1. PERPUSTAKAAN BUKANLAH KUBURAN
Oleh
Destiana Dwi Pratiwi
Mahasiswa Prodi Perpustakaan dan Informasi
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2011
Sepi, indentiknya perpustakaan di negara kita. Aturan tidak boleh bersuara,
tidak boleh berdiskusi, tidak boleh membaca sambil mendengarkan musik, dan
berbagai larangan lainnya diberlakukan dalam perpustakaan jika demikian apakah
fungsi perpustakaan sebagai pusat edukasi, penelitian, dan hiburan akan dapat
terlaksana dengan optimal? Apakahakan meningkatkan minat baca masyarakat,
sedangkan salah satu tujuan perpustakaan adalah untuk meningkatkan dan
mendayagunakan minat baca masyarkat? Layaknya kuburan dengan suasana yang
sepi, tidak bersuara, tidak ada yang berani berdiskusi disana apalagi mendengarkan
musik. Apa bedanya dengan perpustakaan? Jika didalam kuburan berisi jenazah
yang tidak bernyawa, di perpustakaan sendiri tidak jauh berbeda karena isinya
2. kumpulan buku yang tidak bernilai karena ditinggalkan penggunanya (masyarakat)
karena merasa jenuh dan sia-sia berada di perpustakaan dengan berbagai
batasannya tersebut, sehingga informasi yang terdapat di dalam kumpulan buku
tersebut tidak lagi dimanfaatkan. Hal yang memilukan memang, saat perpustakaan
disama derajatkan dengan kuburan.
Suasana yang kaku, layaknya kuburan yang hampir jarang terjadi interaksi
dan komunikasi merupakan suasana yang membosankan untuk sebagian orang,
informasi yang diperoleh pun akan berpengaruh. Contohnya saja, ketika beberapa
pengunjung datang ke perpustakaan secara berkelompok ketika untuk melakukan
diskusi terhadap salah satu buku yang terdapat di perpustakaan berkaitan dengan
mata kuliah mereka, namun ketika disana mereka dilarang untuk berdiskusi, tentu
saja tujuan mereka datang ke perpustakaan tidak dapat dilaksanakan. Selain itu,
terjadi anggapan yang keliru tentang kondisi kondusif. Banyak perpustakaan yang
menganggap kondisi kondusif itu kondisi yang jauh dari aktifitas berbicara maupun
mendengarkan musik. Seharusnya, sebagai pusat informasi yang berfungsi
meningkatkan pendidikan, mendukung penelitian bahkan hiburan untuk
meningkatkan intelektual, kritis, dan kreatifitas penggunanya, perpustakaan harus
mampu membuat suasana perpustakaan hidup dan menarik. Bukan suasana mati
yang diciptakan layaknya kuburan. Dengan demikian akan semakin banyak
masyarakat kita yang mengunjungi perpustakaan untuk membaca, berdiskusi,
melakukan observasi bahan pustaka untuk mendukung penelitian dengan nyaman
tanpa rasa kantuk. Perpustakaan pun dapat menjalakan fungsinya secara optimal.
Kondisi perpustakaan dengan banyaknya larangan tersebut akan memberikan
dampak buruk bagi minat baca masyarakat. Terbukti oleh penelitian bidang statistik
yang menunjukkan hanya 23,5% dari total penduduk terhadap minat baca dengan
kondisi perpustakaan yang statis, berbeda jauh dengan negara lain yang hampir
75% penduduknya memiliki minat baca dengan kondisi perpustakaan yang
dinamis. Hal tersebut berarti, Indonesia memiliki penduduk yang minat bacanya
paling sedikit jika dibandingkan dengan penduduk di negara lain yang memiliki
kondisi perpustakaan yang hidup. Menurut Sulistyo Basuki, “Suatu perpustakaan
3. menggambarkan peradaban suatu tempat, semakin baik perpustakaan tersebut
beserta isinya maka peradabannya pun semakin maju”. Pernyataan tersebut
perpustakaan yang hidup dan dinamis, yang sangat diminati masyarakatnya
menunjukkan peradaban yang tinggi.
Pentingnya perpustakaan yang hidup dan dinamis, karena perpustakaan
tersebut akan semakin diminati masyarakat sebagai salah satu tujuan perpustakaan.
Dengan tingginya minat baca masyarakat, akan meningkatkan sikap kritis untuk
terus berfikir dan menciptakan perubahan yang bernilai tinggi untuk
keberlangsungan hidup negara kita. Minat baca yang tinggi secara tidak langsung
membuat masyarakat yang berkunjung ke perpustakaan akan memilih bahan bacaan
yang mereka minati untuk dibaca bahkan informasi yang bernlai baiknya akan
dikembangkan dan diaplikasikan. Pelaksanaan sistem seperti itu sudah diterapkan
di beberapa negara lain, sudah seharusnya diterapkan pula oleh negara kita.
