Satu yang berwujud halus mengamati rupa diri. Ia
seringan udara. Masih menyerupa manusia dengan
tampilan yang serba putih transparan. Terdiam lebih lama
ia mengawasi diri nyata yang terlelap. Satu pertanyaan
yang mengambang-ambang: apakah ia nanti ingat ketika
bangun nanti? Apakah ini yang orang-orang bilang, ketika
bermimpi ruh kita berjalan-jalan?
Wujud halusnya telanjang. Aliran darah seperti aliran
energi elektrik mengaliri kabel-kabel daya. Segala yang ia
lihat masih serupa dunia nyata. Menjejaklah ia mencoba,
menapakkan kaki tembus pandang ke lantai keramik
putih kontrakan Jaya. Terliputi rasa ingin tahu ia menjajal
menyentuh barang. Sebuah vas bertangkai bunga mawar
layu pemberian kekasih yang ia tak tahu kenangannya,
ataukah mawar itu adalah miliknya sendiri yang tertolak.
Ia menyentuh dengan ujung jarinya yang berlumuran
kemilau putih pasir-pasir berkilau matahari. Vas itu jatuh.
Amin di dapur tengah memasak mi rebus rasa soto
memanggil. “Jay?”
Jaya wujud halus menilik ke dapur. Ia otomatis
menjawab. “Ya Min?”
Amin yang masih mengaduk bumbu dengan air panas
mengernyit, sorot matanya menembus sosok halus Jaya.
“Jay? Kamu sudah bangun? Cepet amat.” Amin
mengangkat mi yang telah matang lalu menuangkan ke
mangkuk. Kemudian berjalan menembus sosok halus
Jaya, kepul hangat mi kuah soto bercampur dengan tubuh
halus Jaya yang putih keperakan.
Jaya sendiri hendak menghindar, ia terdesak ke
tembok dan anehnya wujud halusnya menembus tembok.
25
Sekilas ia melihat kontrakan sebelah, sepasang suami istri
tengah berbuat. Segerakan ia kembali lagi. Mendengar
Amin berkata. “Tidur saja dulu kamu Jay. Obat tidurnya
sudah bekerja kan.”
Jaya halus berharap Jaya padat sedang bangun dan
berbincang dengan Amin. Nyatanya tidak, masih pulas tak
terganggu walau suatu waktu gempa pastilah ia masih
tenggelam dalam tidur.
Mendengar ucapan Amin mengenai obat tidur itu,
menyalakan sumbu amarah Jaya. Tega-teganya Amin!
Padahal sebelum terjatuh dalam lelap dan memisah raga
begini, ia hendak menyampaikan deritanya. Apa saja bisa
terjadi bilamana ia tidur, terutama ancaman kematian
akibat tindihan dahsyat itu.
Jaya geram melihat Amin enak-enaknya menyantap
mi kuah soto. Santai menyelonjorkan kaki di atas meja.
Bahkan tak peduli vas bunga mawar layu itu tergeletak di
atas karpet, airnya merembesi.
Ia tendang saja Amin. Kawannya kelabakan sampai
mi kuahnya tumpah. Ia menoleh ke sana kemari dengan
mata bertanya-tanya ngeri. Kuah yang masih panas
menyiram celananya, mi berantakan mengotori sofa. Ia
bangkit gelagapan kabur ke kamar mandi. “Sial.” Lalu ia
kembali untuk membersihkan mi yang tumpah. Sesekali
tanpa tahu malu, ia mencicipi mi tersebut. “Sayang.”
Katanya.
Kegeraman Jaya malah berubah menjadi tawa. Ia usili
lagi kawannya itu. Ia tendang pantatnya sampai Amin
tersungkur.
26
“Waduh gawat!” Amin menoleh takut. “Hawanya kok
beda begini.” Ia bergidik, mengamati bulu-bulu pada
tangannya berdiri tegak.
“Rasakan tuh.” Kata Jaya halus.
Dahulu ia pernah menonton film di mana roh si
manusiakeluar dari tubuh,berkeliling kemana-mana, lalu
kembali lagi ke tubuh. Jaya mencobanya, siapa tahu ia bisa
menyatu raga kembali. Ia memosisikan dirinya sesuai
polah tidurnya. Merebahkan badan dan memejamkan
mata berharap segera menyatu.
Namun gagal. Sial. Rutuknya. “Jangan-jangan aku
mati.”
Amin telah bersarung menutupi diri dan tidur di
kamar tengah. Menggigil takut, komat-kamit membaca
doa.
“Ya Tuhan, aku betulan mati?” ia menepuk pipi Jaya
padat. Anehnya, tepukannya juga dirasa oleh dirinya yang
halus. Ia cubit kaki, begitu pula dirasa pada kaki halusnya.
“Aneh sekali. Aku tak bisa kembali. Apa yang terjadi?” ia
masih melihat jelas deru napas teratur tubuh padatnya.
“Tidak, tidak mati kok.”
Sesuatu terjadi. Tubuh halusnya mulai tak transparan
lagi. Melainkan menjalar memadat dengan kulit yang
keperakan. Jaya jadi teringat satu tokoh dalam jagad
komik Marvel. Saat ini ia persis sekali seperti dia. Campur
aduk pikirnya berusaha memahami yang tengah terjadi. Ia
berjalan ke depan cermin. Bayangannya tak memantul.
“Aku tak terlihat.” Gumamnya.
27
Ia membenamkan tangannya ke tubuh padat. Tembus
sampai ke dasar sofa. Aneh. Ia bisa menyentuh namun
bisa pula menembus. Ah, Jaya tahu. Dengan niat! Ia usil
menyalakan motornya. Yang tentu saja, mengagetkan
Amin.
“Astaga! Apalagi ini?” Amin kebingungan. “Wah Jaya
ngerjain. Pura-pura tidur ini anak.” Amin masih tak bisa
melihat wujud perak Jaya. Amin menggoncangkan tubuh
padat Jaya. Digerak-gerakkan kakinya, dicubit tangannya,
dijepit hidungnya, dijambak jenggotnya, disentil
telinganya. “Lha tapi tidur.” Ia membuka kelopak mata
Jaya.
Jaya wujud perak menarik gas motor. Amin melonjak
kaget mengucap istighfar. Ia takut-takut mematikan dan
mencabut kontak motor. “Astaga Jay, kontrakanmu ada
penunggunya.” Jaya tahu Amin antara tega tak tega mau
cabut pulang meninggalkan dirinya. Jaya tertawa. Seiring
tawanya, Amin menggigil memegangi tengkuk. Buru ia
meringkuk selimutan.
“Hmm.. ini baru.” Ternyata tak buruk-buruk amat
pengalaman ini. Bila saja ia mengetahui lebih awal
mungkin kini ia bisa mengendalikannya. Satu pertanyaan:
bagaimana dia kembali ke tubuhnya? Tadi sudah dicoba
namun gagal. “Ah, kucoba berkeliling sajalah. Tak ada
ruginya.”
Keraguan, kekhawatiran, bingung perlahan mulai
meninggalkan diri. Akibat tingkah lucu Amin yang
ketakutan, Jaya jadi berkeinginan untuk lebih jauh
menggali potensi unik ini. Meski masih saja ada semacam
lubang dalam diri, sebuah pertanyaan: siapakah aku ini?
28
Kenangan-kenangan lama yang samar-samar.
Tentang serupa wajah jelita yang menjerat hatinya dulu
kala. Yang acapkali ia teringat walau buram, sudah
memelintir hati. Sosok wajah jelita itu bukanlah gadis
yang dibicarakan Amin. Yang itu ia tidak merasa kenal.
Mungkin benar kata Amin, insomnia yang ia paksakan
bisa jadi menyebabkan hilangnya ingatan. Realitas palsu,
realitas memusingkan. Atau mungkin: aku bukanlah
diriku?
Jaya menembus dinding tiap kontrakan. Sepasang
suami istri yang telah tanggal tanpa benang, ranjang
bergoyang. Keluarga kecil yang ribut-ribut melulu, anak
menangis tiada henti. Seorang bujang bengong depan
televisi, menonton adegan mesum yang mendorong
tangan melakukan tindakan. Gadis pekerja yang baru
pulan dan masuk ke kamar mandi. Jaya terus berjalan
menembus rumah-rumah.
Takjub sendiri terhadap yang bisa ia lakukan.
Ia kini berada di jalan. Masih banyak anak-anak kecil,
walau sudah malam begini, bermain bola di tengah jalan
sehabis pulang dari mushola. Ia amati atmosfir sekitar.
Cukup berbeda sewaktu ia masih wujud nyata. Ia bisa
melihat udara bergerak, kelebat putih yang
bergelombang. Ia wujud halus yang keperakan, tanpa
baju, menapakkan kaki melewati orang-orang yang tak
menyadari keberadaannya.
Dirasakan secara sungguh oleh Jaya, tubuh peraknya
ini lebih bugar daripada tubuh nyata yang sudah layu
karena kurang tidur. “Mungkin bila aku lelah di wujud
yang ini, aku bisa kembali ke tubuhku yang nyata.
Mungkin saja. Tak ada salahnya mencoba.” Maka ia
29
berjalan tanpa arah. Menembusi rumah-rumah dan
menjajal beragam kemungkinan yang bisa ia lakukan
dalam wujud perak ini.
Jaya mengusili muda-mudi yang sedang nongkrong di
depan bengkel las. Lima remaja laki dua remaja putri.
Cekakak cekikik bercanda tak senonoh. Jaya menggelitik
salah satu remaja laki. Awalnya ia menuduh kawannya.
Lalu yang lain pada menghindar. Jaya kelitik lagi. Si bocah
berpikir ada hewan yang masuk ke dalam bajunya. Ia buka
di tempat. Tak ada hewan apa pun. Jaya iseng mengambil
bajunya. Barulah mereka lari terbirit-birit melihat baju
melayang. Si bocah tanpa baju lari terkencing-kencing.
“Hei, kau.”
Jaya membatu. Menengok perlahan.
Sesosok wujud kekuningan berwajah campuran
manusia dan harimau, berkulit loreng-loreng turun dari
pohon mangga. Cakarnya panjang menyayat kulit pohon.
Jaya membelalak. Kini ia sendiri yang terserang takut.
Tak mampu berkata dan bergerak melihat sosok yang ia
kira siluman harimau ini.
“Kau bukan dari dunia ini.” Kata sosok berwajah
harimau itu.
30
Bab 5
Sepucuk Surat
Segala serba memburam. Warna-warna bertubrukan.
Menyebabkan ledakan-ledakan serupa perpaduan antara
kembang api, bubuk warna, dan spektrum warna. Menjadi
