[Ringkasan] Karya tulis ini membahas upaya Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Bappenas dalam mendukung percepatan reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing bangsa di era perdagangan bebas ASEAN-China. Tulisan ini menganalisis permasalahan yang dihadapi direktorat terkait keterbatasan kapasitasnya, dan merekomendasikan pengembangan sistem evaluasi kinerja pembangunan daerah serta peningkatan kapasitas sumber daya manus
Dukungan Direktorat EKPD-Bappenas dalam Percepatan Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa di A-CFTA
1. KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN
DUKUNGAN DIREKTORAT EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN
DAERAH-BAPPENAS DALAM PERCEPATAN REFORMASI BIROKRASI
UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA DI ERA ASEAN-CHINA
FREE TRADE AREA (A-CFTA)
DISUSUN OLEH :
NAMA : DADANG SOLIHIN
NDH : 62
KELAS : B
ASAL INSTANSI : BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL (BAPPENAS)
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT II ANGKATAN XXIX
JAKARTA, NOVEMBER 2010
2.
3.
4.
5.
6. LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PUSAT DIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN
PAKTA INTEGRITAS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya, bahwa Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KPT-2) saya susun
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Diklatpim Tingkat II yang
seluruhnya merupakan hasil karya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan KTP2 yang saya kutip
secara langsung atau tidak langsung dari hasil karya orang lain telah saya
tuliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian KTP2 ini bukan
karya tulis saya sendiri, atau ada indikasi adanya plagiat di bagian-bagian
tertentu, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pakta Integritas ini dibuat dengan sebenarnya, tanpa tekanan dari
siapapun, dan Pakta Integritas ini digunakan untuk seperlunya.
Jakarta, 23 November 2010
Penyusun,
DADANG SOLIHIN
NDH : B.62
v
7. RINGKASAN EKSEKUTIF
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai unsur pelaksana pemerintah yang
dipimpin oleh Menteri yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kementerian PPN/Bappenas mempunyai tugas membantu Presiden dalam
merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang Perencanaan Pembangunan
Nasional. Peran Kementerian PPN/Bappenas sangat strategis, karena
perencanaan merupakan pijakan awal untuk menentukan arah pembangunan
nasional dengan mengoptimalkan sumber daya dan melibatkan para pelaku
pembangunan nasional.
Amanat RPJMN 2010-2014, keberhasilan proses pembangunan ekonomi
tergantung pada kualitas birokrasi. Dalam konteks ini RPJMN menyatakan
bahwa pada saat ini kualitas birokrasi Indonesia perlu ditingkatkan untuk
menghadapi persaingan di era globalisasi. Ekonomi biaya tinggi yang terjadi
hingga dewasa ini tidak terlepas dari rendahnya kualitas birokrasi. Oleh karena
itu, menurut RPJMN, keberhasilan reformasi birokrasi merupakan kunci utama
yang membawa Indonesia dalam kancah persaingan di pasar global dan
meningkatkan daya saing nasional.
Di dalam sistem Administrasi Pemerintahan Indonesia, Bappenas
merupakan sistem pendukung manajemen pembangunan nasional berupa suatu
perangkat institusi yang bekerja sejak perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi kinerja guna mendukung keberhasilan pembangunan nasional.
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembanguan Daerah (EKPD) Bappenas
adalah unit kerja eselon II yang memiliki tugas melaksanakan perumusan
kebijakan dan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan penilaian pelaksanaan
program kinerja pembangunan daerah. Berkaitan dengan pembangunan daerah,
luasnya wilayah Indonesia menyebabkan banyak daerah berhadapan langsung
dengan perdagangan bebas di kawasan regional baik dengan negara-negara
vi
8. anggota Asean maupun dengan kawasan lainnya seperti APEC, AFTA dan
perdagangan bebas bilateral seperti Japan-Indonesia EPA.
Kesiapan daerah yang berhadapan langsung dengan negara-negara yang
telah menyepakati perdagangan bebas akan dapat menjadi penyeimbang
terhadap wilayah lainnya di Indonesia. Ketidaksiapan daerah, meskipun dapat
menguntungkan daerah secara parsial, namun akan menjadi penghambat dalam
upaya meningkatkan daya saing nasional, sehingga dapat menyebabkan
ketimpangan neraca perdagangan nasional secara keseluruhan.
Dalam mendukung percepatan reformasi birokrasi untuk meningkatkan
daya saing bangsa di era Asean-China Free Trade Area (A-CFTA), Direktorat
EKPD-Bappenas mengalami kendala yaitu masih terbatasnya kapasitas
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya.
Melihat permasalahan di atas, maka faktor paling penting adalah
terbatasnya kelembagaan, terutama yang menyangkut belum adanya Sistem
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah yang baku serta belum memiliki indikator
kinerja pembangunan daerah yang baku dan komprehensif. Oleh sebab itu
diperlukan strategi untuk mengatasi permasalahan yang ada melalui langkah-
langkah yang tepat dengan menggunakan pendekatan kajian paradigma, kajian
kebijakan publik, serta kajian manajemen strategi.
Dalam rangka implementasi kebijakan capacity building pada Direktorat
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah-Bappenas yang integratif, maka perlu
dijalankan kebijakan pembangunan Sistem Evaluasi Kinerja Pembangunan
Daerah, yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
PPN/Kepala Bappenas, Pedoman Umum, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk
Teknis.
Dalam tataran organisasi yang lebih tinggi, yaitu pada level Bappenas,
sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, yaitu “Menyusun rencana
pembangunan nasional yang berkualitas dengan tersedianya kualitas SOP yang
mendukung”, maka dari hasil evaluasi berdasarkan BSC diperoleh capaian
vii
9. 82,6%. Berarti tingkat keberhasilan kebijakan ini dinilai berhasil, namun masih
perlu ditingkatkan lagi.
Pencapaian tujuan tersebut dapat dioptimalkan melalui penerapan e-
Government yang konkrit dan terukur, struktur kelembagaan yang proporsional,
efektif, efisien serta pengadaan barang dan jasa menggunakan e-procurement.
Oleh karena itu, dipandang perlu untuk menyiapkan sistem rekrutmen
yang transparan, sistem penilaian kinerja yang terukur serta sistem diklat
berbasis merit dan kompetensi.
Sedangkan berdasarkan Scenario Planning, melalui CLD telah ditetapkan
bahwa sumbu aksisnya adalah potensi sumber daya daerah dan sumbu
ordinatnya adalah semangat otonomi dan desentralisasi. Agar dapat mencapai
kondisi sebagaimana digambarkan dalam kuadran I (Zamrud Khatulistiwa), yaitu
kondisi ketika potensi sumber daya daerah melimpah dengan tingginya
semangat otonomi dan desentralisasi, sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam Scenario Planning Indonesia 2014, maka Indonesia harus dapat
melaksanakan pembangunan secara konsisten sesuai dengan perencanaan
yang sudah ditetapkan, walaupun Presiden dan pemerintahannya berganti setiap
saat.
viii
10. KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah Subhanahu Wa Taallah
Tuhan Yang Maha Kuasa yang berkat Rakhmat dan HidayahNya penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis Prestasi perorangan (KTP2) ini, yang merupakan
salah satu persyaratan wajib pada Program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXIX
Lembaga Administrasi Negara Tahun 2010.
Sesuai programnya Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II
yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000
tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, bertujuan
untuk:
1. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap PNS untuk
dapat melaksanakan tugas jabatan eselon II secara profesional dengan
dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai kebutuhan instansinya.
2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembakar dan perekat
persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada
pelayanan dan pengayoman serta pemberdayaan masyarakat.
4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan
tujuan pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya
kepemerintahan yang baik (good governance).
Mengacu kepada Tema Diklatpim Tingkat II Angkatan XXIX Tahun 2010:
"Percepatan Reformasi Birokrasi dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa di Era
Asean-China Free Trade Area (A-CFTA)", serta melalui pembelajaran kajian
paradigma, kajian kebijakan publik, dan kajian manajemen stratejik, penulis
mencoba mengaktualisasikannya dalam bentuk Karya Tulis Prestasi Perorangan
(KTP-2) dengan judul "Dukungan Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan
Daerah-Bappenas dalam Percepatan Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan
Daya Saing Bangsa di Era Asean-China Free Trade Area (A-CFTA)”.
ix
11. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi
dan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi bagi penyelesaian karya tulis ini, khususnya kepada :
1. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Ibu Prof.
Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, dan Sesmen/Sestama Bappenas Bapak
Syahrial Loetan, yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti
Diklatpim Tingkat II ini;
2. Kepala LAN Rl Bapak Dr Asnawi Rewansyah MSc, Deputi Bidang Diklat
SPIMNAS Bapak Dr. Sudiman, MPA, serta Kepala Pusdiklat SPIMNAS
Bidang Kepemimpinan Bapak Drs. Makhdum Priyatno, MA yang telah
menerima dan memfasilitasi penulis selama mengikuti kegiatan Diklatpim
Tingkat II di kampus LAN;
3. Bapak Dr. Mustafa Kamal sebagai Widyaiswara Pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam penyelesaian KTP-2 ini, dan Bapak Drs.
Noerwantoro sebagai Widyaiswara Penguji yang telah memberikan
masukan penting dalam presentasi KTP2 ini ;
4. Para Widyaiswara, yang telah memberikan dan menularkan ilmunya dan
mendorong kami untuk dapat menyelesaikan Diklatpim Tingkat II ini.
5. Isteri dan Anak-anakku yang telah memberikan dukungan semangat serta
doanya selama mengikuti Diklatpim Tingkat II ini.
Penulis menyadari bahwa apa yang sudah dihasilkan ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran serta masukan yang bersifat konstruktif
sangat kami harapkan bagi penyempurnaan karya tulis ini.
