SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 83
Downloaden Sie, um offline zu lesen
102
o
0
o
Tutupan Hutan Alam Riau 2007:
Hutan di kawasan gambut yang tersisa 2007
Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa 2007
Hutan di kawasan gambut yang hilang 1982-2007
Hutan di kawasan bukan gambut yang hilang 1982-2007
102
o
0
o
Tutupan Hutan Alam Riau 1982:
Hutan di kawasan gambut yang tersisa 1982
Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa 1982
0 10050
Kilometers
0 10050
Kilometers
Deforestasi, Degradasi Hutan, Hilangnya Keanekaragaman
Hayati dan Emisi CO2
di Riau, Sumatera, Indonesia
Hilangnya Karbon dari Hutan dan Lahan Gambut di Salah Satu Provinsi di Indonesia
Selama Lebih dari Seperempat Abad dan Rencana ke Depan
Laporan Teknik WWF-Indonesia
www.wwf.or.id
February 2008
Penulis
Yumiko Uryu, Konsultan World Wildlife Fund, Washington DC, USA
Claudius Mott, Remote Sensing Solutions GmbH, Munich, Germany
Nazir Foead, WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia
Kokok Yulianto, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia
Arif Budiman, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia
Setiabudi, Konsultan WWF-Indonesia, Indonesia
Fumiaki Takakai, Universitas Hokkaido, Jepang
Nursamsu, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia
Sunarto, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia
Elisabet Purastuti, WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia
Nurchalis Fadhli, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia
Cobar Maju Bintang Hutajulu, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia
Julia Jaenicke, Remote Sensing Solutions GmbH, Munich, Germany
Ryusuke Hatano, Universitas Hokkaido, Jepang
Florian Siegert, Remote Sensing Solutions GmbH, Munich, Germany
Michael Stüwe, World Wildlife Fund, Washington DC, USA
Foto di halaman muka: Cahaya pagi di hutan kering dataran rendah Bukit Tigapuluh, Riau, Sumatera,
Indonesia © WWF-Indonesia/Sunarto.
Foto di halaman belakang: Tiga ekor anak gajah di Riau, Sumatera,Indonesia @ WWF-Indonesia/Samsuardi.
Dikutip sebagai: Uryu, Y. et al. 2008. Deforestasi, Degradasi Hutan, Hilangnya Keanekaragaman Hayati,
dan Emisi CO2 di Riau, Sumatera, Indonesia. Laporan Teknik WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia.
Kontak: yumuryu@yahoo.com, mott@rssgmbh.de, nfoead@wwf.or.id, kkkyulianto@yahoo.com,
abudiman@wwf.or.id, setiabudi@biotrop.org, takakai@chem.agr.hokudai.ac.jp, nsamsoe@yahoo.com,
sunarto@wwf.or.id, epurastuti@wwf.or.id, nfadhli@hotmail.com, cobar_h@yahoo.com,
jaenicke@rssgmbh.de, hatano@chem.agr.hokudai.ac.jp, siegert@rssgmbh.de, michaelstuewe@yahoo.com
Daftar Isi
1. Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................2
2. Pengantar.....................................................................................................................5
3. Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................6
4. Latar Belakang.............................................................................................................7
4.1 Deforestasi dan Emisi Gas CO2 .......................................................................................... 7
4.2 Deforestasi di Riau Dulu dan yang Akan Datang................................................................ 9
4.3 Apa yang dipertaruhkan? .................................................................................................. 10
4.4 Apa yang akan Terjadi di Masa Depan? ........................................................................... 12
5. Wilayah Studi.............................................................................................................13
6. REDD – Deforestasi...................................................................................................14
6.1 Deforestasi di Riau kurun waktu 1982 - 2007 ................................................................... 14
6.2 Deforestasi di Kawasan Lindung Riau .............................................................................. 17
6.3 Deforestasi di Lanskap TNBTK Kurun Waktu 1990 - 2007............................................... 18
6.3.1 Perubahan Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut ............................... 19
6.3.2 Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup.................................................................. 20
6.4 Prediksi Deforestasi Hutan Riau Kurun Waktu 2007-2015 ............................................... 23
6.4.1 Prediksi Tutupan Hutan Riau di tahun 2015...................................................................... 23
6.4.2 Prediksi Penggantian Hutan Alam Riau hingga tahun 2015 ........................................... 24
6.4.3 Prediksi Penggantian Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut ............. 25
6.4.4 Prediksi Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup hingga tahun 2015 ................ 26
7. REDD – Degradasi .....................................................................................................28
7.1 Degradasi Hutan di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990– 2007 ............................... 28
7.2 Degradasi Hutan di Kawasan Lindung Riau...................................................................... 29
8. Kebakaran (1997 – 2007)...........................................................................................30
9. Keanekaragaman Hayati ...........................................................................................38
9.1 Keanekaragaman Hutan di Riau ....................................................................................... 38
9.2 Status Populasi Gajah Sumatera dan Habitatnya............................................................. 40
9.3 Status Populasi Harimau Sumatera dan Habitatnya......................................................... 43
10. REDD – Emisi-Emisi ..................................................................................................46
10.1 Emisi-emisi CO2 dari Deforestasi dan Degradasi Biomassa Diatas Tanah....................... 47
10.1.1 Emisi-emisi di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990 – 2007.................................... 47
10.1.2 Emisi-emisi dari Perubahan Tutupan Lahan di Riau kurun waktu 1982 – 2007 .......... 48
10.1.3 Prediksi Emisi Riau kurun waktu 2007-2015..................................................................... 48
10.2 Emisi-emisi CO2 dari Dekomposisi dan Pembakaran Biomassa Lapisan Gambut ........... 48
10.2.1 Emisi-emisi dari Dekomposisi Gambut di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990 –
2007 ......................................................................................................................................... 49
10.2.2 Emisi-emisi dari Pembakaran Gambut Riau kurun waktu 1997 – 2007........................ 50
10.3 Emisi Netto CO2 di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990-2007 .................................. 51
10.4 Emisi-emisi Netto CO2 di Riau kurun waktu 1990-2007.................................................... 53
11. Kesimpulan ................................................................................................................56
12. Referensi ....................................................................................................................75
WWF | 1
1. Ringkasan Eksekutif
Provinsi Riau, di Sumatera bagian tengah, memiliki lahan gambut yang sangat luas yang diperkirakan
menyimpan cadangan karbon terbesar Indonesia. Provinsi Riau juga masih memiliki beberapa sisa blok
hutan yang bernilai sangat penting sebagai habitat satwa liar yaitu harimau dan gajah Sumatera yang
terancam punah. Di seluruh dunia kedua spesies ini hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera saja.
Laporan ini menguraikan bagaimana deforestasi dan degradasi hutan alam yang didorong oleh industri bubur
kertas dan kelapa sawit telah menyebabkan terjadinya dekomposisi dan pembakaran tanah yang kaya zat
karbon pada lahan gambut dalam yang sangat luas di Riau. Laporan ini berhasil menemukan bahwa
deforestasi dan degradasi hutan menjadi penyebab munculnya emisi-emisi gas CO2 yang signifikan secara
global dan menyebabkan kabut asap lintas batas hingga ke Selat Malaka. Hal ini juga sangat mengancam
kepunahan lokal satwa liar gajah dan harimau Sumatera, yang jumlahnya menyusut jauh lebih cepat
dibanding luas tutupan hutan Riau, terutama dipicu oleh meningkatnya konflik satwa-manusia sehingga
kedua spesies tersebut lenyap dari habitatnya.
Laporan ini menganalisa deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama lebih dari seperempat abad,
yaitu sepanjang kurun waktu 1982 sampai dengan 2007. Kajian ini mengidentifikasi pendorong terjadinya
deforestasi melalui pemetaan peruntukan lahan yang telah mengubah kawasan hutan alam. Istilah “hutan”
dalam laporan ini selalu berarti hutan alam dan bukan hutan tanaman industri dan lahan pertanian, atau
tutupan hutan lain yang menggantikannya.
Tutupan hutan di Riau telah menurun hingga 65% dalam 25 tahun terakhir. Deforestasi yang terjadi didorong
oleh sektor industri hutan tanaman dan perkebunan meskipun sebagian besar dari hutan yang dibuka
kemudian menjadi “terlantar”. Riau memiliki hampir 900.000 hektar lahan “terlantar” dimana hutan tanaman
atau kebun memiliki potensi untuk dapat dikembangkan tanpa perlu menebang hutan alam lagi. Kajian ini
memperkirakan bahwa pelepasan emisi-emisi CO2 baik di masa lalu maupun di masa datang terkait erat
dengan deforestasi dan degradasi hutan, degradasi di tanah gambut dan kebakaran (penggunaan api secara
sengaja untuk tujuan pembukaan lahan dan api yang “menjalar” tanpa terkontrol).
Laporan ini membuat dua scenario masa depan deforestasi hingga tahun 2015. Melihat ke masa depan,
sebuah skenario “bussiness as usual” (bisnis sebagaimana biasanya) memperkirakan tutupan hutan alam di
Riau akan merosot hingga 6% di tahun 2015 dari 27% yang masih ada saat ini. Skenario kedua, mengambil
model dari draft tata ruang lahan provinsi Riau, memperkirakan tutupan hutan alam akan menyusut hingga
15% di tahun 2015. Dari deforestasi yang baru tersebut, 84% akan terjadi pada lahan gambut. Deforestasi ini
akan banyak digerakkan oleh industri pulp & paper (74% dari keseluruihan deforestasi). Dengan asumsi
bahwa semua hutan alam yang berada didalam kawasan hutan tanaman atau kebun akan dikonversi, maka
pada tahun 2015, perkebunan akasia akan menggantikan 36% (atau sekitar 1,9 jt ha) dan perkebunan sawit
27% (atau sekitar 1,4jt ha) dari keseluruhan hutan yang hilang sejak 1982. Pertanyaan sekarang adalah,
berapa banyak, jika ada, hutan alam yang akan disisakan didalam kawasan hutan tanaman atau perkebunan.
Emisi CO2 dari deforestasi degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut dihitung
berdasarkan analisis penginderaan jauh. Rata-rata emisi CO2 di Riau antara tahun 1990 dan tahun 2007
adalah sekitar 0,22 Gt, setara dengan 79% total emisi tahunan Indonesia dari sektor energi pada tahun 2004.
Perkiraan ini bisa jadi sangat berlebih (over) atau kurang (underestimate) dari emisi yang sebenarnya karena
banyak data detil dari berbagai proses dalam penyimpanan karbon dan emisi karbon (pengurangan simpanan
karbon) tidak tersedia. Tetapi dengan mempertimbangkan semua kemungkinan error dan ketidakpastian,
penulis yakin bahwa hasil perhitungan yang muncul, setidaknya, secara besaran emisi adalah benar.
Pada Konferensi PBB mengenai Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali 2007, parapihak
menyepakati akan pentingnya tindakan lebih lanjut untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan dan mengadopsi sebuah program kerja. Program tersebut akan fokus pada kajian perubahan tutupan
hutan dan hal-hal terkait dengan emisi gas rumah kaca, menunjukkan pengurangan emisi dari deforestasi dan
memperkirakan pengurangan emisi dari deforestasi. Skema finansial untuk perdagangan karbon melalui
2 | WWF
“avoided deforestation” atau pencegahan deforestasi akan dibangun dan kompensasi dunia internasional
akan dibangun. Hal ini dapat memberikan masa depan yang baik bagi industri kehutanan di Indonesia,
mengingat kebijakan yang kuat merupakan hal yang penting untuk mendorong komersialisasi jasa-jasa
lingkungan seperti menghindarkan deforestasi, perlindungan air dan tanah, dan konservasi keragaman hayati.
Apabila keuntungan dari perdagangan jasa-jasa dari lingkungan atau perdagangan karbon sebanding dengan
perdagangan kayu, banyak hutan kemungkinan besar akan dilindungi oleh pemilik konsesi. Hal ini
mungkin akan terjadi pada hutan gambut yang kaya karbon di Riau dan tanah dibawahnya. Nilai potensial
perdagangan simpanan karbon dari hutan-hutan yang dilindungi ini mungkin sebanding atau bahkan dapat
lebih baik dibandingkan dengan penggunaan hutan alam lain yang konvensional.
Temuan-temuan Penting menyangkut Deforestasi dan Degradasi Hutan
• Dalam jangka waktu 25 tahun belakangan, Riau telah kehilangan lebih dari 4 juta ha hutan (65%).
Tutupan hutan menyusut dari 78% di tahun 1982 menjadi 27% saat ini. Deforestasi antara tahun
2005-2006 adalah sebanyak 286.146 ha, penyusutan sebanyak 11% hanya dalam satu tahun saja.
• Dari hilangnya tutupan hutan dalam 25 tahun terakhir, sebanyak 29% dikonversi menjadi industri
perkebunan kelapa sawit, 24% dikonversi untuk Hutan Tanaman Industri bubur kertas, dan 17% menjadi
apa yang disebut lahan “terlantar” (lahan yang terdeforestasi tetapi tidak digantikan oleh tutupan atau
tanaman apapun).
• Dua “kejadian” yang berpengaruh pada industri pulp & paper Riau yang menyebabkan perlambatan laju
deforestasi adalah: kelalaian hutang pada awal tahun 2000-an dan investigasi besar-besaran oleh pihak
kepolisian dalam pembalakan liar di tahun 2007, yang hingga kini masih terus berlangsung.
• Dalam kajian Lanskap Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh–Kampar, yang meliputi 55% dari provinsi Riau ini,
90% dari total deforestasi disebabkan oleh pembukaan kawasan hutan alam yang masih bagus (tutupan
kanopinya lebih dari 40%) Sekitar 96% dari total hutan tanaman akasia dan 85% dari perkebunan sawit
yang dibangun telah menggantikan kawasan hutan alam ini.
• Kawasan-kawasan lindung yang diawasi secara nasional seperti taman nasional, cagar alam, suaka
margasatwa, relatif efektif dalam mempertahankan tutupan hutan sementara kawasan lindung provinsi
dan lokal tidak demikian halnya.
Temuan-temuan Penting menyangkut Keragaman Hayati
• Dalam seperempat abad terakhir, populasi gajah Sumatera diperkirakan merosot tajam hingga 84% dari
sekitar 1067-1617 di tahun 1984 menjadi sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Jika kecenderungan ini
berlanjut dan dua kawasan hutan terbesar yang masih tersisa, Tesso Nilo dan konsesi eks-logging dekat
TNBT, tidak dilindungi, maka populasi gajah liar di Riau tidak lama lagi akan dapat bertahan hidup dan
akan menghadapi kepunahan.
• Estimasi populasi harimau Sumatera di Riau merosot sampai 70% dari 640 ekor di tahun 1982 menjadi
hanya 192 ekor di tahun 2007 karena fragmentasi habitat. Populasi harimau di Riau hanya akan bertahan
lebih lama, jika areal terakhir yang masih tersisa bagi habitat satwa dilindungi itu dihubungkan dengan
koridor satwa.
Temuan-temuan Penting menyangkut Kebakaran Hutan
• Antara tahun 1997 hingga 2007 lebih dari 72.000 kebakaran aktif (titik api) di Riau berhasil dicatat
dengan menggunakan sensor satelit NOAA AVHRR dan MODIS. Sebanyak 31% dari seluruh wilayah
Riau pernah terbakar paling tidak satu kali, 12% telah terbakar lebih dari satu kali. Kebakaran yang
berulang ini merupakan ancaman yang sangat serius terhadap ekosistem hutan hujan karena kebakaran
WWF | 3
menghalangi atau memperlambat regenerasi hutan sehingga pada akhirnya mengubah ekosistem hutan
menjadi padang rerumputan.
• Terdapat hubungan yang jelas antara kebakaran dan deforestasi.
• Sebagian besar kebakaran terjadi pada hutan yang memiliki tutupan kanopi sedang sampai dengan
terbuka.
• Hanya 8% dari kawasan lindung yang diawasi secara nasional terkena dampak kebakaran, mungkin
karena kawasan lindung memiliki tutupan hutan yang relatif masih lebih bagus.
Temuan-temuan Penting menyangkut Emisi Karbon Dioksida (CO2)
• Antara tahun 1990 hingga 2007, perkiraan emisi total di Riau melampaui 3,66 gigaton (Gt) CO2,
termasuk didalamnya emisi-emisi akibat deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi serta pembakaran
lahan gambut, sehingga mendongkrak peringkat Indonesia sebagai salah satu penghasil atau emitter
emisi karbon terbesar di dunia. Total emisi selama kurun waktu 17 tahun tersebut melampaui total
tahunan emisi CO2 Uni Eropa tahun 2005 (termasuk di dalamnya emisi/buangan dari Tata Ruang,
Perubahan Tata Ruang dan Kehutanan/ LULUCF). Sequestrasi karbon oleh hutan tanaman akasia dan
kelapa sawit yang menggantikan hutan adalah sebesar 0,24 Gt CO2.
• Rata-rata tahunan emisi CO2 dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut dan kebakaran lahan
gambut di Riau sepanjang periode 1990 hingga 2007 adalah 0,22 Gt, atau setara dengan 58% total emisi
tahunan CO2 Australia (termasuk emisi/buangan dari LULUCF, di tahun 2005), 39% dari total emisi
tahunan Inggris, lebih tinggi dari total emisi tahunan Belanda (122%) dan 79% dari total emisi tahunan
Indonesia dari sektor energi tahun 2004.
• Dalam kurun waktu 1990 dan 2007, Riau saja sudah memproduksi lebih banyak CO2 per tahun
dibandingkan jumlah emisi yang coba dikurangi oleh negara industrial terbesar keempat, Jerman, untuk
mencapai targetnya pada Kyoto Protokol.
• Apabila draft rencana tata ruang provinsi Riau diimplementasikan sepenuhnya, maka sebanyak 0,49 Gt
CO2 akan dilepaskan di tahun 2015 hanya oleh aktivitas deforestasi saja. Jika skenario “bussines as
usual” atau bisnis sebagaimana biasanya masih terus berlangsung, dua kali lipat CO2 akan dilepaskan.
Degradasi dan pembakaran gambut tidak diikutsertakan dalam proyeksi ini.
• Rata-rata tahunan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut dan kebakaran gambut di
riau dalam kurun waktu 1990 hingga 2007 setara dengan 24% dari target reduksi emisi Gas Rumah Kaca
tahunan kolektif oleh negara-negara Annex I dalam komitmen periode pertama tahun 2008-2012.
• Konsumsi global minyak sawit dan kertas telah mendorong deforestsi Riau– juga mendorong perubahan
iklim. Pengurangan emisi CO2 akan jauh lebih efektif bila investasi direalokasikan untuk pencegahan
deforestasi.
• Membangun mekanisme untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau “Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation” (REDD) untuk menghindari emisi-emisi dari
deforestasi, dikombinasikan dengan pengembangan HTI/perkebunan yang dibatasi hanya pada lahan
“terlantar” (wasteland) akan memperbaiki keseimbangan emisi karbon antropogenik dunia.
4 | WWF
2. Pengantar
Provinsi Riau yang terletak di Sumatera bagian tengah, Indonesia, memiliki sejumlah ekosistem paling kaya
keanekaragaman hayatidi bumi termasuk juga spesies-spesies unik yang terancam kepunahan seperti harimau
dan gajah Sumatera. Berbagai studi komparatif mendapati hutan dataran rendah kering Tesso Nilo
mempunyai keanekaragaman tumbuhan vaskular yang paling tinggi diantara 1.800 plot survei hutan tropis
yang pernah diteliti di seluruh benua1
, dan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi daripada hutan-hutan
Indonesia dan Sumatera lainnya2
. Dalam merencanakan prioritas wilayah-wilayah konservasinya di seluruh
dunia, WWF memetakan hutan-hutan dataran rendah kering dan lahan gambut di Riau sebagai the
Sumateran Islands Lowland and Montane Forests3
dan Sundaland Rivers and Swamps4
dalam prioritas
ekoregional Global 200. WWF telah bekerja di Riau sejak 1999, berupaya untuk melindungi harimau dan
gajah Sumatera beserta habitatnya, khususnya kawasan hutan alam tropis didalam Lanskap Konservasi Tesso
Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar5
(Ekuator dan 102o
BT) yang luasannya mencakup hingga sekitar 55% dari
keseluruhan daratan Riau.
Spesies-spesies tersebut dan habitat hutan tropisnya tengah
terancam sangat serius oleh deforestasi skala besar yang sangat
cepat. Tetapi permasalahan deforestasi di Riau bukan hanya
mengenai lenyapnya keanekaragaman hayati. Baru-baru ini,
emisi-emisi gas rumah kaca dalam jumlah signifikan dari
aktivitas-aktivitas seperti deforestasi, degradasi hutan dan
dekomposisi dan pembakaran lahan gambut di Indonesia --
khususnya di Riau -- semakin mendapatkan perhatian dan
sorotan secara global. Hutan alam dan hutan gambut
merupakan tempat penyimpanan karbon jangka panjang atau
bahkan permanen yang sangat penting dimana tanah gambut
mampu menyimpan 30 kali lebih banyak karbon dibandingkan
hutan-hutan tropis yang tumbuh di atasnya6
. Namun demikian,
stabilitas tanah gambut dan kemampuannya menyimpan karbon
untuk jangka panjang sangat tergantung pada kondisi fisik
hutan alam yang menaunginya. Kebakaran hutan dan tanah
gambut merupakan indikator paling dramatis dari emisi-emisi
CO2 yang berasal dari simpanan karbon tersebut - dan akar
penyebab emisi-emisi ini adalah deforestasi.
WWFi
telah dan masih terus melakukan pemantauan terhadap
status gajah, harimau, hutan alam dan ancaman-ancamannya
serta pendorong-pendorong yang bertanggung jawab terhadap
deforestasi dan degradasi hutan di Riau dengan penginderaan
jarak jauh dan survei lapangan, terkadang berkolaborasi juga
dengan dua jaringan LSM lokal, Jikalahariii
dan Walhiiii
Riau,
melalui proyek “Eyes on the Forest” (www.eyesontheforest.or.id). Analisa-analisa secara terperinci
mengenai kondisi terkini dan sejarah perubahan tutupan hutan dikaitkan dengan proses-proses zonasi.
Asap tebal bergulung-gulung di atas Riau di
dekat Sumatera Utara sedang bergerak
menuju Malaysia, seperti dilaporkan oleh
satelit MODIS (Moderate Resolution
Imaging Spectroradiometer) tahun 2005 ©
NASA 2005
Selain menunjukkan hubungan antara pengembangan perkebunan dan deforestasi, hilangnya
keanekaragaman hayatidan emisi CO2 di Riau, laporan ini bertujuan untuk memberikan masukan khusus
berdasarkan lokasi (site-specific) untuk proyek percontohan REDD atau semacam REDD di Indonesia yang
pelaksanaannya dilakukan secara sukarela (voluntary). Studi ini juga dibuat untuk mendukung proses
penetapan mekanisme REDD dengan mengambil contoh kasus dinamika tata guna lahan di salah satu
i
www.wwf.or.id
ii
www.jikalahari.org
iii
www.walhi.or.id
WWF | 5
provinsi di Sumatera pada periode seperempat abad terakhir. Penulis laporan ini berharap bahwa REDD
untuk Indonesia dan investasi sukarela (voluntary investor) dapat memberikan insentif yang diperlukan
untuk menghentikan deforestasi dan degradasi hutan lebih lanjut di provinsi Riau dan provinsi lainnya di
Indonesia sehingga akan mengurangi kontribusi provinsi tersebut terhadap perubahan iklim, mengurangi
dampak kebakaran hutan tahunan terhadap kesehatan dan ekonomi, mempertahankan keanekaragaman
hayatihutan yang kaya dan menjaga kelangsungan hidup gajah dan harimau Sumatera
Laporan ini akan:
• Memaparkan deforestasi dan degradasi hutan di Riau selama kurun waktu lebih dari seperempat abad
(dari 1982 sampai 2007), mengidentifikasikan pendorong-pendorong deforestasi dan memproyeksikan
deforestasi hingga tahun 2015 berdasarkan dua skenario, yakni “bisnis sebagaimana biasanya” dan
“implementasi penuh draft rencana tata ruang Riau versi Mei 2007”.
• Mendeskripsikan keanekaragaman hayati yang hilang akibat deforestasi dan degradasi hutan dan
proyeksi kehilangan di masa yang akan datang.
• Mengestimasi emisi-emisi CO2 dari aktivitas deforestasi dan degradasi hutan, dekomposisi gambut dan
kebakaran lahan gambut sepanjang seperempat abad terakhir.
• Memproyeksikan emisi-emisi CO2 di masa yang akan datang akibat deforestasi berdasarkan dua skenario.
3. Ucapan Terima Kasih
Kami sangat berterima kasih pada berbagai komentar berharga yang sudah disampaikan oleh Dr. Jyrki
Jauhiainen dan untuk beragam peta deforestasi di Indonesia yang kami peroleh dari SarVision. Kami juga
menyampaikan ucapan terima kasih pada Rod Taylor, Adam Tomasek, Jan Vertefeuille dan Ken Creighton
untuk semua tanggapan dan komentarnya. Studi ini didanai oleh WWF-US dengan tambahan dana untuk
analisa data disediakan oleh WWF-Indonesia, WWF-Jerman, WWF Asian Rhino and Elephant Action
Strategy dan the Critical Ecosystems Partnership Fund.
6 | WWF
4. Latar Belakang
4.1 Deforestasi dan Emisi Gas CO2
Sekitar 20% dari emisi gas rumah kaca dunia disebabkan oleh deforestasi skala global, kerap kali terjadi di
belahan bumi yang memiliki tingkat keanekaragaman hayatipaling tinggi, misalnya saja Indonesia dan Brazil,
yang bilamana digabungkan keduanya mencapai 54% dari seluruh emisi-emisi tersebut7
. Apabila laju
deforestasi di Indonesia saat ini masih tetap sama hingga tahun 2012 nanti, maka emisi dari aktivitas
deforestasi ini akan mendekati angka 40% dari target reduksi emisi global yang telah ditetapkan pada
Protokol Kyoto untuk periode komitmen pertama8
.
Emisi LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) Indonesia atau emisi dari tata ruang, perubahan
peruntukan lahan dan kehutanan tahun 2000 diperkirakan sekitar 2.563 metrik ton (Mt) CO2
9
, atau setara
dengan 34% dari emisi LULUCF dunia10
; sebagian besar dari nilai ini disumbangkan oleh aktivitas
deforestasi dan degradasi hutan. Disamping itu, sebuah studi awal terkini memperkirakan dekomposisi
gambut dan pembakaran lahan gambut Indonesia mencapai hingga ca. 2.000 MtCO2e/tahun11
, sebagian besar
dari angka tersebut pada akhirnya dipicu oleh deforestasi. Kedua sumber emisi CO2, dikombinasikan dengan
emisi gas rumah kaca dari energi, pertanian dan sampah (451 MtCO2e9
), ditambahkan pada total emisi gas
rumah kaca Indonesia sehingga mencapai ca. 5.000 MtCO2e/tahun (Gambar 1). Jumlah ini hampir setara
dengan emisi gas rumah kaca tahunan negara China (5.017 MtCO2e). Hanya Amerika Serikat saja yang
melepaskan emisi gas rumah kaca lebih banyak (6.005 MtCO2e)12
.
Energi: 275 MtCO2e (5%)
Pertanian: 141 MtCO2e (3%)
Limbah: 35 MtCO2e(1%)
LULUCF:
2,563 MtCO2e (51%)
Dekomposisi dan pembakaran
gambut: 2.000 MtCO2e (40%)
Gambar 1.—Sumber emisi gas rumah kaca di Indonesia (Data dikutip: emisi energi tahun 2004, emisi
pertanian tahun 2005, emisi buangan tahun 2005, emisi LULUCF tahun 2000 9,11
).
Dalam konteks global dan nasional, ada tiga alasan mendasar yang membuat keterlibatan provinsi Riau ini
penting dalam setiap pembuatan keputusan tentang mekanisme REDD Indonesia, yaitu:
1. Riau adalah salah satu provinsi yang mengalami laju deforestasi terdramatis di Indonesia dalam beberapa
tahun belakangan (Peta 1 a dan b) dan mayoritas dari deforestasi tersebut terjadi di atas tanah gambut
rapuh yang kaya karbon. Akibatnya, Riau berkontribusi sangat signifikan terhadap emisi gas rumah kaca
Indonesia melalui emisi LULUCF dan gambut.
2. Riau memimpin Asia Tenggara dalam konteks total volume tanah gambut dan karbon yang dimilikinya.
Indonesia mempunyai kawasan lahan gambut terbesar keempat di dunia dengan luasan ca. 23 juta ha,
utamanya berlokasi di Papua, Sumatera dan Kalimantan13
. Riau mempunyai kawasan gambut terbesar
kedua di Indonesia yaitu 4 juta ha14
. Tanah gambut Riau - yang kedalamannya kadangkala mencapai
lebih dari 10 m- diperkirakan menyimpan jumlah terbesar karbon di Indonesia: 14,6 giga ton (ca. 43%
dari total karbon gambut diperkirakan tersimpan di Sumatera, Kalimantan dan Papua13
). Riau (masih)
memiliki kawasan hutan gambut terbesar kedua di Indonesia setelah Papua, dengan beberapa blok hutan
gambut yang luas dan saling berdekatan dan berlokasi di atas gambut paling dalam (Peta 1 a & b).
WWF | 7
116°E
116°E
114°E
114°E
112°E
112°E
110°E
110°E
108°E
108°E
106°E
106°E
104°E
104°E
102°E
102°E
100°E
100°E
98°E
98°E
96°E
96°E
6°N4°N
4°N
2°N
2°N
0°
0°
2°S
2°S
4°S
4°S
0 500250
Kilometers
140°E
140°E
135°E
135°E
130°E
130°E
125°E
125°E
120°E
120°E
115°E
115°E
110°E
110°E
105°E
105°E
100°E
100°E
95°E
95°E
5°N
5°N
0°
0°
5°S
5°S
10°S
10°S
0 510255
Kilometers
Kalimantan Tengah
Riau
8 | WWF
Peta 1 a & b.—
Hutan di kawasan bukan gambut
yang tersisa 2007
Hutan di kawasan gambut yang tersisa 2007
Hutan di kawasan bukan gambut
yang hilang 2000-2007
Hutan di kawasan gambut yang hilang 2000-2007
3.
Kawasan ini sangat terancam deforestasi, yang jika terjadi maka Provinsi Riau akan terus menyumbang
Deforestasi di Riau saat ini banyak didorong atau digerakkan oleh sektor industri kehutanan dan
perkebunan. Segala jenis deforestasi yang dapat dihindari melalui mekanisme REDD kemungkinan akan
memiliki berbagai implikasi di manapun di seluruh Indonesia atau dunia karena perusahaan-perusahaan
ini akan mencari sumber kayu dan membangun kebunannya seperti yang dituntut atau dimandatkan oleh
rencana-rencana bisnis mereka. Pembuatan mekanisme REDD yang efektif harus memusatkan
emisi gas rumah kaca Indonesia berskala besar.
perhatiannya pada “kebocoran karbon”perusahaan.
Deforestasi di Indonesia pada tanah gambut (merah) dan non-gambut (oranye) antara
2000- 2007, dan hutan yang masih tersisa di atas gambut (hijau tua) dan non-gambut (hijau muda) pada
Juni 2007. Peta 1b .adalah perbesaran pulau Sumatra dan Kalimantan. Peta tersebut disediakan oleh
SarVision didasarkan pada system pemantauan REDD yang sudah dikembangkan oleh SarVision -
Universitas Wageningen berkolaborasi dengan Kementrian Kehutanan Indonesia dengan menggunakan citra
satelit vegetasi MODIS/SPOT dengan resolusi 250-1000 m. SarVision memperbarui peta ini setiap tiga
bulan.
4.2 Deforestasi di Riau Dulu dan yang Akan Datang
Deforestasi dan degradasi hutan di Riau dipicu oleh banyak pihak yaitu dengan konversi dan pembalakan
hutan, baik legal maupun illegal, untuk membangun permukiman, infrastruktur dan tujuan-tujuan lainnya.
Tetapi tidak ada tipe deforestasi yang setara dengan kecepatan dan akibat yang ditimbulkan oleh industri
bubur kertas & kertas serta kelapa sawit. Dalam rentang waktu antara 1982 - 2007, kedua industri ini telah
menggantikan sekitar. 2 juta hektar hutan alam di Riau.
Peribahasa setempat mengatakan bahwa Riau diberkati dengan minyak di atas dan di bawah tanah.
Eksplorasi minyak mentah sudah dimulai sejak tahun 1930-an di lahan gambut pesisir. Eksplorasi minyak
sawit dimulaikan 50 tahun kemudian dengan sebuah cara yang besar, berawal dari ledakan pembukaan
hutan hingga akhirnya Riau ditutupi dengan lebih banyak konsesi kelapa sawit dibandingkan dengan provinsi
lainnya di Indonesia15
. Lebih dari satu dekade yang lalu, industri kelapa sawit melihat bangkitnya sebuah
pesaing serius di Riau: industri bubur kertas & kertas. Sejak 1990, deforestasi untuk pembangunan hutan
tanaman akasia sudah mampu mengejar deforestasi untuk pembangunan perkebunan sawit, namun akhirnya
melampauinya pada tahun 2000, paling tidak di Lanskap dimana WWF bekerja yaitu Tesso Nilo–Bukit
Tigapuluh–Kampar (mencakup 55% dari luas Riau).
Tempat penumpukan kayu menunggu dijadikan bubur
kertas di kilang APP di Riau. © WWF Indonesia
Kayu-kayu dari hutan hujan Riau – rumah bagi
keragaman tumbuhan tertinggi di dunia –masuk ke
dok di kilang bubur kertas APP. © WWF Indonesia
.
Dua kilang bubur kertas terbesar dunia, masing-masing dengan kapasitas tahunan mencapai lebih dari 2 juta
ton, dioperasikan di Riau oleh Asia Pulp & Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Holdings
Limited (APRIL). Secara bersama-sama, kedua perusahaan tersebut memproduksi lebih dari dua pertiga pulp
Indonesia16
dan saat ini mungkin “memiliki” konsesi hingga mencapai sekitar 25% dari 8,3 juta-hektar luas
daratan utama Riau. Tidak ada provinsi lain di Indonesia yang mempunyai konsesi akasia atau serat kayu
yang sedemikian banyak17
. Dimana saja terdapat kawasan hutan alam dibuka untuk membangun tanaman
akasia atau sawit, sebagian besar kayu dari hutan alam mengalir ke salah satu dari kedua pabrik raksasa itu.
Meskipun pada kenyataannya perusahaan itu sudah bergerak di bidang bisnis ini selama bertahun-tahun,
kedua pabrik masih terus saja bergantung pada sejumlah besar serat kayu yang sumber asalnya ilegal18
atau
legal tetapi dengan membuka hutan alam pada skala besar dengan cara yang destruktif. WWF
memperkirakan sekitar 170.000 ha hutan alam sudah dibuka untuk memberi pasokan pada kedua pabrik pulp
tersebut di tahun 200519
saja. Angka ini nilainya setara dengan 80% dari total deforestasi yang telah
terdeteksi pada citra satelit sepanjang tahun 2004-2005.
Tekanan dari industri pulp&paper pada kawasan hutan alam Indonesia dan Riau akan terus meningkat.
Pemerintah Indonesia mencanangkan target-target jangka menengah dan panjang pembangunan perkebunan
(umumnya kayu serat/pulpwood) 5 juta ha dan 9 juta ha masing-masing pada tahun 2009 dan 2014. Pada
tahun 2004, Indonesia sudah mempunyai 4,07 juta hektar konsesi pulpwood20
, tetapi menurut Departemen
Kehutanan baru 1,5 juta hektar saja yang ditanami dengan monokultur pulpwood21
. Di tahun 2004,
Departemen Kehutanan mengimbau para pemegang konsesi pulpwood agar mempercepat pembangunan
WWF | 9
perkebunan pulpwood mereka dan menyudahi pembukaan hutan hingga akhir 200922
. Pada waktu yang
bersamaan, Peraturan Pemerintah memberikan ijin pembangunan perkebunan pulpwood hanya di atas lahan
tidak produktif, yaitu lahan kosong, semak atau padang rumput (yang disebut dengan lahan “terlantar”)iv
.
4.3 Apa yang dipertaruhkan?
Apakah lahan dimana industri pulpwood menanami perkebunan akasianya benar-benar adalah ”lahan
terlantar”? Jika benar demikian, apakah tersedia cukup lahan “terlantar” untuk memenuhi target
pengembangan hutan tanaman industri kayu serat nasional? Jika tidak, apakah Riau sudah siap sedia untuk
