Teks tersebut membahas tentang:
1) Latar belakang FCTC sebagai traktat kesehatan internasional dan implikasi belum diratifikasinya oleh Indonesia
2) Tanggung jawab konstitusional negara untuk melindungi kesehatan warganya, terutama dari bahaya rokok
3) Pentingnya payung kebijakan yang mengintegrasikan pengendalian konsumsi dan pasokan rokok
Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas
1. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 1
Pelurusan Tafsir Tentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)
dalam Upaya Mewujudkan Pembangunan Bangsa yang Berkualitas
“Pembangunan Nasional harus berwawasan kesehatan,
yaitu setiap kebijakan publik selalu memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan”.
UU No. 1 / 2007 tentang (RPJP) di poin IV.1.2 angka 4
I. Pendahuluan
1. FCTC sebagai Traktat Internasional Bidang Kesehatan
Framework
Convention
on
Tobacco
Control
(FCTC)
atau
Konvensi
Kerangka
Kerja
Pengendalian
Tembakau
adalah
perjanjian
internasional
kesehatan-‐masyarakat
pertama
sebagai
hasil
negosiasi
dari
192
negara
anggota
Organisasi
Kesehatan
Sedunia
WHO.
FCTC
merupakan
dokumen
berbasis
bukti
ilmiah
untuk
menegaskan
bahwa
setiap
orang
berhak
mendapatkan
derajat
kesehatan
setinggi-‐tingginya.
FCTC
merupakan
produk
hukum
internasional
yang
bersifat
mengikat
(internationally
legally
binding
instrument)
bagi
negara-‐
negara
yang
meratifikasinya.
Tujuan
FCTC
dan
protokolnya
adalah
untuk
melindungi
generasi
muda
bangsa
di
masa
kini
dan
masa
mendatang
dari
dampak
konsumsi
tembakau
dan
paparan
asap
rokok,
baik
di
bidang
kesehatan,
sosial,
ekonomi
dan
lingkungan,
melalui
sebuah
kerangka
kerja
(framework)
pengendalian
tembakau
yang
akan
dilaksanakan
oleh
negara
para
pihak
di
tingkat
nasional,
regional
dan
internasional,
dalam
rangka
menurunkan
prevalensi
konsumsi
tembakau
dan
paparan
asap
rokok
secara
berkesinambungan.
Dalam
United
Nations
Summit
on
Non-‐Communicable
Diseases
(NCDs),
New
York,
19-‐20
September
2011,
segenap
Kepala
Pemerintahan
sepakat
untuk
mengingatkan
terhadap
ancaman
peningkatan
empat
penyakit
tidak
menular
utama,
yakni
(i)
penyakit
cardio
vasculer
atau
stroke
yang
menyebabkan
37%
kematian,
(ii)
kanker
yan
merupakan
27%
penyebab
kematian,
(iii)
gangguan
pernafasan
dan
pencernaan
khronis
yang
merupakan
30%
penyebab
kematian,
dan
(iv)
diabetes
yang
merupakan
4%
penyebab
kematian,
dengan
empat
penyebab
utama,
yakni
(i)
konsumsi
alkohol,
(ii)
konsumsi
tembakau,
(iii)
diet
yang
tidak
sehat
dan
(iv)
kekurangan
aktivitas
fisik.(United
Nations,
2012)
2. Ratifikasi / Aksesi dan implikasinya
Walau
delegasi
Indonesia
berperan
sangat
aktif
dalam
persiapan
traktat
internasional
bidang
kesehatan,
Framework
Convention
on
Tobacco
Control
(FCTC),
termasuk
keterlibatannya
dalam
beberapa
pertemuan
International
Negotiating
Body
(INB).
Namun
ternyata
sampai
hari
ini
Pemerintah
Indonesia
merupakan
salah
satu
dari
sebagian
kecil
negara
di
dunia
yang
tidak
bersedia
menandatangani
dan
belum
mengaksesi
FCTC.
Indonesia,
bersama-‐sama
dengan
negara-‐negara
Zimbabwe,
Malawi,
Eritrea
dan
Somalia
di
Afrika,
serta
Lichtenstein,
Monaco
dan
Andora
di
Eropa,
adalah
sekelompok
kecil
Lampiran
2
2. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 2
negara
yang
tidak
menandatangani
dan
belum
mengaksesi
FCTC.
Indonesia
adalah
satu-‐
satunya
anggota
ASEAN,
juga
satu-‐satunya
anggota
Organisasi
Konperensi
Islam
(OKI)
yang
belum
menandatangani
/
mengaksesinya,
walaupun
secara
bersama-‐sama,
baik
ASEAN
maupun
OKI
telah
lama
memberikan
dukungan
dan
komitmen
nya
dalam
mendukung
FCTC.
