ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripada gerakan teroris sebelumnya, menggunakan video, media sosial, dan majalah daring untuk merekrut pendukung. Meski Indonesia berhasil mencegah serangan teroris, ISIS mampu menarik lebih banyak pemuda Indonesia dibanding konflik Afghanistan, menantang upaya pencegahan ekstremisme kekerasan.
1. 44 | | 5 APRIL 2015
M
UNCULNYA gerakan Negara Is-
lam Irak dan Suriah (ISIS) menge-
jutkan dunia. Jatuhnya Mosul,
kota terbesar kedua di Irak, pada
10 Juni 2014, disusul penakluk-
an permukiman bagian utara Su-
ngai Tigris pada minggu berikut-
nya, yang diikuti deklarasi khalifah pada 29 Juni 2014, be-
nar-benar menakutkan. Dengan karakter kejam dan bru-
tal, daya tarik ISIS bukannya menurun, malah meningkat.
Malah ada ribuan ”pejuang” asing yang bergabung dengan
khalifah baru itu.
KitaterkejutdenganmunculnyaISISbukankarenakeha-
diran gerakan itu tidak terduga, melainkan karena kita ti-
dak ingin melihatnya. Misalnya dengan melihat ribuan pe-
muda diculik dan dilarikan untuk mendukung perjuangan
ISIS. Secara global, angka pendukung ISIS saat ini diperki-
rakan melebihi 22 ribu orang. Jumlah ini terlalu besar un-
tuk diabaikan. Tapi sayangnya masih banyak negara, ter-
utama di Asia Tenggara, yang enggan mengakui skala ma-
salah yang dihadapi.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, In-
donesia sudah mengakui ISIS bisa menjadi masalah serius.
Tapi, di sisi lain, Indonesia masih berharap dampak dari
ISIS muncul pada skala yang terbatas.
Di Indonesia, sempat ada harapan bahwa daya tarik ISIS
tidak begitu kuat karena negara ini relatif stabil dan terle-
tak jauh dari pusat dunia muslim yang sedang mengalami
kekacauan. Dalam minggu-minggu setelah deklarasi ke-
khalifahan, organisasi-organisasi Islam dan para pemim-
pin Islam dari seluruh spektrum, termasuk Indonesia, me-
nolak legitimasi ISIS. Muslim Indonesia tidak ingin terlibat
dalam proyek kekerasan ISIS. Ketika Mosul jatuh, relatif se-
dikit warga Indonesia tertarik ikut ”berjuang” di tengah
konflik yang berkecamuk.
Situasi tadi jauh berbeda pada akhir tahun lalu ketika ra-
tusan orang telah tergoda oleh iterasi terbaru Al-Qaidah
itu. Mendekati April 2015, angka penduduk Indonesia yang
mendukung ISIS belum jelas. Namun ada perkiraan angka
terendah di sekitar 200 orang. Tapi banyak pengamat, ter-
masuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ber-
pendapat bahwa lebih dari 600 orang Indonesia telah ber-
gabung baik dengan ISIS maupun Jabhat al-Nusra.
Meski begitu, ada beberapa alasan agar tidak membesar-
besarkan ancaman ISIS. Pertama, terorisme bekerja de-
nganmemanfaatkansituasi, melalui provokasi yangmemi-
cu kemarahan. Hal ini terlihat jelas dalam serangan 11 Sep-
tember Al-Qaidah, yang diperkirakan menelan biaya US$
500 ribu. Insiden itu mengakibatkan triliunan dolar dan
ratusan ribu nyawa dihabiskan buat memerangi Al-Qai-
dah. Ironisnya, situasi itu malah menyediakan kondisi ide-
al bagi Al-Qaidah untuk tumbuh di negara tempat mereka
sebelumnya tidak ada. Situasi ini mirip dengan kesalahan
yang dibuat Indonesia ketika merespons gerakan Darul Is-
lam pada 1980-an, yang kemudian meletakkan dasar bagi
kemunculan Jamaah Islamiyah.
Kedua, kita tahu bahwa masalah terorisme meningkat
secara global. Dampaknya paling terasa di negara yang
menghadapi kegalauan politik. Tahun lalu, misalnya, 80
persen serangan terorisme yang menyebabkan hilangnya
nyawa terjadi di lima negara saja, yakni Afganistan, Pakis-
tan, Irak, Suriah, dan Nigeria. Sebagai negara demokratis,
Indonesia tidak hanya membawa ancaman terorisme, tapi
juga telah menjadi kisah sukses dunia muslim.
Kita yakin bahwa ISIS memiliki sedikit dukungan di In-
donesia,tapiadarisikobesarbilakitameremehkanancam-
an perekrutannya. Apalagi pengalaman terakhir dari radi-
kalisasi ISIS yang muncul di seluruh dunia menunjukkan
bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih
besar dari sebelumnya.
Di Australia saja, misalnya, 160 pemuda sudah terlibat
pertempuran di Irak dan Suriah. Lebih dari 30 telah tewas
dan sekitar 100 orang saat ini ikut berperang dengan ISIS.
Beberapa di antara mereka datang dari keluarga baik-baik.