mengalami deforestasi yang lebih banyak lagi? Berapa banyak lagi hutan yang dapat dikonversi dan berapa
harga yang harus dibayar untuk iklim dunia? Kemanakah gajah dan harimau Sumatera di Riau akan pergi?
Siapakah yang akan kehilangan warisan tanaman obat yang tersimpan di dalam hutan Riau --hutan alam
dengan keanekaragaman hayatisangat tinggi di muka bumi dan masih belum seluruhnya tergali?
Kawasan luas hutan tanah gambut rapat yang rencananya dalam waktu dekat akan dibuka di
Semenanjung kampar, Riau © WWF Indonesia.
Hutan Tesso Nilo Riau adalah sebuah contoh bagaimana proses deforestasi dan kepunahan spesies terjadi di
banyak blok-blok hutan lain di Riau. Di tahun 1985, tutupan hutan-hutan yang lokasinya bersambungan di
Tesso Nilo (merentang sepanjang hampir setengah juta hektar) dibagi-bagi menjadi sejumlah konsesi HPH.
Penebangan berlebihan dan kegagalan industri HPH pada akhirnya membuat banyak konsesi HPH direzonasi.
Ijin-ijin konsesi hutan kemudian digantikan oleh kebun sawit lalu meningkat menjadi konsesi HTI dimana
dengan menggunakan ijin-ijin tersebut, kawasan hutan alam yang masih memiliki kanopi rapat dapat diubah
menjadi HTI atau kebun. Sekarang ini hanya tersisa sekitar 110.00 ha hutan alam yang saling bersambungan
di dalam kawasan Tesso Nilo. Koridor-koridor logging luas yang dibangun oleh industri bubur kertas &
kertas serta jalan-jalan logging yang sangat panjang menyebabkan lebih dari 2,500 Kepala Keluarga (KK)
merambah hutan dan membabat habis kawasan hutan yang luas. Para makelar tanah memperdagangkan
tanah kapling di dalam hutan yang bukan milik mereka. Hukum yang ada yang semestinya melindungi
kawasan-kawasan hutan ini tidak ditegakkan.
iv
Peraturan Pemerintah yang baru, dikeluarkan pada bulan Januari 2007, mengijinkan perkebunan kayu dibangun di
atas kawasan hutan tidak produktif.
10 | WWF
Saat WWF-Indonesia pertama kali melakukan kunjungan ke Riau di tahun 1999 untuk menemukan cara-cara
melindungi gajah Sumatera di Riau dari ancaman kepunahan, hutan Tesso Nilo merupakan habitat terbaik
yang masih tersisa untuk gajah Sumatera. Sebelumnya, penyusutan atau hilangnya hutan telah menyebabkan
penurunan populasi satwa ini dari 1067-1617 ekor di tahun 198423
menjadi sekitar 700 ekor saja di tahun
199924
. WWF memperkirakan hingga tahun 2007 masih tersisa sebanyak 210 ekor gajah25
.
Perkebunan kelapa sawit dan pengelolaannya merupakan salah satu dari akar penyebab kematian gajah.
Gajah senang mengkonsumsi pohon-pohon sawit, para petani dan pihak perusahaan tidak suka melihat
tanaman mereka dirusak, konflik pun terjadi. Gajah mati dan manusia pun mati. Semakin banyak hutan alam
terfragmentasi dan semakin panjang batas-batas antara hutan alam dan perkebunan sawit, maka semakin
tinggi eskalasi konflik. WWF menemukan bukti kematian atau “lenyapnya” lebih dari 200 ekor gajah saat
atau setelah penangkapan resmi terkait terjadinya konflik antara tahun 2000-200626
. Tetapi konflik bukanlah
satu-satunya pembunuh gajah di Riau; perburuan juga berperan. Koridor logging memberikan akses lebih
baik bagi para perambah dan pembalak liar untuk membabat hutan alam yang sebelumnya tidak dapat
diakses. Hutan-hutan ini pada awalnya penuh dengan satwa liar yang terdesak karena konversi hutan yang
terus menerus terjadi di mana-mana. Kesempatan untuk berburu juga sangat banyak. Saat ini, hanya ada dua
hutan di Riau yang masih cukup luas untuk melindungi gajah dari kepunahan: Tesso Nilo dan kawasan
berbukit-bukit di blok hutan Bukit Tigapuluh. Kedua kawasan hutan ini sangat terancam oleh konversi.
Harimau Sumatera yang secara kritis terancam punah mengalami nasib yang sama dengan gajah. Akibat
hutan mereka sudah habis, sejumlah harimau berburu babi hutan di sekitar perkebunan sawit.
Kadang-kadang mereka tanpa sengaja berpapasan dengan para pekerja sehingga kemudian jadi terluka atau
terbunuh. Harimau Sumatera juga diburu tanpa belas kasihan, ditangkap untuk dibunuh, diperdagangkan
kulitnya, tulang belulangnya dan bagian tubuh lainnya. Sebuah tim yang terdiri dari para peneliti harimau
internasional mengklasifikasikan blok hutan Bukit Tigapuluh sebagai sebuah prioritas global kawasan
konservasi harimau, sedangkan lahan gambut Kampar dan Kerumutan Riau dikategorikan penting secara
regional, dan Tesso Nilo serta Rimbang Baling sebagai prioritas-prioritas jangka panjang27
. Tanpa adanya
kawasan-kawasan ini, harimau Sumatera di Riau akan lenyap. Semua hutan ini sangat terancam oleh
aktivitas konversi.
Setelah tahun 2000, konversi hutan
mulai berfokus pada lahan gambut Riau.
Kanal-kanal yang panjang dan dalam
memotong dan mengeringkan semua
rawa-rawa pada lahan gambut.
Pembangunan kanal yang
kadang-kadang lebih dari kedalaman
satu meter memberi akses bagi para
pembalak, liar atau tidak, untuk dapat
masuk menebang pepohonan dan
menghanyutkan kayu-kayu tersebut.
Gambut yang mengalami penipisan dan
mengering menjadi sumber kebakaran
nomor wahid. Kebakaran-kebakaran
tersebut menyelimuti Sumatera bagian
tengah dan negara tetangga Singapura
dan Malaysia dengan kabut asapnya.
Kebakaran ini terjadi selama
berminggu-minggu dan telah
berulang-ulang selama bertahun-tahun
dan mempercepat pelepasan berton-ton
CO2.
Kayu untuk produksi bubur kertas menyerobot melalui kanal-kanal
drainase yang berdekatan dengan blok hutan gambut yang tinggal
menunggu waktu untuk dibuka menjadi perkebunan akasia. © WWF
Indonesia.
Kebakaran di lahan gambut juga memberi dampak besar pada mata pencaharian masyarakat sekitarnya
karena menyebabkan terjadinya kemiskinan. Masyarakat Indonesia yang mendiami kawasan lahan gambut
WWF | 11
mengalami kemiskinan empat kali lebih buruk daripada masyarakat lainnya yang hidup di kawasan dataran
rendah. Dan bukan itu saja, kebakaran tersebut ternyata menyebabkan meningkatnya penyakit, sekitar 30%
dari seluruh anak-anak yang tinggal di kawasan lahan gambut di Indonesia mengidap penyakit pernapasan
dan terhambat pertumbuhannya oleh karena asap dari lahan gambut28
.
4.4 Apa yang akan Terjadi di Masa Depan?
Yang dipertaruhkan adalah ekonomi lokal dan regional, harta karun keanekaragaman hayati, komunitas
masyarakat (termasuk juga suku asli dan tradisional) yang mendiami lanskap gambut, populasi harimau dan
gajah Sumatera, sumber-sumber air bersih dan pesisir, serta iklim dunia kita. Bagaimana caranya agar
kawasan lahan gambut dapat dilindungi dari eksploitasi hutan alam yang membabi buta? Bagaimanakah agar
nilai-nilai kawasan tersebut menjadi variabel penting dalam rumusan ekonomi sebelum ijin-ijin dan
persetujuan konversi diberikan pada pelaku industri?
Salah satu isu penting dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali adalah
perumusan kerangka kebijakan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau
dikenal sebagai REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Para pihak dalam
konferensi tersebut telah sepakat mengenai perlu dan mendesaknya upaya untuk mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan dan menetapkan program dan rencana kerja untuk mengatasinya. Program
tersebut akan difokuskan pada pengkajian tentang perubahan tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca yang
ditimbulkannya; metode-metode untuk mengurangi emisi akibat deforestasi dan perkiraan jumlah
pengurangan emisi dari deforestasi. Dalam konferensi di Bali tersebut, para pihak sepakat bahwa REDD
adalah sebuah komponen penting bagi perubahan iklim setelah 2012, sebagai upaya mitigasi dan adaptasi.
Oleh karenanya sebuah skema finansial untuk perdagangan karbon dari pencegahan deforestasi (avoided
deforestation) akan dikembangkan; dan dana kompensasi internasional akan dibentuk.
Saat ini, periode pertama dari Kyoto Protokol hanya mengakui reforestasi dan aforestasi sebagai mekanisme
untuk memitigasi perubahan iklim. Sanggupkah Pemerintah Indonesia berkomitmen terhadap REDD untuk
Indonesia guna menghindari deforestasi dan degradasi hutan serta mereduksi emisi-emisi CO2? Mampukah
REDD menempatkan “jumlah atau nilai yang benar” pada hutan alam atas jasa-jasa yang tersedia dalam
kawasan tersebut sehingga lebih menguntungkan untuk melindunginya daripada menebangnya?
12 | WWF
WWF | 13
106°E
106°E
104°E
104°E
102°E
102°E
100°E
100°E
2°N
2°N
0°
0°
Lanskap TNBTK
Daratan Riau
Singapore
Malaysia
Sum atera Utara
Sum atera Barat
Jambi
Riau
0 10050
Kilometers
Studi deforestasi, kebakaran dan emisi CO2 kami ini difokuskan pada sekitar 8,3 juta ha daratan utama
provinsi Riau yang terletak di Sumatra bagian tengah, Indonesia, sepanjang garis pantai timur laut Sumatera
(Ekuator dan 102o
T). Sedangkan analisis degradasi hutan dan penggantian hutan secara lebih mendetil
difokuskan pada 4,5 juta ha Lanskap Konservasi TNBTK (Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh–Kampar), program
WWF-Indonesia di Riau yang mencakup sekitar 55% daratan utama Riau (Peta 2).
Survei harimau di kawasan
lahan gambut Riau
© WWF- Indonesia/Sunarto
2
o
5. Wilayah Studi
Lanskap Konservasi Tesso Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar di Provinsi Riau, Sumatra ,
di dalam wilayah Asia Tenggara.
Peta 2.—
6. REDD – Deforestasi
Laporan ini menganalisa deforestasi yang terjadi di Riau dalam rentang waktu seperempat abad terakhir,
yaitu dari tahun 1982-2007. Dengan mengidentifikasi tutupan lahan mana saja yang berubah dan mengganti
hutan alam setelah ditebang, serta menentukan zona-zona peruntukan lahan mana saja yang telah mengalami
perubahan, laporan ini dapat menentukan aktivitas-aktivitas apa saja yang mendorong deforestasi tersebut.
Pada akhirnya, laporan ini memprediksi deforestasi seperti apa yang mungkin akan terjadi diantara kurun
waktu 2007 – 2015 berdasarkan dua skenario: “bisnis sebagaimana biasanya” dan “implementasi draft
rencana tata ruang”
Di dalam Bab 10, kami menghubungkan deforestasi dengan karbon yang hilang, memperkirakan emisi-emisi
CO2 di masa lalu dan di masa depan.
6.1 Deforestasi di Riau kurun waktu 1982 - 2007
Laporan ini mendefinisikan “hutan” sebagai kawasan dengan hutan-hutan alam dengan tutupan kanopi lebih
dari 10% (mengikuti definisi FAO tentang hutan)29
. Laporan ini tidak memasukkan hutan tanaman akasia
dan perkebunan sawit dalam kategori “hutan”. Kami juga tidak memasukkan pertumbuhan kembali hutan
dalam definisi “hutan”. Kami telah memetakan tutupan “hutan-non hutan” untuk tahun 1982v
, 1988vi
, 1996vii
,
2000 viii
, 2002, 2004, 2005, 2006, dan 2007 terhadap 8,3 juta hektar daratan utama Riau. Kami
memberlakukan diferensiasi hutan-hutan pada gambut vs tanah non-gambut berdasarkan delineasi lahan
gambut Riau menurut Wetlands International30
(Appendix I).
Diantara rentang waktu 1982 - 2007, daratan utama Riau telah kehilangan 65% (seluas (4.166.381 ha) dari
tutupan hutan asli, yaitu berkurang dari 6.420.499 ha (78% luas daratan utama Riau) menjadi 2.254.118 ha
(27%). Tanah gambut Riau telah kehilangan 57% (1.831.193 ha) dari hutan-hutannya; tanah non-gambutnya
telah kehilangan 73% (2.335.189 ha) dari hutan-hutannya (Gambar 2, Peta 3 a-j). Deforestasi tanah
non-gambut sedang melambat sementara deforestasi tanah gambut sedang bergerak sangat cepat (Gambar 2).
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
TutupanHutan(ha)
Hutan Gambut
Hutan Bukan Gambut
Poly. (Hutan Gambut)
Poly. (Hutan Bukan Gambut)
Gambar 2.—Tutupan hutan di atas tanah gambut dan non-gambut di dalam daratan utama Riau kurun
waktu 1982 sampai 2007. Sebuah fungsi regresi polinomial orde kedua digunakan untuk memperlihatkan
kecenderungan deforestasi (R2
untuk keduanya >0.99).
v
World Conservation Monitoring Centre, UNEP
vi
Kementrian Kehutanan Indonesia
vii
Kementrian Kehutanan Indonesia
viii
Analisis citra Landsat WWF sejak tahun 2000
14 | WWF
102o
0
o
0 10050
Kilometers
2007
Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan gambut yang hilang sejak 1982
Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang hilang sejak 1982
102o
0
o
0 10050
Kilometers
1982
102o
0
o
0 10050
Kilometers
2006
102o
0
o
0 13065
Kilometers
1988
102o
0
o
0 10050
Kilometers
2004
102o
0
o
0 10050
Kilometers
2002
102o
0
o
0 13065
Kilometers
1996
102o
0
o
0 13065
Kilometers
2000
Deforestasi di wilayah gambut dan non-gambut di daratan utama Riau sepanjang kurun
waktu 1982-2007
Peta 3 a - h.—
WWF | 15
Rata-rata deforestasi tahunan pada tanah gambut dan non-gambut naik sedikit demi demi sedikit pada
rentang waktu 1982-2000 (Gambar 3), tetapi kemudian secara dramatis menurun di tahun 2000-2002. Ini
adalah tahun-tahun yang penting bagi pengembangan industri bubur kertas & kertas Indonesia sebagai
produsen-produsen terbesar negeri ini, Asia Pulp & Paper (APP) and Asia Pacific Resources International
Holdings Limited (APRIL), keduanya gagal membayar hutang nasional dan internasional mereka dan
menghentikan semua investasi. Perusahaan-perusahaan raksasa ini mengoperasikan dua pabrik bubur kertas
terbesar dunia dari Provinsi Riau.
Dari tahun 2002 - 2006, deforestasi kembali beranjak naik secara perlahan, pada tahun 2004-2005 laju
rata-rata konversi tahunan telah menyamai tingkat pencapaian tahun 1996-2000 (Gambar 3). Deforestasi
pada 2005-2006 adalah seluas 286.146 ha -- 11% tutupan hutan hilang hanya dalam jangka waktu satu tahun
saja. Tetapi dari tahun 2005-2006, dan dari 2006-2007 keseluruhan deforestasi merosot hingga 37%. Tahun
2007 merupakan tahun penting lainnya bagi industri pulp Riau. Pada bulan Februari 2007, de facto
moratorium konversi hutan alam berlaku di provinsi ini karena investigasi besar-besaran dari pihak
kepolisian terhadap aktivitas pembalakan liar yang dilakukan oleh industri bubur kertas & kertas setempat31
(Gambar 3).
Selama ini laju deforestasi pada tanah non- gambut sudah lebih tinggi daripada pada tanah gambut, tetapi
dari tahun 2000 deforestasi pada tanah gambut mulai melebihi kecepatan deforestasi pada tanah non-gambut
karena hutan-hutan non gambut saat itu sudah menjadi semakin berkurang. (Gambar 3).
Gambar 3.—Rata-rata laju deforestasi tahunan terhadap wilayah gambut dan non gambut di daratan
utama Riau dalam kurun waktu 1982 - 2007.
62%
64%
63%
80%
39%
35%
33%
73%
36%
67%
65%
61%
20%
27% 37%
38%
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
1982-1988 1988-1996 1996-2000 2000-2002 2002-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007
Periode Data
Deforestasi(ha)
Deforestasi Lahan Bukan Gambut
Deforestasi Lahan Gambut
Hutang Industri pulp Riau jatuh tempo
Investigasi industri pulp Riau dalam pembalakan liar
Pada tahun 2007, tutupan lahan Riau berubah sedemikian dramatis. Kawasan-kawasan hutan yang pada 1982
sangat berdekatan, yang sebelumnya menutupi 78% daratan Riau (Peta 4 a), telah berkurang hingga tersisa
hanya 27% saja. Kawasan-kawasan hutan tersebut juga terfragmentasi menjadi delapan blok hutan utama
yang terpisah-pisah oleh industri perkebunan kelapa sawit dan HTI serta lahan terlantar (Peta 4 b).
Deforestasi Riau dipicu oleh industri-industri bubur kertas dan sawit. Dalam jangka waktu 1982-2007,
perkebunan sawit menggantikan 28,7% (1.113.090 ha) dan perkebunan akasia menggantikan 24,4%
(948.588 ha) hutan alam yang sudah ditebangi. Lahan “terlantar” – yaitu lahan yang telah terdeforestasi
tetapi kemudian tidak digantikan dengan tutupan tanaman apapun— telah menggantikan 17% (659.200 ha).
Kebanyakan lahan terlantar ini terkonsentrasi di Riau bagian utara dekat perbatasan dengan Sumatera Utara
(Peta 4 b). Sisa 29,9% dari kawasan hutan yang dibuka digantikan oleh perkebunan sawit skala kecil (7,2%),
kelihatan seperti baru saja dibuka dan tidak mudah terdeteksi dalam analisis kami kedepan (4,6%) dan
tutupan-tutupan lahan lainnya (18,1%) seperti infrastruktur, kebun karet, kelapa dan lainnya.
16 | WWF
WWF | 16
102
o
0
o
1982
102
o
0
o
2007
6.2 Deforestasi di Kawasan Lindung Riau
Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 1994 Provinsi Riau, sebesar enam persen dari
daratan utamanya merupakan kawasan lindung yang diawasi oleh pemerintah pusat dan 22% merupakan
kawasan lindung kabupaten dan provinsi. Kawasan lindung nasional memiliki rata-rata tutupan hutan 90,3%
pada saat dideklarasikan. Kawasan-kawasan lindung lokal yang dizonasi pada tahun 1994, hingga tahun
1996 masih mempunyai tutupan hutan sebesar 81,1%.
Kawasan lindung baik yang diawasi oleh pemerintah pusat maupun lokal kehilangan banyak hutan alam pada
tahun 2007 daripada kawasan hutan yang tidak dilindungi (Gambar 4).
• Sejak hari pendeklarasiannya, deforestasi di kawasan lindung nasional relatif lebih sedikit (36.588 ha,
hilang 7,3%) daripada di kawasan lindung provinsi (269.188 ha, hilang 18,7%).
• Lahan “terlantar”-yaitu hutan yang telah ditebang tetapi tidak digantikan dengan tutupan tanaman apapun
-- merupakan tutupan lahan non-hutan terbesar di kedua macam kawasan lindung ini (total
gabungan keduanya 214.237 ha).
• Hutan tanaman akasia untuk kayu bubur kertas atau pulpwood telah menggantikan lebih banyak hutan di
dalam kawasan lindung daripada jenis tutupan lahan manapun: 7,7% di dalam kawasan lindung provinsi
(136.215 ha) dan 3,1% di dalam kawasan lindung nasional (17.236 ha).
• Tanaman sawit (baik skala industri maupun skala kecil) menyusul tanaman akasia dengan 5,7% di dalam
kawasan lindung provinsi (101.596 ha) dan 3,2% di dalam kawasan lindung nasional (18.056 ha).
• Perkebunan sawit skala kecil mengkonversi relatif lebih banyak kawasan hutan di dalam kawasan lindung
nasional daripada di dalam kawasan lindung provinsi, jika dibandingkan dengan perkebunan sawit dan
akasia komersil.
0 10050
Kilometers
0 10050
Kilometers
Hutan di kawasan gambut yang tersisa
Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa
Lahan terlantar
Tutupan lahan yang lainnya
Tanaman HTI akasia
Perkebunan kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit masyarakat
Kawasan yang dibuka
(a) hutan gambut (hijau tua) dan non-gambut (hijau muda) di daratan utama Riau pada
tahun 1982. (b) hutan gambut dan non-gambut yang tersisa pada tahun 2007 dan berbagai tutupan lahan
Peta 4 a & b .—
yang telah menggantikan kawasan berhutan di tahun 1982 yang telah hilang, sampai tahun dengan 2007
Kawasan Lindung Lokal Kawasan Lindung Nasional
Tahun 2007
Setelah Deklarasi
Natural forest
54,243 ha
(9.7%)
504,324 ha
(90.3%)
All forest types - rather closed canopy All forest types - medium open canopy
All forest types - very open canopy Young mangrove
Acacia plantation Oil palm plantation
Small holder oil palm plantation Cleared land
“Waste" land Other land covers
No natural forest
336,253 ha
(19%)
1,441,535 ha
(81%)
273,832 ha
(15.4%)
832,179 ha
(46.8%)
662 ha
(0.0%)
136,215 ha
(7.7%)
65,673 ha
(3.7%)
67,971 ha
(3.8%)
33,625 ha
(1.9%)
50,144 ha
(2.8%)
179,071 ha
(10.1%)
138,415 ha
(7.8%)
392,639 ha
(70.3%)
49,430 ha
(8.9%)
14,690 ha
(2.6%)
1,613 ha
(0.3%)
35,166 ha
(6.3%)
18,671 ha
(3.3%)
3,366 ha
(0.6%)
0 ha
(0.0%)
17,236 ha
(3.1%)
25,666 ha
(4.6%)
Gambar 4.—Tutupan hutan alam di dalam kawasan lindung provinsi (Kawasan Lindung menurut
RTRWP 1994) dan kawasan lindung yang diawasi secara nasional setelah dideklarasikan, dan tipe-tipe
hutan dan tutupan lahan di dalam kawasan-kawasan tsb. pada tahun 2007.
Hutan dengan tajuk relatif tertutup Hutan dengan tutupan tajuk terbuka sedang
Hutan dengan tajuk sangat terbuka Hutan mangrove
HTI Akasia Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat Lahan Terbuka
Lahan Terlantar Tutupan lahan lain
Hutan Alam
Bukan Hutan
6.3 Deforestasi di Lanskap TNBTK Kurun Waktu 1990 - 2007
Untuk analisis deforestasi secara lebih terperinci, laporan ini difokuskan pada Lanskap Konservasi Tesso
Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar (TNBTK) yang memiliki mencapai 55% (4.518.172 ha) dari luas daratan
utama Riau. Laporan ini menampilkan sebuah analisis tutupan lahan menggunakan data SIG (sistem
informasi geografi) pada Lanskap TNBTK secara detil yang mampu membedakan hingga 50 kelas tutupan
lahan pada lusinan citra Landsat dan satu citra IRS untuk 4 periode: 1990, 1995, 2000, 2005 (Appendix 5
Citra Satelit). Untuk tahun 2007, kami telah melakukan analisa tutupan lahan yang sama rincinya untuk
keseluruhan Riau. Beragam citra di analisa pada layar dengan unit pemetaan minimum pada luasan sekitar.
50 ha. Tutupan lahan digitalisasi pada sebuah skala 1:90.000. Interpretasi-interpretasi yang meragukan
berhasil diverifikasi dan pada banyak kasus paling sedikit tiga poligon diverifikasi secara langsung oleh tim
lapangan. Suatu pusat data komprehensif dengan lokasi dan foto GPS dari semua situs verifikasi lapangan
telah dikompilasi32
.
18 | WWF
Kami membedakan hutan alam menjadi dataran rendah kering, rawa gambut, rawa dan hutan bakau, dan
membagi tiap hutan ke dalam empat kelas: kanopi agak tertutup (tutupan mahkota atau cc>70%), kanopi
setengah terbuka (70% >cc>40%), kanopi sangat terbuka (40%>cc>10%). Belum adanya definisi yang jelas
tentang persentase tutupan mahkota yang menyusun hutan menurut mekanisme REDD untuk Indonesia, maka
kamipun mendefinisikan “deforestasi” sebagai suatu perubahan hutan alam yang memiliki kanopi “agak
rapat,” “setengah terbuka,” dan/atau “sangat terbuka” dibandingkan kelas tutupan lahan lainnya. Setiap areal
hutan dengan mahkota tutupan < 10% dianggap telah terdeforestasi. Sejalan dengan itu, laporan ini
mendefinisikan “degradasi hutan” sebagai semua perubahan pada tutupan lahan dari “kanopi agak tertutup”
menjadi “setengah terbuka” dan “sangat terbuka”; dan dari “kanopi setengah terbuka” menjadi “sangat
terbuka”. Oleh karena itu, setiap bentuk perubahan pada tutupan mahkota antara 100%-10% dianggap telah
terdegradasi.
Untuk analisis ini, kami mengelompokkan 37 tutupan lahan yang menggantikan hutan alam ke dalam enam
kategori besar: 1. hutan tanaman akasia, 2. industri perkebunan sawit (skala besar), 3. perkebunan sawit skala
kecil, 4. lahan yang sudah dibuka, 5. lahan “terlantar” dan 6. tutupan lahan lainnya. Hutan rawa gambut dan
hutan basah dikelompokkan ke dalam “hutan lahan gambut”.
6.3.1 Perubahan Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut
Tahun 2007, sebesar 42,1% (setara
dengan 1.242.172 ha) dari tutupan hutan
Lanskap TNBTK tahun 1990 sudah
hilang. Masing-masing industri kayu
serat dan sawit telah menggantikan
46,5% (577.911 ha) dan 30,5% (378.478
ha) dari total hutan yang hilang.
Perkebunan sawit skala kecil telah
menggantikan 3,7%, dan lahan
“terlantar” menggantikan 7,5% dari total
hutan yang hilang .
Hutan dataran rendah kering dan gambut
berubah dengan kecepatan atau laju yang
sama dengan industri bubur kertas &
kertas dan kelapa sawit, namun
sebenarnya lebih banyak kawasan hutan
tersebut digantikan oleh perkebunan
akasia daripada perkebunan sawit
(Gambar 5).
Hutan tersisa
pada :
702,637 ha
(56.1%)
Hutan tersisa
pada 2007:
998,412 ha
(59.1%)
263,495 ha
(21.0%)
314,359 ha
(18.6%)
210,823 ha
(12.5%)
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
2,000,000
Hutan kering dataran rendah Hutan gambut
TutupanHu
Tutupan lahan lain
Lahan Terlantar
Lahan Terbuka
tan&Deforestasi(ha)
Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat
Perkebunan Kelapa Sawit
HTI Akasia
Tersisa pada 2007
Digantikan oleh:
167,655 ha (13.4%)
Gambar 5.—Penggantian kawasan hutan lahan gambut dan
kering tahun 1990 dengan tutupan lahan lainnya di dalam
Lanskap TNBTK tahun 2007. Blok-blok hijau menunjukkan
hutan alam yang tersisa di tahun 2007.
WWF | 19
6.3.2 Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup
Dalam rentang waktu 1990-2007,
sebesar 90,3% dari total deforestasi
disebabkan oleh pembukaan hutan alam
yang memiliki kerapatan kanopi lebih
dari 40%: 601.856 ha kanopi agak
tertutup dengan kerapatan >70% dan
519.760 ha kanopi setengah terbuka
yang kerapatannya >40%. Industri bubur
kertas & kertas merupakan pendorong
atau penggerak utama deforestasi di
kawasan hutan yang memiliki kanopi
agak tertutup dan setengah terbuka (Peta
6). Industri kelapa sawit cenderung
membuka hutan yang memiliki
kerapatan kanopi lebih terbuka (Gambar
6).
Dalam rentang waktu 1990-2007, 96,2%
dan 85,0% dari total deforestasi di
Lanskap TNBTK disebabkan oleh
masing-masing industri bubur kertas &
kertas serta industri kelapa sawit dimana
pembukaan hutan terjadi pada kawasan
yang tutupan kanopinya lebih dari 40%,
yaitu hutan dengan kanopi agak tertutup
dan kanopi setengah terbuka (Gambar
7).
Tren atau kecenderungan yang sama
juga dapat dilihat pada penggantian
tutupan hutan lainnya: perkebunan sawit
skala kecil, lahan “terlantar”,
lahan-lahan yang sudah terbuka dan tipe
tutupan lahan lainnya.
Dalam rentang waktu 1990-2007, hutan dataran rendah kering dibuka secara besar-besaran oleh industri
bubur kertas & kertas , dengan fokus pada hutan yang berkanopi setengah terbuka dan agak tertutup (Gambar
8 atas) konversi hutan dataran rendah kering oleh industri kelapa sawit pada kawasan hutan berkanopi
setengah terbuka dan agak tertutup melambat setelah tahun 2000. Jika dibandingkan dengan dua industri ini,
tidak ada satupun kelompok tutupan lahan lainnya yang secara signifikan berkontribusi terhadap penggantian
hutan. Kecenderungan konversi yang sama juga terjadi pada hutan lahan gambut (Gambar 8 bawah), kecuali
bahwa kedua industri tersebut mengkonversi lebih banyak hutan lahan gambut yang berkanopi agak tertutup
rapat daripada hutan berkanopi lebih terbuka.
Peta 5 memperlihatkan tutupan-tutupan hutan saat ini di Riau. Secara keseluruhan, terdapat hampir 900.000
ha lahan “terlantar” di luar kawasan taman nasional dimana perkebunan-perkebunan dapat dibangun tanpa
harus membuka hutan alam. Sekitar satu per tiga bagian dari lahan terlantar ini adalah hutan yang dalam
pertumbuhan kembali atau regrowth forest dan sisanya adalah lahan semak dan padang rumput. Beberapa
dari wilayah ini dapat dibangun menjadi hutan tanaman akasia, yaitu sebagai ganti pembukaan hutan alam.
Gambar 7.—Penggantian hutan dari berbagai tutupan
kanopi dengan tutupan lahan lainnya di dalam Lanskap
TNBTK antara tahun 1990 hingga 2007.
Gambar 6.—Penggantian hutan yang memiliki berbagai
tutupan kanopi dengan perkebunan akasia dan sawit di dalam
Lanskap TNBTK antara tahun 1990 hingga 2007.
22,201 ha
(18.4%)243,758 ha
(46.9%)
311,952 ha
(51.8%)
163,924 ha
(31.5%)
157,649 ha
(26.2%)
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
Hutan dengan
tajuk relatif
tertutup
Hutan dengan
tajuk terbuka
sedang
Hutan dengan
tajuk sangat
terbuka
Deforestasi(ha)
Tutupan lahan lain
Digantikan oleh:
Lahan Terlantar
Lahan Terbuka
Perkebunan Kelapa
Sawit Masyarakat
56,905 ha
(47.2%)
Perkebunan Kelapa
22,201 ha
(18.4%)
56,905 ha
(47.2%)
157,649 ha
(41.7%)
311,952 ha
(54.0%)
163,924 ha
(43.3%)
243,758 ha
(42.2%)
56,905 ha
(15.0%)
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
HTI Akasia Perkebunan Kelapa Sawit
Deforestasi(ha)
Hutan dengan tajuk sangat
terbuka
Deforestasi di:
22,201 ha (3.8%)
Hutan dengan tajuk terbuka
sedang
Hutan dengan tajuk relatif
tertutup
20 | WWF
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1990 1995 2000 2005 2007
Area(ha)
Terdegradasi menjadi tajuk terbuka sedang Terdegradasi menjadi tajuk sangat terbuka
Gambar 8 a & b.—Penggantian hutan dataran rendah kering (a, atas) dan hutan lahan gambut (b, bawah)
yang masih tersisa di Lanskap TNBTK tahun 1990 dengan tutupan lahan lainnya dan degradasi hutan tahun
2007.
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
1990 1995 2000 2005 2007
Area(ha)
Terdegradasi menjadi tajuk terbuka sedang Terdegradasi menjadi tajuk sangat terbuka
Digantikan oleh HTI Akasia Digantikan oleh Perkebunan Kelapa Sawit
Digantikan oleh perkebunan kelapa sawit masyarakat Digantikan oleh lahan terbuka
Digantikan oleh lahan terlantar Digantikan oleh tutupan lahan lain
Hutan gambut dengan tajuk sangat terbuka
Hutan gambut dengan tajuk terbuka sedang
Hutan gambut dengan tajuk relatif tertutup
Digantikan oleh HTI Akasia Digantikan oleh Perkebunan Kelapa Sawit
Digantikan oleh perkebunan kelapa sawit masyarakat Digantikan oleh lahan terbuka
Digantikan oleh lahan terlantar Digantikan oleh tutupan lahan lain
Hutan kering dataran rendah dengan tajuk sangat terbuka
Hutan kering dataran rendah dengan tajuk terbuka sedang
Hutan kering dataran rendah dengan tajuk relatif tertutup
WWF | 21
102
o
0
o
0 10050
Kilometers
Legend
Dry Lowland Forest rather closed canopy
Dry Lowland Forest medium open canopy
Dry Lowland Forest very open canopy
Dry Lowland Forest on Metamorphic Rock
Peat Swamp Forest rather closed canopy
Peat Swamp Forest medium open canopy
Peat Swamp Forest very open canopy
Swamp Forest rather closed canopy
Swamp Forest medium open canopy
Swamp Forest very open canopy
Mangrove Forest rather closed canopy
Mangrove Forest medium open canopy
Mangrove Forest very open canopy
Young Mangrove
Forest Re-growth (Belukar)
Shrubs (Semak/Belukar Muda)
Forest Re-growth on Swampy
Shrubs on Swampy
Swamp Grasses/Fernland
Overgrowing Clear cut-Shrubs
Grassland
Young Acacia Plantation
Acacia Plantation
Paraserianthes Plantation
City Park (Hutan Kota)
Young Oil Palm Plantation
Oil Palm Plantation
Small Holder Oil Palm
Small Holder Young Oil Palm Plantation
Mosaic of Small Holder Oilpalm and Rubber
Rubber Plantation
Small Holder Rubber
Coconut Plantation
Mixed Agriculture
Mixed Garden
Paddy Field
Cleared, for Acacia Plantation
Cleared, for Oil Palm Plantation
Cleared
Sand Mining
Burnt
Sediment
Water Body
Town
Settlement
Factory
Airport
Fishpond
Mill-Oil
Cloud or no information
22|WWF
Tutupan Lahan di Riau tahun 2007.Peta 5.—
WWF | 23
6.4 Prediksi Deforestasi Hutan Riau Kurun Waktu 2007-2015
Kami membangun dua skenario untuk memprediksikan deforestasi dalam rentang waktu 2007-2015, tahun
sampai dimana rencana tata ruang terbaru Riau dicanangkan akan berlaku:
(1) Business as usual atau “Bisnis sebagaimana biasanya”
Kami mengasumsikan:
• Investigasi polisi saat ini terhadap pembalakan liar di provinsi Riau berakhir atau berhenti dan
bisnis sebagaimana biasanya akan mulai lagi seperti sedia kala.
• Kecepatan deforestasi tahunan tetap sama seperti yang pernah terjadi dalam rentang waktu 2005
dan 2006 (183.859 ha/tahun untuk hutan lahan gambut dan 102.287 ha/tahun untuk
non-gambut).
• Seluruh hutan di luar kawasan lindung yang diawasi secara nasional ditebang, tetapi seluruh
kawasan hutan di dalam kawasan lindung masih tetap ada seperti di tahun 2007 (219.095 ha
hutan lahan gambut dan 248.641 ha hutan non-gambut).
(2) “Implementasi penuh draft Rencana Tata Ruang Riau tahun 2015”
Pada bulan Mei 2007, sebuah rencana tata ruang yang baru untuk provinsi Riau telah diajukan untuk
dikaji pihak pemangku kepentingan. Rencana yang diusulkan itu akan menggantikan rencana tahun
2007 dan mengusulkan perubahan tata ruang hingga tahun 2015. Rencana yang diusulkan itu
mencakup 39 kategori zonasi lahan. Untuk memprediksi akibat-akibat yang ditimbulkan dari rencana
tata ruang yang sudah diajukan itu terhadap tutupan lahan Riau hingga tahun 2015, kajian ini
menggabungkan ke 39 kelas zonasi lahan itu menjadi 10 kelas zonasi yang semuanya akan memberi
pengaruh yang sama pada tutupan lahan.
Kami mengasumsikan:
• Industri bubur kertas & kertas berhasil mendapatkan akses ke seluruh kawasan hutan yang dapat
secara legal dikonversikan untuk produksi bubur kayu dan akan sukses besar dalam
mendapatkan semua zonasi peruntukan lahan yang diijinkan, termasuk tiga tipe zonasi paling
minoritas (dimana tipe perkebunan lain seperti karet atau sawit juga diperbolehkan). Tipe-tipe
zonasi sangat minor ini hanya mencakup 4% dari hutan alam yang diprediksi akan dikonversi
menjadi hutan tanaman akasia menjelang tahun 2015.
• Draft rencana tata ruang versi Mei 2007, RTRWP 2015, diadopsi sebagaimana adanya.
• Semua usulan perubahan zonasi dilaksanakan sepenuhnya hingga tahun 2015 dan banyak hutan
alam dikonversi ke perkebunan dan HTI.
• Konsesi HTI mengkonversi semua hutan alam di areal baru yang telah dizonasi
• Dalam sebuah perubahan dramatis dari bisnis sebagaimana biasanya, penegakan hukum
mempertahankan semua zona yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang untuk tujuan
proteksi vegetasi alami bebas atau bersih dari perambahan dan pembalakan liar.
Kami menjalankan dua skenario secara terpisah untuk hutan-hutan gambut dan non-gambut, mengingat
deforestasi pada kedua tipe tanah ini mempunyai sejarah yang berbeda dan karena deforestasi
menghasilkan emisi-emisi CO2 yang sangat beragam. Dalam Bab 9, kajian ini akan memproyeksikan emisi
CO2 berdasarkan scenario-skenario tersebut.
6.4.1 Prediksi Tutupan Hutan Riau di tahun 2015
Di bawah Skenario (1) “Bisnis sebagaimana biasanya” hutan gambut akan terus menghilang atau lenyap
hingga tahun 2014 saat semua hutan yang berjumlah 1.188.355 ha di luar kawasan lindung yang diawasi
secara nasional habis ditebang atau dibuka (Gambar 9 a). Hal ini akan menghasilkan hilangnya 84,4% hutan
gambut tahun 2007 dan mereduksi tutupan hutan gambut hingga 3%. Di bawah Skenario (2) “Rencana Tata
Ruang” hutan gambut akan lenyap dengan kecepatan yang relative lebih lambat. Sampai dengan tahun 2015,
791.829 ha hutan yang sudah dizonakan untuk konversi akan habis ditebang. Hal ini akan menyebabkan
hilangnya 56,3% hutan gambut tahun 2007 dan mengurangi tutupan hutan gambut hingga 7%.
Di bawah Skenario (1), hutan non-gambut akan terus menghilang hingga menjelang tahun 2013, yaitu saat
semua sisa hutan yang luasnya mencapai 598.027 ha di luar kawasan lindung, habis ditebangi (Gambar b).
Jumlah ini merupakan 70,6% penyusutan hutan non-gambut di tahun 2007; tutupan hutan non-gambut
daratan utama Riau akan berkurang hingga menjadi 3% saja. Di bawah Skenario (2), hutan non-gambut akan
menghilang dengan kecepatan relatif lebih lambat. Sampai dengan 2015, seluas 209.921 ha hutan yang sudah