Negara-‐negara
penghasil
tembakau
terbesar
dunia
seperti
Tiongkok
dan
India,
bahkan
sudah
meratifikasi,
tanpa
menimbulkan
gejolak
dalam
kehidupan
petani
dan
pekerja
industri
tembakau,
maupun
dalam
perdagangan
tembakau
internasional
mereka.
Akibatnya
Indonesia
tdak
menjadi
anggota
Conference
of
the
Parties
(COP)
dari
traktat
internasional
tersebut,
sehingga
Indonesia
tidak
memiliki
wakil
dan
tidak
dapat
berperan
dalam
berbagai
pengambilan
keputusan
yang
diambil
oleh
Parties
tersebut,
dalam
kaitan
dengan
pengendalian
dan
perdagangan
tembakau
internasional.
Hal
ini
sangat
merugikan
secara
substanstif
strategis
maupun
secara
politis,
karena
negara
demokratis
ke
empat
terbesar
di
dunia
ini,
tidak
terwakili
dalam
COP
tsb.
Bilamana
hadir,
Indonesia
hanya
berstatus
sebagai
peninjau,
yang
tak
berhak
memasang
bendera
R.I.,
tak
berhak
bicara,
dan
harus
duduk
di
belakang
Timor
Leste,
Vietnam
atau
Kamboja.
3. Tanggung Jawab Konstitusional Negara
Pada
hakikatnya
tanggung
jawab
Negara
dalam
melindungi
segenap
warga
Negaranya
terhadap
berbagai
bentuk
ancaman,
termasuk
perlindungan
terhadap
ancaman
bahaya
produk
tembakau,
adalah
merupakan
amanat
konstitusi.
Sementara
ancaman
bahaya
asap
rokok
terhadap
kesehatan
manusia
dan
lingkungannya,
kini
semakin
luas
disadari.
Bahkan
beberapa
studi
SUSENAS
yang
dilaksanakan
Biro
Pusat
Statistik
(BPS),
yang
menempatkan
belanja
untuk
rokok
pada
keluarga
miskin
menempati
nomor
urut
ke
dua
setelah
pembelian
beras,
memperkuat
hubungan
antara
konsumsi
rokok
dengan
hambatan
dalam
peningkatan
pendidikan,
kesehatan
masyarakat
dan
upaya
penanggulangan
kemiskinan.
Tanggung
jawab
Negara
dalam
melindungi
rakyatnya,
harus
dimaknai
secara
umum
dan
luas,
baik
dalam
perlindungan
di
bidang
kesehatan,
maupun
perlindungan
dan
keadilan
bagi
petani
tembakau
maupun
pekerja
industri,
tanpa
harus
mempertentangkan
kepentingan
kesehatan
dan
kepentingan
petani
dan
pekerja
industri
tembakau.
4. Payung kebijakan
Pendekatan
pengendalian
konsumsi
Tembakau
(demand
reduction)
dan
pengendalian
pasokan
produk
Tembakau
(supply
reduction)
dalam
FCTC
tentu
tidak
bermaksud
mempertentangkan
antara
antara
kepentingan
sektor
kesehatan
dengan
sektor
industri.
Justru
tugas
kostitusional
Negara
dan
Pemerintah
untuk
melaksanakan
harmonisasi,
agar
kesehatan
masyarakat
terlindungi,
tanpa
hatus
mengorbankan
kepentingan
petani
dan
pekerja
industri
tembakau.
Indonesia adalah satu-satunya anggota ASEAN, juga satu-satunya anggota Organisasi
Konperensi Islam (OKI) yang belum menandatangani / mengaksesi FCTC.
3. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 3
Kalau
pemerintah
Tiongkok,
Brazil
dan
India
yang
masing-‐masing
merupakan
penghasil
dari
42,25%,
10,98%
dan
10,62%
tembakau
dunia,
dibanding
Indonesia
sebagai
penghasil
1,91%,
telah
meratifikasi
FCTC
dan
berhasil
menyeimbangkan
antara
supply
dan
demand
tembakau
di
negara
mereka
masing-‐masing,
bahkan
berhasil
meningkatkan
tataniaga
tembakau
mereka
dipasar
global,
diharapkan
Negara
dan
Pemerintah
Indonesia
juga
sanggup
mengembangkan
kebijakan
payung
yang
mengayomi
kedua
kepentingan
yang
berbeda
namun
sama-‐sama
menuju
kepada
terwujudnya
harkat
dan
martabat
bangsa
tersebut.
II. Pendekatan holistik
Pada
dasarnya
FCTC
merupakan
instrumen
pengaturan
holistik
komprehensif
dalam
pengendalian
tembakau
pada
level
global,
regional
dan
nasional.
Inisiatif
penyusunan
FCTC
atau
“Konvensi
Kerangka
Kerja
Pengendalian
Tembakau”
berasal
dari
negara-‐negara
berkembang
termasuk
Indonesia,
Thailand
dan
India
karena
terjadinya
peningkatan
prevalensi
perokok
dan
meningkatnya
perdagangan
ilegal
daun
dan
produk
tembakau.
