SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 2
Downloaden Sie, um offline zu lesen
44 | | 5 APRIL 2015
M
UNCULNYA gerakan Negara Is-
lam Irak dan Suriah (ISIS) menge-
jutkan dunia. Jatuhnya Mosul,
kota terbesar kedua di Irak, pada
10 Juni 2014, disusul penakluk-
an permukiman bagian utara Su-
ngai Tigris pada minggu berikut-
nya, yang diikuti deklarasi khalifah pada 29 Juni 2014, be-
nar-benar menakutkan. Dengan karakter kejam dan bru-
tal, daya tarik ISIS bukannya menurun, malah meningkat.
Malah ada ribuan ”pejuang” asing yang bergabung dengan
khalifah baru itu.
KitaterkejutdenganmunculnyaISISbukankarenakeha-
diran gerakan itu tidak terduga, melainkan karena kita ti-
dak ingin melihatnya. Misalnya dengan melihat ribuan pe-
muda diculik dan dilarikan untuk mendukung perjuangan
ISIS. Secara global, angka pendukung ISIS saat ini diperki-
rakan melebihi 22 ribu orang. Jumlah ini terlalu besar un-
tuk diabaikan. Tapi sayangnya masih banyak negara, ter-
utama di Asia Tenggara, yang enggan mengakui skala ma-
salah yang dihadapi.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, In-
donesia sudah mengakui ISIS bisa menjadi masalah serius.
Tapi, di sisi lain, Indonesia masih berharap dampak dari
ISIS muncul pada skala yang terbatas.
Di Indonesia, sempat ada harapan bahwa daya tarik ISIS
tidak begitu kuat karena negara ini relatif stabil dan terle-
tak jauh dari pusat dunia muslim yang sedang mengalami
kekacauan. Dalam minggu-minggu setelah deklarasi ke-
khalifahan, organisasi-organisasi Islam dan para pemim-
pin Islam dari seluruh spektrum, termasuk Indonesia, me-
nolak legitimasi ISIS. Muslim Indonesia tidak ingin terlibat
dalam proyek kekerasan ISIS. Ketika Mosul jatuh, relatif se-
dikit warga Indonesia tertarik ikut ”berjuang” di tengah
konflik yang berkecamuk.
Situasi tadi jauh berbeda pada akhir tahun lalu ketika ra-
tusan orang telah tergoda oleh iterasi terbaru Al-Qaidah
itu. Mendekati April 2015, angka penduduk Indonesia yang
mendukung ISIS belum jelas. Namun ada perkiraan angka
terendah di sekitar 200 orang. Tapi banyak pengamat, ter-
masuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ber-
pendapat bahwa lebih dari 600 orang Indonesia telah ber-
gabung baik dengan ISIS maupun Jabhat al-Nusra.
Meski begitu, ada beberapa alasan agar tidak membesar-
besarkan ancaman ISIS. Pertama, terorisme bekerja de-
nganmemanfaatkansituasi, melalui provokasi yangmemi-
cu kemarahan. Hal ini terlihat jelas dalam serangan 11 Sep-
tember Al-Qaidah, yang diperkirakan menelan biaya US$
500 ribu. Insiden itu mengakibatkan triliunan dolar dan
ratusan ribu nyawa dihabiskan buat memerangi Al-Qai-
dah. Ironisnya, situasi itu malah menyediakan kondisi ide-
al bagi Al-Qaidah untuk tumbuh di negara tempat mereka
sebelumnya tidak ada. Situasi ini mirip dengan kesalahan
yang dibuat Indonesia ketika merespons gerakan Darul Is-
lam pada 1980-an, yang kemudian meletakkan dasar bagi
kemunculan Jamaah Islamiyah.
Kedua, kita tahu bahwa masalah terorisme meningkat
secara global. Dampaknya paling terasa di negara yang
menghadapi kegalauan politik. Tahun lalu, misalnya, 80
persen serangan terorisme yang menyebabkan hilangnya
nyawa terjadi di lima negara saja, yakni Afganistan, Pakis-
tan, Irak, Suriah, dan Nigeria. Sebagai negara demokratis,
Indonesia tidak hanya membawa ancaman terorisme, tapi
juga telah menjadi kisah sukses dunia muslim.
Kita yakin bahwa ISIS memiliki sedikit dukungan di In-
donesia,tapiadarisikobesarbilakitameremehkanancam-
an perekrutannya. Apalagi pengalaman terakhir dari radi-
kalisasi ISIS yang muncul di seluruh dunia menunjukkan
bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih
besar dari sebelumnya.
Di Australia saja, misalnya, 160 pemuda sudah terlibat
pertempuran di Irak dan Suriah. Lebih dari 30 telah tewas
dan sekitar 100 orang saat ini ikut berperang dengan ISIS.
Beberapa di antara mereka datang dari keluarga baik-baik.
Memang masyarakat Australia tidak sempurna dan ada
alasankaummudamuslimnyamerasaterasing.Namunhal
itu sama sekali tidak bisa menjelaskan tingkat radikalisa-
