1. Keluarga Fredrich Yunadi mengklaim bahwa KPK melakukan penipuan dan intimidasi terhadap keluarga, termasuk memaksa istri FY untuk menandatangani dokumen tanpa pengacara dan merekam kejadian secara sepihak.
2. KPK juga diduga melanggar janji untuk mengizinkan FY berobat karena kondisi jantung kronisnya.
3. Keluarga menuduh pemberitaan penangkapan FY di RS tidak sesu
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
Keluarga FY Keluarkan Press Release
1. PRESS RELEASE KELUARGA FREDRICH YUNADI (“FY”)
Perkenankanlah pada hari ini, kami selaku pihak keluarga dari Fredrich
Yunadi (“FY”) ingin menyampaikan beberapa hal yang kami alami sehingga
pemberitaan yang ada di Media akan terlihat dari dua sisi. Mungkin untuk
pertama yang dapat kami jelaskan adalah kejadian yang sangat hangat
terjadi yakni kejadian pada hari Kamis, 1 Februari 2018 mengenai
penolakan pelimpahan berkas KPK terhadap kasus FY, kami sebagai pihak
keluarga FY merasa penting untuk menjelaskan kepada Media mengenai
kejadian pada tanggal tersebut. Pada sekitar pukul 16:00, kami pihak
keluarga FY dikejutkan oleh kedatangan rombongan KPK yang berjumlah
7-8 orang ke pekarangan rumah kami. Saat itu di rumah hanya ada
pembantu dan istri FY, kemudian istri FY menemui utusan KPK dan
bertanya maksud dan kepentingan mereka datang ke rumah FY. Utusan
KPK kemudian mengatakan bahwa mereka ingin mendapatkan tanda
tangan istri FY untuk dokumen yang mereka bawa. Istri FY yang merasa
tidak punya pengetahuan yang cukup mengenai hukum, meminta dengan
baik-baik agar utusan KPK menghubungi pihak pengacara FY terlebih
dahulu. Tapi utusan KPK tidak mau mendengarkan hal tersebut dan malah
memaksa istri FY untuk “percaya” kepada KPK. Mereka meyakinkan isri FY
bahwa dia harus mendengarkan surat yang akan mereka bacakan serta
istri FY harus menandatangani surat tersebut. Istri FY bersikukuh untuk
menghubungi pengacara dah hal apapun itu harus dilakukan atas
sepengetahuan pengacara FY. Tapi utusan dari KPK tetap memaksa istri FY
untuk mendengar pembacaan surat tersebut, istri FY sama sekali tidak
dapat mendengar jelas apa yang dibacakan oleh utusan KPK karena dia
sedang menelpon pengacara FY namun tidak diangkat. Telponnya juga di
loudspeaker oleh istri FY sehingga utusan KPK juga dapat mendengarnya
secara langsung. Istri FY juga mengatakan bahwa dia tidak mau tanda
tangan surat apapun karena dia tidak mengerti atas surat tersebut.
Mereka memaksa dengan mengancam dan mengatakan bahwa ini adalah
prosedur yang berlaku di KPK dan istri FY harus menuruti prosedur
tersebut. Ketika istri FY tetap menolak, mereka kemudian meyakinkan istri
2. FY bahwa FY sudah menandatangani surat sejenis juga. Istri FY sedikit
bingung dan memutuskan untuk tetap menolak. Tapi mereka kemudian
tetap memaksa istri FY menandatangani surat yang kata mereka
penolakan. Istri FY bersikukuh dia tidak akan menandatangani apapun
karena dia tidak mengerti sampai pengacara FY menjelaskan duduk
perkaranya dan memberikan instruksi untuk tanda tangan.
Di tengah perdebatan ini, putri kedua FY datang dan terkejut melihat
keramaian di pekarangan rumah tersebut. Putri kedua FY menanyakan apa
yang terjadi, namun utusan KPK mencoba membohongi putri kedua FY
dengan mengatakan bahwa mereka sudah selesai membacakan surat
tersebut dan sudah didengarkan oleh istri FY. Istri FY segera menyanggah
dan mengatakan bahwa dia tadi sedang berusaha menelepon pengacara FY
dan tidak mendengarkan apapun keterangan dari utusan KPK. Putri kedua
FY kemudian meminta pertanggungjawaban perbuatan KPK ini, yang
bisa-bisanya terang-terangan melakukan penipuan informasi. Putri kedua
FY kembali meminta utusan KPK menghubungi pengacara. Tapi mereka
ngotot bahwa menghubungi pengacara tidak diperlukan. Lagipula mereka
sudah mencoba menghubungi lewat telepon. Putri kedua FY menanyakan
kenapa tidak menulis surat resmi yang sesuai dengan hukum yang berlaku
di Negara Indonesia? Hal ini ternyata tidak bisa dijawab oleh utusan KPK.