Jakarta, 23 November 2010
Penyusun,
DADANG SOLIHIN
NDH : B.62
x
12. DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PENYAJIAN ii
PENGESAHAN KTP-2 iii
PERSETUJUAN JUDUL KTP-2 iv
PAKTA INTEGRITAS v
RINGKASAN EKSEKUTIF vi
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR MATRIKS xiii
DAFTAR TABEL xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Permasalahan 1
B. Deskripsi Masalah 2
C. Rumusan Masalah 3
D. Tujuan dan Sasaran Penulisan 4
1. Tujuan 4
2. Sasaran 4
E. Sistematika Penulisan 5
BAB II KERANGKA KONSEPTUAL 6
A. Perencanaan Pembangunan Nasional 6
B. Reformasi Birokrasi 10
C. Daya Saing Bangsa 12
D. Asean-China Free Trade Area (A-CFTA) 14
E. Dukungan Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan 15
Daerah-Bappenas
F. Konsep Paradigma 15
G. Konsep Kebijakan Publik 24
H. Konsep Manajemen Stratejik 31
BAB III INSTRUMEN ANALISIS 33
A. Instrumen Analisis Kajian Paradigma 33
B. Instrumen Analisis Kajian Kebijakan Publik 34
C. Instrumen Analisis Kajian Manajemen Stratejik 35
xi
13. BAB IV ANALISIS PERMASALAHAN 38
A. Deskripsi Direktorat Evaluasi Kinerja Pembanguan Daerah 38
(EKPD) Bappenas
B. Analisis Kajian Paradigma 40
C. Analisis Kajian Kebijakan Publik 49
D. Kesimpulan 62
E. Rekomendasi 62
D. Analisis Kajian Manajemen Stratejik 63
BAB V REKOMENDASI DAN RENCANA AKSI 79
A. Rekomendasi 79
B. Rencana Aksi 80
BAB VI PENUTUP 87
DAFTAR PUSTAKA 89
LAMPIRAN 93
xii
14. DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Interaksi disiplin kelima dalam organisasi 23
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perumusan Masalah 26
Gambar 4.1 Dinamika Lingkungan Kebijakan berdasarkan Iceberg 53
Theory
Gambar 4.2 Agenda Setting 54
Gambar 4.3 Elemen Sistem Kebijakan 55
Gambar 4.4 Tahapan Perumusan Masalah 56
Gambar 4.5 Analisis Kajian Manajemen Stratejik 63
Gambar 4.6 Penyusunan Balanced Scorecard Bappenas 69
Gambar 4.7 Balanced Scorecard Strategy Map 70
Gambar 4.8 Langkah Penyusunan Scenario Planning 73
Gambar 4.9 Menetapkan Focal Concern 73
DAFTAR MATRIKS
Matriks 4.1 Analisis CLD 47
Matriks 4.2 Masalah Formal dan Tujuan KP 58
Matriks 4.3 Perumusan Alternatif 58
Matriks 4.4 Rekomendasi Kebijakan 61
Matriks 4.5 Perumusan Kebijakan 62
Matriks 4.6 Mengubah Faktor Lingkungan menjadi Variabel 66
Berpengaruh
Matriks 4.7 Jumlah Loop pada Setiap Variabel CLD 67
Matriks 4.8 Perumusan Tujuan 68
Matriks 4.9 Balanced Scorecard Kementerian PPN/Bappenas 71
Matriks 4.10 Identifikasi Driving Forces 74
Matriks 4.11 Skenario Planning Indonesia 2014 77
Matriks 4.12 Skenario Planning Indonesia 2014 78
Matriks 5.1 Rencana Aksi Memenuhi Kriteria SMART 80
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Permasalahan dan Variabel 44
Tabel 4.2 Penilaian Alternatif Kebijakan 60
Tabel 5.1 Aktivitas, Indikator Kinerja dan Jadwal Implementasi 81
xiii
15.
16. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Keberhasilan reformasi birokrasi merupakan kunci utama yang membawa
keberhasilan Indonesia dalam kancah persaingan di pasar global dan
meningkatkan daya saing nasional. Persaingan di pasar global tersebut sudah
tampak nyata dengan diberlakukannya Asean-China Free Trade Area (A-CFTA)
pada 1 Januari 2010.
Dalam kaitan itu, perencanaan pembangunan memiliki tujuan yang sangat
strategis dan vital yaitu untuk menentukan arah perjalanan kehidupan bangsa ke
depan. Di dalam sistem Administrasi Pemerintahan Indonesia, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan sistem
pendukung manajemen pembangunan nasional berupa suatu perangkat institusi
yang bekerja sejak perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi kinerja guna
mendukung keberhasilan pembangunan nasional.
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembanguan Daerah (EKPD) Bappenas
adalah unit kerja eselon II yang memiliki tugas melaksanakan perumusan
kebijakan dan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan penilaian pelaksanaan
program kinerja pembangunan daerah. Berkaitan dengan pembangunan daerah,
luasnya wilayah Indonesia menyebabkan banyak daerah berhadapan langsung
dengan perdagangan bebas di kawasan regional baik dengan negara-negara
anggota Asean maupun dengan kawasan lainnya seperti APEC, AFTA dan
perdagangan bebas bilateral seperti Japan-Indonesia EPA, dll (Faisal Basri,
2010).
Kesiapan daerah yang berhadapan langsung dengan negara-negara yang
telah menyepakati perdagangan bebas akan dapat menjadi penyeimbang
terhadap wilayah lainnya di Indonesia. Ketidaksiapan daerah, meskipun dapat
menguntungkan daerah secara parsial, namun akan menjadi penghambat dalam
1
17. upaya meningkatkan daya saing nasional, sehingga dapat menyebabkan
ketimpangan neraca perdagangan nasional secara keseluruhan.
Dalam mendukung percepatan reformasi birokrasi untuk meningkatkan
daya saing bangsa di era Asean-China Free Trade Area (A-CFTA), Direktorat
EKPD- Bappenas mengalami kendala yaitu masih terbatasnya kapasitas
kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka hal yang menarik untuk
dibahas adalah "Dukungan Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah-
Bappenas dalam Percepatan Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Daya
Saing Bangsa di Era Asean-China Free Trade Area (A-CFTA)”.
B. Deskripsi Masalah
Berbagai faktor keterbatasan kapasitas Direktorat EKPD-Bappenas baik
yang bersifat kelembagaan, ketatalaksanaan, maupun sumber daya manusia
perlu dievaluasi dan diinventarisir untuk selanjutnya dikaji peran dan
kontribusinya dalam mendukung percepatan Reformasi Birokrasi.
Dari sisi kelembagaan, faktor-faktor tersebut diperkirakan mencakup
antara lain :
Belum memiliki Sistem Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah yang baku.
Belum memiliki jaringan data yang terintegrasi.
Masih banyaknya dokumen perencanaan daerah yang belum siap di
evaluasi.
Belum memiliki indikator kinerja pembangunan daerah yang baku dan
komprehensif.
Sedangkan dari sisi ketatalaksanaan, faktor-faktor tersebut diperkirakan
mencakup antara lain :
Masih kurangnya infrastruktur bidang Teknologi Informasi di lingkungan
Direktorat EKPD-Bappenas dalam rangka penyelenggaraan dan penyajian
informasi kinerja pembangunan daerah, sehingga diperlukan pemenuhan
2
18. kebutuhan minimal peralatan yang diperlukan untuk mendukung penerapan
Teknologi Informasi pada Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan.
Belum dimanfaatkannya hasil evaluasi sebagai feedback perencanaan.
Belum memiliki sistem evaluasi RPJMN di daerah.
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait di bidang evaluasi
kinerja pembangunan daerah yang belum harmonis.
Disamping itu juga ditemui faktor keterbatasan lainnya yang menyangkut
sumber daya manusia mencakup :
Terbatasnya jumlah staf organik untuk mendukung Tupoksi Direktorat,
sekurang-kurangnya dua orang staf pada setiap Subdit.
Masih kurangnya kapasitas para staf dalam bidang evaluasi kinerja
pembangunan daerah sehubungan dengan baru terbentuknya kedeputian
evaluasi.
Kurangnya koordinasi antar Direktorat dalam rangka melaksanakan evaluasi
dan informasi kinerja pembangunan daerah.
Adanya duplikasi Tupoksi dengan instansi lain di bidang evaluasi kinerja
pembangunan daerah.
C. Rumusan Masalah
“Bagaimana Capacity Building pada Direktorat Evaluasi Kinerja
Pembangunan Daerah-Bappenas guna Mendukung Percepatan Reformasi
Birokrasi untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa di Era Asean-China Free
Trade Area?”
3
19. D. Tujuan dan Sasaran Penulisan
Memperhatikan tema Diklatpim Tingkat II Angkatan XXIX serta rumusan
masalah di atas, maka penulisan Karya Tulis Prestasi Perorangan ini mempunyai
tujuan dan sasaran sebagai berikut :
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui sejauhmana kebutuhan capacity building pada
Direktorat EKPD-Bappenas dalam mendukung percepatan reformasi
birokrasi untuk meningkatkan daya saing bangsa di era Asean-China Free
Trade Area.
b. Untuk mengetahui sejauhmana hambatan dan kendala dalam
melaksanakan capacity building pada Direktorat EKPD-Bappenas dalam
mendukung percepatan reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya
saing bangsa di era Asean-China Free Trade Area.
c. Sebagai aktualisasi materi pembelajaran yang diperoleh selama
mengikuti Diklatpim Tingkat II untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi oleh instansi asal penulis yaitu Badan Perencanaan
Pembagunan Nasional (Bappenas);
d. Menyelesaikan persyaratan akademis dan akuntabilitas dalam
keikutsertaan program Diklatpim Tingkat II Angkatan XXIX Tahun 2010.
1. Sasaran
a. Sebagai bahan rekomendasi dan pemikiran untuk pemecahan masalah
yang menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
Direktorat EKPD-Bappenas, yang dituangkan dalam suatu rencana
stratejik dan rencana tindaklanjut yang akan dilaksanakan;
b. Sebagai upaya pemecahan masalah dalam melaksanakan capacity
building pada Direktorat EKPD-Bappenas melalui sumbangan pemikiran,
saran dan alternatif kebijakan.
4
20. c. Sebagai upaya stratejik untuk memberikan sumbangan pemikiran yang
konstruktif guna perumusan kebijakan dalam melaksanakan capacity
building pada Direktorat EKPD-Bappenas dalam mendukung percepatan
reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing bangsa di era Asean-
China Free Trade Area (A-CFTA).
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan KTP-2 ini terdiri dari enam bab dengan uraian
sebagai berikut:
Bab I membahas latar belakang permasalahan, hakekat permasalahan,
tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas kerangka konseptual Perencanaan Pembangunan
Nasional, Reformasi Birokrasi, Daya Saing Bangsa, Asean-China
Free Trade Area (A-CFTA), Dukungan Direktorat Evaluasi Kinerja
Pembangunan Daerah-Bappenas, konsepsi kajian paradigma,
kajian kebijakan publik, dan kajian manajemen stratejik.
Bab III membahas mengenai instrumen analisis berdasarkan konsep
kajian paradigma, kajian kebijakan publik, kajian manajemen
stratejik.
Bab IV membahas analisis kajian paradigma, kajian kebijakan publik dan
kajian manajemen stratejik
Bab V memuat rekomendasi dan rencana aksi yang diharapkan dapat
menjawab permasalahan yang ada.
Bab VI Penutup
5
21.
22. BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Perencanaan Pembangunan Nasional
Salah satu misi Pembangunan Nasional sesuai RPJPN 2005-2025 adalah
mewujudkan bangsa yang berdaya-saing. Untuk merealisasikan tujuan yang
strategis tersebut, RPJPN mengamanatkan kepada para pengemban amanah di
negeri ini untuk memprioritaskan pembangunan SDM berkualitas dan berdaya
saing serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara.
Selanjutnya amanat RPJPN tersebut ditindaklanjuti oleh RPJMN 2010-
2014. Menurut RPJMN tahap kedua tersebut, keberhasilan proses
pembangunan ekonomi tergantung pada kualitas birokrasi. Dalam konteks ini
RPJMN menyatakan bahwa pada saat ini kualitas birokrasi Indonesia perlu
ditingkatkan untuk menghadapi persaingan di era globalisasi. Ekonomi biaya
tinggi yang terjadi hingga dewasa ini tidak terlepas dari rendahnya kualitas
birokrasi. Oleh karena itu, menurut RPJMN, keberhasilan reformasi birokrasi
merupakan kunci utama yang membawa Indonesia dalam kancah persaingan di
pasar global dan meningkatkan daya saing nasional.
