Persatuan Islam memandang bahwa bid'ah adalah perbuatan yang merusak kemurnian syariat Islam. Bid'ah dapat terjadi dalam ibadah maupun keyakinan dan diklasifikasikan menjadi bid'ah mahdhah dan idhafiyah. Persis menolak praktik-praktik keagamaan yang dianggap sebagai bid'ah karena tidak ada dasar syariat yang kuat dari al-Quran atau hadits. Mereka juga memandang bahwa khilafiyah sebenarn
UT PGSD PDGK4103 MODUL 2 STRUKTUR TUBUH Pada Makhluk Hidup
Fatwa
1. Pemikiran Keagmaan Persatuan Islam (III)
Minggu, 1-Apr-2012 | Penulis : BADRI KAHERUMAN
Dalam pandangan Persis, bid'ah adalah sesuatu yang merusak kemurnian Syarî'at Islam.
Demikian pula khurafat dan tahayyul diyakini sebagai perbuatan yang merusak tauhid.
Pandangan mengenai bid'ah, dalam aktualisasinya dinyatakan bahwa Syarî'at Islam yang
menetetapkan ketentuan-ketentuan ibadah (mahdhâh) adalah hak mutlak Allah. Baik penetapan
itu berkenaan dengan bilangan ibadah, waktu ibadah, maupun ketetapan-ketetapan lainnya.
Adanya perubahan itu semuanya dibatasi dengan penegasan Syarî'at itu sendiri. Karena itu
beribadah yang tidak berkesesuaian dengan sumber syari'at Islam yaitu al-Qur'an dan Hadîts,
maka perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan bid'ah.
Itu sebabnya pula, paham keagamaan Persis menolak bacaan-bacaan dalam shalat dan
menyatakannya sebagai perbuatan bid'ah karena tidak ada dasar hukumnya baik dari al-Qur'an
maupun Hadîts Nabi, seperti kata sayyidina, yang memang dalam teks hadits seperti terdapat
dalam kitab-kitab hadits mu'tabar, kata-kata itu tidak ada. Atau memakan jamuan kematian,
resepsi untuk tujuh bulan bagi kehamilan atau tingkeban. (Lihat A. Hassan, dalam Soal-Jawab
dan Munawar Cholil dalam, Kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah, 1981: 241-254).
Adapun bid'ah dalam masalah sosial ada dua alternatif penetapan, Moenawar Cholil, salah
seorang ulama yang pernah lama bergabung dalam majelis ulama Persis menyatakan: "Jika suatu
perbuatan yang ada hubungannya dengan adat dan ternyata didalamnya terkandung ruh ibadah
(dalam arti khas, pen.) lalu ada perbuatan bid'ah, maka jelas hal itu hukumnya haram. Akan
tetapi jika perbuatan itu semata-mata adat (yang tidak ada hubungannya dengan syari'at, pen.),
maka bid'ah itu tidak dianggap masalah". (1981: 255) Misalnya urusan yang semata-mata adat
atau tuntutan kehidupan seperti mengadakan berbagai macam alat perkakas, alat tulis dan
kendaraan yang ternyata belum pernah ada pada masa Rasul, maka ini bukan bid'ah dan agama
sendiri tidak melarangnya.
Tentang bid'ah ini, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, (Criteria antara Sunnah dan Bid'ah, 1967), juga
salah seorang ulama yang pernah lama bergabung di dalam Dewan Hisbah Persis, menyatakan
bahwa bid'ah itu lebih berbahaya dari maksiat. Ia kemudian memberikan batasan antara lain;
"Bid'ah itu ialah suatu tarîqah atau ibadah yang diciptakan dalam agama yang menyerupai
syari'at sendiri. Dimaksudkan dengan mengerjakannya, apa yang dimaksud dengan mengerjakan
yang ditetapkan agama sendiri. Atau dimaksud agar lebih afdhal dalam ibadah kepada Allah".
Bid'ah dikatakannya lebih berbahaya dari maksiat, karena menyalahi nash syarî'at, tidak mau
menuruti, atau membangkang kaidah, tidak mau mematuhinya. Bid'ah merusak nash dan kaidahkaidah syar'i. Dia membawa titah Ilahy kepada bukan tujuannya, atau mengeluarkan titah Tuhan
dari hakikatnya dengan memasukkan hawa nafsu.