Putri kedua FY akhirnya meminta rombongan utusan KPK untuk pergi tapi
mereka tidak mau pergi.
Saat itu putri kedua FY melihat salah satu utusan KPK merekam semua
kejadian tersebut. Berkaca pada pengalaman hari penangkapan FY yang
mana rekaman KPK tersebut dipotong-potong semau mereka, sehingga
menimbulkan kesan yang tidak sesuai kenyatannya di mata publik
mengenai kejadian pada hari itu. Putri kedua FY mengatakan bahwa dia
juga akan memotret mereka sebagai bukti kejadian hari itu. Putri kedua FY
kemudian mengeluarkan HP yang kebetulan dalam posisi off. Utusan KPK
yang mendengar bahwa putri kedua FY ingin memotret, buru-buru pamit.
Putri kedua FY meminta kepada mereka tetap tinggal untuk difoto sebentar.
Tapi mereka segera berhamburan keluar dari pekarangan rumah FY dan
3. kembali ke mobil. Putri kedua FY berusaha mengikuti ke dalam mobil
untuk mendapatkan foto yang cukup jelas. Namun salah satu utusan KPK
yang memegang kamera segera melotot dan mendorong putri kedua FY
serta memakinya kasar, lalu membanting pintu mobil dan mereka pun
segera melarikan diri dari depan rumah.
Tak berapa lama, keluarga FY mendapatkan titipan surat dari FY yang
disampaikan pada salah satu Penguasa Hukum (“PH”) tahanan KPK.
Di dalam surat itulah keluarga FY baru mengetahui bahwa sebelum utusan
KPK datang ke rumah FY, mereka sudah mendatangi FY di ruang tamu
rutan, memaksa FY untuk menandatangani surat pelimpahan berkas.
FY menegaskan bahwa dia tidak akan menandatangani surat apapun
karena tidak ada hadirnya pengacara. FY meminta KPK untuk
menghadirkan pengacara. Tapi mereka yang datang bergerombol yaitu
24 orang memaksa FY untuk menandatangani surat tersebut. FY tetap
menolak, sehingga tidak ada satu berkaspun yang ditandatangani oleh FY.
Hal ini membuktikan bahwa KPK telah memberikan informasi yang tidak
sesuai kenyataannya / berbohong kepada keluarga FY di rumah dengan
meyakinkan istri FY bahwa dia harus tanda tangan karena FY sudah tanda
tangan. Detail mengenai kejadian FY dan KPK di rutan ini bisa dibaca
dalam lampiran yang ditulis oleh FY.
Kami sebagai keluarga FY merasa sangat kecewa dan sakit hati dengan
perlakuan KPK terhadap keluarga kami yang sewenang-wenang serta
terkesan berusaha memanfaatkan kebutaan keluarga terhadap detail
hukum yang berlaku di Negara Indonesia serta memamerkan kekuasaan
untuk menindas warga Indonesia yang harusnya mendapatkan
perlindungan hukum. Apalagi kejadian di hari Kamis, 1 Februari 2018 ini
hanyalah salah satu kejadian dari rentetan pameran kekuasaan KPK dan
penipuan KPK terhadap keluarga serta khalayak umum yang kami alami
selama kasus FY ini berlangsung.
Kami juga tidak mengerti maksud dan tujuan tindakan KPK yang mengirim
orang dalam jumlah banyak, baik untuk memaksa FY tanda tangan di
4. rutan, maupun ke rumah keluarga FY. Menurut kami, apabila memang
maksud dan tujuannya baik, satu atau dua orang sudah cukup untuk
berdiskusi dengan keluarga maupun FY. Tetapi mengapa harus
mengirimkan orang dalam jumlah banyak yang sebenarnya tidak punya
fungsi di kejadian, selain untuk menimbulkan kesan adanya usaha untuk
mengintimidasi, mempersekusi dan mengeroyok.
