1. I. PHILOSOPHICAL ETHICS AND BUSINESS DI INDONESIA
Berbicara soal etika bisnis, kita masuk pada pembicaraan yang sifatnya abstrak. Ada
dua hal yang perlu kita mengerti sebelumnya, pertama kata ETIKA dan kedua BISNIS. Etika
merupakan seperangakat kesepakatan umum untuk mengatur hubungan antar orang per orang
atau orang per orang dengan masyarakat, atau masyarakat dengan masyarakat lain.
Etika yang kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, maka lahirlah kebijakan yang
berupa: Undang-undang, hukum, peraturan dsb. Namun selain yang tertulis terdapat juga
yang bersifat tak tertulis. Bentuk tak tertulis tersebut berupa kesepakatan umum dalam
masyarakat atau kelompok masyarakat. Kesepakatan ini kemudian lebih dikenal dengan
etiket, sopan santun, dsb.
Hal yang sama juga terjadi dalam dunia bisnis. Dalam melakukan aktivitasnya, pelaku
bisnis harus memperhitungkan berbagai akibat yang dapat ditimbulkan oleh keputusan
maupun tindakan perusahaan terhadap para stakeholders. Dan didunia bisnis terdapat pula
aturan yang mengatur antar pelaku hisnis. Perangkat aturan itu berupa Undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan presiden, dll.
Hampir seluruh masyarakat dunia menilai perilaku berbohong, mencuri, menipu, dan
menyakiti orang lain sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak bermoral. Sedangkan
perilaku kejujuran, menepati janji, membantu orang lain, dan menghormati hak-hak orang
lain, dipandang sebagai perilaku etis moral. Pemilahan perilaku kedalam berbagai kategori
perilaku etis dan perilaku tidak etis sangat dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara
kesinambungan pelaku bisnis dimanapun didunia ini, termasuk di Indonesia.
Etika bisnis dalam tinjauan di indonesia bisa kita refleksikan pada kondisi krisis
ekonomi sekarang ini. Semakin berlarutnya penanganan krisis membuktikan bahwa etika
bisnis di indonesia masih buruk baik itu di kalangan swasta dalam hal ini pengusaha,
pemerintah baik dari pusat maupun daerah di segala tingkatan. Adanya krisis ekonomi di
indonesia disebabkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak transparan, akuntabel,
tidak memperdulikan kepentingan rakyat dan yang lebih utama adalah maraknya praktek
KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Kinerja pemerintah bisa kita lihat pada gambaran
menyeluruh dari kondisi bangsa kita sekarang ini. Kebijakan ekonomi pada waktu itu bila
ditinjau dalam prespektif etika bisnis banyak yang tidak objektif (masuk akal). Hal itu bisa
dilihat pada angka-angka sebagai indikator ekonominya.
Kita melihat bahwa Indonesia selama 30 tahun sebelum adanya krisis dipandang
sebagai negara yang berhasil dan dipuji Bank Dunia sebagai negara yang pembangunannya
telah berhasil dan dimasukkan sebagai bagian dari keajaiban Asia Timur.Tapi setelah adanya
krisis kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kita terbelenggu oleh utang yang tidak akan
habis sampai dengan sepuluh keturunan anak cucu kita.Di jaman Soeharto utang dianggap
sebagai pendapatan pembangunan, dikatakan utang khususnya luar negeri dalam kondisi
sustainable jika tidak mencapai 20 % dari total GDP. Kondisi ini tentunya akan sangat
memberatkan pemerintah di kemudian harinya. Karena utang adalah indikator dalam
menentukan soliditas keuangan.
Tidak saja masalah utang yang mengakibatkan indonesia didera krisis, masalah
lainnya adalah tentang krisis perbankan di Indonesia. Hal itu terjadi karena bank-bank banyak
yang telah bermain curang. Bank-bank kita telah digerogoti oleh pemiliknya sendiri. Pada
waktu itu bank-bank yang kalah clearing dan harus diskors ditolong oleh pemerintah melalui
fasilitas diskonto. Kejadian itu tidak sekali atau dua kali tapi sudah berlangsung lama.
