Buku ini merangkum perjalanan lima tahun Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sejak didirikan pada 2008, meliputi perannya dalam koordinasi kebijakan nasional dan dukungan terhadap posisi Indonesia dalam perundingan internasional. Buku ini juga menjelaskan tentang perubahan iklim, dampaknya, dan upaya adaptasi serta mitigasi yang dilakukan DNPI bekerja sama dengan berbagai pihak.
6. PENGANTAR TIM PENYUSUN
RASA BAHAGIA DAN HARU menyertai puji syukur atas karunia Illahi, yang telah memungkinkan kami
menerbitkan buku ini.
Bagi kami di DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) buku ini mempunyai arti penting karena
mengabadikan sejarah dan kiprah DNPI sejak dibentuk oleh Presiden Susilo BambangYudhoyono lima tahun
yang lalu,4 Juli 2008.Namun,bukan makna seremonial yang kami tuju.Bukan pula binar-binar kebanggaan
yang ingin kami tampilkan meskipun DNPI adalah satu-satunya lembaga yang fokus pada soal-soal yang
berhubungan dengan perubahan iklim, dalam skala domestik nasional maupun global internasional. Justru
sebaliknya, kami berharap mampu memberikan sumbangsih berupa informasi, wacana, maupun inspirasi
untuk meningkatkan kepedulian kita semua terhadap sebab-sebab dan dampak perubahan iklim. Buku ini
memang dipersembahkan kepada masyarakat luas,apa pun latar belakangnya.
Secara spesifik kami memaparkan perjalanan lima tahun DNPI (2008 – 2013). Kiprah DNPI sejak masa-
masa awal yang menyangkut perencanaan, kajian, implementasi, aksi-aksi serta evaluasi, disajikan dengan
bahasa yang diharapkan komunikatif dengan pembaca. Fungsi koordinator dan peran DNPI di bidang
negosiasi,yangseringdinilaiolehbeberapakalanganmasyarakatsebagaiprestasiluarbiasa,punditampilkan
secara seimbang.
Riset sederhana dilakukan untuk penyusunan buku, akan tetapi sesungguhnya materi utama yang
digunakan adalah karya/tulisan/pemikiran tim di DNPI baik di sekretariat, divisi maupun pokja (kelompok
kerja). Serangkaian wawancara dengan tokoh-tokoh yang kompeten pun diadakan untuk melengkapi
buku ini, agar dapat menangkap pandangan-pandangan kritis dan pemikiran yang bervariasi. Wawancara-
wawancara itu pun merupakan upaya mendapatkan masukan yang membangun untuk memperbaiki
diri di kemudian hari. Kepada kontributor dan narasumber kami mengucapkan terima kasih. Dedikasi dan
pengalaman yang mereka sampaikan sangat memperkaya buku.Selain itu,bantuan dan dukungan berbagai
pihak mengalir,memungkinkan pengerjaan buku ini semakin lancar.Pada mereka,yang namanya tidak kami
sebutkan satu persatu karena keterbatasan ruang,terima kasih tulus kami sampaikan.
Meskipun sudah direncanakan sebaik mungkin,buku ini masih jauh dari sempurna.Kritik membangun
dengan senang hati akan kami terima dan dimanfaatkan.
Selanjutnya, kami berharap masyarakat semakin mengenal dan mencintai DNPI, serta mendapatkan
informasi yang mempunyai nilai tambah mengenai perubahan iklim. Sebagaimana dimahfumi, dampak
perubahan iklim yang merugikan bumi dan manusia adalah nyata dan aktual; imbasnya pun multidimensi
di segala sektor kehidupan.Mengabaikan perubahan iklim sama artinya mengkhianati tugas mulia manusia
sebagai khalifah Tuhan untuk memelihara kehidupan.Buku ini ingin menguatkan kesadaran itu.
Jakarta,4 Juli 2013
iii
Hal Depan.indd 5 8/2/13 10:46:29 AM
8. DAFTAR ISI
JUDUL i
TIM PENYUSUN ii
PENGANTAR TIM PENYUSUN iii
DAFTAR ISI v
KUTIPAN AMANAT PRESIDEN RI SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENGENAI PERUBAHAN IKLIM vii
PENGANTAR KETUA HARIAN DNPI RACHMAT WITOELAR ix
PROLOG:PERUBAHAN IKLIM DAN PEWARISAN LINGKUNGAN YANG BERKELANJUTAN xi
BAB I. COP-13 BALI:TONGGAK SEJARAH DNPI 1
1. Bermula dari KTT Bumi 4
G Perjalanan Panjang Menyelamatkan Bumi 6
2. Dari Bali untuk Bumi 8
G Bali Action Plan 13
3. Di Balik Gagasan Pendirian DNPI 14
G Tujuh Belas Kementerian dan Satu Lembaga Memperkuat DNPI 17
G Pengembangan Kebijakan dan Kelembagaan Perubahan Iklim 18
BAB II. TENTANG PERUBAHAN IKLIM 19
1. Musim yang Semakin Tidak Menentu 22
G Melaut pun Surut 25
2. Manusia dan Gas-Gas Rumah Kaca 26
G Dari mana Gas Rumah Kaca Berasal 28
3. Benarkah ada Perubahan Iklim? 34
G Petani Bingung Musim 38
G Perubahan Iklim adalah Akibat Ulah Manusia 39
4. Perubahan Iklim di Laut Nusantara 40
BAB III. KIPRAH LIMATAHUN DNPI (2008 – 2013) 43
1. MARI BERADAPTASI 46
G Kegiatan Adaptasi 48
2. BERFOKUS PADA MITIGASI 50
G Kurva Biaya Pengurangan Emisi 53
G Dimensi Mitigasi Perubahan Iklim 54
G Aksi Mitigasi dalam Bingkai NAMAs 57
3. MENGGALANG DUKUNGAN DENGAN PENYADARAN DAN PENDIDIKAN 58
G Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim 62
G Kegiatan Penyadaran dan Pendidikan 64
4. KEHUTANAN DAN ALIH GUNA LAHAN LULUCF DARI BALI HINGGA DOHA 66
G LULUCF di Indonesia 68
5. ALIH TEKONOLOGI MENANGGULANGI TANTANGAN PERUBAHAN IKLIM 70
G Kegiatan Utama Alih Teknologi 74
v
Hal Depan.indd 7 8/2/13 10:46:30 AM
9. vi
DAFTAR ISI
6. Pendanaan untuk Mitigasi dan Adaptasi 76
l Dari Mekanisme hingga Perundingan Internasional 78
7. DNPI dan Perdagangan Karbon 84
l Apa yang Dimaksud dengan Perdagangan Karbon? 88
l Prospek dan Tantangan Pasar karbon dalam Protokol Kyoto Jilid II 88
8. Perundingan Perubahan Iklim 90
l Bagaimana DNPI Mempersiapkan Perundingan Internasional? 94
l UKK-PPI dan KaHar DNPI 96
9. Koordinasi Peningkatan Kapasitas 98
l Pekerjaan Rumah Peningkatan Kapasitas 100
BAB IV. TANTANGAN DAN HARAPAN 101
l Menoreh Sejarah Diplomasi Global perubahan Iklim 104
l Fungsi Koordinasi dan Sinergi 106
l Komunikator dan Campaigner Perubahan Iklim 108
l DNPI Di Mata Mitra Asing 108
l Koordinator Negosiasi Internasional 110
l Peran Unik DNPI 112
l Indonesia Climate Change Center 114
l Kerjasama DNPI-JICA 115
l Kerja Sama DNPI – UNITAR 116
l Penguatan Koordinasi dan Internal 116
l Anggaran Diperbesar 116
l Penguatan Dasar Hukum 118
BABV. EPILOG 119
DAFTAR SINGKATAN 125
DAFTAR PUSTAKA 128
Publikasi DNPI 2009-2012 130
TIM KERJA PENYUSUN BUKU 132
Hal Depan.indd 8 8/2/13 10:46:30 AM
10. vii
Hal Depan.indd 9 8/2/13 10:46:30 AM
“Kerusakan yang terjadi di dunia ini berawal dari hati dan pikiran kita, hati dan pikiran umat
manusia, the hearts and minds of the people. Kalau hati dan pikiran kita bersih, ingin
menyelamatkan bumi, tidak merusak hutan, hemat dalam penggunaan bahan bakar yang
mendatangkan emisi gas rumah kaca, pandai mengelola sampah yang juga menimbulkan
dampak pada lingkungan yang tidak baik dan sejumlah pikiran-pikiran yang jernih, yang bersih,
insya Allah,kerusakan tidak akan terjadi.”
Presiden Susilo BambangYudhoyono
Sambutan dalam Side Event UNFCCC-COP 13
Pertemuan Lintas Agama dan Perubahan Iklim,Bali,11 Desember 2007
12. DEWAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM (DNPI) didirikan secara resmi berdasarkan Peraturan Presiden
No. 46/2008 pada awal Juli 2008. Keberadaan DNPI adalah tepat waktu dalam menjawab tantangan yang
semakin kompleks dalam mengendalikan dan mengatasi perubahan iklim. Semakin luas dan kompleksnya
permasalahan perubahan iklim menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang semakin kuat di tingkat
nasional sehingga tidak terjadi diskoneksi antara proses internasional dan implementasi di tingkat nasional.
Penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat serta para pihak lain menjadi salah
satu perhatian DNPI dalam kesehariannya.Hal ini terlihat dengan berbagai kegiatan termasuk pameran serta
seminar dan materi komunikasi lain termasuk film pendek mengenai perubahan iklim. Interaksi dengan
berbagai institusi pendidikan juga menjadi kekuatan yang tidak dapat dipungkiri.
SalahsatutugasutamaDNPIadalahmendukungdanmemperkuatposisiIndonesiadalamperundingan
internasional. Hal ini telah diwujudkan dalam bentuk koordinasi dan penyiapan posisi Indonesia serta
Delegasi RI dalam perundingan internasional terkait.Peran ini telah berjalan dengan baik dan mendapatkan
dukungan serta peran aktif dari Kementerian dan Lembaga anggota DNPI maupun lembaga dan organisasi
lain termasuk LSM, sektor swasta dan perguruan tinggi. Sejak DNPI beroperasi pada tahun 2008, Indonesia
semakin aktif berperan di arena perundingan internasional dan turut pula membentuk berbagai keputusan
yang dihasilkan. Hal ini menjadi kekuatan Indonesia yang tidak henti berkiprah sejak menjadi Tuan Rumah
dan Presiden COP-13/CMP-3 di Bali pada akhir 2007.
Oleh karena itu, sudah selayaknya DNPI terus melakukan perannya guna menjawab tantangan yang
semakin besar dan berat, baik di tingkat internasional dalam hal perundingan maupun di tingkat nasional
dan lokal dalam hal implementasi aksi nyata.Keberadaan DNPI dalam lima tahun ini merupakan bukti nyata
pentingnya keberadaan satu lembaga yang terfokus pada pengendalian perubahan iklim serta berperan
dalam koordinasi dan harmonisasi berbagai kepentingan dalam negeri dengan proses yang terjadi di tingkat
internasional.
Mengacu pada perkembangan yang terjadi di dunia internasional, telah semakin banyak negara
yang membentuk kementerian, badan maupun otoritas yang secara khusus menangani perubahan iklim
dan berada langsung di bawah Kepala Pemerintah bersangkutan. Hal ini dipandang penting mengingat
semakin luasnya cakupan perubahan iklim dilihat dari sisi penyebab maupun permasalahan dan ancaman
yang ditimbulkannya.Keberadaan legislasi nasional mengenai pengendalian perubahan iklim juga semakin
menjadi kebutuhan guna memastikan keberlanjutan upaya di dalam negeri yang juga akan berpengaruh
terhadap keberlanjutan upaya global. Pada akhirnya, DNPI akan terus diperlukan dalam kancah negosiasi
iklim yang semakin kompleks di masa yang akan datang.
Jakarta,4 Juli 2013
PENGANTAR
RACHMAT WITOELAR
KETUA HARIAN DNPI
ix
Hal Depan.indd 11 8/2/13 10:46:37 AM
14. PROLOG
Perubahan Iklim
dan Pewarisan Lingkungan yang Berkelanjutan
SEBAGAI BAGIAN GLOBAL COMMUNITY, Indonesia ingin secara bersama-sama dengan bangsa
lain menyelamatkan planet tercinta ini, demi anak-cucu dan generasi mendatang. Oleh sebab itulah,
Indonesia menetapkan target pengurangan emisi CO2
sebanyak 26% pada tahun 2020.Target ini merupakan
upaya dan bentuk tanggungjawab dalam berkontribusi untuk perbaikan, juga keselamatan planet bumi,
satu-satunya tempat kita tinggal.
Tanggungjawab dan komitmen tentang pewarisan lingkungan yang lebih baik ini ditegaskan atas niat
baik dan kesadaran yang serius.Presiden Susilo BambangYudhoyono dalam pertemuan dengan Masyarakat
Indonesia di Berlin sesudah menghadiri Conference of Parties (COP) 15 di Copenhagen, tahun 2009,
mengatakan, “Kalau global warming terus terjadi dan kenaikan suhu lebih dari 2°C, maka bisa dibayangkan
permukaan air laut bisa naik lebih dari 1½ meter setelah tahun 2050. Anak-cucu kita tidak bisa dijamin
keselamatan masa depannya,berapa ribu pulau harus tenggelam dan lenyap dari peta Indonesia.”
Atas kesadaran yang tinggi tentang tanggung jawab masa depan bangsa, maka Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono,pada tanggal 4 Juli 2008 memutuskan untuk mendirikan Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI),yang kemudian diketuai sendiri oleh Presiden.Keputusan ini menunjukkan sebuah political will
yang kuat dari Pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan kepada kemaslahatan global; kepada seluruh
umat manusia, bukan hanya kepentingan nasional. Prinsip ini tentunya dibekali visi yang jauh ke depan,
sebab masalah perubahan iklim adalah tantangan jangka panjang. Tantangan ini memerlukan keahlian
disertai kesabaran,terlebih ketika berhadapan dengan argumen berbagai bangsa di forum-forum negosiasi
international.
Seperti kita sadari, bahwa akar persoalan perubahan iklim sesungguhnya ada pada manusia.