“Konvensi
Kerangka
Kerja
Pengendalian
Tembakau”
adalah
perjanjian
internasional
kesehatan-‐
masyarakat
pertama
sebagai
hasil
negosiasi
192
negara
anggota
Organisasi
Kesehatan
Sedunia
WHO.
FCTC
merupakan
dokumen
berbasis
bukti
ilmiah
untuk
menegaskan
bahwa
setiap
orang
berhak
mendapatkan
derajat
kesehatan
setinggi-‐tingginya.
Delegasi
Indonesia
yang
terdiri
dari
lintas
sektor
seperti
Badan
POM,
Kemenkes
RI,
Kemnaker,
Kemenperin,
Dirjen
Bea
Cukai
Kemenkeu,
Kemenlu
dan
wakil
asosiasi
profesi
dan
LSM,
mengikuti
dan
terlibat
aktif
pembahasan
dan
negoisasi
FCTC
sejak
1995
–
2003.
Sehingga
Indonesia
sebenarnya
salah
satu
negara
yang
membidani
FCTC.
FCTC
terdiri
dari
11
Bab
dan
38
Pasal.
Secara
umum,
pasal-‐pasal
dalam
FCTC
dapat
dikelompokkan
menjadi
dua
kelompok
kebijakan
yang
bersifat
holistik,
komprehensif
serta
saling
mendukung
satu
dengan
yang
lain.
Pertama,
pasal-‐pasal
pengendalian
permintaan
konsumsi
tembakau
(demand
reduction)
yang
terdiri
atas:
1. Paparan
Asap
Rokok
Orang
Lain
(Pasal
8)
2. Iklan
Promosi
dan
Sponsor
Rokok
(Pasal
13)
3. Harga
dan
Cukai
(Pasal
6)
4. Kemasan
dan
Pelabelan
(Pasal
11)
5. Kandungan
Produk
Tembakau
dan
Pencantuman
Produk
Tembakau
(Pasal
9
dan
10)
6. Edukasi,
Komunikasi,
Pelatihan
dan
Kesadaran
Publik
(Pasal
12)
7. Program
Mengatasi
Ketergantungan
dan
Berhenti
Merokok
(Pasal
14)
Delegasi Indonesia yang
terdiri dari Badan POM,
Kemenkes RI, Kemnaker,
Kemenperin, Dirjen Bea
Cukai Kemenkeu, Kemenlu
dan wakil asosiasi profesi
dan LSM, mengikuti dan
terlibat aktif pembahasan
dan negoisasi FCTC sejak
1995 – 2003. Sehingga
Indonesia sebenarnya salah
satu negara yang membidani
FCTC.
4. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 4
Kedua
pasal-‐pasal
pengendalian
pasokan
tembakau
(supply
reduction)
yang
terdiri
atas
1. Perdagangan
iIlegal
Produk
Tembakau
(Pasal
15)
2. Penjualan
pada
Anak
di
Bawah
Umur
(Pasal
16)
3. Penyediaan
dukungan
untuk
kegiatan
alternatif
(pasal
17)
Dari
pendekatan
partial
ke
holistik
Negara,
pemerintah
dan
masyarakat
seharusnya
dapat
memandang
pendekatan
supply
dan
demand
reduction
tersebut
secara
holistik,
sebagai
bagian
dari
perlindungan
dan
pemenuhan
hak-‐hak
segenap
warga
negara,
dan
tidak
mempertentangkan
antar
keduanya.
Perlindungan
terhadap
hak
atas
kesehatan
masyarakat,
seharusnya
tidak
dipertentangkan
dengan
kepentingan
petani
dan
pekerja
industri,
karena
sebagai
sesama
bagian
dari
warga
negara
dan
masyarakat
Indonesia,
semuanya
memiliki
dasar
legal
yuridis
untuk
memperoleh
hak-‐haknya.
UUD
45
pasal
28
ayat
1
menjamin
setiap
warga
negara
untuk
“hidup
sejahtera
lahir
dan
bathin,
bertempat
tinggal
dan
mendapatkan
lingkungan
hidup
yang
baik
dan
sehat
serta
berhak
memperoleh
pelayanan
kesehatan”.
Sementara
UU
No.
1
Tahun
2007
tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
(RPJP)
di
poin
IV.1.2
angka
4
tentang
Mewujudkan
Bangsa
Yang
Berdaya
Saing
menegaskan,
bahwa
“Pembangunan
Nasional
harus
berwawasan
kesehatan,
yaitu
setiap
kebijakan
publik
selalu
memperhatikan
dampaknya
terhadap
kesehatan”.
Sedang
UU
No.