kesatuan denyut-denyut cahaya yang lembut.
Menggenang di permukaan mata.
Di antara denyut-denyut warna itu, bermunculan
bentuk-bentuk, pola-pola yang rumit, saling mengulang
dan saling mengejar. Bentuk-bentuk datar segi lima, segi
enam, segi tujuh, segi delapan, begitu seterusnya sampai
mewujud lingkaran yang mengecil dan membesar
memusingkan mata.
Kadang menjadi pusaran, mata badai. Dengan warna
yang berganti-ganti. Merah, ungu, hijau, biru, kuning,
jingga adalah warna yang mendominasi. Lalu menjadi
rupa-rupa bunga, yang dijalin oleh garis-garis percik
elektrik. Memancar-mancar, berdenyut-denyut, hilang
timbul. Lambat laun terasa berirama, menghanyutkan,
menyeret ke dalam santai. Telampau santai sampai lupa
waktu.
Dentum-dentum menggerakkan jantung. Irama
konstan yang tak henti-henti. Menghipnotis tiada
terlawan. Tak ada tanda-tanda dalam diri untuk menolak.
Ikut saja dalam permainan warna dan cahaya ini.
Sampai mencapai sebuah ledakan besar. Ledakan
warna-warna. Memutih membutakan mata. Kemudian
dilahap kegelapan pekat. Sampai mata mampu
31
beradaptasi, muncullah garis lurus hijau yang bergetar di
setiap rentang jarak, membarengi denyut jantung. Getar-
getar kehidupan.
Dan Jaya membuka mata.
“Syukurlah. Kamu sudah sadar, Jay.” Amin beranjak
dari kursi tunggu, membetulkan kacamata bingkai
besarnya.
“Di mana aku, Min?” Jaya mengedipkan mata
berulang kali, penglihatannya masih samar-samar,
berenang-renang di pelupuk mata.
“Rumah sakit Jay.”
“Loh, memangnya aku sakit apa?” Jaya mengangkat
tangan dan melihat infus di pergelangan.
“Hati-hati, takut lepas.” Amin menaruh kembali
tangan Jaya. “Kamu koma Jay.” Jawab Amin, wajahnya
prihatin dan sarat permintaan maaf.
Tangan Jaya yang satunya menyentuh hidung, di situ
terpasang selang oksigen, ia pun meraba ke dada ada yang
menempel di sana. “Loh, koma? Serius kamu? Kenapa aku
bisa koma?”
Jaya melihat semburat keraguan di bibir Amin ketika
hendak menjawab. “Kamu eh, tidur tak bangun-bangun.
Jadi kubawa kamu ke rumah sakit. Aku khawatir.”
Jaya memijat pangkal hidung, memejam sejenak.
“Kok bisa Min? berapa hari aku koma?”
“Dua minggu.”
32
“Apa?” Jaya sampai mendudukkan diri. “Dua
minggu?” mendekati jeritan.
“Jay Jay, pelan-pelan, syukur kamu sudah sadar
sekarang. Aku panggil perawat dulu.” Amin memencet
sebuah tombol.
“Serius kamu Min? dua minggu aku tidur tak bangun-
bangun?” Gerombolan rasa yang buruk menyerbu hati
Jaya.
“Iya, kamu tidak sadar selama dua minggu.”
“Waduh gawat.” Jaya menepuk dahinya. “Tapi
tunggu… ada yang kuingat.” Satu hal. Dan hanya satu itu.
Sebelum mata terpejam dan kelelapan menelan selamat
berhari-hari. “Kamu memberiku obat tidur kan Min?”
Amin menggaruk belakang kepala, menyengir. “Iya
Jay. Aku terpaksa.”
Jaya mengepalkan tangan menahan amarah yang
menggelegak bagai lahar panas dalam perut. “Bisa-
bisanya kamu Min. Aku tidak minta diberi obat tidur. Aku
mau menjelaskan sebab yang buat aku tak bisa tidur, Min.
Kamu tidak tahu betapa menyeramkannya jika aku
tertidur, Min. Kamu kurang ajar, Min. Aku kecewa.” Mata
Jaya panas.
“Maaf Jay, aku berbuat begitu karena aku khawatir.
Kamu parah sekali kondisinya. Kamu jelas-jelas butuh
tidur. Bisa-bisa kepalamu meledak kalau kamu tak segera
tidur.”
“Kamu tak tahu apa-apa, Min. Kamu tak tahu apa yang
melandaku.”
33
“Makanya cerita, Jay. Aku kan teman dekatmu.”
“Waktu itu aku mau cerita, tapi malah kau beri aku
obat tidur!” Jaya menghantamkan kepalnya ke ranjang
sakit.
“Jay Jay, tenang.”
“Kamu melewati batas, Min. Aku tak suka.”
“Ya maaf Jay. Aku melakukan itu karena aku peduli.”
“Ah, pedulimu palsu!” lagi-lagi itu. Jaya terdiam dan
teringat perkataan itu pernah ia katakan sebelumnya dan
selanjutnya bukanlah hal yang menyenangkan untuk
dikenang. Apakah ini realita asli?
“Aku temanmu Jay. Peduliku peduli sungguh. Oke,
maaf jika aku melewati batas.” Amin mengangkat dua
tangannya.
Jaya hampir menitikkan air mata. “Kamu tak tahu apa
yang menimpaku. Setiap malam setiap mau tidur aku
seperti mau mati. Seperti ada malaikat maut yang
menantiku di sudut kamar, Min. Memaksa mencabut
nyawaku. Dan lihat sekarang perbuatanmu, aku koma dua
minggu! Ini buktinya! Aku memang tidak boleh tidur,
Min.”
Amin garuk-garuk kepala merasa bersalah. “Misalkan
kamu cerita lebih awal kan tak seperti ini jadinya.”
“Telat. Terlanjur. Kamu melanggar batasan.
Seharusnya kamu minta ijin dulu, Min.” Jaya membuang
muka.
“Maaf Jay.”
34
“Sudah, kamu keluar, pergi dari sini. Aku marah.”
Telunjuknya menunjuk pintu.
“Tapi, bagaimana nanti kamu pulangnya?”
“Bukan urusanmu lagi. Sudah sana kamu pergi. Muak
aku lihat wajahmu.”
“Oke oke.” Amin mengangkat tangan. “Aku pun
kecewa padamu, Jay. Seharusnya kamu bisa lebih
menghargai kepedulian temanmu. Bahkan, satu-satunya
temanmu. Yang dekat.” Amin melangkah menuju pintu.
Berhenti sejenak. Menambahkan, “kamu benar Jay, aku
tak seharusnya memberimu obat tidur. Gara-gara kamu
koma, atasan memutuskan untuk memberhentikan kamu
dari kerjaan.”
“Lihat akibat perbuatanmu! Sudah pergi sana!”
Perawat datang dan mengurusi Jaya yang telah sadar.
Sementara Jaya, dalam kepalanya berkecamuk, timbul
bencana. Ia merasa sebuah gunung atau entahlah
bangunan, meruntuh dan menimpanya. Kacau balau
sudah.
Serangkaian pemeriksaan kesehatan ia lalui dan
dinyatakan Jaya boleh meninggalkan rumah sakit hari itu
juga. Ia pulang berjalan kaki karena jarak rumah sakit
dengan kontrakan tak terlampau jauh. Selagi berjalan ia
menimbang-nimbang kembali. Dua minggu tidur?
“Pembalasan atas insomnia berminggu-minggu.”
Berkata sendiri. “Tapi badan jadi enakan.” Ia tak
memungkiri. Sesampai di kontrakan ia melihat cermin.
Pantulan bola matanya tiada ada semburat urat merah.
35
Malah putih jernih. Hatinya mencelos, tak sepatutnya ia
mengusir Amin.
Ponsel tergenggam, namun keraguan melanda, masih
terbayangi ia rasa dikhianati. Apakah ini berlebihan?
logika bertanya. Hati tak mau menjawab. Jendela
percakapan terbuka, jari enggan mendarat menulis kata
sapa. Ia letakkan kembali.
Malam itu Jaya merenung, seusai menyantap nasi
goreng pak Kumis depan masjid. Masih kukuh tidak mau
tidur. Ia berusaha mengingat-ingat kembali. Rasanya ada
sesuatu ganjil terjadi padanya sewaktu terlelap. Keras
usahanya untuk menarik kembali ingatan tersebut. Tetapi
nihil. Hanya sekilas penglihatan Amin yang tersenyum
melihatnya jatuh terlelap. Senang melihat obat tidur
bekerja.
Satu pesan datangnya dari Amin. Berkata bahwa Jaya
besok harus datang ke pabrik untuk menyelesaikan
administrasi. Jaya sudah tak peduli lagi. Lagipula ia sadar
diri dengan kondisinya saat ini. Sangat membahayakan
untuk lanjut bekerja.
Sepanjang malam ia habiskan untuk memberi
makanan mata, melahap kumpulan DVD film yang belum
sempat ditonton. Ada empat cangkir kopi ia tenggak
malam itu. Sepanjang malam itu pula, suasana hatinya…
hampa.
Di pabrik, Jaya berpapasan dengan Amin. Ia tak
mengacuhkan kawannya itu. Hanya anggukan tanpa
pandang mata. Dingin dan kaku. Amin hendak menyapa
dengan tangan, namun urung. Jaya terus saja berjalan
menuju kantor atasan.
36
Jelas sudah memang ia tak diijinkan kembali bekerja.
Sudah dua minggu ia tak masuk akibat koma.
Produktifitasnya dipertanyakan. Apalah sudah, Jaya pun
tak begitu menikmati kerjaannya saat ini. Apa pun yang
setengah hati, jadinya tak elok. Alhasil, ia pulang
membawa amplop pesangon dan jabat tangan semoga
sukses. Dihindarinya bertemu kawan-kawan yang lain.
Pesan datang bertubi dari Amin. Ia tak pedulikan.
Hampa ia pulang kembali ke kontrakan.
Sepucuk surat terselip dari celah pintu.Sepucuk surat
tanpa nama pengirim. Sepucuk surat tanpa amplop. Jaya
membaca tulisan miring-miring yang tertera di sana.
Kau pasti menanyakan segala yang terjadi padamu
belakangan ini..
Apa yang terjadi padamu bisa jadi anugerah bisa jadi
bencana...
Tanyakanlah pada kami.. niscaya kami memiliki
jawabannya..
Janganlah ragu… Jaya.
Jaya terpekik namanya disebut. Entah siapa yang
mengirim surat ini, mengenalnya. Jaya tak bisa menebak
siapa pengirim surat ini. Memang benar tak banyak orang
yang dikenalnya di sini. Jaya membalik surat itu dan
terteralah sebuah alamat.
Astral Travel Agent.
Jl. Letnan Sutopo. Ruko Paris Corner. No. 41.
Jaya tahu alamat itu. Dekat sekali.