Memang masyarakat Australia tidak sempurna dan ada
alasankaummudamuslimnyamerasaterasing.Namunhal
itu sama sekali tidak bisa menjelaskan tingkat radikalisa-
si di Australia sama dengan di Prancis, yang memiliki ting-
kat pengangguran kaum muda lebih tinggi dan persoalan
diskriminasi lebih serius. Artinya, faktor penarik (pull fac-
tors) lebih besar daripada faktor pendorong (push factors),
dan itu sangat berperan membetot kaum muda rela men-
dukung proyek kekhalifahan ISIS.
Hal yang sama terjadi di Indonesia. Dengan melihat jum-
lah kasus radikalisme yang meningkat tajam di Asia, ke-
adaan di Indonesia bisa jadi akan lebih buruk. Masalahnya
bukan terletak pada masyarakat Indonesia atau pada Is-
lam ”mainstream” di Indonesia. Soalnya, ISIS terampil me-
TANTANGAN
DAYA TARIK ISIS
2. 5 APRIL 2015 | | 45
manfaatkan jaringan sosial untuk menargetkan mangsa-
nya. ISIS memiliki propaganda yang lebih canggih daripa-
da semua jaringan teroris sebelumnya. Video, Facebook,
danmajalahelektronikikutberperanmembujukorangter-
libat dengan gerakan tersebut. Tapi yang paling berperan
ialah tindak lanjut perkenalan dan persahabatan pribadi.
ISIS menjalankan jaringan global yang sangat efektif untuk
mengidentifikasi mangsanya.
Indonesia memberikan peluang yang besar buat rekrut-
men ISIS. Luasnya jaringan mapan para ekstremis menye-
diakanISISbegitubanyakkesempatan.Haliniterlepasdari
kenyataan bahwa polisi telah melakukan pekerjaan luar
biasa menanggulangi terorisme. Lebih dari seribu orang
ki banyak alumnus Afganistan tidak mau melanjutkan se-
rangan teroris di Indonesia pasca-Soeharto, faksi jaringan
JamaahIslamiyahmemilikilinkyangkuatdenganalumnus
Afganistan. Apa yang terjadi di Afganistan lebih dari dua
dekade lalu tetap menimbulkan bayangan kelam di Asia
Tenggara.
Al-Qaidah Irak (AQI), juga dikenal sebagai Negara Islam
Irak (ISI), yang kemudian menjadi Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS), dibentuk dalam kondisi pemberontakan aki-
bat invasi ke Irak pada 2003. Gerakan yang terjadi di Afga-
nistan pada dekade terakhir Perang Dingin kini mendomi-
nasi masalah keamanan dunia pasca-Perang Dingin. Indo-
nesia, misalnya, masih harus berhadapan dengan penga-
Greg Barton*
ISIS MEMILIKI PROPAGANDA YANG LEBIH CANGGIH DARIPADA
SEMUA JARINGAN TERORIS SEBELUMNYA. VIDEO, FACEBOOK, DAN
MAJALAH ELEKTRONIK IKUT BERPERAN MEMBUJUK ORANG TERLIBAT
DENGAN GERAKAN TERSEBUT. TAPI YANG PALING BERPERAN IALAH
TINDAK LANJUT PERKENALAN DAN PERSAHABATAN PRIBADI. ISIS
MENJALANKAN JARINGAN GLOBAL YANG SANGAT EFEKTIF UNTUK
MENGIDENTIFIKASI MANGSANYA.
ditangkap selama 12 tahun sejak bom Bali pertama. Seba-
gian besar telah dituntut melalui proses hukum. Kredit ha-
rus diberikan untuk pencegahan serangan. Tapi semua
keberhasilan pemerintah Indonesia ini tidak cukup buat
menghadapi ancaman ISIS. Gerakan ini telah menyuntik-
kan energi baru ke dalam jaringan jihadis di seluruh dunia.
Hal ini akan mengubah skala dan masalah terorisme yang
dihadapi masyarakat Indonesia.
Tantangan yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan ji-
hadis atau pejuang yang pergi ke Afganistan dan Pakistan
pada 1980-an dan awal 1990-an. Perang Afganistan meng-
ubah masalah yang telah mendidih sejak Darul Islam mun-
cul pada 1950-an. Gerakan itu dikaitkan dengan ide-ide
perjuangan global yang disosialisasi oleh Al-Qaidah. Bebe-
rapa ratus orang Indonesia melakukan perjalanan ke Af-
ganistan serta kembali dari Afganistan dan Pakistan. Mes-
ruh generasi pertama Al-Qaidah.
AQI atau Al-Qaidah 2.0 memang berhasil menarik ribu-
an jihadis asing. Indonesia saat itu tidak tersentuh gerak-
an AQI. Tapi situasinya kini berbeda. Dalam waktu bebera-
pa tahun, ISIS atau Al-Qaidah 3.0 telah menarik jumlah pe-
muda Indonesia lebih banyak daripada perang Afganistan
dalam satu dekade.
Iterasi ketiga ”Al-Qaidah” ini merupakan gerakan yang
jauh lebih canggih dan berpengaruh daripada sebelum-
nya. Karena itu, tantangan yang dihadapi akan bertahan
lama. Indonesia, yang sudah terbukti mampu menghadapi
tantangan terorisme, kini harus menyiapkan diri mengha-
dapi tantangan melawan ekstremisme kekerasan.
*) Profesor di Monash University, Australia, dan Direktur Centre for
Islam and Modern World. Ia Juga aktif di Global Terrorism Research
Centre