“Perubahan iklim adalah problem yang dibuat oleh manusia, anthropogenic. Maka, manusia pulalah yang
seharusnya bertanggung jawab untuk menanggulanginya,” demikian kata Rachmat Witoelar, Ketua Harian
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam berbagai kesempatan. Ia memang selalu mengingatkan
pentingnya upaya penanggulangan perubahan iklim sebagai tanggung-jawab bersama umat manusia atas
alam kehidupan ini.
Sebab itulah, Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, berpendapat bahwa, keberhasilan
membawa isu perubahan iklim sebagai arus utama sudah tentu menjadi keharusan,karena perubahan iklim
sudah menjadi masalah umat semua bangsa di dunia. Balthasar Kambuaya menilai sangat penting peran
DNPI dalam negosiasi internasional perubahan iklim yang bergulir dengan cepat.
Dengan kata lain,DNPI menjadi penting dan strategis dalam upaya pengarusutamaan (mainstreaming)
isu perubahan iklim di Indonesia. “Jika dibandingkan sebelum tahun 2007, perubahan iklim kini menjadi
istilah yang sering sekali disebut dan orang jadi akrab dengan kata tersebut. Orang bahkan akrab sekali
dengan kata-kata ‘kita harus menurunkan emisi’,”tutur Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI.Menurutnya,
keberhasilan mengubah paradigma dan pemahaman tentang perubahan iklim memang sudah terjadi.
xi
Hal Depan.indd 13 8/2/13 10:46:44 AM
15. Pewarisan masa depan lingkungan yang lebih baik sesungguhnya bukan hanya merupakan tanggung
jawab sosial, melainkan juga tuntutan agama. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah,menjelaskan pentingnya menjaga keharmonisan iklim dan eksistensi manusia.Alam ini,ujarnya,
disebut kosmos. Lawannya chaos. “Alam itu kosmos, artinya indah dan teratur. Kalau toh menjadi chaos,
menurut ajaran agama,itu adalah karena kesalahan manusia.”Manusia harus menjaga harmoni dengan alam
agar kehidupan tertata dengan baik. Berbagai peristiwa kerusakan alam yang terjadi, menurut Komaruddin
Hidayat,merupakan indikasi kita tidak bisa mensyukuri dan mencintai apa yang kita peroleh dari alam.Hutan
contohnya,yang kita wariskan pada anak cucu adalah kerusakan yang menumpuk.Artinya,kita tidak berpikir
panjang. Di mana tanggung jawab kita? Itulah sebabnya ia mengajak kita untuk future oriented, bervisi ke
depan.Visioner,demi anak cucu.Anak cucu siapa?“Anak cucu bangsa!”tegasnya.
Anggota KomisiVII DPR-RI,SatyaWidyaYudha,menilai positif komitmen Indonesia terhadap perubahan
iklim, namun komitmen ini harus didukung oleh kebijakan anggaran yang terwujud dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tidak cukup hanya dilihat di Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) saja,melainkan harus tampak pada seluruh unsur-unsur yang mempunyai kebijakan lingkungan.
Anggaran di KLH dan DNPI saat ini,kata Satya WidyaYudha,“Sangat kecil.Sehingga niatan Pemerintah untuk
memajukan Indonesia untuk aplikasi green economy misalnya, masih jauh.” Keberpihakan anggaran yang
konkret akan mampu mewujudkan kebijakan-kebijakan perubahan iklim,misalnya,upaya mengurangi emisi
gas rumah kaca.“Isu perubahan iklim memang enak didengar dan diperbincangkan, tetapi begitu sampai
masalah anggaran, sulit direalisasikan,” sindir Satya. Bila semua sektor kementerian atau lembaga merasa
memiliki dan ikut peduli dengan tantangan perubahan iklim, maka tandasnya, check point-nya berada pada
Presiden sebagai Ketua DNPI. Presiden tinggal memeriksa berapa anggaran yang sudah dikeluarkan oleh
kementerian-kementerian itu untuk implementasi program-program perubahan iklim.
Peran DNPI sebagai koordinator seperti itu juga disoroti oleh Ketua Pusat Penelitian Perubahan Iklim
Universitas Indonesia, Jatna Supriatna. Ia melihat keberhasilan DNPI sebagai lembaga koordinator dapat
diukur pada keberhasilan pengarusutamaan isu perubahan iklim pada kementerian dan lembaga-lembaga
pemerintah.Masalahnya,kata Jatna Supriatna,“Kata-kata koordinasi itu susah diukur.Keberhasilannya ada di
mana? Keberhasilannya ada di kementerian atau lembaga yang dikoordinir oleh DNPI.Kalau kementeriannya
berhasil,berarti koordinasinya berhasil,artinya fungsi dan peran DNPI sebagai koordinator juga berhasil.”
Oleh karena itu, Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sependapat
dengan adanya upaya Indonesia – sebagai negara yang berperan penting dalam kancah negosiasi
internasional perubahan iklim – agar memiliki Undang-undang (UU) tentang Perubahan iklim. “UU
perubahan iklim menjadi satu langkah maju karena ada proses politik di dalamnya (eksekutif dan legislatif).
Tidak seperti sekarang,semua masih setengah kamar (eksekutif),artinya ganti presiden,ganti menteri,maka
tinggalmenunggudigantinyakebijakansetengahkamaritu.”Kerisauannyaberalasan,agaradaadakepastian
visi, misi, strategi anggaran, dan keberlanjutan eksistensi institusi terutama untuk menjawab tantangan
perubahan iklim ini.
Buku ini mengisahkan ulang dinamika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang telah mengemban
amanah dan berkiprah selama lima tahun sejak didirikan tahun 2008 hingga tahun 2013 ini. Dalam
pertumbuhan manusia,usia lima tahun sering dipandang sebagai“usia emas”,masa permulaan pertumbuhan
yang penting. Walaupun masih tergolong “balita” (bawah usia lima tahun), namun ternyata DNPI sudah
harus pandai berbagi dan berani mengambil tempat yang “pas” di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan
dinamika bangsa di tengah arus globalisasi. Buku ini secara sadar ingin menguatkan pendapat, bahwa
tantangan perubahan iklim merupakan tantangan kita kini, dan tanggung jawab untuk kehidupan masa
depan yang lebih baik. Bagaimanapun, pewarisan iklim dan lingkungan yang baik, merupakan prasayarat
bagi kemakmuran dan pendukung cita-cita dan peradaban kita sebagai bangsa.
Selamat membaca.
xii
Hal Depan.indd 14 8/2/13 10:46:44 AM
16. 1DNPI 5 TAHUN I
BAB I
COP 13 BALI
TONGGAK SEJARAH DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 1 8/2/13 10:32:22 AM
18. 3DNPI 5 TAHUN I
Bab.1 (17 x 25).indd 3 8/2/13 10:32:31 AM
19. 4 I DNPI 5 TAHUN
Dua puluh tahun yang lalu, kesadaran kolektif
pemimpin dunia tentang terjadinya krisis lingkungan
dan perubahan iklim, telah membawa semua
pemimpin bangsa bahu-membahu membicarakan
planet bumi.
Pertemuan tersebut dikenal dengan Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau “Earth Summit”,
membahas Lingkungan dan Pembangunan atau
United Nations Conference on Environment
Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, Juni
1992.
Pertemuan yang dihadiri 103 kepala negara/
pemerintahan tersebut menghasilkan dokumen tidak
mengikat (legally non–binding), seperti Deklarasi
Rio tentang pembangunan yang mencakup 27
prinsip, termasuk prinsip-prinsip kehutanan, dan
Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan
manakala dunia menghadapi abad ke-21. Selain
Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada tanggal 23
Agustus 1994 dan sebagai negara anggota PBB, Indonesia
berperan aktif dalam upaya perbaikan lingkungan global yang
juga berkaitan dengan tantangan lingkungan yang tengah
terjadi di dalam negeri.
bermula
dari Ktt Bumi
itu — yang sangat penting — pertemuan di Rio juga
mengumumkan kesepakatan tiga dokumen hukum
mengikat (legally binding),yaitu:
l Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati
(Convention on Biological Diversity /CBD)
l Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan
United Nations Convention on Combating
Desertification/UNCCD),dan
l Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim (United Nations Framework Convention
on Climate Change), yang lebih dikenal dengan
UNFCCC.
Di antara tiga konvensi tersebut,UNFCCC menjadi
konvensi yang paling sering mengadakan pertemuan
disebabkan perannya yang sangat penting dan
mendesak. Tujuan konvensi yang sangat krusial, yakni
menstabilkan iklim planet bumi, bukanlah merupakan
target yang mudah, melainkan sangat kompleks dan
sulit, sehingga dialog dan kesepakatan harus intensif
untuk dibahas. Pertemuan perwakilan negara-negara
penanda-tangan konvensi yang disebut “Parties”,
dilakukan setiap tahun. Hingga sekarang, Conference
of Parties (COP) telah mencapai fase ke-18, yaitu
COP-18yangdiadakandiDoha,Qatar,tahun2102.Tahun
ini, 2013, pertemuan COP ke-19, akan diadakan
di Warsawa, Polandia (Lihat Perjalanan Panjang
Menyelamatkan Bumi).
Keprihatinan dunia: mencairnya es di kutub utara.
Sumber:DokumentasiDNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 4 8/2/13 10:32:37 AM
20. 5DNPI 5 TAHUN I
Indonesia meratifikasi Perjanjian UNFCCC pada
tanggal 23 Agustus 1994 dan sebagai negara anggota
PBB, Indonesia berperan aktif dalam upaya perbaikan
lingkungan global yang juga berkaitan dengan
tantangan lingkungan yang tengah terjadi di
dalam negeri.
SejakUNFCCCmemulaipersidangandalamCOP1,
di Berlin, Indonesia telah terlibat aktif dalam
persidangan negosiasi iklim. Kegiatan-kegiatan
tersebut pada awalnya dikoordinasi oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH).Melihat tantangan perubahan
iklim yang kompleks, maka pemerintah Indonesia
manganggap bahwa perubahan iklim bukan hanya
tantangan lingkungan semata, melainkan tantangan
untuk pembangunan Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia selain terlibat dalam berbagai kegiatan upaya
penanggulangan lingkungan di dalam negeri,juga pro-
aktif dalam kepeloporan mencari solusi mengatasi
perubahan iklim global.
Puncak keterlibatan Indonesia sangat nyata
dalam COP 13/CMP 3 di Bali,Desember 2007.Indonesia
bukan hanya menjadi tuan rumah, tetapi mampu
menempatkan diri sebagai pimpinan agar para peserta
COP 13 mampu mengatasi deadlock dan menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan bertaraf internasional. Hasil
pertemuan Bali menjadi landasan penting bagi
perundingan-perundingan iklim berikutnya, antara
lain COP14/CMP4 di Poznan, Polandia, pada tahun
2008 dan perundingan di Copenhagen, Denmark,
pada tahun 2009 (COP15 /CMP5).
Conference of the Parties (COP) ke-13 itu juga
berfungsi sebagai Meeting of the Parties (CMP) ke-3,
yang membahas implementasi Protokol Kyoto.
Namun, hasil terpenting adalah dokumen yang
dinamakan Bali Road Map dan Bali Action Plan. Bali
Road Map merupakan dokumen yang menjembatani
proses-proses dan jalur-jalur perundingan untuk
mencapai mufakat-mufakat internasional lebih
lanjut. Bali Road Map juga dimaksudkan sebagai
kesepakatan perjanjian internasional pasca 2012,
di mana pada saat itu periode pertama Protokol
Kyoto berakhir. Adapun Bali Action Plan merangkum
kesepakatan Para Pihak mengenai substansi dan arah
masa depan perundingan perubahan iklim yang telah
diputuskan dalam COP-13 di Bali itu.Tidak kurang 15
dokumen tertuang dalam The Bali Action Plan, namun
secara garis besar dapat dikelompokkan atas empat
bagian besar, yaitu: adaptasi; mitigasi; teknologi
(untuk adaptasi dan mitigasi); serta pendanaan untuk
adaptasi dan mitigasi.
Tatapan penuh kepercayaan. Suasana COP13 Bali. Dari kiri ke kanan: Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono, dan Presiden COP13, Rachmat Witoelar.
Foto:Dokumentasi DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 5 8/2/13 10:32:44 AM
21. 6 I DNPI 5 TAHUN
PERJALANAN PANJANG
MENYELAMATKAN BUMI
2005
COP-11,diadakan di Montreal,Canada.
Protocol Kyoto mempunyai kekuatan
hukum 16 Februari 2005,pertama
kali Meeting of Parties to the Kyoto
Protocol (COP/CMP-1).2009
COP-15/ CMP-5.
Copenhagen Accord.
2011
COP-17/ CMP-9 Durban
menghasilkan Durban Platform.
2006
COP-12/ CMP-2 Nairobi
Adopsi rencana aksi 5 tahun untuk
mendukung adaptasi perubahan
iklim di negara berkembang,serta
bersepakat untuk modalitas dan
prosedur pendanaan adaptasi.
2010
COP-16/ CMP-8,Cancun
menghasilkan Cancun
Agreement.
2003
COP-9 di Milan,Italia.Para pihak
menyetujui tentang peran dan
prosedur untuk CDM.
2002
COP-8 diadakan di New Delhi,India
menghasilkan Deklarasi New Delhi.
2004
COP-10 dilaksanakan di Buenos Aires,
Argentina,Para pihak bersepakat
untuk menyelesaikan COP-9.
2012
COP-18/ CMP-8 Doha.Menghasilkan
Doha Gateway,Komitmen Periode II Kyoto
Protocol.
1979
Konferensi Iklim Pertama di
Dunia.Pemerintah diminta untuk
mengawasi perubahan iklim
yang berpotensi mengganggu
kesejahteraan manusia.
1988
WMO dan UNEP
mendirikan IPCC
(Intergovernmental
Panel on Climate
Change).
1987
Brundtland
Commission
Report.
2008
COP-14/ CMP-4 Poznan.
Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI)
dibentuk.
2007
COP-13/ CMP-3,Bali.Menghasilkan
Bali Road Map untuk rencana Kyoto
Protocol Pasca 2012.