Dampaknya adalah pada kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Praktek kecurangan
perbankan lainnya adalah tentang pembuatan bank-bank fiktif yang hanya digunakan untuk
menarik modal.
2. Rendahnya etika bisnis yang terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak masuk akal
tercermin juga pada hal lain, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh praktek KKN (korupsi,
kolusi, Nepotisme). Setiap proyek baik proyek yang didanai oleh pihak luar negeri atau
pemerintah selalu digerogoti oleh para koruptor. Yang terjadi kemudian adalah otak kita telah
dipenuhi oleh otak proyek. Karena dengan adanya proyek tersebut dampaknya adalah pada
pemasukan ke kantong-kantong pribadi yang ujung-ujungnya korupsi.
Kalau kita melihat dari fenomena diatas tentunya kesalahan terbesar dalam
memahami keberadaan etika dan moral dalam suatu bisnis di Indonesia terletak pada
kecenderungan untuk memisahkan keduanya dari keberadaan sistem kemasyarakatan. Etika
dan moral dalam pandangan yang berkembang di Indonesia cenderung dilihat sebagai sebuah
variabel yang semata-mata tumbuh dari dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Jadi
tidak diwujudkan dalam sebuah lingkup yang lebih besar misalnya dalam sebuah negara atau
perusahaan.
Dengan demikian, etika dan moral cenderung dipandang sebagai variabel bebas yang
sama sekali tidak tergantung pada kondisi kualitas sistem kemasyarakat secara menyeluruh.
Kecenderungan seperti itu antara lain tampak pada kecenderungan untuk menyamakan
keberadaan etika dan moral seseorang atau sekelompok orang dengan keberadaan mutiara.
Sebagaimana dikemukakan oleh sebuah ungkapan, "Sekali mutiara akan tetap mutiara.
Walaupun dilemparkan ke dalam lumpur sekali pun, ia akan tetap mutiara." Artinya,
seseorang atau sekelompok orang yang memiliki etika dan moral baik, akan tetap menjadi
orang baik dalam sebuah sistem kemasyarakat yang jahat sekalipun. Kesimpulan seperti itu,
walaupun dapat ditemukan pada pribadi-pribadi tertentu, mustahil dapat dibenarkan pada
tingkat kehidupan bermasyarakat secara umum.
Etika bisnis merupakan bagian Code of Conduct (pedoman tentang perilaku etis)
suatu entitas usaha. Pemerintah dan lembaga-lembaga Pemerintah dapat kita anggap di sini
sebagai entitas usaha, yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk produk
kebijakan publik maupun produk barang/jasa publik. Di dalam Code of Conduct inilah
tercantum nilai-nilai etika berusaha sebagai salah satu pelaksanaan kaidah-kaidah Good
Governance. Dengan kata lain, pembahasan etika bisnis tidak dapat terlepas dari pembahasan
muaranya, yakni governance.
Di dalam literatur ilmu ekonomi pembangunan, konsep governance meliputi berbagai
faktor kelembagaan dan organisasi (termasuk perangkat peraturan) yang mempengaruhi
operasi perekonomian dan membentuk kebijakan publik pemerintah. Kapasitas governance
Pemerintah yang baik diyakini akan memberikan hasil adanya suatu pasar di berbagai sektor
yang berjalan secara efisien dan kemampuan negara untuk mengatasi berbagai permasalahan
ekonomi secara efektif.
Secara umum, etika adalah ilmu normatif penuntun manusia, yang memberi perintah apa
yang mesti kita kerjakan dalam batas-batas kita sebagai manusia. Etika menunjukkan kita
dengan siapa dan apa yang sebaiknya dilakukan. Maka, etika diarahkan menuju
perkembangan manusia dan mengarahkan kita menuju aktualisasi kapasitas terbaik kita.
Sebagai contoh, jika kita rasional, maka etika memberi perintah bahwa kita harus bertindak
secara masuk akal. Itu akan membawa kita menuju ke keutamaan.