Sikap KPK yang terkesan sangat tergesa-gesa dan membabibuta dalam
menaikkan berkas pekara FY ini juga membuat kami menangkap kesan
bahwa KPK seperti sedang ketakutan untuk menghadapi praperadilan yang
seharusnya berlangsung pada hari Senin 5 Februari ini. Hingga KPK
terkesan sangat memaksakan diri untuk bisa mendahului praperadilan
supaya gugur, sampai menghalalkan segala cara, menabrak semua aturan,
dan tak bersedia menunggu sehari pun. Hal ini sangat mengherankan buat
kami sekeluarga , apabila KPK yang justru membuat kami bertanya-tanya
mengapa harus ada ketakutan semacam ini kalau memang tidak merasa
melakukan kesalahan prosedur? Selain itu, hal ini juga membuat kami
merasa KPK terlihat sangat angkuh sehingga mereka tidak ingin diperiksa
atau dikritik oleh pihak yang berwenang mengenai langkah-langkah yang
telah dia ambil selama ini (yang salah satunya bisa dibuktikan di
praperadilan). Hal ini juga membuktikan bahwa KPK sudah melakukan
kebohongan publik pada saat juru bicaranya menyatakan ke semua media
bahwa mereka siap menghadapi praperadilan.
Sebelumnya, KPK telah menipu keluarga dengan mengobral janji yang tidak
pernah ditepati hingga hari ini. Di hari penangkapan FY, istri FY sudah
secara baik-baik menyerahkan surat pengantar dari dokter jantung dan
berpesan berkali-kali serta mengingatkan penyidik KPK bernama Bapak
Damanik, bahwa FY harus dibawa ke dokter maksimal 10 (sepuluh) hari
setelah tanggal 12 Januari 2018, karena kondisi jantung yang sudah
diderita FY sejak lama serta tekanan darah FY yang menguatirkan.
Dokter pun sudah berpesan berkali-kali kepada FY bahwa dia harus
kembali periksa dalam tempo maksimal 10 (sepuluh) hari, sehingga dokter
memberikan surat pengantar itulah sebagai rujukan FY. Bapak Damanik
5. saat itu berjanji dengan tegas kepada istri FY dan mengatakan “Siap, Bu!
Saya akan pastikan!”. Tapi hingga hari ini, FY tidak pernah diizinkan atau
dibawa ke dokter yang bersangkutan di Rumah Sakit Medistra. Bahkan,
pengacara FY sudah membuat surat resmi kepada KPK untuk memintakan
izin pemenuhan panggilan dokter tersebut. Tapi juga tidak ditanggapi oleh
KPK, pihak pengacara dan keluarga sudah berkali kali menanyakan kepada
pihak KPK. Dokter KPK menyatakan tidak pernah menerima surat tersebut,
sedangkan penyidik KPK beralasan surat tersebut belum ditandatangani
oleh pimpinan KPK. Perlakuan KPK ini sangat melukai perasaan keluarga
karena KPK seolah-olah sengaja dan menginginkan agar FY celaka karena
penyakitnya. Padahal istri FY sudah menjelaskan kepada Bapak Damanik
dan penyidik-penyidik yang hadir pada kejadian hari itu bahwa kondisi
jantung FY sangat serius, karena jantung FY sudah dipasang belasan ring.
Mungkin bagi pihak KPK dan orang lain yang dalam keadaan sehat dan
tidak punya penyakit apapun hal itu dianggap hal yang remeh atau tidak
usah dibesar-besarkan, namun bagi keluarga yang mempunyai sakit yang
sama pasti akan sangat berbeda. Bahwa kondisi FY yang sudah dideritanya
butuh perhatian yang lebih ditambah dokter jantung sendirinyapun sudah
berpesan berkali kali sampai mengeluarkan surat pengantar untuk
pemeriksaan kembali ke RS Medistra maksimal 10 (sepuluh) kemudian
setelah hari Kamis, 12 Januari 2018.
Contoh penipuan kedua yang dilakukan oleh KPK adalah dengan
mengatakan bahwa FY menolak diperiksa dan dilimpahkan berkasnya
sebagai tersangka pada tanggal 1 Februari 2018, tanpa ada penjelasan yang
seimbang bahwa alasan FY menolak karena KPK tidak menghubungi
pengacara secara resmi, hanya dadakan kurang dari 24 (dua puluh empat)
jam dan itupun hanya ke salah satu orang pengacara. Saat itu pengacara
FY sedang ada kesibukan dan minta pemeriksaan ditunda. Tapi KPK ngotot
untuk melakukannya hari itu dan mencoba memaksa FY datang tanpa
adanya kehadiran pengacara, yang jelas jelas bertentangan dengan hukum
yang berlaku di Negara Indonesia.