Selanjutnya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, secara panjang lebar membedakan antara bid'ah dengan
mashlahah mursalah. Menurutnya, barangsiapa meneliti ayat-ayat hukum di dalam al-Qur'an,
nyatalah bahwa hukum-hukum al-Qur'an mengenai ibadah dan yang berhubungan dengan ibadah
seperti soal harta pusaka, diterangkan dengan jelas. Karena kebanyakan hukum ibadah itu dan
yang berhubungan dengannya bersifat ta'abbûdi, akal tak dapat memikirkannya dan tidak pula
2. berubah-ubah atau berkembang menurut perkembangan masa. Sedangkan mengenai hukum
keperdataan, kepidanaan dan persoalan sosial lainnya didasarkan pada kaidah-kaidah bersifat
umum dan pokok yang asasi, tidak diterangkan secara rinci lantaran urusan itu berkembang
menurut perkembangan masa. Karena itu mengembangkan konsep ini demi pertimbangan
kemaslahatan umum sangat diperlukan, dan itu bukan termasuk perbuatan bid'ah selama berada
dalam batas-batas dasar al-Qur'an yang umum itu.
Dalam praktiknya, perbuatan bid'ah itu terjadi bukan saja dalam perbuatan ibadah, melainkan
juga dalam keyakinan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh KHE. Abdurrahman, (Risalah,
tahun XVIII No. 184 hlm. 27), yang menyatakan bahwa bid'ah terbagi dua; bid'ah mahdhâh dan
bid'ah idhafiyah.
Bid'ah Mahdhah ialah aqidah atau upacara ibadah, diatasnamakan agama Islam, dilakukan
karena dianggap hukumnya sunnat atau wajib. Padahal dalam al-Qur'an atau Hadîts Shahîh tidak
terdapat dalilnya seperti kepercayaan bahwa Nabi Muhammad waktu mi'raj, naik pada bahu
syeikh „Abd al-Qadîr al-Jilani, percaya bahwa menjawab pertanyaan kubur cukup dengan
mengucapkan syeikh „Abd al-Qadîr al-Jilani, dan bila membaca manakib syeikh „Abd al-Qadîr
al-Jilani akan diijabah (kabul) segala keinginannya, atau beri'tikad ziarah ke kuburan wali itu
ganjarannya sama dengan naik haji.
Pandangan ulama Persis kepada tokoh Tarekat ini, tidak lebih hanya sebagai manusia biasa.
Umat Islam tidak layak mengagungkannya secara berlebihan yang menjurus pada kultus individu
yang bernilai syirik. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam artikel yang diturunkan oleh tim
redaksi Risalah -- salah satu majalah terkemuka Persis -- yang terdiri dari T.A. Saelan, Yunus
Anis dan KHE. Abdurrahman, dengan judul: Syaich „Abdul „lQâdir al-Djîlânî, Seorang Manusia
yang Tidak Lebih dari Manusia. Dalam artikel ini disimpulkan bahwa "kisah legenda „Abdul
„lQâdir al-Djîlânî pada umumnya tidak memiliki sanad (rantai periwayatan) dan jikapun ada,
sanad itu perlu mendapat penyelidikan perihal rijal-rijal-nya (orang-orang yang
meriwayatkannya). Oleh karena itu selayaknyalah dalam hal ini kita tidak boleh lepas dari
patokan yang telah digariskan al-Qur'an serta Hadits dalam menilai cerita tentang „Abdul
„lQâdir al-Djîlânî tersebut". (Lihat Majalah Risalah, Bandung: Edisi Pebruari 1966: 21-25).
Bid'ah Idhafiyah ialah salah satu anjaran Islam yang waktu, tempat dan caranya diatur oleh
manusia biasa seperti sidkah, menolong orang miskin itu ajaran Islam, tetapi ditempatkannya dan
diniatkannya sidkah itu sehubungan dengan kematian, atau membaca Yasin ditentukan cara dan
waktunya seperti pada malam Nisyfu Sya'ban. Membaca Fatihah pada ruku' dan sujud, bukan
Fatihah yang jelek tetapi salah caranya, ia lakukan bukan pada tempat dan cara yang telah
ditentukan oleh agama Islam.
Bila bid'ah itu mengenai aqidah, seperti golongan yang mengatakan bahwa Tuhan itu bersatu
dengan dirinya, itu dinamakan bid'ah Mukafirah, dan bila bid'ah itu berhubungan dengan urusan
syarî'at (fiqh), dinamakan bid'ah Mufasiqah.