RPJPN dan RPJMN adalah dua dokumen perencanaan pembangunan
nasional yang memiliki peranan sangat penting dalam membawa perubahan
pada kondisi bangsa dan negara ke arah kondisi yang lebih baik dan lebih maju.
Perencanaan merupakan pijakan awal untuk menentukan arah pembangunan
nasional melalui penetapan kebijakan dan program yang tepat serta dengan
mengoptimalkan sumber daya dan melibatkan pelaku pembangunan nasional.
Bagi bangsa Indonesia, perencanaan pembangunan memiliki tujuan yang
sangat strategis dan vital yaitu untuk menentukan arah perjalanan kehidupan
bangsa ke depan. Setidaknya terdapat lima argumentasi yang mendasarinya.
Pertama, dalam jangka panjang perencanaan pembangunan nasional sangat
dibutuhkan sebagai salah satu instrumen untuk mencapai tujuan kehidupan
6
23. berbangsa dan bernegara. Kedua, dalam jangka yang lebih pendek perencanaan
pembangunan sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai permasalahan
penting dan mendesak seperti kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan
dan kesehatan yang masih rendah, konflik sosial di berbagai wilayah,
kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah dan kawasan, serta
permasalahan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Ketiga, dalam era globalisasi perencanaan pembangunan sangat
diperlukan untuk menyusun arahan strategis bagi kegiatan pembangunan dalam
rangka mengantisipasi perkembangan dunia yang cepat berubah dan
situasi/kondisi Indonesia di masa datang dalam berbabagi aspek sosial,
ekonomi, demografi, dan sebagainya. Keempat, ketersediaan sumber daya yang
dimiliki oleh Pemerintah untuk melaksanakan pembangunan sangat terbatas
sehingga perencanaan sangat diperlukan untuk menentukan prioritas
pembangunan yang diperlukan, menentukan tujuan dan sasaran kinerja yang
hendak dicapai, serta mengalokasikan sumber daya (anggaran, SDM, dan
lainnya) secara tepat, efektif, efisien, realistik, dan konsisten. Kelima, dalam era
desentralisasi perencanaan pembangunan nasional secara strategis semakin
diperlukan untuk sinkronisasi kegiatan pusat dan daerah serta antardaerah, dan
pembangunan sinergi pusat dan daerah serta antardaerah.
Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun
global, permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin
kompleks. Arus besar globalisasi membawa keleluasaan informasi, fleksibilitas
distribusi barang dan jasa yang berdampak pada munculnya isu-isu yang
berdimensi lintas bidang.
Dalam konteks ketatanegaraan, arus globalisasi juga mendorong
akselerasi proses demokratisasi dan desentralisasi yang melahirkan situasi
paradoksal, antara semakin membaiknya kebebasan sipil (civil liberty) dengan
terbatasnya kapasitas kelembagaan politik dan kapasitas tata kelola
pemerintahan (governance) sehingga akuntabilitas layanan publik belum
sepenuhnya sesuai harapan.
7
24. Percepatan arus informasi dan modal juga berdampak pada
meningkatnya pemanfaatan berbagai sumber daya alam yang memunculkan isu
perubahan iklim (climate change), ketegangan lintas-batas antarnegara,
percepatan penyebaran wabah penyakit, dan terorisme, serta masalah tenaga
kerja Indonesia di luar negeri.
Berbagai masalah tersebut juga mencerminkan rumitnya tantangan yang
harus dihadapi bangsa dan negara Indonesia. Hal ini menuntut peningkatan
peran dan kapasitas seluruh instansi pemerintah, termasuk Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) yang diberi tugas dalam perencanaan
pembangunan nasional, untuk mengatasi permasalahan dan tantangan tersebut.
Peran Kementerian PPN/Bappenas sangat strategis, karena perencanaan
merupakan pijakan awal untuk menentukan arah pembangunan nasional dengan
mengoptimalkan sumber daya dan melibatkan para pelaku pembangunan
nasional. Untuk itu, Kementerian PPN/Bappenas dituntut memiliki kemampuan
untuk menjembatani kesenjangan dan menekan egoisme yang dapat
menghambat pencapaian target dan tujuan pembangunan nasional sesuai
amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Masyarakat Indonesia Adil dan
Makmur”. Peran dan tugas Kementerian PPN/Bappenas di atas adalah sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2007 tentang Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun
2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, terdapat 5 (lima)
tujuan pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional, yaitu: a) untuk
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; b) menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan
antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah; c) menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan
8
25. dan pengawasan; d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan e) menjamin
tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan
berkelanjutan. Untuk mencapai kelima tujuan tersebut, maka Kementerian
PPN/Bappenas harus melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) secara
optimal dan akuntabel.
Perpres Nomor 47 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 82 Tahun 2007
menyebutkan bahwa tugas pokok Kementerian PPN/Bappenas adalah
merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang perencanaan pembangunan
nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, tugas pokok tersebut dijabarkan ke dalam 9 (sembilan)
fungsi, yaitu: 1) penyusunan rencana pembangunan nasional; 2) koordinasi dan
perumusan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan nasional; 3)
pengkajian kebijakan pemerintah di bidang perencanaan pembangunan
nasional; 4) penyusunan program pembangunan sebagai bahan penyusunan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dilaksanakan
bersama-sama dengan Departemen Keuangan; 5) koordinasi, fasilitasi, dan
pelaksanaan pencarian sumber-sumber pembiayaan dalam dan luar negeri,
serta pengalokasian dana untuk pembangunan bersama-sama instansi terkait; 6)
koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Kementerian
PPN/Bappenas; 7) fasilitasi dan pembinaan kegiatan instansi pemerintah di
bidang perencanaan pembangunan nasional; 8) penyampaian laporan hasil
evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada
Presiden; serta 9) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi
umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan
tatalaksana, sumber daya manusia, keuangan, kearsipan, hukum, perlengkapan
dan rumah tangga.
Di dalam sistem Administrasi Pemerintahan Indonesia, Bappenas
merupakan sistem pendukung manajemen pembangunan nasional berupa suatu
perangkat institusi yang bekerja sejak perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi kinerja guna mendukung keberhasilan pembangunan nasional.
9
26. Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan
salah satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi
penyusunan, penetapan, pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan
perencanaan. Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi
harus dilakukan secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis
data serta informasi untuk menilai sejauh mana pencapaian sasaran, tujuan dan
kinerja pembangunan tersebut dilaksanakan.
B. Reformasi Birokrasi
Berkaitan dengan percepatan reformasi birokrasi, menurut Kinanto (2010),
Reformasi Birokrasi merupakan sebuah perubahan besar dalam paradigma dan
tata kelola pemerintahan Indonesia yang berkaitan dengan ribuan proses
overlapping fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan manusia dan
melibatkan anggaran yang tidak sedikit. Reformasi birokrasi memerlukan
terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah secara
bertahap , konkrit, realistis, sungguh-sungguh, bersifat out of the box thinking,
dan a new paradigm shift, serta upaya luar biasa (business not as usual).
Adapun makna keberhasilan Reformasi Birokrasi adalah pertama,
mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan
publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan. Kedua, meningkatkan mutu
pelayanan kepada masyarakat. Ketiga, meningkatkan mutu perumusan dan
pelaksanaan kebijakan/program instansi. Dan keempat, meningkatkan efisiensi
baik biaya maupun waktu dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi.
Reformasi Birokrasi merupakan sebuah pertaruhan besar dalam
menyongsong tantangan abad 21, tantangan tersebut akan semakin nyata
apabila dikaitkan dengan diberlakukannya Asean-China Free Trade Area (A-
CFTA) sejak 1 Januari 2010 yang penuh dengan benturan persaingan.
10
27. Makna keberhasilan Reformasi Birokrasi adalah pertama, menghapuskan
korupsi. Kedua, menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy.
Serta ketiga, menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif dan efektif dalam
menghadapi globalisasi, dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Sedangkan makna kegagalan Reformasi Birokrasi adalah pertama,
ketertinggalan kemampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang
bergerak eksponensial di abad 21. Kedua, antipati, trauma, dan berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dan ketiga, ancaman kegagalan
pencapaian good governance
Tantangan yang dihadapi Reformasi Birokrasi menurut Kinanto (2010)
adalah sebagai berikut.
• Reformasi birokrasi belum mencapai sasaran pembenahan kelembagaan,
tatalaksana, manajemen SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan,
pelayanan publik, reward and punishment, dan perubahan mind-set dan
culture set;
• Belum dikembangkannya sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan
Reformasi Birokrasi secara nasional;
• Belum memiliki grand design dan road map reformasi birokrasi;
• Dikeluarkannya arahan Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan
Reformasi Birokrasi yang menyeluruh, mendalam, nyata serta menyentuh
sendi kehidupan masyarakat.
• Membutuhkan Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi yang
visioner, menyeluruh, taktis, dan terukur.
Percepatan reformasi birokrasi tidak bisa menunggu sampai seluruhnya
siap tetapi harus diterapkan secara bertahap baik antar organisasi yang terpilih,
maupun antar tahapan dalam satu organisasi. Apabila menunggu sampai
seluruh konsep reformasi selesai maka reformasi tidak akan pernah terjadi.
11
28. C. Daya Saing Bangsa
Indonesia harus meningkatkan daya saing dalam pelaksanaan perjanjian
perdagangan bebas Asean China-Free Trade Area (ACFTA), agar dapat
memenangi persaingan. Dengan diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas
ini, menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah mampu
bertahan dan bersaing atau tidak dalam ACFTA.
Dimulainya penerapan perjanjian perdagangan bebas pada awal 2010
harus menjadi perhatian berbagai kalangan, karena ACFTA bukan sesuatu yang
sepele. Dalam hal ini, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan daya
saing Bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang kompetitif.
Daya saing bak mantra yang selalu disebut oleh para ekonom, CEO,
manajer, presiden, menteri, gubernur hingga bupati/wali kota. Namun benarkah
daya saing negara sama dengan daya saing perusahaan?
Krugman (1994) pernah memperingatkan, jargon "peningkatan daya
saing" merupakan obsesi yang berbahaya. Begitu tulisnya di Foreign Affairs,
edisi Maret-April. Menurut mahaguru dari Massachusetts Institute of Technology
ini, daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan.
Mengapa?
Ada setidaknya dua alasan. Pertama, dalam realitas, yang bersaing bukan
negara, tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogikan
daya saing negara identik dengan daya saing perusahaan. Bila negara Indonesia
memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri Indonesia
memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional.
Kedua, perusahaan memang bisa bangkrut, tetapi negara tidak memiliki
bottom line alias tidak akan pernah "keluar dari arena persaingan". Daya saing
sebuah negara dapat dicapai dari akumulasi daya saing strategis setiap
perusahaan. Proses penciptaan nilai tambah (value added creation) berada pada
ruang lingkup perusahaan.