Bab.1 (17 x 25).indd 6 8/2/13 10:32:58 AM
22. 7DNPI 5 TAHUN I
1990
Hasil kajian pertama laporan
IPCC dipublikasikan.
1995
Konferensi Para Pihak yang Pertama
(COP-1) di Berlin,mengadopsi
Mandat Berlin.Putaran negosiasi
baru yang mendorong adanya
sebuah protokol dan instrumen legal
lainnya.
1989
Resolusi Majelis Umum PBB
mengumumkan untuk KTT
yang membahas tentang
pembangunan dan lingkungan.
1991
Perwakilan dari 160 negara dan bangsa bernegosiasi
tentang isu-isu kunci:berkomitmen untuk target emisi.
Akan memberikan bantuan teknologi tranfer dan
pendanaan pada negara berkembang.
1994
UNFCCC berkekuatan hukum
pada 21 Maret 1994,pada tahun
2013 penanda tangan UNFCCC
menjadi 195 negara anggota.
1995
IPCC menyetujui Laporan Kajian
Kedua.Mengemukakan tentang
pentingnya kebijakan dan aksi
yang kuat.
1996
COP-2 di Jenewa mengeluarkan Deklarasi Para Menteri,yang menganjurkan suatu
langkah untuk melakukan negosiasi.Langkah mengikat secara hukum untuk
menurunkan emisi,akan dibahas pada COP berikutnya.
1998
COP-4 pertemuan di Buenos Aires
mengadopsi Buenos Aires Plan
of Action yang dirancang untuk
program mengoperasikan secara
detail Protokol Kyoto.
1997
COP-3 di Kyoto mengadopsi Kyoto
Protocol sebagai sebuah protokol
untuk UNFCCC.
1999
COP-5 di Bonn menargetkan
pencapaian terukur sesuai mandat
COP-6 agar Kyoto Protocol
berkekuatan hukum (entry into
force).
1992
UNFCCC dibuka untuk
ditanda tangani pada
KTT Bumi (Rio Earth
Summit)
2000
COP-6 di Den Haag gagal bersepakat
mengambil keputusan di bawah Rencana
Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan
of Action).
2001
COP-6 part II (atau COP-6b) di Bonn.Para
pihak mengadosi perintah Bonn (Plann
Agreements),mendaftarkan konsensus
politik atau isu-isu kunci di bawah
Buenos Aires Plan of Action.Para pihak
juga menyelesaikan sejumlah keputusan
yang detail namun masih menyisakan
beberapa sisa kesepakatan.
2001
COP-7 Marrakesh memfinalkan
dan mengadopsi hasil
keputusan COP-6b disebut
Marrakesh Accords.
Bab.1 (17 x 25).indd 7 8/2/13 10:33:01 AM
23. 8 I DNPI 5 TAHUN
Perhelatan akbar tentang iklim yang dihadiri dan
disaksikan oleh 15 ribu peserta dari 190 negara itu,
membawa makna mendalam atas prestasi kepedulian
Indonesia pada perubahan iklim. Persidangan
berakhir dengan diketuk palu dan diluncurkannya
‘Bali Roadmap’ atau Peta jalan Bali dan Bali Action Plan,
yang terkenal itu.
Rachmat Witoelar selaku Presiden COP 13/
CMP 3, menyampaikan pidato penutup, “We have a
Roadmap! I am delighted to say that we have finally
Tepuk tangan membahana di ruang sidang COP 13/CMP-3,
di Hotel Westin Bali. Wajah-wajah ceria dan penuh kepuasan
tergambar pada para delegasi yang berunding secara maraton
selama hampir dua minggu, karena alot dan rumitnya
perundingan tersebut.
dari bali
untuk bumi
achieved the breakthrough the world has been waiting
for: the Bali Roadmap!” katanya mengawali pidato
penutupan. Rachmat kemudian mengucapkan terima
kasih atas keberhasilan sidang perundingan. Ia juga
menyampaikan penghargaan atas upaya keras para
delegasi, terutama Delegasi Republik Indonesia (DELRI),
para pihak yang intensif terlibat terutama Menteri
Luar Negeri Indonesia Dr. Nur Hassan Wirayuda, juga
perhatian khusus dari Sekjen PBB Ban Ki Moon, dan
tentu saja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
memberikan perhatian penuh selama persidangan,dari
awal sampai akhir.
Tentu saja, di pihak penyelenggara — tuan
rumah Indonesia — wajah-wajah lelah tergambar
sangat jelas. Begitu pula gambaran keletihan tampak
pada anggota DELRI. Kerut di dahi bertambah terlipat.
Letih dan agak pucat karena kurang tidur, sudah pasti.
Namun, perjalanan penyelenggaraan Bali COP 13/CMP
3,membawa kepuasan dan kenangan tersendiri.
Usai sidang yang gegap gempita itu, Rachmat
Witoelar dan Agus Purnomo, segera naik ke lantai lima
Hotel Westin, Bali, melapor kepada Presiden. Laporan
disampaikan dengan penuh kegembiraan dan diterima
Plenary Hall UNFCCC COP 13 Bali. Foto:Dokumentas DNPI
Bali, 15 Desember 2007
Bab.1 (17 x 25).indd 8 8/2/13 10:33:14 AM
24. 9DNPI 5 TAHUN I
oleh Presiden dengan baik. Presiden pun memberi
sejumlah petunjuk arahan. Menutup pembicaraan,
Presiden SBY menyampaikan kata-kata penting yang
akan menjadi embrio berdirinya DNPI, “Saya akan
bentuk suatu komisi atau dewan tentang perubahan
iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi ini.”
Dari sanalah DNPI kemudian dibentuk, tepatnya
4 Juli 2008. Tak bisa dipungkiri keputusan Presiden
SusiloBambangYudhoyonomendirikandanmemimpin
DNPI menunjukkan perhatian beliau yang begitu besar
dan serius dalam upaya penanggulangan perubahan
iklim.
Untuk menyelenggarakan roda organisasi, DNPI
dijalankan oleh seorang Ketua Harian, yaitu Rachmat
Witoelar yang waktu itu juga menjabat sebagai Menteri
Lingkungan Hidup. Suatu kekhasan tersendiri bagi
DNPI,dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.46/2008
tentang pembentukan DNPI, nama Rachmat Witoelar
disebutkan sebagai Ketua Harian. Uniknya lagi, dalam
DNPI, Menteri Lingkungan Hidup duduk sebagai
anggota, bersama dengan menteri-menteri anggota
yang lainnya.
Keunikan ini mungkin dapat juga disetarakan
dengan portofolio negara lain yang memberikan
perhatian dan porsi besar dengan membentuk
kelembagaan tentang iklim. Australia, misalnya,
mengangkat menteri khusus untuk perubahan iklim,
selain menteri lingkungan. Demikian pula Denmark,
menteri lingkungannya diberi jabatan baru sebagai
menteri perubahan iklim dan energi.
Liputan harian Nusa Bali tentang keberhasilan COP 13. Presiden menyalami Sekjen PBB Ban Ki-Moon, disaksikan Rachmat
Witoelar, Agus Purnomo, dan Amanda Katili. Sumber: Dokumentasi DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 9 8/2/13 10:33:34 AM
25. 10 I DNPI 5 TAHUN
Terkait kiprah utamanya,sesuai dengan mandat
Peraturan Presiden No. 46/2008, tugas umum DNPI
adalah:
a. Merumuskan kebijakan nasional,strategi,program
dan kegiatan pengendalian perubahan iklim;
b. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan
tugas pengendalian perubahan iklim yang
meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi
dan pendanaan;
c. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme
dan tata cara perdagangan karbon;
d. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi
implementasi kebijakan tentang pengendalian
perubahan iklim;
e. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong
negara-negara maju untuk lebih bertanggung
jawab dalam pengendalian perubahan iklim.
Dengan wewenang itulah, DNPI memainkan
peran penting selama lima tahun dari sejak berdirinya
2008 hingga 2013. Niat Presiden SBY untuk tetap
mengawal hasil-hasil negosiasi sejak dari COP 13 Bali
tahun2007,mendorongIndonesia,melaluiDNPI,selalu
terlibat aktif dalam upaya menanggulangi tantangan
perubahan iklim. Lambat laun keberadaan DNPI
sangat dirasakan sebab peran dan keberhasilannya
dalam menjembatani, mengkoordinasikan dan
membantu kapasitas perubahan iklim di berbagai
sektor, serta perannya sebagai koordinator nasional
dalam menghadapi perundingan internasional
perubahan iklim,kian meningkat.
Tercatat pula dalam prakteknya, DNPI berperan
antara lain menjadi national focal point UNFCCC
Gembira bercampur lega, COP 13 Bali berlangsung sukses:
Rachmat Witoelar disalami oleh Emil Salim
Foto:Dokumentasi DNPI
Keramahan dan kehangatan khas Indonesia: Presiden
Yudhoyono menuangkan air minum untuk Sekjen PBB Ban
Ki-Moon dalam sidang COP 13 Bali. Foto:Dokumentasi DNPI
untuk perubahan iklim sejak tahun 2008, karena isu
perubahan iklim merupakan tantangan multisektoral
yang dapat melibatkan berbagai kementerian dan
lembaga, misalnya Kementerian ESDM, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Luar
Negeri dan kementerian serta lembaga terkait lain.
Oleh karenanya, peran DNPI dalam koordinasi dan
menjembatani isu perubahan iklim, adalah sangat
penting dilakukan. Selain itu, dalam pasar karbon,
DNPI bertindak sebagai administratur yang bertugas
mendukung, memfasilitasi dan mengatur berbagai
inisiatif, termasuk ketika pasar karbon diprediksi sangat
lesu pada periode Kyoto Protocol Kedua. Disebabkan
pasar melemah, maka DNPI dapat melakukan insiatif
problem solving, misalnya menerobos kerja sama
bilateral (Lihat Prospek Pasar Karbon dalam Protokol
Kyoto Jilid II).
Perhatian Presiden SBY
Kesadaran penuh untuk menurunkan emisi
gas-gas rumah kaca di atmosfer mengharuskan
keterlibatan seluruh sektor terkait dari kementerian
maupun lembaga. Oleh karena itu, keterwakilan
Indonesia dalam forum perubahan iklim perlu
melibatkan kementerian/lembaga terkait. Indonesia,
sebelumnya memang cukup diperhitungkan dalam
kancah dialog dan kepemimpinan dalam bidang
lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup Kabinet
Pembangunan Bersatu Jilid I periode 2004-2009,
Bab.1 (17 x 25).indd 10 8/2/13 10:33:42 AM
26. 11DNPI 5 TAHUN I
Rachmat Witoelar, bahkan sempat ditunjuk sebagai
President Governing Council United Nations Environment
Programme (UNEP) yang berbasis di Nairobi. Posisi ini
pernahdijabatolehProf.EmilSalim,salahseorangmantan
Menteri Lingkungan Hidup RI,yang juga pernah menjadi
President Governing Council (GC) - UNEP di samping
menjadi anggota World Comission on Environment
(1985-1987).Terpilihnya Indonesia sebagai Presiden GC-
UNEP memberikan beberapa keuntungan, antara lain
kemudahanIndonesiamendapatkanberbagaidukungan
internasional berupa pendanaan, pengembangan
sumber daya manusia, maupun teknologi pelestarian
lingkungan hidup,serta terbukanya sejumlah kerja sama
dan koordinasi yang sangat dibutuhkan sejalan dengan
berlaku efektifnya Protokol Kyoto.
Dari tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali selama
sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor
ke Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan
dukungan, turut berada di Pulau Dewata tersebut
“Saya akan bentuk suatu komisi atau dewan tentang
perubahan iklim untuk mengawal hasil–hasil konferensi
ini.” Foto:Dokumentasi DNPI
Indonesia dipastikan
mempunyai kesempatan
untuk menjadi negara pelopor
yang pada gilirannya dapat
mengangkat nama baik dan
harkat bangsa.
Menonjolnya kepemimpinan Indonesia di
bidang lingkungan tersebut,menyebabkan negara ini
kemudian diminta untuk menjadi tuan rumah COP-13,
Bali. Peristiwa penting konferensi iklim yang dihadiri
oleh lebih dari 15.000 peserta dan peninjau dari
berbagai negara tersebut, telah membawa Indonesia
pada kancah perundingan iklim secara intensif.
Bagi Indonesia, pertimbangan untuk menjadi
tuan rumah pun tidak mudah. Keberhasilan penye
lenggaraan konferensi Iklim ini akan membawa nama
baik Indonesia jika berhasil, tetapi sebaliknya apabila
gagal. Tak urung pertimbangan untuk mengemban
posisi tuan rumah pun melibatkan proses di dalam
negeri yang cukup panjang.
Karena hal ini menyangkut Indonesia di mata
dunia, maka Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
pun mulai terlibat. Agus Purnomo, ketua organizing
committee COP 13 tahun 2007 yang kini menjabat Staf
KhususPresidenBidangPerubahanIklim,menuturkan,
penyelenggaraan KTT iklim di Bali,mempunyai makna
strategis. Pertama, tentang keseriusan Indonesia
terlibat aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Dalam upaya ini, Indonesia dipastikan mempunyai
Bab.1 (17 x 25).indd 11 8/2/13 10:33:48 AM
27. 12 I DNPI 5 TAHUN
kesempatan untuk menjadi negara pelopor yang pada
gilirannya dapat mengangkat nama baik dan harkat
bangsa. Kedua, karena diadakan di Bali, diharapkan
akan membantu peningkatan promosi dan citra wisata
di Pulau Dewata tersebut, terutama karena Bali pada
saat itu baru kena imbas Bom Bali.
Kehadiran KTT Iklim COP 13, menjadikan Bali
sebagai headline yang disiarkan CNN setiap jam untuk
meliput perjalanan sidang.“Jadi UNFCCC COP-13 juga
menjadi obat bagi industri pariwisata Indonesia,”tutur
Agus Purnomo.Demikian pentingnya acara ini,Presiden
SBY berkenan mengikuti perkembangan persidangan
dari dekat, sehingga Presiden berkantor di Bali. Dari
tigabelas hari persidangan, Presiden berada di Bali
selama sepuluh hari. Beliau memindahkan kantor ke
Bali dan hampir seluruh menteri kabinet memberikan
dukungan,turut berada di Pulau Dewata tersebut.