Konsepsi tentang Furu' dan Khilafiyah.
3. Kritik tajam yang dilakukan oleh ulama Persis pada gilirannya mendapat kritik balik yang tidak
kalah tajamnya, bahwa ulama Persatuan hanya memperdebatkan persoalan-persoalan kecil
seperti persoalan furu' dan khilafiyah, seperti persoalan ushali, membaca qunut dalam shalat
Shubuh, membaca surat Yasin dan tahlil di malam kematian seseorang ataupun upacara
Mauludan dan Nisfu Sya'ban. Namun dalam memandang persoalan furu' dan khilafiyah ini
ulama Persis mempunyai pandangan tersendiri yang umumnya berbeda dengan kalangan umat
Islam yang lain. Bagi Persis, kedua persoalan tersebut bukan persoalan kecil. Karena persoalan
ibadah adalah urusan Tuhan, manusia hanya layak mengamalkan dan tidak layak untuk
mengaturnya.
Terlepas ada dan tidak adanya kritik kepada Persis, ulama Persis berpendapat tentang furu' dan
khilafiyah tersebut sebagai berikut:
Furu', bentuk jama' dari far'un, yang berarti cabang, yaitu soal-soal agama di luar ushul al-din,
atau di luar arkân al-imân dan arkân al-Islâm. Maka di luar rukun-rukun iman dan Islam itu
disebut furu'. H.E. Saifuddin Anshari, (Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan
Umatnya, 1983: 62), salah seorang cendekiawan Persis, berpendapat bahwa baik ushûl al-dîn
maupun furu' adalah penting dalam agama Islam. Karenanya harus dibicarakan dan dipersoalkan
untuk mencari kejernihan dan kebenaran dari apa yang disebut masalah ushûl al-dîn dan furu'
itu. Padalah furu' menurut sementara orang, tidak perlu dipersoalkan -- karena dianggap
mengancam keutuhan umat. Maka senada dengan pandangan H.E. Saifuddin Anshari, umumnya
para mubaligh Persis, sering membahas masalah furu' ini, karena masalah ini menyangkut
diterima dan tidaknya ibadah tersebut, takut menyalahi perintah, sebagaimana dalil-dalil
menegaskan:
"... Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa adzab yang pedih" (QS. al-Nur: 63).
"Man „amila „amalan laisa „alaihi amruna fahuwa raddun. Barang-siapa yang mengerjakan
sesuatu amal yang tidak (sejalan dengan) perintah kami, maka amalnya itu tertolak" (H.S.R.
Muslim).
Ringkasnya, ushul dan furu' tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Karena rukun
iman adalah ushûl, dan rukun Islam adalah furu' al-„ibâdah. Apalah jadinya, jika pengertian
ushûl dan furu' dikhotomis seperti itu, bukankah al-Qur'an menyatakan; Âmanû wa'amilush
shalihati? Yakni iman adalah ushûl dan amal saleh adalah furu'nya. Bukan amal saleh bila tidak
berushulkan iman, dan bukan pula iman yang sebenarnya bila tidak berfuru'kan ibadah. Karena
itu jelas bahwa masalah furu' yang dipersoalkan Persis adalah masalah benalu dalam „ubudiyah,
bukan untuk memecah silaturrahmi di antara umat Islam. Khurafat dan tahayul bukanlah furu'
dari rukun iman, melainkan ia adalah benalu, yang harus disingkirkan dari kepercayaan umat
Islam. Karena ia merupakan kepercayaan tambahan. Dengan demikian ulama Persis tidak
mempermasalahkan mana ushul dan mana furu', seperti yang banyak dituduhkan sementara
kalangan umat Islam yang tidak sependapat dengan pandangan keagamaan Persis, melainkan
hendak memperjelas mana syari'at dan mana yang bukan syarî'at, alias benalu itu.