12
29. Sementara pada ruang lingkup negara, daya saing suatu bangsa
ditentukan oleh interaksi antara kinerja ekonomi makro, seberapa jauh kebijakan
pemerintah kondusif bagi dunia usaha,kinerja dunia usaha,dan infrastruktur.
Daya saing negara diartikan sebagai daya tarik suatu negara terhadap
investor untuk menanamkan modalnya. Bagi investor harapannya adalah modal
yang ditanamkan akan memberikan keuntungan yang tinggi. Dengan banyaknya
investasi akan memberikan banyak lapangan kerja bagi masyarakat lokal yang
pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Daya saing Indonesia makin merosot dari tahun ke tahun dan berada
pada papan bawah. Menurut laporan International Institute for Management
Development (IMD) dalam World Competitiveness Yearbook, daya saing
Indonesia menempati urutan ke-52 pada 2006, menurun menjadi 54 pada 2007
dan bahkan pada 2008 ini peringkat Indonesia anjlok menjadi 51 dari 55 negara.
Indonesia jauh di bawah negara ASEAN seperti Singapura (2), Malaysia
(19),Filipina (40).
Penilaian versi World Economic Forum juga menunjukkan daya saing
Indonesia (54) masih lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan
Thailand. Menurunnya daya saing diakibatkan oleh rendahnya kualitas
pelayanan birokrasi, tidak efisiennya bisnis, meningkatnya biaya buruh,
rendahnya kualitas infrastruktur, dan tingginya biaya investasi di Indonesia.
Meskipun Indonesia termasuk negara yang memiliki daya saing yang
rendah bukan berarti tidak ada investasi di Indonesia. Namun demikian pilihan
investasi umumnya di sektor yang beresiko tinggi dan berbasis sumber daya
alam. Apabila daya saing ini tidak diperbaiki, maka investasi akan berhenti
dengan habisnya komoditas berbasis SDA. Kondisi ini akan mengakibatkan
keterpurukan suatu bangsa, karena biaya recovery akibat pengambilan
suberdaya alam yang berlebihan, akan jauh lebih besar dari penerimaan yang
diperoleh negara. Sementara keuntungan terbesar hanya akan diperoleh para
investor dengan meninggalkan kemiskinan di negara yang ditinggalkannya.
13
30. D. Asean-China Free Trade Area (A-CFTA)
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara
negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan
perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-
hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses
pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek
kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak
ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan
China.
Dalam membentuk ACFTA, para Kepala Negara Anggota ASEAN dan
China telah menandatangani ASEAN-China Comprehensive Economic
Cooperation pada tanggal 6 Nopember 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei
Darussalam.
Tujuan Asean-China FTA adalah sebagai berikut:
1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan
investasi antara negara-negara anggota.
2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan
jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk
mempermudah investasi.
3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan
kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-
negara anggota.
4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN
baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani
kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.
14
31. E. Dukungan Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah-
Bappenas
Dalam kancah persaingan Asean-China Free Trade Area (A-CFTA) ini
dukungan Direktorat EKPD-Bappenas kepada Pemerintah Daerah dalam hal
meningkatkan kemampuan Daerah dalam merumuskan dan mengevaluasi
dokumen perencanaannya (RPJMD) yang berkualitas dalam rangka percepatan
reformasi birokrasi adalah sangat signifikan.
Oleh karena itu, Direktorat EKPD-Bappenas sebaiknya memilih posisi
terdepan sebagai learning organization (LO). Menurut Senge (1990), LO adalah
organisasi di mana anggotanya secara terus menerus meningkatkan kapasitas
mereka untuk mencapai tujuan yang mereka dambakan, pola pikir baru
dipelihara, aspirasi kolektif dibiarkan bebas berkembang dan anggota juga terus
menerus belajar untuk bagaimana belajar bersama-sama.
Selanjutnya Senge mengatakan bahwa saat ini LO menjadi makin penting
karena meningkatnya kecepatan perubahan dan persaingan, meningkatnya
kompleksitas permasalahan, banyaknya ketidakpastian, serta terjadinya
perubahan sifat pekerjaan dan kompetensi angkatan kerja. Senge
menambahkan bahwa inti dari LO adalah informasi yang tersedia harus
accessible (dapat diakses) dan selalu diperkaya melalui proses interaktif yang
sehat, serta SDM dalam organisasi harus selalu dekat dengan informasi, dapat
melihat fakta-fakta baru,dan tertantang untuk mencipta yang baru.
F. Konsep Paradigma
Paradigma berasal dari kata bahasa Yunani yaitu paradeigma (LAN,
2010) yang berarti model atau pola atau contoh, sebagai teori dasar atau cara
pandang yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan berisikan teori
pokok, konsep, asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dapat
dipergunakan para teorisi dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan
15
32. baik dalam kaitan pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan
permasalahan bagi kemajuan hidup dan kehidupan manusia.
Dalam rangka pemecahan permasalahan yang akan dibahas dalam karya
tulis ini, secara khusus tiga kajian paradigma yang relevan untuk digunakan
sebagai alat analisis dicoba untuk diungkapkan yang mencakup: Paradigma
Kepemimpinan, Paradigma Organisasi Pembelajaran, dan Paradigma
Pembangunan Sumber Daya Manusia.
1. Paradigma Kepemimpinan
Paradigma Kepemimpinan merupakan cara pandang atau pola baru yang
mendasar terhadap perencanaan kepemimpinan yang dilandasi oleh konsep,
teori, nilai-nilai dan metodologi tertentu dalam menyelesaikan permasalahan
kepemimpinan.
Sementara menurut Ralph M. Stogdill dalam Sedarmayanti (2004),
“Kepemimpinan” adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam
upaya perumusan dan pencapaian tujuan. Sejalan dengan ini, Adi Sujatno
(2007) mendefinisikan “Kepemimpinan” adalah proses mempengaruhi orang lain
agar mau melakukan secara ikhlas untuk mencapai tujuan organisasi atau
kelompok.
Dengan demikian, kepemimpinan merupakan sebuah proses atau
manajemen bagaimana seorang pemimpin mengelola perubahan. Artinya proses
tersebut menunjukan adanya suatu kondisi atau situasi yang ditimbulkan dari
interaksi antara pemimpin dengan pengikutnya. Dengan demikian kepemimpinan
pada dasarnya merupakan fenomena sosial (hubungan sosial).
Pemimpin (leader) adalah orang yang menjalankan/melakukan
kepemimpinan (leadership), dengan esensi yang terpenting adalah bahwa orang
tersebut melakukan suatu perubahan. Jadi apabila orang yang menjalankan
kepemimpinan itu tidak melakukan perubahan, maka mereka hanya merupakan
dan disebut sebagai pimpinan. Pimpinan diartikan sebagai kedudukan seseorang
atau sekelompok orang pada hierarki tertentu dalam organisasi yang mempunyai
bawahan, dengan segala kewenangan dan tanggungjawabnya. Perbedaan
16
33. pemimpin dan manajer adalah kalau pemimpin memusatkan perhatian pada
orang dan memiliki perspektif jangka panjang sehingga selalu melakukan
perubahan, sedangkan manajer itu memikirkan perihal sistem dan struktur
termasuk menjalankan sistem dengan benar, serta hanya memikirkan rentang
waktu pendek.
Dalam organisasi pemerintahan, pimpinan menunjukan seseorang atau
sekelompok orang yang mempunyai suatu jabatan dengan tugas, kewenangan
dan tanggungjawab yang melekat pada jabatannya. Sedangkan pemimpin
adalah sosok yang memiliki kemampuan dalam memberikan inspirasi,
memandu, mengembangkan kompetensi, mendorong, ataupun mengkoreksi
kepada kelompoknya dalam mengemban tugas mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian pemimpin harus memiliki kompetensi yang memadai
baik menyangkut pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan sikap. Hal ini sejalan
dengan pengertian kompetensi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 bahwa kompetensi adalah tingkat ketrampilan, pengetahuan dan
tingkah laku yang dimiliki oleh seorang individu dalam melaksanakan tugas yang
diberikan kepadanya dalam organisasi.
Seiring dengan lajunya perubahan dan semakin kompleksnya
permasalahan, maka seorang pemimpin diharapkan dapat berfungsi :
a. Sebagai perancang (designer), fungsi dari perancangan atau apa yang
orang sebut “Arsitektur adalah jarang nampak, terjadi dibalik layar”. Peran
sebagai perancang, pemimpin harus mampu membangun ide-ide dan
merancang pekerjaan meliputi perumusan kebijakan, strategi dan struktur
yang mengarahkan ide-ide dalam pengambilan keputusan.
b. Sebagai guru (teacher), pemimpin berperan dalam membantu setiap orang
dalam organisasi, termasuk dirinya untuk memperoleh pandangan yang luas
tentang realitas saat ini. Samahalnya dengan peran sebagai pelatih,
pembimbing atau fasilitator.
c. Sebagai pelayan (steward), yaitu memberikan pertolongan pada orang-
orang yang mereka pimpin dan pembantuan bagi tujuan yang lebih besar
atau misi organisasi.
17
34. Lebih lanjut Mustopadidjaja AR (2003), menjelaskan bahwa kepemimpinan
aparatur perlu memiliki 5 (lima kompetensi) berikut :
a. Kompetensi Strategis
Berpikir strategis merupakan suatu kompetensi yang diperlukan oleh
seorang pemimpin. Pemimpin yang berpikir strategis akan mempunyai
kemampuan dalam melihat jauh kedepan untuk menghadapi tantangan serta
kebutuhan organisasi. Hal ini dapat tercermin dari kemampuan menyusun
visi dan misi serta merencanakan program dan kegiatan yang tepat. Visi
merupakan gambaran masa depan yang realistis yang ingin diwujudkan
dalam waktu tertentu (Senge, Peter M.,1990, dan Nanus, B., 2001 ).
Organisasi yang memahami visi, akan dapat berfungsi sebagai kekuatan
untuk membangkitkan semangat yang terfokus, enerji untuk belajar,
meningkatkan aspirasi, membuka cara-cara berpikir dan mengenali
keterbatasan-keterbatasan pribadi, membuat orang saling percaya dalam
rangka mewujudkan kerjasama, landasan untuk mendefinisikan upaya-
upaya dalam memenuhi tuntutan masa depan.
b. Kompetensi Manajerial
Kompetensi manajerial bahwa seorang pemimpin harus mampu mengelola
berbagai sumber daya manajemen secara tepat guna dan tepat sasaran.
Termasuk membangun komitmen agar seluruh anggota organisasi mampu
dan mau berkolaborasi, bersinergi dan bekerjasama untuk kepentingan
tujuan organisasi.
c. Kompetensi Teknikal
Kompetensi teknikal ini sangat penting untuk untuk dimiliki oleh seorang
pemimpin. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan teknis yang
sesuai bidang tugasnya dan jenis pekerjaan masing-masing. Kesesuaian
kompetensi teknik ini dapat membantu dalam penempatan pegawai sesuai
dengan prinsip “the right mano n the right place”. Sebagai seorang
pemimpin, kemampuan diatas perlu dimiliki baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk menetapkan kebijakan.