Persidangan COP 13, menghasilkan beberapa
kesepakatan penting antara lain yang disebut dengan
Bali Action Plan. Kesepakatan Bali ini sangat penting
sehingga proses negosiasi tentang perubahan iklim
berikutnya selalu merujuk pada butir-butir Bali
Action Plan tersebut. Melihat hal ini, Presiden SBY
mempertimbangkan tentang peran penting Indonesia
dalam kepeloporan untuk penanggulangan tantangan
iklim.
Di sela-sela kesibukan COP 13 Bali, Presiden SBY dan Ibu Ani menyempatkan menerima rombongan Bicycle for Earth Goes to
Bali. Mereka bersepeda selama 21 hari (11 November – 27 Desember 2007) menempuh 1.447 km dari Jakarta ke Bali, dalam
rangka sosialisasi COP 13 ke tengah-tengah masyarakat. Foto:Dokumentasi DNPI
Presiden Yudhoyono mempertimbangkan tentang peran
penting Indonesia dalam kepeloporan untuk penanggulangan
tantangan iklim
Bab.1 (17 x 25).indd 12 8/2/13 10:33:52 AM
28. 13DNPI 5 TAHUN I
B
ali Action Plan merupakan tonggak
sejarah penting proses negosiasi dalam
upaya penanggulangan perubahan iklim.
Hasil yang dibahas dalam negosiasi tersebut
mencakup beberapa tema,yaitu:
A. VISI BERSAMA UNTUK AKSI TINDAK LANJUT
DALAM KERJA SAMA JANGKA PANJANG
Rencana ini antara lain mengetengahkan visi
bersama untuk tujuan jangka panjang global dalam
upaya mengurangi emisi gas rumah kaca guna
mencapai tujuan utama konvensi.Adapun tujuan ini
harus mempertimbangkan dan memperhitungkan
prinsip tanggung jawab bersama dan kewajiban
yang berbeda (common but differentiated
responsibilities), serta kemampuan negara masing-
masing.
B. EMPAT ‘BUILDING BLOCK’ PENTING DALAM
BALI ACTION PLAN
Bali Action Plan menancapkan tonggak
penting yang dikenal sebagai ‘building block’, yaitu:
adaptasi,mitigasi,transferteknologidanpendanaan,
termasuk juga shared vision (visi bersama) dalam
upaya menurunkan emisi global.
Adaptasi:
Melibatkan kerja sama internasional dalam
menguji dan mendukung aneka tindakan adaptasi,
mengingat kebutuhan yang mendesak dari negara
berkembang terutama sekali untuk negara-negara
miskin atau Least Developed Countries (LDCs), dan
negara kepulauan kecil atau Small Island Developing
States (SIDS),serta negara-negara negara Afrika.
Mitigasi:
Para pihak telah menyepakati untuk
mempertimbangkan elemen-elemen berikut:
● komitmen aksi mitigasi yang memadai atau
tindakan aksi, termasuk penghitungan batasan
emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dan usaha yang
bertujuan untuk menurunkan emisi yang harus
dilakukan oleh seluruh negara maju;dan
● aksi-aksi mitigasi oleh negara negara berkembang
yang tergabung sebagai Para Pihak yang
didukung dan dimungkinkan oleh teknologi,
sumber pendanaan dan pembangunan kapasitas.
TransferTeknologi:
Mekanisme yang efektif alih teknologi dari
negara maju ke negara berkembang, serta
upaya meningkatkan sumber daya yang mampu
mengurangi hambatan ketersediaan pendanaan
untuk mendorong agar negara-negara berkembang
dapat mengakses teknologi ramah lingkungan
dengan harga terjangkau.
Pendanaan:
Bantuan pendanaan sangat diperlukan dalam
upaya mengurangi gas rumah kaca dan membantu
negara berkembang untuk beradaptasi menghindari
dampak perubahan iklim.
Bali Action Plan
Bab.1 (17 x 25).indd 13 8/2/13 10:34:00 AM
29. 14 I DNPI 5 TAHUN
Pertimbangan yang strategis inilah yang
kemudian mendorong Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk membuat lembaga khusus yang
menangani perubahan iklim. Belum hilang rasa lelah,
setelah berhasil menyelenggarakan COP 13, Presiden,
sebagaimana dituturkan oleh Agus Purnomo,
Melihat keberhasilan COP 13, dan kepemimpinan Indonesia
yangmenemukanmomentumpositifdalamnegosiasiperubahan
iklim, maka muncul pertanyaan, “Mungkinkah Indonesia di
tingkat Internasional dapat memimpin isu climate change ini?”
memberikan arahan, “Bikin lembaga perubahan iklim
dan akan dipimpin sendiri oleh Presiden.” Lembaga itu
tentu unik,pertama karena“mengurusi iklim”,dan kedua
akan dipimpin langsung oleh Presiden.Dibuatlah proses
pembahasan untuk merealisasikannya.
Serangkaian proses administrasi dan yuridis
pun dipersiapkan. Kontak antara tokoh-tokoh COP
13, tokoh KLH, dan Sekretariat Negara berlangsung
intensif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan
turut ambil bagian mencoret dan mengoreksi sendiri
rancangan perpres (Peraturan Presiden) untuk
diperbaiki, disempurnakan dan akhirnya Presiden pun
tanda tangan.
Hasilnya adalah sebuah Peraturan Presiden
(Perpres) No. 46/2008, tentang Pendirian DNPI. Dewan
pendirian
DNPI
di balik gagasan
Bali COP 13 memperkuat posisi Indonesia dalam
negosiasi iklim internasional. Foto:Dokuementasi DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 14 8/2/13 10:34:05 AM
30. 15DNPI 5 TAHUN I
Presiden Yudhoyono mempimpin rapat DNPI di istana, 30 September 2011 Foto:Dokumentasi DNPI
ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia
dengan dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian. Di samping itu, keanggotaan
DNPI juga diperkuat oleh 17 Menteri terkait dan satu
kepala Badan yang duduk sebagai anggota.
Jika ditilik dari alasan strategis, setidaknya ada
alasan kuat mengapa Presiden melihat DNPI penting
untuk didirikan. Pertama, Presiden melihat berdirinya
DNPI merupakan satu dari sedikit kemungkinan
Indonesia bisa mengambil peran di dunia Internasional.
Dan langkah ini tepat, disebabkan track record
Indonesia dalam kepeloporan kepemimpinan
perubahan iklim tingkat dunia, termasuk dalam
penanganan REDD dan isu iklim yang lainnya, tak
diragukan lagi. Kepercayaan itu terus berlanjut.
Terbukti, tahun 2013 ini Presiden SBY kembali
dipercaya menjadi ketua bersama panel tingkat
tinggi PBB untuk Millenium Development Goals
(MDGs). Ketua Bersama adalah sebuah panel kolektif,
dalam hal ini Presiden SBY berada di jajaran penting
dalam forum MDGs bersama dengan Presiden Liberia
Ellen Johnson Sirleaf dan Perdana Menteri Inggris
David Cameron.
Dewan ini Ketuanya adalah Presiden Republik Indonesia dengan
Dua Wakil Ketua, yakni Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
Di samping itu, keanggotaan DNPI juga diperkuat oleh
17 Menteri terkait dan satu kepala Badan yang duduk
sebagai anggota.
Bab.1 (17 x 25).indd 15 8/2/13 10:34:06 AM
31. 16 I DNPI 5 TAHUN
Dapat disimpulkan, gagasan Presiden SBY
bahwa Indonesia harus memimpin dalam perubahan
iklim itu merupakan keputusan strategis yang tepat,
jikapun tidak bisa dikatakan genius, yang membawa
bangsa Indonesia berperan besar dan penting dalam
kancah kepemimpinan perubahan iklim di tingkat
internasional.
Selain itu, alasan kedua, sejak tahun 2008,
DNPI pula yang menjadi katalisator antarsektor
yang melibatkan sektor dari kementerian lain dalam
upaya-upaya negosiasi perubahan iklim. Jadi,
pendirian DNPI merupakan gambaran serius
niat pemerintah dalam upaya menanggulangi
perubahan iklim, baik dalam skala nasional maupun
global. Karena kompleksitas masalah dan tantangan
iklim melibatkan berbagai sektor yang berbeda,
maka diperlukan sebuah tim yang kuat dalam upaya
melaksanakan tugasnya menjadi penanggungjawab
sekaligus koordinator penanggulangan perubahan
iklim secara nasional.
Track record Indonesia dalam kepelopran kepemimpinan perubahan iklim tingkat dunia, tak diragukan lagi:
Presiden Yudhoyono dalam COP 15 Copenhagen tahun 2009. Foto:Dokumentasi DNPI
Jadi, pendirian DNPI merupakan gambaran serius
niat pemerintah dalam upaya menanggulangi perubahan iklim
Bab.1 (17 x 25).indd 16 8/2/13 10:34:08 AM
32. 17DNPI 5 TAHUN I
K
ompleksitas dan tantangan perubahan iklim, menjadikan DNPI sebuah lembaga yang
mempunyai mandat koordinasi lintas sektoral. Dalam Perpres nomor 46 tahun 2008 diatur
mengenai Struktur DNPI,diketuai oleh Presiden RI dengan Wakil Ketua 1 Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Wakil Ketua 2 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.Adapun
anggota-anggota DNPI, Menteri dari 17 Kementerian dan satu Kepala BMKG, sebagai berikut: :
1. Menteri Sekretaris Negara
2. Menteri Sekretaris Kabinet
3. Menteri Negara Lingkungan Hidup
4. Menteri Keuangan
5. Menteri Dalam Negeri
6. Menteri Luar Negeri
7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
8. Menteri Kehutanan
9. Menteri Pertanian
10. Menteri Perindustrian
11. Menteri Pekerjaan Umum
12. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS
13. Menteri Kelautan dan Perikanan
14. Menteri Perdagangan
15. Menteri Negara Riset dan Teknologi
16. Menteri Perhubungan
17. Menteri Kesehatan
18. Kepala Badan Meteorologi,Klimatologi,dan Geofisika (BMKG)
Dalam melaksanakan tugasnya DNPI dipimpin oleh Ketua Harian merangkap anggota, Rachmat
Witoelar. Perpres 46 tahun 2008 mengatur adanya enam Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat,
yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok Kerja Adaptasi
2. Kelompok Kerja Mitigasi
3. Kelompok Kerja Alih Teknologi
4. Kelompok Kerja Pendanaan
5. Kelompok Kerja Post Kyoto 2012
6. Kelompok Kerja Kehutanan dan Alih Guna Lahan.
Sekretariat DNPI dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat. Untuk mendukung tugas pokok DNPI,
maka Sekretariat DNPI didukung oleh beberapa Divisi sebagai berikut:
1. Divisi Administrasi Umum
2. Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon
3. Divisi Komunikasi,Informasi,Edukasi
4. Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset
5. Divisi Monitoring dan Evaluasi
DNPI dalam melaksanakan kegiatannya mendapatkan dukungan pendanaan negara melalui
AnggaranPendapatandanBelanjaNegaraKementerianLingkunganHidup(KLH).Dalamadministrasi
anggaran,DNPI merupakan salah satu Satuan Kerja (Satker) di dalam KLH.
Tujuh Belas Kementerian
dan Satu Lembaga Memperkuat DNPI
Bab.1 (17 x 25).indd 17 8/2/13 10:34:10 AM
33. 18 I DNPI 5 TAHUN
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
DAN KELEMBAGAN PERUBAHAN IKLIM
1994
Undang-undang No.6/1994,
Ratifikasi Konvensi PBB untuk
Perubahan Iklim (UNFCCC)
1999
Komunikasi Nasional Pertama
(National Communication)
yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan
Hidup
1997
Revisi Undang-undang
23/1997 menjadi
Undang-undang 32/2009
yang memasukkan isu
perubahan iklim dalam
pengelolaan lingkungan
2004
Undang-undang no.17/2004,
ratifikasi Kyoto Protocol
2010
Pengiriman Komunikasi
Nasional ke Dua,oleh KLH.
2005
Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup nomor
206/2005,tentang Komisi
Nasional Mekanisme
Pembangunan
Bersih (PNPB)
2011
Dikeluarkan Perpres No.
61 Tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi GRK
(RAN - GRK).
2007
Penerbitan Rencana Aksi
Nasional untuk Perubahan
Iklim (RAN – PI), oleh KLH
2009
Masuk dalam Rencana Program
Jangka Menengah 2009-2014
(RPJM 2009-2014),Bappenas.
2011
Dikeluarkan Perpres No.71
Tentang Penyelenggaraan
GRK Inventarisasi Nasional.
2010
Keputusan Presiden tentang
Satgas Persiapan Pembentukan
kelembagaanREDD+
2008
Peraturan Presiden No
46/2008, tentang Dewan
Nasional Perubahan Iklim
(DNPI)
Bab.1 (17 x 25).indd 18 8/2/13 10:34:18 AM
34. 19DNPI 5 TAHUN I
BAB II
tentang
perubahan iklim
Bab.2 (17 x 25).indd 19 8/2/13 10:39:54 AM
35. 20 I DNPI 5 TAHUN
Foto:DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 20 8/2/13 10:39:57 AM
36. 21DNPI 5 TAHUN I
Tiada badai,
tiada topan kau temui...
Ikan dan udang
menghampiri dirimu...
Koes Plus, 1973
“Bila ingin mengenang bagaimana bumi yang
stabil,barangkali masa yang paling ideal kondisi
bumi adalah seperti digambarkan oleh Koes Plus
pada masa tahun 1970 atau 80-an.
”Tiada badai,tiada topan kau temui...”
Bab.2 (17 x 25).indd 21 8/2/13 10:40:00 AM
37. 22 I DNPI 5 TAHUN
Kalau ditanyakan kepada orang tua dahulu,
mereka akan bernostalgia dan bertutur, jika anda
ke Bogor atau Bandung di tahun 1970an niscaya
harus menggunakan baju tebal atau sweater, dari
pagi hingga menjelang tengah hari. Sebab udara
sangat sejuk, apalagi kawasan sekitar Puncak, menuju
Bandung,di kiri-kanan,hutannya masih lebat.