Perpustakaan negara kita perlu berkaca pada perpustakaan negara lain.
Contohnya saja, perpustakaan British di negara Inggris. Perpustakaan tersebut
bukan hanya sudah terkomputerisasi tetapi juga layanannya yang memuaskan. Jika
kita berkunjungan ke sana, kita akan
disambut dengan alunan musik indah,
yang lembut ditelinga kita. Disana pun
kita akan dilayani dengan baik dan
ramah. Selain itu, kita tidak hanya dapat
membaca dan meminjam buku tetapi
juga dapat menyaksikan film yang
berwawasan ilmu pendidikan, disediakan
tempat untuk forum diskusi, simponsium, dan seminar.
Mungkin benar dengan kondisi perpustakaan statis dianggap mampu
meningkatkan kosentrasi para pengunjung perpustakaan, namun apakah mampu
untuk meningkatkan minat baca? Tentu saja tidak demikian, justru perpustakaan
4. yang dinamis, dimana pengunjung perustakaannya nyaman dengan suasana
perpustakaan tersebut yang diiringi musik instrumen klasik yang tidak terlalu keras
untuk didengar dan tidak menggangu konsetrasi, perpustakaan yang
pengunjungnya dapat berinteraksi dengan pengunjung lainnya atau bahkan
pustakawan lewat diskusi, itulah yang dapat meningkatkan minat baca dan
memberikan wawasan yang luas namun tetap dapat berkonsentrasi.
Selain perlunya berkaca kepada negara lain, perlu pula mengintip kondisi
sebuah komunitas literer di negara kita sendiri yang mampu meningkatkan minat
baca masyarakat kita. Sebuah komunitas yang menjadi wadah bagi anggotanya
untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan serta upaya yang mendukung literasi
melalui kegiatan yang berbasis kepada berbagai aktifitas, tidak hanya membaca dan
menulis tetapi juga meapresiasi dan mengembangkan hobi. Komunitas yang dicetus
pertama kali oleh toko buku kecil (Tobucil) pada acara Book’s Days Out 17
September 2005 di Rumah Buku.
Komunitas yang mendukung gerakan literasi tingkat lokal, yang berharap
dapat mempengaruhi pihak yang terkait dalam aktifitas literasi ini memanfaatkan
koleksi-koleksi bahan bacaannya dengan berbagai layanan yang menarik.
Pengunjung yang datang dapat membaca buku yang diminati dengan menikmati
kue kecil ataupun minuman yang mereka pesan, diiringi musik klasik yang tidak
keras, dan enak didengar. Selain itu, pengunjung yang datang berkelompok
disediakan tempat yang dapat digunakan untuk melakukan diskusi dengan suasana
nyaman, dilengkapi fasilitas Hot Spot. Komunitas literer tersebut menjadi wadah
anggota-anggotnya untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berupaya
mendukung kegiatan literasi melalui kegiatan berbasis pada berbagai aktifitas tidak
hanya baca tulis tetapi juga apresiasi dan juga pengembangan hobi. Dengan kata
lain, komunitas literer mengartikan literasi bukan hanya sekedar kemampuan
membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan membaca suasana sekitar cecara
kritis dan cerdas, serta keberanian untuk memahami diri sebagai pribadi yang
mandiri dan memiliki potensi untuk berkembang, membuat perubahan yang
5. bernilai guna tinggi. Hal tersebut perlu menjadi fikiran ulang suasana perpustakaan
untuk memberikan batasan-batasan kepada penggunanya.
Apa yang dapat dilakukan kepada perpustakaan? Misalkan saja menjadikan
perpustakaan berbasis komunitas, yang menyediakan informasi dengan
karakteristik komunitasnya, baik isi bahan koleksi serta kenyamanan tempat,
kelengkapan fasilitas pelayanan, kemudahan mengakses informasi, keramahan
dalam pelayanan, musik bahkan kafe yang menyediakan makan dan minuman yang
dapat dikonsumsi saat membaca tanpa harus mengganggu kinerja perpustakaan
tersebut. Sebuah inovasi yang bertujuan menjadikan perpustakaan lebih hidup,
dinamis, dan diminati masyarakatnya bukan bermaksud merusak perpustakaan.
Karena pada hakikatnya perpustakaan bukanlah kuburan.