Mengapa suatu entitas perlu menerapkan nilai-nilai etika berusaha sebagai bagian dari
pelaksanaan good governance? Jawabannya adalah dengan adanya praktek etika berusaha
dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung
dapat meningkatkan nilai entitas. Banyak kasus di berbagai negara yang telah membuktikan
hal tersebut.
Sayangnya, sebagai manusia para penguasa dan pebisnis sangat rentan terhadap godaan untuk
melanggar etika. Tujuan para pebisnis adalah untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin.
Filosofi yang dominan bagi para pebisnis adalah cara mana yang membuat uang paling
3. banyak. Tujuan hidup mereka didasarkan atas pertanyaan ini. Orang-orang macam ini seperti
yang dikatakan oleh Charles Diskens dalam Martin Chuzzlewit, "Semua perhatian, harapan,
dorongan, pandangan dan rekanan mereka meleleh dalam dolar. Manusia dinilai dari
dolarnya." Theodore Levitt mengatakan bahwa para pebisnis ada hanya untuk satu tujuan,
yaitu untuk menciptakan dan mengalirkan nilai kepuasan dari suatu keuntungan hanya pada
dirinya dan nilai budaya, spiritual dan moral tidak menjadi pertimbangan dalam
pekerjaaannya.
II. PHILOSOPHICAL ETHICS AND BUSINESS
Secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau
berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari
filsafat; etika lahir dari filsafat
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.]
Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai
unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:[3]
1. Non-empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu
yang didasarkan pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat
berusaha melampaui yang konkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala
konkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang
secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak
boleh dilakukan.
2. Praktik Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat
hukum mempelajari apa itu hukum
. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus
dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia.
Beberapa teori mengenai etika yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut antara
lain:
1. Theory of Justice oleh John Rawls (1971), menjelaskan bahwa tidak ada patokan yang
sempurna dalam menjadi landasan bagi etika karena akan selalu ada kelemahan dan
kekurangan.
2. Leviathan oleh Thomas Hobbes (1986), berasumsi bahwa individu memiliki
kecenderungan alami untuk diperhatikan khususnya tentang kepentingan dan
kekesejahteraannya.
3. Self-interest oleh Adam Smith (1723-1790), bahwa setiap orang memiliki self-interest.
Self-interest ini bukan hanya berarti orang ingin mementingkan dirinya sendiri, tetapi
juga memperhatikan kesejahteraan orang-orang terdekatnya, keluarganya, dan
lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, orang berperilaku sesuai etika untuk tujuan
memenuhi kepentingan dirinya dan orang-orang terdekatnya, termasuk lingkungan
sosialnya.
4. Teori Imanuel Kant (1724-1804) bahwa sesuatu yang baik (mutlak) adalah niat baik.
Konsep moral yang paling baik adalah alasan, bukan pengalaman.
4. Pada dasarnya, manusia berperilaku etis dengan latar belakang motivasi yang belum tentu
sama, hal ini dikarenakan adanya self-interest yang secara alami dimiliki oleh manusia.
Namun, secara umum, ada beberapa dasar yang dijadikan teori dalam berperilaku etis, seperti
utilitarianism & consequentialism, deontological, justice & fairness, dan virtue ethics.
1. Utilitarianism: mendefinisikan bahwa perilaku etis akan menghasilkan kebahagian
yang paling tinggi dan kesedihan yang paling sedikit. Teori ini berorientasi pada
kepentingan orang banyak. Kelemahan dari teori ini adalah kebahagiaan dan
kesedihan yang sulit diukur dan bersifat relatif dan subjektif.
2. Deontological: menjelaskan tentang motivasi yang mendasari seseorang berbuat etis.
Hal ini sesuai dengan teori Kant bahwa sesuatu yang baik didasarkan pada niat baik.
Dengan logika ini, maka baik atau buruknya sesuatu dinilai dari motivasi diri sendiri.