19
Tahun
2013
tentang
Perlindungan
dan
Pemberdayaan
Petani,
memberikan
pedoman
bagi
perlindungan
dan
pemberdayaan
petani,
termasuk
petani
tembakau,
yang
sebagian
besar
masih
masuk
katagori
warga
masyarakat
yang
termarginalkan
di
negara
agraris
ini.
III. Beberapa tafsir utama dan relevansinya dengan Perundang-Undangan
Adapun
beberapa
kandungan
dalam
pasal-‐pasal
dalam
FCTC
yang
selama
ini
selalu
diperdebatkan
terutama
meliputi
pengaturan
–pengaturan
tentang
:
1. Pengaturan kandungan rokok dan larangan bau aromatik / standarisasi
bahan baku:
Pengaturan
ini
yang
ditafsirkan
berpotensi
mematikan
industri
rokok
kretek.
Sesungguhnya
aturan
ini
secara
substantif
bernuansa
melindungi
konsumen/Generasi
muda/pihak-‐pihak
dari
akibat
kandungan
nikotin
dalam
rokok.
Secara
juridis
Negara
dibenarkan
untuk
melakukan
pengaturan
seperti
ini
dengan
tetap
menyesuaikan
dengan
hukum
Negara
masing-‐masing.
Tiongkok, Brazil dan India yang masing-masing merupakan penghasil dari
42,25%, 10,98% dan 10,62% tembakau dunia, dibanding Indonesia sebagai
penghasil 1,91%, telah meratifikasi FCTC dan berhasil menyeimbangkan antara
supply dan demand tembakau di negara mereka masing-masing
5. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 5
2. Pengaturan Tentang diversifikasi / alih tanam usaha tani.
Diversifikasi/alih
tanam
dalam
budi
daya
tanaman
tembakau
sesungguhnya
merupakan
alternatif
terakhir
dari
upaya
perlindungan
petani
tembakau.
Apalagi
bila
diingat
bahwa
tembakau
adalah
tanaman
semusim
yang
sangat
memungkinkan
dilaksanakannya
diversifikasi
atau
tumpang
sari
dalam
budi-‐dayanya.
Sesungguhnya
perlindungan
dan
pemberdayaan
petani
tembakau
merupakan
bagian
dari
perlindungan
dan
pemberdayaan
petani
yang
diatur
oleh
UU
no.
19
tahun
2013
tentang
Perlindungan
dan
Pemberdayaan
Petani,
Alih
tanam
hanya
salah
satu
alternative
disamping
pengembangan
usaha
tani
dan
diversifikasi
hasil
produksi
pertanian.
3. Tarif Cukai yang tinggi.
Ditafsirkan
akan
mematikan
pabrikan
menengah
ke
bawah.
Padahal
sesungguhnya
peningkatan
cukai
ditujukan
untuk
menaikkan
harga
rokok,
melindungi
warga
tidak
mampu
dan
anak-‐anak
dari
konsumsi
rokok.
Sementara
peningkatan
cukai,
terlebih
bilamana
kebijakan
ini
diiringi
dengan
pengendalian
import
tembakau,
maka
justru
petani
akan
sangat
diuntungkan
dan
memiliki
posisi
tawar
lebih
tinggi
dalam
mata-‐rantai
tata-‐niaga
Tembakau.
4. Pembatasan interaksi Lembaga Negara dengan industri rokok.
Pembatasan
interaksi
Lembaga
Negara
dengan
industri
rokok
ini
dimaksudkan
untuk
melindungi
kepentingan
masyarakat
dalam
proses
perumusan
kebijakan
perlindungan
kesehatan
dari
akibat
rokok.
Lembaga
Negara
tetap
dipersilahkan
berinteraksi
dengan
industri
rokok
secara
proporsional
secara
terbuka
dan
transparan
dengan
mengutamakan
kepentingan
kesehatan
dan
kepentingan
masyarakat.
5. Pengaturan tentang pelarangan CSR industri rokok.
Pengaturan
ini
sangat
sejalan
dengan
pengaturan
CSR
secara
global,
dimana
semua
produk
mengandung
zat
adiktif,
dalam
hal
ini
termasuk
tembakau,
alkohol
serta
NAPZA,
tidak
dibenarkan
untuk
menyelenggarakan
program
CSR.
Hal
ini
dikhawatirkan
program
CSR
tersebut
akan
dimanfaatkan
untuk
menunjang
kepentingan
pemasaran
maupun
advertensi,
yang
secara
umum
tidak
dibenarkan
dilakukan
oleh
industri
zat
adiktif
tersebut.
Sementara
itu
secara
garis
besar
FCTC
memberikan
beberapapengaturan
dasar
sbb:
1. Perlindungan terhadap hak-hak rakyat
Konsumsi
produk
tembakau
di
Indonesia
yang
tinggi
dan
terus
meningkat
di
berbagai
kalangan
masyarakat
mengancam
kesehatan
dan
kualitas
sumber
daya
manusia
Indonesia.