dizonasikan untuk konversi akan habis ditebangi. Ini merupakan 24,8% penyusutan hutan non-gambut di
tahun 2007; tutupan hutan non-gambut daratan utama Riau akan menjadi 8% saja.
24 | WWF
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012
2015
TutupanHutan(ha
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
1982
1985
1988
1991
1994
1997
2000
2003
2006
2009
2012
2015
(1) Bisnis seperti biasa
(2) Pelaksanaan penuh draft
RTRWP
Tutupan Hutan Aktual 1982-
2007
)
(1) Bisnis Seperti Biasa
(2) Pelaksanaan Penuh draft
RTRWP
Tutupan Hutan Aktual 1982-
2007
Gambar 9 a & b.—Deforestasi lahan gambut (a disebelah kiri) dan non-gambut (b disebelah kanan) tahun
1982 hingga 2007 dan dua skenario yang memprediksikan deforestasi dari tahun 2007 hingga 2015.
6.4.2 Prediksi Penggantian Hutan Alam Riau hingga tahun 2015ix
Berdasarkan Skenario (2) kami memprediksi bagaiman kondisi hutan tahun 2007 (Peta 6 a) akan digantikan
atau berubah menjelang tahun 2015; yaitu sebesar 47,4% dari tutupan hutan Riau tahun 2007 akan hilang.
Industri bubur kertas & kertas akan menjadi pendorong yang sangat kuat terhadap aktivitas deforestasi,
diperkirakan akan menyebabkan 73,6% dari semua deforestasi baru (Peta 6 b). Industri kelapa sawit akan
menduduki urutan berikutnya dengan 22,5% deforestasi baru (Peta 6 b).
ix
Data hutan dan tutupan lahan yang digunakan untuk kalkulasi Skenario (2) bersumber dari detil Data Base Tutupan
Lahan WWF tahun 2007.
WWF | 25
102
o
0
o
2007
102
o
0
o
2015
0 10050
Kilometers
0 9045
Kilometers
Penggantian kawasan hutan alam yang tersisa
di tahun 2007 dengan perkebunan akasia, sawit dan tutupan
lahan lainnya menurut tipe hutan berdasarkan Skenario (2)
“Implementasi penuh draft rencana tata ruang Riau 2015.”
Areal berwarna hijau mengindikasikan kawasan hutan yang
mungkin masih tersisa di tahun 2015.
Gambar 10.—
6.4.2 Prediksi Penggantian Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut
Baik hutan dataran rendah kering
maupun lahan gambut sebagian besar
akan digantikan oleh hutan tanaman
akasia (Gambar 10). Draft rencana tata
ruang bahkan menzonasi beberapa
kawasan hutan mangrove untuk aktivitas
konversi.
Sebesar 84,3% dari total deforestasi
dalam rentang waktu 2007-2015 akan
terjadi pada lahan gambut.
Hutan yang
tersisa pada
2015:
83,251 ha
(58.8%)
Hutan yang
tersisa pada
2015:
687,864 ha
(39.4%)
Hutan yang
tersisa pada
2015:
623,678 ha
(81.8%)
115,702 ha
(15.2%)
19,723 ha
(13.9%)
788,457 ha
(45.1%)
19,692 ha
(2.6%) 20,520 ha
(14.5%)
242,042 ha
(13.9%)
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
2,000,000
Hutan kering
dataran rendah
Hutan gambut Hutan mangrove
TutupahHutan&Deforestasi(Ha)
Tutupan lahan lain
Perkebunan Kelapa
Sawit
HTI Akasia
Digantikan oleh:
20,520 ha
(14.5%)
19,723 ha
(13.9%)
Hutan yang
tersisa pada
2015:
83,251 ha
(58.8 %)
19,692 ha
(2.6%)
115,702 ha
(15.2 %)
Hutan di kawasan gambut yang tersisa
Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa
Lahan terlantar
Tutupan lahan yang lainnya
Tanaman HTI akasia
Perkebunan kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit masyarakat
Kawasan yang dibuka
(a) Hutan gambut dan non gambut dengan berbagai tutupan kanopi di tahun 2007.(b) Hutan
gambut dan non gambut dengan berbagai tutupan kanopi di tahun 2015 dan tutupan-tutupan lahan yang telah
menggantikan kawasan-kawasan hutan tahun 2007 berdasarkan Skenario (2) “Rencana tata Ruang 2015”.
Peta 6 a & b.—
6.4.4 Prediksi Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup hingga tahun 2015
Sebesar 85,6% dari total deforestasi
antara tahun 2007 dan 2015 akan
melenyapkan hutan-hutan alam yang
memiliki tutupan kanopi lebih besar dari
> 40%, seluas 434,763 ha yang memiliki
kanopi tertutup agak rapat yang
tutupannya >70%, dan seluas 640.730
ha kanopi setengah terbuka yang
tutupannya >40%. Industri bubur kertas
& kertas akan menghabiskan sebagian
besar hutan-hutan alam tersebut
(Gambar 11). Berbeda dengan periode
1982-2007, industri ini juga akan
bertanggung jawab atas penebangan
kawasan hutan alam yang memiliki
kanopi lebih terbuka dengan kerapatan
40-10% (Gambar 11).
112,331 ha
(62.5%)
471,449 ha
(73.6%)
339,656 ha
(78.1%)
52,772 ha
(29.4%)
149,800 ha
(23.4%)79,615 ha
(18.3%)
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
Hutan dengan
tajuk relatif
tertutup
Hutan dengan
tajuk terbuka
sedang
Hutan dengan
tajuk sangat
terbuka
Deforestasi(ha)
Tutupan lahan
lain
Perkebunan
Kelapa Sawit
HTI Akasia
Digantikan oleh:
26 | WWF
Hingga tahun 2015 nanti, sebesar 87,8%
dari total deforestasi disebabkan oleh
industri bubur kertas & kertas dan
81,3% dari total deforestasi disebabkan
oleh industri kelapa sawit, keduanya
akan menghabiskan kawasan hutan yang
kerapatan kanopinya lebih dari 40%
(Gambar 12).
Gambar 11.—Prediksi penyusutan kawasan hutan yang
memiliki berbagai tutupan kanopi yang disebabkan oleh hutan
tanaman akasia dan perkebunan sawit antara tahun 2007
hingga 2015 berdasarkan Skenario (2) “Implementasi
seutuhnya draft rencana tata ruang Riau .”
Gambar 12.—Proyeksi penggantian kawasan-kawasan hutan
yang memiliki tiga kelas tutupan kanopi dengan tanaman akasia
dan sawit di Riau antara tahun 2007 hingga 2015 berdasarkan
Skenario (2) “Implementasi penuh draft rencana tata ruang
Riau .”
79,615 ha
(28.2%)
339,656 ha
(36.8%)
149,800 ha
(53.1%)
471,449 ha
(51.0%)
52,772 ha
(18.7%)
112,331 ha
(12.2%)
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
1,000,000
HTI Akasia Perkebunan Kelapa Sawit
Deforestation(ha)
Hutan dengan tajuk sangat
terbuka
Hutan dengan tajuk terbuka
sedang
Hutan dengan tajuk relatif
tertutup
Deforestasi di:
WWF | 27
102
o
0
o
1982
102
o
0
o
2015
0 10050
Kilometers
0 10050
Kilometers
Hutan di kawasan gambut yang tersisa
Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa
Lahan terlantar
Tutupan lahan yang lainnya
Tanaman HTI akasia
Perkebunan kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit masyarakat
Kawasan yang dibuka
Hutan alam dengan berbagai tutupan kanopi, akasia dan sawit di tahun 1982 berikut
prediksinya di tahun 2015 berdasarkan Skenario (2) “Implementasi penuh draft rencana Tata Ruang Riau
tahun 2015”.
Peta 7 a & b .—
Implementasi seutuhnya dari rencana tata ruang yang diusulkan hingga tahun 2015 akan benar-benar
memisahkan blok-blok hutan di daratan utama Riau. Hutan-hutan tersebut akan terisolasi dalam lautan hutan
tanaman akasia dan perkebunan sawit (Peta 7 a dan b). Lebih dari 33 tahun sejak 1982, hutan tanaman akasia
dan perkebunan sawit masing-masing sudah menggantikan 36,4% (1.872.470 ha) dan 27,2% (1.395.344 ha)
dari seluruh hutan yang hilang.
7. REDD – Degradasi
Kajian ini menganalisa degradasi hutan yang terjadi dalam kurun waktu 1997-2007 di Lanskap TNBTK kami
mendefinisikan “degradasi hutan” sebagai setiap bentuk perubahan yang terjadi pada tutupan lahan dari
“tertutup cukup baik” menjadi “setengah terbuka” atau “kanopi yang sangat terbuka” dan dari “setengah
terbuka” menjadi “kanopi yang sangat terbuka”. Jadi, setiap perubahan pada tutupan kanopi antara 100%-10%
dianggap terdegradasi.
Dalam Bab 10, kami menghubungkan degradasi hutan dalam Lanskap dengan karbon yang hilang, dengan
demikian memperkirakan emisi CO2 yang terjadi dimasa lalu.
7.1 Degradasi Hutan di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990– 2007
Hutan dataran rendah kering dan hutan lahan gambut memperlihatkan kecenderungan dasar yang sama
terhadap degradasi (Gambar 9 dan Tabel 1):
• Hingga tahun 1995, 10-14% kedua tipe hutan terdegradasi –baik hutan dengan kanopi tertutup cukup
baik menjadi kanopi setengah terbuka--hanyalah merupakan deforestasi terbatas.
• Setelah tahun 1995, deforestasi meningkat cepat dan terus menerus terjadi, khususnya di kawasan hutan
lahan gambut.
• Setelah 1995, porsi terdegradasi hutan dataran rendah kering yang tersisa di tiap periode waktu semakin
berkurang dan menyusut terus (14,6 – 19,8% kanopi medium), sementara degradasi hutan lahan gambut
meningkat tajam hingga tahun 2005 (10,2 – 30,9% dengan kanopi medium).
• Pada tahun 2000, kecepatan deforestasi hutan gambut sudah menyusul hutan dataran rendah kering.
• Pada tahun 2007, 15,1% (102.493 ha) dari hutan dataran kering rendah di tahun 1990 dan 20,0%
(256.976 ha) dari hutan lahan gambut tahun 1990an yang memiliki kanopi tertutup cukup baik telah
terdegradasi menjadi hutan dengan kanopi setengah terbuka – dan masing-masing sudah terdeforestasi
sebesar 22,2% dan 35,2%.
• Disepanjang periode tsb, persentase hutan agak tertutup yang terdegradasi menjadi kanopi agak terbuka
terdapat dalam jumlah kecil di kedua tipe hutan ini.
• Kedua tipe hutan dengan kanopi setengah terbuka telah terdegradasi secara besar-besaran menjadi
kanopi sangat terbuka; sebagai gantinya, sebagian besar hutan dengan kanopi setengah terbuka
tampaknya segera terdegradasi pula.
Tabel 1.— Persentase hutan yang pada tahun 1990 memiliki kanopi yang rapat mengalami deforestasi dan
degradasi dalam periode waktu selanjutnya.
1990 1995 2000 2005 2007
ha
% of
1990
% of
1995
% of
1990
% of
2000
% of
1990
% of
2005
% of
1990
% of
2007
Hutan Kering Dataran
Rendah dengan
tutupan tajuk yang masih
sangat tertutup
677,070 82.4 85.1 67.0 76.9 60.3 73.3 57.9 74.5
terdegradasi menjadi tajuk
terbuka sedang
0 14.1 14.6 14.0 16.1 16.3 19.8 15.1 19.5
terdegradasi menjadi tajuk
sangat terbuka
0 0.3 0.3 6.1 6.9 5.6 6.8 4.7 6.0
Kehilangan dari 1990 hutan
dengan tajuk tertutup
0 3.2 NA 12.9 NA 17.7 NA 22.2 NA
28 | WWF
Hutan Gambut dengan
tutupan tajuk yang masih
sangat tertutup
1,283,273 87.9 89.6 61.9 73.1 45.9 64.8 42.3 65.2
terdegradasi menjadi tajuk
terbuka sedang
0 10.0 10.2 19.7 23.3 21.8 30.8 20.0 30.9
terdegradasi menjadi tajuk
sangat terbuka
0 0.2 0.2 3.0 3.5 3.1 4.4 2.5 3.9
Kehilangan dari 1990 hutan
dengan tajuk tertutup
0 2.0 NA 15.4 NA 29.2 NA 35.2 NA
7.2 Degradasi Hutan di Kawasan Lindung Riau
Pada tahun 2007, kawasan-kawasan lindung yang diawasi secara nasional memiliki lebih banyak hutan
dengan tutupan kanopi yang cukup bagus (70,3%, atau 392.639 ha) dibandingkan dengan kawasan-kawasan
lindung provinsi (46,8%, atau 832.179 ha).
WWF | 29
8. Kebakaran (1997 – 2007)
Penggunaan api untuk membuka lahan telah lama menjadi tradisi di Indonesia. Hal ini termanifestasi
dalam praktik tebang bakar dalam pertanian tradisional. Kebanyakan kasus kebakaran yang terjadi dapat
dikatakan berasal dari kegiatan manusia, terlepas apakah kebakaran tersebut terjadi di hutan alam, ladang
berpindah atau area perkebunan33
. Seringkali kebakaran terjadi karena kelalaian di tempat yang jarang
penduduknya dan lahan gambut luas (kebakaran di lahan gambut seringkali menyebabkan kebakaran tak
terkendali hingga masuk ke area hutan yang berdekatan)34,35,36.
Kejadian kebakaran dianalisa dengan menggunakan dua sensor satelit resolusi rendah yang berbeda: yaitu 1.)
the National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA
AVHRR) dan 2.) the Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)37
. Kedua sistem sudah
sangat baik untuk mendeteksi api pembakaran aktif yang biasa disebut “titik api,” pada resolusi spatial 1 km
di daerah tropis38
. Untuk menduga area yang terkena api setiap koordinate titik api dikonversi menjadi area
dengan luasan 1 km² setara dengan kisaran resolusi spasial sensor39
. Hal ini tidak berarti bahwa area
kebakaran yang terjadi berukuran sama; kebakaran dapat mencakup seluruh luasan km atau hanya sebagian
kecilnya. Tetapi sebagaimana telah ditunjukkan bahwa ada hubungan yang baik antara area yang terbakar
dari titik api dan area yang terbakar hasil pencitraan Landsat resolusi tinggi40,41
. Area yang diduga bersifat
konservatif, karena area yang terbakar seringkali underestimate bila menggunakan pendekatan titik api: 1.)
kebakaran hanya terdeteksi satu atau dua kali sehari dan kebakaran yang menyebar cepat sering kali luput
dari pencatatan, 2.) asap dari kebakaran seringkali menghalangi deteksi titik api dan 3.) kebakaran
permukaan di hutan tidak cukup panas hingga bisa terdeteksi dari ruang angkasa. Area dari titik api yang
tumpang tindih dianggap hanya satu titik api.
Antara tahun 1997 dan 2007, 72.435 kejadian kebakaran (titik api) tercatat terjadi di Riau. Hampir seluruh
kebakaran terjadi pada musim kering utama. Di Riau, umumnya terjadi sekitar 3 bulan dari Juni hingga
Agustus. Pada episode El Nino, musim kering dapat terjadi sepanjang 4 bulan atau lebih. Gambar 13
menunjukkan titik api dan frekuensi kebakaran selama 11 tahun di Riau. Pada tahun 1998, 2005 dan 2006
telah terjadi lebih dari 8.000 titik api. Tingginya jumlah kebakaran yang luar biasa ini terkait dengan
kondisi kering panjang akibat dari kejadian El Nino yang terjadi pada 1997-1998 dan 2005-2006.
Pada 2005, sensor MODIS mendeteksi 19.396 titik api di Riau. Sekitar 79% dari seluruh titik api terjadi di
lahan gambut. Kebakaran pada lahan gambut bertanggung jawab atas kabut di daerah perbatasan dan
melepaskan sejumlah besar karbondioksida ke atmosfer42
. Lebih dari 11 tahun terakhir, 31% permukaan
lahan di Riau terbakar sedikitnya sekali, 12% terbakar lebih dari satu kali. Kejadian kebakaran seperti telah
tersebut merupakan ancaman yang serius terhadap ekosistem hutan hujan: semakin sering suatu area terkena
kebakaran, semakin kecil kesempatannya untuk berhasil mencapai regenerasi hutan dan semakin tinggi
kemungkinannya untuk mengalami degradasi dari ekosistem hutan semula.43,44
.
Gambar 14 menunjukkan tutupan hutan 1996 dan 2007 dan semua titik api yang tercatat dari 1997 sampai
dengan 2007. Sebesar 34 persen dari semua titik api terjadi di areal hutan, sementara 66 persen tercatat
pada tutupan lahan non-hutan. Dari seluruh titik api yang terjadi di areal hutan, 67 persen terjadi diatas hutan
gambut.
30 | WWF
WWF | 31
Titik api NOAA AVHRR dan MODIS di Riau 1997 - 2007
0
5,000
1
NumberofHots
0,000
15,000
20,000
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
potsJumlahtitikapi
Year
Gambar 13.—Titik api di Riau antara tahun 1997 dan 2007. Tingginya titik api di tahun 1998,
2005 dan 2006 terkait dengan kondisi kemarau selama episode El Niño .
Gambar 14. A: Peta tutupan hutan / Non-hutan
1996. Hutan dataran rendah (hijau muda), hutan
rawa gambut (hijau tua). B: titik api 1997-2007
menggambarkan lebih detil peta tutupan hutan
1996. C: Peta tutupan hutan 2007. Lingkaran
merah muda mengindikasikan luasan areal
deforestasi dimana titik api terdokumentasi.
A B
Tahun
Tutupan Hutan 1996 Titik api 1996-2007
C
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam:
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 1996:
Tutupan Hutan 2007
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam:
32 | WWF
Gambar 15.—Lokasi kebakaran selama lebih dari 11 tahun. Titik api yang muncul di areal hutan ditunjukkan
dalam warna merah dan titik pai pada areal non-hutan dalam warna kuning. Sebagian besar aktifitas deforestasi
yang berkaitan erat dengan munculnya titik api ditandai dengan lingkaran merah muda. Lingkaran biru
mengindikasikan kemunculan kembali api di tanah gambut di pinggiran pantai.
A
B
C D
E
FTitik api 1996-2000 Titik api 2007
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 2006:
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 1996:
Titik api 2006Titik api 2001-2002
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 2005:
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 2000:
Titik api 2005Titik api 2003-2004
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 2004:
di kawasan gambut
di kawasan bukan gambut
Hutan alam 2002:
Titik api di areal hutan Titik api di areal non-hutan
Studi ini membandingkan perubahan lahan dan kejadian api berturut-turut selama beberapa tahun. Pada
Gambar 15, seluruh titik api dari periode tertentu ditampatkan pada peta tata guna lahan. Titik api di hutan
ditampilkan dengan warna merah, titik api pada lahan bukan hutan ditampilkan dalam warna kuning. Pada
Gambar 15A, seluruh titik api yang tercatat antara tahun 1997 dan 2000 ditempatkan diatas peta tata guna
lahan tahun 1996. Banyak kejadian kebakaran terjadi di area-area hutan pada tahun 1996 (titik-titik
berwarna merah). Kebanyakan kebakaran di hutan (baik hutan kering maupun rawa gambut) terjadi pada
perbatasan blok hutan sementara sangat sedikit api yang tercatat terjadi di dalamnya. Kejadian serupa juga
tercatat di ekosistem serupa lain di Indonesia45,46,47
. Pada Gambar 15B, seluruh titik api yang tercatat pada
tahun 2001 dan 2002 ditempatkan diatas peta tata guna lahan tahun 2000. Beberapa area hutan rawa
gambut berluasan besar terbakar. Pada Gambar 15C-F, titik api terkait dengan peta tutupan hutan tahun
sebelumnya. Banyak area yang mengalami kebakaran hutan tidak berhutan lagi pada tahun-tahun
berikutnya. Jelas terdapat hubungan antara kebakaran dan deforestasi, meskipun tidak dapat dipastikan
apakah api terjadi akibat deforestasi pada awalnya ataukah api digunakan untuk pembersihan lahan untuk
ditanami setelah area tersebut ditebang. Secara signifikan, lebih sedikit kebakaran terjadi pada tahun 2007
(Gambar 15F, Gambar 16). Hal ini mungkin terjadi karena dua faktor: 1.) Tahun 2007 merupakan tahun
basah akibat pengaruh dari efek La Nina regional (hampir tidak ada kebaharan yang tercatat di dalam hutan
yang rapat) dan/atau 2.) investigasi polisi di seluruh provinsi menghentikan seluruh penebangan habis hutan
oleh HTI, sehingga mencegah pembukaan lahan untuk penanaman. Gambar 16 menunjukkan hubungan titik
api di hutan/bukan hutan yang tercatat
WWF | 33
Gambar 16.—Hubungan antara titik api di hutan atau non hutan selama beberapa periode.
0
5000
10000
15000
20000
25000
1997-2000 2001-2002 2003-2004 2005 2006 2007
Non-Forest Hotspots
Di Borneo dan Amazon, gangguan terhadap tajuk hutan akibat penebangan maupun akibat proses-proses lain
secara signifikan meningkatkan kemungkinan kejadian kebakaran48,49
. Hal ini memulai siklus buruk yang
mengarah pada degradasi hutan, kejadian kebakaran berulang dan akhirnya degradasi parah, tumbuhnya
semak tahan api dan ekosistem savana. Studi dalam laporan ini mengkaji degradasi hutan dan kebakaran
selama beberapa tahun berturut-turut di landskap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh-Kampar (TNBTK) dan
membandingkan berapa banyak kebakaran terjadi di dalam hutan bertajuk rapat dengan hutan yang bertajuk
relatif terbuka.
Kebanyakan kebakaran terjadi di area dengan hutan yang bertutupan tajuk kurang dari 70% (Gambar 17);
Beberapa hutan dengan tutupan tajuk lebih dari 70% juga terkena dampak (Gambar 18). Hal ini
mengkonfirmasi hasil studi terdahulu yang didapat di Borneo50
.
NumberofHotspots
Forest Hotspots
Titik api di areal non-hutan
Titik api di areal hutan
65%
63%
70%
59%
88%
59%
35%
41%
37%
30%
41%
22%
Diatashutanalam2005
Gambar 17.—Kebakaran di Lanskap TNBTK
dari (A) 1997–2000 pada peta tutupan hutan
1995, (B) 2001–2005 pada peta tutupan hutan
2000 , dan (C) 2006–2007 pada peta tutupan
hutan 2005. Kebakaran pada hutan dengan
“tutupan kanopi lebih besar dari 70 persen”
ditunjukkan dengan warna merah, pada “tutupan
kanopi lebih kecil dari 70 persen” dengan warna
oranye, dan pada areal non-hutan ditunjukkan
dengan warna kuning..
Pada daerah yang diperbesar di hutan Tesso Nilo
(D) dan Kampar Peninsula (E), hampir semua
kebakaran terjadi pada “hutan dengan tutupan
lebih kecil dari 70 persen”.
A B
C D
E
Titik api
1996-2000
Tahun 1995
Kerapatan tajuk <70%
Kerapatan tajuk >70%
Tahun 2005
Kerapatan tajuk <70%
Kerapatan tajuk >70%
Tahun 2005
Kerapatan tajuk <70%
Kerapatan tajuk >70%
Tahun 2000
Kerapatan tajuk <70%
Kerapatan tajuk >70%
Tahun 2000
Kerapatan tajuk <70%
Kerapatan tajuk >70%
Titik api
2001-2005
Titik api
2006-2007
Titik api
2001-2005
Titik api
2006-2007
34 | WWF
WWF | 35
Gambar 18.—Titik api pada areal non-hutan, kanopi terbuka, dan areal dengan kanopi tertutup pada
periode yang bersambungan.
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
1997-2000 2001-2005 2006-2007
Non-Forest Hotspots
Degraded-Forest Hotspots
Forest Hotspots
Gambar 19.—Gambar Citra satelit ETM yang
didapatkan pada tahun 2004 dan 2005. Titik api
ditunjukkan dalam warna merah dan diperjelas
pada panel disebelah kanan. Areal yang telah
dikonversi dan terbakar ditunjukkan dengan warna
lingkaran merah muda (pink).
Lingkaran pada bagian bawah menunjukkan
bagaimana api kemungkinan telah digunakan
untuk membuka lahan untuk hutan tanaman akasia
untuk perusahaan mitra Asia Pulp & Paper (APP)
tahun 2004.
NumberofHotspots
35%
21%
34%
15%
34%
14%
Titik api di areal non-hutan
Titik api di areal hutan tre-degradasi
Titik api di areal hutan
Jumlahtitikapi
Citra satelit dari ujung timur semenanjung Kampar dengan resolusi sangat tinggi menunjukkan area dengan
titik api sedang mengalami deforestasi pada tahun berikutnya (Gambar 19).
Studi ini menganalisa jumlah titik api yang tercatat pada tahun 2005, dan yang terjadi didalam area berhutan
pada tahun 2004 dan 2006. Sekitar 5.830 titik api pada tahun 2005 terjadi didalam area yang masih berhutan
pada 2004. Dari jumlah titik api tersebut, 4.832 titik api terjadi di area tidak berhutan pada 2006. Sekitar
83% dari api pada tahun 2005 terkait dengan deforestasi.
Pada Gambar 20, ditampilkan perubahan tutupan hutan antara tahun 2005 hingga 2007 dan dihubungkan
dengan titik api di blok hutan Libo di Riau dimana industri bubur kertas dan kertas Riau melakukan
pembersihan hutan yang luas pada tahun-tahun tersebut.
hutan
Titik api tahun 2006
Di atas hutan alam 2007
Titik api tahun 2006
Di atas hutan alam 2005
Titik api tahun 2006
Di atas hutan alam 2007
Titik api tahun 2005
titik api pada areal hutan
titik api di atas pada areal non hutan
Gambar 20.—Kebakaran pada 2006 ditampakkan diatas peta tutupan hutan 2005 dan 2007. Daerah yang
diperbesar menunjukkan areal blok hutan Libo di Riau, dimana konversi hutan besar-besaran oleh industri
bubur kertas dan kertas telah terjadi. Warna merah tua menunjukkan titik api di areal hutan, merah muda
menunjukkan titik api pada areal non hutan, dan lingkaran merah muda menunjukkan area dimana
deforestatsi terkait kebakaran hutan terjadi.
36 | WWF
Sekitar 3.931 titik api pada tahun 2006 terjadi di area yang masih berhutan pada tahun 2005. Dari jumlah
tersebut, 3.312 titik api terjadi di area yang tidak berhutan pada tahun 2007. Sekitar 84% dari kebakaran
pada tahun 2006 terkait dengan deforestasi. Dari jumlah tersebut, 20% saat ini adalah perkebunan kelapa
sawit, , 37% HTI akasia dan 4% tumbuhan perkebunan lain. Lebih dari 60% dari lahan yang terdeforestasi
tersebut terkait dengan kebakaran yang terjadi pada tahun 2006 dan menjadi lahan yang menjadi
perkebunan pada tahun 2007.
Sekitar seperempat deforestasi yang terjadi di Riau terkait dengan kebakaran pada beberapa tahun terakhir.
Antara tahun 2004 dan 2006, sekitar 525.576 ha hutan menghilang, 28% dari luasan tersebut (144.845 ha)
terkena kebakaran pada tahun 2005. Antara tahun 2005 dan 2007, sekitar 477.349 ha hutan menghilang dan
27% dari luasan ini (126.428 ha) terkena kebakaran. Sekitar 44% dari hutan yang terdeforestasi dirubah
menjadi perkebunan. Sekitar 29% dari perkebunan baru ini tercatat mengalami kebakaran.
Kebakaran di Kawasan Lindung
Hanya sekitar 8% dari kawasan lindung yang dilindungi secara nasional di Riau terkena kebakaran antara
tahun 1997 dan 2007 (Gambar 21).
Sejumlah kecil kawasan lindung seperti Sungai Dumai, Balai Raja Duri, dan Pusat Latihan Gajah serta
setengah dari Kawasan Lindung Sultan Syarif Kasyim Minas – yang semua terletak di bagian utara dan
bagian tengah Riau – mengalami kebakaran yang serius. Tiga kawasan lindung nasional lain (Giam Siak
Kecil, Bukit Bungkuk, dan Tesso Nilo) terkena kebakaran di sepanjang perbatasan kawasannya. Terdapat
tujuh kawasan lindung yang hampir tidak terkena kebakaran (Gambar 21). Potongan-potongan kecil hutan
lindung tampaknya mengalami resiko lebih tinggi untuk terbakar dibandingkan dengan hutan yang memiliki
luasan yang besar, kemungkinan karena pengaruh tutupan tajuk yang biasanya lebih baik karena kawasan ini
kurang terakses oleh pembalak liar dan perambah.
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
Areal kebakaran 1997-2007
Terutama di atas
WWF | 37
Gambar 21.—Titik api yang terjadi (titik merah) di kawasan lindung yang diawasi secara nasional
(poligon-poligon hijau).
Protected Area
Area(ha)
Not Burnt
Burnt
Tidak terbakar
TerbakarKawasan Lindung
8%
Areal Kebakaran
Kawasan Lindung Kawasan Lindung
28 | WWF
9.1 Keanekaragaman Hutan di Riau
Sebuah studi komparatif menemukan bahwa hutan dataran rendah kering Tesso Nilo memiliki keragaman
spesies vaskular yang lebih tinggi dibandingkan dari hutan tropis manapun di seluruh dunia (Peta 8).
Provinsi kedua di Sumatra yang juga masih kaya akan keragaman hayatinya adalah provinsi Jambi. Menurut
studi tersebut, tidak ada catatan publikasi lain yang mengindikasikan adanya kekayaan indeks
tumbuh-tumbuhan yang sebanding dengan Tesso Nilo di hutan dataran rendah lainnya di belahan bumi ini.
Berdasarkan metode pencatatan yang sama mengenai keragaman hayati berbasis tumbuh-tumbuhan, atau
plant-based biodiversity, kekayaan spesies Tesso Nilo berada di atas nilai indeks situs-situs terkaya yang
pernah ada , yaitu dengan membandingkan 1.800 plot di kawasan-kawasan hutan dataran rendah tropis
antara permukaan laut dan elevasi 550 m di 20 negara. Dua puluh negara tersebut adalah Bolivia, Brazil dan
Peru (lembah Amazon bagian barat dan timur), Kamerun (lembah Kongo), Kosta Rika, Fiji, Guyana, Prancis
(Prancis Guyana dan Martinique), Kenya, Indonesia (Kalimantan dan Jawa), Malaysia, Meksiko, Papua New
Guinea, Panama, Filipina, Vanuatu dan Vietnam.
8. Keanekaragaman Hayati
Kekayaan jenis tanaman relatif
218
112
25
104
35
56
52
69
58
99
28
38
60
56
103
31
72
63
82
42
2852
32
43
94
37
1
2 3
1
23
218
112
4
0
102
Taman Nasional
Tesso Nilo
4
Jumlah jenis
7 - 26
27 - 46
47 - 66
Mean
67 - 86
87 - 106
107 - 127
128 - 147
148 - 167
168 - 187
188 - 218
0 5,9002,950
Kilometers
0 980490
Kilometers
0 2,0001,000
Kilometers
0 2,0001,000
Kilometers
0 10050
Kilometers
50
Keragaman spesies tumbuhan vaskular relatif dari berbagai situs studi di hutan-hutan tropis
seluruh dunia.
Peta 8.—
Sebuah studi yang dilakukan oleh LIPI menemukan hutan Tesso Nilo Riau lebih beragam daripada
hutan-hutan alam lainnya di pulau Sumatra (Tabel 2). Berangkat dari hasil penemuan yang spektakuler
tersebut, LIPI merekomendasikan kepada Departemen Kehutanan Indonesia agar kawasan hutan tersebut
dilindungi. Tetapi sampai dengan tahun 2007, empat tahun kemudian, hanya satu per empat bagian dari luas
kawasan hutan yang sudah di survei saja yang pada akhirnya disepakati untuk dilindungi oleh Pemerintah
Persetujuan oleh Mentri Kehutanan untuk menzonasi sisa kawasan lainnya sebagai taman nasional sudah
tertunda sejak tahun 2001.
Tabel 2.—Perbandingan kekayaan spesies pohon di enam situs studi di Sumatera, Indonesia.
Lokasi
Ukuran
Plot
(ha)
Jumlah
Spesies
Pohon
Densitas
Pohon
(/ha)
Indeks
Keragaman
Spesies
Kompleks Hutan Tesso Nilo 1 215 557 9,11
Sungai Alas, Taman Nasional Leuser, Aceh 1 81 542 3,48
Hutan Riset Ketambe, Taman Nasional Leuser,
Sumatera Utara 1,6 132 480 4,76
Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi 0,09 30 610 4,04
Rimbo Panti (800 m dpl), Sumatera Utara 1 145 429 7
Rimbo Panti (200 m dpl), Sumatera Utara 1 80 451 3,76
Hutan Tesso Nilo di Riau © WWF.
WWF | 39
9.2 Status Populasi Gajah Sumatera dan Habitatnya
Gajah Sumatera di dalam kawasan perkebunan sawit Riau © WWF.
Populasi gajah Riau dihitung sebanyak empat kali sepanjang tahun 1985-2007 (Gambar 22, Tabel 3). Semua
estimasi populasi gajah adalah estimasi kasar. Survei angka-angka didasarkan pada wawancara dengan
masyarakat setempat, observasi saat terjadi konflik gajah-manusia, dan bukti-bukti yang dikumpulkan saat
mengadakan survei pada tumpukan kotoran dan lintasan atau jejak. Tim survei memperkiraan ruang jelajah
dari kelompok-kelompok gajah yang terpisah (biasa disebut kantong-kantong gajah) dan kemudian
memperkirakan berapa jumlah gajah yang berada atau terkait dengan kantong tersebut.
Populasi gajah menurun dari sekitar 1.342 ekor di tahun 1984 menjadi sekitar 210 ekor di tahun 2007
(Gambar 13), yaitu penurunan sebesar 84% dalam kurun waktu lebih dari 23 tahun, lebih cepat bahkan
daripada 65% penyusutan kawasan hutan Riau untuk periode waktu yang sama (Gambar 13). Jumlah
kantong-kantong gajah meningkat dari sebelas pada tahun 1984 menjadi 16 pada tahun 1999 karena hutan
semakin terfragmentasi dan kelompok-kelompok gajah semakin jauh terpisah-pisah dimana habitatnya
dikelilingi lahan terbuka atau perkebunan (Peta 9). Hingga tahun 2007, populasi gajah di kantong Rokan
Hilir, Kerumutan, Koto Panjang, Bukit Rimbang Baling, Tanjung Pauh dan Bukit Suligi telah punah, yang
menurunkan jumlah kantong-kantong gajah dari 15 di tahun 2003 menjadi tinggal sembilan saja (Tabel 3,
Peta 9).
Tabel 3.—Estimasi jumlah gajah dan distribusinya di Riau, Sumatera.
Tahun
Estimasi
Populasi
Gajah
Estimasi
rata-rata
Populasi
Gajah
Jumlah
Kantong-kantong
Populasi Gajah
Rata-rata
Penyusutan
Populasi
Per tahun
Survei
1985 1067-1617 1342 11
Blouch dan Simbolon,
198553
1999 709 709 16 45
Dinas Kehutanan
Provinsi Riau, 200254
2003 353-431 392 15 79 Fadhli, N. 200455
2007 174-246 210
Departemen
Kehutanan, 2007569 46
40 | WWF
Hilangnya gajah tampaknya berkaitan erat dengan konflik manusia-gajah. Konflik-konflik tersebut terjadi
karena hutan-hutan bagi gajah telah tergantikan dengan ladang atau kebun-kebun sawit yang kemudian
menjadi sumber makanan pengganti bagi satwa liar tersebut. Empat peracunan massal terhadap gajah telah
dilaporkan. Pada tahun 2002, 17 ekor gajah ditemukan keracunan dekat Mahato di Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Tahun 2004, enam ekor gajah diracun di Rokan Hulu. Tahun 2005, enam ekor gajah diracun
di Kepenuhan dekat Mahato dan tahun 2006 enam ekor gajah lagi diracun di Mahato. Kasus-kasus kematian
gajah lainnya akibat keracunan mungkin tidak pernah dilaporkan.
y = -0,599x
2
- 34,544x + 1492,4
R
2
= 0,9946
y = 1583,3x
2
- 137713x + 3E+06
R
2
= 0,9943
y = -28,633x
2
- 164802x + 7E+06
R
2
= 0,9974
0
1.000.000
2.000.000
3.000.000
4.000.000
5.000.000
6.000.000
7.000.000
19821983198419851986198719881989199019911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007
TutupanHutan(ha)
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Est.PopulasiGajah
Hutan Bukan Gambut
Seluruh hutan yang
tersisa
Est. populasi gajah
Poly. (Est. populasi
gajah)
Poly. (Hutan Bukan
Gambut)
Poly. (Seluruh hutan yang
tersisa)
Gambar 22.—Tutupan hutan, tutupan hutan non-gambut dan estimasi populasi gajah Riau tahun 1982 -
2007.
Bukti tambahan atas penurunan populasi gajah terkait dengan konflik adalah penangkapan satwa tersebut
sejak tahun 2000 (Tabel 4). WWF menemukan bukti bahwa setidaknya telah terjadi 224 kasus penangkapan;
meskipun diyakini masih banyak lagi kasus penangkapan yang tidak diketahui (Tabel 4). WWF
memperkirakan bahwa sebagian besar dari gajah-gajah hasil tangkapan tersebut mati di lokasi tempat
penangkapan, setelah gajah ditranslokasikan ke tempat penampungan atau pusat latihan gajah, atau setelah
dilepaskan kealam bebas57
. WWF dan Balai Konservasi Sumberdaya alam di tingkat provinsi telah
membentuk tim patroli gajah yang disebut dengan gajah “Flying Squads” disekitar Hutan Tesso Nilo
(www.wwf.or.id/TessoNilo). Tim “Flying Squad” ini memanfaatkan gajah-gajah terlatih yang tadinya adalah
gajah liar untuk melindungi dan menjaga ladang-ladang dan perkebunan dari serangan gajah-gajah liar di
Tesso Nilo. Tim patroli gajah ini merupakan bentuk upaya serius dalam memitigasi konflik manusia-gajah di
Riau. Sayangnya di beberapa tempat lain di Riau, para pemilik perkebunan dan oknum pejabat setempat
terkadang memilih untuk “melenyapkan” gajah-gajah yang dianggap mengganggu mereka tanpa mencoba
menerapkan teknik mitigasi yang telah terbukti efektif ditempat lain..
WWF | 41
42 | WWF
102 o
0
o
15 25
37
12
21
45
25
25
5
0 11055
Kilometers
2007
102
o
0
o
250
150
75
75
150
350
30
30
75
30
150
0 11055
Kilometers
1985
102 o
0
o
23
13
45
23
43
23
19
7
33
25
45
13
465
17
9
0 10050
Kilometers
2003
102 o
0
o
40
30
35
60
8 30
10
32
158
30
70
35
30
70
16
55
0 10050
Kilometers
1999
Peta 9 a - d. — Hutan lahan gambut (hijau tua) dan non-gambut (hijau muda) berikut aproksimasi ruang
jelajah kelompok gajah di Riau, Sumatra
Kantong populasi gajah Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa
Kajian ini memperkirakan bahwa jumlah gajah dan kantong-kantongnya akan terus merosot sampai
semuanya akhirnya punah kecuali dua kumpulan saja (Peta 9). Beberapa gajah mungkin masih bertahan di
dua hutan habitat gajah yang masih layak, yaitu di Tesso Nilo dan di bagian sebelah Selatan dan Barat
Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang memiliki topografi datar dan berbukit. Sejumlah LSM sudah
mengusulkan dan meminta Departemen Kehutanan untuk melindungi kawasan-kawasan ini agar tetap
terpelihara sebagai habitat gajah di Riau. Belum ada tanggapan terhadap usulan tersebut hingga kini. Kedua
hutan habitat gajah tersebut masing-masing saat ini sedang berada dalam ancaman konversi akibat kegiatan
perambahan liar dan industri bubur kertas dan kertas.
Kabupaten 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 TOTAL
Siak - - - - 3 - - - 3
Rokan Hulu - - 10 19 5 13 - 10 57
Pelalawan - - - - 1 - 1 2 4
Pekanbaru - - - 1 - - 2 - 3
Kampar - 1 37 15 9 30 17 6 115
Indragiri Hilir 16 10 - 3 - - - - 29
Bengkalis - - - - 7 6 - - 13
TOTAL 16 11 47 38 25 49 20 18 224
Tabel 4. — Jumlah gajah tangkapan di enam kabupaten di Riau dari tahun 2000-2007 menurut pantauan
WWF.
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia
Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia

Weitere ähnliche Inhalte

Ähnlich wie Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia

Dampak erosi tanah
Dampak erosi tanahDampak erosi tanah
Dampak erosi tanah
BP4K
 
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
People Power
 
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Oswar Mungkasa
 
366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...
366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...
366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...
Ari Perdana
 
Outlook komoditas perkebunan
Outlook komoditas perkebunanOutlook komoditas perkebunan
Outlook komoditas perkebunan
prettywulandari
 
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”
sigitsetiawan25
 

Ähnlich wie Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia (20)

Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut di Kabupaten Banjar Kalsel
Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut di Kabupaten Banjar KalselPencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut di Kabupaten Banjar Kalsel
Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut di Kabupaten Banjar Kalsel
 
Tugas kesehatan dan keselamatan kerja polusi udara karena kebakaran hutan
Tugas kesehatan dan keselamatan kerja   polusi udara karena kebakaran hutanTugas kesehatan dan keselamatan kerja   polusi udara karena kebakaran hutan
Tugas kesehatan dan keselamatan kerja polusi udara karena kebakaran hutan
 
RPPLH Kota Surabaya Tahun 2017.pdf
RPPLH Kota Surabaya Tahun 2017.pdfRPPLH Kota Surabaya Tahun 2017.pdf
RPPLH Kota Surabaya Tahun 2017.pdf
 
Dampak erosi tanah
Dampak erosi tanahDampak erosi tanah
Dampak erosi tanah
 
Perencanaan teknis drainase_lingkungan_k
Perencanaan teknis drainase_lingkungan_kPerencanaan teknis drainase_lingkungan_k
Perencanaan teknis drainase_lingkungan_k
 
profil KPH
profil KPHprofil KPH
profil KPH
 
1 ikan-mas
1 ikan-mas1 ikan-mas
1 ikan-mas
 
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPARLaporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
Laporan AKhir EKPD 2009 Kalimantan Tengah - UNPAR
 
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
Buku Putih Redd Draf I 10 Jun 08
 
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan PERCIK Edisi II Tahun 201...
 