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Was ist angesagt? (6)

Wanita
WanitaWanita
Wanita
 
Wanita
WanitaWanita
Wanita
 
MAKNA WANITA
MAKNA WANITAMAKNA WANITA
MAKNA WANITA
 
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
Serdadu tua dan jipnya (wilson nadeak)
 
Wanita
WanitaWanita
Wanita
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembang
 

Andere mochten auch

Resume A Cook July 2015
Resume A Cook July 2015Resume A Cook July 2015
Resume A Cook July 2015Alan Cook
 
Edison Q3 2015 Share of Ear - Female Demos
Edison Q3 2015 Share of Ear - Female DemosEdison Q3 2015 Share of Ear - Female Demos
Edison Q3 2015 Share of Ear - Female DemosBrittany Speckhart
 
Jgrifforesume 1 2-2015
Jgrifforesume 1 2-2015Jgrifforesume 1 2-2015
Jgrifforesume 1 2-2015Joe Griffo
 
Fundraising Performance 2014
Fundraising Performance 2014Fundraising Performance 2014
Fundraising Performance 2014Richard Prior
 
12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA
12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA
12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEAКлуб Логистов | Логист.ру
 
BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach Post March 11, 2001
BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach  Post March 11, 2001BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach  Post March 11, 2001
BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach Post March 11, 2001Mercedes A. Walton
 

Andere mochten auch (10)

Theatre sale
Theatre saleTheatre sale
Theatre sale
 
Toffee Talk_Albee & Vinay
Toffee Talk_Albee & VinayToffee Talk_Albee & Vinay
Toffee Talk_Albee & Vinay
 
Resume A Cook July 2015
Resume A Cook July 2015Resume A Cook July 2015
Resume A Cook July 2015
 
Edison Q3 2015 Share of Ear - Female Demos
Edison Q3 2015 Share of Ear - Female DemosEdison Q3 2015 Share of Ear - Female Demos
Edison Q3 2015 Share of Ear - Female Demos
 
Jgrifforesume 1 2-2015
Jgrifforesume 1 2-2015Jgrifforesume 1 2-2015
Jgrifforesume 1 2-2015
 
Activity mail
Activity mailActivity mail
Activity mail
 
Fundraising Performance 2014
Fundraising Performance 2014Fundraising Performance 2014
Fundraising Performance 2014
 
12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA
12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA
12. Таможенное оформление в России — опыт компании IKEA
 
BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach Post March 11, 2001
BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach  Post March 11, 2001BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach  Post March 11, 2001
BLAZING HER OWN TRAIL IN HIGH TECHNOLOGY The Palm Beach Post March 11, 2001
 