18
35. d. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial yang dimaksud adalah bahwa seorang pemimpin harus
memiliki kemampuan beradaptasi, membangun jejaring kerja (network) dan
membangun komunikasi yang efektif dengan berbagai pelanggan.
Kompetensi sosial ini sangat penting untuk melihat kekuatan dan sumber
daya serta kelemahan yang dapat diatasi dari lingkungan sosialnya.
e. Kompetensi Etik
Kompetensi etik diartikan bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas
kepribadian dan moral yang baik, jujur dan senantiasa mempertimbangkan
nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya Sujatno (2007) menyimpulkan bahwa untuk menjadi seorang
pemimpin yang besar dan credible, maka yang harus dilakukan seorang
pemimpin adalah melayani (to serve) dan harus mempunyai 5 (lima) kebiasaan
yaitu :
1) See the future (melihat masa depan);
2) Engage and develop others (melibatkan dan kembangkan orang lain);
3) Reinvent continuously (temukan kembali terus menerus);
4) Value results and relationships (hargai hasil dan hubungan);
5) Embody the values (mewujudkan nilai).
Disisi lain, terjadinya pergeseran paradigma dari “Government is to
govern”menjadi “Government is to serve the people” sebagai akibat perubahan
situasi politik dan perekonomian global di akhir era tahun 1990an, dalam
perkembangannya memerlukan pula penyesuaian terhadap konsep dan cara
pendekatan dalam pelaksanaan manajemen pemerintah.
Berkaitan dengan ini, sebagaimana dikemukakan A. Aziz Sanapiah (2010)
bahwa UNDP (1998) dengan memakai pendekatan konsep “From Government
To Governance” dalam penyelenggaraan manajemen di sektor publik (Public
Management) menganggap perlu dilakukan perubahan secara mendasar
19
36. mengenai cara pandang dalam melihat peran pemerintah dalam manajemen
publik, yaitu :
Pemerintah yang semula dipandang sebagai pengelola melalui instrument
birokrasi, memerlukan perubahan dengan “melibatkan masyarakat dan sektor
swasta”;
Pendekatan yang semula fokus pada kewenangan dan power, diubah
menjadi “pendekatan pada manajemen”;
Pandangan semula bahwa masyarakat sebagai objek dan kurang partisipasi
dan pemberdayaan, diubah dengan memandang “masyarakat sebagai subjek
dan mendorong partisipasi dan pemberdayaan mereka”.
Perubahan cara pandang mengenai peran penyelenggaraan pemerintah
yang melibatkan masyarakat dan sektor swasta tersebut, selanjutnya merupakan
landasan kearah kepemerintahan yang baik (Good Governance). Dalam kaitan
ini, Basuki (2009 : 18) menyampaikan adanya pemisahan yang tegas antara
peran ketiga pilar Good Governance termaksud yaitu :
Negara : menciptakan kondisi politik, ekonomi dan social yang stabil;
membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan pelayanan
publik yang efisien dan akuntabel; menegakan HAM; melindungi lingkungan
hidup; mengurus standar kesehatan dan standar pelayanan public;
Sektor Swasta : menjalankan industry; menciptakan lapangan kerja;
menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup
masyarakat; memelihara lingkungan hidup; mentaati peraturan; transfer ilmu
pengetahuandan teknologi kepada masyarakat; menyediakan kredit bagi
pengembangan UKM;
Masyarakat Madani : menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
mempengaruhi kebijakan public; sarana checks and balances pemerintah;
mengawasi penyalahgunaan wewenang sosial pemerintah; mengembangkan
SDM, sarana komunikasi antar masyarakat.
20
37. Dalam operasional pelaksanaannya fungsi ketiga domain tersebut
dijabarkan sebagai berikut dimana :
Fungsi Pemerintah, meningkatkan kompetensi aparatur dengan
menganggarkan biaya pendidikan dan pelatihan bidang terkait;
Fungsi Sektor Swasta, menjadi mitra kerja pemerintah dalam kerjasama
evaluasi eksternal;
Fungsi Masyarakat, mengorganisir diri dalam kelompok masyarakat untuk
melakukan social control terhadap tingkat kinerja aparatur
2. Paradigma Organisasi Pembelajaran
Dalam organisasi pembelajaran, seorang pimpinan harus mampu
memainkan peranan baru (new roles), dapat memiliki ketrampilan baru (new
skills), dan mampu menggunakan sarana baru (new tools) untuk pemetaaan
masalah yang dihadapi organisasi dengan 5 (lima) disiplin yang esential yang
diajarkan Peter Senge (1990), yaitu : (a) Berpikir sistemik (Systems Thinking);
(b) Keahlian Pribadi (Personal Mastery); (c) Mental Model (Model Mental); (d)
Membangun Visi Bersama (Building Shared Vision); dan (e) Pembelajaran
Tim (Team Learning).
Untuk mengembangkan berpikir systemic dalam Learning
Organization, diperlukan komitmen dari para pimpinan untuk membuka diri
dan mau mendengar apa yang tidak ingin didengar. Oleh karena itu
pemimpin juga harus “unconcious competences”, “creatives” dan “visionary”,
“learning community” dan “adaptive value” serta mau melakukan “inventory
technology based competences”, yang berupa konsep, idea, gagasan untuk
memastikan tercapainya suatu tujuan.
Membangun visi bersama dalam organisasi merupakan suatu proses
learning organization. Learning Organization mengajak para anggota
organisasi untuk berpikir holistik dan sistemik dengan memperhatikan
lingkungan eksternal dan internal. Berpikir secara sistemik berarti berusaha
21
38. untuk memahami dan melihat secara menyeluruh, secara utuh seluruh
bagian-bagian yang ada dalam system, dan mampu mengkomunikasikan
tentang kompleksitas dan saling ketergantungan antar bagian/komponen.
Keunggulan berpikir systemic adalah dapat melihat realitas dalam
masyarakat secara menyeluruh; dapat mendeteksi hubungan-hubungan yang
tidak kentara, tetapi pengaruhnya sangat nyata dalam situasi dynamic
complexity, mendorong tindakan bersifat antisipatif, bukan semata-mata
reaktif.
Selanjutnya kelima disiplin Senge (1990) tersebut perlu dikembangkan
sebagai suatu kesatuan utuh, sehingga dapat diwujudkan di dalam tindakan
nyata sehari-hari. Keterpaduan kelima disiplin tersebut dapat dicapai melalui
suatu proses dialog yang merupakan disiplin tambahan dalam mewujudkan
organisasi pembelajaran.
Kelima disiplin tersebut diintegrasikan oleh dialog. Dialog adalah salah
satu bentuk komunikasi lisan yang dapat digunakan untuk memahami suatu
persoalan dilihat dari berbagai sudut pandang. Melalui dialog manusia akan
mampu melihat representatif dan sifat-sifat partisipatif pemikiran sehingga
lebih peka dalam menyadari keterbatasan pemahamannya.
Gambaran organisasi pembelajaran tersebut dapat dijelaskan pada
diagram berikut ini :
22
39. Gambar 2.1:
Interaksi disiplin kelima dalam organisasi
Berpikir
Sistemik
Keahlian Mental
Pribadi Dialog dan Model
Diskusi
Terampil
Pembelajaran Visi
Tim Bersama
3. Paradigma Pembangunan Sumber Daya Manusia.
Pengembangan SDM akan selalu menjadi titik central dalam upaya
peningkatan kinerja organisasi, peningkatan daya saing, baik pada skala
mikro (organisasi) maupun makro (bangsa) dan bahkan skala global.
Organisasi akan survive juga akan tergantung oleh SDM yang dinamis dan
mau belajar terus menerus serta berhasil membentuk team learning.
Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa dunia kerja lebih
memerlukan SDM yang mempunyai (1) kemampuan pribadi ( jujur,
tanggungjawab, komitmen, disiplin tinggi, etika), dan (2) kemampuan sosial.
Artinya bahwa kemampuan teknis bukan menjadi penentu dalam penerimaan
pegawai.
Bagi lembaga pemerintah, yang menjadi masalah adalah bahwa belum
semua lembaga mengikuti adanya perubahan paradigma pembangunan
SDM, sehingga sistem manajemen SDM masih menggunakan pola lama
23
40. yang tidak memperhatikan pendekatan pengelolaan SDM berbasis
kompetensi.
Pengembangan SDM melalui dunia pendidikan perlu melihat
kecenderungan kebutuhan pasar/dunia kerja. Namun pada umumnya dunia
pendidikan dalam menyiapkan SDM lebih kepada mewujudkan kemampuan
teknis, sehingga tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana dunia
pendidikan mampu mewujudkan keseimbangan antara kemampuan berpikir,
kemampuan berperasaan, dan kemampuan dalam bertindak. Dengan
demikian tantangan bagi dunia pendidikan agar selain mewujudkan
kemampuan teknis juga perlu menambahkan 5 (lima) goal untuk mewujudkan
SDM yang mempunyai perilaku positif, yaitu :
Tanggungjawab pada diri sendiri dan kepada orang lain (kematangan
pribadi);
Tanggungjawab sosial, dimana individu mampu menyatu dengan
masyarakat dan selalu mampu memelihara masyarakat;
Tanggungjawab psikologi, yaitu individu yang tidak membuat resah dirinya
sendiri maupun orang lain;
Tanggungjawab hukum, yaitu individu yang mampu mematuhi dan
menegakkan hukum;
Tanggungjawab moral, yaitu mengetahui hal yang baik dan buruk.
G. Konsep Kebijakan Publik
Menurut Mustopadidjaja (2001), kebijakan publik merupakan suatu
keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk
melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang
dilakukan oleh Instansi yang berkewenangan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan.
Kebijakan publik dalam rangka penyelenggaraan negara merupakan
suatu stratifikasi kebijakan yang dari sudut manajemen dapat dibagi atas tiga
kelompok, yaitu:
1. Kebijakan umum (stratejik).
24
41. 2. Kebijakan manajerial.
3. Kebijakan teknis-operasional yang berkaitan satu sama lain.
Menurut Dunn (1991), masalah-masalah Kebijakan adalah produk
pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan, suatu elemen situasi masalah,
yang diabstraksikan dari situasi oleh para analis. Dengan begitu, apa yang
kita alami merupakan situasi masalah, bukan masalah itu sendiri, yang
seperti atom atau sel, merupakan suatu konstruksi nasional. Masalah-
masalah Kebijakan adalah kebutuhan atau kesempatan-kesempatan yang
tidak terealisir, tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan Kebijakan publik.
Perumusan masalah, yang merupakan fase penelitian kebijakan
dimana para analis menelaah berbagai formulasi masalah yang saling
berbeda dari para pelaku kebijakan, tidak dapat dipungkiri merupakan
kegiatan yang paling penting, dari para analis kebijakan. Perumusan masalah
merupakan sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang
mempengaruhi keberhasilan semua fase analis kebijakan dewasa ini.