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
 
Pemeriksaan Bpk Tentang Kegiatan Pusdalkarhutla Riau 2007
Pemeriksaan Bpk Tentang Kegiatan Pusdalkarhutla Riau 2007Pemeriksaan Bpk Tentang Kegiatan Pusdalkarhutla Riau 2007
Pemeriksaan Bpk Tentang Kegiatan Pusdalkarhutla Riau 2007
 
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTANEKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
 
laporan wuwur.doc
laporan wuwur.doclaporan wuwur.doc
laporan wuwur.doc
 
Payun
PayunPayun
Payun
 
366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...
366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...
366933503 sni-iso-14001-2015-sistem-manajemen-lingkungan-persyaratan-dengan-p...
 
Outlook komoditas perkebunan
Outlook komoditas perkebunanOutlook komoditas perkebunan
Outlook komoditas perkebunan
 
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL)”
 
R 0279-panduansawit
R 0279-panduansawitR 0279-panduansawit
R 0279-panduansawit
 
Panduan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit Mini
Panduan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit MiniPanduan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit Mini
Panduan Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit Mini
 

Mehr von People Power

Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kamparKronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
People Power
 
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam seninKronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
People Power
 
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
People Power
 
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
People Power
 
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
People Power
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
People Power
 
Surat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASISurat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASI
People Power
 
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASISurat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
People Power
 

Mehr von People Power (20)

Strategi advokasi
Strategi advokasiStrategi advokasi
Strategi advokasi
 
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
Kebijakan program perhutanan sosial 2015 2019
 
sahabat walhi riau by Tya
sahabat walhi riau by Tyasahabat walhi riau by Tya
sahabat walhi riau by Tya
 
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kamparKronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
Kronologis kejadian dugaan kriminalisasi petani di polres kampar
 
Kronologis 1
Kronologis 1Kronologis 1
Kronologis 1
 
Kronologis 2
Kronologis 2Kronologis 2
Kronologis 2
 
Kronologis 4
Kronologis 4Kronologis 4
Kronologis 4
 
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam seninKronologis penolakan - di jakarta malam senin
Kronologis penolakan - di jakarta malam senin
 
Kronologis 3
Kronologis 3Kronologis 3
Kronologis 3
 
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadi
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadiLangkah langkah pemetaan pengingat pribadi
Langkah langkah pemetaan pengingat pribadi
 
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
Daftar penerima dana hibah dan bansos 2013
 
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
Kronologi aksi Front Komunikasi Masyarakat Berdaulat Pulau Padang 8_januari_2013
 
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
Kesepakatan Antara Buruh dan tani tanggal 20 Des 2012 yang telah dilanggar Ol...
 
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
Bubarkan bp migas putusan sidang 36 puu 2012 migas - telah baca 13 nov 2012
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
 
090112 konflik pulau padang potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
090112 konflik pulau padang  potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...090112 konflik pulau padang  potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
090112 konflik pulau padang potret buram tata ruang dan tata kelola hutan di...
 
Pengelolaan Lansekap di Pulau Padang
Pengelolaan Lansekap di Pulau PadangPengelolaan Lansekap di Pulau Padang
Pengelolaan Lansekap di Pulau Padang
 
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
Masyarakat PULAU PADANG Akan Lakukan ‘’AKSI BAKAR DIRI’’ Di Istana Negara.
 
Surat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASISurat STR menolak TIM MEDIASI
Surat STR menolak TIM MEDIASI
 
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASISurat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
Surat kementri tentang penolakan tim MEDIASI
 