“Bogor sudah jarang hujan dan udaranya pun seringkali panas
terik. Walau di malam hari angin berhembus sedikit sejuk,
tetapi tidak seperti dahulu. Bogor tidak sejuk lagi.”
musim yang semakin
tak menentu
Hujan turun di Bogor hampir setiap hari, karena
itu Bogor disebut kota hujan. Pemerintah Kolonial
Belanda, berhasil mengoleksi tanaman-tanaman
beriklim tropis dari berbagai hutan Sumatera dan
Kalimantan, dan menanamnya di Kebun Raya Bogor,
karena curah hujan yang tetap tinggi. Bogor kala itu,
sejuk dan nyaman dengan ketinggian 200 sampai 330
meter di atas permukaan laut.Temperatur udara Bogor,
berkisar paling rendah 20º
C, sedangkan rata-ratanya
adalah 26º
C, kelembaban mencapai 70%, curah hujan
tiap tahun cukup tinggi. Namun sekarang, Bogor tidak
sejuk seperti dulu lagi.“Bogor sudah jarang hujan dan
udaranya panas terik. Di malam hari angin berhembus
sedikit sejuk, tetapi tidak seperti dahulu. Kota Bogor
tidak sejuk lagi,”tulis Parlin Nainggolan, seorang warga
IbukotayangmenulistentangkondisilingkunganBogor
saat ini di sebuah media online.
Rekahan tanah sawah yang retak
Foto:DokumentasiDNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 22 8/2/13 10:40:07 AM
38. 23DNPI 5 TAHUN I
Bab.2 (17 x 25).indd 23 8/2/13 10:40:16 AM
39. 24 I DNPI 5 TAHUN
Itulah kondisi lokal yang sekarang kita rasakan.
Pola hujan di sebagian wilayah Indonesia sudah
mengalami perubahan. Di beberapa wilayah, awal
musimhujanadayangmundurdanadapulayangmaju.
Tercatat bahwa curah hujan di bagian selatan ekuator
— Jawa dan kawasan Indonesia Bagian Timur —
cenderung meningkat, sementara curah hujan musim
kemarau cenderung menurun. Selain itu, kemarau
di wilayah ini cenderung lebih lama. Fenomena
lingkungan seperti ini memberikan petunjuk bahwa
perubahan iklim nyata adanya. Namun, manusia ada
yang sadar dan banyak yang tidak mengetahuinya,
karena perubahan iklim berjalan sangat lamban,
sedikit demi sedikit dan bersifat global.
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam
jangka yang sangat panjang, antara 50 sampai 100
tahun, dan mencakup kawasan yang luas. Pergeseran
cuaca yang berkaitan erat dengan fenomena iklim ini
telah disadari sejak lama oleh para ilmuwan.Demikian
pula kerap terjadi perubahan iklim yang sontak dan
radikal yang dapat mengganggu kehidupan,misalnya
cuaca ekstrem, hujan badai dan angin puting beliung,
termasuk juga El Nino dan La Nina.
Daniel Murdiyarso, peneliti senior pada Center
for International Forestry Research (CIFOR) dan Guru
Besar Ilmu Atmosfer, Institut Pertanian Bogor (IPB)
menuliskan, “Karena iklim juga menjadi suatu ciri
fisik suatu kawasan, maka jika terjadi perubahan,
dampaknya terhadap komponen-komponen biotik
(hidup) dan abiotik (tak hidup) akan sangat luas.
Boleh jadi, perubahan itu bersifat permanen karena
hilangnya komponen penting dalam kawasan,
misalnya hutan sebagai ekosistem atau spesies yang
ada di dalam ekosistem hutan tersebut.” Oleh karena
itu, dampak perubahan iklim dianggap sangat
fatal dan mengerikan, karena manusia tidak bisa
mengembalikan (irreversible), apabila iklim berubah.
Para ahli kemudian melihat gejala perubahan iklim
secara lebih serius dan mengadakan pertemuan
dalam konferensi iklim pertama pada tahun 1979,
di Jenewa, Swiss. Pertemuan ilmiah tersebut pada
akhirnya membicarakan tantangan global kondisi iklim
dan kemudian menghasilkan deklarasi yang meminta
pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi
perubahan iklim.
Sejak saat itu isu-isu tentang perubahan iklim
globalterusdidengungkan,utamanyaolehtigalembaga
internasional terkemuka, yaitu: Badan Meteorologi
Dunia atau the World Meteorological Organization
(WMO), Badan PBB yang menangani program
lingkungan atau the United Nations Environment
Programme (UNEP) dan Dewan Internasional
Perhimpunan Ilmiah atau the International Council of
Scientific Unions (ICSU). Di bawah badan-badan itu,
konferensi perubahan iklim mendapat perhatian dan
melibatkan pemerintahan di seluruh dunia.
Salahsatumomentumpentingadalahpadatahun
1988, ketika The Toronto Conference on the Changing
Atmosphere yang mengundang perdebatan masyarakat
global lebih dari 340 peserta konferensi yang berasal
dari 46 negara, bersepakat membuat sebuah kerangka
konvensi dunia untuk melindungi atmosfer.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1990, WMO
bersama-sama dengan UNEP menerbitkan laporan
tentang kenaikan temperatur dunia sejak seratus tahun
sebelumnya, yaitu setelah terjadinya revolusi industri
pada abad 18. Laporan tersebut kemudian diadopsi
oleh panel ahli perubahan iklim antarpemerintah
(Inter-governmental Panel on Climate Change, IPCC)
melaluilaporanpertamanya,theFirstAssessementReport
(FAR). Dokumen inilah yang pada akhirnya mendasari
terbentuknya sebuah konvensi internasional yang
disebut dengan United Nations Framework Convention
on Climate Change yang biasa disingkat UNFCCC pada
tahun 1992.
Dampak perubahan iklim dianggap sangat fatal dan
mengerikan, karena manusia tidak bisa mengembalikan
(irreversible), apabila iklim berubah
Bab.2 (17 x 25).indd 24 8/2/13 10:40:17 AM
40. 25DNPI 5 TAHUN I
Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim.Beberapa wujud,
di antaranya pasang tinggi, abrasi kian cepat,
musim tak terprediksi, serta panen ikan merosot.
Nelayan Krui,Lampung Barat,punya kisah.Nelayan generasi sekarang tak bisa menebak musim. Dulu nenek
moyang mereka paham betul isyarat langit,posisi bintang.Hanya dengan membaca posisi bintang selatan
(berbentuk ikan pari),mereka mengetahui awal musim barat dan timur.
Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2008 menunjukkan,
hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau 6 bulan.
Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.
Kisah nelayan di atas sejalan dengan analisis Badan Meteorologi,Klimatologi,dan Geofisika (BMKG).
”Kondisi berubah di laut empat tahun terakhir dan itu merata,”
kata Edvin Aldrian,Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG.
(Sumber:KOMPAS,Kamis 3 Desember 2009)
Apakah perubahan iklim itu nyata?
Simak kata para nelayan ini:
Melaut pun Surut
Bab.2 (17 x 25).indd 25 8/2/13 10:40:20 AM
41. 26 I DNPI 5 TAHUN
MANUSIA &
Planet Bumi yang kini dihuni oleh tujuh miliar
manusia ini, merupakan satu-satunya planet yang
sangat ideal untuk kehidupan. Suhu rata-rata global
bumi adalah 150
C. Kondisi ini terjadi karena bumi
dilapisi oleh atmosfer yang ideal. Atmosfer yang
letaknyaditepipermukaanbumiadalahibaratselimut.
Lapisan yang berada di kulit terluar bumi ini berasal
dari gas yang sering disebut ‘gas-gas rumah kaca’
(GRK) dalam konsentrasi yang memadai. Gas rumah
kaca yang tetap memelihara kehidupan tersebut
merupakan‘selimut’yang selalu menghangatkan.
Pemanasan global terjadi akibat gas-gas
Efek rumah kaca terjadi ketika energi dari sinar matahari tiba
di permukaan Bumi, dan menghangatkan bumi. Ketika itu,
permukaan Bumi akan menyerap panas, namun sebagian
panas memantulkan kembali sisanya
Manusia & GAS-GAS
Rumah kaca
rumah kaca (GRK) semakin hari semakin menumpuk
dan mempertebal selimut bumi tersebut. Kenaikan
konsentrasi gas-gas rumah kaca akan membuat selimut
bumi bertambah tebal, dan panas yang seharusnya
keluardariatmosfersebagianlebihbanyakterperangkap
dan kembali ke bumi.Ibarat berada di rumah kaca,bumi
akanmengalamikenaikansuhuakibatbanyaknyapanas
—yangberasaldarisinarmatahari—terperangkapoleh
selimut atmosfer yang semakin tebal oleh penumpukan
gas-gas rumah kaca.
Lebih jelasnya, efek rumah kaca terjadi ketika
energi dari sinar matahari tiba di permukaan Bumi, dan
menghangatkan bumi.Ketika itu,permukaan Bumi akan
menyerap panas, namun sebagian panas memantulkan
kembali sisanya.Tidak semua panas menghilang,karena
sebagian tetap terperangkap di atmosfer bumi.
Banyaknya panas yang terperangkap ini adalah akibat
menumpuknya jumlah gas gas rumah kaca antara lain
uap air, karbon dioksida dan metana yang menjadi
“selimut” sehingga sukar ditembus. Kondisi inilah yang
mengakibatkan permukaan bumi semakin panas.
Analoginya adalah seperti kita tidur dengan selimut
tanpa pendingin udara.Semakin tebal selimutnya,maka
akan semakin panas suhu udara yang kita rasakan.
Sumber:DokumentasiDNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 26 8/2/13 10:40:22 AM
42. 27DNPI 5 TAHUN I
Peternakan adalah salah satu
penyumbang terbesar emisi gas
rumah kaca
Foto: Murni Titi Resdiana
Bab.2 (17 x 25).indd 27 8/2/13 10:40:24 AM
43. 28 I DNPI 5 TAHUN
Penambangan batu bara
pembangkit listrik
bahan bakar fosil/
Batubara
proses industri
industri peternakan
Bab.2 (17 x 25).indd 28 8/2/13 10:40:32 AM
44. 29DNPI 5 TAHUN I
lapisan Es Mencair
pembakaran ladang
KEbakaran hutan
pembuangan sampah
transportasi darat
transportasi UDARA
pemupukan
produksi minyak
dari mana gas rumah kaca
berasal?
Ilustrasi diadopsi dari Al Gore,Our Choice (2011)
Bab.2 (17 x 25).indd 29 8/2/13 10:40:40 AM
45. 30 I DNPI 5 TAHUN
Enam jenis Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat
menimbulkan pemanasan global dan dibicarakan di
UNFCCC adalah: karbon dioksida (CO2
), metan (CH4
),
nitrat oksida (N2
O), dan gas-gas yang mengandung
fluor,seperti hydrofluorocarbon (HFCs),perfluorocarbon
(PFCs),dan sulphurhexafluorida (SF6
).Dari keenam gas-
gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida mengambil
porsi terbesar, yaitu sekitar 75%. Oleh karena
itulah maka jumlah GRK selalu disetarakan dengan
kandungan CO2
yang ada di atmosfer.
Ke-enam jenis gas rumah kaca tersebut
mempunyai daya potensi penyebab pemanasan
global (global warming potential-GWP) yang berbeda-
beda. Karbon dioksida, walaupun jumlahnya paling
Ini juga berarti bahwa mengurangi emisi gas metana
sebanyak 1 ton setara dengan mengurangi emisi
karbondioksida sebanyak 21 ton.
Singkatnya, dalam bahasa sederhana,
sesungguhnya pemanasan global terjadi akibat proses
penebalan atmosfer di permukaan bumi dikarenakan
konsentrasi gas-gas rumah kaca yang terus bertambah
akibat ulah manusia dan menjadi polusi yang terus
membumbung ke udara. Sayangnya, kegiatan manusia
yang dianggap menjadi biang keladi pemanasan
global tersebut merupakan penunjang vital di zaman
modern ini, misalnya pembangkit energi listrik, industri,
pertanian,pemanfaatan hutan,dan transportasi.
Karbon dioksida merupakan polutan utama yang
kita harus menjaga konsentrasi karbon dioksida pada
konsentrasi tidak melebihi 450 bagian persejuta volume CO2
(ppm), supaya tidak menimbulkan dampak negatif
perubahan iklim
banyak, ternyata adalah gas rumah kaca (GRK) dengan
daya potensi penyebab pemanasan global terendah
dibandingkan dengan lima jenis GRK lainnya. Jika
membandingkan karbondioksida GWP = 1, maka
metana mempunyai GWP sebesar 21. Berarti 1 ton
metana mempunyai potensi penyebab pemanasan
global 21 kali lebih kuat daripada 1 ton karbondioksida.
paling umum masuk ke atmosfer akibat pembakaran
batu bara (atau pembangkit energi yang berasal dari
bahan fosil lain) untuk pembangkit listrik. Selama ini,
Indonesia sangat bergantung pada bahan bakar minyak
dan gas (BBM),yaitu energi yang juga berasal dari bahan
fosil.
Dalam upaya mencegah terjadinya perubahan
iklim yang berkelanjutan, para ilmuwan terkemuka
mengatakan, bahwa kita harus menjaga konsentrasi
karbon dioksida pada konsentrasi tidak melebihi 450
bagian persejuta volume CO2
(ppm), supaya tidak
menimbulkan dampak negatif perubahan iklim.
Dalam skenarionya para ahli menjelaskan bahwa
bila konsentrasi CO2
yang ada di atmosfer melebihi
450 ppm, maka akan terjadi kenaikan suhu udara lebih
dari dua derajat celcius, yaitu ambang batas kenaikan
temperatur di atmosfer yang memungkinkan makhluk
hidup di bumi masih dapat bertahan hidup dengan baik
dan aman. Kenaikan di atas angka tersebut dianggap
akan menimbulkan bencana kehidupan di muka
bumi. Masalahnya adalah, kenaikan konsentrasi GRK
Jenis-jenis gas rumah kaca dan GWP
(GlobalWarming Potential).