Memahami masalah kebijakan adalah sangat penting , karena para analis
kebijakan kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan
“masalah yang salah”, lebih baik memutuskan solusi yang salah terhadap
masalah yang benar.
Perumusan masalah merupakan pengetahuan yang mempersoalkan
asumsi-asumsi yang mendasari : definisi masalah, pembuatan kebijakan
melalui agenda setting. Sehingga dalam perumusan masalah dikemukakan:
1. Asumsi yang tersembunyi
2. Mendiagnosa sebab-sebab dan akibat
3. Memetakan tujuan
4. Memadukan pandangan yang bertentangan
5. Merancang peluang
Dunn (1991) menjelaskan beberapa sifat atau ciri khas dari masalah
Kebijakan, sebagai berikut :
1. Saling ketergantungan dari masalah Kebijakan
2. Subyektivitas dari masalah Kebijakan
25
42. 3. Sifat buatan dari masalah
4. Dinamika masalah Kebijakan
5. Dilihat dari rumit tidaknya masalah
Dunn (1991) mengurai teknik atau metode-metode perumusan
masalah sebagai berikut : Perumusan masalah, mengambil prioritas di atas
pemecahan masalah, dalam analisis Kebijakan. Perumusan masalah, dapat
dipandang sebagai suatu proses , dengan 4 fase, yang saling tergantung,
yaitu: pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem
definition), spesifikasi masalah (problem specification), dan pengenalan
masalah. Selanjutnya William N. Dunn mengusulkan tahap-tahap perumusan
masalah sebagaimana terlihat pada diagram berikut ini :
Gambar 2.2:
Tahap-tahap Perumusan Masalah
Meta Masalah
B
Pencarian 2 Pendefinisian
3
Masalah Masalah
Situasi
Masalah
Masalah C
A Substantif
Pengenalan
1 4 Spesifikasi
Masalah Masalah
D
Masalah Formal
Mustopadidjaja mengusulkan tujuh langkah yang perlu dilakukan sejak
dari pengkajian persoalan sampai perumusan rekomendasi kebijakan.
Langkah-langkah tersebut antara lain :
1. Pengkajian Persoalan
26
43. Pengkajian Persoalan bertujuan menemukan dan memahami hakekat
persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam
hubungan sebab akibat. Tiga bekal pokok yang perlu dimiliki dalam
pengkajian persoalan ini adalah teori, metodologi perumusan masalah
dan informasi.
2. Penentuan Tujuan
Tujuan adalah akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin dihindari
secara umum suatu kebijakan selalu bertujuan untuk mencapai kebaikan-
kebaikan yang lebih banyak dan lebih baik atau mencegah terjadinya
keburukan atau kerugian. Tujuan harus dirumuskan secara jelas, realistis
dan terukur.
3. Perumusan Alternatif
Pengembangan alternatif dilakukan berdasarkan :
a. Pengamatan terhadap kebijakan yang ada (sedang dilaksanakan) dan
kemudian diperbaiki secara bertahap (incremental).
b. Melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam suatu bidang
dan coba menerapkannya dalam bidang yang sedang dipelajari
(branching).
c. Merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu (inventive).
4. Penyusunan Model
Model adalah penyederhanaan dari kenyataan persoalan yang dihadapi,
diwujudkan dalam hubungan-hubungan kausal atau fungsional. Model
dapat dituangkan dalam berbagai bentuk yang dapat digolongkan
sebagai berikut : skematik model (seperti flow chart dan diagram) model
fisik seperti miniatur, game model (seperti adegan latihan manajemen,
peperangan dan sebagainya). Model akan bermanfaat dalam melakukan
prediksi akibat-akibat yang timbul dari ada atau tiadanya perubahan-
perubahan dalam faktor penyebab. Dengan demikian model merupakan
alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi atau dalam
perumusan tujuan dan pengembangan serta penentuan pilihan alternatif
kebijakan.
27
44. 5. Penentuan Kriteria
Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk
menilai alternatif-alternatif. Ini menyangkut bukan saja hal-hal yang
bersifat pragmatis seperti ekonomi (efisien, dan sebagainya) politik
(konsensus antar stakeholders dan sebagainya) Administratif (efektifitas
dan sebagainya), tetapi juga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai abstrak
yang fundamental seperti etika dan filsafat (pemerataan, persamaan dan
sebagainya).
6. Penilaian Alternatif
Alternatif-alternatif yang dikembangkan selanjutnya dinilai berdasarkan
kriteria yang disepakati. Tujuan penilaian alternatif adalah untuk
mendapatkan gambaran lebih jauh tentang efektivitas, efisiensi dan
kelayakan masing-masing alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga
diperoleh kesimpulan mengenai alternatif mana yang paling efektif dan
paling efisien atau paling layak.
7. Perumusan Rekomendasi
Penilaian alternatif akan memberi gambaran tentang sejumlah pilihan-
pilihan yang tepat untuk mencapai tujuan tertentu. Langkah akhir dari
analisis kebijakan adalah merumuskan sasaran mengenai alternatif yang
diperhitungkan dapat mencapai tujuan secara optimal pada kondisi
berbagai faktor lingkungan, administrasi dan ekonomi tertentu. Dalam
rekomendasi sebaiknya dikemukakan pula strategi pelaksanaan dari
alternatif yang disarankan atau direkomendasi.
Pelaksanaan dan pengendalian kebijakan merupakan mata rantai
perlengkapan dalam proses Kebijakan Publik (KP), dimana kebijakan publik
yang telah disahkan dan telah dicantumkan dalam Lembaran Negara (LN)
siap untuk dilaksanakan.
Kebijakan Publik ada yang self executing (yaitu dengan sendirinya
telah terimplikasikan begitu suatu kebijakan ditetapkan) dan ada yang non
self executing, pelaksanaan dan pengendalian kebijakan publik ditujukan
28
45. agar tujuan dikeluarkannya kebijakan publik dapat segera tercapai dengan
dampak negatif yang sekecil.
Sifat kebijakan publik, self executing atau non self executing. Siapa
yang paling bertanggung jawab, apakah eksekutif, legislatif, badan-badan
pemerintah, pihak swasta, pemerintah, LSM dan masyarakat.
Pelaksanaan pengendalian kebijakan publik dilakukan secara simultan
yang berorientasi pada sasaran dan tujuan serta target group dari kebijakan
publik harus efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya berdasarkan
prosedur.
Evaluasi Kebijakan Publik merupakan langkah terakhir dalam proses
suatu kebijakan, yang dilakukan pada tahap pemanfaatan pelaksanaan,
pengawasan ataupun pertanggungjawaban.
Setiap tahapan berisi kegiatan pengumpulan dan analisis data
informasi serta pelaporan perkembangan pencapaian hasil kegiatan
pelaksanaan.
Evaluasi kebijakan mempunyai tiga klasifikasi, yaitu :
1. Evaluasi administrasi.
2. Evaluasi kebijakan bidang hukum.
3. Evaluasi politik.
Evaluasi kinerja kebijakan pada hakikatnya dilakukan untuk
mengetahui ketepatan dan aktifitas agar dapat dilakukan langkah-langkah
selanjutnya untuk mencapai manfaat yang lebih baik.
Prinsip-prinsip Evaluasi Kebijakan, terdiri dari :
1. Fokus Nilai : Evaluasi ditujukan kepada pemberian nilai terhadap manfaat
atau kegunaan.
2. Interpendensi fakta – nilai : hasil evaluasi tidak hanya tergantung pada
bukti-bukti tetapi juga terhadap nilai-nilai.
3. Orientasi masa kini dan masa lalu : evaluasi mempersoalkan masa lalu.
4. Obyektif evaluasi menyatakan : penemuan-penemuan yang terdapat
dilapangan apa adanya dengan meningkatkan keterlibatan aktif
masyarakat.
29
46. Dalam metode dan pendekatan evaluasi kinerja kebijakan, terdapat
dua analisis, yaitu :
1. Analisis lintas dampak yaitu untuk mendapat bukti manfaat dalam
mengidentifikasikan hasil kebijakan yang terantisipasi (kurang
diperhitungkan) yang berlandaskan dengan mencapai program kebijakan.
2. Analisis Survei Pemakaian (user survey analysis) adalah serangkaian
prosedur untuk mengumpulkan mengenai evaluasi suatu kebijakan
program dari calon pengguna dan pelaku-pelaku lainnya.
Teknik-teknik Pengukuran dalam Evaluasi Kinerja, yaitu :
1. Penafsiran evaluasi analisis.
2. Tahap-tahap dalam pelaksanaan analisis manfaat ganda.
3. Teknik-teknik pengukuran (tujuan dan teknik-teknik untuk evaluasi
sistematik).
4. Macam-Macam Bentuk Ukuran Kinerja.
a. Rasio masukan dan keluaran dengan sejumlah atau pelayanan yang
diberikan sebagai ukuran dan jam kerja atau unit biaya pelayanan
yang diberikan sebagai ukuran masukan.
b. Asumsi pada setiap tipe pengukuran merupakan kualitas keluaran
yang dilaksanakan secara tetap atau penyempernuaan-
penyempurnaan sebagai sesuatu rasio yang lebih efisien yang dapat
dicapai.
5. Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard dinyatakan oleh para alhli sebagai suatu system
manajenmen stratejik menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi
kedalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja dalam empat perspektif
yang saling berhubungan, yaitu : keuangan, kepuasan pelanggan,
penyempurnaan proses internal, pembelajaran dan inovasi/pertumbuhan,
perspektif yang satu akan berdampak pada keberhasilan perspektif
lainnya.
30
47. H. Konsep Manajemen Stratejik
Manajemen Stratejik (Strategic Management) dapat didefinisikan
sebagai seni dan ilmu dalam merumuskan, menerapkan dan mengevaluasi
keputusan-keputusan, antara lain fungsi kegiatan sehingga suatu organisasi
dapat mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki.
Kajian manajemen stratejik menggunakan model manajemen stratejik
Whittaker yang disempurnakan terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menetapkan Visi, Misi dan Nilai Organisasi
a. Visi adalah gambaran masa depan yang dipilih dan hendak
diwujudkan dan kondisi ideal tentang masa depan yang realistis, dapat
dipercaya, meyakinkan serta mengandung daya tarik.
b. Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai
organisasi dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai visi.
c. Nilai adalah menjelaskan bagaimana kita seharusnya bersikap dalam
menjalankan tugas dalam rangka mencapai visi organisasi.
2. Pencermatan Lingkungan Stratejik
a. Pencermatan Lingkungan Internal (PLI) yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan untuk menganalisis dan mencermati kekuatan dan
kelemahan dari dalam organisasi sendiri.
b. Pencermatan Lingkungan Eksternal (PLE) yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan untuk menganalisis dan mencermati peluang dan ancaman
dari luar organisasi
3. Implementasi Systems Thinking pada Manajemen Stratejik.
Aplikasi atau implementasi systems thinking pada manajemen
stratejik bertujuan untuk menyelesaikan, memecahkan atau solusi
pemecahan masalah secara sistem (sistemik) yang ada.