Namun, bisa jadi, seseorang bertindak sesuai etika karena mematuhi hukum yang
berlaku dan takut dengan hukuman jika melanggarnya (terjadi ketika hukum dibuat
dengan dasar nilai-nilai etika). Salah satu hal yang menjadi kelemahan deontology
antara lain tidak adanya guidelines yang jelas untuk mendefnisikan baik atau buruk
ketika ada konflik hukum satu dengan lainnya.
3. Justice and fairness: teori ini dikembangkan oleh David Hume (1711-1776) yaitu
bahwa kebutuhan akan keadilan itu muncul karena manusia tidak selalu mendapatkan
manfaat atau tercukupi kebutuhannya sedangkan sumber daya jumlahnya terbatas.
Salah satu pengembangan teori justice adalah distributive justice yaitu menyesuaikan
apa yang telah dilakukan seseorang dengan apa yang akan dia peroleh.
4. Virtue ethics: menginternalisasi nilai-nilai etika ke dalam jiwa atau pribadi individu
dalam bentuk karakter, integritas, kepatuhan, dan sebagainya.
Teori-teori yang telah disebutkan di atas sangat dibutuhkan ketika dihadapkan dengan dilema
etika atau proses pembuatan keputusan. Kontribusi ilmuwan yang nyata yang merupakan
pengembangan dari teori tersebut ditunjukkan dengan EDM (Ethical Decision–Making
Fraework). Selain itu, pembuatan keputusan juga harus dilakukan dengan analisis
stakeholders yang meliputi shareholders, activist, governments, creditors, lenders, employees,
customers, suppliers, dan lain-lain. Apa saja yang harus dianalisis? Salah satunya adalah
impact atau dampak keputusan yang kita buat terhadap pihak-pihak tersebut.
Dari keseluruhan pembahasan mengenai nilai-nilai filosofi etika, masih terdapat kejanggalan
yang belum terjawab. Di dalam tulisan Brooks dan Dunn (2011), disebutkan bahwa pada
dasarnya etika itu terpisah dari keyakinan kepada Tuhan, tetapi di kalimat lain disebutkan
pula bahwa kita harus beretika karena itu adalah hukum Tuhan. Hal ini menimbulkan
pertanyaan di benak saya. Kalau memang etika berkaitan dengan keyakinan kepada Tuhan,
bagaimana dengan orang atheis? Apakah lalu mereka tidak beretika?
Pertanyaan tersebut masih berupa pertanyaan yang penting untuk dianalisis melalui sebuah
pemikiran serius. Namun, harus juga dipahami konteks di dalam buku tersebut secara
keseluruhan. Menurut salah satu dosen pengajar di kelas Magister Sains jurusan Akuntansi
mata kuliah Etika Bisnis, konteks buku ini tidak condong ke salah satu paham apakah
menganut bahwa etika adalah masalah prinsip ketuhanan, ataukah tidak ada hubungan di
antara keduanya, karena Brooks dan Dunn (2011) mengatakan bahwa prinsip ketuhanan bisa
jadi merupakan salah satu faktor kenapa manusia harus beretika.
Lalu bagaimana peran agama di dalam etika? Ini juga menimbulkan pertanyaan ketika
dihadapkan dengan gambaran yang tersaji dalam diagram venn bahwa bisnis, hukum, dan
5. etika dapat berpotongan memunculkan area yang merupakan interseksi dari ketiga hal
tersebut. Jika perilaku beretika didasarkan pada keyakinan pada hukum Tuhan, dengan logika
tersebut seharusnya ada juga overlap antara etika dengan agama. Meskipun demikian, akan
lebih baik jika pembahasan mengenai etika dilakukan terlepas dari unsur agama manapun
agar lebih mendekat pada universalitas ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Etika
https://sakinatantri.wordpress.com/https://sakinatantri.wordpress.com/
Hafzi Ali ,2017Business Ethics &GG, :Philosophical Ethics and Business
Laura P.Hartman-Joe Desjardins.2011.Business Ethics:Decision Making for personal
Integrity & Sosial Responsibility