6. Contoh penipuan ketiga yang bisa kami berikan adalah mengenai berita
penangkapan FY di Rumah Sakit Medistra pada tanggal 12 Januari
2018. Hal ini terlihat dari pemberitaan tentang penangkapan FY yang
ternyata jauh meleset dari kenyataan yang sebenarnya. Di hari
penangkapan tersebut, FY seharian bersama dengan keluarga di rumah,
baik bersama istri dan salah satu anaknya. Kami tidak melihat adanya
pencarian FY, kamipun juga tidak melihat adanya usaha FY untuk
menyembunyikan diri, apalagi melarikan diri.
Diberitakan bahwa FY telah dicari ke beberapa tempat. Tetapi yang terjadi
sebenarnya, FY hanya dicari di rumahnya pada sekitar pukul 10 malam.
Saat itu FY dan keluarga sama sekali tidak tahu KPK akan datang, sehingga
pukul 8 malam, FY bertolak ke Rumah Sakit Medistra untuk mengecek
keadaan jantung dan darah tingginya yang menguatirkan selama beberapa
hari terakhir. Pada sekitar 10 malam itulah, salah satu putri FY yang
sedang menunggu kepulangan FY di rumah FY, kemudian memberitahu
kepada FY dan istri mengenai kedatangan KPK ini. Lantas KPK-pun
memutuskan menjemput ke rumah sakit.
Sebagaimana yang disaksikan istri FY, tidak ada brimop dan senjata yang
ada di kejadian tersebut seperti yang beredar di Media. FY hanya meminta
antrian dokternya dipercepat dan setelah selesai pemeriksaan dokter, FY
pun bertolak ke kantor KPK tanpa berargumen. Justru pada saat itu istri
FY yang sempat mempertanyakan kepada KPK mengenai penjemputan
tersebut.
Semua kejadian ini direkam secara lengkap oleh tim KPK dan bisa
dibuktikan. Namun yang ditampilkan di media ternyata sangat berbeda.
Potongan-potongan yang dipilih hanyalah yang menyudutkan FY.
Di pandangan kami, semakin lama semakin terbukti bahwa cara yang
digunakan oleh KPK dalam menangani kasus ini terkesan
dibesar-besarkan, seolah-olah FY adalah seorang koruptor atau pejabat
besar. Padahal FY saat ini disangkakan terjerat Pasal 21 UU Tipikor yang
7. diyakini banyak ahli hukum sebagai pasal karet. Dan kasus ini menurut
pandangan keluarga bukanlah kasus korupsi yang menjadi wewenang atau
fokus KPK. Karena kasus ini bukan kasus korupsi, tapi hanya ada
kaitannya dengan korupsi dan tidak merugikan Negara, apalagi sampai
sebesar 1 Milyar rupiah. Sedangkan menurut hukum yang kami baca,
wewenang KPK adalah kasus korupsi yang merugikan Negara minimal 1
Milyar rupiah saja.
Di pandangan kami sebagai keluarga, FY hanyalah seorang pengacara
independen, yang karena dedikasinya, berusaha membela kliennya dengan
cara-caranya berdasar peraturan yang berlaku di Negara Indonesia.
Tetapi kami yakin sebagai seorang pengacara, FY tidak seharusnya serta
merta menjadi pihak yang tertuduh pada saat terjadinya kejadian yang
dianggap mencurigakan, apalagi bila hanya dipicu oleh kalimat-kalimat
yang dia lontarkan. Kami meyakini FY pastinya tidak berkuasa penuh
terhadap apa yang kliennya lakukan dalam setiap sepak terjangnya di
kasus ini.
Pada akhirnya, kami mengharapkan rekan media dapat memastikan agar
penulisan berita dilakukan secara adil dan seimbang, sebagaimana
harusnya penulisan berita yang baik dan sesuai dengan kode etik
wartawan. Kami meyakini bahwa media memiliki peran yang sangat besar
dalam menyampaikan suatu berita yang harus dapat
dipertanggungjawabkan dan dari kedua sisi.
Kami berharap tidak terjadi penuduhan yang hanya berdasarkan asumsi
belaka, atau yang berlandaskan beberapa kejadian yang dijadikan sebab
dan akibat, padahal belum tentu berhubungan, atau perasaan suka dan
tidak suka. Kami berharap pemberitaan terhadap FY bisa dilakukan secara
obyektif dan bukan berdasarkan subyektivitas yang mengikuti opini publik.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih atas waktunya Kami
mohon maaf jika terjadi salah kata, yang pasti tidak kami sengaja.