Top 10 slide tips
Top 10 slide tipsTop 10 slide tips
Top 10 slide tips
 

Astral Travel Agent

  • 1. 1 Bab 1 Insomnia Akut Kepalanya pecah. Dirasakanlah seperti itu olehnya. Menjalar urat kemerahan memenuhi bola mata. Perih tak terkira. Limbung tak kenal arah. Gegap gempita kepalanya berisi ledakan-ledakan jaringan otak. Dunia berputar- putar tak mau menjejak barang sekali. Ajur mumurlah badan ini. Tiap hari tiap malam harus ia lewatilah derita ini. Tiap hari tiap malam ia harus berjuang melawan regangan jiwa. Karena ia tahu, tiap hari tiap malam bila ia mulai memejamkan mata barang sejenak, sesuatu akan terjadi. Sesuatu itu barulah ia ketahui kira-kira dua minggu lalu. Merupakan pengalaman yang mencekik leher buatnya. Tiga hari tiga malam ia berusaha mencerna apa yang sebetulnya terjadi. Tak ketemu pula jawabnya. Pusing peninglah ia. Dikiranya hanya mimpi buruk, namun terasa sangat nyata. Pemuda ini bernama Jaya. Semenjak peristiwa pertama itu ia seperti lenyap ingatan. Dikiranya ingatan itu sangatlah penting, mengapa? Karena dalam tubuhnya seolah terdapat lubang menganga. Sebuah gap yang perlu diisi, supaya ia ingat kembali jati diri dulu kala. Bak lubang kubur yang mendamba jenazah. Bertonase rindu terhadap sesosok yang pernah dicinta. Siapa dia? Entah ia tak tahu. Ragu-ragu ia menatap pantulan wajah di cermin. Bertanya-tanya apakah ia sungguh mengenal rupa itu.
  • 2. 2 Kumis, jenggot, dan cambangnya telah lebat bak semak belukar pekarangan yang ditinggal. Pisau cukur telah ia genggam. Lalu diletakkannya lagi. Berpaling lalu menyikat gigi. Cangkir kopi bertumpuk di wastafel, senjata melewati malam, katanya. Telah ia cicipi aneka kopi. Dari yang rencengan terjual di warung-warung sampai bubuk racikan yang dijual mahal dan daring. Demi menjaga pasang mata ini tetap terbuka. Tak peduli betapa lelah tubuhnya telah merongrong minta direhatkan. Paling banter ia hanya berani memejamkan mata barang lima menit di kala siang. Di sela istirahat bekerja di pabrik panel listrik. Ia mempelajari caranya mengganti rehat malam. Memejamkan mata tanpa harus terlelap, mengatur napas santai, mengistirahatkan otot-otot. Di pabrik, Jaya dijuluki ‘Mayat Hidup’. Awal-awal sungguhlah melelahkan. Hampir-hampir ia ambruk di tengah memasang lampu neon, untung rekannya segera menangkap. Bila tidak, Jaya mungkin sudah tamat riwayat. “Hei, kamu butuh tidur.” Rekannya menegur. “Iya, sepertinya.” Jawab Jaya enteng. “Serius. Kamu butuh tidur. Ambillah cuti sehari atau dua. Pulihkan diri kamu.” “Ah, kalau cuti aku tidak bisa.” “Mengapa?” “Bosan di rumah sendirian.”
  • 3. 3 “Ya segerakanlah kau kawin Jay.” Si rekan tertawa, menowel bahu. “Kawin aku mau. Gadisnya ini mana rimbanya?” Jaya ikut tertawa. “Ya kamu tunggu saja di pinggir jalan, cegatlah itu yang berbonceng tiga.” “Gendeng kamu.” Bercanda dengan rekan perihal asmara dan kawinan, menjadi tamasya menghilangkan lelah. Kadang pula hal- hal cabul diobrolkan. Sering malah. Terlampau sering. Minuman energi ditenggak Jaya sesering ia menghirup udara. Dalam tas kerjanya terdapat banyak sekali suplai minuman tersebut. Sudah seperti baterai baginya. Demi menghindari peristiwa menegangkan yang menghabisi napasnya itu. Diguncanglah kepalanya supaya pengalaman hampir mampus itu kabur. “Seharusnya aku memang sudah mati sekarang ini. Bagaimana tidak? Sudah seminggu aku tidak tidur!” Jaya menjambak rambutnya. “Atau aku ini sudah mewujud hantu? Setan?” Jaya memukul-mukul wajahnya sendiri di hadapan cermin. “Bangsat!” Jaya menghantamkan bogemnya ke tembok kamar mandi. Tubuhnya mulai memberontak. Memprotes dengan rasa sakit, pegal linu, meriang, keringat dingin. Arggh. Sungguh tak karuanlah serangan itu. Jaya membandel. Tak peduli. Ia bertekad kuat tak ingin mengulangi peristiwa kala itu. Karena ia sudah tahu jawabnya, pengalaman hampir mampus itu bisa terulang bila ia memejamkan mata menuju lelap.
  • 4. 4 Jawaban itu didapatnya hari kelima setelah kejadian. Sudah tiga hari dan tiga malam ia berpikir keras sampai tak tidur, berusaha melupakannya dengan bekerja tak kenal lelah, pulang ke rumah petak untuk menamatkan gim, atau menonton serial lama. Hari keempat digunakannya untuk merenung, tak ayal kejadian itu susah untuk disingkirkan. Jaya mencari ilham, mencari- cari petunjuk di peramban. Menjelaskan mengenai ketahanan tubuh manusia. Manusia bisa mati seminggu tiada makan, manusia bisa mati seminggu tiada tidur, tiga menit manusia bisa cepat mati bila tak bernapas, tak minum tiga hari manusia bisa mampus kekeringan. “Ngeri juga. Aku sudah empat hari tak tidur.” Kemudian ada lagi. Bisa frustasi, mudah marah, kaburnya penglihatan, bahkan halusinasi. “Wah, jangan-jangan aku halusinasi. Segala yang kulakukan ini tidak nyata.” Jaya menggigit jarinya. “Ah, sakit.” Hari kelima tiba, tak kunjung ia tidur, barulah sewaktu sayup-sayup terdengar suara adzan di luar sana. Jaya merasa syahdu mendengarkannya, tak sadarlah ia memejam mata khusyuk, dan tertidur. Napasnya tercekik. Matanya berusaha membuka namun sukar. Gelagapan serasa tenggelam dalam sumur. Kulit terasa tercabik dan ditarik paksa. “Ya Tuhan!” Jaya menggeram. Mulutnya pun kaku beku. Dari dalam ia berusaha berontak. Melawan siksaan regangan nyawa ini. Seperti pengalaman-pengalaman terdahulunya ketika ‘ketindihan’ menimpa. Memegang sesuatu, sebuah kata, sebuah nama. Entah siapa. Entah apa. Ia lupa. Sebagaimana ia lupa dirinya sendiri. Hanya nama Jaya dan kebiasaan harian yang monoton. Sesuatu telah terenggut kala itu. Sesuatu yang seharusnya amat berarti baginya. Ia menggenggam ingatan kosong itu, yang
  • 5. 5 tak berupa, tak segera mewujud utuh. Hanya menjadi janji hampa. Yang sampai kini masih ia nanti terkuaknya. Terengah-engah Jaya berhasil melepaskan diri dari jerat maut itu. Tangannya tengah menggapai ke udara. Meraih tangan tak kasat mata. Entah apa entah siapa. “Sialan! Bila aku tidur aku bisa mati.” Simpul Jaya. Membanting meja kesal. Mulailah dari situ ia bertekad untuk tidak tidur. “Jangan sampai mata ini terpejam sedikitpun. Bisa mati aku.” Ah, tapi Jaya tahu ini sangatlah bertentangan. Manusia bisa mati tiada tidur seminggu! Dan bilamana ia tidur, ia pun akan mati! Argghhh…. Peninglah Jaya. Menghajar karung beras persediaan satu bulan. “Apa ini yang tengah terjadi padaku?” menangis putus asa ia di hadap cermin. Mata telah merah darah. Kepala berdentam-dentam, berpasukan-pasukan genderang memukul tiada henti. Menjambaki rambut, menarik cambang, memukul dahi dan rahang. Entah sudah berapa kali ia melukai bonggol tangan dengan menghajar tembok. Semua demi melampiaskan dorongan amarah tak terkendali akibat tak tidur. Yang baru saja terjadi pada hari kelima itu, hanyalah secuil dari kejadian pertama yang membuatnya trauma. Ia masih ingat betul betapa sakitnya. Betapa tak berdayanya ia. Betapa lebih mengerikannya itu, Jaya tak mampu mengingat detil dan mengapa peristiwa itu terjadi, ia mengingat wajah, wajah samar, mungkin dia yang harus didamba. Entahlah, entah siapa itu entah apa itu.
  • 6. 6 Lubang menganga membentuk jurang dalam jiwa. Menuntut Jaya untuk menemukan apa yang seharusnya berada di sana, melengkapi kepingan raga. “Siapa aku?” seringkali ia menyatakan pertanyaan bodoh itu terhadap wajah di balik cermin. “Kau kenal siapa aku?” “Jay, sungguhan, ini sudah hampir dua minggu dan kulihat kamu masih dan bahkan lebih parah dari terakhir kali kutegur.” Rekannya berkata. “Beristirahatlah, pejamkan matamu. Percuma kau menetesi bulir-bulir penyegar mata sedangkan kau tetap tidak tidur. Mau kamu kuantar ke dokter?” “Tak usahlah. Tak usah repot-repot. Aku yang mengalami, mengapa kamu yang bingung?” nada suara Jaya terdengar kasar. “Kamu ini menderita insomnia, kubilang. Bisa jadi kamu berhalusinasi dan akhirnya mengacaukan dirimu sendiri. Supervisor telah menanyakan perihal dirimu. Harus kujawab apa lagi nanti?” “Jika kamu berkeberatan, silakan cari rekan lain. Aku bisa bekerja sendiri.” “Gila kamu Jay. Sungguh. Aku khawatir denganmu. Kamu sendirian di kota ini, tahu.” “Hei, jangan bahas tentang mereka. Oke? Aku tak suka.” “Setidaknya kabari mereka. Mengapa kamu menjauh dari saudara sedaging sendiri?” “Bukan urusanmu, tahu.”
  • 7. 7 “Aku berhak tahu, Jay. Kamu rekanku.” “Ah, peduli setan. Pedulimu palsu.” Jaya melemparkan majun kotor ke arah rekannya itu. “Kamu sudah bagai adik sendiri bagiku.” “Diam tahu tidak sih! Berisik!” Jaya mendorong si rekan hingga terhuyung dan melewati garis batas aman jalur wara wiri forklift pengantar perkakas panel. Si rekan tertubruk dan terlindas. Gunung kekacauan meletus. Memuntahkan laharnya menghancurkan kehidupan monoton yang telah tertata di belakang Jaya. Dalam keraguan apa yang ia saksikan, Jaya tergeletak jatuh, tertelan banjir lava. Sungguh, ia tak kenal lagi dirinya ini. Mau mati atau hidup, sudah lagi ia tak peduli.