Konsumsi
produk
tembakau
terbukti
sebagai
faktor
risiko
utama
penyakit
Lebih dari 92 juta orang terpapar asap rokok yang sebagian besar
diantaranya adalah anak-anak dan perempuan. Bahkan 11 juta
diantaranya adalah balita (usia 0 – 4 tahun
(RISKESDAS 2010 l)
6. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 6
jantung
dan
pembuluh
darah
(hipertensi,
stroke,
serangan
jantung),
penyakit
paru-‐paru,
kanker,
gangguan
sistem
reproduksi
(infertilitas,
lahir
prematur)
dan
kematian
bayi
yang
merupakan
60%
penyebab
kematian
di
dunia
maupun
di
Indonesia
(RISKESDAS
2007,
WHO
2008).
Selain
itu
kebiasaan
merokok
juga
merugikan
orang-‐orang
di
sekitar
perokok.
Menurut
RISKESDAS
2010
lebih
dari
92
juta
orang
terpapar
asap
rokok
yang
sebagian
besar
diantaranya
adalah
anak-‐anak
dan
perempuan.
Bahkan
11
juta
diantaranya
adalah
balita
(usia
0
–
4
tahun).
Secara
ekonomi
perilaku
merokok
merusak
ekonomi
rumah
tangga
dan
menghambat
pengentasan
kemiskinan.
Ini
tergambar
dari
prevalensi
perokok
berdasarkan
tingkat
pendapatan
(35%
kelompok
termiskin,
32%
kelompok
terkaya)
(RISKESDAS,
2010).
Sedang
di
kalangan
remaja
15-‐19
tahun
sebesar
38,4%
laki-‐laki
dan
0,9%
perempuan
(RISKESDAS,
2010).
Data
Global
Youth
Tobacco
Survey
(GYTS)
2009,
menunjukkan
20,3%
anak
sekolah
13-‐15
tahun
merokok.
Perokok
pemula
usia
10-‐14
tahun
naik
2
kali
lipat
dalam
10
tahun
terakhir
dari
9,5%
pada
tahun
2001
menjadi
17,5%
pada
tahun
2010
(SKRT,
2001;
RISKESDAS,
2010).
Data
SUSENAS
2011
menunjukan
pengeluaran
untuk
rokok
pada
keluarga
termiskin
lebih
besar
(12%)
dari
pada
keluarga
terkaya
(7%).
Rokok
merupakan
pengeluaran
rumah
tangga
kedua
terbesar
(11,91%)
setelah
beras
(18,03%)
pada
keluarga
miskin
yang
melampaui
pengeluaran
untuk
pendidikan
(1,88%),
dan
kesehatan
(2,02%).
Tingginya
prevalensi
perokok
juga
akan
membebani
negara
yang
akan
memperluas
cakupan
Jaminan
Kesehatan
Nasional
(JKN)
(180
juta
penduduk
per
1
Januari
2014,
seluruh
penduduk
per
1
januari
2019).
Tingginya
prevalensi
perokok
akan
memicu
peningkatan
kesakitan
penyakit
terkait
merokok
yang
akan
menambah
beban
negara
dalam
melaksanakan
Sistem
Jaminan
Kesehatan
Nasional
(SJKN).
Maka
kebijakan
yang
terkandung
dalam
FCTC
seperti
Kebijakan
Kawasan
Tanpa
Rokok,
Kenaikan
cukai
dan
harga
rokok,
Pelarangan
iklan,
sponsor
dan
promosi
merupakan
suatu
upaya
preventif
untuk
mengurangi
prevalensi
perokok
di
kalangan
penduduk.
Upaya-‐upaya
tersebut
merupakan
bentuk
perlindungan
terhadap
hak-‐hak
rakyat:
hak
atas
kesehatan
dan
merupakam
perlindungan
tehradap
hak
anak
dari
paparan
zat
adiktif.
2. Perlindungan terhadap petani dan pekerja industri Tembakau
Agenda
pengendalian
dampak
produk
tembakau
yang
bertujuan
untuk
melindungi
masyarakat
dari
dampak
buruk
tembakau
di
bidang
kesehatan
dan
sosial
ekonomi,
tidak
dimaksudkan
untuk
memarginalkan
petani
dan
pekerja
industri.
Marginalisasi
tersebut
justru
terjadi
karena
kebijakan
dan
praktek
tata
niaga
produk
tembakau
yang
sangat
berpihak
kepada
industri.
Petani
di
Indonesia,
termasuk
petani
tembakau
adalah
bagian
dari
paradoks
kehidupan
masyarakat
petani
Indonesia.
Di
saat
produksi
rokok
meningkat
tajam
dari
220
miliar
20,3% anak sekolah 13-15 tahun adalah
merokok. Perokok pemula usia 10-14 tahun
naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir
dari 9,5% menjadi 17,5% pada tahun pada
tahun 2001-2010 (GYTS)
7. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 7
batang
tahun
2005
menjadi
lebih
dari
300
miliar
batang
tahun
2011.