si di Australia sama dengan di Prancis, yang memiliki ting-
kat pengangguran kaum muda lebih tinggi dan persoalan
diskriminasi lebih serius. Artinya, faktor penarik (pull fac-
tors) lebih besar daripada faktor pendorong (push factors),
dan itu sangat berperan membetot kaum muda rela men-
dukung proyek kekhalifahan ISIS.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dengan melihat jum-
lah kasus radikalisme yang meningkat tajam di Asia, ke-
adaan di Indonesia bisa jadi akan lebih buruk. Masalahnya
bukan terletak pada masyarakat Indonesia atau pada Is-
lam ”mainstream” di Indonesia. Soalnya, ISIS terampil me-
TANTANGAN
DAYA TARIK ISIS
5 APRIL 2015 | | 45
manfaatkan jaringan sosial untuk menargetkan mangsa-
nya. ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripa-
da semua jaringan teroris sebelumnya. Video, Facebook,
danmajalahelektronikikutberperanmembujukorangter-
libat dengan gerakan tersebut. Tapi yang paling berperan
ialah tindak lanjut perkenalan dan persahabatan pribadi.
ISIS menjalankan jaringan global yang sangat efektif untuk
mengidentifikasi mangsanya.
Indonesia memberikan peluang yang besar buat rekrut-
men ISIS. Luasnya jaringan mapan para ekstremis menye-
diakanISISbegitubanyakkesempatan.Haliniterlepasdari
kenyataan bahwa polisi telah melakukan pekerjaan luar
biasa menanggulangi terorisme. Lebih dari seribu orang
ki banyak alumnus Afganistan tidak mau melanjutkan se-
rangan teroris di Indonesia pasca-Soeharto, faksi jaringan
JamaahIslamiyahmemilikilinkyangkuatdenganalumnus
Afganistan. Apa yang terjadi di Afganistan lebih dari dua
dekade lalu tetap menimbulkan bayangan kelam di Asia
Tenggara.
Al-Qaidah Irak (AQI), juga dikenal sebagai Negara Islam
Irak (ISI), yang kemudian menjadi Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS), dibentuk dalam kondisi pemberontakan aki-
bat invasi ke Irak pada 2003. Gerakan yang terjadi di Afga-
nistan pada dekade terakhir Perang Dingin kini mendomi-
nasi masalah keamanan dunia pasca-Perang Dingin. Indo-
nesia, misalnya, masih harus berhadapan dengan penga-
Greg Barton*
ISIS MEMILIKI PROPAGANDA YANG LEBIH CANGGIH DARIPADA
SEMUA JARINGAN TERORIS SEBELUMNYA. VIDEO, FACEBOOK, DAN
MAJALAH ELEKTRONIK IKUT BERPERAN MEMBUJUK ORANG TERLIBAT
DENGAN GERAKAN TERSEBUT. TAPI YANG PALING BERPERAN IALAH
TINDAK LANJUT PERKENALAN DAN PERSAHABATAN PRIBADI. ISIS
MENJALANKAN JARINGAN GLOBAL YANG SANGAT EFEKTIF UNTUK
MENGIDENTIFIKASI MANGSANYA.
ditangkap selama 12 tahun sejak bom Bali pertama. Seba-
gian besar telah dituntut melalui proses hukum. Kredit ha-
rus diberikan untuk pencegahan serangan. Tapi semua
keberhasilan pemerintah Indonesia ini tidak cukup buat
menghadapi ancaman ISIS. Gerakan ini telah menyuntik-
kan energi baru ke dalam jaringan jihadis di seluruh dunia.
Hal ini akan mengubah skala dan masalah terorisme yang
dihadapi masyarakat Indonesia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan ji-
hadis atau pejuang yang pergi ke Afganistan dan Pakistan
pada 1980-an dan awal 1990-an. Perang Afganistan meng-
ubah masalah yang telah mendidih sejak Darul Islam mun-
cul pada 1950-an. Gerakan itu dikaitkan dengan ide-ide
perjuangan global yang disosialisasi oleh Al-Qaidah. Bebe-
rapa ratus orang Indonesia melakukan perjalanan ke Af-
ganistan serta kembali dari Afganistan dan Pakistan. Mes-
ruh generasi pertama Al-Qaidah.
AQI atau Al-Qaidah 2.0 memang berhasil menarik ribu-
an jihadis asing. Indonesia saat itu tidak tersentuh gerak-
an AQI. Tapi situasinya kini berbeda. Dalam waktu bebera-
pa tahun, ISIS atau Al-Qaidah 3.0 telah menarik jumlah pe-
muda Indonesia lebih banyak daripada perang Afganistan
dalam satu dekade.
Iterasi ketiga ”Al-Qaidah” ini merupakan gerakan yang
jauh lebih canggih dan berpengaruh daripada sebelum-
nya. Karena itu, tantangan yang dihadapi akan bertahan
lama. Indonesia, yang sudah terbukti mampu menghadapi
tantangan terorisme, kini harus menyiapkan diri mengha-
dapi tantangan melawan ekstremisme kekerasan.
*) Profesor di Monash University, Australia, dan Direktur Centre for
Islam and Modern World. Ia Juga aktif di Global Terrorism Research
Centre