Dalam 100Tahun
Jenis
Karbondioksida (CO2)
Metana (CH4)
Nitroksida (N2O)
Perfluorokarbon (PFCs)
Hydrofluorokarbon (HFCs)
Sulfur heksafluorida (SF6)
Potensi Pemanasan
Global (GWP)
1
21
310
6500 – 9200
140 – 11.700
23.900
Bab.2 (17 x 25).indd 30 8/2/13 10:40:41 AM
46. 31DNPI 5 TAHUN I
ini bagaikan deret ukur sejak seratus tahun terakhir,
mengkhawatirkan bagi kehidupan.
Masadepansemuamakhlukdibumiakansangat
suram apabila tidak ada tindakan berarti dalam upaya
menahan-atau biasa diistilahkan dengan mitigasi-laju
emisi GRK yang terus meningkat.Laporan Bank Dunia
(2012),memberikan gambaran,bahwa jika kita (warga
bumi) tetap tidak melakukan tindakan apa-apa atau
BusinessAsUsual(BAU) maka akan terjadi peningkatan
suhu hingga 4°C, dan hal ini akan mengakibatkan
dampak yang mengerikan: kota-kota pesisir terancam
banjir, produksi pangan terancam turun yang tentu
saja akan meningkatkan kasus malnutrisi disebabkan
banyak kawasan kering yang akan semakin kering,
dan kawasan basah menjadi lebih basah. Selain itu
dampak buruk lain dapat terjadi dengan banyaknya
kawasan yang akan mengalami gelombang panas,
terutama di daerah tropis: banyak kawasan akan
mengalami kelangkaan air, siklon tropis akan semakin
seringdankeanekaragamanhayati,termasukekosistem
terumbu karang yang menjadi tempat tinggal ikan,pun
terancam punah. Hal ini tentunya akan berpengaruh
besar pada perekonomian negara termasuk Indonesia.
(Lihat:Dampak Perubahan Iklim di laut Nusantara)
Hasil pengamatan atas konsentrasi GRK yang
dimonitor di Gunung Mauna Loa di Hawaii pada bulan
Mei 2013 lalu telah mencapai 400 ppm. Konsentrasi ini
meroket melampaui hampir tujuh ppm, dari 393,14
ppm pada bulan Januari satu tahun sebelumnya, dan
lima ppm dari angka 395,55 pada Januari 2013 (Gambar
2). Maka upaya berbagai negara sekarang adalah
bagaimana mencegah emisi yang terus berlanjut dan
upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk
mengurangiemisikarbondioksidadanemisigasrumah
kacayanglainnya.Olehkarenaitulahmakakesepakatan
UNFCCC sangat penting untuk terus dijalankan.
para ahli menjelaskan bahwa bila konsentrasi CO2
yang
ada di atmosfer melebihi 450 ppm, maka akan terjadi kenaikan
suhu udara lebih dari dua derajat celcius
Gambar 2: Grafik Konsentrasi CO2
di Mauna Loa Observatory, Hawaii Mei 2013.
Konsentrasi GRK mencapai 400 ppm
TAHUN
PPM
Juni2013
Sumber:maunaloa.com
Bab.2 (17 x 25).indd 31 8/2/13 10:40:42 AM
47. 32 I DNPI 5 TAHUN
Perkembangan Laporan Ilmiah
Penjelasan tentang terjadinya fenomena
perubahan iklim dibuktikan secara ilmiah. Saat ini,
telah tergabung sekitar 2.500 orang pakar dan peneliti
di seluruh dunia yang bekerjasama bahu membahu
dalam Inter-govermental Panel on Climate Change
(IPCC) yang terlibat meneliti tentang perubahan
iklim. IPCC adalah badan ilmiah yang tugas utamanya
melakukan kajian hasil-hasil riset tentang informasi
teknologi, sosial dan ekonomi yang terkait dengan
perubahan iklim di seluruh dunia.
Pada dasarnya IPCC tidak memonitor data
atau parameter perubahan iklim. IPCC juga tidak
mengeluarkan rekomendasi aksi untuk menghadapi
perubahan iklim, akan tetapi IPCC melakukan analisa,
kajian dan membeberkan fakta-fakta tentang sebab
akibat yang akan terjadi terkait dengan perubahan
iklim. Para ilmuwan IPCC melaporkan hasil analisanya
kepadaparaanggotanya,yangsaatiniberjumlahlebih
dari 190 negara. Laporan IPCC disampaikan secara
berkala setiap lima sampai tujuh tahun sekali. Namun
di antara jangka waktu tersebut, atas permintaan
UNFCCC, IPCC juga mengeluarkan beberapa laporan
khusus yang disebut Special Report, misalnya Special
Report on LULUCF,Technical Paper,dll.Laporan terakhir
IPCC, Assessment Report 4 (AR4) diterbitkan dalam
tahun 2007, dan saat ini masih menunggu AR5 yang
rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2014. Peran
IPCC sangat krusial dan kredibel, oleh karena itu
lembaga tersebut menjadi tulang punggung basis
ilmiah yang kemudian digunakan sebagai pijakan
untuk berbagai kegiatan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim di seluruh dunia.
Menurunkan yangTerlanjur
Naik
Sumber emisi gas gas rumah kaca (GRK)
sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia
di atas permukaan bumi, yang berasal dari sektor
industri, energi, transportasi, pertanian, kehutanan,
pertambangan, dan yang lainnya. Emisi ini disebut
dengan anthropogenic emission. Ketergantungan
manusia pada sektor energi, seperti listrik, industri
dan kendaraan bermotor berbahan dasar fosil,
mengakibatkan sekitar 80% sumber emisi dunia berasal
dari bahan bakar fosil (fossil fuels burning). Sedangkan
sisanya sebesar lebih kurang 20%, dikarenakan oleh
kegiatan alih guna lahan dan degradasi di kehutanan.
Dari 20% ini, kegiatan pembukaan lahan dan hutan
sebagian besar terjadi di kawasan hutan hujan tropis
yangmerupakan75%bagianaktivitasdiwilayahini.Oleh
karena Indonesia merupakan negara yang memiliki luas
hutan tropis terbesar ketiga di dunia, maka perhatian
dunia juga banyak tertuju kepada Indonesia.
Pemanasan global terjadi, dan cenderung
meningkat dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian
mendorong para pihak di United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) secara rutin
melakukan rangkaian perundingan perubahan iklim.
Tujuan UNFCCC tertuang dalam Pasal 2 konvensi
perubahan iklim tersebut,yaitu:
“Tujuan akhir dari konvensi ini dan instrumen legal
yang diadopsi oleh Para Pihak adalah dalam upaya
mencapai, sesuatu yang relevan dengan tujuan konvensi
yaitu, menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK)
di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah bahaya
akibatulahmanusia(antropogenik)terhadapsistemiklim.
Tingkat konsentrasi GRK tersebut, harus dicapai dalam
jangkawaktuyangefisienyangmemungkinkanekosistem
dapatberadaptasisecaraalamiterhadapperubahaniklim,
memastikan bahwa produksi pangan tidak terancam dan
memungkinkan pembangunan ekonomi dapat berjalan
secara berkelanjutan.”
Berdasarkan pada konvensi tersebut,maka tujuan
konvensi adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer.
Dengan kata lain, pada hakekatnya semua negara
Pihak yang meratifikasi konvensi dan tergabung dalam
UNFCCC berusaha untuk mencari solusi terhadap tiga
sekitar 80% sumber emisi dunia berasal dari bahan
bakar fosil (fossil fuels burning)
Bab.2 (17 x 25).indd 32 8/2/13 10:40:44 AM
48. 33DNPI 5 TAHUN I
hal:Pertama,mencaricarabagaimanamengurangiemisi
global secara ambisius dan signifikan dari berbagai
kegiatan manusia (ambisius target of anthropogenic
emissionreductionbysources)agarkonsentrasiGRKsetara
CO2
yangadadiatmosfertidakmelebihi450ppm.Kedua,
mengupayakan peningkatan kapasitas serapan karbon
dari atmosfer (increasing capacity of carbon removal by
sinks)yangdapatdilakukandenganintervensiteknologi,
dukungan kebijakan,dan peraturan-peraturan.Ketiga,
menambah dan memelihara/mempertahankan daya
simpan GRK yang berhasil diserap (increasing and
conserving carbon sink and storage) melalui berbagai
inisiatifkegiatankonservasi,mitigasidanadaptasi,dan
juga melibatkan intervensi teknologi dan kebijakan.
Ketiga tujuan di atas, menjadi bahan dalam upaya
perundingan iklim antar bangsa.
Bab.2 (17 x 25).indd 33 8/2/13 10:40:48 AM
49. 34 I DNPI 5 TAHUN
Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia pada
umumnya diindikasikan dengan adanya perubahan
terhadap temperatur harian rata-rata, pola curah
hujan,tinggi muka laut,dan variabilitas iklim,misalnya
El Nino dan La Nina. Perubahan ini memberikan
dampak yang serius terhadap berbagai sektor di
Indonesia, termasuk sektor kesehatan, pertanian,
perekonomian, dan lain-lain. Beberapa kajian yang
dilakukan oleh berbagai institusi baik dari dalam
maupun luar negeri menunjukkan bahwa iklim di
Dunia pertanian mengalami gangguan langsung akibat
perubahan musim yang tidak menentu
Benarkah ada
perubahan Iklim?
Indonesia telah mengalami perubahan sejak tahun
1960, meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya
masih terbatas.
Kajian DNPI
DNPI telah melakukan kajian di Provinsi Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Kepulauan Riau
danmenemukanadanyapeningkatansuhu,curahhujan
dan Tinggi Muka Air Laut (TMAL). Berdasarkan catatan
DNPI,di Sumatera Utara dalam 100 tahun terakhir telah
terjadi peningkatan suhu sebesar 0,3o
C di sebagian
wilayah Sumatera Utara.Adapun laju peningkatan curah
hujan secara umum berkisar antara 0,02 mm hingga 0,4
mm pertahun, dengan laju tertinggi terjadi di bagian
Pantai Barat.
Berdasarkan analisis Tinggi Muka Air Laut (TMAL)
dengan menggunakan skenario kenaikanTMAL +19 cm
untuk tahun 2025 dan TMAL +38 cm untuk tahun 2050,
kawasan ini tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap kehilangan wilayah pesisir.
Selain itu, untuk Sulawesi Selatan, dari
kecenderungan observasi tanpa mempertimbangkan
kontribusi peningkatan laju emisi gas rumah kaca
(GRK), rata-rata peningkatan suhu udara di kawasan ini
diproyeksikan sebesar 0,2°C pada tahun 2020 dan 0,7°C
pada tahun 2050. Sementara, dengan pertimbangan
Pohon meranggas bukan pada waktunya
Foto:DokumentasiDNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 34 8/2/13 10:40:52 AM
50. 35DNPI 5 TAHUN I
Foto:BMKG (atas), Puncak Jaya1936 difoto oleh JJ Dozy 1936,USGS (kiri bawah),
Pemandangan Puncak Jaya sekarang 2012,oleh BMKG (kanan bawah)
adanya laju emisi GRK, maka rata-rata perubahan suhu
pada tahun 2020 dan 2050, dapat mencapai 0,44°C dan
1,02°C.
Menurut analisis pola curah hujan di Sulawesi
Selatan yang menggunakan data 37 stasiun hujan,
analisis tren curah hujan tahunan di Sulawesi Selatan
menunjukkan adanya peningkatan sekaligus
penurunancurahhujandistasiunyangberbeda(Lihat:
Petani Bingung Musim).Kisaran laju TMAL di Sulawesi
Selatan sebesar 5,5 mm per tahun, dengan asumsi
bahwa laju tersebut konsisten tanpa pertimbangan
skenario perubahan emisi dan perubahan iklim,maka
Mencairnya salju di puncak Pegunungan Jayawijaya, Papua
Bab.2 (17 x 25).indd 35 8/2/13 10:40:54 AM
51. 36 I DNPI 5 TAHUN
diproyeksikan akan terjadi peningkatan TMAL lebih
dari 50 cm dalam 100 tahun ke depan.
Lain lagi hasil Kajian DNPI di Provinsi Gorontalo
dan Sulawesi Utara yang menunjukkan adanya tren
peningkatan curah hujan. Peningkatan curah hujan
dengan periode pengamatan tahun 2001 – 2009
menunjukkan laju sebesar 49,4 mm per tahun. Data
observasistasiuniklimdiGorontaloperiodetahun1973
– 2009 tidak menunjukkan adanya tren peningkatan
suhu nyata, namun peluang kejadian suhu ekstrem
cukup besar di mana pada periode tahun 2000 – 2009
peluang kejadian suhu ekstrem di atas 35o
C, cukup
tinggi dibanding periode tahun sebelumnya.
Dengan pertimbangan adanya laju emisi GRK,
rata-rata perubahan suhu di Provinsi Gorontalo pada
tahun 2020 dan 2050, masing-masing mencapai
0,43o
C dan 1,0o
C dan untuk skenario dengan emisi
GRK,yaitu 0,49o
C dan 1,39o
C.Adapun laju peningkatan
TMAL rata-rata seluruh Sulawesi sekitar 6,3 mm per
tahun. Khusus untuk Provinsi Gorontalo, terpetakan
mengalami laju peningkatan TMAL rata-rata sebesar
6,7 mm per tahun.
Peningkatan temperatur rata-rata harian
berpengaruh secara signifikan terhadap pola curah
hujan yang pada umumnya ditentukan oleh sirkulasi
monsun Asia dan Australia. Dengan sirkulasi monsun,
Indonesia memiliki dua musim utama yang berubah
setiap setengah tahun sekali (musim penghujan
dan musim kemarau). Perubahan temperatur rata-
rata harian juga dapat mempengaruhi terjadinya
perubahan pola curah hujan secara ekstrem. UK Met
Office mencatat adanya kekeringan maupun banjir
yang parah di sepanjang tahun 1997 hingga 2009.
Analisis data dari satelit TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) dalam ICCSR (Indonesian Climate
Change Sectoral Roadmap; Bappenas, 2010) untuk
periode tahun 2003-2008 memperlihatkan adanya
peningkatan peluang kejadian curah hujan dengan
intensitas ekstrem, terutama di wilayah Indonesia
bagian barat (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) serta
Papua. Salah satu fenomena yang mengkonfirmasikan
terjadinya peningkatan temperatur di Indonesia adalah
melelehnya es di Puncak Jayawijaya,Papua.