Produksi
Tembakau
Indonesia
mengalami
penurunan
dari
204
ribu
ton
tahun
2000
menjadi135
ribu
ton
tahun
2010.
Di
saat
yang
sama
import
tembakau
terus
meningkat
dari
34
ribu
ton
tahun
2000
menjadi
65
ribu
ton
tahun
2010.
Permasalahan
yang
dihadapi
oleh
petani
tembakau
adalah
kondisi
musim
dan
cuaca
yang
tidak
menentu,
lemahnya
daya
tawar
petani
terhadap
tengkulak
dalam
tata
niaga
Tembakau
dan
dibukanya
keran
impor
daun
tembakau
sebesar-‐besarnya
dari
luar
negeri.
Banyaknya
permasalahan
yang
dihadapi
petani
Tembakau
menjadikan
kesejahteraan
petani
Tembakau
dihantui
ketidakpastian.
Disisi
lain
semakin
meningkatnya
kesadaran
masayarakat
akan
bahaya
merokok
menjadikan
industri
hasil
Tembakau
sebagai
Sunset
Industry.
Trend
ini
selayaknya
direspon
dengan
menyiapkan
langkah-‐langkah
untuk
membantu
kesejahteraan
petani
dan
pekerja
di
sektor
industri
hasil
tembakau.
FCTC
yang
bagi
oleh
industri
rokok
selalu
dipersepsikan
sebagai
traktat
yang
akan
merugikan
petani
dan
pekerja
industri
Tembakau,
justru
telah
sejak
jauh-‐jauh
hari
memikirkan
kehidupan
petani
tembakau.
Keberpihakan
FCTC
terhadap
petani
dan
pekerja
industri
Tembakau
tergambar
dari
pasal
15
dan
17
FCTC
yang
menyerukan
kepada
seluruh
negara
pihak
untuk
membantu
dan
memastikan
kesejahteraan
petani
dan
pekerja
indunstri
tembakau.
Lebih
jauh
FCTC
juga
mengembangkan
protokol
untuk
menanggulangi
peredaran
dan
penyelundupan
produk
dan
daun
tembakau
ilegal
yang
sangat
merugikan
petani
dan
pelaku
industri
tembakau.
Terlebih
dalam
mata
rantai
tata-‐niaga
tembakau,
petani
adaah
mata
rantai
yang
paling
lemah
dan
tidak
memiliki
posisi
tawar,
namun
selalu
dijadikan
bumper
oleh
industri
untuk
kepentingan
mengeruk
keuntungan
yang
setinggi-‐tingginya.
Substansi
FCTC
tersebut
kiranya
sesuai
dengan
amanat
Undang
Undang
No.19
Tahun
2013
tentang
Perlindungan
dan
Pemberdayaan
Petani
yang
apabila
benar-‐benar
dilaksanakan
dapat
melindungi
dan
meningkatkan
kesejahteraan
petani
tembakau.
Sehingga
tak
ada
lagi
alasan
dan
upaya
untuk
mempertentangkan
antara
kebijaksanaan
dan
upaya
untuk
melindungi
masyarakat
luas
dari
dampak
produk
tembakau
di
bidang
kesehatan
dan
sosial
ekonomi
dengan
bidang-‐bidang
pembangunan
lainnya.
3. Pengendalian
Indonesia
adalah
negara
ke-‐3
tertinggi
di
dunia
dalam
jumlah
perokok
sesudah
Cina
dan
India
(WHO,
2008).
Data
GATS
2011
menunjukkan
prevalensi
merokok
orang
dewasa
Indonesia
sebesar
34,8%
terbagi
atas
67,4%
laki-‐laki,
dan
4,5%
perempuan
(GATS,
2011).
Rokok merupakan pengeluaran rumah tangga kedua terbesar (11,91%) setelah
beras (18,03%) pada keluarga miskin yang melampaui pengeluaran untuk
pendidikan (1,88%), dan kesehatan (2,02%)
(SUSENAS 2011)
8. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 8
Tingginya
prevalensi
juga
seiring
dengan
meroketnya
pertambahan
konsumsi
rokok
di
indonesia.
Setiap
tahun
rata-‐rata
pertambagahan
konsumsi
rokok
sudah
mencapai
30
miliar
batang.
Pada
tahun
2014
diperkirakan
konsumsi
rokok
di
Indonesia
mencapai
360
milliar
batang.
Ada
beberapa
faktor
yang
mendorong
hal
ini
terjadi,
diantaranya
adalah
kebebasan
promosi
dan
konsumsi
serta
harga
yang
masih
sangat
murah.
Berdasarkan
survei
GYTS
2009,
sekitar
90%
anak
usia
13-‐15
tahun
melihat
iklan
rokok
di
televisi,
89%
melihat
iklan
rokok
di
billboard,
dan
76,6%
melihat
iklan
rokok
di
media
cetak.