  • 8. 8 Bab 2 Puing Kesadaran Dunia mewujud tebing-tebing terjal. Mengepungnya dari segala sisi. Sekali jentik, bebatuan meledak menjadi serpihan dahsyat, longsor melumat tempat ia berdiri. Tangan menggapai minta tolong. Tak satupun yang mendengar jerit itu. Tertelan ke dalam. Tergerus kasarnya batu dan kerikil. “Tolong.” Sia-sia. “Jaya! Bangun!” tamparan berulang pada pipi. Jaya terbatuk bangkit dari kelimbungan. Lidahnya terasa berpasir. “Ada apa?” Jaya berguling sembari meremas kepala, berdenyut-denyut nyeri. “Kamu kumat lagi.” Jawab si rekan. “Serius. Kamu harus pulang. Atau pergilah ke klinik.” si rekan menyentuh kening Jaya. “Gila, kamu sepanas neraka saja.” Jaya menggeliat. “Ah, tak usahlah. Aku masih kuat, Amin.” Amin membantu Jaya bangkit. “Untung tak ada yang melihat kamu tidur di panel lagi.” Jaya membelalak. “Aku tertidur?” perasaannya berubah tak enak. Barusan ia sudah mati pasti. “Kamu tidur ngorok tahu! Aku jadi ngeri dekat-dekat kamu. Bisa jadi kamu berubah jadi zombie. Wajahmu abu- abu begitu, cobalah mengaca.”
  • 9. 9 Jaya menjambaki rambut tak percaya. “Aku tidur? Aku tidak mati?” “Hush. Apa sih yang kamu bicarakan?” “Rasanya tadi aku melihatmu terlindas. Aku mendorongmu hingga dilindas forklift itu.” “Loh, bagaimana bisa? Aku sedari tadi memasang kabel. Mengawasimu tidur tahu.” “Ya Tuhan.” Jaya menghembuskan napas linglung. Realitasnya membingungkan. Terombang-ambing di batas kesadaran. Diawasinya telapak tangan dan kaki menjejak lantai konkrit pabrik. “Berapa lama aku tidur?” “Tidak lama. Sepuluh menitan adalah.” Makin pening ia dibuat. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Ia telah berupaya sekeras mungkin untuk tak tertidur. Dan kini, dikatakan ia sudah tertidur, barang sepuluh menit, tak terjadi itu peristiwa mencekik leher. Berbeda. Kali ini berbeda. Oh ya Tuhan, apa yang sesungguhnya terjadi? “Pusing?” “Sangat.” “Istirahat saja kamu.” “Betul? Terima kasih ya.” Amin mengirim keplakan pada belakang kepala Jaya. “Enak saja. Bantu aku memasang kabel dulu.” “Iya iya.” Jaya mengulur kabel dan mengurutkan sesuai peletakannya seperti pada gambar rancangan.
  • 10. 10 Tangannya gemetar memutar obeng, sekrup-sekrup kecil berjatuhan. “Maaf maaf.” Ia menjumputnya, kali ini berusaha lebih cermat. Membuka mata lebar-lebar. Diiringi perasaan ganjil dan janggal karena baru saja ia tertidur, sesingkat itu energinya terisi ulang, sedikit cukup untuk menawarkan dua minggu lebih tak tidur. Jika ini berlangsung kembali, boleh jadi Jaya tak lagi harus ketergantungan terhadap minuman energi dan kopi. Dan pada akhirnya, ia berharap kutukan ini menyingkir. Tetap saja, ia masih ngeri dengan apa yang menyambut ketika ia tidur nanti. Bila saja ia memutuskan untuk tidur nanti malam. Saat ini, ia masih bertahan untuk tidak. “Jika suatu kesempatan aku bertemu hantu dan sedang bersama kamu, bisa jadi hantu itu lari terkencing- kencing melihatmu.” Kata Amin. “Ah, hantunya takut melihat jenggotmu itu lah.” “Gila gila. Aku heran bagaimana kamu bisa bertahan selama ini dengan kondisimu saat ini. Kamu tidak histeris melihat pantulan wajahmu di kaca?” “Aku sudah biasa. Aku lebih histeris bila melihat wajahmu, Amin. Jenggotmu itu ngeri-ngeri sedap.” Amin tertawa, lalu berhenti, menyimak wajah Jaya. Seraut prihatin tampak dari sana. “Jay, kamu baik-baik saja kan?” Jaya membatu. Terkenang realitas palsu yang mendera dan menghancurkan pijakan. Ia melihat dengan jelas Amin yang berbadan agak gemuk, pipi tembam dan bercambang sampai jenggot yang lebat itu tadi ia dorong
  • 11. 11 dan menabrak forklift, terseret dan terlindas sampai remuk badan. Seketika itu dosa mengguyurnya, bersalah! Bersalah! Itu terjadi sungguh nyata. Jaya yakini. Amarah menggerogoti, mendesak-desak minta diluapkan, perkataan sahabat yang tulus dikira cemoohan. Insomnia ini telah membuktikan keburukannya. Jaya halusinasi! Jika memang itu tadi terjadi sungguhan, Jaya pasti sudah diskors. Dipecat! Tak hormat! Mencelakakan rekan kerja! Dosa besar! Sampai ia tak yakin saat ini adalah realitas nyata. Ia menanti gelegak amarah dari dalam jiwa mendengar pertanyaan prihatin kawannya. Apakah akan muncul pula? Atau menjuruskannya pada kejadian realitas yang lebih buruk lagi. Misalnya, Jaya menusuk mata Amin dengan obeng? Memikirkan itu saja Jaya sudah menggenggam obengnya erat-erat. “Jay? Hei. Bengong lagi kan.” Amin menyapukan tangannya di udara, di hadap wajah Jaya. Jaya mengguncangkan kepala. “Eh iya? Ada apa?” “Wah, benar benar deh. Kamu ini perlu dirukiyah.” “Apa sih?” “Jangan-jangan ada jin yang menempel di punggungmu.” “Hush.. jangan ngawur. Mana percaya aku dengan hal demikian.”
  • 12. 12 “Kau bertingkah sangat aneh. Ini pasti gegara insomnia parahmu. Buruanlah kamu cek ke dokter. Sebelum kamu mampus betulan.” Jaya membanting obengnya. “Hei, jangan asal bicara. Omonganmu bisa jadi doa lho.” “Tenang kawan. Doaku selalu yang baik-baik buatmu. Yang tadi bukan doa, tapi fakta.” Jaya mendengus. “Sama saja tolol.” Bel panjang memekakkan telinga berbunyi tepat menandai jam lima sore telah tiba. Waktunya para pekerja berbenah dan pulang,berganti regumalam. Jaya dan Amin berjalan berbarengan menuju tempat parkir, jalur pulang mereka searah. Amin sendiri sudah berkali-kali berkunjung ke kontrakan Jaya. Kontrakan sempit tiga petak. Selagi melangkah Amin mengawasi Jaya. Pemuda ini jalannya goyah, hilang keseimbangan. “Jay. Kamu ngantuk?” Jaya memijat pangkal hidungnya. “Pusing.” Katanya. Amin mengajak berhenti dan memeriksa mata Jaya. “Astaga, matamu merah darah Jay. Kuantar kamu pulang. Bisa bahaya jika kamu bawa motor sendiri.” Amin prihatin. “Oke?” Jaya membungkuk, tangan pada lutut. Tubuhnya drastis menjadi lemah. Ia mengiyakan tawaran Amin. “Terima kasih kawan.” Amin mengalungkan tangannya pada Jaya supaya pemuda itu berjalan dengan benar. Di atas motor Amin senantiasa menepuk kaki Jaya bilamana ia mulai oleng karena pusing yang diderita. Perjalanan motor menembus macet yang biasanya
  • 13. 13 memakan waktu lebih dari empat puluh menit, kini melebihi waktu tersebut karena Amin lebih sering berhenti. “Tarik napas dalam-dalam Jay. Kuatkan diri. Sebentar lagi sampai.” Kontrakan petak Jaya berletak di kampung Lengkong Gudang. Mendekati maghrib sudah banyak banci-banci yang hendak berangkat bekerja. Jaya tertawa. “Kamu pernah digoda salah satunya kan Min?” “Ah gawat.” Amin mengambil jalan menghindari banci-banci yang menunggu jemputan itu. Kontrakan Jaya masuk ke gang-gang sempit yang seringnya bentrok dengan motor-motor yang hendak keluar pula. Sesampainya di kontrakan Jaya langsung merubuhkan tubuhnya di sofa ruang depan. Amin memasukkan motor ke dalam. “Kau istirahatlah.” Lalu ia ke dapur, mengambil air segelas dari dispenser. Mengaduk-aduk. Mata Jaya sayup-sayup berat. Kantuk hebat menyerang. Argghh.. ia berusaha menolak desakan untuk tidur. Ia masih takut. Ia regangkanlah tubuhnya, mematah-matahkan buku jari hingga berbunyi nyaring. Krakk krakk. Menarik napas dalam-dalam, mengatur batin supaya tenang. Tangan Amin menyentuh kening Jaya. “Ya ampun. Bisa ini aku masak mi di jidatmu. Panas sekali. Nih minum.” “Terima kasih, Min.” Jaya menenggak air segelas sampai habis. Amin duduk di sofa satunya, melihat prihatin kawannya. “Tak usah kamu melihat aku seperti itu. Aku ini tak apa-apa, Min.”
  • 14. 14 “Gila kamu bilang seperti itu tidak apa-apa.” Amin menggelengkan kepala. Ia menyandarkan punggung dan menyelonjorkan kaki ke atas meja di antara dua sofa. “Cerita jujurlah, ada masalah apa kamu ini. Masalah asmarakah? Ayo sini cerita sama pakarnya.” “Ah kentut. Pakar dari Hongkong!” Jaya mencibir canda. “Bulan kemarin kamu baru putus hubungan kan?” Jaya mengernyit. Ia tak ingat perihal itu. “Ah tidak. Tidak ingat aku.” “Wah, kamu ini insomnia juga amnesia ya?” “Entahlah. Pusing aku. Mataku berat dan perih, Min.” Jaya menyandarkan punggung. Mengucek mata. Menimbang-nimbang untuk bercerita yang sesungguhnya kepada Amin. “Aku merasa ada yang hilang. Jauh tak terjangkau.” “Mungkin kamu rindu keluargamu.” “Bukan. Bukan itu kurasa. Ini lebih dari itu. Aku merasa jati diriku ada yang hilang. Terenggut entah apakah.” “Itulah dampak insomnia, sepertinya. Makanya tidurlah kamu Jaya. Tidur.. pejamkan mata.. bernapas perlahan-lahan.. buat diri jadi tenang.. singkirkan segala beban… tidur.. tidur.” Jaya sayup-sayup. Terlambat! Matanya tak mau menuruti perintah untuk membuka terjaga. Ia tersedot ke dalam lelap. Sebelum seluruhnya menggelap dan
  • 15. 15 kelopaknya tertutup sempurna, samar-samar wajah Amin tersenyum. Matikah aku? Jaya melihat dirinya sedang terlelap di sofa dan Amin tengah bikin mi rebus di dapur. Melayang-layang ia di ruang depan. Tubuh transparan.