Di samping mengakibatkan terjadinya kekeringan
atau banjir yang ekstrem, peningkatan temperatur
permukaan atmosfer juga menyebabkan terjadinya
peningkatan temperatur air laut yang berujung pada
ekspansi volume air laut dan mencairnya gletser serta es
pada kutub.Pada tahap selanjutnya,tinggi muka air laut
mengalami kenaikan yang berisiko terhadap penurunan
kualitas kehidupan di pesisir pantai. Secara global,
kenaikan rata-rata tinggi muka laut pada abad ke-20
tercatat sebesar 1,7 mm per tahun, namun kenaikan
tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia
yang diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan
tinggi muka laut yang tidak seragam dapat berpengaruh
pada pola arus laut. (lihat: Perubahan Iklim dan Laut
Nusantara).
Selain perubahan terhadap pola arus, kenaikan
tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan
potensi terjadinya erosi, perubahan garis pantai,
mereduksi wetland (lahan basah) di sepanjang pantai,
dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap aquifer
daerah pantai.Perubahan iklim di Indonesia berdampak
cukup besar terhadap produksi bahan pangan, seperti
jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor
kelautan (ikan maupun hasil laut lainnya) diperkirakan
akan mengalami penurunan yang sangat besar dengan
adanya perubahan pada pola arus, temperatur, tinggi
muka laut,umbalan,dsb.Dampaknya,Indonesia bahkan
digolongkan berada pada peringkat sembilan dari 10
negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan
pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor
perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Sedangkan
akibat dampak perubahan iklim dan pengasaman laut
(ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil
laut,Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara
paling rentan berdasarkan kajian yang sama.
Perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia
dan diketahui menimbulkan dampak multisektor
Bab.2 (17 x 25).indd 36 8/2/13 10:40:56 AM
52. 37DNPI 5 TAHUN I
Kekeringan dan Banjir
Kajian mengenai kekeringan di Indonesia akibat
perubahan iklim terutama pada skala nasional masih
kurang. Namun peluang banjir di Indonesia akan
meningkat seiring dengan peningkatan pada tinggi
muka laut, intensitas gelombang ekstrem, curah hujan
yang sangat tinggi dan kejadian La Nina. Bencana
banjir yang ekstrem utamanya akan terjadi pada daerah
pesisir yang umumnya merupakan lokasi kota-kota
strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini membawa
dampak yang buruk bagi jalannya perekonomian serta
ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Dari beberapa kajian yang telah ada hingga
saat ini, beberapa indikator menunjukkan bahwa
perubahan iklim sudah berlangsung di Indonesia.
Perubahan tersebut diketahui memberikan dampak
multisektor meskipun kajian maupun data yang
tersedia masih terbatas. Di samping itu, proyeksi
iklim selalu mengandung ketidakpastian. Tantangan
terbesar adalah bagaimana melakukan kuantifikasi
terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan
kedayagunaannya dalam pengambilan keputusan.
Pada dasarnya, perubahan iklim bukan
merupakan penyebab tunggal dari bencana alam
yang saat ini semakin sering terjadi,namun perubahan
iklim berkontribusi dalam membuat fenomena atau
bencana alam hidro-meteorologi ini menjadi ekstrem
atau luar biasa.Pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa kajian tentang perubahan iklim yang dapat
menjadi titik awal dari suatu program yang bermanfaat
bagi penguatan basis ilmiah perubahan iklim yang
terkoordinasi bagi sektor-sektor yang ada di Indonesia.
Mencegah banjir merupakan keharusan karena bukan hanya berdampak ekologis, melainkan mulisektor dan berantai
Foto:Dokumentasi DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 37 8/2/13 10:41:00 AM
53. 38 I DNPI 5 TAHUN
petani bingung musim
D
unia pertanian mengalami gangguan
langsung akibat perubahan musim yang
tidak menentu. Klimatolog dari Universitas
Lampung, Tumiar Katarina Manik, seperti dikutip
Antara (30 Juni 2012),mengatakan perubahan iklim
yangterjadisaatinimembuatpetanibingunguntuk
menentukan pola tanam.
“Iklim sekarang ini tidak seperti dulu.
Sebelumnya pasti setiap enam bulan sekali musim
kemarau dan hujan, sehingga musim tanam dapat
terpola dengan baik,”ujarnya.Dikatakannya bahwa
musim kemarau yang terjadi adalah kemarau basah.
Fenomena ini ditandai dengan masih turunnya
hujan saat musim kemarau, namun intensitasnya
rendah,tidak sesering pada saat musim hujan.
R
anggu (52 tahun), seorang petani yang
beradajauhdiNgataTompu,SulawesiTengah,
menuturkan panen jagungnya gagal akibat
cuaca dan musim yang tidak menentu.“Kami gagal
panen karena kami tidak memahami pola musim.
Kami memang biasa menghitung, tapi siklus musim
sekarang tidak bisa dipastikan,“ katanya.Ranggu dan
para petani di kawasan itu kerap salah menghitung,
kapan harus memulai bercocok tanam.
”Padamulanyakamimenduga,musimkemarau
pendek saja, ternyata yang terjadi musim kering
yang berkepanjangan. Walaupun saya memakai
perhitungan dengan melihat bintang, panen tetap
gagal. Saya bingung kenapa musim berubah-ubah
seperti ini?”keluh Laciu,petani lain kawan Ranggu di
Ngata Tompu.
Petani galau menentukan pola tanam, panen gagal
Sumber:DNPI
Ranggu (52 tahun) petani di desa Ngata Tompu,
Sulawesi Tengah, mengeluhkan panen jagungnya
yang gagal akibat musim yang tidak menentu.
Foto:Dokumentasi DNPI
J
atna Supriatna, akademisi dari UI mengata-
kan, dampak perubahan iklim pada sektor
pertanian bukan hanya menimpa pertanian
padi, tetapi juga sektor-sektor lain, misalnya per
kebunan cocoa, manggis, dan lain-lain. Baru-baru
iniJatnamendapatkankabarbahwadiTasikmalaya,
kampung asal-usulnya, perkebunan-perkebunan
manggis di sana terkena dampak perubahan iklim
yang luar biasa. Manggis Tasik terkenal berukuran
besar, berkualitas baik dan merupakan komoditas
ekspor.Tahun ini (2013), pekebun di sana hanya bisa
mengekspor 40% karena produksinya kecil-kecil,
tidak memenuhi standar ekspor.Kemudian ada suatu
riset untuk mengantisipasinya, sehingga mereka
berharap banyak pada musim hujan. Ternyata pada
waktu musim hujan, bunga-bunga manggis gugur.
Perkebunan mereka betul-betul hancur. Mereka
tidak bisa antisipasi,mereka tidak siap.
Bab.2 (17 x 25).indd 38 8/2/13 10:41:02 AM
54. 39DNPI 5 TAHUN I
Petani galau menentukan pola tanam, panen gagal
Sumber:DNPI
P
erubahan iklim merupakan fenomena evolu
sioner yang berjalan lamban. Perubahan yang
terjadi tidak dijumpai dalam waktu pendek,
lima atau sepuluh tahun,tetapi gejala tersebut dapat
dibaca dalam puluhan bahkan ratusan tahun.Adapun
kuncinya adalah akibat adanya emisi gas-gas rumah
kaca yang semakin mempertebal ‘selimut bumi’.
Panas di bumi semakin banyak terperangkap dan
mengakibatkan suhu meningkat. Lazimnya, panas
matahari kembali ke udara,namun kini terperangkap
lebih banyak di permukaan bumi. Akibat atmosfer
diselimuti oleh gas rumah kaca yang semakin
menebal,maka suhu bumi semakin meningkat.
Proses penebalan atmosfer yang diakibatkan
oleh gas karbon dioksida (CO2) yang disebabkan
oleh bahan bakar berasal dari fosil, nampak terjadi
sejak dimulainya revolusi industri abad ke-18 dan
awal abad ke-19. Kala itu, revolusi industri bergerak
karena pembakaran mesin industri termasuk kereta
uap yang menggunakan banyak sekali batubara.
Penggunaan batubara sebagai pembangkit energi
masih berjalan hingga sekarang.Batubara digunakan
sebagai pembangkit listrik untuk menggerakkan
industri di berbagai negara. Kebutuhan energi yang
besar, memaksa industri untuk terus menggunakan
bahan bakar berbasis fosil, termasuk bahan bakar
minyak, seperti solar dan premium. Maka, emisi GRK
semakin menumpuk.
Kejadian pelepasan emisi, diperparah lagi oleh
Perubahan Iklim
adalah Akibat Ulah Manusia
lepasnya kemampuan tumbuhan dan lahan-lahan
yang ditebang, sebab dengan cara ini, kemampuan
daya serap karbon (sequestrasi) akan lenyap. Maka
karbon dioksida pun semakin menebal di atmosfer.
Indikasi penebalan gas rumah kaca tercatat dengan
semakin meningkatnya tumpukan CO2 dari
hanya 300ppm selama 800 ribu tahun, kemudian
meningkat drastis menjadi 350 ppm bahkan
sekarang menjadi 400 ppm pada Mei 2013 ini (lihat:
Manusia dan Gas gas Rumah Kaca). Maka sangatlah
jelas, bahwa perubahan iklim disebabkan oleh
manusia (antropogenik), dan pada tempatnyalah
masalah tersebut harus diselesaikan oleh manusia.
Hasil penelitian para ilmuwan IPCC dalam
Assessement Report Empat (AR4) tahun 2007
selama berpuluh tahun tentang perubahan iklim,
menyimpulkan:
Most of the observed increase in globally
averaged temperatures since the mid-20th century
is very likely due to the observed increase in
anthropogenic greenhouse gas concentrations.
(Dari hasil observasi temperatur global rata-
rata sejak abad 20,maka kemungkinan yang terjadi
adalah akibat karena adanya kenaikan konsentrasi
gas-gas rumah kaca yang dibuat manusia.)
Dalam terminologi IPCC, apabila dikatakan,
“very likely” artinya probabilitas kejadiannya lebih
dari 90 persen, sedangkan bila dikatakan “likely”
berarti probabilitasnya lebih dari 66 persen.
Pembalakan liar menyebabkan
kerusakan alam Sumber:DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 39 8/2/13 10:41:12 AM
55. 40 I DNPI 5 TAHUN
Akhir-akhir ini, kerap dijumpai berita bencana
dengan tajuk seperti: “Gelombang Tinggi, Nelayan
Tidak Melaut,” atau “Angin Puting Beliung Merusak
Puluhan Rumah.” Tidak kalah pentingnya, sepanjang
waktu,dari tahun ke tahun semakin sering kita jumpai
bencana banjir yang parah dan membawa korban,
juga kekeringan yang panjang. Fenomena bencana,
dan kejadian-kejadian ekstrem di atas merupakan
fakta atas terjadinya perubahan iklim.
Peningkatan intensitas pemanasan global,
memicu kenaikan suhu permukaan, tinggi muka
laut, dan mencairnya es baik di Antartika maupun
di Greenland. Di samping berdampak langsung
Berkaitan dengan kenaikan suhu iklim global maka dampaknya
adalah intensitas siklon tropis kuat menjadi tinggi.
perubahan iklim
dI laut
nusantara
terhadap kenaikan tinggi muka laut, pemanasan
global juga menyebabkan terjadinya perubahan iklim,
yang berdampak pada sektor kesehatan, pertanian,
kehutanan (karena dapat mengakibatkan kebakaran),
dan transportasi. Beberapa kejadian cuaca ekstrem
beberapa tahun terakhir ini, dipastikan akibat
pengaruh pemanasan global yang semakin meningkat.
Pemanasan global yang intensif mengakibatkan
intensitas terjadinya El Nino dan La Nina semakin
meningkat (Timmermann et al.,1999; Timmerman
2001). El Nino adalah sebuah fenomena musim
kering (kemarau) yang sangat panjang sehingga
mengakibatkan gagal panen atau kesulitan memulai
musim tanam, serta kebakaran hutan. Sedangkan La
Nina,adalahkondisicurahhujanmengalamipeningkatan
yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan banjir dan
juga gagal panen.
Torrence and Compo (1999), mencatat, bahwa
pada umumnya El Nino terjadi antara dua tahun sampai
tujuh tahun sekali, tetapi sejak tahun 1970, frekuensi
El Nino dan La Nina menjadi dua tahun sampai empat
tahun. Tahun 1997-1998, Indonesia berpengalaman
buruk dengan El Nino, ketika hampir seluruh negeri
mengalamimusimkeringyangpanjang,mengakibatkan
Sumber:Dokumentasi DNPI
Bab.2 (17 x 25).indd 40 8/2/13 10:41:22 AM
56. 41DNPI 5 TAHUN I
Rob di Jakarta Utara Foto:Dokumentasi DNPI
puluhan juta hektar hutan terbakar dan mengakibatkan
kegoncangan stok pangan akibat gagal panen. Adapun
saat La Nina tahun 1999,Indonesia mengalami kenaikan
curah hujan yang tinggi, air laut naik setinggi 20 cm
sampai 30 cm, menyebabkan banjir di sebagian besar
wilayah Indonesia,terutama di wilayah pesisir.
Berkaitan dengan kenaikan suhu iklim global
maka dampaknya adalah intensitas siklon tropis kuat
menjadi tinggi. Adapun rata-rata kekuatan siklon tropis
di Samudera Atlantik, menguat dengan kecepatan
peningkatan angin maksimum sebesar 0,4m/detik/
tahun (Elsner et.al, 2008). Webster dan kawan-kawan
(2005) menjelaskan bahwa meningginya frekuensi dan
intensitas dari siklon terkuat tahunan disebabkan oleh
pemanasan global. Ilmuwan ini juga mencatat bahwa
jumlah dan durasi hari kejadian siklon menurun di
semua samudera selama satu dekade terakhir ini,kecuali
di Atlantik Utara. Belum terdapat kejelasan tentang
mekanisme fisis penyebab menurunnya jumlah dan
durasi hari kejadian siklon tersebut. Namun, kedua
ilmuwan di atas berpendapat,bahwa hal ini mungkin
disebabkan oleh lebih banyaknya tahun-tahun El
Nino dibandingkan dengan La Nina pada beberapa
dekade terakhir ini.