Berbagai
studi
menunjukkan
iklan
rokok
berpengaruh
pada
anak
untuk
mulai
merokok
dan
meningkatkan
konsumsi
rokok
(UHAMKA,
2009;
Kosen,
2012).
Harga
rokok
yang
masih
berkisar
antara
Rp
300
–
Rp
1000
per
batang
juga
membuat
keterjangkauan
kelompok
miskin
dan
anak-‐anak
terhadap
rokok
masih
sangat
tinggi.
Beberapa
instrumen
pengendalian
tembakau
seperti
pelarangan
total
terhadap
iklan,
sponsor
dan
promosi,
layanan
berhenti
merokok,
peringatan
kesehatan
bergambar
serta
kenaikan
pajak
dan
harga
rokok
terbukti
efektif
untuk
mengendalikan
konsumsi
rokok.
Beberapa
instrumen
tersebut
selaiknya
dilaksanakan
secara
serentak
dalam
satu
paket
untuk
mengendalikan
konsumsi
rokok.
IV. Relevansi dengan Per-undang-undangan
Undang-‐Undang
Dasar
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
Tahun
1945
pasal
28
H
ayat
1
menyebutkan,
bahwa
“Negara
menjamin
hak
warganya
terhadap
pelayanan
kesehatan
untuk
meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat
yang
setinggi-‐tingginya
tanpa
membedakan
suku,
golongan,
agama,
jenis
kelamin,
dan
status
sosial
ekonomi.
Setiap
anak
dan
perempuan
berhak
atas
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi.
Hak
untuk
Hidup
Sehat
atau
the
Right
to
Health
sebagaimana
dijamin
oleh
UUD
1945
tersebut
dikembangkan
lebih
lanjut,
baik
dalam
Undang
Undang
No.
39
Tahun
1999
tentang
Hak
Asasi
Manusia,
maupun
dalam
Undang
Undang
No.
36
Tahun
2009
tentang
Kesehatan.
Bahkan
Undang
Undang
No.
17
Tahun
2007
tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
Nasional
(RPJPN)
Tahun
2005
–
2025
kembali
menggaris-‐bawahi
bahwa
sebagai
upaya
untuk
mewujudkan
sumber
daya
manusia
yang
berkualitas
dan
bangsa
yang
berdaya
saing,
sehingga
”Pembangunan
nasional
harus
berwawasan
kesehatan,
yaitu
setiap
kebijakan
publik
selalu
memperhatikan
dampaknya
terhadap
kesehatan
(IV.1.2.A.4)”.
Sehingga
perlu
disadari,
bahwa
pembangunan
sumber
daya
manusia
yang
berkualitas
dan
bangsa
yang
berdaya
saing
adalah
filosofi
dasar
nation
and
character
building
dari
pembangunan
kebangsaan
kita.
Disi
lain
Indonesia
akan
mengalami
Bonus
Demografi
dalam
kurun
waktu
15
tahun
ke
depan.
Sejak
tahun
2025,
ledakan
kaum
muda
dan
angkatan
kerja
produktif
ini
sangat
Produksi rokok meningkat tajam dari 220
miliar menjadi lebih dari 300 miliar batang
pada tahun 2005-2011. Produksi
Tembakau turun dari 204 ribu ton menjadi
35 ribu ton tahun 2000-2010. Import
tembakau terus meningkat dari 34 ribu ton
menjadi 65 ribu ton tahun 2000-2010.
9. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 9
krusial
dan
akan
menjadi
bencana
apabila
konsumsi
tembakau
tidak
terkendali,
karena
akan
menyebabkan
merosotnya
kualitas
SDM
ke
depan,
dan
rendahnya
kualitas
SDM
tersebut
hanya
akan
menjadi
beban
negara.
Situasi
ini
akan
berakibat
pada
tidak
tercapainya
rasio
ketergantungan
(dependency
ratio)
44,79
yang
diharapkan
akan
tercapai
pada
tahun
2025.
Apapun
alasan
dan
dasar
hukumnya,
kepentingan
bangsa
dan
masyarakat
dalam
mewujudkan
the
right
to
health
tersebut,
tidak
dapat
dipertentangkan
dengan
kepentingan
sektor
lain,
misalnya
perdagangan,
industri,
pertanian
dsb.
Apalagi
Undang
Undang
tentang
RPJPN
tersebut
menegaskan,
bahwa
tujuan
ditetapkannya
Undang
Undang
RPJP
Tahun
2005-‐2025
adalah
a)
mendukung
koordinasi
antar
pelaku
pembangunan
dalam
pencapaian
tujuan
nasional
(Penjelasan,
I.
UMUM).
FCTC
tidak
berpengaruh
langsung
terhadap
ekonomi
terkait
industri
rokok.