4. Dalam pandangan tentang khilafiyah, Persis menyatakan bahwa dalam Islam, yakni dalam
Syari'at Islam tidak ada khilafiyah. Jika sumber hukumnya satu, al-Qur'annya satu, Nabinya satu,
mana mungkin satu persoalan dihukumi dengan dua hukum yang berbeda. Pendapat para ulama
yang diformulasikan dalam kitab-kitab fiqh itu bukan untuk dijadikan dasar hukum, karena ia
bersifat ijtihâdi yang mengandung salah dan benar. Karena itu yang perlu dilihat bukan
pendapatnya tetapi dasar pendapat itu apakah dari al-Qur'an atau dari al-Sunnah. Jika dari
keduanya, maka itu yang perlu ditaati. Ikhtilâf para imam madzhab yang empat serta yang
lainnya itu bukan untuk diabadikan apalagi dijadikan dasar hukum, tetapi untuk ditinjau ulang
dan dikembalikan pada dasar hukum asal yaitu al-Qur'an dan al-Sunnah. Para imam madzhab
telah mengimbau jika pendapat mereka tidak sejalan dengan kedua sumber hukum Islam itu,
maka tidak perlu ditaati. Dan mereka semua melarang taqlîd.
Adanya ikhtilâf di tubuh umat Islam itu, lebih mencerminkan satu pihak bertahkim kepada alQur'an dan al-Sunnah, sementara pihak lain bertahkim kepada "Ahwa" dengan penuh
kedengkian, seperti terungkap dalam ayat 213 dalam al-Baqarah, Muhammad „Abduh
menyatakan bahwa penyebab adanya ikhtilâf itu adalah karena salah mengangkat hakim.
"Tahkimul Ahwai fid'Dîni wal Ahkam. Bertahim dengan mengangkat hawa nafsu sebagai hakim
dalam urusan agama dan hukum". (Tafsir al-Manar, IV: 22).
Demikian pandangan Persis dalam ikhtilâf atau masalah khilafiyah, yang di antaranya mengutip
ayat di atas maupun pendapat „Abduh tersebut. Dan pandangan demikian banyak ditemukan
dalam jurnal-jurnal Persis, maupun ceramah yang disampaikan oleh mubaligh jam'iyyah ini.
Hukum Qunut Subuh
Pertanyaan :
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian
menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid‟ah.
Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?
Jawab :
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun
sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur‟an maupun As-sunnah yang shohih
menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru
dalam agama (bid‟ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah
riwayat Bukhary-Muslim :
.
5. “Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang
sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa
yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu
perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama
dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik,
Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi‟iy.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus
hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah
maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa‟d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul
hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah
adalah hadits berikut ini :
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu „alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh
sampai beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh „Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh
awy dalam Syarah Ma‟ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih
no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba‟in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, AlBaihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124
no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130
no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-‟Ilal Al-Mutanahiyah no.753
dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama‟ wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab
Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja‟far Ar-Rozy dari Ar-Robi‟ bin Anas dari Anas bin Malik.
6. Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin „Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam
Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu
Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih
sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i‟ bin Anas adalah Abu Ja‟far „Isa bin Mahan
Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy
(bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur‟ah : ” Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata
Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari
rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma‟ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari
gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu
Ja‟far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja‟far Ar-R ozy adalah
orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh
seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja‟far Ar-R ozy ini, ia akan
melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja‟far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas
menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam
Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon „anil
Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja‟far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah
hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang
menunjukkan bahwa Nabi shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali
qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
“Sesungguhnya Nabi shollallahu „alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila
beliau berdo‟a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo‟a (kejelekan atas suatu kaum)” .
Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460
dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja‟far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan
adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan
lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang
disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
“Sesungguhnya Nabi shollahu „alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
7. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut
Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.
emudian sebagian para „ulama syafi‟iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa
jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
“Rasulullah Shollallahu „alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, „Umar dan „Utsman, dan saya
(rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : „Amru bin „Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma‟ani Al Atsar
1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya
Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al
Huffazh 2/494. Dan „Amru bin „Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu‟tazilah dan
dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan
haditsnya).
Kedua : Isma‟il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan
Isma‟il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja‟far bin Mihr on,
(ia berkata) menceritakan kepada kami „Abdul Warits bin Sa‟id, (ia berkata) menceritakan
kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu „alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terusmenerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja‟far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh
imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I‟tidal 1/418. Karena „Abdul Warits tidak meriwayatkan dari
Auf tapi dari „Amru bin „Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu „Umar Al Haudhy dan Abu
Ma‟mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari „Abdul Warits-.
8. Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da‟laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan
dibelakang „umar lalu beliau qunut dan di belakang „Utsman lalu beliau qunut”.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih
no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja‟far
Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau
berkata : “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau
tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma‟in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma‟ in
berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi
tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan
haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang
matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau
qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits
Khal id. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) „alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang
ma‟ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal
dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan
sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin „Abdillah dari Anas bin Malik :
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu „alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh
sampai beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no.
695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang
pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin „Abdillah, kata Ibnu „Ady : “Mungkarul hadits
(Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibba n : “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik
perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.
Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah
hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan
dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa
9. mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh AlHafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
1) Doa
2) Khusyu‟
3) Ibadah
4) Taat
5) Menjalankan ketaatan.
6) Penetapan ibadah kepada Allah
7) Diam
8 ) Shalat
9) Berdiri
10) Lamanya berdiri
11) Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat
Al-Qur‟an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
))
“Adalah Rasulullah shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari
rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I‟tidal) berkata :
“Sami‟allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri.
“Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, „Ayyasy bin Abi
Rabi‟ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu
10. (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti
tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah
kabilah Lihyan, Ri‟lu, Dzakw an dan „Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada
sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau
mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.BukharyMuslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah
karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan
dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan
hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan
mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka
Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya‟ dan Shubuh. Beliau mendoakan
kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh
tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa
sallam dengan qunut nazilah .
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa‟ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja‟i
”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, „Umar, „Utsman dan „Ali
radhiyallahu „anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada
sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara
baru (bid‟ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro
no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.81778179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam
Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul
11. Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil
dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.
Dua : Hadits Ibnu „Umar
:“
”.
” Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu „Umar sholat shubuh lalu beliau
tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya).
Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh AthThohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma‟ Az-Zawa‟id
2137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari‟atkannya mengkhususkan qunut pada
sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu „Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu‟ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu „Umar dari para shahabat, mereka
menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid‟ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari‟atkannya qunut shubuh dari
beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah
lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan
bahwa disyari‟atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do‟a qunut
“Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do‟a kemudian diaminkan oleh para
ma‟mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para
shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat
karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh
banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma‟ad.
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga
sehingga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut
nazilah adalah bid‟ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu
a‟lam.
12. Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, AlInshof 2/173, Syarh Ma‟any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu‟ 3/483-485,
Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi‟ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath
Thoyyib), Majm u‟ Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma‟ad 1/271-285.
MENGAPA MUHAMMADIYAH TIDAK BERMADZHAB …?
Pertanyaan Dari:
Fahmi Abdul Halim, Malang Jawa Timur
(disidangkan pada: Jum‟at, 4 Jumadal Ula 1429 H / 9 Mei 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu‟alaikum wr.wb.
Saya sebagai warga Muhammadiyah di Malang kadang merasa bingung, kenapa
Muhammadiyah tidak bermadzhab seperti NU yang cenderung ke Imam Syafi‟i dan mengapa
Muhammadiyah tidak menggunakan qunut dalam shalat baik di waktu Shubuh ataupun waktu
shalat Tarawih karena di Negara kita sekarang lagi banyak terkena bencana? Terima kasih atas
jawabannya karena jawaban ini akan semakin meneguhkan keyakinanku bahwa Muhammadiyah
adalah salah satu ormas yang bertujuan untuk pemurnian agama Islam.
Wassalamu‟alikum wr.wb.
Jawaban:
Untuk memperjelas permasalahan, jawaban atas pertanyaan saudara kami kelompokkan
dalam 2 (dua) nomor sebagai berikut:
1. Menjawab pertanyaan tentang, Mengapa Muhammadiyah tidak bermadzhab?, ada baiknya kami
paparkan sedikit isi dari salah satu di antara pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih yang berbunyi
“Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi
bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan asSunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat”.
Dari sana dapat difahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu di
antara madzhab-madzhab tertentu akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah anti dengan
madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para imam-imam madzhab, namun bagaimana
pun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana
kebenaran al-Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah. Pendapat-pendapat para imam tersebut sangat
erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan
dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita sekarang. Apa yang
13. dilakukan Muhammadiyah -melaksanakan agama bersumber pada al-Qur‟an dan as-Sunnah - ini
sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: Aku
telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama
berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. [Diriwayatkan
oleh Malik dalam kitab Muwattha‟].
Dan juga apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin
Hanbal yang berbunyi :
.