  • 16. 16 Bab 3 Ambang Batas Bunyi gamelan berlantun di kawasan suatu pondokan. Lantunannya syahdu dan membuat badan hendak meliuk-liuk dan menari. Bunyi gongnya menggetarkan jiwa, seperti memberi tabuhan kesadaran terhadap sesuatu hal. Sebuah yang abstrak tersembunyi di balik kalbu. Permainan gamelan itu pun dibawakan oleh mereka-mereka yang abstrak, tak terlihat oleh mata biasa. Mereka adalah para saudara halus. Pondokan yang terdiri dari pendopo luas di tengah- tengah berlantaikan kayu hitam mengkilap dan beratap serabut kelapa, pendopo yang cukup memuat ratusan orang maupun makhluk lain. Lalu berjajar di kiri dan kanan membentuk huruf U siku, pondokan kecil kamar- kamar singgah bagi pelancong, abdi, dan penuntut ilmu dari pondokan maupun padepokan lain. Penghuni pondokan diwajibkan menampakkan diri di pendopo besar bilamana gamelan tengah dimainkan. Seorang perempuan tua mengenakan gaun dan selendang panjang berwarna hijau toska dengan rambut digelung duduk hikmat di panggung kecil paling depan pendopo. Matanya terpejam khusyuk mendengarkan. Di hadapannya terdapat meja kecil di mana senampan berisi mangkuk-mangkuk tanah berletak. Kelopak ragam bunga mengisi mangkuk-mangkuk tersebut. Aromanya menguar dan dihirup oleh si perempuan tua. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan kiri seperti sedang bertasbih.
  • 17. 17 Pendopo dipenuhi oleh orang-orang berjubah kain putih, berikat kepala, bersorban, bertelanjang dada dan bersabuk warna, hewan-hewan jejadian, para makhluk berambut dan berkuku panjang, sebagian besar dari mereka adalah pengabdi abadi pondokan ini. Mereka adalah yang disebut Gandarupa. Para peralih rupa dan wujud. Semua duduk bersila dan menganggukkan kepala pelan berulang. Menyesuaikan irama gamelan yang telah berwaktu-waktu berlantun. Ini adalah bentuk penghormatan kepada para saudara halus baik yang menghubungkan antara alam halus dengan alam fana alias alam manusia. Mereka para pengikut ajaran si perempuan tua diwajibkan menyabarkan diri sampai gamelan terakhir dimainkan. Bisa berhari-hari bermalam- malam. Siapakah gerangan si perempuan tua yang begitu dihormati ini? Beliau dikenal dengan nama Nyai Laksmi. Sang pengasuh bijak dan tegas pondok berkumpulnya Gandarupa ini. Salah satu yang masih kukuh memegang teguh aliran putih, aliran kebajikan. Berilham kepada kisah hidup para Pendekar Putih yang senantiasa bertarung tanpa henti melawan aliran hitam Pendekar Hitam. Siapapun tamu dari padepokan lain yang hendak berkunjung, baik itu hendak memberi kabar, meminta petuah, bantuan, atau hal yang lain diharuskan berdiri menunggu di gerbang depan pondok yang jaraknya cukup jauh untuk mencapai pendopo besar. Karena halaman pondokan itu adalah tempat para saudara halus tengah
  • 18. 18 melantunkan gamelan. Tiada yang pasti tahu ada berapa saudara halus yang tengah bermain, konon katanya ada ribuan, Nyai Laksmi-lah yang mengetahui, beliau mampu melihat tembus alam. Tiga pendekar abu-abu penjaga kunci alam Watukayu setia menanti dan menghayati lantunan gamelan membahana di depan gerbang bambu-bambu menancap. Tak boleh ada suara, mereka tahu dengan pasti. Tangan di balik punggung mereka berdiri. Satu berbadan besar tinggi, satu kurus kekar tinggi sedang, satu lagi perawakan ideal berotot sewajarnya. Dahulunya mereka bukanlah berasal dari alam ini. Mereka bertiga pernah bersanding dengan Pendekar Putih melawan Pendekar Hitam yang hendak membebaskan Raja Siluman jahat dari perut bumi. Karena pengorbanan mereka yang tulus dan senjata terakhir yang mengakibatkan mereka tak mampu lagi kembali ke alam asal, mereka dinobatkan menjadi penjaga kunci alam Watukayu yang barulah seumur jagung ini. Meski begitu, kehidupan yang berlangsung dalam alam ini seolah telah berlangsung ratusan tahun lamanya. Waktu adalah ukuran yang membingungkan memang. Sebagai pendekar, berdiri sepanjang berhari-hari dan bermalam-malam adalah hal yang sepele. Telah berlatih mereka sehingga sudah biasa. Segala hal yang perlu mereka ketahui mengenai alam Watukayu telah dibekali oleh sang entitas yang dimuliakan, ialah sang Nini Dhanyang Smarabumi. Tugas sebagai tiga pendekar abu-abu penjaga kunci alam Watukayu tidaklah mudah. Mereka harus memasuki tiap alam cabang dari pohon dimensi untuk memastikan
  • 19. 19 tiada kericuhan atau akal bulus untuk menghidupkan kembali aura jahat para Raja Siluman. Di setiap alam itu mereka menemui banyak sekali cikal bakal sosok jahat yang bisa menyebabkan runtuhnya pondasi alam Watukayu sehingga bisa jadi para Raja Siluman jahat yang telah terkurung di perut bumi paling dasar akan meloloskan diri dan muncul di alam permukaan, alias alam manusia. Kemudian mereka mempelajari banyak pusaka-pusaka yang ada di setiap alam percabangan. Masing-masing pusaka memiliki khasiatnya sendiri, bisa menjadi dua hal, tergantung kepada siapakah pusaka itu jatuh nantinya. Saat ini, mereka tengah dikejar waktu untuk mencari pusaka-pusaka itu dan menyerahkan kepada Nini Dhanyang Smarabumi demi lebih terjaga amannya. Belum lagi permasalahan antara kelompok- kelompok besar penghuni alam Watukayu, ada perselisihan yang tengah terjadi, yang tak bisa dipungkiri. Padepokan-padepokan pendekar saling bertikai untuk menentukan siapa yang paling unggul dan paling tinggi ilmunya. Susah payah tiga pendekar abu-abu melerai mereka. Kehadiran mereka yang jarang-jarang di pondok Nyai Laksmi ini bukanlah untuk membahas masalah-masalah tersebut. Ada hal yang lebih mendesak lagi. Dirasa oleh mereka Nyai Laksmi adalah orang yang tepat untuk didatangi. Setelah tiga hari tiga malam berturut-turut akhirnya lantunan gamelan mereda, ditandai mulai heningnya suasana. Seseorang berjalan menghampiri mereka. Seorang lelaki segar bertubuh pejal, mengenakan pakaian pendekar berwarna hijau tua, dada bidang dipampangkan, rambut memiak tengah, helai kain
  • 20. 20 mengikat kepala. Tiga pendekar abu-abu tahu apa yang ada di balik ikat kepala tersebut. “Selamat datang, pendekar penjaga kunci.” Lelaki itu menjura. “Terima kasih atas sambutannya. Kami hendak bertemu Nyai Laksmi. Kami yakin beliau pasti sudah mengetahui maksud kedatangan kami.” Yang berperawakan paling ideal yang menjawab. “Itu tak lagi perlu disangsikan. Mari.” Lelaki hijau itu mengajak dengan sopan, mengisyaratkan dengan jempol yang menunjuk arah pendopo. “Koreksi kami bila salah. Engkau adalah Gandarupa, betulkah?” “Tiga pendekar abu-abu pasti sudah berpengalaman mengenali tiap golongan.” Jawab lelaki itu rendah hati. “Semakin berilmu semakin merunduk. Kami suka prinsip demikian. Tak kami ragukan lagi, engkau adalah Gandarupa yang paling sakti di pondok ini.” Senyum lelaki hijau ini lembut. “Hamba yakin ilmu hamba tiada apa-apanya dengan ilmu tiga pendekar abu- abu.” “Sangat bijaksana. Nyai Laksmi mengajari kalian dengan benar.” “Betul, hamba masih belajar. Ilmu sejati tak pernah usai untuk dikejar.” “Bijaksana sekali. Begitulah seyogyanya sikap para penuntut ilmu.”
  • 21. 21 Mereka sampai, menaiki undakan tangga pendopo besar yang telah sepi penghuni. Si lelaki hijau berjalan jongkok menghampiri Nyai Laksmi yang tengah menarikan tangan di atas mangkuk-mangkuk kembang. Geriknya santun membisiki telinga Nyai Laksmi. Perempuan tua nan bijaksana membuka mata perlahan, matanya sudah memutih. Mata yang mampu melihat tembus alam. Si lelaki hijau kembali ke tiga pendekar abu-abu, lagi dengan jempol menunjuk mempersilakan mereka duduk di hadapan Nyai. Lalu ia sendiri mengambil tempat agak jauh di belakang. Bersila. “Tiga pendekar abu-abu.” Sambut Nyai Laksmi. Suaranya berat dan parau. “Apa yang bisa aku bantu?” “Engkau telah mengetahuinya semenjak kami menjejakkan kaki menuju kemari, Nyai.” Nyai Laksmi tersenyum ringan, menimbulkan lipatan pada wajahnya yang sepuh. “Betul sekali. Namun Gandarupa itu belum mengetahui.” “Baiklah Nyai Laksmi, jika demikian yang dikehendaki. Kami datang kemari hendak meminta bantuan. Terdapat sebuah masalah yang tengah terjadi yang berpotensi merusak keseimbangan alam. Ada sebuah suksma yang tak seharusnya berada di alam fana. Suksma itu sangatlah berbahaya bila bertemu mereka yang beragenda tak becik. Kami tak memiliki kemampuan untuk melacak keberadaan suksma tersebut. Kami meminta bantuan orang yang bisa menyaru menjadi manusia.”
  • 22. 22 Nyai Laksmi mengangguk mengerti. Ia meminta si lelaki hijau untuk mendekat. “Kau dengar tadi?” Si lelaki berjalan jongkok dan mengangguk setelah sampai dekat. “Hamba mendengarkan dengan jelas, Nyai.” “Jika begitu, kaulah yang akan membantu tiga pendekar abu-abu ini. Bersediakah kau?” Si lelaki menyatukan tangannya. “Hamba bersedia, Nyai.” “Bagus. Gandarupa ini akan menjadi mata kalian di alam fana.” Jemari Nyai Laksmi memunculkan percikan listrik. Diarahkan kepada si Gandarupa. “Kau tahu apa yang perlu kauperbuat.” “Nggih Nyai. Hamba harus mencari ia yang tengah memasuki alam ambang batas.”