Riau Co2 Full Report Bahasa Indonesia

  • 1.
  • 2. 102 o 0 o Tutupan Hutan Alam Riau 2007: Hutan di kawasan gambut yang tersisa 2007 Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa 2007 Hutan di kawasan gambut yang hilang 1982-2007 Hutan di kawasan bukan gambut yang hilang 1982-2007 102 o 0 o Tutupan Hutan Alam Riau 1982: Hutan di kawasan gambut yang tersisa 1982 Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa 1982 0 10050 Kilometers 0 10050 Kilometers
  • 3. Deforestasi, Degradasi Hutan, Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Emisi CO2 di Riau, Sumatera, Indonesia Hilangnya Karbon dari Hutan dan Lahan Gambut di Salah Satu Provinsi di Indonesia Selama Lebih dari Seperempat Abad dan Rencana ke Depan Laporan Teknik WWF-Indonesia www.wwf.or.id February 2008
  • 4. Penulis Yumiko Uryu, Konsultan World Wildlife Fund, Washington DC, USA Claudius Mott, Remote Sensing Solutions GmbH, Munich, Germany Nazir Foead, WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia Kokok Yulianto, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia Arif Budiman, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia Setiabudi, Konsultan WWF-Indonesia, Indonesia Fumiaki Takakai, Universitas Hokkaido, Jepang Nursamsu, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia Sunarto, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia Elisabet Purastuti, WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia Nurchalis Fadhli, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia Cobar Maju Bintang Hutajulu, WWF-Indonesia, Pekanbaru, Indonesia Julia Jaenicke, Remote Sensing Solutions GmbH, Munich, Germany Ryusuke Hatano, Universitas Hokkaido, Jepang Florian Siegert, Remote Sensing Solutions GmbH, Munich, Germany Michael Stüwe, World Wildlife Fund, Washington DC, USA Foto di halaman muka: Cahaya pagi di hutan kering dataran rendah Bukit Tigapuluh, Riau, Sumatera, Indonesia © WWF-Indonesia/Sunarto. Foto di halaman belakang: Tiga ekor anak gajah di Riau, Sumatera,Indonesia @ WWF-Indonesia/Samsuardi. Dikutip sebagai: Uryu, Y. et al. 2008. Deforestasi, Degradasi Hutan, Hilangnya Keanekaragaman Hayati, dan Emisi CO2 di Riau, Sumatera, Indonesia. Laporan Teknik WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia. Kontak: yumuryu@yahoo.com, mott@rssgmbh.de, nfoead@wwf.or.id, kkkyulianto@yahoo.com, abudiman@wwf.or.id, setiabudi@biotrop.org, takakai@chem.agr.hokudai.ac.jp, nsamsoe@yahoo.com, sunarto@wwf.or.id, epurastuti@wwf.or.id, nfadhli@hotmail.com, cobar_h@yahoo.com, jaenicke@rssgmbh.de, hatano@chem.agr.hokudai.ac.jp, siegert@rssgmbh.de, michaelstuewe@yahoo.com
  • 5. Daftar Isi 1. Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................2 2. Pengantar.....................................................................................................................5 3. Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................6 4. Latar Belakang.............................................................................................................7 4.1 Deforestasi dan Emisi Gas CO2 .......................................................................................... 7 4.2 Deforestasi di Riau Dulu dan yang Akan Datang................................................................ 9 4.3 Apa yang dipertaruhkan? .................................................................................................. 10 4.4 Apa yang akan Terjadi di Masa Depan? ........................................................................... 12 5. Wilayah Studi.............................................................................................................13 6. REDD – Deforestasi...................................................................................................14 6.1 Deforestasi di Riau kurun waktu 1982 - 2007 ................................................................... 14 6.2 Deforestasi di Kawasan Lindung Riau .............................................................................. 17 6.3 Deforestasi di Lanskap TNBTK Kurun Waktu 1990 - 2007............................................... 18 6.3.1 Perubahan Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut ............................... 19 6.3.2 Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup.................................................................. 20 6.4 Prediksi Deforestasi Hutan Riau Kurun Waktu 2007-2015 ............................................... 23 6.4.1 Prediksi Tutupan Hutan Riau di tahun 2015...................................................................... 23 6.4.2 Prediksi Penggantian Hutan Alam Riau hingga tahun 2015 ........................................... 24 6.4.3 Prediksi Penggantian Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut ............. 25 6.4.4 Prediksi Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup hingga tahun 2015 ................ 26 7. REDD – Degradasi .....................................................................................................28 7.1 Degradasi Hutan di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990– 2007 ............................... 28 7.2 Degradasi Hutan di Kawasan Lindung Riau...................................................................... 29 8. Kebakaran (1997 – 2007)...........................................................................................30 9. Keanekaragaman Hayati ...........................................................................................38 9.1 Keanekaragaman Hutan di Riau ....................................................................................... 38 9.2 Status Populasi Gajah Sumatera dan Habitatnya............................................................. 40 9.3 Status Populasi Harimau Sumatera dan Habitatnya......................................................... 43 10. REDD – Emisi-Emisi ..................................................................................................46 10.1 Emisi-emisi CO2 dari Deforestasi dan Degradasi Biomassa Diatas Tanah....................... 47 10.1.1 Emisi-emisi di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990 – 2007.................................... 47 10.1.2 Emisi-emisi dari Perubahan Tutupan Lahan di Riau kurun waktu 1982 – 2007 .......... 48 10.1.3 Prediksi Emisi Riau kurun waktu 2007-2015..................................................................... 48 10.2 Emisi-emisi CO2 dari Dekomposisi dan Pembakaran Biomassa Lapisan Gambut ........... 48 10.2.1 Emisi-emisi dari Dekomposisi Gambut di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990 – 2007 ......................................................................................................................................... 49 10.2.2 Emisi-emisi dari Pembakaran Gambut Riau kurun waktu 1997 – 2007........................ 50 10.3 Emisi Netto CO2 di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990-2007 .................................. 51 10.4 Emisi-emisi Netto CO2 di Riau kurun waktu 1990-2007.................................................... 53 11. Kesimpulan ................................................................................................................56 12. Referensi ....................................................................................................................75 WWF | 1
  • 6. 1. Ringkasan Eksekutif Provinsi Riau, di Sumatera bagian tengah, memiliki lahan gambut yang sangat luas yang diperkirakan menyimpan cadangan karbon terbesar Indonesia. Provinsi Riau juga masih memiliki beberapa sisa blok hutan yang bernilai sangat penting sebagai habitat satwa liar yaitu harimau dan gajah Sumatera yang terancam punah. Di seluruh dunia kedua spesies ini hanya dapat ditemukan di pulau Sumatera saja. Laporan ini menguraikan bagaimana deforestasi dan degradasi hutan alam yang didorong oleh industri bubur kertas dan kelapa sawit telah menyebabkan terjadinya dekomposisi dan pembakaran tanah yang kaya zat karbon pada lahan gambut dalam yang sangat luas di Riau. Laporan ini berhasil menemukan bahwa deforestasi dan degradasi hutan menjadi penyebab munculnya emisi-emisi gas CO2 yang signifikan secara global dan menyebabkan kabut asap lintas batas hingga ke Selat Malaka. Hal ini juga sangat mengancam kepunahan lokal satwa liar gajah dan harimau Sumatera, yang jumlahnya menyusut jauh lebih cepat dibanding luas tutupan hutan Riau, terutama dipicu oleh meningkatnya konflik satwa-manusia sehingga kedua spesies tersebut lenyap dari habitatnya. Laporan ini menganalisa deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama lebih dari seperempat abad, yaitu sepanjang kurun waktu 1982 sampai dengan 2007. Kajian ini mengidentifikasi pendorong terjadinya deforestasi melalui pemetaan peruntukan lahan yang telah mengubah kawasan hutan alam. Istilah “hutan” dalam laporan ini selalu berarti hutan alam dan bukan hutan tanaman industri dan lahan pertanian, atau tutupan hutan lain yang menggantikannya. Tutupan hutan di Riau telah menurun hingga 65% dalam 25 tahun terakhir. Deforestasi yang terjadi didorong oleh sektor industri hutan tanaman dan perkebunan meskipun sebagian besar dari hutan yang dibuka kemudian menjadi “terlantar”. Riau memiliki hampir 900.000 hektar lahan “terlantar” dimana hutan tanaman atau kebun memiliki potensi untuk dapat dikembangkan tanpa perlu menebang hutan alam lagi. Kajian ini memperkirakan bahwa pelepasan emisi-emisi CO2 baik di masa lalu maupun di masa datang terkait erat dengan deforestasi dan degradasi hutan, degradasi di tanah gambut dan kebakaran (penggunaan api secara sengaja untuk tujuan pembukaan lahan dan api yang “menjalar” tanpa terkontrol). Laporan ini membuat dua scenario masa depan deforestasi hingga tahun 2015. Melihat ke masa depan, sebuah skenario “bussiness as usual” (bisnis sebagaimana biasanya) memperkirakan tutupan hutan alam di Riau akan merosot hingga 6% di tahun 2015 dari 27% yang masih ada saat ini. Skenario kedua, mengambil model dari draft tata ruang lahan provinsi Riau, memperkirakan tutupan hutan alam akan menyusut hingga 15% di tahun 2015. Dari deforestasi yang baru tersebut, 84% akan terjadi pada lahan gambut. Deforestasi ini akan banyak digerakkan oleh industri pulp & paper (74% dari keseluruihan deforestasi). Dengan asumsi bahwa semua hutan alam yang berada didalam kawasan hutan tanaman atau kebun akan dikonversi, maka pada tahun 2015, perkebunan akasia akan menggantikan 36% (atau sekitar 1,9 jt ha) dan perkebunan sawit 27% (atau sekitar 1,4jt ha) dari keseluruhan hutan yang hilang sejak 1982. Pertanyaan sekarang adalah, berapa banyak, jika ada, hutan alam yang akan disisakan didalam kawasan hutan tanaman atau perkebunan. Emisi CO2 dari deforestasi degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut dihitung berdasarkan analisis penginderaan jauh. Rata-rata emisi CO2 di Riau antara tahun 1990 dan tahun 2007 adalah sekitar 0,22 Gt, setara dengan 79% total emisi tahunan Indonesia dari sektor energi pada tahun 2004. Perkiraan ini bisa jadi sangat berlebih (over) atau kurang (underestimate) dari emisi yang sebenarnya karena banyak data detil dari berbagai proses dalam penyimpanan karbon dan emisi karbon (pengurangan simpanan karbon) tidak tersedia. Tetapi dengan mempertimbangkan semua kemungkinan error dan ketidakpastian, penulis yakin bahwa hasil perhitungan yang muncul, setidaknya, secara besaran emisi adalah benar. Pada Konferensi PBB mengenai Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali 2007, parapihak menyepakati akan pentingnya tindakan lebih lanjut untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan mengadopsi sebuah program kerja. Program tersebut akan fokus pada kajian perubahan tutupan hutan dan hal-hal terkait dengan emisi gas rumah kaca, menunjukkan pengurangan emisi dari deforestasi dan memperkirakan pengurangan emisi dari deforestasi. Skema finansial untuk perdagangan karbon melalui 2 | WWF
  • 7. “avoided deforestation” atau pencegahan deforestasi akan dibangun dan kompensasi dunia internasional akan dibangun. Hal ini dapat memberikan masa depan yang baik bagi industri kehutanan di Indonesia, mengingat kebijakan yang kuat merupakan hal yang penting untuk mendorong komersialisasi jasa-jasa lingkungan seperti menghindarkan deforestasi, perlindungan air dan tanah, dan konservasi keragaman hayati. Apabila keuntungan dari perdagangan jasa-jasa dari lingkungan atau perdagangan karbon sebanding dengan perdagangan kayu, banyak hutan kemungkinan besar akan dilindungi oleh pemilik konsesi. Hal ini mungkin akan terjadi pada hutan gambut yang kaya karbon di Riau dan tanah dibawahnya. Nilai potensial perdagangan simpanan karbon dari hutan-hutan yang dilindungi ini mungkin sebanding atau bahkan dapat lebih baik dibandingkan dengan penggunaan hutan alam lain yang konvensional. Temuan-temuan Penting menyangkut Deforestasi dan Degradasi Hutan • Dalam jangka waktu 25 tahun belakangan, Riau telah kehilangan lebih dari 4 juta ha hutan (65%). Tutupan hutan menyusut dari 78% di tahun 1982 menjadi 27% saat ini. Deforestasi antara tahun 2005-2006 adalah sebanyak 286.146 ha, penyusutan sebanyak 11% hanya dalam satu tahun saja. • Dari hilangnya tutupan hutan dalam 25 tahun terakhir, sebanyak 29% dikonversi menjadi industri perkebunan kelapa sawit, 24% dikonversi untuk Hutan Tanaman Industri bubur kertas, dan 17% menjadi apa yang disebut lahan “terlantar” (lahan yang terdeforestasi tetapi tidak digantikan oleh tutupan atau tanaman apapun). • Dua “kejadian” yang berpengaruh pada industri pulp & paper Riau yang menyebabkan perlambatan laju deforestasi adalah: kelalaian hutang pada awal tahun 2000-an dan investigasi besar-besaran oleh pihak kepolisian dalam pembalakan liar di tahun 2007, yang hingga kini masih terus berlangsung. • Dalam kajian Lanskap Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh–Kampar, yang meliputi 55% dari provinsi Riau ini, 90% dari total deforestasi disebabkan oleh pembukaan kawasan hutan alam yang masih bagus (tutupan kanopinya lebih dari 40%) Sekitar 96% dari total hutan tanaman akasia dan 85% dari perkebunan sawit yang dibangun telah menggantikan kawasan hutan alam ini. • Kawasan-kawasan lindung yang diawasi secara nasional seperti taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, relatif efektif dalam mempertahankan tutupan hutan sementara kawasan lindung provinsi dan lokal tidak demikian halnya. Temuan-temuan Penting menyangkut Keragaman Hayati • Dalam seperempat abad terakhir, populasi gajah Sumatera diperkirakan merosot tajam hingga 84% dari sekitar 1067-1617 di tahun 1984 menjadi sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Jika kecenderungan ini berlanjut dan dua kawasan hutan terbesar yang masih tersisa, Tesso Nilo dan konsesi eks-logging dekat TNBT, tidak dilindungi, maka populasi gajah liar di Riau tidak lama lagi akan dapat bertahan hidup dan akan menghadapi kepunahan. • Estimasi populasi harimau Sumatera di Riau merosot sampai 70% dari 640 ekor di tahun 1982 menjadi hanya 192 ekor di tahun 2007 karena fragmentasi habitat. Populasi harimau di Riau hanya akan bertahan lebih lama, jika areal terakhir yang masih tersisa bagi habitat satwa dilindungi itu dihubungkan dengan koridor satwa. Temuan-temuan Penting menyangkut Kebakaran Hutan • Antara tahun 1997 hingga 2007 lebih dari 72.000 kebakaran aktif (titik api) di Riau berhasil dicatat dengan menggunakan sensor satelit NOAA AVHRR dan MODIS. Sebanyak 31% dari seluruh wilayah Riau pernah terbakar paling tidak satu kali, 12% telah terbakar lebih dari satu kali. Kebakaran yang berulang ini merupakan ancaman yang sangat serius terhadap ekosistem hutan hujan karena kebakaran WWF | 3
  • 8. menghalangi atau memperlambat regenerasi hutan sehingga pada akhirnya mengubah ekosistem hutan menjadi padang rerumputan. • Terdapat hubungan yang jelas antara kebakaran dan deforestasi. • Sebagian besar kebakaran terjadi pada hutan yang memiliki tutupan kanopi sedang sampai dengan terbuka. • Hanya 8% dari kawasan lindung yang diawasi secara nasional terkena dampak kebakaran, mungkin karena kawasan lindung memiliki tutupan hutan yang relatif masih lebih bagus. Temuan-temuan Penting menyangkut Emisi Karbon Dioksida (CO2) • Antara tahun 1990 hingga 2007, perkiraan emisi total di Riau melampaui 3,66 gigaton (Gt) CO2, termasuk didalamnya emisi-emisi akibat deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi serta pembakaran lahan gambut, sehingga mendongkrak peringkat Indonesia sebagai salah satu penghasil atau emitter emisi karbon terbesar di dunia. Total emisi selama kurun waktu 17 tahun tersebut melampaui total tahunan emisi CO2 Uni Eropa tahun 2005 (termasuk di dalamnya emisi/buangan dari Tata Ruang, Perubahan Tata Ruang dan Kehutanan/ LULUCF). Sequestrasi karbon oleh hutan tanaman akasia dan kelapa sawit yang menggantikan hutan adalah sebesar 0,24 Gt CO2. • Rata-rata tahunan emisi CO2 dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut dan kebakaran lahan gambut di Riau sepanjang periode 1990 hingga 2007 adalah 0,22 Gt, atau setara dengan 58% total emisi tahunan CO2 Australia (termasuk emisi/buangan dari LULUCF, di tahun 2005), 39% dari total emisi tahunan Inggris, lebih tinggi dari total emisi tahunan Belanda (122%) dan 79% dari total emisi tahunan Indonesia dari sektor energi tahun 2004. • Dalam kurun waktu 1990 dan 2007, Riau saja sudah memproduksi lebih banyak CO2 per tahun dibandingkan jumlah emisi yang coba dikurangi oleh negara industrial terbesar keempat, Jerman, untuk mencapai targetnya pada Kyoto Protokol. • Apabila draft rencana tata ruang provinsi Riau diimplementasikan sepenuhnya, maka sebanyak 0,49 Gt CO2 akan dilepaskan di tahun 2015 hanya oleh aktivitas deforestasi saja. Jika skenario “bussines as usual” atau bisnis sebagaimana biasanya masih terus berlangsung, dua kali lipat CO2 akan dilepaskan. Degradasi dan pembakaran gambut tidak diikutsertakan dalam proyeksi ini. • Rata-rata tahunan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut dan kebakaran gambut di riau dalam kurun waktu 1990 hingga 2007 setara dengan 24% dari target reduksi emisi Gas Rumah Kaca tahunan kolektif oleh negara-negara Annex I dalam komitmen periode pertama tahun 2008-2012. • Konsumsi global minyak sawit dan kertas telah mendorong deforestsi Riau– juga mendorong perubahan iklim. Pengurangan emisi CO2 akan jauh lebih efektif bila investasi direalokasikan untuk pencegahan deforestasi. • Membangun mekanisme untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation” (REDD) untuk menghindari emisi-emisi dari deforestasi, dikombinasikan dengan pengembangan HTI/perkebunan yang dibatasi hanya pada lahan “terlantar” (wasteland) akan memperbaiki keseimbangan emisi karbon antropogenik dunia. 4 | WWF
  • 9. 2. Pengantar Provinsi Riau yang terletak di Sumatera bagian tengah, Indonesia, memiliki sejumlah ekosistem paling kaya keanekaragaman hayatidi bumi termasuk juga spesies-spesies unik yang terancam kepunahan seperti harimau dan gajah Sumatera. Berbagai studi komparatif mendapati hutan dataran rendah kering Tesso Nilo mempunyai keanekaragaman tumbuhan vaskular yang paling tinggi diantara 1.800 plot survei hutan tropis yang pernah diteliti di seluruh benua1 , dan memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi daripada hutan-hutan Indonesia dan Sumatera lainnya2 . Dalam merencanakan prioritas wilayah-wilayah konservasinya di seluruh dunia, WWF memetakan hutan-hutan dataran rendah kering dan lahan gambut di Riau sebagai the Sumateran Islands Lowland and Montane Forests3 dan Sundaland Rivers and Swamps4 dalam prioritas ekoregional Global 200. WWF telah bekerja di Riau sejak 1999, berupaya untuk melindungi harimau dan gajah Sumatera beserta habitatnya, khususnya kawasan hutan alam tropis didalam Lanskap Konservasi Tesso Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar5 (Ekuator dan 102o BT) yang luasannya mencakup hingga sekitar 55% dari keseluruhan daratan Riau. Spesies-spesies tersebut dan habitat hutan tropisnya tengah terancam sangat serius oleh deforestasi skala besar yang sangat cepat. Tetapi permasalahan deforestasi di Riau bukan hanya mengenai lenyapnya keanekaragaman hayati. Baru-baru ini, emisi-emisi gas rumah kaca dalam jumlah signifikan dari aktivitas-aktivitas seperti deforestasi, degradasi hutan dan dekomposisi dan pembakaran lahan gambut di Indonesia -- khususnya di Riau -- semakin mendapatkan perhatian dan sorotan secara global. Hutan alam dan hutan gambut merupakan tempat penyimpanan karbon jangka panjang atau bahkan permanen yang sangat penting dimana tanah gambut mampu menyimpan 30 kali lebih banyak karbon dibandingkan hutan-hutan tropis yang tumbuh di atasnya6 . Namun demikian, stabilitas tanah gambut dan kemampuannya menyimpan karbon untuk jangka panjang sangat tergantung pada kondisi fisik hutan alam yang menaunginya. Kebakaran hutan dan tanah gambut merupakan indikator paling dramatis dari emisi-emisi CO2 yang berasal dari simpanan karbon tersebut - dan akar penyebab emisi-emisi ini adalah deforestasi. WWFi telah dan masih terus melakukan pemantauan terhadap status gajah, harimau, hutan alam dan ancaman-ancamannya serta pendorong-pendorong yang bertanggung jawab terhadap deforestasi dan degradasi hutan di Riau dengan penginderaan jarak jauh dan survei lapangan, terkadang berkolaborasi juga dengan dua jaringan LSM lokal, Jikalahariii dan Walhiiii Riau, melalui proyek “Eyes on the Forest” (www.eyesontheforest.or.id). Analisa-analisa secara terperinci mengenai kondisi terkini dan sejarah perubahan tutupan hutan dikaitkan dengan proses-proses zonasi. Asap tebal bergulung-gulung di atas Riau di dekat Sumatera Utara sedang bergerak menuju Malaysia, seperti dilaporkan oleh satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) tahun 2005 © NASA 2005 Selain menunjukkan hubungan antara pengembangan perkebunan dan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayatidan emisi CO2 di Riau, laporan ini bertujuan untuk memberikan masukan khusus berdasarkan lokasi (site-specific) untuk proyek percontohan REDD atau semacam REDD di Indonesia yang pelaksanaannya dilakukan secara sukarela (voluntary). Studi ini juga dibuat untuk mendukung proses penetapan mekanisme REDD dengan mengambil contoh kasus dinamika tata guna lahan di salah satu i www.wwf.or.id ii www.jikalahari.org iii www.walhi.or.id WWF | 5
  • 10. provinsi di Sumatera pada periode seperempat abad terakhir. Penulis laporan ini berharap bahwa REDD untuk Indonesia dan investasi sukarela (voluntary investor) dapat memberikan insentif yang diperlukan untuk menghentikan deforestasi dan degradasi hutan lebih lanjut di provinsi Riau dan provinsi lainnya di Indonesia sehingga akan mengurangi kontribusi provinsi tersebut terhadap perubahan iklim, mengurangi dampak kebakaran hutan tahunan terhadap kesehatan dan ekonomi, mempertahankan keanekaragaman hayatihutan yang kaya dan menjaga kelangsungan hidup gajah dan harimau Sumatera Laporan ini akan: • Memaparkan deforestasi dan degradasi hutan di Riau selama kurun waktu lebih dari seperempat abad (dari 1982 sampai 2007), mengidentifikasikan pendorong-pendorong deforestasi dan memproyeksikan deforestasi hingga tahun 2015 berdasarkan dua skenario, yakni “bisnis sebagaimana biasanya” dan “implementasi penuh draft rencana tata ruang Riau versi Mei 2007”. • Mendeskripsikan keanekaragaman hayati yang hilang akibat deforestasi dan degradasi hutan dan proyeksi kehilangan di masa yang akan datang. • Mengestimasi emisi-emisi CO2 dari aktivitas deforestasi dan degradasi hutan, dekomposisi gambut dan kebakaran lahan gambut sepanjang seperempat abad terakhir. • Memproyeksikan emisi-emisi CO2 di masa yang akan datang akibat deforestasi berdasarkan dua skenario. 3. Ucapan Terima Kasih Kami sangat berterima kasih pada berbagai komentar berharga yang sudah disampaikan oleh Dr. Jyrki Jauhiainen dan untuk beragam peta deforestasi di Indonesia yang kami peroleh dari SarVision. Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih pada Rod Taylor, Adam Tomasek, Jan Vertefeuille dan Ken Creighton untuk semua tanggapan dan komentarnya. Studi ini didanai oleh WWF-US dengan tambahan dana untuk analisa data disediakan oleh WWF-Indonesia, WWF-Jerman, WWF Asian Rhino and Elephant Action Strategy dan the Critical Ecosystems Partnership Fund. 6 | WWF
  • 11. 4. Latar Belakang 4.1 Deforestasi dan Emisi Gas CO2 Sekitar 20% dari emisi gas rumah kaca dunia disebabkan oleh deforestasi skala global, kerap kali terjadi di belahan bumi yang memiliki tingkat keanekaragaman hayatipaling tinggi, misalnya saja Indonesia dan Brazil, yang bilamana digabungkan keduanya mencapai 54% dari seluruh emisi-emisi tersebut7 . Apabila laju deforestasi di Indonesia saat ini masih tetap sama hingga tahun 2012 nanti, maka emisi dari aktivitas deforestasi ini akan mendekati angka 40% dari target reduksi emisi global yang telah ditetapkan pada Protokol Kyoto untuk periode komitmen pertama8 . Emisi LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) Indonesia atau emisi dari tata ruang, perubahan peruntukan lahan dan kehutanan tahun 2000 diperkirakan sekitar 2.563 metrik ton (Mt) CO2 9 , atau setara dengan 34% dari emisi LULUCF dunia10 ; sebagian besar dari nilai ini disumbangkan oleh aktivitas deforestasi dan degradasi hutan. Disamping itu, sebuah studi awal terkini memperkirakan dekomposisi gambut dan pembakaran lahan gambut Indonesia mencapai hingga ca. 2.000 MtCO2e/tahun11 , sebagian besar dari angka tersebut pada akhirnya dipicu oleh deforestasi. Kedua sumber emisi CO2, dikombinasikan dengan emisi gas rumah kaca dari energi, pertanian dan sampah (451 MtCO2e9 ), ditambahkan pada total emisi gas rumah kaca Indonesia sehingga mencapai ca. 5.000 MtCO2e/tahun (Gambar 1). Jumlah ini hampir setara dengan emisi gas rumah kaca tahunan negara China (5.017 MtCO2e). Hanya Amerika Serikat saja yang melepaskan emisi gas rumah kaca lebih banyak (6.005 MtCO2e)12 . Energi: 275 MtCO2e (5%) Pertanian: 141 MtCO2e (3%) Limbah: 35 MtCO2e(1%) LULUCF: 2,563 MtCO2e (51%) Dekomposisi dan pembakaran gambut: 2.000 MtCO2e (40%) Gambar 1.—Sumber emisi gas rumah kaca di Indonesia (Data dikutip: emisi energi tahun 2004, emisi pertanian tahun 2005, emisi buangan tahun 2005, emisi LULUCF tahun 2000 9,11 ). Dalam konteks global dan nasional, ada tiga alasan mendasar yang membuat keterlibatan provinsi Riau ini penting dalam setiap pembuatan keputusan tentang mekanisme REDD Indonesia, yaitu: 1. Riau adalah salah satu provinsi yang mengalami laju deforestasi terdramatis di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan (Peta 1 a dan b) dan mayoritas dari deforestasi tersebut terjadi di atas tanah gambut rapuh yang kaya karbon. Akibatnya, Riau berkontribusi sangat signifikan terhadap emisi gas rumah kaca Indonesia melalui emisi LULUCF dan gambut. 2. Riau memimpin Asia Tenggara dalam konteks total volume tanah gambut dan karbon yang dimilikinya. Indonesia mempunyai kawasan lahan gambut terbesar keempat di dunia dengan luasan ca. 23 juta ha, utamanya berlokasi di Papua, Sumatera dan Kalimantan13 . Riau mempunyai kawasan gambut terbesar kedua di Indonesia yaitu 4 juta ha14 . Tanah gambut Riau - yang kedalamannya kadangkala mencapai lebih dari 10 m- diperkirakan menyimpan jumlah terbesar karbon di Indonesia: 14,6 giga ton (ca. 43% dari total karbon gambut diperkirakan tersimpan di Sumatera, Kalimantan dan Papua13 ). Riau (masih) memiliki kawasan hutan gambut terbesar kedua di Indonesia setelah Papua, dengan beberapa blok hutan gambut yang luas dan saling berdekatan dan berlokasi di atas gambut paling dalam (Peta 1 a & b). WWF | 7
  • 12. 116°E 116°E 114°E 114°E 112°E 112°E 110°E 110°E 108°E 108°E 106°E 106°E 104°E 104°E 102°E 102°E 100°E 100°E 98°E 98°E 96°E 96°E 6°N4°N 4°N 2°N 2°N 0° 0° 2°S 2°S 4°S 4°S 0 500250 Kilometers 140°E 140°E 135°E 135°E 130°E 130°E 125°E 125°E 120°E 120°E 115°E 115°E 110°E 110°E 105°E 105°E 100°E 100°E 95°E 95°E 5°N 5°N 0° 0° 5°S 5°S 10°S 10°S 0 510255 Kilometers Kalimantan Tengah Riau 8 | WWF Peta 1 a & b.— Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa 2007 Hutan di kawasan gambut yang tersisa 2007 Hutan di kawasan bukan gambut yang hilang 2000-2007 Hutan di kawasan gambut yang hilang 2000-2007 3. Kawasan ini sangat terancam deforestasi, yang jika terjadi maka Provinsi Riau akan terus menyumbang Deforestasi di Riau saat ini banyak didorong atau digerakkan oleh sektor industri kehutanan dan perkebunan. Segala jenis deforestasi yang dapat dihindari melalui mekanisme REDD kemungkinan akan memiliki berbagai implikasi di manapun di seluruh Indonesia atau dunia karena perusahaan-perusahaan ini akan mencari sumber kayu dan membangun kebunannya seperti yang dituntut atau dimandatkan oleh rencana-rencana bisnis mereka. Pembuatan mekanisme REDD yang efektif harus memusatkan emisi gas rumah kaca Indonesia berskala besar. perhatiannya pada “kebocoran karbon”perusahaan. Deforestasi di Indonesia pada tanah gambut (merah) dan non-gambut (oranye) antara 2000- 2007, dan hutan yang masih tersisa di atas gambut (hijau tua) dan non-gambut (hijau muda) pada Juni 2007. Peta 1b .adalah perbesaran pulau Sumatra dan Kalimantan. Peta tersebut disediakan oleh SarVision didasarkan pada system pemantauan REDD yang sudah dikembangkan oleh SarVision - Universitas Wageningen berkolaborasi dengan Kementrian Kehutanan Indonesia dengan menggunakan citra satelit vegetasi MODIS/SPOT dengan resolusi 250-1000 m. SarVision memperbarui peta ini setiap tiga bulan.
  • 13. 4.2 Deforestasi di Riau Dulu dan yang Akan Datang Deforestasi dan degradasi hutan di Riau dipicu oleh banyak pihak yaitu dengan konversi dan pembalakan hutan, baik legal maupun illegal, untuk membangun permukiman, infrastruktur dan tujuan-tujuan lainnya. Tetapi tidak ada tipe deforestasi yang setara dengan kecepatan dan akibat yang ditimbulkan oleh industri bubur kertas & kertas serta kelapa sawit. Dalam rentang waktu antara 1982 - 2007, kedua industri ini telah menggantikan sekitar. 2 juta hektar hutan alam di Riau. Peribahasa setempat mengatakan bahwa Riau diberkati dengan minyak di atas dan di bawah tanah. Eksplorasi minyak mentah sudah dimulai sejak tahun 1930-an di lahan gambut pesisir. Eksplorasi minyak sawit dimulaikan 50 tahun kemudian dengan sebuah cara yang besar, berawal dari ledakan pembukaan hutan hingga akhirnya Riau ditutupi dengan lebih banyak konsesi kelapa sawit dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia15 . Lebih dari satu dekade yang lalu, industri kelapa sawit melihat bangkitnya sebuah pesaing serius di Riau: industri bubur kertas & kertas. Sejak 1990, deforestasi untuk pembangunan hutan tanaman akasia sudah mampu mengejar deforestasi untuk pembangunan perkebunan sawit, namun akhirnya melampauinya pada tahun 2000, paling tidak di Lanskap dimana WWF bekerja yaitu Tesso Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar (mencakup 55% dari luas Riau). Tempat penumpukan kayu menunggu dijadikan bubur kertas di kilang APP di Riau. © WWF Indonesia Kayu-kayu dari hutan hujan Riau – rumah bagi keragaman tumbuhan tertinggi di dunia –masuk ke dok di kilang bubur kertas APP. © WWF Indonesia . Dua kilang bubur kertas terbesar dunia, masing-masing dengan kapasitas tahunan mencapai lebih dari 2 juta ton, dioperasikan di Riau oleh Asia Pulp & Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL). Secara bersama-sama, kedua perusahaan tersebut memproduksi lebih dari dua pertiga pulp Indonesia16 dan saat ini mungkin “memiliki” konsesi hingga mencapai sekitar 25% dari 8,3 juta-hektar luas daratan utama Riau. Tidak ada provinsi lain di Indonesia yang mempunyai konsesi akasia atau serat kayu yang sedemikian banyak17 . Dimana saja terdapat kawasan hutan alam dibuka untuk membangun tanaman akasia atau sawit, sebagian besar kayu dari hutan alam mengalir ke salah satu dari kedua pabrik raksasa itu. Meskipun pada kenyataannya perusahaan itu sudah bergerak di bidang bisnis ini selama bertahun-tahun, kedua pabrik masih terus saja bergantung pada sejumlah besar serat kayu yang sumber asalnya ilegal18 atau legal tetapi dengan membuka hutan alam pada skala besar dengan cara yang destruktif. WWF memperkirakan sekitar 170.000 ha hutan alam sudah dibuka untuk memberi pasokan pada kedua pabrik pulp tersebut di tahun 200519 saja. Angka ini nilainya setara dengan 80% dari total deforestasi yang telah terdeteksi pada citra satelit sepanjang tahun 2004-2005. Tekanan dari industri pulp&paper pada kawasan hutan alam Indonesia dan Riau akan terus meningkat. Pemerintah Indonesia mencanangkan target-target jangka menengah dan panjang pembangunan perkebunan (umumnya kayu serat/pulpwood) 5 juta ha dan 9 juta ha masing-masing pada tahun 2009 dan 2014. Pada tahun 2004, Indonesia sudah mempunyai 4,07 juta hektar konsesi pulpwood20 , tetapi menurut Departemen Kehutanan baru 1,5 juta hektar saja yang ditanami dengan monokultur pulpwood21 . Di tahun 2004, Departemen Kehutanan mengimbau para pemegang konsesi pulpwood agar mempercepat pembangunan WWF | 9