Weitere ähnliche Inhalte

Ähnlich wie GBarton-OpEd-Tempo-IndonesiaISIS-30Mar15

Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima Wilayah
Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima WilayahPotensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima Wilayah
Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima WilayahLestari Moerdijat
 
Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)
Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)
Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)Muhyidin Abdillah
 
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaanKrisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaanOperator Warnet Vast Raha
 
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada Demokrasi
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada DemokrasiTantangan Otoritarianisme Digital Pada Demokrasi
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada DemokrasiDamar Juniarto
 
ID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala Indonesia
ID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala IndonesiaID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala Indonesia
ID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala IndonesiaIGF Indonesia
 
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat Propaganda
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat PropagandaDunia maya; Informasi Sampah dan Alat Propaganda
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat PropagandaLSP3I
 
Indonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial media
Indonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial mediaIndonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial media
Indonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial mediaBangGatse
 
Salah Faham Terhadap Islam
Salah Faham Terhadap IslamSalah Faham Terhadap Islam
Salah Faham Terhadap Islamummanatasya
 

Ähnlich wie GBarton-OpEd-Tempo-IndonesiaISIS-30Mar15 (10)

Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima Wilayah
Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima WilayahPotensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima Wilayah
Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima Wilayah
 
Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)
Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)
Islam indonesia (tugas mata kuliah dakwah multikultural)
 
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaanKrisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
Krisis nilai nilai kebangsaan dan keberagamaan
 
Islamic future
Islamic futureIslamic future
Islamic future
 
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada Demokrasi
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada DemokrasiTantangan Otoritarianisme Digital Pada Demokrasi
Tantangan Otoritarianisme Digital Pada Demokrasi
 
ID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala Indonesia
ID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala IndonesiaID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala Indonesia
ID IGF 2016 - Sosial Budaya 2 - Aktivisme Digital ala Indonesia
 
Pancasila radikalisme uhu kel 1
Pancasila radikalisme uhu kel 1Pancasila radikalisme uhu kel 1
Pancasila radikalisme uhu kel 1
 
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat Propaganda
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat PropagandaDunia maya; Informasi Sampah dan Alat Propaganda
Dunia maya; Informasi Sampah dan Alat Propaganda
 
Indonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial media
Indonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial mediaIndonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial media
Indonesiatanpajil sebuah perlawanan dakwah dari sosial media
 
Salah Faham Terhadap Islam
Salah Faham Terhadap IslamSalah Faham Terhadap Islam
Salah Faham Terhadap Islam
 

Mehr von Greg Barton

GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15
GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15
GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15Greg Barton
 
GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14
GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14
GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14
GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14
GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14
GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14
GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14
GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14
GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14
GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14
GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14
GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14
GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15Greg Barton
 
GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15
GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15
GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15Greg Barton
 
GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15
GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15
GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13
GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13
GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13Greg Barton
 
GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12
GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12
GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15 GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15 Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14
GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14
GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14Greg Barton
 
GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16
GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16
GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16Greg Barton
 
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15 GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15 Greg Barton
 
GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15
GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15
GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15Greg Barton
 

Mehr von Greg Barton (20)

GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15
GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15
GBarton-OpEd-TheAge-OpEd-CTStrategy-20Feb15
 
GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14
GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14
GBarton-OpEd-TheMonthly-DamagedGoodsAsWeapons-Dec14
 
GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14
GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14
GBarton-OpEd-HSun-CTLaws-8Aug14
 
GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14
GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14
GBarton-OpEd-HSun-IS-25Sep14
 
GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14
GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14
GBarton-OpEd-HSun-IraqISIS-18Jun14
 
GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14
GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14
GBarton-OpEd-AFR-CVE-26Sep14
 
GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14
GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14
GBarton-OpEd-HSun-SydneySeige-17Dec14
 
GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-AFR-CharlieHebdo-9Jan15
 
GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15
GBarton-OpEd-EUBulletin-CharlieHebdo-9Jan15
 
GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15
GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15
GBarton-OpEd-HSun-CharlieHebdoAttack-9Jan15
 
GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15
GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15
GBarton-OpEd-InsideStory-CharlieHebdo-11Jan15
 
GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13
GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13
GBarton-OpEd-HSun-Turkey-6Jun13
 
GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12
GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12
GBarton-OpEd-TheAge-AustralianMuslims-19Sep12
 
GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PeterGreste-25Jun14
 
GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14
GBarton-OpEd-HSun-PresJokowi-30Jun14
 
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15 GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
 
GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14
GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14
GBarton-OpEd-HSun-JokowiCabinet-30Oct14
 
GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16
GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16
GBarton-OpEd-HSun-Saudi_Iran-7Jan16
 
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15 GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
GBarton-OpEd-TempoEnglish-Executions-17May15
 
GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15
GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15
GBarton-OpEd-ISIS-Tempo-IndonesiaISIS-English-28Mar15
 