Artinya: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafi‟i,
Imam Auza‟i dan Imam ats-Tsauri. Namun ambillah (ikutilah) darimana mereka (para Imam itu)
mengambil (yaitu al-Quran dan as-Sunnah)”.
Singkatnya, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak
menghormati pendapat para imam fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk menghormati
mereka karena mengikuti metode dan jalan hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan
mereka agar tidak bertaqlid. Jadi sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali
pandapat itu dari sumber pengambilan mereka yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw yang
shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
2. Permasalahan qunut sebenarnya telah dijawab pada keputusan Muktamar Tarjih Wiradesa dan
sudah termaktub dalam buku Himpunan Putusan Tarjih hal. 366-367, dan telah dijawab oleh Tim
PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2.
Pengertian qunut secara definitif adalah tunduk pada Allah dengan penuh kebaktian dan
juga bisa berarti tulul qiyam (
) atau berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam
shalat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan ini termasuk ada
tuntutannya (masyru‟), berdasarkan hadis Nabi saw:
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: Shalat yang paling utama adalah
berdiri lama (untuk membaca doa qunut).” [HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi].
Adapun qunut diartikan dengan arti khusus yakni berdiri lama ketika i‟tidal dan membaca
doa: Allahummahdiny fiman hadait … dan seterusnya di waktu shalat Subuh hukumnya
diperselisihkan ulama, di samping doa tersebut juga sebagai doa qunut witir berdasarkan hadis:
14. Artinya: “Diriwayatkan dari Hasan bin Ali, ia berkata: Rasulullah saw telah mengajarkan
kepadaku tentang kalimat-kalimat yang aku baca ketika melakukan qunut witir: Allahummahdini fiman hadait, wa‟afini fiman „afait, watawallani fiman tawallait wabarikli fima a‟thaita wa
qini syarra ma qadzaita fainnaka taqdzi wala yuqdza „alaika innahu la yadzillu man wallaita
tabarakta rabbana wa ta‟alaita”. (HR. lima ahli hadis)
Majelis Tarjih memilih untuk tidak melakukan doa qunut karena melihat hadis-hadis
tentang qunut Subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan oleh para ulama. Di samping itu
terdapat hadist yang menguatkan tidak adanya qunut Subuh. Dalam riwayat beberapa imam
disebutkan sebagai berikut:
Artinya: “Khatib meriwayatkan dari jalan Qais bin Rabi‟ dari Ashim bin Sulaiman, kami
berkata kepada Anas: Sesungguhnya suatu kaum menganggap Nabi saw itu tidak putus-putus
berqunut di (shalat) subuh, lalu Anas berkata: Mereka telah berdusta, karena beliau tidak qunut
melainkan satu bulan, yang mendoakan kecelakaan satu kabilah dari kabilah-kabilah kaum
musyrikin.” [HR. al-Khatib]
Begitu pula doa qunut witir yang dibaca sesudah i‟tidal sebelum sujud pada rakaat terakhir
di malam shalat witir baik dalam bulan Ramadan maupun dipertengahannya, tidak disyariatkan.
Karena itu tidak perlu untuk diamalkan. Dalil-dalil yang menyatakan adanya doa qunut seperti
riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, riwayat an-Nasa‟i, riwayat Ahmad dan riwayat Ibnu Majah
dipandang kurang kuat karena ada perawi-perawi yang dipandang dhaif.
Adapun yang ada tuntutannya itu ialah qunut NAZILAH yakni dilakukan setiap shalat
selama satu bulan di kala kaum muslimin menderita kesusahan dan tidak hanya dikhususkan
untuk shalat tertentu saja. Dan ini berdasarkan hadis Nabi saw bahwa beliau pernah
melakukannnya selama sebulan kemudian meninggalkannya setelah turun peringatan Allah
SWT.
–
Artinya: “Berkata al-Bukhari: Berkata Muhammad bin Ajlan dari Nafi‟, dari Umar, katanya:
Pernah Rasulullah saw mengutuk orang-orang musyrik dengan menyebut nama-nama mereka
sampai Allah menurunkan ayat 127 surah Ali Imran: Laisa laka minal-amri syaiun (tidak ada
sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu).”
Pemahaman yang dapat diambil dari riwayat tersebut ialah:
a. Bahwa QUNUT NAZILAH tidak lagi boleh diamalkan.
15. b.
Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata-kata kutukan dan permohonan pembalasan
terhadap perorangan.