4. Implementasi Scenario Planning pada Manajemen Stratejik
Proses implementasi scenario planning pada dasarnya bersifat linier
dan merupakan suatu kegiatan yang memerlukan proses pelaksanaan
secara bertahap. Dari berbagai kajian tentang proses penyusunan
31
48. rumusan scenario planning ternyata tidak ada proses pentahapan yang
baku.
5. Implementasi Balanced Scorecard Pada Manajemen Stratejik
Penggunaan Balanced Scorecard dalam konteks organisasi
ditujukan untuk menghasilkan proses yang produktif dan cost effective,
menghasilkan financial return yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
mengembangkan sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen,
mewujudkan produk dan jasa yang mampu menghasilkan value terbaik
bagi customer pelanggan.
32
49.
50. BAB III
INSTRUMEN ANALISIS
A. Instrumen Analisis Kajian Paradigma
Instrumen analisis kajian paradigma akan menjelaskan tentang
organisasi pembelajaran (learning organization) bahwa paradigma cukup
efektif dan berguna bagi setiap organisasi, karena dengan paradigma
pembelajaran ini akan mendorong setiap aparatur untuk terus menerus
meningkatkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang mereka inginkan
dan dimana pola pikir baru dan luas terus dikembangkan, aspirasi kolektif
dibiarkan bebas dan anggota-anggotanya terus berjalan bersama. Dengan
demikian mereka akan terus belajar menambah ilmu pengetahuan,
kemampuan dan keterampilan serta wawasan sehingga kinerja mereka terus
meningkat dan mereka senantiasa dapat menyesuaikan dirinya dengan
perkembangan yang terus berubah.
Dalam kaitan ini, di lingkungan Direktorat EKPD-Bappenas, penerapan
konsep paradigma baru yang meliputi Building Learning Commitment (BLC)
dan Building Learning Organization (BLO) sudah diterapkan namun belum
optimal sehingga masih perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari indikasi
sebagai berikut :
1. Building Learning Comitment (BLC)
Komitmen pembelajaran sudah ada dengan telah dilaksanakan berbagai
pendidikan dan pelatihan bagi aparatur namun masih perlu ditingkatkan
sehingga seluruh aparatur memiliki komitmen, motivasi dan rasa
tanggungjawab yang kuat untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam
melaksanakan tupoksinya.
2. Building Learning Organization (BLO)
a. Systems Thinking, belum semua aparatur termasuk unsur pimpinan,
yaitu Direktur dan para Kasubdit, dapat mengembangkan pola berpikir
33
51. sistemik dalam memecahkan persoalan organisasi seperti dengan
menggunakan instrumen atau piranti archetype.
b. Personal Mastery, belum semua aparatur memiliki kemampuan
profesional dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya masing-
masing.
c. Mental Models, belum semua aparatur memiliki mental models positif
bahkan mental block. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya sebagian
aparatur yang kurang respon dan disiplin terhadap tugasnya.
d. Building Shared Vision, belum semua aparatur dalam melaksanakan
tugasnya mengacu pada visi bersama yang sudah disepakati. Mereka
lebih cenderung bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti harus ada pedoman, juklak dan juknis.
e. Team Learning, belum semua aparatur dilibatkan dalam
mengembangkan tim pembelajaran dalam penanganan masalah yang
dihadapi. Hal ini terlihat dari masih kurangnya kerjasama, koordinasi,
interaksi individu dalam pelaksanaan tugas.
B. Instrumen Analisis Kajian Kebijakan Publik
Dalam instrumen analisis kajian kebijakan publik dikatakan bahwa
kebijakan publik memegang posisi yang sangat penting dalam pelaksanaan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan, yang dalam hal ini
termasuk Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD). Oleh karena itu,
pertimbangan yang sangat cermat dan menyeluruh harus selalu menjadi
acuan utama bagi pembuat kebijakan karena setiap produk kebijakan selalu
akan berdampak multidimensional terhadap publik. Kebijakan apapun yang
dikeluarkan oleh pembuat kebijakan harus selalu berorientasi kepada tujuan
dan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pada Direktorat EKPD-Bappenas, penerapan konsep kebijakan publik
telah diterapkan dan dijabarkan dalam berbagai kebijakan teknis operasional,
namun belum mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan merespon
harapan pemerintah, masyarakat dan pihak swasta.
34
52. Kesenjangan ini terjadi karena dalam merumuskan masalah kebijakan
belum sepenuhnya menggunakan langkah-langkah perumusan masalah
kebijakan seperti yang dianjurkan oleh William N. Dunn atau Prof.
Mustopadidjaja AR, sehingga kebijakan teknis yang sudah dirumuskan sering
mengalami hambatan dalam pelaksanaan karena terbentur oleh masalah
kemampuan SDM, dana, sarana dan prasarana, administrasi, manajemen
dan lain-lain.
Oleh karena itu, di lingkungan Direktorat EKPD-Bappenas masih perlu
pemahaman yang lebih mendalam terhadap konsep-konsep perumusan
masalah kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih efektif dan
efisien.
C. Instrumen Analisis Kajian Manajemen Stratejik
Instrumen analisis kajian manajemen stratejik menerangkan bahwa
manajemen stratejik adalah suatu cara untuk mengendalikan organisasi
secara efektif dan efisien, sampai kepada implementasi garis terdepan,
sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Sasaran
manajemen stratejik adalah meningkatkan : kualitas organisasi, efisiensi
penganggaran, penggunaan sumber daya, kualitas evaluasi program dan
pemantauan kinerja, serta kualitas pelaporan.
Manajemen Stratejik terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Perencanaan Stratejik (Perencanaan Konseptual) : merupakan langkah
awal yang harus dilakukan oleh Direktorat EKPD-Bappenas agar mampu
menjawab tuntutan lingkungan stratejik lokal (masyarakat dan swasta),
nasional, global dan tetap berada dalam tatanan Sistem Administrasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI).
2. Perencanaan Kinerja (Perencanaan Operasional) : Merupakan proses
penyusunan rencana kerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program
yang ditetapkan dalam rencana stratejik, yang akan dilaksanakan oleh
Direktorat EKPD-Bappenas melalui berbagai kegiatan tahunan.
35
53. Proses perumusan manajemen stratejik yang dipergunakan dalam
penyusunan KTP2 ini mulai dari perumusan visi sampai pada penyusunan
program, di mana dalam program tersebut merupakan kumpulan kegiatan
nyata, sistematis dan terpadu yang dilaksanakan oleh aparatur Direktorat
EKPD-Bappenas dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan dan
sasaran yang ditetapkan.
Adapun langkah-langkah proses perumusan manajemen stratejik :
1. Perumusan Visi, Misi, Nilai.
2. Pencermatan Lingkungan Stratejik, yang meliputi:
a. Pencermatan Lingkungan Internal (PLI),
b. Percermatan Lingkungan Eksternal (PLE),
c. Kesimpulan Analisis Faktor Internal (KAFI), dan
d. Kesimpulan Analisis Faktor Ekternal (KAFE).
Implementasi Systems Thinking pada Manajemen Stratejik.
Aplikasi atau implementasi systems thinking pada manajemen
stratejik bertujuan untuk menyelesaikan, memecahkan atau solusi
pemecahan masalah secara sistem (sistemik) yang ada di Direktorat EKPD-
Bappenas.
Implementasi Balanced Score Card pada Manajemen Stratejik
Penggunaan Balanced Score Card dalam konteks organisasi
ditujukan untuk menghasilkan proses yang produktif dan cost effective,
menghasilkan financial return yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
mengembangkan sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen,
36
54. mewujudkan produk dan jasa yang mampu menghasilkan value terbaik bagi
customer pelanggan.
Implementasi Scenario Planning pada Manajemen Stratejik
Proses implementasi scenario planning pada dasarnya bersifat linier
dan merupakan suatu kegiatan yang memerlukan proses pelaksanaan
secara bertahap. Dari berbagai kajian tentang proses penyusunan rumusan
scenario planning ternyata tidak ada proses pentahapan yang baku.
37
55.
56. BAB IV
ANALISIS PERMASALAHAN
A. Deskripsi Direktorat Evaluasi Kinerja Pembanguan Daerah
(EKPD) Bappenas
1. Tugas Pokok
Menurut Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
No.PER.005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Menneg
PPN/Bappenas, Direktorat EKPD-Bappenas mempunyai tugas
melaksanakan perumusan kebijakan dan koordinasi, pemantauan,
evaluasi, dan penilaian pelaksanaan program kinerja pembangunan
daerah.
2. Fungsi
Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Direktorat EKPD-
Bappenas menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan dan koordinasi pemantauan dan evaluasi
kinerja pembangunan daerah;
2. Pemantauan, evaluasi, dan penilaian pelaksanaan program, lintas
program, prioritas RKP serta RPJMN termasuk agenda
pembangunan yg dicanangkan oleh Presiden di bidang
pembangunan daerah;
3. Penyusunan dan pelaporan kinerja pembangunan daerah;
4. Pelaksanaan hubungan kerja bidang pemantauan dan evaluasi
kinerja pembangunan daerah;
38
57. 5. Penyusunan rencana kerja pelaksanaan tugas dan fungsinya serta
evaluasi dan pelaporan pelaksanaannya;
6. Koordinasi pelaksanaan kegiatan pejabat fungsional perencana di
lingkungan direktoratnya.
3. Indikator Pencapaian Target
Menurut Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No.1/2010
tentang Rencana Strategis Kementerian PPN/Bappenas 2010-2014,
indikator pencapaian target pembangunan 2010-2014 Direktorat EKPD-
Bappenas adalah sebagai berikut:
1. Persentase kesesuaian kebijakan rencana terhadap pembangunan di
daerah terhadap Undang-undang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
2. Persentase hasil Evaluasi Pembangunan Daerah terhadap rancangan
dokumen lima tahunan (RPJMN)
3. Persentase hasil evaluasi pembangunan daerah terhadap rancangan
dokumen tahunan (RKP)
4. Persentase ketepatan waktu penyelesaian pelaksanaan pemantauan
dan evaluasi kinerja pembangunan daerah
5. Persentase kesesuaian muatan rekomendasi hasil pemantauan dan
evaluasi tematik pembangunan daerah dengan RPJMN
6. Persentase hasil evaluasi kinerja pembangunan daerah terhadap
pelaksanaan kebijakan prioritas pembangunan dalam RPJMN/RKP
(evaluasi tematik)
7. Persentase daerah yang memiliki dokumen pedoman evaluasi kinerja
pembangunan daerah.
8. Jumlah dokumen evaluasi di bidang evaluasi kinerja pembangunan
daerah tingkat provinsi
39
58. B. Analisis Kajian Paradigma
Sebagaimana dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa pelaksanaan
tugas dan fungsi Direktorat EKPD-Bappenas belum optimal, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam pemenuhan pencapaian target yang menjadi
tanggungjawabnya.
Faktor yang sangat penting untuk dibenahi adalah bagaimana
strategi yang diupayakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia untuk melaksanakan fungsi evaluasi lingkungan Bappenas.
Strategi yang dilakukan antara lain melalui kajian paradigma: 1)
membangun komitmen belajar, 2) membangun organisasi pembelajaran; 3)
peran kepemimpinan dalam penerapan prinsip Good Governance.