Gelombang Pasang dan
Kenaikan Permukaan Laut
Dalam hal fenomena gelombang pasang,
telah dipahami bahwa secara global, kenaikan
tinggi muka laut (TML) terjadi sekitar 3,1mm/tahun,
sementara rata-rata kenaikan tinggi muka laut pada
abad ke-20 hanya 1,7mm/tahun. Penyebabnya, lebih
dari sepertiga tingkat kenaikan permukaan laut
diakibatkan oleh mencairnya es baik di Greenland,
Antartika maupun es glacier. Beberapa riset terakhir
menunjukkan bahwa proses mencairnya es semakin
Bab.2 (17 x 25).indd 41 8/2/13 10:41:43 AM
57. 42 I DNPI 5 TAHUN
meningkat seiring dengan makin intensifnya
pemanasan global. Apabila proses pemanasan dan
mencairnya es berlangsung seperti pada lima tahun
terakhir ini, maka diprediksi kenaikan tinggi muka
air laut pada tahun 2100 akan berkisar antara 80 cm
sampai 180 cm (Vermeer and Rahmstorf,2009).
Iklim di Indonesia pada dasarnya ditentukan
oleh apa yang disebut sirkulasi monsun (monsoon)
Asia dan Australia, yang mempunyai karakter
perubahan arah sistem angin dekat permukaan,
hampir sekitar setengah tahun sekali. Perubahan
tersebut menyebabkan pula peralihan musim yang
utama, yakni musim penghujan dan musim kemarau.
Dalam literatur, mengenai monsun Asia (misalnya,
Johnson, 1992), dikenal dengan adanya summer
monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan
winter monsoon dalam periode Desember-Januari-
Februari (DJF). Periode ini kurang lebih sama dengan
apa yang dikenal masyarakat awam di Indonesia
dengan istilah “musim Timur“, yang identik dengan
musim kemarau dan “musim Barat“ untuk musim
penghujan (khususnya di Pulau Jawa).
Analisis awal terhadap data tersebut
menunjukkan bahwa pada periode monsun Asia
rata-rata tinggi gelombang maksimum di perairan
Indonesia berkisar antara satu meter sampai enam
meter. Gelombang maksimum yang mencapai
ketinggian enam meter ini berada di Samudera Pasifik
sebelah utara Papua. Sedangkan tinggi gelombang
maksimum di laut Jawa berkisar antara tiga sampai
3,5 meter, terutama pada bulan Januari dan Februari
dengan tinggi gelombang maksimum mencapai 3,5
meter. Tinggi gelombang ini berpotensi menaikkan
risiko banjir di Pantai Utara Jawa, karena bertepatan
dengan puncak musim penghujan. Tinggi gelombang
maksimum di Pantai Selatan Jawa mencapai 3,5 meter
sampai empat meter pada bulan Februari. Dampak dari
perubahan ini,sangat berarti bagi keselamatan nelayan
yang mencari ikan di laut dan juga sektor transportasi
yangmengantarbarangdanjasakeberbagaipelabuhan
di perairan Indonesia. Selain risiko banjir, tingginya
gelombang ekstrem seperti ini juga menghambat
arus barang antarpulau yang menggunakan sarana
transportasi laut.
Apabila demikian halnya, maka pemanasan
global akan sangat berdampak pada kegiatan ekonomi
sekaligus mengganggu kehidupan sosial masyarakat
dan mendatangkan bencana bencana atas ekologi
secara umum. Perubahan iklim global telah nyata
berdampak pada masyarakat kecil, seperti nelayan
yang tidak dapat melaut, maupun dampak umum lain
misalnya,kenaikan harga barang akibat kelangkaan stok
karena transportasi terhambat.
Secara ekonomi,Stern Review (2007),memprediksi
bahwa perubahaan iklim dapat menimbulkan kerugian
ekonomi yang berarti secara global. Apabila tidak
dilakukantindakanapa-apa,atauBusinessAsUsual(BAU),
dimanapemerintahnegara-negaramajutidakberupaya
melakukan penurunan emisi (melakukan mitigasi
perubahan iklim) atau negara yang terkena dampak
tidak melakukan adaptasi—dan jika semua nilai pasar
dan nilai non pasar diperhitungkan—maka kerugian
akibat perubahan iklim dapat mencapai 14 persen dari
produk domestik bruto (PDB) global pada abad ke 21.
Gelombang ekstrem menghambat arus barang antar pulau:
perahu sembako di Pulau Panggang – Kepulauan Seribu Foto:Agoes Soetomo
Bab.2 (17 x 25).indd 42 8/2/13 10:41:54 AM
58. 43DNPI 5 TAHUN I
bab. III
Kiprah
LIMA tahun DNPI
BAB 3-1-3-.indd 43 8/2/13 8:39:40 AM
59. 44 I DNPI 5 TAHUN
BAB 3-1-3-.indd 44 8/2/13 8:39:42 AM
60. 45DNPI 5 TAHUN I
Rumah panggung di Balikpapan:
Salah satu contoh klasik dalam
upaya adaptasi
Foto: BLHD Kota Balikpapan
BAB 3-1-3-.indd 45 8/2/13 8:39:43 AM
61. 46 I DNPI 5 TAHUN
tantangan bagaimana negara kepulauan terbesar di
dunia --- dengan panjang garis pantai lebih dari 81
ribu km – terselamatkan. Selain itu, Indonesia dikenal
sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman
hayati laut terbesar di dunia serta memiliki ekosistem
pesisir seperti mangrove,terumbu karang dan padang
lamun.
Kata kunci untuk kegiatan adaptasi adalah
penguatan kapasitas adaptasi. Oleh sebab itu
penguatan kapasitas adaptasi menjadi hal yang sangat
penting. Kuat atau lemahnya kapasitas adaptasi
dapat dilihat dari sisi eksternal: meliputi daya dukung
ekosistem dan lingkungan saat ini, juga sisi internal
yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan
kelembagaan,anggaran serta sumber daya manusia.
Pengarusutamaan
Arah strategis penanganan perubahan iklim
DNPI adalah mewujudkan pembangunan rendah
emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan yang
mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Oleh
karenanya, program dari Pokja Adaptasi diarahkan
pula untuk mendukung kebijakan strategis DNPI,
yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas
adaptasi pada tingkat nasional dan daerah. Pada
tingkat daerah, fokusnya adalah perhatian terhadap
pengembangankegiatanadaptasidalamperencanaan
pembangunandaerah.Peranyangdijalankandimaknai
sebagai katalisator untuk mengintegrasikan rencana
Banjir dan kekeringan yang berakibat pada kegagalan panen,
longsor serta curah hujan yang ekstrem merupakan bencana
yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kejadian-kejadian tersebut
dipercepat dengan persoalan klasik.
MARI
BERADAPTASI
PERUBAHAN IKLIM menyebabkan semua
bangsa diminta melakukan adaptasi. Kamus Bahasa
Indonesia, memberikan pedoman tentang istilah
adaptasi sebagai upaya untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Dalam hal perubahan
iklim, adaptasi dapat digambarkan sebagai upaya
menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan iklim
dan lingkungan.
Ancaman perubahan iklim akan membawa
kerentanan tersendiri bagi Indonesia. Oleh karena
itu manusia Indonesia akan berhadapan dengan
Evakuasi dan tanggap darurat bencana
Foto:DokumentasiDNPI
BAB 3-1-3-.indd 46 8/2/13 8:39:46 AM
62. 47DNPI 5 TAHUN I
dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh sektor-
sektor yang bertanggungjawab langsung dengan
lingkup program, kegiatan dan aktivitasnya. Dengan
demikian, isu strategis yang muncul adalah menem
patkan peran, tugas dan fungsi kelompok kerja yang
mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasi
kan kebijakan sektor yang terkait dengan strategi
menghadapi ancaman dan dampak perubahan
iklim. Maka, langkah yang harus dilakukan kelompok
kerja adalah mempersiapkan kerangka kerja yang
menjadi prioritas dengan capaian kerja yang terukur.
Peran fasilitasi inisiatif daerah untuk memasuk
kan perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal menjadi
peran yang juga dilakukan oleh pokja adaptasi.
Adanya urgensi kebutuhan, muncul menjadi salah
satu keinginan kuat daerah. Karakteristik geografi,
demografi dan topografi masing-masing wilayah
menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda.
Peluang lebih dekat untuk mengetahui iklim mikro
lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan
yangdirumuskanlebihdapatdipertanggungjawabkan
karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di
wilayah atau daerah tersebut.Dengan demikian upaya
adaptasi lebih merupakan tindakan proaktif dari
kecenderungan yang akan terjadi.
Sampai saat ini,informasi dan pemahaman yang
terintegrasi dan menyeluruh terkait bencana dan
adaptasi akibat perubahan iklim di Indonesia masih
merupakan sesuatu yang langka dalam pengelolaan
bencana atau kebijakan perubahan iklim. Informasi
dan pemahaman banyak yang masih terkotak-kotak
dan terpisah (partial) sehingga derajat kapasitas
penanggulangan bencana dan adaptasi disikapi
secara berbeda-beda. Kondisi ini berpengaruh pada
strategi penanggulangan bencana dan adaptasi yang
diberlakukan atau akan menjadi rencana kebijakan
pembangunan nasional atau daerah.
Oleh sebab itu dalam kerangka pengintegrasian
persoalan penanggulangan bencana, dibutuhkan
adanya pemahaman yang utuh antara adaptasi
perubahan iklim di satu sisi dengan prosedur serta
sistem penanggulangan bencana di sisi lain. Hal
ini dapat dilakukan melalui kemampuan untuk
mengidentifikasi praktek pengurangan risiko
dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi
perubahan iklim. Dengan demikian, proyek adaptasi
sepatutnya turut memberikan pemikiran dan konsep
tentang penanggulangan bencana dalam bingkai
adaptasi perubahan iklim. Hal tersebut meliputi
upaya menyusun strategi kampanye dan pendidikan
mengenai perubahan iklim serta penanggulangan
bencana di daerah masing-masing.
Perbaikan Kanal: Salah satu cara beradaptasi adalah membenahi sistem drainase
Foto:Dokumentasi DNPI
BAB 3-1-3-.indd 47 8/2/13 8:39:52 AM
63. 48 I DNPI 5 TAHUN
Program adaptasi yang dilaksanakan dalam waktu kurun lima
tahun sejak dibentuknya DNPI, dapat dijelaskan dalam dua
kelompok periode, yaitu tahun 2008 – 2010, dan 2011 – 2013.
Periode pertama boleh dikatakan masa persiapan, sedangkan
periode berikutnya merupakan tahap pelaksanaan.
Kegiatan Adaptasi
Periode 2008-2010
P
eran yang dijalankan DNPI selama
periode ini idealnya memerlukan
partisipasi aktif dari semua stakeholder
terutama sektor-sektor terkait --- instansi,
lembaga,dankementerian---dalamkelompok
kerja (pokja) adaptasi, khususnya sektor yang
memiliki peran strategis dalam merespon
dampak perubahan iklim. Keterlibatan sektor
dalam hal ini memudahkan penerimaan isu
adaptasi perubahan iklim dan mendorong
kerjasama antar kementerian/lembaga.
Esensi yang ingin dibangun dari keterlibatan
stakeholder ini adalah agar kebijakan dan
program yang disepakati mudah dijalankan.
Dalam prakteknya, tidak mudah
menghadirkansemuastakeholdersecaratetap
ikut terlibat di dalam pokja adaptasi. Namun,
melalui komunikasi secara langsung dengan
beberapa personal dan bidang/unit/program
yang dinilai memiliki kapasitas, perhatian
dan aktif mengikuti kegiatan adaptasi
perubahan iklim,pada akhirnya pokja mampu
menggalang keterlibatan aktif stakeholder
tersebut.
Adapun program kegiatan awal pada
kurun waktu tahun 2008 – 2010 tersebut lebih
menekankan kepada 3 (tiga) hal. Pertama,
penyampaian dan penyebaran informasi
melalui diskusi pokja adaptasi, seminar,
atau lokakarya (workshop). Kedua, sosialisasi
hasil perundingan dan negosiasi adaptasi
perubahan iklim kepada kementerian/
kelembagaan dan lembaga swadaya
masyarakat(LSM),sertamempersiapkanposisi
Indonesia dalam setiap perundingan dan
negosiasidibawahUNFCCC.Ketiga,melakukan
studi dan kajian dampak, kerentanan, dan
adaptasi perubahan iklim.
Dalam kurun waktu ini pula, pokja
adaptasi mulai mengembangkan kerjasama
dan komunikasi dengan komunitas dan
pelaku isu Pengurangan Risiko Bencana
(PRB). Pada saat Platform Nasional (Planas)
untuk pengurangan risiko bencana, pokja
adaptasi DNPI terlibat di dalamnya untuk
menyampaikan perkembangan isu kebijakan,
program dan rencana aksi perubahan iklim di
tingkat nasional dan daerah,khususnya dalam
merespon ancaman dan dampak perubahan
iklim. Dalam konteks pengintegrasian
Adaptasi Perubahan Iklim (API) dan PRB, telah
diselenggarakan seminar nasional di Jakarta
yang pesertanya sebagian besar adalah para
pelaku dan pegiat PRB yang bertujuan untuk
mengintegrasikan API ke dalam strategi PRB.
Di akhir periode ini, tahun 2010,
kebutuhan terhadap Rencana Aksi Nasional
Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) sangat
penting dan mendesak untuk mensinergikan
kebijakan dan program adaptasi yang
telah dan sedang dibuat oleh berbagai
kementerian dan lembaga. Selain menjadi
pedoman nasional, RAN API dimanfaatkan
untuk membantu pemerintah daerah dalam
menyusun strategi adaptasi perubahan
iklim. Kebutuhan ini direspon oleh pokja
adaptasi melalui serangkaian kegiatan diskusi
dan pertemuan antar stakdeholder dengan
menempatkan lima sektor sebagai fokus,
yaitu: 1). sektor pertanian; 2). sektor pesisir,
kelautan, perikanan dan pulau-pulau kecil; 3).
sektor kesehatan; 4). sektor permukiman dan
perkotaan,serta 5).sektor sumber daya air.
BAB 3-1-3-.indd 48 8/2/13 8:39:54 AM