  • 14. perkebunan pulpwood mereka dan menyudahi pembukaan hutan hingga akhir 200922 . Pada waktu yang bersamaan, Peraturan Pemerintah memberikan ijin pembangunan perkebunan pulpwood hanya di atas lahan tidak produktif, yaitu lahan kosong, semak atau padang rumput (yang disebut dengan lahan “terlantar”)iv . 4.3 Apa yang dipertaruhkan? Apakah lahan dimana industri pulpwood menanami perkebunan akasianya benar-benar adalah ”lahan terlantar”? Jika benar demikian, apakah tersedia cukup lahan “terlantar” untuk memenuhi target pengembangan hutan tanaman industri kayu serat nasional? Jika tidak, apakah Riau sudah siap sedia untuk mengalami deforestasi yang lebih banyak lagi? Berapa banyak lagi hutan yang dapat dikonversi dan berapa harga yang harus dibayar untuk iklim dunia? Kemanakah gajah dan harimau Sumatera di Riau akan pergi? Siapakah yang akan kehilangan warisan tanaman obat yang tersimpan di dalam hutan Riau --hutan alam dengan keanekaragaman hayatisangat tinggi di muka bumi dan masih belum seluruhnya tergali? Kawasan luas hutan tanah gambut rapat yang rencananya dalam waktu dekat akan dibuka di Semenanjung kampar, Riau © WWF Indonesia. Hutan Tesso Nilo Riau adalah sebuah contoh bagaimana proses deforestasi dan kepunahan spesies terjadi di banyak blok-blok hutan lain di Riau. Di tahun 1985, tutupan hutan-hutan yang lokasinya bersambungan di Tesso Nilo (merentang sepanjang hampir setengah juta hektar) dibagi-bagi menjadi sejumlah konsesi HPH. Penebangan berlebihan dan kegagalan industri HPH pada akhirnya membuat banyak konsesi HPH direzonasi. Ijin-ijin konsesi hutan kemudian digantikan oleh kebun sawit lalu meningkat menjadi konsesi HTI dimana dengan menggunakan ijin-ijin tersebut, kawasan hutan alam yang masih memiliki kanopi rapat dapat diubah menjadi HTI atau kebun. Sekarang ini hanya tersisa sekitar 110.00 ha hutan alam yang saling bersambungan di dalam kawasan Tesso Nilo. Koridor-koridor logging luas yang dibangun oleh industri bubur kertas & kertas serta jalan-jalan logging yang sangat panjang menyebabkan lebih dari 2,500 Kepala Keluarga (KK) merambah hutan dan membabat habis kawasan hutan yang luas. Para makelar tanah memperdagangkan tanah kapling di dalam hutan yang bukan milik mereka. Hukum yang ada yang semestinya melindungi kawasan-kawasan hutan ini tidak ditegakkan. iv Peraturan Pemerintah yang baru, dikeluarkan pada bulan Januari 2007, mengijinkan perkebunan kayu dibangun di atas kawasan hutan tidak produktif. 10 | WWF
  • 15. Saat WWF-Indonesia pertama kali melakukan kunjungan ke Riau di tahun 1999 untuk menemukan cara-cara melindungi gajah Sumatera di Riau dari ancaman kepunahan, hutan Tesso Nilo merupakan habitat terbaik yang masih tersisa untuk gajah Sumatera. Sebelumnya, penyusutan atau hilangnya hutan telah menyebabkan penurunan populasi satwa ini dari 1067-1617 ekor di tahun 198423 menjadi sekitar 700 ekor saja di tahun 199924 . WWF memperkirakan hingga tahun 2007 masih tersisa sebanyak 210 ekor gajah25 . Perkebunan kelapa sawit dan pengelolaannya merupakan salah satu dari akar penyebab kematian gajah. Gajah senang mengkonsumsi pohon-pohon sawit, para petani dan pihak perusahaan tidak suka melihat tanaman mereka dirusak, konflik pun terjadi. Gajah mati dan manusia pun mati. Semakin banyak hutan alam terfragmentasi dan semakin panjang batas-batas antara hutan alam dan perkebunan sawit, maka semakin tinggi eskalasi konflik. WWF menemukan bukti kematian atau “lenyapnya” lebih dari 200 ekor gajah saat atau setelah penangkapan resmi terkait terjadinya konflik antara tahun 2000-200626 . Tetapi konflik bukanlah satu-satunya pembunuh gajah di Riau; perburuan juga berperan. Koridor logging memberikan akses lebih baik bagi para perambah dan pembalak liar untuk membabat hutan alam yang sebelumnya tidak dapat diakses. Hutan-hutan ini pada awalnya penuh dengan satwa liar yang terdesak karena konversi hutan yang terus menerus terjadi di mana-mana. Kesempatan untuk berburu juga sangat banyak. Saat ini, hanya ada dua hutan di Riau yang masih cukup luas untuk melindungi gajah dari kepunahan: Tesso Nilo dan kawasan berbukit-bukit di blok hutan Bukit Tigapuluh. Kedua kawasan hutan ini sangat terancam oleh konversi. Harimau Sumatera yang secara kritis terancam punah mengalami nasib yang sama dengan gajah. Akibat hutan mereka sudah habis, sejumlah harimau berburu babi hutan di sekitar perkebunan sawit. Kadang-kadang mereka tanpa sengaja berpapasan dengan para pekerja sehingga kemudian jadi terluka atau terbunuh. Harimau Sumatera juga diburu tanpa belas kasihan, ditangkap untuk dibunuh, diperdagangkan kulitnya, tulang belulangnya dan bagian tubuh lainnya. Sebuah tim yang terdiri dari para peneliti harimau internasional mengklasifikasikan blok hutan Bukit Tigapuluh sebagai sebuah prioritas global kawasan konservasi harimau, sedangkan lahan gambut Kampar dan Kerumutan Riau dikategorikan penting secara regional, dan Tesso Nilo serta Rimbang Baling sebagai prioritas-prioritas jangka panjang27 . Tanpa adanya kawasan-kawasan ini, harimau Sumatera di Riau akan lenyap. Semua hutan ini sangat terancam oleh aktivitas konversi. Setelah tahun 2000, konversi hutan mulai berfokus pada lahan gambut Riau. Kanal-kanal yang panjang dan dalam memotong dan mengeringkan semua rawa-rawa pada lahan gambut. Pembangunan kanal yang kadang-kadang lebih dari kedalaman satu meter memberi akses bagi para pembalak, liar atau tidak, untuk dapat masuk menebang pepohonan dan menghanyutkan kayu-kayu tersebut. Gambut yang mengalami penipisan dan mengering menjadi sumber kebakaran nomor wahid. Kebakaran-kebakaran tersebut menyelimuti Sumatera bagian tengah dan negara tetangga Singapura dan Malaysia dengan kabut asapnya. Kebakaran ini terjadi selama berminggu-minggu dan telah berulang-ulang selama bertahun-tahun dan mempercepat pelepasan berton-ton CO2. Kayu untuk produksi bubur kertas menyerobot melalui kanal-kanal drainase yang berdekatan dengan blok hutan gambut yang tinggal menunggu waktu untuk dibuka menjadi perkebunan akasia. © WWF Indonesia. Kebakaran di lahan gambut juga memberi dampak besar pada mata pencaharian masyarakat sekitarnya karena menyebabkan terjadinya kemiskinan. Masyarakat Indonesia yang mendiami kawasan lahan gambut WWF | 11
  • 16. mengalami kemiskinan empat kali lebih buruk daripada masyarakat lainnya yang hidup di kawasan dataran rendah. Dan bukan itu saja, kebakaran tersebut ternyata menyebabkan meningkatnya penyakit, sekitar 30% dari seluruh anak-anak yang tinggal di kawasan lahan gambut di Indonesia mengidap penyakit pernapasan dan terhambat pertumbuhannya oleh karena asap dari lahan gambut28 . 4.4 Apa yang akan Terjadi di Masa Depan? Yang dipertaruhkan adalah ekonomi lokal dan regional, harta karun keanekaragaman hayati, komunitas masyarakat (termasuk juga suku asli dan tradisional) yang mendiami lanskap gambut, populasi harimau dan gajah Sumatera, sumber-sumber air bersih dan pesisir, serta iklim dunia kita. Bagaimana caranya agar kawasan lahan gambut dapat dilindungi dari eksploitasi hutan alam yang membabi buta? Bagaimanakah agar nilai-nilai kawasan tersebut menjadi variabel penting dalam rumusan ekonomi sebelum ijin-ijin dan persetujuan konversi diberikan pada pelaku industri? Salah satu isu penting dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) 2007 di Bali adalah perumusan kerangka kebijakan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau dikenal sebagai REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Para pihak dalam konferensi tersebut telah sepakat mengenai perlu dan mendesaknya upaya untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan menetapkan program dan rencana kerja untuk mengatasinya. Program tersebut akan difokuskan pada pengkajian tentang perubahan tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkannya; metode-metode untuk mengurangi emisi akibat deforestasi dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Dalam konferensi di Bali tersebut, para pihak sepakat bahwa REDD adalah sebuah komponen penting bagi perubahan iklim setelah 2012, sebagai upaya mitigasi dan adaptasi. Oleh karenanya sebuah skema finansial untuk perdagangan karbon dari pencegahan deforestasi (avoided deforestation) akan dikembangkan; dan dana kompensasi internasional akan dibentuk. Saat ini, periode pertama dari Kyoto Protokol hanya mengakui reforestasi dan aforestasi sebagai mekanisme untuk memitigasi perubahan iklim. Sanggupkah Pemerintah Indonesia berkomitmen terhadap REDD untuk Indonesia guna menghindari deforestasi dan degradasi hutan serta mereduksi emisi-emisi CO2? Mampukah REDD menempatkan “jumlah atau nilai yang benar” pada hutan alam atas jasa-jasa yang tersedia dalam kawasan tersebut sehingga lebih menguntungkan untuk melindunginya daripada menebangnya? 12 | WWF
  • 17. WWF | 13 106°E 106°E 104°E 104°E 102°E 102°E 100°E 100°E 2°N 2°N 0° 0° Lanskap TNBTK Daratan Riau Singapore Malaysia Sum atera Utara Sum atera Barat Jambi Riau 0 10050 Kilometers Studi deforestasi, kebakaran dan emisi CO2 kami ini difokuskan pada sekitar 8,3 juta ha daratan utama provinsi Riau yang terletak di Sumatra bagian tengah, Indonesia, sepanjang garis pantai timur laut Sumatera (Ekuator dan 102o T). Sedangkan analisis degradasi hutan dan penggantian hutan secara lebih mendetil difokuskan pada 4,5 juta ha Lanskap Konservasi TNBTK (Tesso Nilo-Bukit Tigapuluh–Kampar), program WWF-Indonesia di Riau yang mencakup sekitar 55% daratan utama Riau (Peta 2). Survei harimau di kawasan lahan gambut Riau © WWF- Indonesia/Sunarto 2 o 5. Wilayah Studi Lanskap Konservasi Tesso Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar di Provinsi Riau, Sumatra , di dalam wilayah Asia Tenggara. Peta 2.—
  • 18. 6. REDD – Deforestasi Laporan ini menganalisa deforestasi yang terjadi di Riau dalam rentang waktu seperempat abad terakhir, yaitu dari tahun 1982-2007. Dengan mengidentifikasi tutupan lahan mana saja yang berubah dan mengganti hutan alam setelah ditebang, serta menentukan zona-zona peruntukan lahan mana saja yang telah mengalami perubahan, laporan ini dapat menentukan aktivitas-aktivitas apa saja yang mendorong deforestasi tersebut. Pada akhirnya, laporan ini memprediksi deforestasi seperti apa yang mungkin akan terjadi diantara kurun waktu 2007 – 2015 berdasarkan dua skenario: “bisnis sebagaimana biasanya” dan “implementasi draft rencana tata ruang” Di dalam Bab 10, kami menghubungkan deforestasi dengan karbon yang hilang, memperkirakan emisi-emisi CO2 di masa lalu dan di masa depan. 6.1 Deforestasi di Riau kurun waktu 1982 - 2007 Laporan ini mendefinisikan “hutan” sebagai kawasan dengan hutan-hutan alam dengan tutupan kanopi lebih dari 10% (mengikuti definisi FAO tentang hutan)29 . Laporan ini tidak memasukkan hutan tanaman akasia dan perkebunan sawit dalam kategori “hutan”. Kami juga tidak memasukkan pertumbuhan kembali hutan dalam definisi “hutan”. Kami telah memetakan tutupan “hutan-non hutan” untuk tahun 1982v , 1988vi , 1996vii , 2000 viii , 2002, 2004, 2005, 2006, dan 2007 terhadap 8,3 juta hektar daratan utama Riau. Kami memberlakukan diferensiasi hutan-hutan pada gambut vs tanah non-gambut berdasarkan delineasi lahan gambut Riau menurut Wetlands International30 (Appendix I). Diantara rentang waktu 1982 - 2007, daratan utama Riau telah kehilangan 65% (seluas (4.166.381 ha) dari tutupan hutan asli, yaitu berkurang dari 6.420.499 ha (78% luas daratan utama Riau) menjadi 2.254.118 ha (27%). Tanah gambut Riau telah kehilangan 57% (1.831.193 ha) dari hutan-hutannya; tanah non-gambutnya telah kehilangan 73% (2.335.189 ha) dari hutan-hutannya (Gambar 2, Peta 3 a-j). Deforestasi tanah non-gambut sedang melambat sementara deforestasi tanah gambut sedang bergerak sangat cepat (Gambar 2). 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 TutupanHutan(ha) Hutan Gambut Hutan Bukan Gambut Poly. (Hutan Gambut) Poly. (Hutan Bukan Gambut) Gambar 2.—Tutupan hutan di atas tanah gambut dan non-gambut di dalam daratan utama Riau kurun waktu 1982 sampai 2007. Sebuah fungsi regresi polinomial orde kedua digunakan untuk memperlihatkan kecenderungan deforestasi (R2 untuk keduanya >0.99). v World Conservation Monitoring Centre, UNEP vi Kementrian Kehutanan Indonesia vii Kementrian Kehutanan Indonesia viii Analisis citra Landsat WWF sejak tahun 2000 14 | WWF
  • 19. 102o 0 o 0 10050 Kilometers 2007 Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan gambut yang hilang sejak 1982 Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang hilang sejak 1982 102o 0 o 0 10050 Kilometers 1982 102o 0 o 0 10050 Kilometers 2006 102o 0 o 0 13065 Kilometers 1988 102o 0 o 0 10050 Kilometers 2004 102o 0 o 0 10050 Kilometers 2002 102o 0 o 0 13065 Kilometers 1996 102o 0 o 0 13065 Kilometers 2000 Deforestasi di wilayah gambut dan non-gambut di daratan utama Riau sepanjang kurun waktu 1982-2007 Peta 3 a - h.— WWF | 15
  • 20. Rata-rata deforestasi tahunan pada tanah gambut dan non-gambut naik sedikit demi demi sedikit pada rentang waktu 1982-2000 (Gambar 3), tetapi kemudian secara dramatis menurun di tahun 2000-2002. Ini adalah tahun-tahun yang penting bagi pengembangan industri bubur kertas & kertas Indonesia sebagai produsen-produsen terbesar negeri ini, Asia Pulp & Paper (APP) and Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), keduanya gagal membayar hutang nasional dan internasional mereka dan menghentikan semua investasi. Perusahaan-perusahaan raksasa ini mengoperasikan dua pabrik bubur kertas terbesar dunia dari Provinsi Riau. Dari tahun 2002 - 2006, deforestasi kembali beranjak naik secara perlahan, pada tahun 2004-2005 laju rata-rata konversi tahunan telah menyamai tingkat pencapaian tahun 1996-2000 (Gambar 3). Deforestasi pada 2005-2006 adalah seluas 286.146 ha -- 11% tutupan hutan hilang hanya dalam jangka waktu satu tahun saja. Tetapi dari tahun 2005-2006, dan dari 2006-2007 keseluruhan deforestasi merosot hingga 37%. Tahun 2007 merupakan tahun penting lainnya bagi industri pulp Riau. Pada bulan Februari 2007, de facto moratorium konversi hutan alam berlaku di provinsi ini karena investigasi besar-besaran dari pihak kepolisian terhadap aktivitas pembalakan liar yang dilakukan oleh industri bubur kertas & kertas setempat31 (Gambar 3). Selama ini laju deforestasi pada tanah non- gambut sudah lebih tinggi daripada pada tanah gambut, tetapi dari tahun 2000 deforestasi pada tanah gambut mulai melebihi kecepatan deforestasi pada tanah non-gambut karena hutan-hutan non gambut saat itu sudah menjadi semakin berkurang. (Gambar 3). Gambar 3.—Rata-rata laju deforestasi tahunan terhadap wilayah gambut dan non gambut di daratan utama Riau dalam kurun waktu 1982 - 2007. 62% 64% 63% 80% 39% 35% 33% 73% 36% 67% 65% 61% 20% 27% 37% 38% 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 1982-1988 1988-1996 1996-2000 2000-2002 2002-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 Periode Data Deforestasi(ha) Deforestasi Lahan Bukan Gambut Deforestasi Lahan Gambut Hutang Industri pulp Riau jatuh tempo Investigasi industri pulp Riau dalam pembalakan liar Pada tahun 2007, tutupan lahan Riau berubah sedemikian dramatis. Kawasan-kawasan hutan yang pada 1982 sangat berdekatan, yang sebelumnya menutupi 78% daratan Riau (Peta 4 a), telah berkurang hingga tersisa hanya 27% saja. Kawasan-kawasan hutan tersebut juga terfragmentasi menjadi delapan blok hutan utama yang terpisah-pisah oleh industri perkebunan kelapa sawit dan HTI serta lahan terlantar (Peta 4 b). Deforestasi Riau dipicu oleh industri-industri bubur kertas dan sawit. Dalam jangka waktu 1982-2007, perkebunan sawit menggantikan 28,7% (1.113.090 ha) dan perkebunan akasia menggantikan 24,4% (948.588 ha) hutan alam yang sudah ditebangi. Lahan “terlantar” – yaitu lahan yang telah terdeforestasi tetapi kemudian tidak digantikan dengan tutupan tanaman apapun— telah menggantikan 17% (659.200 ha). Kebanyakan lahan terlantar ini terkonsentrasi di Riau bagian utara dekat perbatasan dengan Sumatera Utara (Peta 4 b). Sisa 29,9% dari kawasan hutan yang dibuka digantikan oleh perkebunan sawit skala kecil (7,2%), kelihatan seperti baru saja dibuka dan tidak mudah terdeteksi dalam analisis kami kedepan (4,6%) dan tutupan-tutupan lahan lainnya (18,1%) seperti infrastruktur, kebun karet, kelapa dan lainnya. 16 | WWF
  • 21. WWF | 16 102 o 0 o 1982 102 o 0 o 2007 6.2 Deforestasi di Kawasan Lindung Riau Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) 1994 Provinsi Riau, sebesar enam persen dari daratan utamanya merupakan kawasan lindung yang diawasi oleh pemerintah pusat dan 22% merupakan kawasan lindung kabupaten dan provinsi. Kawasan lindung nasional memiliki rata-rata tutupan hutan 90,3% pada saat dideklarasikan. Kawasan-kawasan lindung lokal yang dizonasi pada tahun 1994, hingga tahun 1996 masih mempunyai tutupan hutan sebesar 81,1%. Kawasan lindung baik yang diawasi oleh pemerintah pusat maupun lokal kehilangan banyak hutan alam pada tahun 2007 daripada kawasan hutan yang tidak dilindungi (Gambar 4). • Sejak hari pendeklarasiannya, deforestasi di kawasan lindung nasional relatif lebih sedikit (36.588 ha, hilang 7,3%) daripada di kawasan lindung provinsi (269.188 ha, hilang 18,7%). • Lahan “terlantar”-yaitu hutan yang telah ditebang tetapi tidak digantikan dengan tutupan tanaman apapun -- merupakan tutupan lahan non-hutan terbesar di kedua macam kawasan lindung ini (total gabungan keduanya 214.237 ha). • Hutan tanaman akasia untuk kayu bubur kertas atau pulpwood telah menggantikan lebih banyak hutan di dalam kawasan lindung daripada jenis tutupan lahan manapun: 7,7% di dalam kawasan lindung provinsi (136.215 ha) dan 3,1% di dalam kawasan lindung nasional (17.236 ha). • Tanaman sawit (baik skala industri maupun skala kecil) menyusul tanaman akasia dengan 5,7% di dalam kawasan lindung provinsi (101.596 ha) dan 3,2% di dalam kawasan lindung nasional (18.056 ha). • Perkebunan sawit skala kecil mengkonversi relatif lebih banyak kawasan hutan di dalam kawasan lindung nasional daripada di dalam kawasan lindung provinsi, jika dibandingkan dengan perkebunan sawit dan akasia komersil. 0 10050 Kilometers 0 10050 Kilometers Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa Lahan terlantar Tutupan lahan yang lainnya Tanaman HTI akasia Perkebunan kelapa sawit Perkebunan kelapa sawit masyarakat Kawasan yang dibuka (a) hutan gambut (hijau tua) dan non-gambut (hijau muda) di daratan utama Riau pada tahun 1982. (b) hutan gambut dan non-gambut yang tersisa pada tahun 2007 dan berbagai tutupan lahan Peta 4 a & b .— yang telah menggantikan kawasan berhutan di tahun 1982 yang telah hilang, sampai tahun dengan 2007
  • 22. Kawasan Lindung Lokal Kawasan Lindung Nasional Tahun 2007 Setelah Deklarasi Natural forest 54,243 ha (9.7%) 504,324 ha (90.3%) All forest types - rather closed canopy All forest types - medium open canopy All forest types - very open canopy Young mangrove Acacia plantation Oil palm plantation Small holder oil palm plantation Cleared land “Waste" land Other land covers No natural forest 336,253 ha (19%) 1,441,535 ha (81%) 273,832 ha (15.4%) 832,179 ha (46.8%) 662 ha (0.0%) 136,215 ha (7.7%) 65,673 ha (3.7%) 67,971 ha (3.8%) 33,625 ha (1.9%) 50,144 ha (2.8%) 179,071 ha (10.1%) 138,415 ha (7.8%) 392,639 ha (70.3%) 49,430 ha (8.9%) 14,690 ha (2.6%) 1,613 ha (0.3%) 35,166 ha (6.3%) 18,671 ha (3.3%) 3,366 ha (0.6%) 0 ha (0.0%) 17,236 ha (3.1%) 25,666 ha (4.6%) Gambar 4.—Tutupan hutan alam di dalam kawasan lindung provinsi (Kawasan Lindung menurut RTRWP 1994) dan kawasan lindung yang diawasi secara nasional setelah dideklarasikan, dan tipe-tipe hutan dan tutupan lahan di dalam kawasan-kawasan tsb. pada tahun 2007. Hutan dengan tajuk relatif tertutup Hutan dengan tutupan tajuk terbuka sedang Hutan dengan tajuk sangat terbuka Hutan mangrove HTI Akasia Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat Lahan Terbuka Lahan Terlantar Tutupan lahan lain Hutan Alam Bukan Hutan 6.3 Deforestasi di Lanskap TNBTK Kurun Waktu 1990 - 2007 Untuk analisis deforestasi secara lebih terperinci, laporan ini difokuskan pada Lanskap Konservasi Tesso Nilo–Bukit Tigapuluh–Kampar (TNBTK) yang memiliki mencapai 55% (4.518.172 ha) dari luas daratan utama Riau. Laporan ini menampilkan sebuah analisis tutupan lahan menggunakan data SIG (sistem informasi geografi) pada Lanskap TNBTK secara detil yang mampu membedakan hingga 50 kelas tutupan lahan pada lusinan citra Landsat dan satu citra IRS untuk 4 periode: 1990, 1995, 2000, 2005 (Appendix 5 Citra Satelit). Untuk tahun 2007, kami telah melakukan analisa tutupan lahan yang sama rincinya untuk keseluruhan Riau. Beragam citra di analisa pada layar dengan unit pemetaan minimum pada luasan sekitar. 50 ha. Tutupan lahan digitalisasi pada sebuah skala 1:90.000. Interpretasi-interpretasi yang meragukan berhasil diverifikasi dan pada banyak kasus paling sedikit tiga poligon diverifikasi secara langsung oleh tim lapangan. Suatu pusat data komprehensif dengan lokasi dan foto GPS dari semua situs verifikasi lapangan telah dikompilasi32 . 18 | WWF
  • 23. Kami membedakan hutan alam menjadi dataran rendah kering, rawa gambut, rawa dan hutan bakau, dan membagi tiap hutan ke dalam empat kelas: kanopi agak tertutup (tutupan mahkota atau cc>70%), kanopi setengah terbuka (70% >cc>40%), kanopi sangat terbuka (40%>cc>10%). Belum adanya definisi yang jelas tentang persentase tutupan mahkota yang menyusun hutan menurut mekanisme REDD untuk Indonesia, maka kamipun mendefinisikan “deforestasi” sebagai suatu perubahan hutan alam yang memiliki kanopi “agak rapat,” “setengah terbuka,” dan/atau “sangat terbuka” dibandingkan kelas tutupan lahan lainnya. Setiap areal hutan dengan mahkota tutupan < 10% dianggap telah terdeforestasi. Sejalan dengan itu, laporan ini mendefinisikan “degradasi hutan” sebagai semua perubahan pada tutupan lahan dari “kanopi agak tertutup” menjadi “setengah terbuka” dan “sangat terbuka”; dan dari “kanopi setengah terbuka” menjadi “sangat terbuka”. Oleh karena itu, setiap bentuk perubahan pada tutupan mahkota antara 100%-10% dianggap telah terdegradasi. Untuk analisis ini, kami mengelompokkan 37 tutupan lahan yang menggantikan hutan alam ke dalam enam kategori besar: 1. hutan tanaman akasia, 2. industri perkebunan sawit (skala besar), 3. perkebunan sawit skala kecil, 4. lahan yang sudah dibuka, 5. lahan “terlantar” dan 6. tutupan lahan lainnya. Hutan rawa gambut dan hutan basah dikelompokkan ke dalam “hutan lahan gambut”. 6.3.1 Perubahan Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut Tahun 2007, sebesar 42,1% (setara dengan 1.242.172 ha) dari tutupan hutan Lanskap TNBTK tahun 1990 sudah hilang. Masing-masing industri kayu serat dan sawit telah menggantikan 46,5% (577.911 ha) dan 30,5% (378.478 ha) dari total hutan yang hilang. Perkebunan sawit skala kecil telah menggantikan 3,7%, dan lahan “terlantar” menggantikan 7,5% dari total hutan yang hilang . Hutan dataran rendah kering dan gambut berubah dengan kecepatan atau laju yang sama dengan industri bubur kertas & kertas dan kelapa sawit, namun sebenarnya lebih banyak kawasan hutan tersebut digantikan oleh perkebunan akasia daripada perkebunan sawit (Gambar 5). Hutan tersisa pada : 702,637 ha (56.1%) Hutan tersisa pada 2007: 998,412 ha (59.1%) 263,495 ha (21.0%) 314,359 ha (18.6%) 210,823 ha (12.5%) - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 1,800,000 2,000,000 Hutan kering dataran rendah Hutan gambut TutupanHu Tutupan lahan lain Lahan Terlantar Lahan Terbuka tan&Deforestasi(ha) Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat Perkebunan Kelapa Sawit HTI Akasia Tersisa pada 2007 Digantikan oleh: 167,655 ha (13.4%) Gambar 5.—Penggantian kawasan hutan lahan gambut dan kering tahun 1990 dengan tutupan lahan lainnya di dalam Lanskap TNBTK tahun 2007. Blok-blok hijau menunjukkan hutan alam yang tersisa di tahun 2007. WWF | 19
  • 24. 6.3.2 Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup Dalam rentang waktu 1990-2007, sebesar 90,3% dari total deforestasi disebabkan oleh pembukaan hutan alam yang memiliki kerapatan kanopi lebih dari 40%: 601.856 ha kanopi agak tertutup dengan kerapatan >70% dan 519.760 ha kanopi setengah terbuka yang kerapatannya >40%. Industri bubur kertas & kertas merupakan pendorong atau penggerak utama deforestasi di kawasan hutan yang memiliki kanopi agak tertutup dan setengah terbuka (Peta 6). Industri kelapa sawit cenderung membuka hutan yang memiliki kerapatan kanopi lebih terbuka (Gambar 6). Dalam rentang waktu 1990-2007, 96,2% dan 85,0% dari total deforestasi di Lanskap TNBTK disebabkan oleh masing-masing industri bubur kertas & kertas serta industri kelapa sawit dimana pembukaan hutan terjadi pada kawasan yang tutupan kanopinya lebih dari 40%, yaitu hutan dengan kanopi agak tertutup dan kanopi setengah terbuka (Gambar 7). Tren atau kecenderungan yang sama juga dapat dilihat pada penggantian tutupan hutan lainnya: perkebunan sawit skala kecil, lahan “terlantar”, lahan-lahan yang sudah terbuka dan tipe tutupan lahan lainnya. Dalam rentang waktu 1990-2007, hutan dataran rendah kering dibuka secara besar-besaran oleh industri bubur kertas & kertas , dengan fokus pada hutan yang berkanopi setengah terbuka dan agak tertutup (Gambar 8 atas) konversi hutan dataran rendah kering oleh industri kelapa sawit pada kawasan hutan berkanopi setengah terbuka dan agak tertutup melambat setelah tahun 2000. Jika dibandingkan dengan dua industri ini, tidak ada satupun kelompok tutupan lahan lainnya yang secara signifikan berkontribusi terhadap penggantian hutan. Kecenderungan konversi yang sama juga terjadi pada hutan lahan gambut (Gambar 8 bawah), kecuali bahwa kedua industri tersebut mengkonversi lebih banyak hutan lahan gambut yang berkanopi agak tertutup rapat daripada hutan berkanopi lebih terbuka. Peta 5 memperlihatkan tutupan-tutupan hutan saat ini di Riau. Secara keseluruhan, terdapat hampir 900.000 ha lahan “terlantar” di luar kawasan taman nasional dimana perkebunan-perkebunan dapat dibangun tanpa harus membuka hutan alam. Sekitar satu per tiga bagian dari lahan terlantar ini adalah hutan yang dalam pertumbuhan kembali atau regrowth forest dan sisanya adalah lahan semak dan padang rumput. Beberapa dari wilayah ini dapat dibangun menjadi hutan tanaman akasia, yaitu sebagai ganti pembukaan hutan alam. Gambar 7.—Penggantian hutan dari berbagai tutupan kanopi dengan tutupan lahan lainnya di dalam Lanskap TNBTK antara tahun 1990 hingga 2007. Gambar 6.—Penggantian hutan yang memiliki berbagai tutupan kanopi dengan perkebunan akasia dan sawit di dalam Lanskap TNBTK antara tahun 1990 hingga 2007. 22,201 ha (18.4%)243,758 ha (46.9%) 311,952 ha (51.8%) 163,924 ha (31.5%) 157,649 ha (26.2%) - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 Hutan dengan tajuk relatif tertutup Hutan dengan tajuk terbuka sedang Hutan dengan tajuk sangat terbuka Deforestasi(ha) Tutupan lahan lain Digantikan oleh: Lahan Terlantar Lahan Terbuka Perkebunan Kelapa Sawit Masyarakat 56,905 ha (47.2%) Perkebunan Kelapa 22,201 ha (18.4%) 56,905 ha (47.2%) 157,649 ha (41.7%) 311,952 ha (54.0%) 163,924 ha (43.3%) 243,758 ha (42.2%) 56,905 ha (15.0%) - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 HTI Akasia Perkebunan Kelapa Sawit Deforestasi(ha) Hutan dengan tajuk sangat terbuka Deforestasi di: 22,201 ha (3.8%) Hutan dengan tajuk terbuka sedang Hutan dengan tajuk relatif tertutup 20 | WWF
  • 25. - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1990 1995 2000 2005 2007 Area(ha) Terdegradasi menjadi tajuk terbuka sedang Terdegradasi menjadi tajuk sangat terbuka Gambar 8 a & b.—Penggantian hutan dataran rendah kering (a, atas) dan hutan lahan gambut (b, bawah) yang masih tersisa di Lanskap TNBTK tahun 1990 dengan tutupan lahan lainnya dan degradasi hutan tahun 2007. - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 1,800,000 1990 1995 2000 2005 2007 Area(ha) Terdegradasi menjadi tajuk terbuka sedang Terdegradasi menjadi tajuk sangat terbuka Digantikan oleh HTI Akasia Digantikan oleh Perkebunan Kelapa Sawit Digantikan oleh perkebunan kelapa sawit masyarakat Digantikan oleh lahan terbuka Digantikan oleh lahan terlantar Digantikan oleh tutupan lahan lain Hutan gambut dengan tajuk sangat terbuka Hutan gambut dengan tajuk terbuka sedang Hutan gambut dengan tajuk relatif tertutup Digantikan oleh HTI Akasia Digantikan oleh Perkebunan Kelapa Sawit Digantikan oleh perkebunan kelapa sawit masyarakat Digantikan oleh lahan terbuka Digantikan oleh lahan terlantar Digantikan oleh tutupan lahan lain Hutan kering dataran rendah dengan tajuk sangat terbuka Hutan kering dataran rendah dengan tajuk terbuka sedang Hutan kering dataran rendah dengan tajuk relatif tertutup WWF | 21
  • 26. 102 o 0 o 0 10050 Kilometers Legend Dry Lowland Forest rather closed canopy Dry Lowland Forest medium open canopy Dry Lowland Forest very open canopy Dry Lowland Forest on Metamorphic Rock Peat Swamp Forest rather closed canopy Peat Swamp Forest medium open canopy Peat Swamp Forest very open canopy Swamp Forest rather closed canopy Swamp Forest medium open canopy Swamp Forest very open canopy Mangrove Forest rather closed canopy Mangrove Forest medium open canopy Mangrove Forest very open canopy Young Mangrove Forest Re-growth (Belukar) Shrubs (Semak/Belukar Muda) Forest Re-growth on Swampy Shrubs on Swampy Swamp Grasses/Fernland Overgrowing Clear cut-Shrubs Grassland Young Acacia Plantation Acacia Plantation Paraserianthes Plantation City Park (Hutan Kota) Young Oil Palm Plantation Oil Palm Plantation Small Holder Oil Palm Small Holder Young Oil Palm Plantation Mosaic of Small Holder Oilpalm and Rubber Rubber Plantation Small Holder Rubber Coconut Plantation Mixed Agriculture Mixed Garden Paddy Field Cleared, for Acacia Plantation Cleared, for Oil Palm Plantation Cleared Sand Mining Burnt Sediment Water Body Town Settlement Factory Airport Fishpond Mill-Oil Cloud or no information 22|WWF Tutupan Lahan di Riau tahun 2007.Peta 5.—
  • 27. WWF | 23 6.4 Prediksi Deforestasi Hutan Riau Kurun Waktu 2007-2015 Kami membangun dua skenario untuk memprediksikan deforestasi dalam rentang waktu 2007-2015, tahun sampai dimana rencana tata ruang terbaru Riau dicanangkan akan berlaku: (1) Business as usual atau “Bisnis sebagaimana biasanya” Kami mengasumsikan: • Investigasi polisi saat ini terhadap pembalakan liar di provinsi Riau berakhir atau berhenti dan bisnis sebagaimana biasanya akan mulai lagi seperti sedia kala. • Kecepatan deforestasi tahunan tetap sama seperti yang pernah terjadi dalam rentang waktu 2005 dan 2006 (183.859 ha/tahun untuk hutan lahan gambut dan 102.287 ha/tahun untuk non-gambut). • Seluruh hutan di luar kawasan lindung yang diawasi secara nasional ditebang, tetapi seluruh kawasan hutan di dalam kawasan lindung masih tetap ada seperti di tahun 2007 (219.095 ha hutan lahan gambut dan 248.641 ha hutan non-gambut). (2) “Implementasi penuh draft Rencana Tata Ruang Riau tahun 2015” Pada bulan Mei 2007, sebuah rencana tata ruang yang baru untuk provinsi Riau telah diajukan untuk dikaji pihak pemangku kepentingan. Rencana yang diusulkan itu akan menggantikan rencana tahun 2007 dan mengusulkan perubahan tata ruang hingga tahun 2015. Rencana yang diusulkan itu mencakup 39 kategori zonasi lahan. Untuk memprediksi akibat-akibat yang ditimbulkan dari rencana tata ruang yang sudah diajukan itu terhadap tutupan lahan Riau hingga tahun 2015, kajian ini menggabungkan ke 39 kelas zonasi lahan itu menjadi 10 kelas zonasi yang semuanya akan memberi pengaruh yang sama pada tutupan lahan. Kami mengasumsikan: • Industri bubur kertas & kertas berhasil mendapatkan akses ke seluruh kawasan hutan yang dapat secara legal dikonversikan untuk produksi bubur kayu dan akan sukses besar dalam mendapatkan semua zonasi peruntukan lahan yang diijinkan, termasuk tiga tipe zonasi paling minoritas (dimana tipe perkebunan lain seperti karet atau sawit juga diperbolehkan). Tipe-tipe zonasi sangat minor ini hanya mencakup 4% dari hutan alam yang diprediksi akan dikonversi menjadi hutan tanaman akasia menjelang tahun 2015. • Draft rencana tata ruang versi Mei 2007, RTRWP 2015, diadopsi sebagaimana adanya. • Semua usulan perubahan zonasi dilaksanakan sepenuhnya hingga tahun 2015 dan banyak hutan alam dikonversi ke perkebunan dan HTI. • Konsesi HTI mengkonversi semua hutan alam di areal baru yang telah dizonasi • Dalam sebuah perubahan dramatis dari bisnis sebagaimana biasanya, penegakan hukum mempertahankan semua zona yang sudah ditetapkan dalam rencana tata ruang untuk tujuan proteksi vegetasi alami bebas atau bersih dari perambahan dan pembalakan liar. Kami menjalankan dua skenario secara terpisah untuk hutan-hutan gambut dan non-gambut, mengingat deforestasi pada kedua tipe tanah ini mempunyai sejarah yang berbeda dan karena deforestasi menghasilkan emisi-emisi CO2 yang sangat beragam. Dalam Bab 9, kajian ini akan memproyeksikan emisi CO2 berdasarkan scenario-skenario tersebut. 6.4.1 Prediksi Tutupan Hutan Riau di tahun 2015 Di bawah Skenario (1) “Bisnis sebagaimana biasanya” hutan gambut akan terus menghilang atau lenyap hingga tahun 2014 saat semua hutan yang berjumlah 1.188.355 ha di luar kawasan lindung yang diawasi secara nasional habis ditebang atau dibuka (Gambar 9 a). Hal ini akan menghasilkan hilangnya 84,4% hutan gambut tahun 2007 dan mereduksi tutupan hutan gambut hingga 3%. Di bawah Skenario (2) “Rencana Tata Ruang” hutan gambut akan lenyap dengan kecepatan yang relative lebih lambat. Sampai dengan tahun 2015, 791.829 ha hutan yang sudah dizonakan untuk konversi akan habis ditebang. Hal ini akan menyebabkan hilangnya 56,3% hutan gambut tahun 2007 dan mengurangi tutupan hutan gambut hingga 7%.