GBarton-OpEd-Tempo-IndonesiaISIS-30Mar15

  • 1. 44 | | 5 APRIL 2015 M UNCULNYA gerakan Negara Is- lam Irak dan Suriah (ISIS) menge- jutkan dunia. Jatuhnya Mosul, kota terbesar kedua di Irak, pada 10 Juni 2014, disusul penakluk- an permukiman bagian utara Su- ngai Tigris pada minggu berikut- nya, yang diikuti deklarasi khalifah pada 29 Juni 2014, be- nar-benar menakutkan. Dengan karakter kejam dan bru- tal, daya tarik ISIS bukannya menurun, malah meningkat. Malah ada ribuan ”pejuang” asing yang bergabung dengan khalifah baru itu. KitaterkejutdenganmunculnyaISISbukankarenakeha- diran gerakan itu tidak terduga, melainkan karena kita ti- dak ingin melihatnya. Misalnya dengan melihat ribuan pe- muda diculik dan dilarikan untuk mendukung perjuangan ISIS. Secara global, angka pendukung ISIS saat ini diperki- rakan melebihi 22 ribu orang. Jumlah ini terlalu besar un- tuk diabaikan. Tapi sayangnya masih banyak negara, ter- utama di Asia Tenggara, yang enggan mengakui skala ma- salah yang dihadapi. Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, In- donesia sudah mengakui ISIS bisa menjadi masalah serius. Tapi, di sisi lain, Indonesia masih berharap dampak dari ISIS muncul pada skala yang terbatas. Di Indonesia, sempat ada harapan bahwa daya tarik ISIS tidak begitu kuat karena negara ini relatif stabil dan terle- tak jauh dari pusat dunia muslim yang sedang mengalami kekacauan. Dalam minggu-minggu setelah deklarasi ke- khalifahan, organisasi-organisasi Islam dan para pemim- pin Islam dari seluruh spektrum, termasuk Indonesia, me- nolak legitimasi ISIS. Muslim Indonesia tidak ingin terlibat dalam proyek kekerasan ISIS. Ketika Mosul jatuh, relatif se- dikit warga Indonesia tertarik ikut ”berjuang” di tengah konflik yang berkecamuk. Situasi tadi jauh berbeda pada akhir tahun lalu ketika ra- tusan orang telah tergoda oleh iterasi terbaru Al-Qaidah itu. Mendekati April 2015, angka penduduk Indonesia yang mendukung ISIS belum jelas. Namun ada perkiraan angka terendah di sekitar 200 orang. Tapi banyak pengamat, ter- masuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ber- pendapat bahwa lebih dari 600 orang Indonesia telah ber- gabung baik dengan ISIS maupun Jabhat al-Nusra. Meski begitu, ada beberapa alasan agar tidak membesar- besarkan ancaman ISIS. Pertama, terorisme bekerja de- nganmemanfaatkansituasi, melalui provokasi yangmemi- cu kemarahan. Hal ini terlihat jelas dalam serangan 11 Sep- tember Al-Qaidah, yang diperkirakan menelan biaya US$ 500 ribu. Insiden itu mengakibatkan triliunan dolar dan ratusan ribu nyawa dihabiskan buat memerangi Al-Qai- dah. Ironisnya, situasi itu malah menyediakan kondisi ide- al bagi Al-Qaidah untuk tumbuh di negara tempat mereka sebelumnya tidak ada. Situasi ini mirip dengan kesalahan yang dibuat Indonesia ketika merespons gerakan Darul Is- lam pada 1980-an, yang kemudian meletakkan dasar bagi kemunculan Jamaah Islamiyah. Kedua, kita tahu bahwa masalah terorisme meningkat secara global. Dampaknya paling terasa di negara yang menghadapi kegalauan politik. Tahun lalu, misalnya, 80 persen serangan terorisme yang menyebabkan hilangnya nyawa terjadi di lima negara saja, yakni Afganistan, Pakis- tan, Irak, Suriah, dan Nigeria. Sebagai negara demokratis, Indonesia tidak hanya membawa ancaman terorisme, tapi juga telah menjadi kisah sukses dunia muslim. Kita yakin bahwa ISIS memiliki sedikit dukungan di In- donesia,tapiadarisikobesarbilakitameremehkanancam- an perekrutannya. Apalagi pengalaman terakhir dari radi- kalisasi ISIS yang muncul di seluruh dunia menunjukkan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih besar dari sebelumnya. Di Australia saja, misalnya, 160 pemuda sudah terlibat pertempuran di Irak dan Suriah. Lebih dari 30 telah tewas dan sekitar 100 orang saat ini ikut berperang dengan ISIS. Beberapa di antara mereka datang dari keluarga baik-baik. Memang masyarakat Australia tidak sempurna dan ada alasankaummudamuslimnyamerasaterasing.Namunhal itu sama sekali tidak bisa menjelaskan tingkat radikalisa- si di Australia sama dengan di Prancis, yang memiliki ting- kat pengangguran kaum muda lebih tinggi dan persoalan diskriminasi lebih serius. Artinya, faktor penarik (pull fac- tors) lebih besar daripada faktor pendorong (push factors), dan itu sangat berperan membetot kaum muda rela men- dukung proyek kekhalifahan ISIS. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dengan melihat jum- lah kasus radikalisme yang meningkat tajam di Asia, ke- adaan di Indonesia bisa jadi akan lebih buruk. Masalahnya bukan terletak pada masyarakat Indonesia atau pada Is- lam ”mainstream” di Indonesia. Soalnya, ISIS terampil me- TANTANGAN DAYA TARIK ISIS