  • 23. 23 Bab 4 Memisah Raga Apa yang hendak dikata bila melihat tubuh sendiri? Seperti mimpi yang berlaku di mana mata kita mampu melihat segala dan tetap menjadi tokoh utama. Melihat sekitar dan pula melihat diri sendiri. Dalam mimpi-mimpi itu ibarat kita memiliki memori lain yang bahkan baru, tak terkait sama sekali dengan kenangan di alam sadar. Pernah merasa seperti itukah? Bagai ia memiliki dunianya sendiri yang terlampau jauh berbeda. Di manakah letak ruh? Tiada yang tahu pastinya. Apakah ini ruh yang sedang berjalan memisah raga? Jaya tak memiliki jawabannya. Ia terlampau heran seheran- herannya. Ia dihempas rasa takut yang mencekam ketika jatuh tertidur. Ia yang terdapat dalam badan hendak memberontak namun tak sangguplah mengendalikan ragawi. Begitu berat. Seperti mimpi tertindih gajah menakutkan. Namun tentu saja berbeda kali ini. Serta merta dirinya membelah menjadi dua. Satu berwujud padat, satu berwujud halus. Satu yang berwujud padat tengah tertidur pulas, kegiatan yang telah lama ia hindari. Melihat napas itu terhembus teratur dan tenang membuatnya meragu. Sesungguhnya apalah yang ia takutkan selama ini? Apa yang mencekiknya sampai hampir mati? Apakah itu hantu cekik atau sesungguhnya pertempuran jiwa raga?
  • 24. 24 Satu yang berwujud halus mengamati rupa diri. Ia seringan udara. Masih menyerupa manusia dengan tampilan yang serba putih transparan. Terdiam lebih lama ia mengawasi diri nyata yang terlelap. Satu pertanyaan yang mengambang-ambang: apakah ia nanti ingat ketika bangun nanti? Apakah ini yang orang-orang bilang, ketika bermimpi ruh kita berjalan-jalan? Wujud halusnya telanjang. Aliran darah seperti aliran energi elektrik mengaliri kabel-kabel daya. Segala yang ia lihat masih serupa dunia nyata. Menjejaklah ia mencoba, menapakkan kaki tembus pandang ke lantai keramik putih kontrakan Jaya. Terliputi rasa ingin tahu ia menjajal menyentuh barang. Sebuah vas bertangkai bunga mawar layu pemberian kekasih yang ia tak tahu kenangannya, ataukah mawar itu adalah miliknya sendiri yang tertolak. Ia menyentuh dengan ujung jarinya yang berlumuran kemilau putih pasir-pasir berkilau matahari. Vas itu jatuh. Amin di dapur tengah memasak mi rebus rasa soto memanggil. “Jay?” Jaya wujud halus menilik ke dapur. Ia otomatis menjawab. “Ya Min?” Amin yang masih mengaduk bumbu dengan air panas mengernyit, sorot matanya menembus sosok halus Jaya. “Jay? Kamu sudah bangun? Cepet amat.” Amin mengangkat mi yang telah matang lalu menuangkan ke mangkuk. Kemudian berjalan menembus sosok halus Jaya, kepul hangat mi kuah soto bercampur dengan tubuh halus Jaya yang putih keperakan. Jaya sendiri hendak menghindar, ia terdesak ke tembok dan anehnya wujud halusnya menembus tembok.
  • 25. 25 Sekilas ia melihat kontrakan sebelah, sepasang suami istri tengah berbuat. Segerakan ia kembali lagi. Mendengar Amin berkata. “Tidur saja dulu kamu Jay. Obat tidurnya sudah bekerja kan.” Jaya halus berharap Jaya padat sedang bangun dan berbincang dengan Amin. Nyatanya tidak, masih pulas tak terganggu walau suatu waktu gempa pastilah ia masih tenggelam dalam tidur. Mendengar ucapan Amin mengenai obat tidur itu, menyalakan sumbu amarah Jaya. Tega-teganya Amin! Padahal sebelum terjatuh dalam lelap dan memisah raga begini, ia hendak menyampaikan deritanya. Apa saja bisa terjadi bilamana ia tidur, terutama ancaman kematian akibat tindihan dahsyat itu. Jaya geram melihat Amin enak-enaknya menyantap mi kuah soto. Santai menyelonjorkan kaki di atas meja. Bahkan tak peduli vas bunga mawar layu itu tergeletak di atas karpet, airnya merembesi. Ia tendang saja Amin. Kawannya kelabakan sampai mi kuahnya tumpah. Ia menoleh ke sana kemari dengan mata bertanya-tanya ngeri. Kuah yang masih panas menyiram celananya, mi berantakan mengotori sofa. Ia bangkit gelagapan kabur ke kamar mandi. “Sial.” Lalu ia kembali untuk membersihkan mi yang tumpah. Sesekali tanpa tahu malu, ia mencicipi mi tersebut. “Sayang.” Katanya. Kegeraman Jaya malah berubah menjadi tawa. Ia usili lagi kawannya itu. Ia tendang pantatnya sampai Amin tersungkur.
  • 26. 26 “Waduh gawat!” Amin menoleh takut. “Hawanya kok beda begini.” Ia bergidik, mengamati bulu-bulu pada tangannya berdiri tegak. “Rasakan tuh.” Kata Jaya halus. Dahulu ia pernah menonton film di mana roh si manusiakeluar dari tubuh,berkeliling kemana-mana, lalu kembali lagi ke tubuh. Jaya mencobanya, siapa tahu ia bisa menyatu raga kembali. Ia memosisikan dirinya sesuai polah tidurnya. Merebahkan badan dan memejamkan mata berharap segera menyatu. Namun gagal. Sial. Rutuknya. “Jangan-jangan aku mati.” Amin telah bersarung menutupi diri dan tidur di kamar tengah. Menggigil takut, komat-kamit membaca doa. “Ya Tuhan, aku betulan mati?” ia menepuk pipi Jaya padat. Anehnya, tepukannya juga dirasa oleh dirinya yang halus. Ia cubit kaki, begitu pula dirasa pada kaki halusnya. “Aneh sekali. Aku tak bisa kembali. Apa yang terjadi?” ia masih melihat jelas deru napas teratur tubuh padatnya. “Tidak, tidak mati kok.” Sesuatu terjadi. Tubuh halusnya mulai tak transparan lagi. Melainkan menjalar memadat dengan kulit yang keperakan. Jaya jadi teringat satu tokoh dalam jagad komik Marvel. Saat ini ia persis sekali seperti dia. Campur aduk pikirnya berusaha memahami yang tengah terjadi. Ia berjalan ke depan cermin. Bayangannya tak memantul. “Aku tak terlihat.” Gumamnya.
  • 27. 27 Ia membenamkan tangannya ke tubuh padat. Tembus sampai ke dasar sofa. Aneh. Ia bisa menyentuh namun bisa pula menembus. Ah, Jaya tahu. Dengan niat! Ia usil menyalakan motornya. Yang tentu saja, mengagetkan Amin. “Astaga! Apalagi ini?” Amin kebingungan. “Wah Jaya ngerjain. Pura-pura tidur ini anak.” Amin masih tak bisa melihat wujud perak Jaya. Amin menggoncangkan tubuh padat Jaya. Digerak-gerakkan kakinya, dicubit tangannya, dijepit hidungnya, dijambak jenggotnya, disentil telinganya. “Lha tapi tidur.” Ia membuka kelopak mata Jaya. Jaya wujud perak menarik gas motor. Amin melonjak kaget mengucap istighfar. Ia takut-takut mematikan dan mencabut kontak motor. “Astaga Jay, kontrakanmu ada penunggunya.” Jaya tahu Amin antara tega tak tega mau cabut pulang meninggalkan dirinya. Jaya tertawa. Seiring tawanya, Amin menggigil memegangi tengkuk. Buru ia meringkuk selimutan. “Hmm.. ini baru.” Ternyata tak buruk-buruk amat pengalaman ini. Bila saja ia mengetahui lebih awal mungkin kini ia bisa mengendalikannya. Satu pertanyaan: bagaimana dia kembali ke tubuhnya? Tadi sudah dicoba namun gagal. “Ah, kucoba berkeliling sajalah. Tak ada ruginya.” Keraguan, kekhawatiran, bingung perlahan mulai meninggalkan diri. Akibat tingkah lucu Amin yang ketakutan, Jaya jadi berkeinginan untuk lebih jauh menggali potensi unik ini. Meski masih saja ada semacam lubang dalam diri, sebuah pertanyaan: siapakah aku ini?
  • 28. 28 Kenangan-kenangan lama yang samar-samar. Tentang serupa wajah jelita yang menjerat hatinya dulu kala. Yang acapkali ia teringat walau buram, sudah memelintir hati. Sosok wajah jelita itu bukanlah gadis yang dibicarakan Amin. Yang itu ia tidak merasa kenal. Mungkin benar kata Amin, insomnia yang ia paksakan bisa jadi menyebabkan hilangnya ingatan. Realitas palsu, realitas memusingkan. Atau mungkin: aku bukanlah diriku? Jaya menembus dinding tiap kontrakan. Sepasang suami istri yang telah tanggal tanpa benang, ranjang bergoyang. Keluarga kecil yang ribut-ribut melulu, anak menangis tiada henti. Seorang bujang bengong depan televisi, menonton adegan mesum yang mendorong tangan melakukan tindakan. Gadis pekerja yang baru pulan dan masuk ke kamar mandi. Jaya terus berjalan menembus rumah-rumah. Takjub sendiri terhadap yang bisa ia lakukan. Ia kini berada di jalan. Masih banyak anak-anak kecil, walau sudah malam begini, bermain bola di tengah jalan sehabis pulang dari mushola. Ia amati atmosfir sekitar. Cukup berbeda sewaktu ia masih wujud nyata. Ia bisa melihat udara bergerak, kelebat putih yang bergelombang. Ia wujud halus yang keperakan, tanpa baju, menapakkan kaki melewati orang-orang yang tak menyadari keberadaannya. Dirasakan secara sungguh oleh Jaya, tubuh peraknya ini lebih bugar daripada tubuh nyata yang sudah layu karena kurang tidur. “Mungkin bila aku lelah di wujud yang ini, aku bisa kembali ke tubuhku yang nyata. Mungkin saja. Tak ada salahnya mencoba.” Maka ia
  • 29. 29 berjalan tanpa arah. Menembusi rumah-rumah dan menjajal beragam kemungkinan yang bisa ia lakukan dalam wujud perak ini. Jaya mengusili muda-mudi yang sedang nongkrong di depan bengkel las. Lima remaja laki dua remaja putri. Cekakak cekikik bercanda tak senonoh. Jaya menggelitik salah satu remaja laki. Awalnya ia menuduh kawannya. Lalu yang lain pada menghindar. Jaya kelitik lagi. Si bocah berpikir ada hewan yang masuk ke dalam bajunya. Ia buka di tempat. Tak ada hewan apa pun. Jaya iseng mengambil bajunya. Barulah mereka lari terbirit-birit melihat baju melayang. Si bocah tanpa baju lari terkencing-kencing. “Hei, kau.” Jaya membatu. Menengok perlahan. Sesosok wujud kekuningan berwajah campuran manusia dan harimau, berkulit loreng-loreng turun dari pohon mangga. Cakarnya panjang menyayat kulit pohon. Jaya membelalak. Kini ia sendiri yang terserang takut. Tak mampu berkata dan bergerak melihat sosok yang ia kira siluman harimau ini. “Kau bukan dari dunia ini.” Kata sosok berwajah harimau itu.