  • 28. Di bawah Skenario (1), hutan non-gambut akan terus menghilang hingga menjelang tahun 2013, yaitu saat semua sisa hutan yang luasnya mencapai 598.027 ha di luar kawasan lindung, habis ditebangi (Gambar b). Jumlah ini merupakan 70,6% penyusutan hutan non-gambut di tahun 2007; tutupan hutan non-gambut daratan utama Riau akan berkurang hingga menjadi 3% saja. Di bawah Skenario (2), hutan non-gambut akan menghilang dengan kecepatan relatif lebih lambat. Sampai dengan 2015, seluas 209.921 ha hutan yang sudah dizonasikan untuk konversi akan habis ditebangi. Ini merupakan 24,8% penyusutan hutan non-gambut di tahun 2007; tutupan hutan non-gambut daratan utama Riau akan menjadi 8% saja. 24 | WWF 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012 2015 TutupanHutan(ha 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012 2015 (1) Bisnis seperti biasa (2) Pelaksanaan penuh draft RTRWP Tutupan Hutan Aktual 1982- 2007 ) (1) Bisnis Seperti Biasa (2) Pelaksanaan Penuh draft RTRWP Tutupan Hutan Aktual 1982- 2007 Gambar 9 a & b.—Deforestasi lahan gambut (a disebelah kiri) dan non-gambut (b disebelah kanan) tahun 1982 hingga 2007 dan dua skenario yang memprediksikan deforestasi dari tahun 2007 hingga 2015. 6.4.2 Prediksi Penggantian Hutan Alam Riau hingga tahun 2015ix Berdasarkan Skenario (2) kami memprediksi bagaiman kondisi hutan tahun 2007 (Peta 6 a) akan digantikan atau berubah menjelang tahun 2015; yaitu sebesar 47,4% dari tutupan hutan Riau tahun 2007 akan hilang. Industri bubur kertas & kertas akan menjadi pendorong yang sangat kuat terhadap aktivitas deforestasi, diperkirakan akan menyebabkan 73,6% dari semua deforestasi baru (Peta 6 b). Industri kelapa sawit akan menduduki urutan berikutnya dengan 22,5% deforestasi baru (Peta 6 b). ix Data hutan dan tutupan lahan yang digunakan untuk kalkulasi Skenario (2) bersumber dari detil Data Base Tutupan Lahan WWF tahun 2007.
  • 29. WWF | 25 102 o 0 o 2007 102 o 0 o 2015 0 10050 Kilometers 0 9045 Kilometers Penggantian kawasan hutan alam yang tersisa di tahun 2007 dengan perkebunan akasia, sawit dan tutupan lahan lainnya menurut tipe hutan berdasarkan Skenario (2) “Implementasi penuh draft rencana tata ruang Riau 2015.” Areal berwarna hijau mengindikasikan kawasan hutan yang mungkin masih tersisa di tahun 2015. Gambar 10.— 6.4.2 Prediksi Penggantian Dataran Rendah Kering versus Hutan Tanah Gambut Baik hutan dataran rendah kering maupun lahan gambut sebagian besar akan digantikan oleh hutan tanaman akasia (Gambar 10). Draft rencana tata ruang bahkan menzonasi beberapa kawasan hutan mangrove untuk aktivitas konversi. Sebesar 84,3% dari total deforestasi dalam rentang waktu 2007-2015 akan terjadi pada lahan gambut. Hutan yang tersisa pada 2015: 83,251 ha (58.8%) Hutan yang tersisa pada 2015: 687,864 ha (39.4%) Hutan yang tersisa pada 2015: 623,678 ha (81.8%) 115,702 ha (15.2%) 19,723 ha (13.9%) 788,457 ha (45.1%) 19,692 ha (2.6%) 20,520 ha (14.5%) 242,042 ha (13.9%) - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 1,800,000 2,000,000 Hutan kering dataran rendah Hutan gambut Hutan mangrove TutupahHutan&Deforestasi(Ha) Tutupan lahan lain Perkebunan Kelapa Sawit HTI Akasia Digantikan oleh: 20,520 ha (14.5%) 19,723 ha (13.9%) Hutan yang tersisa pada 2015: 83,251 ha (58.8 %) 19,692 ha (2.6%) 115,702 ha (15.2 %) Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa Lahan terlantar Tutupan lahan yang lainnya Tanaman HTI akasia Perkebunan kelapa sawit Perkebunan kelapa sawit masyarakat Kawasan yang dibuka (a) Hutan gambut dan non gambut dengan berbagai tutupan kanopi di tahun 2007.(b) Hutan gambut dan non gambut dengan berbagai tutupan kanopi di tahun 2015 dan tutupan-tutupan lahan yang telah menggantikan kawasan-kawasan hutan tahun 2007 berdasarkan Skenario (2) “Rencana tata Ruang 2015”. Peta 6 a & b.—
  • 30. 6.4.4 Prediksi Penggantian Hutan-hutan Berkanopi Tertutup hingga tahun 2015 Sebesar 85,6% dari total deforestasi antara tahun 2007 dan 2015 akan melenyapkan hutan-hutan alam yang memiliki tutupan kanopi lebih besar dari > 40%, seluas 434,763 ha yang memiliki kanopi tertutup agak rapat yang tutupannya >70%, dan seluas 640.730 ha kanopi setengah terbuka yang tutupannya >40%. Industri bubur kertas & kertas akan menghabiskan sebagian besar hutan-hutan alam tersebut (Gambar 11). Berbeda dengan periode 1982-2007, industri ini juga akan bertanggung jawab atas penebangan kawasan hutan alam yang memiliki kanopi lebih terbuka dengan kerapatan 40-10% (Gambar 11). 112,331 ha (62.5%) 471,449 ha (73.6%) 339,656 ha (78.1%) 52,772 ha (29.4%) 149,800 ha (23.4%)79,615 ha (18.3%) - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 Hutan dengan tajuk relatif tertutup Hutan dengan tajuk terbuka sedang Hutan dengan tajuk sangat terbuka Deforestasi(ha) Tutupan lahan lain Perkebunan Kelapa Sawit HTI Akasia Digantikan oleh: 26 | WWF Hingga tahun 2015 nanti, sebesar 87,8% dari total deforestasi disebabkan oleh industri bubur kertas & kertas dan 81,3% dari total deforestasi disebabkan oleh industri kelapa sawit, keduanya akan menghabiskan kawasan hutan yang kerapatan kanopinya lebih dari 40% (Gambar 12). Gambar 11.—Prediksi penyusutan kawasan hutan yang memiliki berbagai tutupan kanopi yang disebabkan oleh hutan tanaman akasia dan perkebunan sawit antara tahun 2007 hingga 2015 berdasarkan Skenario (2) “Implementasi seutuhnya draft rencana tata ruang Riau .” Gambar 12.—Proyeksi penggantian kawasan-kawasan hutan yang memiliki tiga kelas tutupan kanopi dengan tanaman akasia dan sawit di Riau antara tahun 2007 hingga 2015 berdasarkan Skenario (2) “Implementasi penuh draft rencana tata ruang Riau .” 79,615 ha (28.2%) 339,656 ha (36.8%) 149,800 ha (53.1%) 471,449 ha (51.0%) 52,772 ha (18.7%) 112,331 ha (12.2%) - 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 HTI Akasia Perkebunan Kelapa Sawit Deforestation(ha) Hutan dengan tajuk sangat terbuka Hutan dengan tajuk terbuka sedang Hutan dengan tajuk relatif tertutup Deforestasi di:
  • 31. WWF | 27 102 o 0 o 1982 102 o 0 o 2015 0 10050 Kilometers 0 10050 Kilometers Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa Lahan terlantar Tutupan lahan yang lainnya Tanaman HTI akasia Perkebunan kelapa sawit Perkebunan kelapa sawit masyarakat Kawasan yang dibuka Hutan alam dengan berbagai tutupan kanopi, akasia dan sawit di tahun 1982 berikut prediksinya di tahun 2015 berdasarkan Skenario (2) “Implementasi penuh draft rencana Tata Ruang Riau tahun 2015”. Peta 7 a & b .— Implementasi seutuhnya dari rencana tata ruang yang diusulkan hingga tahun 2015 akan benar-benar memisahkan blok-blok hutan di daratan utama Riau. Hutan-hutan tersebut akan terisolasi dalam lautan hutan tanaman akasia dan perkebunan sawit (Peta 7 a dan b). Lebih dari 33 tahun sejak 1982, hutan tanaman akasia dan perkebunan sawit masing-masing sudah menggantikan 36,4% (1.872.470 ha) dan 27,2% (1.395.344 ha) dari seluruh hutan yang hilang.
  • 32. 7. REDD – Degradasi Kajian ini menganalisa degradasi hutan yang terjadi dalam kurun waktu 1997-2007 di Lanskap TNBTK kami mendefinisikan “degradasi hutan” sebagai setiap bentuk perubahan yang terjadi pada tutupan lahan dari “tertutup cukup baik” menjadi “setengah terbuka” atau “kanopi yang sangat terbuka” dan dari “setengah terbuka” menjadi “kanopi yang sangat terbuka”. Jadi, setiap perubahan pada tutupan kanopi antara 100%-10% dianggap terdegradasi. Dalam Bab 10, kami menghubungkan degradasi hutan dalam Lanskap dengan karbon yang hilang, dengan demikian memperkirakan emisi CO2 yang terjadi dimasa lalu. 7.1 Degradasi Hutan di Lanskap TNBTK Riau kurun waktu 1990– 2007 Hutan dataran rendah kering dan hutan lahan gambut memperlihatkan kecenderungan dasar yang sama terhadap degradasi (Gambar 9 dan Tabel 1): • Hingga tahun 1995, 10-14% kedua tipe hutan terdegradasi –baik hutan dengan kanopi tertutup cukup baik menjadi kanopi setengah terbuka--hanyalah merupakan deforestasi terbatas. • Setelah tahun 1995, deforestasi meningkat cepat dan terus menerus terjadi, khususnya di kawasan hutan lahan gambut. • Setelah 1995, porsi terdegradasi hutan dataran rendah kering yang tersisa di tiap periode waktu semakin berkurang dan menyusut terus (14,6 – 19,8% kanopi medium), sementara degradasi hutan lahan gambut meningkat tajam hingga tahun 2005 (10,2 – 30,9% dengan kanopi medium). • Pada tahun 2000, kecepatan deforestasi hutan gambut sudah menyusul hutan dataran rendah kering. • Pada tahun 2007, 15,1% (102.493 ha) dari hutan dataran kering rendah di tahun 1990 dan 20,0% (256.976 ha) dari hutan lahan gambut tahun 1990an yang memiliki kanopi tertutup cukup baik telah terdegradasi menjadi hutan dengan kanopi setengah terbuka – dan masing-masing sudah terdeforestasi sebesar 22,2% dan 35,2%. • Disepanjang periode tsb, persentase hutan agak tertutup yang terdegradasi menjadi kanopi agak terbuka terdapat dalam jumlah kecil di kedua tipe hutan ini. • Kedua tipe hutan dengan kanopi setengah terbuka telah terdegradasi secara besar-besaran menjadi kanopi sangat terbuka; sebagai gantinya, sebagian besar hutan dengan kanopi setengah terbuka tampaknya segera terdegradasi pula. Tabel 1.— Persentase hutan yang pada tahun 1990 memiliki kanopi yang rapat mengalami deforestasi dan degradasi dalam periode waktu selanjutnya. 1990 1995 2000 2005 2007 ha % of 1990 % of 1995 % of 1990 % of 2000 % of 1990 % of 2005 % of 1990 % of 2007 Hutan Kering Dataran Rendah dengan tutupan tajuk yang masih sangat tertutup 677,070 82.4 85.1 67.0 76.9 60.3 73.3 57.9 74.5 terdegradasi menjadi tajuk terbuka sedang 0 14.1 14.6 14.0 16.1 16.3 19.8 15.1 19.5 terdegradasi menjadi tajuk sangat terbuka 0 0.3 0.3 6.1 6.9 5.6 6.8 4.7 6.0 Kehilangan dari 1990 hutan dengan tajuk tertutup 0 3.2 NA 12.9 NA 17.7 NA 22.2 NA 28 | WWF
  • 33. Hutan Gambut dengan tutupan tajuk yang masih sangat tertutup 1,283,273 87.9 89.6 61.9 73.1 45.9 64.8 42.3 65.2 terdegradasi menjadi tajuk terbuka sedang 0 10.0 10.2 19.7 23.3 21.8 30.8 20.0 30.9 terdegradasi menjadi tajuk sangat terbuka 0 0.2 0.2 3.0 3.5 3.1 4.4 2.5 3.9 Kehilangan dari 1990 hutan dengan tajuk tertutup 0 2.0 NA 15.4 NA 29.2 NA 35.2 NA 7.2 Degradasi Hutan di Kawasan Lindung Riau Pada tahun 2007, kawasan-kawasan lindung yang diawasi secara nasional memiliki lebih banyak hutan dengan tutupan kanopi yang cukup bagus (70,3%, atau 392.639 ha) dibandingkan dengan kawasan-kawasan lindung provinsi (46,8%, atau 832.179 ha). WWF | 29
  • 34. 8. Kebakaran (1997 – 2007) Penggunaan api untuk membuka lahan telah lama menjadi tradisi di Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam praktik tebang bakar dalam pertanian tradisional. Kebanyakan kasus kebakaran yang terjadi dapat dikatakan berasal dari kegiatan manusia, terlepas apakah kebakaran tersebut terjadi di hutan alam, ladang berpindah atau area perkebunan33 . Seringkali kebakaran terjadi karena kelalaian di tempat yang jarang penduduknya dan lahan gambut luas (kebakaran di lahan gambut seringkali menyebabkan kebakaran tak terkendali hingga masuk ke area hutan yang berdekatan)34,35,36. Kejadian kebakaran dianalisa dengan menggunakan dua sensor satelit resolusi rendah yang berbeda: yaitu 1.) the National Oceanic and Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA AVHRR) dan 2.) the Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)37 . Kedua sistem sudah sangat baik untuk mendeteksi api pembakaran aktif yang biasa disebut “titik api,” pada resolusi spatial 1 km di daerah tropis38 . Untuk menduga area yang terkena api setiap koordinate titik api dikonversi menjadi area dengan luasan 1 km² setara dengan kisaran resolusi spasial sensor39 . Hal ini tidak berarti bahwa area kebakaran yang terjadi berukuran sama; kebakaran dapat mencakup seluruh luasan km atau hanya sebagian kecilnya. Tetapi sebagaimana telah ditunjukkan bahwa ada hubungan yang baik antara area yang terbakar dari titik api dan area yang terbakar hasil pencitraan Landsat resolusi tinggi40,41 . Area yang diduga bersifat konservatif, karena area yang terbakar seringkali underestimate bila menggunakan pendekatan titik api: 1.) kebakaran hanya terdeteksi satu atau dua kali sehari dan kebakaran yang menyebar cepat sering kali luput dari pencatatan, 2.) asap dari kebakaran seringkali menghalangi deteksi titik api dan 3.) kebakaran permukaan di hutan tidak cukup panas hingga bisa terdeteksi dari ruang angkasa. Area dari titik api yang tumpang tindih dianggap hanya satu titik api. Antara tahun 1997 dan 2007, 72.435 kejadian kebakaran (titik api) tercatat terjadi di Riau. Hampir seluruh kebakaran terjadi pada musim kering utama. Di Riau, umumnya terjadi sekitar 3 bulan dari Juni hingga Agustus. Pada episode El Nino, musim kering dapat terjadi sepanjang 4 bulan atau lebih. Gambar 13 menunjukkan titik api dan frekuensi kebakaran selama 11 tahun di Riau. Pada tahun 1998, 2005 dan 2006 telah terjadi lebih dari 8.000 titik api. Tingginya jumlah kebakaran yang luar biasa ini terkait dengan kondisi kering panjang akibat dari kejadian El Nino yang terjadi pada 1997-1998 dan 2005-2006. Pada 2005, sensor MODIS mendeteksi 19.396 titik api di Riau. Sekitar 79% dari seluruh titik api terjadi di lahan gambut. Kebakaran pada lahan gambut bertanggung jawab atas kabut di daerah perbatasan dan melepaskan sejumlah besar karbondioksida ke atmosfer42 . Lebih dari 11 tahun terakhir, 31% permukaan lahan di Riau terbakar sedikitnya sekali, 12% terbakar lebih dari satu kali. Kejadian kebakaran seperti telah tersebut merupakan ancaman yang serius terhadap ekosistem hutan hujan: semakin sering suatu area terkena kebakaran, semakin kecil kesempatannya untuk berhasil mencapai regenerasi hutan dan semakin tinggi kemungkinannya untuk mengalami degradasi dari ekosistem hutan semula.43,44 . Gambar 14 menunjukkan tutupan hutan 1996 dan 2007 dan semua titik api yang tercatat dari 1997 sampai dengan 2007. Sebesar 34 persen dari semua titik api terjadi di areal hutan, sementara 66 persen tercatat pada tutupan lahan non-hutan. Dari seluruh titik api yang terjadi di areal hutan, 67 persen terjadi diatas hutan gambut. 30 | WWF
  • 35. WWF | 31 Titik api NOAA AVHRR dan MODIS di Riau 1997 - 2007 0 5,000 1 NumberofHots 0,000 15,000 20,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 potsJumlahtitikapi Year Gambar 13.—Titik api di Riau antara tahun 1997 dan 2007. Tingginya titik api di tahun 1998, 2005 dan 2006 terkait dengan kondisi kemarau selama episode El Niño . Gambar 14. A: Peta tutupan hutan / Non-hutan 1996. Hutan dataran rendah (hijau muda), hutan rawa gambut (hijau tua). B: titik api 1997-2007 menggambarkan lebih detil peta tutupan hutan 1996. C: Peta tutupan hutan 2007. Lingkaran merah muda mengindikasikan luasan areal deforestasi dimana titik api terdokumentasi. A B Tahun Tutupan Hutan 1996 Titik api 1996-2007 C di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam: di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 1996: Tutupan Hutan 2007 di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam:
  • 36. 32 | WWF Gambar 15.—Lokasi kebakaran selama lebih dari 11 tahun. Titik api yang muncul di areal hutan ditunjukkan dalam warna merah dan titik pai pada areal non-hutan dalam warna kuning. Sebagian besar aktifitas deforestasi yang berkaitan erat dengan munculnya titik api ditandai dengan lingkaran merah muda. Lingkaran biru mengindikasikan kemunculan kembali api di tanah gambut di pinggiran pantai. A B C D E FTitik api 1996-2000 Titik api 2007 di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 2006: di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 1996: Titik api 2006Titik api 2001-2002 di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 2005: di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 2000: Titik api 2005Titik api 2003-2004 di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 2004: di kawasan gambut di kawasan bukan gambut Hutan alam 2002: Titik api di areal hutan Titik api di areal non-hutan
  • 37. Studi ini membandingkan perubahan lahan dan kejadian api berturut-turut selama beberapa tahun. Pada Gambar 15, seluruh titik api dari periode tertentu ditampatkan pada peta tata guna lahan. Titik api di hutan ditampilkan dengan warna merah, titik api pada lahan bukan hutan ditampilkan dalam warna kuning. Pada Gambar 15A, seluruh titik api yang tercatat antara tahun 1997 dan 2000 ditempatkan diatas peta tata guna lahan tahun 1996. Banyak kejadian kebakaran terjadi di area-area hutan pada tahun 1996 (titik-titik berwarna merah). Kebanyakan kebakaran di hutan (baik hutan kering maupun rawa gambut) terjadi pada perbatasan blok hutan sementara sangat sedikit api yang tercatat terjadi di dalamnya. Kejadian serupa juga tercatat di ekosistem serupa lain di Indonesia45,46,47 . Pada Gambar 15B, seluruh titik api yang tercatat pada tahun 2001 dan 2002 ditempatkan diatas peta tata guna lahan tahun 2000. Beberapa area hutan rawa gambut berluasan besar terbakar. Pada Gambar 15C-F, titik api terkait dengan peta tutupan hutan tahun sebelumnya. Banyak area yang mengalami kebakaran hutan tidak berhutan lagi pada tahun-tahun berikutnya. Jelas terdapat hubungan antara kebakaran dan deforestasi, meskipun tidak dapat dipastikan apakah api terjadi akibat deforestasi pada awalnya ataukah api digunakan untuk pembersihan lahan untuk ditanami setelah area tersebut ditebang. Secara signifikan, lebih sedikit kebakaran terjadi pada tahun 2007 (Gambar 15F, Gambar 16). Hal ini mungkin terjadi karena dua faktor: 1.) Tahun 2007 merupakan tahun basah akibat pengaruh dari efek La Nina regional (hampir tidak ada kebaharan yang tercatat di dalam hutan yang rapat) dan/atau 2.) investigasi polisi di seluruh provinsi menghentikan seluruh penebangan habis hutan oleh HTI, sehingga mencegah pembukaan lahan untuk penanaman. Gambar 16 menunjukkan hubungan titik api di hutan/bukan hutan yang tercatat WWF | 33 Gambar 16.—Hubungan antara titik api di hutan atau non hutan selama beberapa periode. 0 5000 10000 15000 20000 25000 1997-2000 2001-2002 2003-2004 2005 2006 2007 Non-Forest Hotspots Di Borneo dan Amazon, gangguan terhadap tajuk hutan akibat penebangan maupun akibat proses-proses lain secara signifikan meningkatkan kemungkinan kejadian kebakaran48,49 . Hal ini memulai siklus buruk yang mengarah pada degradasi hutan, kejadian kebakaran berulang dan akhirnya degradasi parah, tumbuhnya semak tahan api dan ekosistem savana. Studi dalam laporan ini mengkaji degradasi hutan dan kebakaran selama beberapa tahun berturut-turut di landskap Tesso Nilo-Bukit Tiga Puluh-Kampar (TNBTK) dan membandingkan berapa banyak kebakaran terjadi di dalam hutan bertajuk rapat dengan hutan yang bertajuk relatif terbuka. Kebanyakan kebakaran terjadi di area dengan hutan yang bertutupan tajuk kurang dari 70% (Gambar 17); Beberapa hutan dengan tutupan tajuk lebih dari 70% juga terkena dampak (Gambar 18). Hal ini mengkonfirmasi hasil studi terdahulu yang didapat di Borneo50 . NumberofHotspots Forest Hotspots Titik api di areal non-hutan Titik api di areal hutan 65% 63% 70% 59% 88% 59% 35% 41% 37% 30% 41% 22% Diatashutanalam2005
  • 38. Gambar 17.—Kebakaran di Lanskap TNBTK dari (A) 1997–2000 pada peta tutupan hutan 1995, (B) 2001–2005 pada peta tutupan hutan 2000 , dan (C) 2006–2007 pada peta tutupan hutan 2005. Kebakaran pada hutan dengan “tutupan kanopi lebih besar dari 70 persen” ditunjukkan dengan warna merah, pada “tutupan kanopi lebih kecil dari 70 persen” dengan warna oranye, dan pada areal non-hutan ditunjukkan dengan warna kuning.. Pada daerah yang diperbesar di hutan Tesso Nilo (D) dan Kampar Peninsula (E), hampir semua kebakaran terjadi pada “hutan dengan tutupan lebih kecil dari 70 persen”. A B C D E Titik api 1996-2000 Tahun 1995 Kerapatan tajuk <70% Kerapatan tajuk >70% Tahun 2005 Kerapatan tajuk <70% Kerapatan tajuk >70% Tahun 2005 Kerapatan tajuk <70% Kerapatan tajuk >70% Tahun 2000 Kerapatan tajuk <70% Kerapatan tajuk >70% Tahun 2000 Kerapatan tajuk <70% Kerapatan tajuk >70% Titik api 2001-2005 Titik api 2006-2007 Titik api 2001-2005 Titik api 2006-2007 34 | WWF
  • 39. WWF | 35 Gambar 18.—Titik api pada areal non-hutan, kanopi terbuka, dan areal dengan kanopi tertutup pada periode yang bersambungan. 0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 1997-2000 2001-2005 2006-2007 Non-Forest Hotspots Degraded-Forest Hotspots Forest Hotspots Gambar 19.—Gambar Citra satelit ETM yang didapatkan pada tahun 2004 dan 2005. Titik api ditunjukkan dalam warna merah dan diperjelas pada panel disebelah kanan. Areal yang telah dikonversi dan terbakar ditunjukkan dengan warna lingkaran merah muda (pink). Lingkaran pada bagian bawah menunjukkan bagaimana api kemungkinan telah digunakan untuk membuka lahan untuk hutan tanaman akasia untuk perusahaan mitra Asia Pulp & Paper (APP) tahun 2004. NumberofHotspots 35% 21% 34% 15% 34% 14% Titik api di areal non-hutan Titik api di areal hutan tre-degradasi Titik api di areal hutan Jumlahtitikapi
  • 40. Citra satelit dari ujung timur semenanjung Kampar dengan resolusi sangat tinggi menunjukkan area dengan titik api sedang mengalami deforestasi pada tahun berikutnya (Gambar 19). Studi ini menganalisa jumlah titik api yang tercatat pada tahun 2005, dan yang terjadi didalam area berhutan pada tahun 2004 dan 2006. Sekitar 5.830 titik api pada tahun 2005 terjadi didalam area yang masih berhutan pada 2004. Dari jumlah titik api tersebut, 4.832 titik api terjadi di area tidak berhutan pada 2006. Sekitar 83% dari api pada tahun 2005 terkait dengan deforestasi. Pada Gambar 20, ditampilkan perubahan tutupan hutan antara tahun 2005 hingga 2007 dan dihubungkan dengan titik api di blok hutan Libo di Riau dimana industri bubur kertas dan kertas Riau melakukan pembersihan hutan yang luas pada tahun-tahun tersebut. hutan Titik api tahun 2006 Di atas hutan alam 2007 Titik api tahun 2006 Di atas hutan alam 2005 Titik api tahun 2006 Di atas hutan alam 2007 Titik api tahun 2005 titik api pada areal hutan titik api di atas pada areal non hutan Gambar 20.—Kebakaran pada 2006 ditampakkan diatas peta tutupan hutan 2005 dan 2007. Daerah yang diperbesar menunjukkan areal blok hutan Libo di Riau, dimana konversi hutan besar-besaran oleh industri bubur kertas dan kertas telah terjadi. Warna merah tua menunjukkan titik api di areal hutan, merah muda menunjukkan titik api pada areal non hutan, dan lingkaran merah muda menunjukkan area dimana deforestatsi terkait kebakaran hutan terjadi. 36 | WWF
  • 41. Sekitar 3.931 titik api pada tahun 2006 terjadi di area yang masih berhutan pada tahun 2005. Dari jumlah tersebut, 3.312 titik api terjadi di area yang tidak berhutan pada tahun 2007. Sekitar 84% dari kebakaran pada tahun 2006 terkait dengan deforestasi. Dari jumlah tersebut, 20% saat ini adalah perkebunan kelapa sawit, , 37% HTI akasia dan 4% tumbuhan perkebunan lain. Lebih dari 60% dari lahan yang terdeforestasi tersebut terkait dengan kebakaran yang terjadi pada tahun 2006 dan menjadi lahan yang menjadi perkebunan pada tahun 2007. Sekitar seperempat deforestasi yang terjadi di Riau terkait dengan kebakaran pada beberapa tahun terakhir. Antara tahun 2004 dan 2006, sekitar 525.576 ha hutan menghilang, 28% dari luasan tersebut (144.845 ha) terkena kebakaran pada tahun 2005. Antara tahun 2005 dan 2007, sekitar 477.349 ha hutan menghilang dan 27% dari luasan ini (126.428 ha) terkena kebakaran. Sekitar 44% dari hutan yang terdeforestasi dirubah menjadi perkebunan. Sekitar 29% dari perkebunan baru ini tercatat mengalami kebakaran. Kebakaran di Kawasan Lindung Hanya sekitar 8% dari kawasan lindung yang dilindungi secara nasional di Riau terkena kebakaran antara tahun 1997 dan 2007 (Gambar 21). Sejumlah kecil kawasan lindung seperti Sungai Dumai, Balai Raja Duri, dan Pusat Latihan Gajah serta setengah dari Kawasan Lindung Sultan Syarif Kasyim Minas – yang semua terletak di bagian utara dan bagian tengah Riau – mengalami kebakaran yang serius. Tiga kawasan lindung nasional lain (Giam Siak Kecil, Bukit Bungkuk, dan Tesso Nilo) terkena kebakaran di sepanjang perbatasan kawasannya. Terdapat tujuh kawasan lindung yang hampir tidak terkena kebakaran (Gambar 21). Potongan-potongan kecil hutan lindung tampaknya mengalami resiko lebih tinggi untuk terbakar dibandingkan dengan hutan yang memiliki luasan yang besar, kemungkinan karena pengaruh tutupan tajuk yang biasanya lebih baik karena kawasan ini kurang terakses oleh pembalak liar dan perambah. 0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 Areal kebakaran 1997-2007 Terutama di atas WWF | 37 Gambar 21.—Titik api yang terjadi (titik merah) di kawasan lindung yang diawasi secara nasional (poligon-poligon hijau). Protected Area Area(ha) Not Burnt Burnt Tidak terbakar TerbakarKawasan Lindung 8% Areal Kebakaran Kawasan Lindung Kawasan Lindung
  • 42. 28 | WWF 9.1 Keanekaragaman Hutan di Riau Sebuah studi komparatif menemukan bahwa hutan dataran rendah kering Tesso Nilo memiliki keragaman spesies vaskular yang lebih tinggi dibandingkan dari hutan tropis manapun di seluruh dunia (Peta 8). Provinsi kedua di Sumatra yang juga masih kaya akan keragaman hayatinya adalah provinsi Jambi. Menurut studi tersebut, tidak ada catatan publikasi lain yang mengindikasikan adanya kekayaan indeks tumbuh-tumbuhan yang sebanding dengan Tesso Nilo di hutan dataran rendah lainnya di belahan bumi ini. Berdasarkan metode pencatatan yang sama mengenai keragaman hayati berbasis tumbuh-tumbuhan, atau plant-based biodiversity, kekayaan spesies Tesso Nilo berada di atas nilai indeks situs-situs terkaya yang pernah ada , yaitu dengan membandingkan 1.800 plot di kawasan-kawasan hutan dataran rendah tropis antara permukaan laut dan elevasi 550 m di 20 negara. Dua puluh negara tersebut adalah Bolivia, Brazil dan Peru (lembah Amazon bagian barat dan timur), Kamerun (lembah Kongo), Kosta Rika, Fiji, Guyana, Prancis (Prancis Guyana dan Martinique), Kenya, Indonesia (Kalimantan dan Jawa), Malaysia, Meksiko, Papua New Guinea, Panama, Filipina, Vanuatu dan Vietnam. 8. Keanekaragaman Hayati Kekayaan jenis tanaman relatif 218 112 25 104 35 56 52 69 58 99 28 38 60 56 103 31 72 63 82 42 2852 32 43 94 37 1 2 3 1 23 218 112 4 0 102 Taman Nasional Tesso Nilo 4 Jumlah jenis 7 - 26 27 - 46 47 - 66 Mean 67 - 86 87 - 106 107 - 127 128 - 147 148 - 167 168 - 187 188 - 218 0 5,9002,950 Kilometers 0 980490 Kilometers 0 2,0001,000 Kilometers 0 2,0001,000 Kilometers 0 10050 Kilometers 50 Keragaman spesies tumbuhan vaskular relatif dari berbagai situs studi di hutan-hutan tropis seluruh dunia. Peta 8.— Sebuah studi yang dilakukan oleh LIPI menemukan hutan Tesso Nilo Riau lebih beragam daripada hutan-hutan alam lainnya di pulau Sumatra (Tabel 2). Berangkat dari hasil penemuan yang spektakuler tersebut, LIPI merekomendasikan kepada Departemen Kehutanan Indonesia agar kawasan hutan tersebut dilindungi. Tetapi sampai dengan tahun 2007, empat tahun kemudian, hanya satu per empat bagian dari luas kawasan hutan yang sudah di survei saja yang pada akhirnya disepakati untuk dilindungi oleh Pemerintah Persetujuan oleh Mentri Kehutanan untuk menzonasi sisa kawasan lainnya sebagai taman nasional sudah
  • 43. tertunda sejak tahun 2001. Tabel 2.—Perbandingan kekayaan spesies pohon di enam situs studi di Sumatera, Indonesia. Lokasi Ukuran Plot (ha) Jumlah Spesies Pohon Densitas Pohon (/ha) Indeks Keragaman Spesies Kompleks Hutan Tesso Nilo 1 215 557 9,11 Sungai Alas, Taman Nasional Leuser, Aceh 1 81 542 3,48 Hutan Riset Ketambe, Taman Nasional Leuser, Sumatera Utara 1,6 132 480 4,76 Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi 0,09 30 610 4,04 Rimbo Panti (800 m dpl), Sumatera Utara 1 145 429 7 Rimbo Panti (200 m dpl), Sumatera Utara 1 80 451 3,76 Hutan Tesso Nilo di Riau © WWF. WWF | 39
  • 44. 9.2 Status Populasi Gajah Sumatera dan Habitatnya Gajah Sumatera di dalam kawasan perkebunan sawit Riau © WWF. Populasi gajah Riau dihitung sebanyak empat kali sepanjang tahun 1985-2007 (Gambar 22, Tabel 3). Semua estimasi populasi gajah adalah estimasi kasar. Survei angka-angka didasarkan pada wawancara dengan masyarakat setempat, observasi saat terjadi konflik gajah-manusia, dan bukti-bukti yang dikumpulkan saat mengadakan survei pada tumpukan kotoran dan lintasan atau jejak. Tim survei memperkiraan ruang jelajah dari kelompok-kelompok gajah yang terpisah (biasa disebut kantong-kantong gajah) dan kemudian memperkirakan berapa jumlah gajah yang berada atau terkait dengan kantong tersebut. Populasi gajah menurun dari sekitar 1.342 ekor di tahun 1984 menjadi sekitar 210 ekor di tahun 2007 (Gambar 13), yaitu penurunan sebesar 84% dalam kurun waktu lebih dari 23 tahun, lebih cepat bahkan daripada 65% penyusutan kawasan hutan Riau untuk periode waktu yang sama (Gambar 13). Jumlah kantong-kantong gajah meningkat dari sebelas pada tahun 1984 menjadi 16 pada tahun 1999 karena hutan semakin terfragmentasi dan kelompok-kelompok gajah semakin jauh terpisah-pisah dimana habitatnya dikelilingi lahan terbuka atau perkebunan (Peta 9). Hingga tahun 2007, populasi gajah di kantong Rokan Hilir, Kerumutan, Koto Panjang, Bukit Rimbang Baling, Tanjung Pauh dan Bukit Suligi telah punah, yang menurunkan jumlah kantong-kantong gajah dari 15 di tahun 2003 menjadi tinggal sembilan saja (Tabel 3, Peta 9). Tabel 3.—Estimasi jumlah gajah dan distribusinya di Riau, Sumatera. Tahun Estimasi Populasi Gajah Estimasi rata-rata Populasi Gajah Jumlah Kantong-kantong Populasi Gajah Rata-rata Penyusutan Populasi Per tahun Survei 1985 1067-1617 1342 11 Blouch dan Simbolon, 198553 1999 709 709 16 45 Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 200254 2003 353-431 392 15 79 Fadhli, N. 200455 2007 174-246 210 Departemen Kehutanan, 2007569 46 40 | WWF Hilangnya gajah tampaknya berkaitan erat dengan konflik manusia-gajah. Konflik-konflik tersebut terjadi karena hutan-hutan bagi gajah telah tergantikan dengan ladang atau kebun-kebun sawit yang kemudian menjadi sumber makanan pengganti bagi satwa liar tersebut. Empat peracunan massal terhadap gajah telah
  • 45. dilaporkan. Pada tahun 2002, 17 ekor gajah ditemukan keracunan dekat Mahato di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Tahun 2004, enam ekor gajah diracun di Rokan Hulu. Tahun 2005, enam ekor gajah diracun di Kepenuhan dekat Mahato dan tahun 2006 enam ekor gajah lagi diracun di Mahato. Kasus-kasus kematian gajah lainnya akibat keracunan mungkin tidak pernah dilaporkan. y = -0,599x 2 - 34,544x + 1492,4 R 2 = 0,9946 y = 1583,3x 2 - 137713x + 3E+06 R 2 = 0,9943 y = -28,633x 2 - 164802x + 7E+06 R 2 = 0,9974 0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000 19821983198419851986198719881989199019911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007 TutupanHutan(ha) 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Est.PopulasiGajah Hutan Bukan Gambut Seluruh hutan yang tersisa Est. populasi gajah Poly. (Est. populasi gajah) Poly. (Hutan Bukan Gambut) Poly. (Seluruh hutan yang tersisa) Gambar 22.—Tutupan hutan, tutupan hutan non-gambut dan estimasi populasi gajah Riau tahun 1982 - 2007. Bukti tambahan atas penurunan populasi gajah terkait dengan konflik adalah penangkapan satwa tersebut sejak tahun 2000 (Tabel 4). WWF menemukan bukti bahwa setidaknya telah terjadi 224 kasus penangkapan; meskipun diyakini masih banyak lagi kasus penangkapan yang tidak diketahui (Tabel 4). WWF memperkirakan bahwa sebagian besar dari gajah-gajah hasil tangkapan tersebut mati di lokasi tempat penangkapan, setelah gajah ditranslokasikan ke tempat penampungan atau pusat latihan gajah, atau setelah dilepaskan kealam bebas57 . WWF dan Balai Konservasi Sumberdaya alam di tingkat provinsi telah membentuk tim patroli gajah yang disebut dengan gajah “Flying Squads” disekitar Hutan Tesso Nilo (www.wwf.or.id/TessoNilo). Tim “Flying Squad” ini memanfaatkan gajah-gajah terlatih yang tadinya adalah gajah liar untuk melindungi dan menjaga ladang-ladang dan perkebunan dari serangan gajah-gajah liar di Tesso Nilo. Tim patroli gajah ini merupakan bentuk upaya serius dalam memitigasi konflik manusia-gajah di Riau. Sayangnya di beberapa tempat lain di Riau, para pemilik perkebunan dan oknum pejabat setempat terkadang memilih untuk “melenyapkan” gajah-gajah yang dianggap mengganggu mereka tanpa mencoba menerapkan teknik mitigasi yang telah terbukti efektif ditempat lain.. WWF | 41
  • 46. 42 | WWF 102 o 0 o 15 25 37 12 21 45 25 25 5 0 11055 Kilometers 2007 102 o 0 o 250 150 75 75 150 350 30 30 75 30 150 0 11055 Kilometers 1985 102 o 0 o 23 13 45 23 43 23 19 7 33 25 45 13 465 17 9 0 10050 Kilometers 2003 102 o 0 o 40 30 35 60 8 30 10 32 158 30 70 35 30 70 16 55 0 10050 Kilometers 1999 Peta 9 a - d. — Hutan lahan gambut (hijau tua) dan non-gambut (hijau muda) berikut aproksimasi ruang jelajah kelompok gajah di Riau, Sumatra Kantong populasi gajah Hutan di kawasan gambut yang tersisa Hutan di kawasan bukan gambut yang tersisa Kajian ini memperkirakan bahwa jumlah gajah dan kantong-kantongnya akan terus merosot sampai semuanya akhirnya punah kecuali dua kumpulan saja (Peta 9). Beberapa gajah mungkin masih bertahan di dua hutan habitat gajah yang masih layak, yaitu di Tesso Nilo dan di bagian sebelah Selatan dan Barat Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang memiliki topografi datar dan berbukit. Sejumlah LSM sudah mengusulkan dan meminta Departemen Kehutanan untuk melindungi kawasan-kawasan ini agar tetap terpelihara sebagai habitat gajah di Riau. Belum ada tanggapan terhadap usulan tersebut hingga kini. Kedua hutan habitat gajah tersebut masing-masing saat ini sedang berada dalam ancaman konversi akibat kegiatan perambahan liar dan industri bubur kertas dan kertas. Kabupaten 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 TOTAL Siak - - - - 3 - - - 3 Rokan Hulu - - 10 19 5 13 - 10 57 Pelalawan - - - - 1 - 1 2 4 Pekanbaru - - - 1 - - 2 - 3 Kampar - 1 37 15 9 30 17 6 115 Indragiri Hilir 16 10 - 3 - - - - 29 Bengkalis - - - - 7 6 - - 13 TOTAL 16 11 47 38 25 49 20 18 224 Tabel 4. — Jumlah gajah tangkapan di enam kabupaten di Riau dari tahun 2000-2007 menurut pantauan WWF.