  • 2. 5 APRIL 2015 | | 45 manfaatkan jaringan sosial untuk menargetkan mangsa- nya. ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripa- da semua jaringan teroris sebelumnya. Video, Facebook, danmajalahelektronikikutberperanmembujukorangter- libat dengan gerakan tersebut. Tapi yang paling berperan ialah tindak lanjut perkenalan dan persahabatan pribadi. ISIS menjalankan jaringan global yang sangat efektif untuk mengidentifikasi mangsanya. Indonesia memberikan peluang yang besar buat rekrut- men ISIS. Luasnya jaringan mapan para ekstremis menye- diakanISISbegitubanyakkesempatan.Haliniterlepasdari kenyataan bahwa polisi telah melakukan pekerjaan luar biasa menanggulangi terorisme. Lebih dari seribu orang ki banyak alumnus Afganistan tidak mau melanjutkan se- rangan teroris di Indonesia pasca-Soeharto, faksi jaringan JamaahIslamiyahmemilikilinkyangkuatdenganalumnus Afganistan. Apa yang terjadi di Afganistan lebih dari dua dekade lalu tetap menimbulkan bayangan kelam di Asia Tenggara. Al-Qaidah Irak (AQI), juga dikenal sebagai Negara Islam Irak (ISI), yang kemudian menjadi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dibentuk dalam kondisi pemberontakan aki- bat invasi ke Irak pada 2003. Gerakan yang terjadi di Afga- nistan pada dekade terakhir Perang Dingin kini mendomi- nasi masalah keamanan dunia pasca-Perang Dingin. Indo- nesia, misalnya, masih harus berhadapan dengan penga- Greg Barton* ISIS MEMILIKI PROPAGANDA YANG LEBIH CANGGIH DARIPADA SEMUA JARINGAN TERORIS SEBELUMNYA. VIDEO, FACEBOOK, DAN MAJALAH ELEKTRONIK IKUT BERPERAN MEMBUJUK ORANG TERLIBAT DENGAN GERAKAN TERSEBUT. TAPI YANG PALING BERPERAN IALAH TINDAK LANJUT PERKENALAN DAN PERSAHABATAN PRIBADI. ISIS MENJALANKAN JARINGAN GLOBAL YANG SANGAT EFEKTIF UNTUK MENGIDENTIFIKASI MANGSANYA. ditangkap selama 12 tahun sejak bom Bali pertama. Seba- gian besar telah dituntut melalui proses hukum. Kredit ha- rus diberikan untuk pencegahan serangan. Tapi semua keberhasilan pemerintah Indonesia ini tidak cukup buat menghadapi ancaman ISIS. Gerakan ini telah menyuntik- kan energi baru ke dalam jaringan jihadis di seluruh dunia. Hal ini akan mengubah skala dan masalah terorisme yang dihadapi masyarakat Indonesia. Tantangan yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan ji- hadis atau pejuang yang pergi ke Afganistan dan Pakistan pada 1980-an dan awal 1990-an. Perang Afganistan meng- ubah masalah yang telah mendidih sejak Darul Islam mun- cul pada 1950-an. Gerakan itu dikaitkan dengan ide-ide perjuangan global yang disosialisasi oleh Al-Qaidah. Bebe- rapa ratus orang Indonesia melakukan perjalanan ke Af- ganistan serta kembali dari Afganistan dan Pakistan. Mes- ruh generasi pertama Al-Qaidah. AQI atau Al-Qaidah 2.0 memang berhasil menarik ribu- an jihadis asing. Indonesia saat itu tidak tersentuh gerak- an AQI. Tapi situasinya kini berbeda. Dalam waktu bebera- pa tahun, ISIS atau Al-Qaidah 3.0 telah menarik jumlah pe- muda Indonesia lebih banyak daripada perang Afganistan dalam satu dekade. Iterasi ketiga ”Al-Qaidah” ini merupakan gerakan yang jauh lebih canggih dan berpengaruh daripada sebelum- nya. Karena itu, tantangan yang dihadapi akan bertahan lama. Indonesia, yang sudah terbukti mampu menghadapi tantangan terorisme, kini harus menyiapkan diri mengha- dapi tantangan melawan ekstremisme kekerasan. *) Profesor di Monash University, Australia, dan Direktur Centre for Islam and Modern World. Ia Juga aktif di Global Terrorism Research Centre