Pengalaman
banyak
negara
menunjukkan
pengendalian
tembakau
tidak
secara
signifikan
mempengaruhi
industri
tembakau.
Konsumsi
Tembakau
yang
merupakan
zat
adiktif
bersifat
inelastis
sehingga
tidak
akan
mengalami
penurunan
yang
drastis
apabila
dilakukan
pengendalian.
Negara
China,
Brazil,
dan
India
telah
meratifikasi
FCTC,
namun
negara
tersebut
tetap
menjadi
negara
penghasil
tembakau
tertinggi
di
dunia.
Thailand
yang
telah
meratifikasi
FCTC
sejak
tahun
2004
bahkan
berhasil
meningkatkan
pendapatan
cukai
sebesar
25%.
Jika
diterapkan
dengan
benar,
dalam
jangka
panjang
FCTC
akan
mengurangi
konsumsi
rokok
secara
bertahap.
Hal
ini
akan
menghindarkan
masyarakat
dari
penyakit-‐
penyakit
dan
akan
meningkatkan
kualitas
kesehatan
masyarakat,
menurunkan
biaya
pengobatan
akibat
gangguan
kesehatan
dan
meningkatkan
produktivitas
kerja
yang
akan
meningkatkan
kondisi
perekonomian.
V. Rekomendasi Kebijakan.
Mengingat
berbagai
tantangan
dan
relevansi
Pengendalian
Tembakau
bagi
bangsa
Indonesia
maka
sudah
semestinya
pemerintah
segera
melakukan
aksesi
FCTC,
tentunya
dengan
diikuti
kebijakan
penanganan
dampak
pada
pekerja
rokok
dan
buruh
tani
tembakau
pada
saat
bersamaan.
Oleh
karena
itu,
dukungan
lintas
sektor
dari
sektor
pertanian,
sektor
ketenagakerjaan,
dan
sektor
industri
sangat
diperlukan
untuk
mengatasi
menurunnya
kinerja
sektor
rokok
dan
tembakau.
Keberpihakan FCTC terhadap petani dan pekerja industri Tembakau
tergambar dari pasal 15 dan 17 FCTC yang menyerukan kepada seluruh
negara pihak untuk membantu dan memastikan kesejahteraan petani dan
pekerja indunstri tembakau.
10. Pelurusan Tafsir Tentang FCTC – Indonesia Tobacco Control Network 10
Rujukan:
1. Bunga
Rampai
Fakta
Tembakau;
Permasalahannya
di
Indonesia
tahun
2012,
Tobacco
Control
Support
Center
–
IAKMI
2. Framework
Convention
on
Tobacco
Control
(FCTC),
World
Health
Organization
2003
3. Global
Adult
Tobacco
Survey,
WHO
2011
4. Global
Youth
Tobacco
Survey,
WHO
2009
5. Kosen,
S.
(2009).
Beban
biaya
kesehatan
penyakit
akibat
rokok.
National
Institute
of
Health
Research
Development,
Kementrian
Kesehatan.
Puslitbang
Kemenkes
RI.
6. Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia
Nomor
109
Tahun
2012
Tentang
Pengamanan
Bahan
Yang
Mengandung
Zat
Adiktif
7. Peraturan
Menteri
Kesehatan
No
28
Tahun
2013
Tentang
Pencatuman
Peringatan
Kesehatan
Pada
Produk
Tembakau
8. Resolusi
Perserikatan
Bangsa-‐Bangsa
nomor
66/2,
2012
mengenai
Political
Declaration
of
the
High-‐level
Meeting
of
the
General
Assembly
on
the
Prevention
and
Control
of
Non-‐communicable
Diseases
9. Riset
Kesehatan
Dasar
2007,
2010,
Kementerian
Kesehatan
RI
10. Survey
Sosiaal
Ekonomi
Nasional
(SUSENAS)
2011,
Badan
Pusat
Statistik
11. Studi
Penelitian
Dampak
Keterpajanan
Iklan
dan
Sponsor
Rokok
terhadap
Kognitif,
Afeksi
dan
Perilaku
Merokok
Remaja,
Uhamka
–
Komnas
Anak
2009)
12. Survei
Kesehatan
Rumah
Tangga
(SKRT),
2001,
Kemenkes
RI
13. Undang-‐Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
14. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
8
tahun
1999
tentang
Perlindungan
Konsumen
15. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
39
tahun
1999
tentang
Hak
Asasi
Manusia
16. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
23
tahun
2002
tentang
Perlindungan
Anak
17. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
32
tahun
2002
tentang
Penyiaran
18. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
39
tahun
2007
tentang
Cukai
19. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
17
tahun
2007
tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka
Panjang
20. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
36
tahun
2009
tentang
Kesehatan
21. Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
nomor
19
tahun
2013
tentang
Perlindungan
dan
Pemberdayaan
Petani
22. WHO
Report
on
The
Global
Tobacco
Epidemic,
2008