1. Membangun Komitmen Belajar (BLC)
Komitmen belajar sangat penting dilakukan dalam rangka
meningkatkan kualitas sumber daya manusia para evaluator di Direktorat
EKPD-Bappenas. Hal ini perlu dilakukan karena sumber daya manusia
memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan
tugas pencapaian target evaluasi secara keseluruhan.
Komitmen belajar mendorong aparatur untuk dapat
mengembangkan nilai-nilai pribadi secara positif. Oleh karenanya BLC
perlu dilakukan secara konsisten oleh Direktorat EKPD-Bappenas
melalui kegiatan-kegiatan seperti diklat, kursus, seminar, lokakarya,
litbang, dan sebagainya. Proses pembelajaran seperti itu merupakan
proses pembelajaran pengalaman nyata, pengamatan cermat, serta
konseptualisasi abstrak eksperimentasi. Dengan demikian, dapat
diketahui gaya belajar apa yang diperankan oleh para evaluator di
Direktorat EKPD-Bappenas. Selanjutnya dengan terus melakukan
pembelajaran maka staf akan menyikapi persoalan organisasi dalam
mencapai tujuannya.
40
59. 2. Membangun Organisasi Pembelajaran (BLO)
Upaya pengembangan organisasi pembelajaran adalah strategi
yang tepat untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Direktorat
EKPD-Bappenas terutama untuk mengatasi kendala-kendala yang ada.
Sebab dengan membangun organisasi pembelajaran maka akan tercipta
aparatur yang memiliki kualitas dalam menjalankan tugas dan fungsi
serta kebijakan-kebijakan yang ditetapkan.
Dalam pengembangan organisasi pembelajaran, Direktorat
EKPD-Bappenas telah melaksanakan program-program peningkatan
kualitas sumber daya manusia baik teknis fungsional maupun struktural,
namun hal ini dirasakan belum optimal karena keterbatasan anggaran
serta ketergantungan pada unit lain yang mempunyai kewenangan
merencanakan diklat aparatur. Persoalan yang paling penting adalah
bahwa fifth disciplines yang meliputi personal mastery, mental models,
building shared vision, team learning, dan system thinking, belum
dikembangkan secara penuh di lingkungan Direktorat EKPD-Bappenas.
Hal tersebut terindikasikan dengan masih ada sumber daya
manusia yang dalam pelaksanaan pekerjaan yang kurang terampil dan
ahli karena kompetensi yang tidak sesuai dengan bidang tugas. Masih
ada sumber daya manusia yang belum berkontribuai aktif dalam
menghadapi persoalan-persoalan organisasi, dan belum ada
pemahaman mengenai visi organisasi.
Di samping itu, cara berpikir untuk menyelesaikan suatu masalah
masih bersifat linier, hal ini terlihat dari cara menyelesaikan suatu
permasalahan oleh staf evaluator tidak bersifat komprehensif dalam
menyelesaikan masalah organisasi, sehingga pekerjaan yang dihasilkan
tidak optimal.
Menyimak permasalahan tersebut di atas, maka sangatlah perlu
untuk mensosialisasikan konsep BLO, secara konsisten dan
41
60. berkesinambungan dengan menjadikan Direktorat EKPD-Bappenas
sebagai organisasi pembelajar.
3. Paradigma Kepemimpinan
Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsi Direktorat EKPD-
Bappenas, peranan kepemimpinan sangat penting khususnya dalam
rangka perumusan, penetapan, pelaksanaan dan pengendalian
kebijakan-kebijakan.
Melihat kondisi yang ada di Direktorat EKPD-Bappenas dengan
kendala dan permasalahan yang sudah disebutkan di atas, tidak terlepas
juga dari peran kepemimpinan yang mestinya bertanggung jawab
terhadap permasalahan yang ada. Hal ini menunjukan bahwa nilai-nilai
dan peran kepemimpinan belum diaktualisasikan secara komprehensif
dalam menjalankan tugas dan fungsi di Direktorat EKPD-Bappenas, di
samping itu juga terlihat bahwa pemahaman yang ada masih perlu
ditingkatkan kapasitasnya serta merubah cara berpikir, khususnya untuk
mendukung dapat dijalankannya peran pemimpin sebagai “as a steward,
as a designer, dan as a teacher”.
Pelaksanaan fungsi monitoring dan evaluasi memerlukan
dukungan serta peran pemimpin khususnya dalam perumusan strategi,
kebijakan dan program yang efektif dan efisien. Sebagai pelayan,
pimpinan Direktorat EKPD-Bappenas dapat mengarahkan dan
memberikan petunjuk yang tepat untuk melaksanakan kebijakan dan
strategi yang sudah ditetapkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, nilai-nilai dan peran
kepemimpinan harus dioptimalkan dalam rangka menunjang
pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat EKPD-Bappenas.
Dengan landasan teori kepemimpinan dan konsep
penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) di
atas, dan berdasarkan hasil analisa atas informasi dan data yang
42
61. diperoleh, terlihat bahwa permasalahan kredibilitas kepemimpinan
muncul sebagai akibat :
a. Rendahnya komitment dari Direktur dan ketiga Kepala Sub Direktorat
di lingkungan Direktorat EKPD-Bappenas khususnya terkait
dukungan terhadap percepatan reformasi birokrasi untuk
meningkatkan daya saing bangsa di Era Asean-China Free Trade
Area;
b. Perubahan kondisi di atas dan sejalan dengan tuntutan RPJMN
2010-2014 yang dicanangkan, jelas menuntut adanya berbagai
penyesuaian terhadap kebijakan dan aturan pelaksanaan internal
yang selama ini digunakan;
c. Kerjasama dengan sektor swasta dan pihak universitas selaku mitra
kerja, khususnya dalam pengembangan teknologi informasi untuk
peningkatan pelayanan guna memenuhi tingkat kepuasan konsumen,
juga belum dilakukan dengan optimal;
d. Kurangnya koordinasi dan keterlibatan Direktorat EKPD-Bappenas
dalam evaluasi kinerja pembangunan juga ikut berperan terhadap
rendahnya kompetensi SDM yang ada;
e. Keterbatasan dana anggaran yang tersedia setiap tahunnya,
merupakan salah satu faktor penghambat lainnya dalam optimalisasi
usaha pencapaian target tahunan Direktorat EKPD-Bappenas;
f. Kurang berfungsinya mekanisme pengawasan internal maupun
eksternal yang ada ikut mendorong berkembangnya permasalahan
rendahnya kinerja Direktorat EKPD-Bappenas.
B.1. Pemecahan Masalah
Dari hasil analisis masalah diatas dan memperhatikan pula latar
belakang, masalah pokok dan landasan teori yang ada, dicoba untuk
memecahkan masalah tersebut melalui System thinking model dengan
menggunakan Causal Loop Diagram.
43
62. Variabel-Variabel
Mengingat cukup banyaknya variabel yang memungkinkan dapat
memicu dan berperan dalam menciptakan kemunculan dan terjadinya
masalah di atas, dicoba untuk mempersempit pengelompokan variabel
dengan mencari dan menetapkan variabel-variabel dasar yang berjumlah 12
variabel yang diturunkan dari permasalahan sebagaimana dijelaskan dalam
table berikut.
Tabel 4.1:
Permasalahan dan Variabel
No. Permasalahan Variabel
1. Belum memiliki Sistem Evaluasi Sistem EKPD yang baku
Kinerja Pembangunan Daerah yang
baku.
2. Belum memiliki jaringan data yang Jaringan data yang
terintegrasi. terintegrasi
3. Masih banyaknya dokumen Dokumen perencanaan
perencanaan daerah yang belum siap daerah
di evaluasi.
4. Belum memiliki indikator kinerja Indikator kinerja
pembangunan daerah yang baku dan pembangunan daerah
komprehensif.
5. Masih kurangnya infrastruktur bidang Infrastruktur Teknologi
Teknologi Informasi di lingkungan Informasi
Direktorat EKPD-Bappenas dalam
rangka penyelenggaraan dan
penyajian informasi kinerja
pembangunan daerah.
6. Belum dimanfaatkannya hasil evaluasi Hasil evaluasi
sebagai feedback perencanaan.
7. Belum memiliki sistem evaluasi Sistem evaluasi RPJMN di
RPJMN di daerah. daerah.
8. Banyaknya peraturan perundang- Peraturan perundang-
undangan yang terkait di bidang undangan
evaluasi kinerja pembangunan daerah
yang belum harmonis.
9. Terbatasnya jumlah staf organik untuk Staf Direktorat EKPD
mendukung Tupoksi Direktorat,
sekurang-kurangnya dua orang staf
44
63. No. Permasalahan Variabel
pada setiap Subdit.
10. Masih kurangnya kapasitas para staf Kapasitas staf EKPD
dalam bidang evaluasi kinerja
pembangunan daerah sehubungan
dengan baru terbentuknya kedeputian
evaluasi.
11. Kurangnya koordinasi antar Direktorat Koordinasi
dalam rangka melaksanakan evaluasi
dan informasi kinerja pembangunan
daerah.
12. Adanya duplikasi Tupoksi dengan Duplikasi Tupoksi
instansi lain di bidang evaluasi kinerja
pembangunan daerah.
Analisis Causal Loop Diagram (Leverage dan Ranking)
Dengan menggunakan metode analisis Causal Loop Diagram melalui
program Vensim, dapat digambarkan hubungan antar dua belas variabel di
atas sebagai berikut :
CLD Direktorat EKPD-Bappenas
S
Jaringan data yang
terintegrasi S
S
Peraturan S Dokumen
perundang-undangan perencanaan daerah
S S
S
S
Indikator kinerja S S
Sistem EKPD pembangunan daerah Hasil evaluasi
yang baku
S S
S S S
S S
Infrastruktur Staf Direktorat
Sistem evaluasi Teknologi Informasi
RPJMN di daerah S EKPD
S S S
Kapasitas staf S
Duplikasi Tupoksi
EKPD
S
S Koordinasi
S
45
64. Berdasarkan penghitungan jumlah loop, maka yang menjadi pengungkit
adalah Sistem EKPD yang baku, dengan gambar Uses Tree maupun Causes
Tree untuk menjelaskan hubungan pengungkitnya adalah sebagai berikut :
Uses Tree
Dokumen perencanaan daerah
Jaringan data
Infrastruktur Teknologi Informasi
yang terintegrasi
(Indikator kinerja pembangunan daerah)
Sistem EKPD
yang baku (Dokumen perencanaan daerah)
(Sistem EKPD yang baku)
Indikator kinerja
pembangunan daerah Peraturan perundang-undangan
Sistem evaluasi RPJMN di daerah
Causes Tree
(Sistem EKPD yang baku)
Infrastruktur Teknologi Informasi Indikator kinerja
pembangunan
Jaringan data yang terintegrasi daerah
Sistem EKPD
Staf Direktorat EKPD
yang baku
Dokumen perencanaan daerah
Sistem evaluasi
Koordinasi RPJMN di
daerah
(Indikator kinerja pembangunan daerah)
46