  • 30. 30 Bab 5 Sepucuk Surat Segala serba memburam. Warna-warna bertubrukan. Menyebabkan ledakan-ledakan serupa perpaduan antara kembang api, bubuk warna, dan spektrum warna. Menjadi kesatuan denyut-denyut cahaya yang lembut. Menggenang di permukaan mata. Di antara denyut-denyut warna itu, bermunculan bentuk-bentuk, pola-pola yang rumit, saling mengulang dan saling mengejar. Bentuk-bentuk datar segi lima, segi enam, segi tujuh, segi delapan, begitu seterusnya sampai mewujud lingkaran yang mengecil dan membesar memusingkan mata. Kadang menjadi pusaran, mata badai. Dengan warna yang berganti-ganti. Merah, ungu, hijau, biru, kuning, jingga adalah warna yang mendominasi. Lalu menjadi rupa-rupa bunga, yang dijalin oleh garis-garis percik elektrik. Memancar-mancar, berdenyut-denyut, hilang timbul. Lambat laun terasa berirama, menghanyutkan, menyeret ke dalam santai. Telampau santai sampai lupa waktu. Dentum-dentum menggerakkan jantung. Irama konstan yang tak henti-henti. Menghipnotis tiada terlawan. Tak ada tanda-tanda dalam diri untuk menolak. Ikut saja dalam permainan warna dan cahaya ini. Sampai mencapai sebuah ledakan besar. Ledakan warna-warna. Memutih membutakan mata. Kemudian dilahap kegelapan pekat. Sampai mata mampu
  • 31. 31 beradaptasi, muncullah garis lurus hijau yang bergetar di setiap rentang jarak, membarengi denyut jantung. Getar- getar kehidupan. Dan Jaya membuka mata. “Syukurlah. Kamu sudah sadar, Jay.” Amin beranjak dari kursi tunggu, membetulkan kacamata bingkai besarnya. “Di mana aku, Min?” Jaya mengedipkan mata berulang kali, penglihatannya masih samar-samar, berenang-renang di pelupuk mata. “Rumah sakit Jay.” “Loh, memangnya aku sakit apa?” Jaya mengangkat tangan dan melihat infus di pergelangan. “Hati-hati, takut lepas.” Amin menaruh kembali tangan Jaya. “Kamu koma Jay.” Jawab Amin, wajahnya prihatin dan sarat permintaan maaf. Tangan Jaya yang satunya menyentuh hidung, di situ terpasang selang oksigen, ia pun meraba ke dada ada yang menempel di sana. “Loh, koma? Serius kamu? Kenapa aku bisa koma?” Jaya melihat semburat keraguan di bibir Amin ketika hendak menjawab. “Kamu eh, tidur tak bangun-bangun. Jadi kubawa kamu ke rumah sakit. Aku khawatir.” Jaya memijat pangkal hidung, memejam sejenak. “Kok bisa Min? berapa hari aku koma?” “Dua minggu.”
  • 32. 32 “Apa?” Jaya sampai mendudukkan diri. “Dua minggu?” mendekati jeritan. “Jay Jay, pelan-pelan, syukur kamu sudah sadar sekarang. Aku panggil perawat dulu.” Amin memencet sebuah tombol. “Serius kamu Min? dua minggu aku tidur tak bangun- bangun?” Gerombolan rasa yang buruk menyerbu hati Jaya. “Iya, kamu tidak sadar selama dua minggu.” “Waduh gawat.” Jaya menepuk dahinya. “Tapi tunggu… ada yang kuingat.” Satu hal. Dan hanya satu itu. Sebelum mata terpejam dan kelelapan menelan selamat berhari-hari. “Kamu memberiku obat tidur kan Min?” Amin menggaruk belakang kepala, menyengir. “Iya Jay. Aku terpaksa.” Jaya mengepalkan tangan menahan amarah yang menggelegak bagai lahar panas dalam perut. “Bisa- bisanya kamu Min. Aku tidak minta diberi obat tidur. Aku mau menjelaskan sebab yang buat aku tak bisa tidur, Min. Kamu tidak tahu betapa menyeramkannya jika aku tertidur, Min. Kamu kurang ajar, Min. Aku kecewa.” Mata Jaya panas. “Maaf Jay, aku berbuat begitu karena aku khawatir. Kamu parah sekali kondisinya. Kamu jelas-jelas butuh tidur. Bisa-bisa kepalamu meledak kalau kamu tak segera tidur.” “Kamu tak tahu apa-apa, Min. Kamu tak tahu apa yang melandaku.”
  • 33. 33 “Makanya cerita, Jay. Aku kan teman dekatmu.” “Waktu itu aku mau cerita, tapi malah kau beri aku obat tidur!” Jaya menghantamkan kepalnya ke ranjang sakit. “Jay Jay, tenang.” “Kamu melewati batas, Min. Aku tak suka.” “Ya maaf Jay. Aku melakukan itu karena aku peduli.” “Ah, pedulimu palsu!” lagi-lagi itu. Jaya terdiam dan teringat perkataan itu pernah ia katakan sebelumnya dan selanjutnya bukanlah hal yang menyenangkan untuk dikenang. Apakah ini realita asli? “Aku temanmu Jay. Peduliku peduli sungguh. Oke, maaf jika aku melewati batas.” Amin mengangkat dua tangannya. Jaya hampir menitikkan air mata. “Kamu tak tahu apa yang menimpaku. Setiap malam setiap mau tidur aku seperti mau mati. Seperti ada malaikat maut yang menantiku di sudut kamar, Min. Memaksa mencabut nyawaku. Dan lihat sekarang perbuatanmu, aku koma dua minggu! Ini buktinya! Aku memang tidak boleh tidur, Min.” Amin garuk-garuk kepala merasa bersalah. “Misalkan kamu cerita lebih awal kan tak seperti ini jadinya.” “Telat. Terlanjur. Kamu melanggar batasan. Seharusnya kamu minta ijin dulu, Min.” Jaya membuang muka. “Maaf Jay.”
  • 34. 34 “Sudah, kamu keluar, pergi dari sini. Aku marah.” Telunjuknya menunjuk pintu. “Tapi, bagaimana nanti kamu pulangnya?” “Bukan urusanmu lagi. Sudah sana kamu pergi. Muak aku lihat wajahmu.” “Oke oke.” Amin mengangkat tangan. “Aku pun kecewa padamu, Jay. Seharusnya kamu bisa lebih menghargai kepedulian temanmu. Bahkan, satu-satunya temanmu. Yang dekat.” Amin melangkah menuju pintu. Berhenti sejenak. Menambahkan, “kamu benar Jay, aku tak seharusnya memberimu obat tidur. Gara-gara kamu koma, atasan memutuskan untuk memberhentikan kamu dari kerjaan.” “Lihat akibat perbuatanmu! Sudah pergi sana!” Perawat datang dan mengurusi Jaya yang telah sadar. Sementara Jaya, dalam kepalanya berkecamuk, timbul bencana. Ia merasa sebuah gunung atau entahlah bangunan, meruntuh dan menimpanya. Kacau balau sudah. Serangkaian pemeriksaan kesehatan ia lalui dan dinyatakan Jaya boleh meninggalkan rumah sakit hari itu juga. Ia pulang berjalan kaki karena jarak rumah sakit dengan kontrakan tak terlampau jauh. Selagi berjalan ia menimbang-nimbang kembali. Dua minggu tidur? “Pembalasan atas insomnia berminggu-minggu.” Berkata sendiri. “Tapi badan jadi enakan.” Ia tak memungkiri. Sesampai di kontrakan ia melihat cermin. Pantulan bola matanya tiada ada semburat urat merah.
  • 35. 35 Malah putih jernih. Hatinya mencelos, tak sepatutnya ia mengusir Amin. Ponsel tergenggam, namun keraguan melanda, masih terbayangi ia rasa dikhianati. Apakah ini berlebihan? logika bertanya. Hati tak mau menjawab. Jendela percakapan terbuka, jari enggan mendarat menulis kata sapa. Ia letakkan kembali. Malam itu Jaya merenung, seusai menyantap nasi goreng pak Kumis depan masjid. Masih kukuh tidak mau tidur. Ia berusaha mengingat-ingat kembali. Rasanya ada sesuatu ganjil terjadi padanya sewaktu terlelap. Keras usahanya untuk menarik kembali ingatan tersebut. Tetapi nihil. Hanya sekilas penglihatan Amin yang tersenyum melihatnya jatuh terlelap. Senang melihat obat tidur bekerja. Satu pesan datangnya dari Amin. Berkata bahwa Jaya besok harus datang ke pabrik untuk menyelesaikan administrasi. Jaya sudah tak peduli lagi. Lagipula ia sadar diri dengan kondisinya saat ini. Sangat membahayakan untuk lanjut bekerja. Sepanjang malam ia habiskan untuk memberi makanan mata, melahap kumpulan DVD film yang belum sempat ditonton. Ada empat cangkir kopi ia tenggak malam itu. Sepanjang malam itu pula, suasana hatinya… hampa. Di pabrik, Jaya berpapasan dengan Amin. Ia tak mengacuhkan kawannya itu. Hanya anggukan tanpa pandang mata. Dingin dan kaku. Amin hendak menyapa dengan tangan, namun urung. Jaya terus saja berjalan menuju kantor atasan.
  • 36. 36 Jelas sudah memang ia tak diijinkan kembali bekerja. Sudah dua minggu ia tak masuk akibat koma. Produktifitasnya dipertanyakan. Apalah sudah, Jaya pun tak begitu menikmati kerjaannya saat ini. Apa pun yang setengah hati, jadinya tak elok. Alhasil, ia pulang membawa amplop pesangon dan jabat tangan semoga sukses. Dihindarinya bertemu kawan-kawan yang lain. Pesan datang bertubi dari Amin. Ia tak pedulikan. Hampa ia pulang kembali ke kontrakan. Sepucuk surat terselip dari celah pintu.Sepucuk surat tanpa nama pengirim. Sepucuk surat tanpa amplop. Jaya membaca tulisan miring-miring yang tertera di sana. Kau pasti menanyakan segala yang terjadi padamu belakangan ini.. Apa yang terjadi padamu bisa jadi anugerah bisa jadi bencana... Tanyakanlah pada kami.. niscaya kami memiliki jawabannya.. Janganlah ragu… Jaya. Jaya terpekik namanya disebut. Entah siapa yang mengirim surat ini, mengenalnya. Jaya tak bisa menebak siapa pengirim surat ini. Memang benar tak banyak orang yang dikenalnya di sini. Jaya membalik surat itu dan terteralah sebuah alamat. Astral Travel Agent. Jl. Letnan Sutopo. Ruko Paris Corner. No. 41. Jaya tahu alamat itu. Dekat sekali.